INTERPRETASI PENONTON TERHADAP PLURALISME DALAM FILM (Analisis Resepsi Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a) Oleh : Dwi Mahliza Ulfa 090904091 ABSTRACT This research is titled "Interpretation of the audience towards pluralism in the film Cin(T)a". Film Cin(T)a was launched on 2009, tells about the romance between two youths with different cultures and beliefs. This film raised a lot of pros and cons in public. This indie movie which filmed by Sammaria Simanjuntak, considered reviving the issue of pluralism after the MUI (Indonesian Ulama Council) gave haram fatwa in 2005. The scenes in film Cin(T)a present a unique overview about the differences between two characters who represent the majority and minority groups in Indonesia, and are packed with casual dialogues without conflict, but full of meanings. The aims of this research is to see how the audiences interpretation of pluralism that they watched in film Cin(T)a. The Method used in this research is qualitative method, using analysis reception stated by Stuart Hall about how audiences produces a message from a media text. This process will produce different meaning, influenced by the capacity of each audience. Data is obtained from in-depth interview with five informants with different backgrounds. The result showed that informants concluded film Cin(T)a as film which raised up the phenomenon of diversity and plurality in Indonesia. In addition the film also tried to convey the message of pluralism and tolerance through scenes and dialogue in it. When produces the meaning of film Cin(T)a, differences in religious background, socio-cultural, and the experience of informants becomes an important factor that distinguishes their meaning. Keywords: Pluralism, Diversity, Plurality, Tolerance, Reception Analysis PENDAHULUAN Konteks Masalah Pembahasan pluralisme di Indonesia selalu menjadi pembicaraan yang hangat. Hal ini dikarenakan kondisi alamiah Indonesia yang berbeda-beda dari segala aspek mulai dari kondisi geografis, suku, bahasa, warna kulit dan agama. Untuk itulah semboyan Bhinneka Tunggal Ika secara de facto menjadi cerminan dari perbedaan Indonesia. Wilayah negara yang terbentang luas dari Sabang sampai ke Merauke, memiliki sumber daya alam (natural resources) yang melimpah seperti untaian zamrud di khatulistiwa dan juga sumber daya budaya (cultural resources) yang beraneka ragam bentuknya. Latar belakang munculnya gerakan pluralisme adalah sebagai akibat reaksi dari tumbuhnya klaim kebenaran oleh masing-masing kelompok terhadap pemikirannya sendiri. Persoalan klaim kebenaran inilah yang dianggap sebagai pemicu lahirnya radikalisasi agama, perang dan penindasan atas nama agama. Karenanya, para penggiat gerakan ini mengharapkan 1
paham pluralisme dapat menjadi penawar dari berbagai konflik dalam wacana keberagaman terutama persoalan agama. Namun seiring berjalannya waktu, pengertian pluralisme telah banyak mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan perubahan zaman. Salah satu perkembangan definisi dari pluralisme yang lebih spesifik adalah seperti yang diungkapkan oleh John Hick. Pada artikel pluralisme dalam Religious Research, John Hick menuliskan konflik horizontal antar pemeluk agama hanya akan selesai jika masing-masing agama tidak menganggap bahwa ajaran agama mereka yang paling benar. Ia mengatakan bahwa semua agama sama efektifnya, atau sama tidak efektifnya, dalam memandu dan mendorong para pengikutnya mengubah haluan kehidupan mereka dari „ingat diri sendiri‟ ke „ingat akan Yang Lain‟. Menurutnya itulah tujuan akhir dari gerakan pluralisme; untuk menghilangkan keyakinan akan klaim kebenaran agama dan paham yang dianut, dan menganggap yang lain salah. Ia pun mengasumsikan pluralisme sebagai identitas kultural, kepercayaan dan agama yang harus disesuaikan dengan zaman modern, karena agama-agama tersebut akan berevolusi menjadi satu (Knitter, 2008: 134-145). Hal inilah yang mengundang protes keras serta penolakan dari para pemuka dan organisasi keagamaan. Di Indonesia khususnya, dominasi penolakan dan perdebatan seputar pluralisme tersebut datang dari kaum fundamentalis Islam dan Kristen. Mereka mencurigai adanya bahaya pluralisme yang dianggap sebagai agenda dari pihak-pihak tertentu. Menurut mereka, pluralisme akan memudahkan terjadinya proses liberalisme sosial politik, sehingga menyebabkan wilayah agamapun pada gilirannya dipaksa harus membuka diri untuk diliberalisasikan. Melalui paham pluralisme tersebut wilayah yuridiksi serta nilai-nilai keagamaan akan direduksi, dimarjinalkan dan didomestikkan sedemikian rupa. Sehingga pada akhirnya hanya boleh beroperasi disisi kehidupan manusia yang paling pribadi. Perbedaan dalam memaknai pluralisme ini akhirnya membawa kepada perdebatan dan pertentangan dua kubu. Satu memperjuangkan toleransi, satu membela kemurnian. Dengan demikian menjadi jelaslah bahwa inti polemik selama ini terletak pada perbedaan interpretasi kata pluralisme itu sendiri. Maka wajarlah pluralisme mendapat dukungan sekaligus penolakan karena maknanya sendiri masih bias dan belum mampu dirumuskan dengan pemahaman yang satu. Film adalah salah satu media komunikasi massa yang sangat besar pengaruhnya terhadap masyarakat. Film juga merupakan bentuk pesan yang terdiri dari berbagai tanda dan simbol yang membentuk sebuah sistem makna sehingga bisa diinterpretasikan oleh orang secara berbeda-beda, tergantung kepada referensi dan kemampuan berpikir orang tersebut. Sebagai sebuah media, film tentunya mewakili pandangan-pandangan yang dimiliki oleh kelompok tertentu, termasuk ideologi serta gagasan yang dibawa oleh kelompok tersebut. Cin(T)a adalah sebuah film produksi Moonbeam Creation dan Sembilan Matahari Film di tahun 2009. Film ini menyentuh persoalan yang cukup sensitif, yaitu menyangkut percintaan yang dibalut dengan perbedaan agama. Film indie yang disutradarai oleh Sammaria Simanjuntak dan pernah mendapat kehormatan untuk diputar di National Film Theater – British Film Institute London ini, berani menampilkan beberapa testimoni dari pasangan beda agama yang menjelaskan keharmonisan mereka walaupun hidup dengan memegang keyakinan masing-masing, sehingga menambah daya tarik tersendiri dari film ini. Selama 79 menit film ini membahas secara gamblang perbedaan antara Cina dan Annisa. Cina (diperankan oleh Sunny Soon) adalah mahasiswa baru ber-etnis Batak Cina. Cina 2
tumbuh menjadi seorang remaja yang lugu tapi ia yakin bisa mewujudkan impiannya dengan modal tekad yang kuat. Annisa (diperankan oleh Saira Jihan), mahasiswi muslimah 24 tahun ber-etnis Jawa yang kuliahnya terhambat oleh kariernya di industri perfilman. Dialog-dialog mengenai konsep Tuhan menurut sudut pandang Cina dan Anissa yang dalam film ini dinyatakan sebagai the unpredictable character dikemas dengan dialog yang santai tanpa konflik, namun sarat makna. Hal yang juga membuat film ini bertambah istimewa adalah kehadirannya di tengah banyaknya pro dan kontra mengenai pluralisme. Apalagi setelah MUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan fatwa haram terhadap pluralisme pada tahun 2005 yang lalu. Film ini layak diteliti karena beberapa keunikan yang dimilikinya. Tema yang diangkat masih jarang ditemui pada film-film kebanyakan. Berani menyentuh ranah pluralisme, khususnya pluralisme agama yang di Indonesia sendiri masih tabu untuk memperbincangkannya. Berbicara mengenai film, pasti berkaitan dengan penonton yang memaknai maksud, bahasa maupun ideologi yang disampaikan. Teks media mendapatkan makna hanya pada saat penerimaan (resepsi), yaitu pada saat mereka dibaca, dilihat dan didengarkan. Dengan kata lain, penonton dilihat sebagai produser makna dan bukan hanya konsumen konten media. Penonton menginterpretasikan teks media sesuai dengan latar belakang budaya dan pengalaman subyektif yang mereka alami dalam kehidupan. Sehingga satu teks media akan menimbulkan banyak makna dalam sebuah teks yang sama. Setiap teks mengandung ideologi yang menjadikan pentingnya kajian resepsi. Atas dasar inilah peneliti tertarik melakukan penelitian mengenai interpretasi penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a. Fokus Masalah Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: “Bagaimanakah Interpretasi Penonton Terhadap Pluralisme Dalam Film Cin(T)a ?”
KAJIAN PUSTAKA Paradigma Interpretivisme Kalangan interpretivis secara umum memfokuskan diri pada proses-proses yang menciptakan, menegosiasikan, mempertahankan dan memodifikasi makna-makna dalam sebuah konteks spesifik tindakan manusia. Sarana-sarana atau proses-proses yang mengantarkan peneliti kepada interpretasi tindakan manusia (sekaligus akhir atau tujuan proses-proses tersebut) inilah yang disebut Verstehen atau pemahaman (Bryman, 2008: 16). Analisis Resepsi Reception analysis adalah metode yang merujuk pada sebuah komparasi antara analisis tekstual wacana media dan wacana khalayak, yang hasil interpretasinya merujuk pada konteks, seperti cultural setting dan context atas isi media lain. Khalayak dilihat sebagai bagian dari interpretive communitive yang selalu aktif dalam mempersepsi pesan dan memproduksi makna, tidak hanya sekedar menjadi individu pasif yang hanya menerima saja makna yang diproduksi oleh media massa (Hadi, 2007: 16).
3
Peran aktif penonton dalam memaknai teks juga dapat terlihat pada model encoding/decoding Stuart Hall, yaitu model yang menjelaskan bahwa sebuah pesan yang sama dapat dikirimkan atau diterjemahkan lebih dari satu cara. Menurut Hall akan ada tiga bentuk pembacaan antara penulis teks dan pembaca serta bagaimana pesan itu dibaca di antara keduanya (Durham & Kellner, 2002: 174-175). 1. Dominant-Hegemonic Position. Yaitu, audience mengambil makna yang mengandung arti dari isi media dan mengdecode-nya sesuai dengan makna yang dimaksud (preferred reading) yang ditawarkan teks media. Audience sudah punya pemahaman yang sama, tidak akan ada pengulangan pesan, pandangan komunikator dan komunikan sama, langsung menerima. 2. Negotiated Position. Yaitu, mayoritas audience memahami hampir semua apa yang telah didefinisikan dan ditandakan dalam teks media. Audience bisa menolak bagian yang dikemukakan, di pihak lain akan menerima bagian yang lain. 3. Oppositional Position. Yaitu, audience memaknai pesan secara kritis dan menemukan adanya bias dalam penyampaian pesan dan berusaha untuk tidak menerimanya secara mentah-mentah. Dalam hal ini audience berusaha untuk melakukan demitologisasi terhadap teks. Film Graeme Turner (Maarif, 2005: 11) mengatakan bahwa film tidak mencerminkan atau merekam realitas sebagai medium representasi yang lain. Ia mengkonstruksi dan menghadirkan kembali gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi–konvensi dan ideologi kebudayaannya. Isi media massa termasuk film, pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas dengan bahasa sebagai perangkat dasarnya. Bahasa bukan saja sebagai alat dalam mempresentasikan realitas, namun juga bisa menentukan bentuk seperti apa yang ingin diciptakan oleh produsen media tentang realitas tersebut. Akibatnya media massa mempunyai peluang yang sangat besar untuk mempengaruhi makna dan gambaran yang dihasilkan dari realitas yang dikonstruksikannya. Media massa tidak bisa dianggap berwajah netral dalam memberikan jasa informasi dan hiburan kepada khalayak. Media massa tidak hanya dianggap sekedar hubungan antara pengirim pesan pada satu pihak dan pihak lain sebagai penerima pesan. Lebih dari itu media dilihat sebagai produksi dan pertukaran makna. Titik tekannya terletak pada bagaimana pesan atau teks berinteraksi dengan khalayak untuk memproduksi makna berkaitan dengan peran teks dalam kebudayaan. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan strukturalisme yang dikontraskan dengan pendekatan proses atau pendekatan linear (Fiske, 2007: 39). Pluralisme Dalam kamus bahasa Inggris, pluralisme mempunyai tiga pengertian. Pertama, pengertian kegerejaan sebutan untuk orang yang memegang lebih dari satu jabatan dalam struktur kegerejaan, memegang dua jabatan atau lebih bersamaan baik bersifat kegerejaan maupun non kegerejaan. Kedua, pengertian filosofi sistem pemikiran yang mengakui adanya landasan pemikiran mendasar yang lebih dari satu. Ketiga, pengertian sosio-politis suatu sistem 4
yang mengakui ko-eksistensi keragaman kelompok baik yang bercorak ras, suku, aliran maupun partai dengan tetap menjunjung tinggi aspek-aspek perbedaan yang sangat karakteristik di antara kelompok-kelompok. Bila digabungkan dari ketiganya, pluralisme yaitu “Ko-eksistensi berbagai kelompok atau keyakinan disatu waktu dengan tetap terpelihara perbedaan-perbedaan dan karesteristik masing-masing” (Thoha, 2005: 11). Pluralisme yang dimaknai dalam dimensi teologis secara awam kerap dipahami sebagai “pembenaran atas seluruh agama dan kepercayaan yang ada”. Dengan bahasa yang lebih sederhana, pluralisme dalam pemahaman semacam ini menganggap bahwa “semua agama benar”. Terlepas dari perdebatan di atas, pluralisme dalam ranah teologis ditengarai memiliki hubungan dengan pemikiran filsafat yang menandai lahirnya zaman baru yang disebut postmodern di Barat. Kesadaran ini lahir dari kalangan gereja melalui Konsili Vatikan II tahun 1962-1965 yang berisikan pengakuan gereja bahwa kebenaran dan keselamatan dapat juga ditemukan di luar gereja (di luar agama Katolik/Protestan). Ideologi Menurut Aart Van Zoest, dalam sebuah teks tidak akan pernah luput dari sebuah ideologi dan memiliki kemampuan untuk memanipulasi pembaca ke arah suatu ideologi (Sobur, 2004: 60). Setiap makna yang dikonstruksikan selayaknya memiliki suatu kecenderungan ideologi tertentu. Ideologi sebagai kerangka berpikir atau kerangka referensi tertentu yang dipakai oleh individu untuk melihat realitas dan bagaimana mereka menghadapinya (Soedibyo, 2001: 12). Model Teoritik Ideologi dalam Film Cin(T)a
Interpretasi Penonton terhadap Pluralisme dalam Film Cin(T)a
Posisi Penonton DominantHegemonic Negotiated Oppositional
METODOLOGI PENELITIAN Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif. Metode penelitian kualitatif ini diartikan sebagai rangkaian kegiatan atau proses menjaring informasi, dari kondisi sewajarnya dalam kehidupan suatu obyek, dihubungkan dengan pemecahan suatu masalah, baik dari sudut pandangan teoritis maupun praktis (Nawawi, 1995:209). Penelitian kualitatif yang peneliti gunakan adalah pendekatan analisis resepsi, yaitu penelitian yang mendasarkan pada kesadaran atau cara subjek dalam memahami objek dan peristiwa dengan 5
pengalaman individu. Analisis resepsi dapat melihat mengapa khalayak memaknai sesuatu secara berbeda, faktor-faktor psikologis dan sosial apa yang mempengaruhi perbedaan tersebut, dan konsekuensi sosial yang muncul. Objek Penelitian Objek penelitian adalah sifat keadaan dari suatu benda, orang atau yang menjadi pusat perhatian dan sasaran penelitian. Sifat keadaan yang dimaksud dapat berupa kuantitas dan kualitas yang dapat pula berupa perilaku, kegiatan, pendapat, pandangan, penilaian, sikap prokontra, simpati-antipati, keadaan batin, dan juga berupa proses (Azwar, 2009: 35). Adapun objek yang diteliti dalam penelitian ini adalah interpretasi pluralisme dalam film Cin(T)a. Subjek Penelitian Subjek penelitian pada dasarnya adalah yang akan dikenai kesimpulan hasil penelitian. Subjek penelitian dari penelitian ini disebut informan, dimana dalam teknik pemilihan informannya adalah dengan menggunakan metode snowball sampling. Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang sudah pernah menonton film Cin(T)a. Berdasarkan tingkat pendidikannya, peneliti memilih mahasiswa maupun yang sudah bergelar sarjana, dikarenakan melihat segmentasi film yang dikhususkan bagi penonton remaja maupun dewasa. Kerangka Analisis Penelitian kualitatif ini didesain dengan menggunakan analisis resepsi. Dengan analisis resepsi ini, peneliti berupaya untuk mengetahui bagaimana khalayak memahami dan menginterpretasi isi pesan (memproduksi makna) berdasarkan pengalaman (story of life) dan pandangannya selama berinteraksi dengan media. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif dikonstruksikan khalayak secara individual. Dalam penelitian analisis resepsi ini, peneliti menggunakan model encoding-decoding yang dikemukakan oleh Stuart Hall pada tahun 1973 (Durham & Kellner, 2002: 166). Objek dari model ini adalah makna dan pesan dalam bentuk tanda yang diproses melalui pengoperasian kode dalam rantai wacana. Teknik Pengumpulan Data 1. Observasi (Observation) 2. Wawancara Medalam (Indepth Interview) 3. Studi Kepustakaan (Library Research) Teknik Analisis Data Proses analisis data dalam penelitian ini menggunakan tahapan coding. Menurut Strauss dan Corbin (Poerwandari, 2005: 150), ada tiga tahapan coding dalam analisis data, yaitu: 1. Open Coding, adalah proses mengidentifikasi, mengelompokkan dan menggambarkan fenomena yang ditemukan dalam teks. 2. Axial Coding, adalah proses mengaitkan kategori antara satu dengan yang lain, melalui kerangka berpikir induktif ataupun deduktif. 3. Selective Coding, adalah proses memilih satu kategori sebagai kategori inti, menghubungkan secara sistematis ke kategori-kategori lain, melakukan validasi hubungan-hubungan tersebut, dan dimasukan ke dalam kategori-kategori yang diperlukan lebih lanjut untuk perbaikan dan pengembangan. 6
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Walaupun para informan memberikan berbagai pendapat saat ditanya mengenai tema film Cin(T)a, didapat satu kesimpulan yang menyatakan tema film tersebut adalah mengenai pluralisme. Pernyataan tersebut dapat dilihat dalam kutipan dari kelima informan berikut. Informan I : “Murni pluralisme. Di satu sisi membuka mata dan memberi banyak sudut pandang. Film ini membuka apa itu perbedaan agama, apa itu perbedaan suku. Dia juga membuka bagaimana kehidupan kaum minoritas dan bagaimana sudut pandang mereka terhadap posisi mereka sebagai minoritas.” Informan II : “Intinya menceritakan perbedaan yah... Nggak hanya agama, tapi ada jugu suku dan etnis. Padahal film ini sebenarnya romantis, tapi fenomena keragamannya kental kali. Tema kayak gini harus diperbanyak dengan kemasan yang lebih mudah dimengerti.” Informan III: “Aku rasa ini film pertama yang menceritakan perbedaan dalam balutan kisah cinta. Mikirnya kalo bikin film tema pluralisme mungkin berat. Tapi untungnya dipadankan sama cerita cinta. Jadi lebih mudah dicerna, apalagi sama anak-anak muda.” Informan IV : “Sebenarnya kasus-kasus yang berkaitan dengan perbedaan dan pluralisme kayak ini bukan hal yang baru lagi. Udah biasa. Karena realitasnya udah banyak terjadi di masyarakat. Cuma mungkin masih sedikit yang dijadiin tema untuk sebuah film.” Informan V: “Film ini menurutku mengusung temahidup dalam perbedaan. Hidup dalam artian bergaul, bersekolah bahkan berpacaran. Perbedaannya ditampilkan dalam agama dan suku dari kedua tokohnya. Yang kayak gini termasuk hebat, karena pembuat filmnya harus benar-benar tau seluk beluk Islam dan Kristen secara bersamaan.” Sebagai media massa, film digunakan sebagai media yang merefleksikan realitas, atau bahkan membentuk realitas. Film tidak bebas nilai, karena di dalamnya mengandung nilai dan ide-ide yang dianut oleh pembuatnya. Kekuatan dan kelebihan film adalah mampu menjangkau banyak segmen sosial. Karenanya film selalu digunakan untuk mengkomunikasikan pesan dari pembuat film (film maker) kepada penonton (audience). Dalam menanggapi pesan yang diperoleh dari film Cin(T)a, terdapat kesamaan pendapat dari kelima informan. Informan I : “Aku melihat bahwa film ini cuma pengen nunjukkin „this is the real of our lives‟. Mau nggak mau, terima ato nggak, kita memang beda. Tapi film ini belum sampai pada kesimpulan solusi untuk permasalahan yang diangkat. Mungkin karena Filmmaker-nya belum berani untuk terang-terangan menunjukkan sikap, jadi cuma bisa menggambarkan fenomena. Tapi memang hidup kita ini sebenarnya kayak drama. Jadi awalnya kita pikir cinta itu udah kayak ramuan ajaib yang bisa nyatuin segalanya. Tapi pada akhirnya cinta harus ngalah sama perbedaan-perbedaan yang disimbolkan dan dibangun sendiri sama manusia. Itulah kenyataannya.” Informan II : “Menurutku filmmaker pengen ngasih tahu kalo nggak selamanya cinta beda agama itu buruk. Buktinya ada testimoni dari beberapa orang yang udah ngejalaninya, dan mereka happy 7
dengan perbedaan itu. Intinya kita harus berpikiran terbuka lah, jangan langsung ngejudge jelek sama suatu hal.” Informan III: “Filmmaker mungkin mau ngasih gambaran ini loh fenomena di masyarakat kita terkait dengan pluralisme. Bagaimana bergaul dan bersosial dalam keberagaman. Nggak melulu bicara cinta, tapi ada juga tentang budaya dan agama. Intinya dia pengen nyampein tentang perbedaan.” Informan IV : “Pesan dari film ini mungkin nyuruh kita anak-anak muda, kaum intelektual muda, untuk mulai mengambil tindakan dan langkahlangkah terkait kondisi yang terjadi sekarang ini. Kalo kita biarkan setiap orang saling menyimpan curiga dan prasangka terhadap orang lain, Indonesia bahkan dunia takkan pernah aman dan damai. Pasti yang namanya pertikaian dan konflik akan sering terjadi. Jangan cuma bisanya protes, tapi ayok kita cari solusi. Dimulai dari kita generasi muda.” Informan V: “Yang coba disampaikan pembuat film ini menurutku pesan supaya kita sadar kalo Indonesia ini nggak cuma punya golongan tertentu aja. Punya semua warga negara Indoensia, apapun suku, etnis dan agamanya. Selain itu mungkin kita disuruh pilih cinta sama tuhan atau cinta sama manusia. Mana yang lebih kita prioritaskan?”. Pembahasan Posisi Penonton 1. Negotiated Position Dalam kategori Negotiated Position ini, peneliti memilih Informan II, III, IV dan V. Dari hasil wawancara, ditemukan bahwa terdapat beberapa bagian film yang disukai dan disetujui oleh ketiga informan ini. Namun di sisi lain, terdapat pula bagian-bagian yang oleh ketiganya dianggap bertentangan dengan apa yang mereka pahami. 2. Oppositional Position Peneliti mengkategorikan Informan I dalam Oppositional Position karena ia secara jelas mengakui bahwa dirinya tidak setuju dengan konsep pluralisme. Ketidaksetujuan juga muncul ketika ditanya tentang tanggapannya terhadap pernikahan beda agama. Menurutnya perbedaan agama tidak menjadi masalah jika ditempatkan dalam pergaulan, namun akan sulit diterapkan dalam pernikahan. SIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian mengenai interpretasi penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Interpretasi penonton terhadap pluralisme dalam film Cin(T)a ternyata memunculkan beberapa kategori pemaknaan, yaitu negotiated dan oppositional. Sedangkan tidak terdapat penonton yang dikategorikan dominant-hegemonic.
8
2. Penuturan para informan mengenai pluralisme, yang terdapat dalam film Cin(T)a maupun di masyarakat, dapat mempengaruhi posisi kategori Informan berdasarkan kajian resepsi. 3. Informan I termasuk ke dalam kategori oppositional. Dia sangat menyukai ide filmmaker dengan mengangkat fenomena perbedaan yang terjadi di masyarakat. Ia juga sangat kagum dengan dialog-dialog cerdas serta adegan-adegan romantis yang ditampilkan oleh kedua tokoh. Namun ia secara jelas mengakui bahwa dirinya tidak setuju dengan konsep pluralisme. Ia melihat pluralisme cenderung diartikan sebagai „penyamarataan‟. Sehingga masing-masing perbedaan tersebut kehilangan identitasnya. Ia juga tidak setuju dengan pernikahan beda agama. Menurutnya perbedaan agama tidak menjadi masalah jika ditempatkan dalam pergaulan, namun akan sulit diterapkan dalam pernikahan. 4. Informan II termasuk ke dalam kategori negotiated. Informan II menyukai pandangan filmmaker yang disampaikan melalui film. Tidak hanya menyukai dari segi sinematografi saja, Informan II juga memaknai dialog, adegan dan pesan dari film Cin(T)a secara positif. Walau merasa kurang puas dengan akhir cerita yang sad ending, tidak membuat infoman II mengubah penilaiannya. Hal ini terbukti dengan dukungannya terhadapa pluralisme dan pernikahan beda agama. Namun ia menolak jika melalui pluralisme, manusia diminta untuk menyatukan perbedaan-perbedaan yang ada. Menurutnya menyatukan perbedaan bukanlah solusi yang tepat, malah akan semakin menambah ketegangan antar golongan karena tidak ada yang mau mengalah. 5. Informan III termasuk ke dalam kategori negotiated. Ia menyukai ide-ide yang ditawarkan dalam film ini untuk lebih menerima dan menghargai perbedaan. Menurutnya pluralisme merupakan paham yang dapat membawa kedamaian bagi masyarakat dalam lingkungan yang majemuk. Ia juga menanggapi pernikahan beda agama secara positif. Dalam pandangannya perbedaan agama bukan penghalang, karena yang terpenting dalam pernikahan adalah baik suami maupun istri “satu iman” dan menjalankan perintah Tuhan dengan baik. Namun ia merasa kurang puas dengan akhir cerita yang terkesan menggantung. Ia mengkritisi beberapa dialog yang dianggapnya terlalu vulgar karena merendahkan dan menjadikan Tuhan sebagai pihak yang bersalah. 6. Informan IV juga termasuk dalam kategori negotiated. Ia menganggap film Cin(T)a sekedar menampilkan gambaran yang terjadi di masyarakat dan tidak memberikan solusi. Selain itu, terdapat beberapa adegan dalam film yang berupaya menampilkan ritual dan ikon-ikon Kekristenan namun menurutnya tidak dilakukan secara utuh dan sesuai dengan kitab suci. Namun ia menyetujui paham pluralisme dan pernikahan beda agama. 7. Informan V juga termasuk kategori negotiated. Ia menyukai keseluruhan film tersebut. Ia juga menanggapi pluralisme secara positif. Dalam pandangannya pluralisme adalah keberagaman dan perbedaan. Ia menganggap bahwa keberagaman dan perbedaan dapat membuat orang-orang semakin akrab dan dekat. Namun ketika kasus cinta beda agama diadaptasi ke kehidupan nyata, ia menolak dengan keras karena dianggap tidak sesuai dengan ajaran agama yang ia yakini.
9
8. Berdasarkan hasil wawancara dengan kelima informan mengenai pluralisme di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa implementasi pluralisme di indonesia masih berada pada level yang sangat rendah dan sebatas wacana. Hal itu terbukti dengan masih banyaknya konflik yang terjadi serta minimnya dialog antar suku, etnis dan umat beragama. Saran Saran dalam Kaitan Bidang Akademis Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan analisis resepsi tentang bagaiman penonton menginterpretasikan pluralisme dalam sebuah film. Penelitian ini bertujuan untuk melihat bagaimana perbedaan latar belakang agama, sosial budaya, dan pengalaman penonton menjadi faktor penting yang dapat membedakan pemaknaan mereka. Dari penelitian tentang pemaknaan penonton ini, diharapkan dapat mengetahui bahwa proses pemaknaan atau interpretasi terhadap pesan suatu media massa akan menghasilkan makna yang tidak selalu sama karena dipengaruhi oleh kapasitas setiap penonton. Selain itu, sangat memungkinkan bagi peneliti yang lain untuk mengembangkan penelitian ini dengan menggunakan metode dan kerangka pemikiran yang berbeda. Saran dalam Kaitan Bidang Praktis Isi media massa termasuk film, pada hakikatnya adalah hasil konstruksi realitas. Film tidak mencerminkan atau merekam realitas sebagai medium representasi yang lain, melainkan mengkonstruksi dan menghadirkan kembali gambaran dari realitas melalui kode-kode, konvensi–konvensi dan ideologi kebudayaannya. Sehingga khalayak disarankan untuk lebih bijak dan aktif dalam memahami isi media agar tidak mudah terprovokasi dengan pesan yang disampaikan.
DAFTAR PUSTAKA Azwar, Saifudin. 2009. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Bryman, Alan. 2008. Social Research Methods. New York: Oxford University Press. Durham, M. G., & D. M. Kellner. (Eds.). 2002. Media and Cultural Studies : Keyworks. Massachusetts: Blackwell Publisher. Fiske, J. 2007. Cultural and Communication Studies. Yogyakarta: Jalasutra. Hadi, Ido Prijana. 2009. Penelitian Khalayak dalam Perspektif Reception Analysis - Jurnal Ilmiah SCRIPTURA. Surabaya: Universitas Kristen Petra. Knitter, Paul F. 2008. Pengantar ke Dalam Teologi Agama-agama. Yogyakarta: Kanisius. Ma‟arif, Syamsul. 2005. Pendidikan Pluralisme Indonesia. Yogyakarta: Logung Pustaka. Nawawi, H. Hadari. 1995. Metode penelitian bidang sosial. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press Poerwandari, E Kristi. 2001. Pendekatan Kualitatif dalam Penelitian Psikologi. Jakarta: FP Universitas Indonesia. Sobur, Alex. 2004. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya. Soedibyo, Agus. 2001. Politik Media dan Pertarungan Wacana. Yogyakarta: LKiS. Thoha, Anis Malik. 2005. Tren Pluralisme Agama. Jakarta: Perspektif. 10