INTERNATIONAL CONFERENCE “GENDER AND POLITICS”
ISTRI SEBAGAI KEPALA KELUARGA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI RANAH PUBLIK: KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN
O L E H:
TRI LISIANI PRIHATINAH,S.H.,M.A.,Ph.D. (Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman)
23 – 24 JANUARI 2009 PUSAT STUDI WANITA UGM – SEKOLAH PASCA SARJANA UGM YOGYAKARTA
1
ISTRI SEBAGAI KEPALA KELUARGA DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI RANAH PUBLIK: KEMAJUAN ATAU KEMUNDURAN* Oleh: Tri Lisiani Prihatinah,S.H.,M.A.Ph.D.** Pendahuluan Status suami sebagai kepala keluarga dalam hukum perkawinan yang ada selama ini dianggap oleh sebagian pegiat jender sebagai hukum yang mendiskriminasikan perempuan dimana perempuan tidak hanya menanggung beban yang lebih berat dibanding laki-laki, tetapi juga hak-haknya sebagai manusia tidak dapat sepenuhnya dipenuhi (Endang Sumiarni, 2005). Dengan pemahaman seperti itu, ada pihak yang mengajukan rancangan perubahan status kepala keluarga yang berkesetaraan jender dimana laki-laki dan perempuan bersama-sama sebagai kepala keluarga (LBH APIK, 2005 dan Endang Sumiarni, 2004). Tetapi kenyataannya tidak semua masyarakat menyetujui adanya konsep kesetaraan jender tersebut, meskipun kebijakan berkesetaraan jender ini sudah menjadi komitmen Pemerintah Indonesia untuk mewujudkannya. Ketidaksetujuan masyarakat terhadap perubahan status perempuan dan laki-laki bersama-sama sebagai kepala keluarga disebabkan oleh berbagai alasan. Pertama, keberagaman pendapat terhadap konsep suami-istri sebagai kepala keluarga bertentangan dengan nilai-nilai agama yang dianut sebagian besar masyarakat Indonesia. Kedua, ketidakpahaman dan ketidaktahuan masyarakat terhadap konsep kesetaraan jender yang dikhawatirkan dapat menggoncang keutuhan keluarga karena menurut pendapat ini konsep kesetaraan jender mengajarkan perempuan untuk melawan laki-laki. Ketiga, stigmatisasi bahwa status kepala keluarga berkesetaraan jender akan menyebabkan diskriminasi terhadap laki-laki karena hukum keluarga berkesetaraan jender ini akan terlalu banyak memberikan tambahan hak kepada perempuan. Hal ini didasarkan pada
*
Tulisan ini dipresentasikan dalam Konferensi Internasional “Gender and Politics” yang diadakan oleh Pusat Studi Wanita UGM bekerjasana dengan Sekolah Pasca Sarjana UGM, 23-24 Januari 2009, Yogyakarta. ** Penulis adalah dosen tetap Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, Ph/Fax: 0281 6845020. Email:
[email protected]
2
pemikiran bahwa hukum perkawinan yang ada sekarang ini sudah memberikan hak dan kewajiban yang adil kepada laki-laki dan perempuan. Keempat, stigma bahwa kesetaraan jender berasal dari konsep barat yang lebih mendorong terjadinya gaya hidup negatif seperti maraknya pergaulan bebas, meningkatnya jumlah perceraian dll. Dari keempat alasan tersebut, makalah ini dimaksudkan untuk memberikan sekilas gambaran apakah perubahan status istri menjadi kepala keluarga merupakan kemajuan atau kemunduran bagi perempuan. Penekanan dalam paparan ini diberikan pada perubahan tanggungjawab pada istri sebagai akibat perubahan status tersebut. Untuk itu pemahaman terhadap konsep kesetaraan jender merupakan suatu keharusan agar tercapai tujuan yang sudah ditetapkan yaitu lebih memberikan perlindungan kepada perempuan.
Usulan Amandemen UU Perkawinan Beberapa pasal penting dalam UUP No 1/74 yang diusulkan untuk diamandemen adalah: Pasal 31 (3) semula: Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumah tangga. Menjadi: Pasal 31 ayat (3): Suami istri memiliki peran dan tanggungjawab yang sama
dalam kehidupan berumah tangga. Pasal 34 (1) semula: Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya Menjadi: Suami istri wajib saling melindungi dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuan. Pasal 34 (2) semula: Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Menjadi: Suami istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya. Pasal 34 (3) semula: Jika suami atau istri melalaikan kewajiban masing2 dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan. Menjadi: Jika suami atau istri melalaikan kewajibannya untuk saling melindungi dan saling berbagi peran dan kerja kerumahtanggaan, atau salah satu pihak merasa diperlakukan tidak adil, maka ia berhak mengajukan gugatan kepada pengadilan.
(Sumber: LBH APIK., Jakarta, 2005).
Konsep Kesetaraan Makna kesetaraan jender sudah dirumuskan dalam Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 dimana dinyatakan bahwa “Kesetaraan jender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan dan keamanan nasional dan kesamaan dalam menikmati hasil-hasil 3
pembangunan”. Sehingga kesetaraan jender dapat terjadi tanpa tergantung apakah ia secara biologis laki-laki atau perempuan. Kesetaraan jender perlu dipahami dalam arti suami istri menikmati status yang sama, berada dalam kondisi dan mendapat kesempatan yang sama untuk dapat merealisasikan potensinya sebagai hak-hak asasinya. Menurut Endang Sumiarni, kesetaraan jender antara suami istri dalam perkawinan bukan berarti bahwa perempuan harus menjadi sama dengan laki-laki atau istri menjadi sama dengan suami.(2005, 95). Beberapa peraturan berikut menjadi landasan hukum persamaan peran dalam hukum perkawinan, yaitu antara lain UUD 1945 pasal 27 ayat (1) yang memberikan persamaan bagi setiap laki-laki dan perempuan di muka hukum, ketetapan MPR tentang GBHN dari tahun 1973 dan UU No. 7 tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. UU Nomor 7 tahun 1984 ini mendasarkan pada prinsip persamaan, non diskriminasi, kewajiban negara. Dalam UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi manusia ditentukan bahwa semua orang dilahirkan dengan merdeka dan mempunyai martabat dan hak-hak yang sama, meskipun pasal khusus yang mengatur perkawinan terdapat klausula pelepasan, artinya terdapat pengecualian yaitu ditentukan oleh hukum agamanya dan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata kunci yang harus dipahami secara benar dari definisi kesetaraan jender tersebut adalah kata “kesamaan”. Konsep kesamaan jender dapat dibedakan menjadi dua yaitu kesamaan perlakuan/ kesempatan dan kesamaan hasil atau lebih dikenal dengan istilah treatment-based management dan result-based management (Prihatinah, 2005, 39). Konsep kesamaan perlakuan ini menghendaki kesamaan “perlakuan dan kesempatan” bagi laki-laki dan perempuan. Konsep inilah yang biasa dikenal dengan “gender-neutral policy analysis” (analisis kebijakan jender yang netral). Asumsi dari kebijakan ini adalah bahwa sepanjang laki-laki dan perempuan diperlakukan sama, maka tidak perlu pertimbangan lain dalam isu yang menyangkut jender. Sementara konsep kedua (result-based management) lebih memfokuskan pada “hasil” dimana kebijakan menerima “perbedaan proses” demi tercapainya kesamaan hasil. Dalam hal ini setiap kebijakan yang dikeluarkan harus memperhitungkan bias jender. Alasan perlunya konsep yang kedua ini karena perlakuan yang sama terhadap 4
laki-laki dan perempuan tidak selalu membuahkan hasil yang positif bahkan tetap melanggengkan bias jender karena kondisi keterbelakangan yang dialami perempuan. Untuk itu kalau suatu kebijakan ingin memberikan hasil yang sama antara laki-laki dan perempuan, maka para pihak yang berkepentingan dalam pengambilan kebijakan harus mempunyai komitmen yang tinggi terhadap substantial equality (kesetaraan isi) dimana diperlukan kebijakan berbeda dalam “proses” antara laki-laki dan perempuan, sehingga tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal akan dapat dicapai. Dikotomi peran jender dalam UU Perkawinan Salah satu hal yang sering ditanya saat ketemu sesame alumni adalah,’Kamu kerja dimana?’ ini menyiratkan bahwa ‘kerja’ adalah merupakan hal penting dalam kehidupan manusia. Menurut feminis sosialis pembagian masyarakat menjadi dua katagori – produksi dan reproduksi – digunakan untuk memarginalkan kedudukan perempuan dalam rumah tangga. (Engels, 1972). Menurut Engels terdapat dua jenis produksi yaitu pemenuhan terhadap sandang, papan dan pangan serta untuk mengembangkan sumber daya manusia. Sebagai konsekuensinya laki-laki dipandang mempunyai kekuasaan lebih dalam rumah tangga sebab kemampuan mereka dalam memberikan kebutuhan2 materi seperti sandang, papan dan pakaian. Sehingga perempuan diidentifikasikan sebagai warga kelas dua disamping laki-laki. Tak mengherankan dalam budaya Jawa ada istilah koncowingking. Dikotomi tersebut -nature dan culture- digunakan untuk menunjukkan pemisahan dan stratifikasi di antara dua jenis kelamin (perempuan dan laki-laki) yang satu memiliki status lebih rendah dari yang lain. (Carol P MacCormack, 1980). Perempuan memiliki sifat “alam” (nature) harus ditundukkan agar mereka lebih berbudaya (culture). Menurut aliran ini perempuan lebih tepat berperan dalam sektor reproduksi yang banyak memerlukan sifat-sifat pemelihara, sabar, telaten dsb. Implikasi dari memposisikan perempuan dan laki-laki tersebut telah menjadi kekuatan di dalam pemisahan sektor privat dan publik dimana perempuan dianggap lebih sesuai berperan di sektor privat, sementara laki-laki di sektor publik. (Irwan Abdullah, 1997). Ideologi semacam ini telah disahkan dalam berbagai pranata dan lembaga sosial yang kemudian dianggap menjadi fakta sosial tentang status dan peran
5
yang dimainkan oleh perempuan dan laki-laki. Tidak mengherankan kalau peran dalam UUP mengatur beberapa pasal yang menunjukkan peran privat perempuan, antara lain:
Pasal 31 (3): Suami adalah kepala keluarga dan istri ibu rumahtangga.
Pasal 34 (1): Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumahtangga sesuai dengan kemampuan.
Pasal 34 (2) Istri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
Ternyata dalam kehidupan publikpun peran perempuan dimungkinkan terbukti diakomodirnya beberapa pasal dalam UUP tersebut, antara lain:
Pasal 31 (1): Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
Pasal 31 (2): Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
Pasal 41 huruf b: Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
Selain dalam UU Perkawinan tersebut, dua ayat berikut dapat dijadikan landasan moral perempuan untuk mempunyai kemandirian ekonomi dengan diakomodirnya kesetaraan peran perempuan dan laki-laki sebagai mahluk, “.. amal shaleh, baik laki-laki maupun wanita…mereka masuk ke dalam surga …”(Q.S.4:124). Dengan mendasarkan pada peran perempuan yang dapat diidentifikasikan menjadi 3 kategori (peran kodrati, substitutif maupun prestatif), maka kemandirian ekonomi sangat diperlukan mengingat pertimbangan-pertimbangan berikut: 1. sebagai individu dalam keluarga, perempuan mempunyai kemampuan tawar dalam pengambilan keputusan. Hal ini sesuai dengan salah satu surat R.A. Kartini yang menyatakan bahwa,’Jangan hidup sembarangan, hiduplah yang layak, berpendidikan otak dan ahlak’, selain itu beliau juga menekankan bahwa ‘Perempuan harus punya penghasilan supaya memiliki posisi tawar’. 2. mampu menjalankan peran substitutifnya manakala karena berbagai hal laki-laki tidak mampu memenuhi kebutuhan ekonominya atau karena perempuan harus
6
kembali ke status sebagai single, maka mereka tetap dapat survive secara ekonomi dan tidak perlu tergantung pada belas kasihan pihak lain. 3. perempuan dapat mengaktualisasikan dirinya sendiri sesuai dengan bidang yang diminati, sehingga tidak hanya dapat memperluas wawasannya tetapi juga dapat mempunyai kemampuan lebih dalam melanjutkan atau meningkatkan kualitas hidup bagi keluarga inti, keluarga besar maupun orang lain. Satu yang harus diingat bahwa dalam memahami peran mana yang harus dimiliki laki-laki atau perempuan adalah kemampuan membedakan antara konsep “pemisahan” dengan konsep “pembagian” peran. Menurut konsep “pemisahan”, peran laki-laki dan tidak berada dalam satu sistem dan tidak ada kaitan satu sama lainnya, hal ini membawa potensi konflik. Sementara konsep “pembagian” peran memungkinkan titik temu antara peran laki-laki dan perempuan, sehingga manakala salah satu tidak dapat memenuhi perannya, yang lain dapat menggantikannya karena menurut konsep ini kedua jenis peran tersebut berada dalam satu sistem. Dengan kata lain perempuan mempu menjadi peran substitutif manakala kondisi menghendakinya.
Analisis terhadap Status Perempuan kalau amandemen disetujui DPR: Perubahan status wanita seperti tercantum dalam usulan amandemen Pasal 31 (3), 34 ayat (1), (2), (3) seperti diungkapkan dimuka hanya bersifat treatment-based management. Hal ini karena kedua pasal tersebut menyamakan hak dan kewajiban lakilaki dan perempuan, sehingga dapat dikatakan bahwa kedua usulan pasal tersebut merupakan kebijakan yang netral atau tanpa keberpihakan pada laki-laki atau perempuan. Apakah dengan kenetralan ini akan semakin melindungi perempuan? Saat ini perempuan masih tersubordinasi dalam berbagai hal termasuk beban ekonominya, dan kalau kesamaan status ini terjadi maka masih harus ditambah dengan konsekuensi yuridis yang menjadi kewajiban perempuan. Bahkan perempuan bisa digugat dipengadilan karena kelalaian memenuhi keperluan keluarga. Sementara UU Perkawinan mengatur bahwa perempuan tidak mempunyai kewajiban untuk memenuhi keperluan hidup berumah tangga sepanjang ada suaminya, tetapi beban ini secara yuridis berada di pundak laki-laki [Pasal 34 ayat (1)]. Beban ekonomi ini secara yuridis sebagian akan berpindah ke pundak perempuan kalau usulan amandemen UU itu disetujui DPR. Sehingga disini akan terlihat 7
berkurangnya tanggungjawab laki-laki dan beralih ke pundak perempuan dengan mendalilkan pada pasal 34 ayat 1 usulan amandemen. Kalau hal ini terjadi, maka wanita itu sendiri seringkali sebagai the loser dengan aktifnya dalam lapangan kerja seperti rendahnya upah yg mereka terima dan mayoritas dalam strata posisi yg lebih rendah. Sebaliknya, kemandirian ekonomi yang dimiliki perempuan kadang menyebabkan mereka tidak disupport oleh suami yang cenderung bersenang2 sendiri. Hal ini terjadi di Amerika Serikat setelah tahun 1950an seperti diungkapkan oleh Fukuyama (2000, 121): “In return for the meager financial independence this brought, many women found themselves abandoned by husbands who moved on to younger wives or girlfriends. … many rather ordinary men were allowed to live out fantasy lives of hedoism and serial polygamy formerly reserved only for a tiny group of men at the very top of society. One of the greatest frauds perpetrated during the Great Disruption was the notion that the sexual revolution was gender neutral, benefiting women and men equally, and that is somehow had a kinship with the feminist revolution. In fact, the sexual revolution served the interests of men, and in the end it put a sharp limit on the kinds of gains that women might otherwise have expected from their liberation from traditional roles”. Dengan mengambil pada pengalaman negara lain, sekarang tinggal bagaimana kita akan mengkonstruksikan hubungan suami istri dalam rumah tangga yang diinginkan. Pengalaman yang kami peroleh didaerah pedesaan mengisyaratkan bahwa penambahan beban rumah tangga secara yuridis ke pundak perempuan bukanlah alternatif solusi yang diinginkan perempuan. Pada tanggal 19 Agustus 2005, kami mengadakan penyuluhan tentang “Pengenalan UU PKDRT” di desa Pagerandong, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga, Propinsi Jawa Tengah. Dalam acara yang diikuti 32 peserta tersebut, kami sempatkan untuk mengedarkan quesioner singkat tentang kesulitan yang menjadi prioritas utama dalam keluarga mereka. Sebagian besar (89%) menyatakan bahwa faktor ekonomi menjadi permasalahan utama dalam keluarga. Kesulitan ekonomi ini disebabkan karena terbatasnya lapangan kerja bagi penduduk setempat sehingga pekerjaan laki-laki sebagai penderes kelapa tidak terpisahkan dari peran perempuan sebagai pemasak hasil deresan. Kerjasama keduanya belum juga bisa
8
mengatasi kesulitan ekonomi karena terhadang faktor eksternal mereka yaitu keterbatasan lapangan kerja untuk memperoleh penghasilan yang memadai. (Prihatinah, 2005b). Hal ini sejalan dengan argumentasi pasal 34 dalam usulan amandemen dimana dinyatakan bahwa “… KDRT, para istri yang menjadi korbannya tidak mudah keluar dari lingkaran kekerasan karena masalah ketergantungan ekonomi”. Ketergantungan ini tidak bisa direspon dengan menambah kewajiban pada perempuan karena hal ini akan berimplikasi pada dilegalisirnya beban finansiil perempuan. Tetapi harus sebaliknya yaitu memberikan akses ekonomi dan penghasilan yang layak bagi laki-laki dan perempuan dengan memberi kebebasan perempuan untuk mengalokasikan penghasilannya. Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Yunus membuktikan bahwa lebih banyak perempuan dibandingkan laki-laki membelanjakan penghasilannya untuk keperluan keluarga dari pada untuk kesenangannya sendiri. (Yunus dan Jolies, 1998). Dalam waktu yang sama, sudah menjadi kewajiban negara untuk memenuhi keperluan warga negaranya (termasuk perempuan) yang kehilangan sumber pencari nafkahnya seandainya perempuan itu sendiri dan suaminya tidak mampu untuk menghidupi diri mereka sendiri. Kedua sumber dukungan terhadap perempuan (dari laki-laki dan dari negara) ini bukanlah sarana untuk mendiskriminasikan laki-laki dan negara dengan memberikan beban yang lebih banyak secara ekonomi, tetapi harus dibaca itulah kesetaraan jender yang merupakan aplikasi dari teori kesetaraan result-based management.
Istri Sebagai Kepala Keluarga dalam Pengambilan Keputusan di Ranah Publik Tidak dapat dipungkiri bahwa semakin banyak perempuan berperan di ranah publik. Hal ini menuntut perempuan untuk bisa mengambil keputusan secara tepat tanpa adanya beban apapun termasuk beban ekonomi. Sehingga perempuan lebih bisa vokal dalam menyuarakan kebenaran yang diyakininya, salah satu faktor pendorongnya adalah karena adanya back-up dari suami yang mempunyai kewajiban untuk memberikan nafkah pada istri. Dalam jabatan sebagai anggota DPR misalnya, perempuan akan bisa lantang membela kepentingan rakyat secara maksimal meskipun ia diancam untuk direcall oleh partainya seperti yang diatur dalam pasal 84 s.d. 97 bab VII UU nomor 22/2003 tentang Susuna Kedudukan MPR, DPR, DPD dan DPRD. Hal ini berbeda kalau perempuan mempunyai kewajiban memberikan nafkah pada keluarga seperti tercantum dalam 9
rancangan
amandemen
karena
perempuan
disinyalir
akan
dapat
mengurangi/menghilangkan dedikasinya dalam menjalankan tugasnya.
Penutup Makalah ini telah membahas sekilas status istri sebagai kepala keluarga dan konsekuensi hukumnya. Dengan status ini maka suami-istri bersama-sama secara secara yurdis untuk menanggung beban finansiil keluarga. Ini membawa konsekuensi bahwa kegagalan salah satu darinya termasuk istri, maka suaminya bisa mengajukan gugatan. Hal inilah yang memberatkan perempuan atau istri karena istri masih harus berusaha bisa survive dalam kehidupan publik yang masih belum berpihak pada perempuan. Dengan pemahaman seperti ini, diharapkan dapat memberikan tambahan dasar kepada partisipan untuk berkecimpung dalam permasalahan ini dan menindaklanjuti apa yang dijadikan tujuan dalam UU Perkawinan ini. Selain itu materi dalam makalah ini juga diharapkan dapat menjadi pertimbangan bagi pengambil keputusan khususnya DPR dalam melakukan amandemen UU Perkawinan sehingga maksud semula untuk memajukan perempuan melalui konsep kesetaraan dapat tercapai. Hal ini dapat dilakukan dengan tidak menyamakan status antara istri dan suami sebagai kepala keluarga karena kondisi perempuan masih tertinggal dari laki-laki. Pemberian kesempatan berkembang pada perempuan tanpa adanya tambahan tanggungjawab dalam keluarga akan membuka perempuan untuk dapat maksimal berperan dalam kehidupan publik, dengan harapan putusan2 yang dihasilkannya juga akan dapat semakin memihak kepada rakyat.
Daftar Pustaka Abdullah, I., 1997, “Dari Domestik ke Publik: Jalan Panjang Pencarian Identitas Perempuan”, dalam Abdullah, I., Sangkan Paran Gender, Pustaka Pelajar Offset, Yogyakarta, 3-28. Engels, F (1972) The Origin of The Family, Private Property and The State, Lawrence dan Wishart, London. Fukuyama, F. (2000) The Great Disruption: Human Nature and the Reconstitution of Social Order, Profile Books Ltd., London. 10
LBH-APIK (2005) Usulan Amandemen UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 berikut argumen-argumennya. MacCormack C.P. dan Stratern, M. 1980, “Nature, Culture and Gender: A Critique”, dalam MacCormack C.P. dan Stratern, M. Nature, Culture and Gender, Cambridge University Press, Cambridge. Prihatinah, T.L. (2005) Women and Income Generating Projects: the Gender Impacts of Indonesian Government Policies, disertasi S3, Murdoch University, Western Australia. _____________ (2005b) Pengenalan UU Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, makalah dalam Penyuluhan hukum di Desa Pagerandong, Kecamatan Kaligondang, Kabupaten Purbalingga, 19 Agustus. Sumiarni, E. (2005) Kajian Hukum Perkawinan Yang Berkesetaraan Jender, Wonderful Publishing Company, Yogyakarta. Yunus, M. and Jolis, A. (1998) Banking to the Poor: The Autobiography of Muhammad Yunus, Founder of the Grameen Bank, Aurum Press Ltd, London.
11