言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
INTERFERENSI BAHASA INDONESIA DALAM PENGGUNAAN BAHASA JEPANG (Studi Kasus Mahasiswa Sastra Jepang, Universitas Udayana) Ni Putu Luhur Wedayanti Program Studi Sastra Jepang Universitas Udayana Abstract The influenceof Indonesian language (or mother language) system often occurs in the utterance activities of Japanese language at Udayana University. Data were taken from students of the 6th semester (six) in sakubun subjects. A lot of errors are found then classified and analyzed using the theory of error analysis by Tarigan. It was found that among the error analysis theory, the most errors that happended were misconceptions to the concept of Japanese language system. These things happen because overgeneralitation by students of the Japanese language grammar and vocabulary meaning. Lack of understanding of the target language student brings a lot of shortcomings in their control. Keywords: interference, error analysis, Japanese Language Pendahuluan Proses pembelajaran bahasa asing pada pembelajar yang telah dewasa kerap menemui kesulitan, salah satu alasannya adalah perbedaan budaya dan sistem bahasa antara bahasa asal dan bahasa yang dipelajari. Permasalahan mengenai pengaruh bahasa ibu dalam pembelajaran bahasa asing juga disampaikan oleh Juaningsih (2010:2) bahwa pemerolehan bahasa asing sebagai bahasa kedua bagi pembelajar dewasa bukan merupakan hal yang mudah, karena dalam diri mereka telah tertanam kaidah bahasa ibu mereka (B1). Pengaruh sistem bahasa Indonesia atau bahasa daerah (bahasa Bali) pada bahasa Jepang disebut fenomena interferensi. Fenomena interferensi seperti ini dikatakan sebagai masalah yang diakibatkan kurangnya informasi kebahasaaan yang mestinya dimiliki oleh setiap individu dalam rangka berkomunikasi dalam bahasa Asing (Sudipa, 2012:108). Interferensi yang terjadi dalam pembelajaran bahasa asing sebaiknya diindetifikasi dengan segera agar dapat diperbaiki secepatnya. Tujuan ideal dari penelitian ini untuk mengetahui tipe-tipe kesalahan yang konseptual dalam tuturan bahasa Jepang mahasiswa di Universitas Udayana, sehingga kesalahan yang telah teridentifikasi tersebut dapat memperoleh tipe-tipe perawatan yang tepat, dan pada akhirnya dapat memberi bantuan yang paling relevan pada pembelajar bahasa Jepang, dan merencanakan proses belajar mengajar yang lebih baik agar tidak terjadi lagi kesalahan yang serupa.
|1
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
Tinjauan Pustaka Pengamatan mengenai kesalahan berbahasa telah dilakukan oleh banyak ahli diantaranya adalah Sudipa (2012). Sudipa (2012) meneliti mengenai “Pengaruh Negatif Sintaksis dan Semantik Bahasa Indonesia pada Bahasa Inggris Tulis Mahasiswa di Bali”. Dalam penelitian tersebut, Sudipa menemukan bahwa adanya interferensi dari bahasa Indonesia yang memengaruhi pilihan penggunaan kata secara semantis, dan sintaksis ketika menulis karangan berbahasa Inggris. Data dikumpulkan dari empat universitas di Bali yang memiliki jurusan bahasa Inggris, yaitu, Universitas Udayana, Universitas Mahasaraswati, Universitas Warmadewa, dan Universitas Pendidikan Ganesha. Data yang terkumpul diklasifikasikan menjadi kesalahan pemilihan leksikon secara semantik, dan kesalahan penggunaan leksikon secara sintaksis. Data yang telah terklasifikasi kemudian disandingkan dengan sistem semantik dan sintaksis bahasa Indonesia. Ditemukan bahwa banyak mahasiswa yang masih menggunakan aturan bahasa Indonesia dalam karangan berbahasa Inggris. Penelitian yang dilakukan oleh Sudipa digunakan sebagai referensi karena kesalahan serupa juga terjadi pada mahasiswa sastra Jepang, Universitas Udayana. Meskipun objek penelitian dan teori yang digunakan berbeda, penelitian ini sangat berguna karena memberikan masukan mengenai konsep interferensi bahasa Indonesia terhadap bahasa asing (bahasa Inggris) mahasiswa yang diteliti. Penelitian ini menggunakan teori analisis kesalahan berbahasa oleh Tarigan (2009). Teori yang disampaikan oleh Tarigan dianggap paling tepat untuk menganalisis data sesuai tujuan penelitian. Kesalahan berbahasa terjadi bukan hanya pada pembelajar bahasa asing, bahkan mereka yang berkomunikasi menggunakan bahasa ibu mereka sendiri kerap membuat kesalahan dalam penggunaan berbahasanya. Menurut Tarigan (2009:14) kesalahan dan kekeliruan merupakan dua terminologi mengenai kesalahan berbahasa yang tidak jauh berbeda dari segi makna. Corder (dalam Indihadi, 2009: 45) menambahkan bahwa ruang lingkup kesalahan berbahasa dapat dijelaskan dalam tiga istilah, yaitu : (1) Lapsessebagai bentuk kesalahan berbahasa akibat penutur beralih cara untuk menyatakan sesuatu sebelum keseluruhan tuturan kalimat selesai dijelaskan dengan lengkap. (2)Error didefinisikan sebagai kesalahan berbahasa akibat penutur melanggar kaidah atau aturan tata bahasa (breaches of code). Kesalahan ini terjadi akibat penutur sudah memiliki aturan (kaidah) tata bahasa yang berbeda dari tata bahasa yang lain, sehingga itu berdampak pada kekurangsempurnaan atau ketidakmampuan penutur. (3) Mistake adalah kesalahan berbahasa akibat penutur tidak tepat dalam memilih kata atau ungkapan untuk situasi tertentu. Kesalahan ini mengacu kepada kesalahan akibat penutur tidak tepat menggunakan kaidah yang diketahui benar, bukan karena kurangnya penguasaan bahasa kedua (B2). Kesalahan disebabkan oleh produk tuturan yang tidak benar. Sebelum mengklasifikasikan kesalahan berbahasa, Tarigan menjelaskan langkah-langkah prosedur untuk mengurangi atau bahkan menghilangkan sama sekali kesalahan-kesalahan berbahasa tersebut sebagai berikut: (1) mengumpulkan data yang berupa kesalahan-kesalahan berbahasa yang dibuat pembelajar, (2) mengidentifikasi dan mengklasifikasi kesalahan; tahap pengenalan dan pemilahmilahan kesalahan berdasarkan kategori ketatabahasaan, (3) membuat peringkat kesalahan yang berarti membuat urutan kesalahan berdasarkan keseringan |2
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
kesalahan-kesalahan itu muncul, (4) menjelaskan kesalahan dengan mendeskripsikan letak kesalahan, sebab-sebabnya dan pemberian contoh yang benar, (5) membuat perkiraan daerah atau butir kebahasaan yang rawan menyebabkan kesalahan, dan (6) mengoreksi kesalahan berupa pembetulan dan penghilangan kesalahan berupa penyusunan bahan yang tepat dan penentuan strategi pembelajaran yang serasi (Tarigan, 2009: 71-72). Tarigan (2009:23) kemudian memberikan klasifikasi kesalahan berbahasa menjadi lima klasifikasi, yaitu : kesalahan berbahasa berdasarkan kosakata (kesalahan leksikal); kesalahan berbahasa berdasarkan ucapan (kesalahan fonologis); kesalahan berbahasa berdasarkan tata bahasa (kesalahan sintaktik); kesalahan berbahasa berdasarkan kesalahanpahaman makna (kesalahan interpretif); kesalahan berbahasa berdasarkan produksi efek komunikatif yang salah (kesalahan pragmatik). Kesalahan berbahasa oleh para responden tersebut ditentukan menggunakan parameter tata bahasa yang benar dalam kedua bahasa sesuai dengan referensi mengenai tata bahasa baik dalam bahasa Indonesia maupun dalam bahasa Jepang. Dengan dilakukan analisis kontrastif, dapat diketahui penyebab-penyebab terjadinya kesalahan berbahasa tersebut. Metode Penelitian Pengumpulan data penelitian ini dilakukan dengan menyebarkan kuisioner terbuka kepada mahasiswa semester enam tahun angkatan 2014/2015. Kuisioner berisi sepuluh pertanyaan yang merupakan percakapan atau konteks situasi yang terjadi antara mahasiswa dan dosen. Konteks yang dipergunakan mengandung tata bahasa yang telah dipelajari oleh mahasiswa tersebut (mahasiswa semester enam telah menyelesaikan pembelajaran bahasa Jepang menggunakan buku Minna no Nihongo Shokyu I dan II). Dari hasil kuisioner tersebut, jawaban diklasifikasikan berdasarkan kesalahannya, kemudian diklasifikasikan lagi dengan taksonomi kesalahan berbahasa yang sama. Setelah terklasifikasi, data kemudian dianalisis sehingga mendapatkan simpulan. Pembahasan Penelitian ini menggunakan kuisioner sebagai instrumen dalam mengumpulkan data. Kuisioner yang terkumpul sangat bervariasi, dan sebagian besar masih sangat dipengaruhi oleh pola kalimat bahasa Indonesia. Kuisioner yang terkumpul sebanyak 54 lembar, dan mahasiswa yang menjadi responden adalah mereka yang dominan menggunakan bahasa Indonesia dalam berkomunikasi sehari-harinya. Analisis data dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu, data diklasifikasikan berdasarkan kesalahan yang dilakukan paling sering. Setelah terpilah, kemudian dianalisis kalimat-kalimat yang dibuat tersebut dibandingkan dengan kalimat dalam bahasa Jepang yang seharusnya (yang baik dan benar). Dari kalimat-kalimat yang salah tersebut, dicari kalimat-kalimat yang memiliki kesalahan sama atau mirip dan kemudian dianalisis penyebab kesalahannya. Kalimat bahasa Jepang tersebut dibandingkan dengan kalimat bahasa Jepang dari data secara langsung sehingga akan terlihat kesalahan-kesalahan yang ada dengan lebih jelas. Berikut adalah kalimat bahasa Jepang yang benar dari kuisioner yang diberikan. |3
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
Pertanyaan dalam kuisioner : 1. Bagaimanakah cara anda memastikan janji tugas bimbingan dengan dosen? 2. Bagaimanakah cara anda menolak suruhan dosen untuk menjadi panitia pada seminar yang diadakan program studi? 3. Bagaimana cara anda memberitahu bahwa dosen anda salah menulis kanji yang ada di papan tulis? 4. Bagiamana cara anda mengusulkan agar tenggat waktu pengumpulan tugas diperpanjang dua hari? 5. Bagaimana cara anda meminta ijin untuk permisi ke kamar kecil di tengah pelajaran? 6. Bagaimana cara anda untuk meminta diijinkan meminjam buku milik dosen? 7. Bagaimana cara anda untuk menawarkan diri membawakan tape yang dibawa oleh dosen? 8. Bagaimana cara anda untuk meminta tolong agar dijelaskan kembali oleh dosen mengenai bab yang belum dipahami? 9. Bagaimana cara anda meminta ijin tidak mengikuti perkuliahan karena ada urusan mendadak? 10. Bagaimana cara anda menyampaikan pada dosen jika ingin meminjam tape untuk dibawa ke kelas? Pertanyaan dalam kuisioner adalah konteks situasi yang harus dibuat oleh mahasiswa. Meskipun hanya sepuluh pertanyaan yang diminta untuk dibuat kalimatnya, akan tetapi dari sepuluh kalimat tersebut telah dapat menjawab pengaruh bahasa Indonesia dalam bahasa Jepang mahasiswa program studi Sastra Jepang, Fakultas Sastra dan Budaya, Universitas Udayana. Konteks percakapan dengan dosen dijadikan sebagai situasi dalam kuisioner karena percakapan dengan dosen merupakan percakapan semiformal yang sarat dengan nilai kesantunan dan terkadang terdapat kesungkanan di beberapa hal. Oleh sebab itu, dalam percakapan tersebut, apakah mahasiswa beralih kode menggunakan bahasa Indonesia dicampur dengan bahasa Jepang, ataukah bahasa Jepang dengan sistem tata bahasa bahasa Indonesia. Data-data kuisioner yang terkumpul kemudian dianalisis bentuk-bentuk kesalahannya (taksonomi kesalahan berbahasanya) dengan harapan dapat menjadi bahan evaluasi demi usaha memperbaiki kesalahan-kesalahan mahasiswa tersebut. Berikut adalah contoh data-data yang dipilih dari kumpulan data, yang memiliki kesalahan paling sering dilakukan. 1. Sensei, sumimasen, watashi wa yanti san nensei desu. Ashita jikan ga arimasu ka. jikan ga attara Soudan shiyou to omoimasu. ‘Ibu (dosen), maaf, saya (mahasiswa) tingkat tiga yanti. Apa besok ada waktu? Kalau ada waktu saya ingin mendiskusikan mengenai tugas saya.’ 2. Sensei, sumimasen, zemi no toki, watashi wa odaran ga arimasu kara, iinkai ni naru kotow o dekimasen. ‘Ibu, maaf, saat seminar, karena saya ada odalan jadi saya tidak bisa menjadi panitia’ 3. sensei, sumimasen, sono kokuban de kaita kanji ga chotto machigaemashita. ‘Ibu, maaf, kanji yang ibu tulis di papan itu salah’ |4
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
4. Sensei, sumimasen, kono shukudai wo atsumaru jikan wa ninichi enchou shitemo ii desuka. ‘Ibu, maaf, jam pengumpulan tugas ini, bolehkah diundur hari dua?’ 5. Sensei, sumimasen, toire e ikasetemo ii deshouka. ‘Ibu, maaf, bolehkah saya ke toilet?’ 6. Sensei, sumimasen, sono hon wo karitemo ii deshouka. ‘Ibu, maaf, bolehkah saya meminjam buku itu?’ 7. Sensei, sumimasen, ano teepu wa motte tetsudaimasen ka. ‘Ibu, maaf, saya bantu bawa tape itu?’ 8. Sensei, sumimasen, ano bun wa wakarimasen kara, mouichido setsumei shite kudasai. ‘Ibu, maaf, bagian itu saya belum mengerti, tolong jelaskan lagi.’ 9. Sensei, sumimasen, taisetsu na youji ga arimasu kara, watashi wa kougi wo suru koto ga dekimasen. ‘Ibu, maaf, karena ada urusan penting, saya tidak bisa memberi kuliah.’ 10. Sensei, sumimasen, watashi wa A sensei no kurasi ni teepu wo totte ikimasu. ‘Ibu, maaf, saya mau ambil tape untuk dibawa ke kelasnya Ibu A.’ Berikut adalah analisis dari data yang secara kuantitas merupakan kesalahan terbanyak yang dilakukan mahasiswa. (Data 1)Sensei, sumimasen, watashi wa yanti san nensei desu. Ashita jikan ga arimasu ka. jikan ga attara soudan shiyou to omoimasu. ‘Ibu, maaf, saya Yanti mahasiswa tingkat tiga. Besok ada waktu? Kalau ada waktu saya ingin bimbingan. Data (1) menunjukkan kesalahan yang dipengaruhi oleh sistem bahasa pada bahasa Indonesia. Dimulai dari klausa Sensei, sumimasen‘Ibu (dosen), saya minta maaf’. Klausa tersebut sangat kental akan pengaruh dari budaya masyarakat Indonesia yang masih memegang erat anggah-ungguh berbahasa dengan para senior, atau mereka yang lebih tua, ataupun mereka yang dihormati. Dalam kehidupan sehari-hari telah menjadi pemahaman (yang tidak selalu benar) bahwa mahasiswa jika menghubungi dosen disamaartikan mengganggu dosen, oleh sebab itu kebanyakan mahasiswa jika menghubungi dosen dengan telepon ataupun pesan pendek di telepon seluler selalu diawali dengan kata maaf. Hal tersebut tidak dapat dikatakan sebagai sesuatu yang salah mengingat kesopanan menunjukkan jati diri seseorang. Hanya saja, mahasiswa kerap menggunakan aturan tersebut dalam bahasa Jepang yang memiliki budaya berbahasa yang berbeda. Dalam berpesan singkat di telepon seluler, mahasiswa tidak meminta maaf, akan tetapi langsung memperkenalkan diri mereka dan tujuan menghubungi dosen. Biasanya aturan-aturan meminta maaf, mengucapkan terima kasih atas bantuan yang telah diberikan, sesegera mungkin disampaikan di surel. Seandainyapun meminta maaf, mahasiswa seharusnya menggunakan leksem honorifik karena meminta maaf pada dosen yang notabene seseorang yang dihormati. Penggunaan kata sumimasen untuk mewakili permintaan maaf mahasiswa ini dikarenakan dalam bahasa Indonesia yang tidak mengenal stratifikasi sistem bahasa, kata maaf dapat digunakan untuk semua kalangan. Sedangkan dalam bahasa Jepang, kata sumimasen‘maaf’, meskipun berarti maaf akan tetapi hanya |5
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
digunakan kepada teman sejawat (kenalan sebaya). Kata permintaan maaf yang digunakan untuk meminta maaf kepada dosen adalah moushiwake gozaimasen ‘maaf’ yang sama-sama berarti maaf dalam bahasa Indonesia, akan tetapi merupakan bentuk honorifik dalam bahasa Jepang. Pada frasa watashi wa yanti sannensei desu‘Saya Yanti mahasiswa tingkat tiga’ terdapat penanggalan partikel yang sangat penting dalam kalimat/frasa bahasa Jepang, dan kesalahbentukan frasa. Frasa tersebut harusnya watashi wa sannensei no Yanti desu. Kesalahan seperti ini kerap terjadi karena perbedaan sistem modifier+inti antara bahasa Indonesia dan bahasa Jepang. Dalam bahasa Jepang inti didahului modifier dan tetap harus ada partikel yang yang memiliki fungsi gramatikal. Sedangkan dalam bahasa Indonesia inti diikuti oleh modifier tanpa harus ada partikel apapun. Bahasa Indonesia (Inti + Modifier)
watashi wa yanti sannensei desu(x) saya Top Yanti tingkat 3 Kop Saya Yanti (mahasiswa) tingkat tiga.
Bahasa Jepang (modifier + inti) desu.(o)
watashi wa sannensei no Yanti saya Top tingkat 3 Gen Yanti Kop. Saya, Yanti (mahasiswa) tingkat tiga
Dari perbandingan struktur kedua bahasa yang berbeda tersebut, sangat jelas terlihat mahasiswa masih terpengaruh sistem tata bahasa dalam bahasa Indonesia saat membuat kalimat dalam bahasa Jepang. Kalimat selanjutnya ashita jikan ga arimasu ka. jikan ga attara soudan shiyou to omoimasu.‘apakah besok ada waktu? Kalau ibu ada waktu, saya bermaksud untuk bimbingan’. Kalimat tersebut dari segi struktur tata bahasa masih berterima, dengan arti bahwa secara tata bahasa kalimat tersebut tidak salah, akan tetapi secara pragmatik kalimat tersebut kurang tepat dan mengandung ketidaksopanan. Karena berbicara kepada dosen, seharusnya mahasiswa menggunakan kata yang lebih sopan (bentuk honorifik). Untuk ungkapan meminta bimbingan, dalam bahasa Jepang sesungguhnya sudah ada frasa yang biasa digunakan untuk maksud tersebut, yaitu soudan ni noru‘meminta bimbingan. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas mengenai perbedaan tersebut, berikut adalah kedua data : Data mahasiswa salah : Sensei, sumimasen, watashi wa yanti san nensei desu. Ashita jikan ga arimasu ka. jikan ga attara soudan shiyou to omoimasu. ‘Ibu (dosen) maaf, saya Yanti (mahasiswa) tinggat tiga. Apa besok ada waktu? Jika ada waktu saya ingin bimbingan’. Kalimat ini seharusnya : Sensei,sannensei no Yanti desu.Shukudai no goshidou ni tsuite, itsu sureba yoroshii deshouka? ‘Ibu (dosen), saya Yanti (mahasiswa) tingkat tiga. Mengenai bimbingan tugas saya, kapankah sebaiknya bisa dilakukan?’ |6
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
Kesalahan yang terjadi adalah penanggalan, kesalahbentukan, dan kesalahan intralingual. (data 2) Sensei, sumimasen, zemi no toki, watashi wa odaran ga arimasu kara, iinkai ni naru kotowo dekimasen. ‘Ibu (dosen) maaf, saat seminar, karena saya ada odalan,tidak bisa menjadi panitia seminar.’ Kalimat di atas terdapat kesalahan interlingual, alasannya bahwa data tersebut secara tatabahasa masih dapat berterima, karena dalam percakapan memang dapat mengandung makna seperti situasi dalam kuisioner. Akan tetapi, cara penyampaiannya tidak sesuai secara pragmatik. Kalimat yang menyatakan secara langsung penolakan adalah kalimat biasanya dihindari oleh masyarakat Jepang. Biasanya orang Jepang tidak akan menyatakan secara langsung (blak-blakan) kalau tidak bisa atau tidak berkenan untuk melakukan permintaan kawan bicara. Dalam bahasa Jepang, penolakan biasanya diungkapkan dengan sungkan dan menghindari kata tidak bisa menjadi kalimat yang menggantung atau hanya diakhiri dengan permintaan maaf. Berikut adalah kalimat bahasa Jepang yang salah dan kalimat bahasa Jepang yang seharusnya : Data dalam bahasa Jepang salah : Sensei, sumimasen, zemi no toki, watashi wa odaran ga arimasu kara, iinkai ni naru kotowo dekimasen. ‘Ibu (dosen) maaf, saat seminar, karena saya ada odalan, tidak bisa menjadi panitia seminar.’ Data dalam bahasa Jepang yang seharusnya : Sensei, seminaa no iinkai ni tsuite, konkai wa chotto…… watashi, dekinakunaru node, taihen moushiwake gozaimasen. ‘Ibu (dosen) mengenai seminar nanti, saat ini sepertinya …… Saya sungguh minta maaf karena tidak dapat berpartisipasi kali ini’ Kesalahan berbahasa yang terjadi adalah kesalahbentukan dan kesalahan intralingual. Kesalahbentukan adalah ditemukannya kesalahan penggunaan partikel dalam frasa ~naru koto wo dekimasen yang seharusnya ~naru koto ga dekimasen‘tidak bisa menjadi…’. Hal tersebut berkaitan dengan status verba dekiru ‘bisa’ yang merupakan verba intransitif, sehingga partikel yang menerangkannya adalah partikel ga. (Data 3) sensei, sumimasen, sono kokuban de kaita kanji ga chotto machigaemashita. ‘Ibu (dosen), maaf, kanji yang ditulis di papan itu sedikit salah’ Data 3 merupakan data mengenai dosen yang melakukan kesalahan menulis huruf kanji di papan tulis dan mahasiswa berniat untuk memberitahukan kesalahan penulisan tersebut. Data tersebut menyebutkan bahwa dosennya melakukan kesalahan dalam menulis yang ditandai verba machigaemashita‘salah’. Pengunaan adverbialchotto‘sebentar’ juga kurang tepat. Adverbia chotto ‘sebentar’ biasanya digunakan untuk menerangkan keterangan waktu, misalnya chotto matte kudasai ‘tolong tunggu sebentar’. Oleh karena itu terdapat |7
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
kesalahurutan penggunaan unsur-unsur bahasa yaitu adverbial dalam kalimat tersebut. Secara pragmatik, data 3 juga kurang tepat karena sangat tidak sopan mengucapkan kata salah secara langsung terhadap kesalahan yang dilakukan dosen di depan kelas baik secara sengaja maupun tidak sengaja. Hal tersebut seharusnya dikemas dalam bahasa yang lebih sopan dan tidak langsung. Berikut perbandingan dua kalimat bahasa Jepang : Kalimat bahasa Jepang yang masih salah : sensei, sumimasen, sono kokuban de kaita kanji ga chotto machigaemashita. ‘Ibu (dosen), maaf, kanji yang ditulis di papan itu sedikit salah’ Kalimat bahasa Jepang yang lebih baik : Sensei, sumimasen, kokuban no kanji no kakijun wa sukoshi chigawanai dewa arimasen ka. ‘Ibu (dosen), kanji yang ditulis di papan, apa tidak sedikit berbeda?’ Frasa chigawanai dewa arimasenka‘tidakkah itu salah’ lebih tepat digunakan karena tidak langsung mengacu pada kesalahan, akan tetapi menggunakan dasar ketidaklangsungan. Alih-alih mengatakan machiagemashita‘salah’, machigawanai dewa arimasenka‘tidakkah itu salah’ dapat dikatakan lebih baik. Adverbia yang digunakan juga adalah sukoshi ‘sedikit’ yang lebih tepat pada konteks tersebut. (Data 4) : Sensei, sumimasen, kono shukudai wo atsumaru jikan wa ninichi enchou shitemo ii desuka. ‘Ibu (dosen), maaf, waktu mengumpulkan tugas ini, bolehkah ditangguhkan hari dua?’ Kesalahan yang terjadi pada data 4 adalah kesalahan interlingual, yaitu digunakannya verba atsumaru‘mengumpulkan’ untuk kata mengumpulkan tugas dan frasa ~shitemo ii desuka‘bolehkah …’ untuk meminta sesuatu. Dalam bahasa Jepang, untuk mengungkapkan kata yang berarti mengumpulkan tugas adalah dashimasu ‘mengeluarkan’, meskipun secara harfiah kata tersebut berarti mengeluarkan, akan tetapi jika disandingkan dengan kata seperti shukudai ‘pekerjaan rumah’ maka kata shukudai wo dashimasu akan berarti ‘mengumpulkan tugas’. Kata ninichi yang tidak memiliki arti dalam bahasa Jepang karena kesalahurutan kata tesebut adalah pengaruh dari bahasa Indonesia yang untuk mengungkapkan maksud mengucapkan kata dua hari, adalah menggunakan kata dua (ni) dan hari (nichi) digabungkan apaadanya. Sedangkan dalam bahasa Jepang, kata ni dan nichi jika digabungkan tersebut tidak memiliki arti yang beterima, karena kata dua hari telah memiliki leksem sendiri, yaitu futsukakan‘dua hari’.Kata ‘bolehkah…’ adalah ungkapan yang biasa digunakan dalam bahasa Indonesia untuk meminta sesuatu (meminta ijin, meminta pertolongan). Akan tetapi dalam bahasa Jepang terdapat frasa yang lebih tepat dan sopan untuk meminta sesuatu (waktu pengumpulan tugas yang diperpanjang) kepada dosen, |8
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
yaitu ~shite itadakemasen ka ‘berkenankah anda’. Kata ini terkesan tidak memaksa dan cenderung tidak langsung sehingga membuat yang mendengar juga lebih nyaman karena tidak dipaksa untuk melakukan atau memutuskan sesuatu. Berikut adalah kalimat bahasa Jepang yang seharusnya. Berikut adalah penggalan kesalahan pada data empat yang dipenggal menjadi beberapa frasa : Frasa I data yang salah : Sensei, sumimasen ‘Ibu, maaf’ Frasa yang seharusnya : Sensei, onegai ga arimasu ga‘Ibu, saya ada permohonan’ : kono shukudai wo atsumaru jikan ‘jam pengumpulan tugas ini’ Ungkapan yang seharusnya: shukudai wo dasu no hi wa‘hari pengumpulan tugas’ atau shukudai no shimekiri hi‘hari pengumpulan tugas’ Ungkapan yang salah : ninichi enchou shitemo ii desuka. ’bolehkah diperpanjang hari dua’ futsukakan gurai made nobashite itadakemasenka. ‘berkenankah untuk memperpanjang kira-kira dua hari lagi?’ Ungkapan yang salah
Data 5 :
Sensei, sumimasen, toire e ikasetemo ii deshouka. ‘Ibu (dosen), maaf, bolehkah saya pergi ke toilet?’
Data mengenai konteks ini paling kerap mengalami kesalahan yang disebabkan kultur berbahasa dalam bahasa Indonesia. Dalam bahasa Indonesia, mahasiswa biasanya menggunakan kata bolehkah untuk meminta ijin melakukan sesuatu. Kata bolehkah ini yang secara langsung padanannya adalah ~temo ii desu ka, sering membuat mahasiswa melakukan kesalahan dengan menerjemahkan semua bentuk meminta ijin atau meminta pertolongan menjadi bentuk ~te mo ii desuka. Kerancuan ini dipengaruhi oleh konsep bahasa Indonesia yang dipelajari mahasiswa terlebih dahulu.Padahal dalam bahasa Jepang terdapat bentuk ~sasete itadakemasenka untuk menyatakan permohonan ijin (memohon agar diijinkan melakukan sesuatu). Hanya saja frasa ~saseru ini juga digunakan untuk mengungkapkan bentuk kausatif, hal tersebut juga menimbulkan keraguan pada mahasiswa untuk menggunakan bentuk ~saseru untuk meminta ijin, karena kawatir malah mengesankan ketidaksopanan. Berikut adalah kalimat yang benar untuk menyatakan keinginan minta ijin pergi ke toilet Kalimat bahasa Jepang yang salah :Sensei, sumimasen, toire e ikasetemo ii deshouka. ‘Ibu (dosen), maaf, bolehkah saya pergi ke toilet?’ Kalimat bahasa Jepang yang benar : Sensei, toire e ikasete itadakemasenka. ‘Ibu, apakah saya diijinkan untuk pergi ke belakang?
|9
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
Data 6.
Sensei, sumimasen, sono hon wo karitemo ii deshouka. ‘Ibu (dosen), maaf, apa saya boleh meminjam buku itu?’ Data ini juga kurang tepat digunakan karena tidak menggunakan bentuk honorifik untuk berbicara kepada dosen. Penggunaan pronominalsono juga kurang tepat karena menggunakan kata itu untuk merujuk pada apa yang dimiliki dosen kurang sopan, sebaiknya frasa sono hon‘buku itu’ diganti menjad sochira no hon‘buku yang itu (Honorifik)’, kemudian kata kariru ‘meminjam’ digunakan dalam kalimat ini cenderung karena terpengaruh oleh sistem bahasa Indonesia. Dalam bahasa Jepang kata meminjam dan meminjamkan memiliki verba yang berbeda. Jika kita menggunakan kata kariru ‘meminjam’ verba tersebut hanya mengacu pada aktivitas kita yang melakukan sesuatu. Akan tetapi, jika menggunakan kata kasu yang berarti ‘meminjamkan’, secara pragmatik kalimat tersebut akan menjadi lebih sopan karena disertai makna yang menyatakan bahwa sensei (dosen) telah bersedia meminjamkan (melakukan sesuatu untuk mahasiswa, yang merupakan perbuatan yang patut dihargai) buku. Kalimat bahasa Jepang yang salah : Sensei, sumimasen, sono hon wo karitemo ii deshouka. ‘Ibu (dosen), maaf, apa saya boleh meminjam buku itu?’ Kalimat bahasa Jepang yang benar :Sensei, sono hon wo kashite itadakemasen ka. ‘Sensei, apakah mungkin meminjamkan buku itu kepada saya.’ Data 7. Sensei, sumimasen, ano teepu wa motte tetsudaimasen ka. ‘Ibu (dosen), maaf, apa bisa saya bantu membawa tape itu?’ Data ini juga sering mengecoh karena dalam bahasa Indonesia dan bahasa Jepang, cara menawarkan bantuan sangat berbeda. Kalau dalam bahasa Indonesia sering terdengar kata ‘bantu’, ‘membantu’ yang berarti melakukan sesuatu untuk seseorang. Dalam bahasa Jepang, pada kalimat yang berarti memberikan bantuan, jarang sekali kata yang berarti membantu digunakan. Jika ingin menawarkan bantuan atau sesuatu biasanya digunakan frasa ~te ageru (memberikan bantuan kepada ~), frasa ~te ageru tersebut dapat juga ditambahkan bentuk ~mashouka menjadi ~te agemashouka ataukah hanya (verba)~mashouka yangdigunakan untuk menghaluskan tawaran bantuan. Mahasiswa jarang menggunakan kata ~mashouka untuk menawarkan bantuan diprediksi karena mahasiswa telah mempelajari bentuk ~mashou ka sebagai bentuk untuk menyatakan ajakan pada semester dasar, dan kuatitas penggunaan bentuk ~mashouka sebagai bentuk mengajak lebih sering sehingga mahasiswa tidak terbiasa menggunakan bentuk ini untuk menawarkan bantuan. Kalimat bahasa Jepang yang salah : Sensei, sumimasen, ano teepu wa motte tetsudaimasen ka. ‘Ibu (dosen), maaf, apa bisa saya bantu membawa tape itu?’ Kalimat bahasa Jepang yang benar : Sensei, teepu omochi shimashouka. ‘Ibu, biar saya yang membawa tape-nya’ | 10
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
Data 8 : Sensei, sumimasen, ano bun wa wakarimasen kara, mouichido setsumei shite kudasai. ‘Ibu, maaf, karena saya tidak mengerti kalimat itu, tolong jelaskan sekali lagi’ Kalimat ini menunjukkan kesalahan karena tidak menunjukkan sopan santun saat meminta bantuan kepada dosen. Penggunaan bentuk imperatif ~te kudasai meskipun dalam bahasa Indonesia kerap diterjemahkan menjadi kata ‘tolong’, akan tetapi ~te kudasai adalah bentuk imperatif yang biasanya digunakan kepada orang yang sebaya atau berkedudukan di bawah pembicara. Oleh sebab itu, ~ te kudasai tidak tepat digunakan dalam konteks tersebut. Dalam situasi ini dan seharusnya diganti dengan bentuk permintaan tolong onegai shimasu yang meskipun sama-sama dapat diterjemahkan menjadi kata ‘tolong’ dalam bahasa Indonesia, akan tetapi mengandung bentuk hormat (honorifik) sehingga lebih sopan. Kata wakarimasen ‘tidak mengerti’ juga biasanya ditambahkan adverbial untuk lebih menjelaskan kadar ketidakmengertian akan suatu subbab/ bab yang sedang ditanyakan. Adverbia yang sering digunakan adalah mada‘belum’ atau yoi‘baik, benar, sungguh’ yang jika disandingkan dengan verba akan berganti menjadi bentuk yoku dengan makna yang sama. Adverbia tersebut jika ditambahkan dengan kata wakarimasen akan menjadi mada yoku wakarimasen‘masih belum mengerti dengan baik’. Kata sambung ~kara yang berarti ‘karena’, jika berbicara dengan orang yang lebih dihormati biasanya diganti menjadi node dengan makna yang sama ‘karena’, hanya saja node lebih sopan daripada kara dan digunakan pada konteks yang lebih formal. Adakalanya juga diganti dengan partikel ga yang terkadang menjadi penanda topik, tetapi jika berada diakhir kalimat/klausa kerap digunakan untuk menyatakan kesungkanan atau keragu-raguan. Mengungkapkan atau memperlihatkan kesungkanan saat meminta tolong adalah hal yang baik karena perilaku tersebut memperlihatkan kesadaran pembicara bahwa meminta tolong tersebut merupakan perbuatan yang merepotkan atau menyusahkan sehingga sebaiknya tidak meminta tolong dengan ringan hati. Kalimat yang salah : Sensei, sumimasen, ano bun wa wakarimasen kara, mouichido setsumei shite kudasai. ‘Ibu, maaf, karena saya tidak mengerti kalimat itu, tolong jelaskan sekali lagi’ Kalimat yang benar : Sensei, ano mondai wa mada yoku wakarimasen ga, mouichidou setsumei shiteitadakemasen ka. ‘Ibu, saya masih belum mengerti dengan baik perihal bab ini, apa Ibu bisa menjelaskannya sekali lagi?’ (Data 9) Sensei, sumimasen, taisetsu na youji ga arimasu kara, watashi wa kougi wo suru koto ga dekimasen. ‘Ibu, maaf, karena ada urusan penting, saya tidak dapat memberi kuliah’ Data ini menunjukkan kesalahan pada frasa taisetsu na youji ga arimasu kara‘karena ada urusan penting’. Secara harfiah frasa ini tidak ada kesalahan dari segi tata bahasanya, ungkapan ini memang berarti ‘karena ada urusan penting’, | 11
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
akan tetapi biasanya taisetsu na youji ini jarang disebutkan dalam percakapan terutama dengan dosen apabila mengenai urusan pribadi mahasiswa. Hal ini adalah hal yang sering dilakukan mahasiswa di Indonesia jika meminta ijin dengan menjelaskan alasan ketidakhadiran. Untuk menyampaikan ketidakhadiran biasanya hanya disampaikan kyuuyou ga arimasu‘ada urusan mendadak’ yang dapat juga menyatakan itu penting. Alasan yang terlalu pribadi tidak akan disampaikan kecual diperlukan untuk disampaikan kepada dosen. Klausa watashi wa kougi wo suru koto ga dekimasen‘saya tidak dapat memberikan kuliah’ juga merupakan kesalahan yang terjadi karena kekurangtahuan mahasiswa terhadap verba yang benar. Konteks kalimat yang diberikan adalah agar mahasiswa mengatakan tidak dapat mengikuti kuliah, akan tetapi verba yang digunakan oleh mahasiswa adalah kougi wo suru‘memberikan kuliah’. Hal ini berdasarkan pada pemahaman mahasiswa bahwa suru tersebut berarti ‘melakukan’ sehingga jika kougi ‘kuliah’ digabungkan dengan suru ‘melakukan’ mahasiswa otomatis akan berpikir bahwa melakukan kuliah sama dengan kuliah itu sendiri. Hal ini juga dikarena mahasiswa telah mempelajari verba bentuk mengajar oshieru dan untuk belajar benkyou suru, oleh sebab itu mahasiswa tidak terbiasa menggunakan variasi leksem yang lain. Padahal untuk kata mengikuti perkuliahan itu sendiri sudah ada verba sendiri yaitu kougi ni deru. Verba kougi ni deru jika diurai berasal dari kata kougi‘kuliah’ dan kata deru‘keluar’, arti kata deru ini kerap mengecoh mahasiswa yang tidak mengetahui makna verba ini, kata deru yang berarti keluar cenderung menggiring mahasiswa untuk berpikir bahwa verba ini bukan berarti mengikuti perkuliahan akan tetapi sebaliknya keluar dari perkuliahan atau membolos. Kalimat bahasa Jepang yang salah : Sensei, sumimasen, taisetsu na youji ga arimasu kara, watashi wa kougi wo suru koto ga dekimasen. ‘Ibu, maaf, karena ada urusan penting, saya tidak dapat memberi kuliah’ Kalimat bahasa Jepang yang benar : Sensei, kyuuyou ga arimasu node, honjitsu no kougi ni deru koto ga dekimasen. ‘Ibu, karena ada urusan mendadak, saya tidak dapat mengikuti perkuliahan hari ini.’ (Data 10) Sensei, sumimasen gakka no teepu wo jugyou no tame ni kurasu ni omochi yoroshii deshou ka. ‘Ibu, apa tape milik jurusan boleh saya pinjam untuk dibawa ke kelas?’ Kesalahan yang terjadi pada data 10 terletak pada pemilihan leksem gakka yang mengacu pada ‘jurusan’ dan adanya penanggalan pada verba bentuk honorifik di akhir kalimat. Kata gakka sebaiknya diganti dengan jimusho ‘kantor; jurusan’ karena jimusho lebih bermakna kantor itu sendiri dibandingkan dengan gakka yang sifatnya abstrak. Kemudian, penanggalan verba shite dan morfem -mo sebelum yoroshii juga membuat kalimat tersebut salah. Kata omochi akan menjadi kata bentuk honorifik yang ditujukan pada orang yang lebih tua, sedangkan yang sedang berbicara adalah mahasiswa. Oleh sebab itu, kata omochi seharusnya ditambahkan shimasu sehingga menjadi omochi shimasu, yang berarti membawa dan memiliki aspek menunjukkan posisi yang berbicara lebih kecil, lebih muda | 12
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
atau kedudukannya lebih rendah. Kata yoroshii ‘baik’ tidak dapat menjadi bermakna minta ijin dikarenakan tidak ada kata ~te mo yang merupakan satu kesatuan frasanya. Oleh sebab itu, kata shimasu harus diubah bentuknya menjadi bentuk ~te (renyoukei) menjadi shite dan diikuti kata mo yoroshii menjadi omochi shitemo yoroshii‘bolehkah saya bawa’. Berikut adalah perbandingan kalimat yang salah dan kalimat yang benar : Kalimat yang salah : Sensei, sumimasen gakka no teepu wo jugyou no tame ni kurasu ni omochi yoroshii deshou ka. ‘Ibu, apa tape milik jurusan boleh saya pinjam untuk dibawa ke kelas?’ Kalimat yang benar : Sensei, shitsurei itashimasu, jimushou no teepu wo jugyou no tame ni, kurasu ni omochi shitemo yoroshii deshouka. ‘Ibu, maaf mengganggu (permisi), apa boleh saya bawa tape yang ada di kantor (jurusan) ke kelas untuk belajar? Penutup Dari hasil pembahasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa hampir di kesepuluh data yang dianalisis, sebagian besar kesalahan yang terjadi adalah kesalahbentukkan (misformation ). Diantara keempat taksonomi kesalahan berbahasa, penulis menganggap kesalahbentukkan sebagai kesalahan yang paling berat dikarenakan kesalahbentukkan melingkupi kesalahan pemilihan kosakata, kesalahan penggunaan tatabahasa, kesalahan penggunaan partikel, dan kesalahpahaman mahasiswa terhadap konsep sistem bahasa bahasa Jepang. Halhal tersebut terjadi karena adanya overgeneralitation oleh mahasiswa terhadap tata bahasa bahasa Jepang dan makna kosakatanya. Kekurangpahaman mahasiswa terhadap bahasa target membawa banyak kekurangan dalam penguasaannya. Faktor transfer budaya yang tidak sempurna juga mewarnai kesalahan-kesalahan berbahasa mahasiswa. Oleh sebab itu, saat menyampaikan materi apapun, terutama materi tatabahasa sangat penting untuk menyertakan materi budaya agar mahasiswa dapat menggunakan materi yang dipelajari bukan hanya dengan benar tetapi juga dengan tepat dan alami.
| 13
言葉ジャーナル(Jurnal Kotoba) Vol. 3 2016
Daftar Pustaka Juaningsih, Juju. 2010. Analisis Kesalahan Bahasa Jepang Dilihat Dari Latar Belakang Cara Pemerolehan Bahasanya. Seminar Gakkai Korwil Jabar. Mahsun,M.S.2005.Metode Penelitian Bahasa.Jakarta:Rajawali Pers. Nugraha, Tri Setya. 2001. Kesalahan-kesalahan Berbahasa Indonesia Pembelajar Bahasa Indonesia sebagai Bahasa Asing : Sebuah Penelitian Pendahuluan. Jurnal Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Sanata Darma. Prasetya, Ika Wahyu, dkk. 2013. Analisis Kesalahan Berbahasa Tuturan Mahasiswa dalam Seminar Proposal Skripsi Mahasiswa. Jurnal Pancaran, Vol.2, No. 2. Sudipa, I Nengah. 2012. Pengaruh Negatif Sintaksis dan Semantik Bahasa Indonesia pada Bahasa Inggris Tulis Mahasiswa di Bali. Jurnal Pustaka Volume XII, No. 1. Tarigan, Henry Guntur. 1988. Pengajaran Analisis Kesalahan Berbahasa. Bandung : Penerbit Angkasa. ______________________. 1989. Pengajaran Remedi Bahasa: Suatu Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Depdikbud.
| 14