Perbuatan Melawan Hukum …
PERBUATAN MELAWAN HUKUM DALAM HUKUM PERIKATAN ISLAM DAN HUKUM PERIKATAN POSITIF
(Studi Perbandingan) Oleh: Abdurrahman Zanky Mahasiswa Pascasarjana UIN Maulana Malik Ibrahim Malang
[email protected] Abstrak Perbuatan melawan hukum merupakan perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, yang mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut. Tulisan ini akan mendiskusikan perbuatan melawan hukum dalam prespektif hukum positif dan prespektif hukum Islam. Dengan memaparkan beberapa pendapat para ahli dibidangnya. Kata Kunci: perbuatan melawan hukum, hukum perikatan Islam, hukum perikatan positif PENGANTAR Walaupun hukum merupakan sesuatu yang sering dijadikan cerminan dalam kehidupan sehari-hari dan sudah sejak lama para sarjana memperdebatkan pengertian tentang hukum, namun, mereka merasa belum menemukan pengertian yang memuaskan tentang hukum.1 Namun demikian, dari semua pendapat sarjana tentang hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu hukum harus memiliki unsur-unsur sebagai berikut: peraturan mengenai tingkah laku manusia; diadakan oleh badan resmi; bersifat memaksa; dan terdapat sanksi bagi pelanggar peraturan tersebut.2 Meski unsur-unsur hukum telah sesuai dengan ketentuan tersebut di atas, namun sering kali terjadi katidaksesuaian hukum dengan tujuan hukum yaitu keadilan dan ketentraman dalam kehidupan masyarakat. Adanya perbedaan penafsiran, lebih-lebih ketika perbedaan tersebut senantiasa muncul dari para penegak hukum. Walaupun fenomena tersebut wajar saja terjadi ketika kita sadari bahwa pembentukan suatu hukum dihadapkan pada dua teori, C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), 38. 2 Seperti yang dikutip oleh C.S.T. Kansil dari W.L.G. Lemaire. Ibid., 36. 1
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
81
Abdurrahman Zanky
pertama, hukum dirumuskan setelah terjadi kasus hukum dalam masyarakat. Kedua, hukum dibuat oleh penguasa, tanpa mempertimbangkan realita yang terjadi dalam masyarakat. Perbedaan inilah tentunya akan berimplikasi pada produk hukum. Pada teori pertama, hukum yang dihasilkan akan lebih sesuai dengan kondisi dan realita yang terjadi, serta lebih efektif, sebaliknya yang kedua, hukum akan melangit, dan cenderung lebih sulit ditegakkan. Oleh karena itu walaupun hukum menganut paham kepastian hukum dan rigit, tetapi hukum tetap harus terbuka untuk interpretasiinterpretasi lain yang sesuai dengan kebutuhan dan keadilan pada masyarakat. Penafsiran diharapkan senantiasa mengiringi gerak perkembangan dan dinamika masyarakat. Karena itu senantiasa diperlukan pengkajian ulang atas ketetapan hukum yang sudah ada, apakah hukum masih sesuai ataukah sudah layu sehingga perlu disegarkan dengan penafsiran yang lebih membumi. Selanjutnya dalam uraian di bawah ini akan ditampilkan deskripsi Onreckmatigadaad atau perbuatan melawan hukum dalam dua prespektif, yaitu perikatan hukum Islam dan perikatan hukum positif, sebagai upaya komparatif. PERBUATAN MELAWAN HUKUM MENURUT HUKUM POSITIF
Definisi Hukum perikatan diatur dalam buku III KUH Perdata, perikatan dipahami sebagai hubungan hukum antara dua pihak, berdasar mana pihak yang satu (kreditur) berhak menuntut sesuatu hal (prestasi) pada pihak lain (debitur), yang berkewajiban memenuhi tuntutan itu.3 Istilah perikatan sendiri merupakan terjemahan dari bahasa Belanda, Verbintenis 4 Sumber perikatan dalam hukum pidana sebagaiman disebutkan dalam KUH Perdata pasal 1233 ada dua yaitu: (1) adanya undangundang; (2) adanya perjanjian. Adapun syarat sah perikatan, sesuai dengan KUH Perdata pasal 1320: (1) sepakat mengikatkan dirinya; (2) kecakapan untuk membuat suatu perikatan; (3) sesuatu hal yang tertentu; (4) sesuatu sebab yang halal. Sementara perikatan yang disebabkan oleh undang-undang terbagi dua, akibat perbuatan orang dan karena undang-undang. Adapun akibat perbuatan orang meliputi perbuatan menurut hukum Prof. Subakti, SH, sebagaiman dikutip oleh Hartono Hadi soeprapto, Pokokpokok Hukum Perikatan dan Jaminan (Yogyakarta: Liberti, 1984), 28. 4 Ibid., 27. 3
82 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Perbuatan Melawan Hukum …
(zaakwaarneming) dan perbuatan melanggar (Onreckmatigadaad). Untuk lebih mudahnya mari kita lihat skema berikut: 5
Sumber perikatan Ps. 1233
hukum
Undangundang Ps. 1352
Undangundang Ps. 104 & 625
Perb. Menurut hukum (zaakwaarnemingg) Ps. 1354 & 1359
Perjanjian Ps. 1313
Akibat perbuatan Ps. 1353
Perb. Melawan hukum (onrechtmatigedaad) Ps. 1365
Kekhilafan mengenai hakekat barang, paksaan dan penipuan mengakibatkan batalnya perikatan sesuai dengan pasal 1322 s.d pasal 1328 KUH Perdata.6 Selanjutnya pembahasan di sini akan difokuskan –sesuai dengan judul makalah di atas- hanya pada perbuatan melawan hukum (Onreckmatigadaad ) Disebutkan dalam pasal 1365 KUH Perdata tentang perbuatan melawan hukum: "Tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu mengganti kerugian tersebut." Dari bunyi pasal tersebut, paling tidak dapat diambil unsurunsur pokok dalam perbuatan melawan hukum itu, yaitu: (1) adanya tindakan atau perbuatan; (2) perbuatan itu harus melawan hokum; (3) pelaku melakukan kesalahan; (4) adanya hubungan sebab akibat antara perbuatan dan kerugian pihak lain; (5) adanya kerugian. Selanjutnya disebutkan dalam pasal 1366 "…tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau kurang hati-hatinya." Dari sini dapat dipahami bahwa Onreckmatigadaad tidak hanya terbatas pada perbuatan aktif saja, tetapi juga perbuatan pasif, yaitu tidak berbuat apa-apa atau membiarkan sesuatu yang merugikan orang lain terjadi (nataligheid). Kelalaian (nataligheid) yang dapat menimbulkan Onreckmatigadaad hanyalah kelalaian sebab "untuk berbuat sesuatu" atau "tidak berbuat” saja, bukan kelalaian "untuk memberikan sesuatu." Ketika debitur disebut "melakukan kesalahan" ketika "tidak Purwahid Patrik, Dasar-dasar Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang, (Bandung: Mandar Maju, 1994), 9. 6 Ibid. 5
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
83
Abdurrahman Zanky
memberikan sesuatu" misalnya wanprestasi, yaitu ketika debitur tidak dapat memenuhi sebagian atau seluruh prestasi yang menjadi tanggung jawabnya atau dia memenuhi prestasi namun tidak sesuai/baik. Walaupun atas terjadinya wanprestasi tersebut Prof. Subaekti berpendapat bahwa ketika itu kreditur dapat memilih antara beberapa kemungkinan, sesuai dengan KUH Perdata pasal 1243 sampai dengan pasal 1252 tentang pengganti kerugian: (1) meminta pelaksanaan perjanjian; (2) meminta penggantian kerugian saja; (3) meminta pelaksanaan perjanjian dan penggantian kerugian; (4) meminta kepada hakim agar perjanjian dibatalkan.7 Bentuk atau wujud ganti rugi yang tersebut harus berupa uang, sebagai ganti biaya, rugi dan bunga, sesuai dengan KUH Perdata pasal 1243 dan 1244 .8 Kedua, overmacht yaitu kondisi di mana seorang debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya menyerahkan prestasi disebabkan karena debitur tidak dapat mengetahui keadaan yang akan terjadi ketika membuat perikatan, atau dengan kata lain kejadian tersebut diluar kekuasaan debitur. Misalnya karena adanya larangan untuk impor suatu barang. Berbeda dengan wanprestasi, dalam overmacht akibat yang timbul adalah: (1) Kreditur tidak dapat meminta pemenuhan prestasi; (2) Debitur tidak dapat dinyatakan lalai, karenanya debitur tidak dapat dituntut untuk menanggung ganti rugi; (3) Resiko tidak beralih pada debitur.9 Sedangkan perbuatan melawan hukum, harus mengandung: (1) Perbuatan. Pasal 1365 menyatakan tentang perbuatan yang positif, selanjutnya pasal 1366 tentang kelalaian atau kekurang hati-hatian (tidak berbuat); (2) Melawan hukum. Melawan hukum memiliki dua arti. Arti sempit, pendapat ini dianut sebelum tahun 1919 pendapat H.R, yaitu hanya mencakup perbuatan-perbuatan yang melawan hukum atau bertentangan dengan undang-undang saja. Adapun arti luas, menganggap bahwa Onreckmatigadaad tidak hanya perbuatan yang melawan hukum saja, melainkan tiap-tiap perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan.10 Dalam perjalanannya para sarjana hukum sejak tahun 1890 telah 7 Hartono
Hadi soeprapto, Pokok., 45. Ibid. 9 Ibid.hlm. 47 10 Hartono Hadi soeprapto, Pokok., 33. 8
84 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Perbuatan Melawan Hukum …
meninggalkan pendapat yang sempit tersebut, dan beralih kepada pendapat yang yang memberikan arti secara luas, termasuk di Indonesia. Mereka memakai paham ini dengan alasan bahwa tidak semua kepentingan manusia diatur dalam undang-undang, karena kepentingan manusia senantiasa berkembang, sehingga tentunya diperlukan penafsiran yang luas untuk mengikuti dinamika perubahannya11 Penafsiran seperti inilah yang nantinya akan dapat memenuhi kebutuhan hidup masyarakat. 1. Kesalahan. Pengertian kesalahan adalah menurut pendapat umum yang telah diobyektifkan hingga dipergunakan sebagai ukuran umum, apakah manusia normal dalam keadaan demikian perbuatannya dianggap bersalah atau dapat dipertanggungjawabkan. Vollmar menguji adanya kesalahan dengan pertanyaan sebagai berikut: a). Apakah orang yang bersangkutan umumnya dapat dipertanggung- jawabkan atas perbuatannya itu?; dan b). Apakah ada keterpaksaan atau darurat? Ketika perbuatan itu dilakukan oleh beberapa orang, maka setiap orang dari beberapa orang dapat dibebani pertanggungjawaban untuk seluruhnya. Demikian pula ketika perbuatan badan hukum ternyata melawan hukum, maka ia harus menanggung perbuatan dari wakil-wakilnya, karena itu merupakan tuntutan keadaan.12 2. Adanya hubungan sebab akibat, yaitu sebab akibat atas suatu pertanggungjawaban atas dasar kepatutan. 3. Kerugian. Kondisi ketika kreditur tidak mendapatkan prestasi yang semestinya menjadi haknya.
Terutama yang terjadi dalam dunia perdagangan yang kadang menjurus pada perdagangan yang kapitalis dengan tujuan keuntungan semata. Sehingga di Belanda pada tahun1915 diadakan penambahan peraturan berupa larangan untuk persaingan tidak jujur dalam pasar. Di Belanda juga ditambah UU tentang hak atas merek yang terkenal dengan Merkenwet 1898. sedang di Indonesia UU no 21 tahun 1961 tentqng merk, UU no. 39 tahun 1989 tentang hak paten di Indonesia. Lihat J. Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Undang-undang (Bandung: Citra Aditiya bakti, 1993), 158. hal ini menunjukkan perlunya hukum mengikuti dinamika perubahan pada masyarakat. Karena itulah terdapat ilmu sosiologi hukum dan filsafat hukum. 12 Prof. Purwahid Patrik, SH, Dasar-dasar., 83. 11
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
85
Abdurrahman Zanky
Penggantian kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak diatur oleh undang-undang, maka dari itui penggantian kerugian ditetapkan peraturan-peraturan pengganti kerugian karena wanprestasi secara analogis. 13 Sebagai penjelasan dapat dikemukakan bahwa gugatan kerugian adalah sebagai berikut: (1) dapat berupa uang; (2) memulihkan dalam keadaan semula; (3) larangan untuk mengulangi perbuatan sejenis; (4) dapat meminta persetujuan hakim bahwa perbuatannya adalah melawan hukum14 Adapun yang dapat digugat sesuai dengan pasal 1365 adalah: (1) pengerusakan barang (kerugian material); (2) gangguan (hinder, menimbulkan kerugian immaterial yaitu mengurangi kenikmatan atas sesuatu); (3) menyalahgunakan hak (keuntungan tidak sesuai dengan kerugian yang diderita orang lain dan menikmati hak sematamata untuk merugikan orang lain)15 Beberapa Permasalahan dan Pembahasan dalam Perbuatan melanggar Hukum Terdapat beberapa permasalahan dan pembahasan dalam perbuatan melanggar hukum antara lain: (1) perbuatan yang dilakukan oleh penguasa memiliki tanggung gugat yang sama dengan rakyat biasa; (2) kerugian yang disebabkan oleh hewan atau barang (mis. Bangunan roboh), maka dibebankan kepada pemiliknya atau si pemakainya; (3) perbuatan yang dilakukan oleh orang yang dalam tanggungjawabnya, dibebankan kepada orang yang penanggungjawab; (4) tanggunggugat produk dibebankan kepada produsen sebagai pembuat barang tersebut; (5) tanggunggugat lingkungan hidup diserahkan pada pembuat pelanggaran hukum tersebut; (5) pembunuhan atau pelukaan, maka yang mengganti rugi adalah pelaku; (6) ganti rugi penghinaan, sebagaimana telah diatur pasal 1372 dan 1380 KUH Perdata, dilaksanakan oleh pelaku.16
Ibid., 84. Lihat pula Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Perdata Hukum Perutangan (Yogyakarta: UGM, 1975), 60. Sri menabbahkan bahwa disamping ganti rugi, orang yang dirugikan juga dapat meminta pemulihan keadaan semula. Ibid. 14 Prof. Purwahid Patrik, SH, Dasar-dasar., 84. 15 Ibid., 85. 16 Ibid., 87 - 108. 13
86 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Perbuatan Melawan Hukum …
PERBUATAN MELAWAN HUKUM MENURUT ISLAM Kajian tentang tindakan melawan hukum (al-'amal goiru masyru') dalam fiqh Islam –sejauh pelacakan penulis- tidak ditemukan prinsip-prinsip umum yang dapat dijadikan acuan. Selain contohcontoh perbutan hukum yang tersebar dalam beberapa fasal dan sub bahasan dalam kitab fiqh. Pemilahan ke dalam bidang pidana dan perdata tidaklah semudah yang terdapat dalam hukum pidana positif, karena memang hukum Islam adalah hukum yang memiliki karakter nuansa teologis. Sehingga perumusan tindakan melawan hukum tersebut secara induktif dilakukan dengan menggali secara langsung dari sumber-sumber normative dari nas al-Qur'an dan Hadis maupun produk-produk fiqh, sebagaiman yang dilakukan oleh as-Sanhuri. Perbuatan melawan hukum dalam perikatan Islam merupakan sebutan bagi pelanggar yang melanggar hak-hak adami (privat)17 khususnya dalam hak kebendaan individu, baik yang bersumber dari hukum normative maupun perjanjian/perikatan yang telah disepakati. Karena hal itu merupakan pelanggaran hukum maka memiliki konsekwensi sanksi atas perbuatan tersebut yang secara global diatur dalam hukum tanggungan atau jaminan. (ad-daman, alkafalah, at-taghrim) 18 Dalam hukum Islam hak dibedakan menjadi dua kategori, yaitu hak Allah dan hak adami (hamba). Hak Alah adalah segala hak yang berhubungan dengan pemeliharaan kemaslahatan umum (public) dan tidak dikhususkan untuk kepentingan individu (privat). Yang terasuk di sini ada delapan kelompok. (1) kewajiban ibadah murni, (2) sanksi pidana murni, (3) sanksi pidana terbatas, seperti terhalang mewarisi harta, (4) sanksi dalam beberapa alternative, seperti dalam kafa'ah, (5) kewajiban ibadah untuk kesejahteraan umum, seperti zakat (6) kewajiban melaksanakan sesuatu untuk kesejahtearaan umum, yang menyerupaui pajak, (7) kesejahteraan yang mengandung makna ibadah, dan (8) kewajiban zakat harta kekayaan. Sedangkan hak adami adalah hak yang berhubungan dengan kemaslahatan jhusus (indifidu) , seperti diyat dan jaminan. Jika terdapat penggabungan antara dua hak, tetapi hak Allah lebih dominant, seperti dalam qodaf maka dikategorika hak Allah. Sebaliknya ketika hal adami lebih diminan, maka dikategorikan dalam hak adami, seperti dalam qisas,. Lihat Abd ar-Razzaq as-Sanhuri, Masadir al-Haqq fi Fiqh al-Islam (Ttp. Tnp. 1958), I: 44-45. 18 Ad-daman menurut bahasa berarti al-iltizam (ketetapan), at-taghrim (penanggungan), dan al-Kafalah (menanggung). Lihat A.D. 'Ali Fauzi Faidullah, Nadariyyat ad-Daman fi al-Fiqh al-Islami al-'Ami (Kuwait: Dar at17
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
87
Abdurrahman Zanky
Menurut fuqaha', ad-Daman adalah kewajiban/tanggungan untuk menunaikan atau menyerahkan hak, atau sebagai ganti rugi atas kerusakan atau bahaya, baik dengan harta ataupun perbuatan, sekarang atau akan datang.19 Dalam hukum positif disebut ganti rugi perdata murni (ad-tadwin al-madani al-mahd).20 Menurut as-Sanhuri tanggungan dibedakan dalam dua hal yaitu tanggungan yang timbul sebab perjanjian, dan tanggungan yang muncul sebab perbuatan tertentu. Untuk jenis yang kedua tidak muncul selama tidak terdapat kriminal berupa harta. Namun demikian para fuqaha' sudah berupaya menjelaskan dengan kategori: 1. dalam sebagaian tindak pidana yang mengharuskan sanksi had atau sanksi public, seperti tindak pidana pencurian. Maka terdapat dua sanksi hukum, yaitu sanksi potong tangan dan sanksi perdata berupa pengembalian barang yang telah dicuri. Demikian pula dalam kasus penyamun, yaitu sansi pidana had dan sanksi perdata, mengembalikan barang yang diambil, atau ketika barang tersebut rusak, mengganti dengan nilai barang dan kerugian yang terjadi.21 2. pemaksaan (ikrah), yaitu tindak pemaksaan terhadap orang lain yang sebenarnya dalam kondisi wajar, ia tidak akan melakukan hal itu. Jika karena pemaksaan tersebut timbul kerugian atau pelangaran hukum pada pihak ketiga, maka yang menanggung adalah pemaksa (mukrih), walaupun kerugian tersebut ditimbulkan dengan cara tidak langsung.22 3. Penipuan (at-Tagrir). Kerugian yang timbul disebabkan karena penipuan pada dasarnya tidak ada tanggungan pada pelaku.23 4. Gasab, atau mengambil barang berharga, terhormat milik orang lain dengan tanpa izin dari pemiliknya, dengan cara menghilangkan kesempatan pemanfaatan barang buat pemiliknya. Gasab mewajibkan pelakunya untuk segera mengembalikan barang tersebut pada pemiliknya disertai pembiayaan pengembalian tersebut. Seandainya barang tersebut Turas, 1986), 13-14. 19 Ibid. 20 Abd ar-Razzaq as-Sanhuri, Masadir., I:50. 21 Ibid., I: 50-51. 22 Ibid. 23 Ibid., I:551-52.
88 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Perbuatan Melawan Hukum …
sudah mengalami penyusutan nilai, maka pelaku harus menangung kerugian tersebut.24 5. Merusak barang, (itlaf), baik spontan maupun dengan diselingi perbuatan lain. Perbuatan spontan adalah perbuatan tanpa diselingi pekerjaan lain secara langsung merusak suatu barang. Sedangkan perusakan tidak secara spontan adalah jika diselingi oleh pekerjaan lain. Dalam sebuah kaidah disebutkan bahwa pengrusakan secara langsung mewajibkan ganti rugi secara langsung pula, namun perusakan secara tidak langsung maka tidak ada tanggungan, kecuali jika dilakukan dengan sengaja dan melampaui batas.25 Dari beberapa kasus di atas dapat disimpulkan bahwa menurut hukum Islam perbuatan dianggap melanggar hukum ketika: a). ada perbuatan atau tindakan; b). perbuatan tersebut melanggar hak orang lain; c). perbuatan tersebut bertentangan dengan kewajiban hukum pelaku; d). merugikan kerugian pihak lain; dan e). perbuatan tersebut muncul dari kemaun sendiri. Ad-Daman Sebagai Akibat Perbuatan Melawan Hukum Terdapat tiga sebab munculnya ad-daman, yaitu: ketetapan syara' (ilzam asy-syari'), ketentuan sebab adanya akad (al-iltizam bi al'aqd) dan sebab melakukan perbuatan merugikan (al-idrar).26 ketetapan syara' (ilzam asy-syari'). Yaitu ganti rugi yang besarnya telah ditetapkan oleh syara', karena itu manusia (al-abd) tidak berhak untuk menetapkannya. Beberapa contoh kasus: pengganti atas perbuatan berburu di tanah haram adalah sama dengan hewan tersebut, atau senilai dengan hewan yang diburu, atau puasa. Dengan dasar firman Allah:
... وهي قتله هٌكن هتعودا فجزاء هثل ها هي الٌعن, ال تقتل الصيد واًتن حزم...
27
Demikian juga kafarah (penghapus kesalahan) melaggar sumpah, sengaja tidak puasa dibulan Ramadhan, menarik kembali addihar (menyerupakan istri dengan ibu), dalam semua itu Syara' telah 24 Ibid.,
I:52-54. Ibid., I:54-55. bandingkan dengan pendapat Faidhullah yang membagi macam ad-daman : al-Gasab, al-Itlaf (al-Ifsad, al-Istihlak, al-Ihlak), wad'u al-Yad. Lihat A.D. 'Ali Fauzi Faidullah, Nadariyyat., 86-87. 26 A.D. 'Ali Fauzi Faidullah, Nadariyyat., hlm 19. 27 Al-Ma'idah (5):95. 25
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
89
Abdurrahman Zanky
menetapkan denda sebagai hukuman, harta tersebut diserahkan kepada fakir miskin. Firman Allah:
, ولكي يؤخذكن بوا عقدتن االيواى,ال يؤخذكن هللا باللغو في ايواًكن 28 ... فكفارتهاطعام عشزة هساكي ثن يعودوى لوا قالوا فتحزيز رقبت هي قبل,والذيي يظاهزوىهي ًساءهن 29 ... اى يتواسا 1. Ketetapan ad-Daman disebabkan oleh 'aqad (al-iltizam bi al-'aqd). Yaitu keharusan untuk mengganti rugi disebabkan oleh adanya kesepakatan antara dua orang yang berakad/pelaku perikatan. Jadi bukan karena ketetapan Syara'. Dalam hal ini terdapat empat kategori: a). akad yang menurut kejadiannya –memangmengandung ad-daman. Akad ini disebut akad ad-daman; b). Akad yang –sebenarnya tidak mengandung ad-daman, namun dalam perjalanannya senantiasa/sering mengandung ad-daman. Disebut akad ad-daman contoh: akad jual beli, suluh, akad nikah; c). akad yang mengandung kepercayaan dan penjagaan serta terkadang keuntungan. Akad ini disebut akad amanah. Contoh: 'ariyah, Syirkah, wakalah dan wasoya; dan d). Akad yang mengandung keduanya, mengandung amanah dan ad-daman. Disebut dengan uqud mazdujad bi al-atsar. Seperti akad ijarah, dan rahn.30 Disyaratkan bagi orang yang menanggung (al-kafil) memiliki kecakapan serta bukan paksaan (ahli at-tabarru'). Adapun sanksi atau putusan, ditetapkan sesuai dengan kasus-kasus yang terjadi berdasar keadilan dan kemaslahatan, serta sesuai dengan undang-undang yang berlaku. 2. Perbuatan yang membahayakan atau merusak (fi'l ad-darr), mencakup perbuatan yang terjadi pada manusia, hewan ataupun harta benda yang lain.31 Adapun tentang jenis dan nominal ganti rugi dari perbuatan melawan hukum terhadap harta terangkum dalam kaidah:
هزاعاة الوثليتالتاهت بيي الضزر و بيي العوض كلوا اهكي
32
28 29 30 31 32
Al-Ma'idah (5):89. Al-Mujadalah (58):3-4. A.D. 'Ali Fauzi Faidullah, Nadariyyat., hlm 25. Ibid., 71. Ibid., 160.
90 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Perbuatan Melawan Hukum …
ANALISA PERBANDINGAN Sebetulnya sulit menetapkan dua deskripi di atas dalam posisi yang sejajar untuk diperbandingankan. Banyak perbedaan prinsipil sebagai alasan keberatan ini, di antaranya adalah bahwa hukum Islam lebih bersifat teologis, sedangkan hukum positif bersumber dari akal manusia. Maka memastikan bahwa hukum Islam merupakan ketetapan dari hasil pertimbangan kemaslahatan manusia secara rinci adalah tidak semudah ketika berbicara dalam konteks hukum positif. Namun demikian bukan berarti bahwa sudah menutup kemungkinan untuk mengarah ke sana. Dari uraian di atas, paling tidak dapat di ambil beberapa aspek untuk diperbandingkan yaitu:33 Pertama, Perbuatan atau tindakan aktif dan pasif. Sebagiamana disebutkan di atas, bahwa cakupan perbuatan melanggar hukum positif adalah perbuatan aktif dan pasif. Dalam perbuatan aktif, antara hukum Islam dan hukum positif, baik dalam pengertian bahwa perbuatan tersebut harus sudah diatur dalam undang-undang maupun dalam jenis perbuatannya. Kelima kategori dalam bahasa ad-daman di atas semuanya juga tercakup dalam hukum positif. Namun dalam perbuatan pasif, keduanya mempunyai perbedaan. Jika dalam hukum positif mengharuskan tanggungan bagi kelalaian seseorang yang mampu berbuat sesuatu, tetapi "tidak berbuat sesuatu" yang karenanya sehingga merugikan secara materiil pihak lain, maka dalam hukum Islam tidak diharuskan. Hal itu hanya memiliki implikasi penilaian etik moral, tetapi tidak dalam ketentuan hukum. Kedua, Norma Kesusilaan Sebagai Unsur dalam Perbuatan Melawan Hukum. Jika dalam hukum positif unsur kesusilaan menjadi alasan dalam penetuan perbuatan melawan hukum, maka dalam hukum Islam tidak demikian. Norma kesusilaan dalam ajaran Islam digolongan dalam bahasan etika. Sehingga jika seseorang telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan norama kesusilaan atau tata karma, maka hal itu tidak dapat dituntut secara materiil. Sanksi yang masuk dalam kategori ini berupa tanggungjawab moral yang lebih beradampak pada psikis seseorang. Ketiga, Kerusakan Akibat Perbuatan Melanggar Hukum Secara Langsung Maupun Tidak Langsung. Dalam hukum positif, kerusakan akibat dari perbauatan melanggar hukum tidak ditentukan harus Abdul Mughits, “Perbuatan Melawan Hukum Dalam Islam”, makalah pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2001. tidak diterbitkan. 33
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
91
Abdurrahman Zanky
terjadi secara langsung. Kerusakan yang terjadi tidak secara langsug juga menajadi tanggungan pelakunya. Hal ini berbeda dalam hukum Ialam yang mengharuskan tanggungan pelaku atas kerusakan sebagai akibat perbuatannya secara langsung atau masih dekat dengan perbuatan tersebut. Empat, Pemilahan ke Dalam Kasus Pidana dan Perdata Serta Bentuk Sanksinya. Dalam hukum positif sudah diatur sedemikian tegas dan terperinci kelompok perbuatan mana yang termasuk perbuatan pidana dan perdata. Sehingga bentuk sanksinya pun sudah dapat ditentukan, baik dalam pidana maupun perdata. Berbeda dalam hukum Isalam, kajian perbutan melawan hukum masih berserakan dalam berbagai aspek perbuatan hukum, seperti muamalah, hudud, dan jinayah. Bentuk sanksinya pun berbeda-beda. Contohnya dalam kasus pidana pembunuhan, karena sudah dimaafkan pihak keluarga korban maka berubah menjadi kasus perdata, yaitu diganti dengan membayar diyat, dan lain sebagainya. Lima, Ganti Rugi Moril. Dalam hukum positif ganti rugi dalam segi moril seperti: rehabilitasi nama baik dibahas secara mendetail dan terperinci. Namun jumhur ulama' dalam hukum Islam, berpendapat tidak ada ganti rugi bagi pelanggaran tersebut, dengan alasan: a. adanya ganti rugi seperti menjual harga diri, b.Belum adanya ukuran harga diri. Mahmud Syaltut berpendapat lain, bahwa ada ganti rugi bagi pelanggaran pencemaran nama baik, dan orang yang dirugikan harus tetap mendapat perlindungan, adapun sanksi yang ditetapkan adalah hukum pidana. PENUTUP Dari uraian di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan, bahwa penilaian perbuatan itu melawan hukum dalam hukum Islam dilihat dari prosesnya. Apakah perbuatan itu secara materiial sesuai atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada. Sehingga, walaupun suatu perbuatan itu secara tidak langsung tidak menimbulkan kerugian lain pihak tetapi dengan alasan perbuatan tesebut secara materiil melanggar hukum normatif maka dapat disebut bersalah. Sedangkan dalam hukum positif harus ada keterpaduan antara substansi perbuatan dengan akibat hukumnya. Sehingga tidak dapat menuntut seseorang yang melakukan sesuatu bahwa hal itu termasuk melawan hukum, kecuali jika dapat membuktikan bahwa perbuatan itu melawan hukum secara materiil dan akibat hukumnya yang menjadi alasan dalam penuntutan tersebut.
92 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
Perbuatan Melawan Hukum …
DAFTAR PUSTAKA Departemen Agama, al-Qur'an dan Terjemahnya. Kansil, C.S.T., 1988, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka. Mughits, Abdul, 2001, “Perbuatan Melawan Hukum Dalam Islam”, makalah pascasarjana IAIN Sunan kalijaga Yogyakarta. tidak diterbitkan. Patrik, Purwahid, 1994, Dasar-dasar Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Perjanjian dan dari Undang-undang, Bandung: Mandar Maju. Faidullah, A.D. 'Ali Fauzi, 1986, Nadariyyat ad-Daman fi al-Fiqh al-Islami al-'Ami, Kuwait: Dar at-Turas. as-Sanhuri, Abd ar-Razzaq, 1958, Masadir al-Haqq fi fiqh al-Islam Ttp. Tnp.. Satrio, J., 1993, Hukum Perikatan: Perikatan yang Lahir dari Undangundang, Bandung: Citra Aditiya bakti. Soeprapto, Hartono Hadi, 1984, Pokok-pokok Hukum Perikatan dan Jaminan Yogyakarta: Liberti. Sofwan, Sri Soedewi Masjchoen, 1975, Hukum Perdata Hukum Perutangan, Yogyakarta: UGM. Subekti,. R., R. Tjitrosudibio. 2001, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Jakarta, Pradya Pramitha. As-Suyuti, 1987, al-Asybah wa an-Nadzair, Bairut: Dar al-Fikr.
Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014
93
Abdurrahman Zanky
94 Interest, Vol.12, No. 1 Oktober 2014