INTERDIKSI DAN HAK MEMPERTAHANKAN DIRI Novriady Erman
Pendahuluan Kemajuan teknologi mendorong perkembangan dibidang pertahanan dengan diciptakannya senjata dengan akurasi dan presisi tinggi sehingga mempengaruhi banyak negara untuk memperbarui konsep pertahanannya terutama dibidang strategi.48 Isu keamanan global yang berkaitan dengan pengembangan dan penyebaran WMD (Weapon of Mass Destruction, seterusnya, “WMD”) seperti senjata nuklir, senjata biologi dan senjata kimia oleh negara, semisal, Israel49 dan Korea Utara50 berpotensi menjadi sumber ketegangan baru antar negara. Isu WMD ini juga dihubungkan dengan penyalahgunaan senjata tersebut oleh aktor selain negara seperti jaringan teroris atau kelompok radikal.51 Pada sisi lain, upaya memerangi atau mencegah pengembangan dan penyebaran WMD telah melahirkan konsep penanganan yang dikembangkan oleh negara tertentu seperti Proliferation Security Initiative (PSI),52 Regional Maritime Security Initiative (RMSI),53 dan Container Security Initiative (CSI).54 Pasca Tragedi New York 11 September 2001, mencuat isu baru dalam dunia internasional mengenai keamanan laut berkaitan dengan WMD. Isu maritim yang selama ini hanya menyangkut masalah keselamatan pelayaran, pencemaran lingkungan dan tindak kriminal di laut telah bergeser menjadi isu keamanan dan terorisme.55
48
Hasjim Djalal, “South East Asian Security: Indonesian Perspective,” 25 Januari 2006, Jakarta; Steven Metz dan James Kievit, “Strategy and Revolution in Militray Affairs, from theory to policy,” Strategic Studies Institutes, 27 Juni 1995; Theodor W. Galdi, “Revolution in Military Affairs?” CRS Report for Congress, 11 Desember 1995. 49 Usman Karim, “Israeli Weapons of Mass Destruction: A Nuclear Weapon Race in Middle East,” Yale Global Forum, 2007; Husain Khan, “Israel’s Weapon of Mass Destruction”, Opinion Editorial, Al Jazeerah, 2003. 50 Larry A. Niksch, “North Korea’s Nuclear Weapons Program,” CRS Report for Cingress, The Library of Congress, 5 Oktober 2006; Sharon A. Squassoni, “Weapon of Mass Destruction: Trade Between North Korea and Pakistan,” CRS Report for Congress, The Library of Congress, 11 Maret 2004. 51 Steve Bowman, “Weapon of Mass Destruction: Terrorist Threat,” CRS Report for Congress, The Library of Congress, 7 Maret 2002; Daniel Byman, “Iran, Terrorism and Weapon of Mass Destruction,” Center for Peace and Security Studies, Georgetown University, 2008. 52 Sharon Squassoni, “Proliferation Security Initiative (PSI),” CRS Report to Congress, The Library of Congress, 14 September 2006; Andrew Prosser, “The Proliferation Security Initiative in Perspective,” Peace Fellow, 16 Juni 2006. 53 Joshua Ho, “Operationalising The Regional Maritime Security Initiative,” IDSS Commentaries, Institute of Defence and Strategic Studies, 27 Mei 2004; Noel M. Morada, “Regional Maritime Security Initiative in the Asia Pacific: Problems and Prospects for Maritime Security Cooperation,” 1st Berlin Conference on Asian Security (Berlin Group), 14 September 2006. 54 W. Ralph Basham, “Container Security Initiative 2006 – 2011 Strategic Plan,” US Customs and Border Protection, 2002; Nifgel Brew, “Ripples from 9/11: The US Container Security Initiative and its Implication for Australia,” Information, Analysis and Advice for the Parliament, Department of the Parliamentary Library. 55 John R. Harrald, “Sea Trade and Security: An Assesment of the Post-9/11 Reaction,” Journal of International Affairs, 1 Oktober 2005.
Perkembangan yang sangat menonjol tersebut ditandai dengan munculnya isu keamanan laut dalam International Maritime Organization (IMO)56 seperti upaya perubahan Convention for the Suppression of Unlawful Acts Against Safety of Maritime Navigation 198857 (Konvensi SUA) yang memungkinkan interdiksi oleh kapal asing, pembentukan International Ship and Port Facility Security (ISPS) Code,58 serta memasukkan elemen “security” pada Convention on Safety of Life at Sea 198059 (Konvensi SOLAS). Secara sederhana, ada satu kesamaan dari upaya tersebut yang merupakan isu dalam hukum internasional, yaitu prinsip interdiksi. Tulisan ini akan membahas prinsip interdiksi secara khusus dalam kaitannya dengan konteks keamanan laut dan hak mempertahankan diri. Bab pertama merupakan bagian pendahuluan mengenai isu terkait interdiksi dan keamanan laut. Bab kedua menjelaskan praktik negara dalam metode interdiksi. Bab ketiga akan memberikan paparan mengenai interdiksi dalam kerangka hak mempertahankan diri sementara kesimpulan akan diberikan dalam Bab empat. Praktik Negara Dalam Metode Interdiksi Pembahasan konsep interdiksi dalam hukum laut berangkat dari premis bahwa interdiksi bisa dilakukan terhadap kapal yang tidak menunjukkan bendera negara kapal. Argumentasi ini merupakan dasar yang kuat karena UNCLOS 1982 memberikan kewenangan terhadap suatu negara untuk menaiki kapal, berdasarkan kecurigan tertentu, yang tidak memiliki kewarganegaran. Pasal 110 UNCLOS merupakan kodifikasi dari right to visit di laut bebas dengan larangan untuk menaiki kapal kecuali ada dasar yang kuat untuk mencurigai bahwa kapal tersebut terlibat dalam aksi pembajakan, perdagangan budak, atau tanpa adanya nasionalitas kapal.60 Meskipun ketentuan ini tidak tercantum secara eksplisit dalam Convention on High Seas, hal ini nampaknya sudah menjadi suatu konsep yang diterima secara historis dan merupakan hukum kebiasaan internasional. Dengan demikian, jika sebuah kapal perang mengidentifikasi sebuah kapal yang tidak memiliki nasionalitas, berdasarkan prima facie evidence bahwa kapal tersebut tidak mengibarkan bendera, maka, dapat diasumsikan bahwa interdiksi bisa dilakukan terhadap kapal tersebut.61
56
International Maritime Organisation / IMO, dahulunya dikenal sebagai Inter-Government Maritime Consultative Organization/ IMCO, didirikan pada tahun 1948 oleh PBB untuk mengkoordinasikan keselamatan maritime intenasional dan pelaksanaannya. Dengan berpusat di London, INggris, IMO mempromosikan kerjasama antar pemerintah dan antar industry pelayaran untuk meningkatkan keselamatan maritime dan utuk mencegah polusi laut. 57 Convention for the Supression of Unlawful Acts Against the Safety of Maritime Navigation 1988, (seterusnya, “Konvensi SUA”) disahkan pada tanggal 10 Maret 1988 dan mulai berlaku 1 Maret 1992. 58 Chapter XI-2 Special Measures to Enhance Maritime Security in the 1974 International Convenion for the Safety of Life at Sea. 59 International Convention for the Safety of Life at Sea, 1974 (seterusnya, “Konvensi SOLAS”) disahkan tanggal 1 November 1974 dan mulai berlaku 25 Mei 1980. 60 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 (seterusnya, “UNCLOS 1982”), Pasal 110; F. Francioni, “Peacetime Use of Force, MIlitray Activities, and the New Law of the Sea,” Cornell International Law Journal, Vol.18, 1985, hal. 215. 61 Convention on the High Seas 1958 (seterusnya, “High Seas Convention”), Pasal 22.
Bahkan, jika sebuah kapal dianggap sebagai kapal bajak laut, hak untuk menyita kapal tersebut akan lebih kuat. Pembahasan selanjutnya berkaitan dengan pertanyaan apakah interdiksi bisa dibenarkan berdasarkan ketentuan yang mengecualikan keberlakuan Pasal 110 UNCLOS. Ada 3(tiga) doktrin yang dijadikan dasar untuk melakukan interdiksi terhadap kapal dagang dan penyitaan muatan kapal, yaitu, (1) contraband,62 (2) blockade63 dan (3) exclusion zone.64 Dua doktrin yang pertama timbul sebagai akibat dari prinsip hukum yang telah dikenal lama mengenai netralitas bahwa pihak dalam konflik bersenjata harus seminimal mungkin menimbulkan gangguan terhadap penggunaan laut untuk tujuan damai dan perdagangan internasional meskipun perdagangan tersebut dilakukan oleh kapal dagang dari negara lawan. Pasal 103 dari Piagam PBB menyatakan secara jelas bahwa sebuah negara tidak bisa meminta pelaksanaan hak jika bertentangan dengan kewajibannya berdasarkan hukum internasional.65 Namun, jika Resolusi Dewan Keamanan PBB itu sendiri tidak secara eksplisit menyebutkan pelaksanaan yang dimintakan, maka ada konflik yang timbul antara kewajiban dan prinsip netralitas. Pada masa perang dingin, netralitas tetap menjadi salah satu prinsip penting dalam perang laut dan dihormati keberlakuannya. Bahkan, pada masa Tanker War, masyarakat internasional tetap menjunjung prinsip ini meskipun ada pengabaian terhadap keberlakuannya.66 Berkaitan dengan kasus Tanker War, pada tanggal 22 September 1980, dalam memorial Oil Platform-nya, Iran menyatakan akan mengadakan interdiksi disekitar wilayah pantainya untuk mencegah masuknya barang-barang yang tergolong dalam kategori contraband ke Irak. Iran melakukan pemeriksaan terhadap kapal yang dicurigai dan menahan banyak diantaranya yang terlibat dalam praktek contraband dan melakukan penyitaan terhadap muatan kapal. Namun, dalam communiqué-nya pada tanggal yang sama, Iran menyatakan bahwa upaya ini merupakan bentuk larangan terhadap segala jenis kapal angkut dan kargo untuk melintas menuju Irak terlepas dari isi kargo tersebut. Tindakan Iran ini termasuk yang dinamakan sebagai blockade atau total contraband. Terlepas dari adanya pengakuan terhadap tindakan
62
D.R. Humphrey, “Belligerent Interdiction of Neutral Shipping in International Armed Conflict,” Journal of Armed Conflict Law, 2(1), 1997, hal. 39. 63 Frederick . Kirgis, “NATO Interdiction of Oil Tankers Bound to Yugoslavia,” ASIL Insight, April 1999; Sharon Otterman, “WMD: US Interdiction, Council,” Council on Foreign Relations, 2003. 64 M.G. Fraunces, “The International Law of Blockade: New Guiding Principle in Contemporary State Practice,” Yale Law Journal, 1992. 65 Pasal 103 Piagam PBB ; Lihat juga, Questions of Interpretation and Application of the 1971 Montreal Convention arising from the Aerial Incident at Lockerbie (Libyan Arab Jamahiriya v. United States of America), ICJ, 1984. 66 Anthony H. Cordsman dan Abraham R. Wagner, “The Lesson of Modern War: Volume II The IranIraq War,” The Royal United Services Institute, 1990; Chris Griggs, “Legal Constraint on Maritime Operations Affecting Merchant Shipping,” MLAANZ Journal 2005; David Leslie Grimord, “The IranIraq War: A Juridical Analysis of the Attack on Neutral Ships and Visit and Seacrh Operation in Persian Gulf,” Georgetow University, 1986.
Iran untuk melakukan interdiksi, Tanker War merupakan penegasan terhadap konsep interdiksi.67 Beberapa pihak berpendapat bahwa Resolusi Dewan Keamanan PBB Nomor 552 menyatakan bahwa interdiksi tidak bisa dilakukan terhadap kapal asing dari negara netral yang melakukan perdagangan dengan pihak yang tidak terlibat dalam konflik bersenjata meskipun secara pasti diketahui bahwa kapal tersebut membawa kargo yang muatannya ditujukan kepada salah satu pihak dalam konflik bersenjata. Jika melihat pada upaya untuk menaiki kapal dan melakukan pemeriksaan, hal ini merupakan perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan ketentuan sebelumnya berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Meskipun tindakan Iran ini menuai protes dari negara-negara lain, tidak ada ketentuan dalam Resolusi Nomor 552 yang mengatur prosedur dan mekanisme dari interdiksi. Resolusi ini semata-mata hanya terkait dengan masalah ancaman yang timbul berulang kali tehadap kapal dari negara netral. Perdebatan di Dewan Keamanan PBB juga fokus pada dugaan penyerangan Iran terhadap kapal perang Kuwait dan Arab Saudi sebagai satu-satunya interdiksi yang diakui Belanda bahwa pihak dalam konflik bersenjata bisa membatasi aktivitas pelayaran. Pada sisi lain, Dewan Keamanan PBB juga menyatakan pandangannya terhadap doktrin kebebasan berlayar di perairan internasional dengan menyatakan bahwa doktrin ini mencakup diantaranya hak untuk menaiki kapal asing dan melakukan pemeriksaan dalam kerangka UNCLOS 1982. Tidak ada indikasi yang membuat Resolusi Dewan Keamanan PBB ini hendak menunjukkan bahwa prinsip kebebasan berlayar bersifat mutlak meskipun dalam kondisi konflik bersenjata dan upaya-upaya mempertahankan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. Lebih lanjut, dalam kasus Tanker War, pada tahun 1986, Sekretaris Luar Negeri Inggris menyatakan bahwa berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB, negara yang terlibat dalam konflik bersenjata, dalam kasus ini adalah Iran, memiliki hak untuk mempertahankan diri, untuk menghentikan dan melakukan pemeriksaan terhadap kapal dagang asing dilaut bebas jika terdapat kecurigaan yang kuat bahwa kapal tersebut membawa senjata untuk pihak lawan. Pendapat serupa juga dinyatakan kembali pada tahun 1988. Lebih lanjut, pada bulan Mei 2001 dan Januari 2002, Israel melakukan interdiksi dan penyitaan terhadap kapal asing yang membawa persenjataan untuk kelompok pejuang Palestina berdasarkan argumentasi hukum yaitu hak mempertahankan diri dan bukan berdasarkan hukum kebiasaan internasional. Maka, jika melihat perkembangannya, ada dua penafsiran dari Inggris berkaitan dengan posisinya dalam hal interdiksi, yaitu, (1) Bahwa ada peralihan cara pandang terhadap hak untuk menaiki kapal dan melakukan pemeriksaan, kepada situasi yang dianggap sebagai upaya untuk mempertahankan diri, atau, (2) Bahwa berdasarkan Pasal 51 67
Anthony H. Cordsman dan Abraham R. Wagner, “The Lessons of Modern War: Volume II of the Iran-Iraq War”, Thee Royal United Services Institute, 1990; Chris Griggs, “Legal Constraint on Maritime Operations Affecting Merchant Shipping”, MLAANZ Journal, 2005; David Leslie Grimord, “The Iran-Iraq WarL A Juridical Analysis of the Attack on Neutral Ships and Visit and Search Operation in Persian Gulf”, Georgetown University, 1986.
Piagam PBB, Inggris berpendapat bahwa kondisi tersebut bisa jadi merupakan kondisi yang secara khusus diatur oleh ketentuan tersendiri dan dengan tidak mengakui konflik tersebut sebagai konflik bersenjata, Inggris tidak mengakui eksistensi belligerent sebagai pihak dalam konflik bersenjata. Penafsiran pada poin pertama tidak bertentangan dengan konsep yang mengatur tata cara perang di laut berdasarkan Piagam PBB. Namun, semata-mata menyatakan bahwa sebagai upaya untuk melibatkan kekuatan bersenjata, ketentuan ini hanya berlaku dalam konteks untuk mempertahankan diri. Pernyataan kedua telah secara salah mengartikan bahwa jika konflik bersenjata muncul, ketentuan dalam Pasal 51 membatasi pihak dalam konflik tersebut lebih dari pada pembatasan yang telah ditentukan dalam hukum kebiasaan. Pasal 51 membatasi kondisi yang mengatur mengenai dasar dari penggunaan kekuatan bersenjata (jus ad bellum) dan bukan terkait dengan substansi mengenai hal yang mengatur tata cara berperang (jus in bello). Hukum kebiasaan secara luas telah membatasi penggunaan kekuatan bersenjata berdasarkan Pasal 51 bahwa hal tersebut harus dilakukan berdasarkan prinsip necessity dan proportionality.68 Hal ini sesuai dengan pernyataan dari Sekretaris Hubungan Luar Negeri yang menyatakan bahwa hukum kebiasaan mengenai tata cara perang di laut juga berlaku dalam Pasal 51 Piagam PBB. Memang bisa dipahami bahwa pernyataan tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata memiliki hak untuk melakukan penghentian dan pencarian terhadap kapal yang diduga membawa WMD berdasarkan argumentasi hak untuk mempertahankan diri. Alasan ini bisa dilihat dari sejarah bahwa pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata memiliki hak untuk mengadakan interdiksi terhadap kapal yang membawa senjata-senjata yang dipakai dalam perang yang ditujukan kepada pihak lawan sebagai sebuah praktik contraband.69 Dalam perkembangannya, pada masa Tanker War, hak yang dimiliki oleh pihak dalam konflik bersenjata untuk menaiki kapal dan melakukan pemeriksaan terhadap kapal dagang yang tidak didampingi oleh kapal perang, diakui oleh Amerika Serikat, Italia, Belanda, dan Perancis. Argumentasi negara-negara tersebut berdarkan pada doctrine of convoy yang menyatakan bahwa kapal dagang yang berlayar dengan didampingi oleh kapal perang memiliki imunitas terhadap interdiksi yang mungkin dilakukan oleh pihak dalam konflik bersenjata. Praktik interdiksi juga bisa dilihat pada Krisis Misil Kuba. Pada 24 Oktober 1962, Presiden Amerika, John F. Kennedy, mendeklarasikan karantina terhadap Kuba sebagai upaya untuk mencegah masuknya misil dari Uni Sovyet. Karantina di daerah sekitar perairan Kuba ini dilakukan dengan cara melakukan interdiksi terhadap puluhan kapal yang diduga membawa misil atau peralatan militer lainnya. Karantina 68 William H. Taft, “The Legal Basis for Preemption,” Council on Foreign Relations, 18 November 2002; Frederic L. Kirgis, “Pre-Emptive Action to Forestall Terrorism,” ASIL Insight, Juni 2002. 69 D.P. O’Connell dan I.A. Shearer, “The International Law of the Sea,” Oxford University Press, Oxfor, 1982, Vol.1, hal. 158 – 159.
ini berakhir pada 20 November 1962. Ada juga usaha untuk menegakkan perlawanan terhadap praktik contraband namun hak-hak Kuba dalam kasus ini tidak dinyatakan oleh Amerika. Pada saat karantina ini terjadi, Pemerintah Amerika menyatakan bahwa karantina tersebut merupakan tindakan yang disetujui oleh Organization of American States (“OAS”) yang bertindak berdasarkan pengaturan pengamanan regional sebagaimana tercantum dalam Bab VIII dari Piagam OAS. Amerika juga menyatakan bahwa tindakan karantina ini merupakan interpretasi dalam Pasal 53 Bab VIII Piagam OAS bahwa tidak akan ada “enforcement” tanpa adanya persetujuan dari Dewan Keamanan PBB. Ada beberapa pendapat juga yang menyatakan bahwa intervensi oleh Economic Community of West African States dalam kasus Liberia-Sierra Leone pada tahun 1990 dan pernyataan Dewan Keamanan PBB yang menyatakan bahwa intervensi tersebut dilakukan tanpa adanya persetujuan dari Dewan Keamanan PBB, menunjukkan bahwa adanya perkembangan dan perubahan sudut pandang dari implementasi Bab VIII ini yang membolehkan adanya hak yang diberikan kepada organisasi regional untuk mengambil tindakan termasuk didalamnya adalah dengan menggunakan kekuatan militer untuk menjaga keamanan dan perdamaian di wilayah regionalnya. Pada praktiknya, hak yang dimiliki oleh pihak yang terlibat dalam konflik bersenjata untuk menaiki kapal dan melakukan pemeriksaan masih diakui dalam kondisi konflik bersenjata. Ketentuan ini dianggap sebagai hal yang masih sesuai dengan Commander’s Handbook, the San Remo Manual, dan the German Handbook. Dengan demikian, negara-negara yang hendak melakukan interdiksi pada masa konflik bersenjata bisa mendapatkan legalitas berdasarkan panduan tersebut dan praktik negara-negara. Interdiksi dan Hak Mempertahankan Diri Interdiksi yang dilakukan oleh angkatan bersenjata suatu negara dengan menggunakan kekuatan militer harus dilakukan berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB agar bisa dianggap sebagai tindakan yang legal. Hal ini dengan asumsi bahwa hanya Pasal 51 Piagam PBB dan Resolusi Dewan Keamanan PBB yang bisa memberikan kewenangan dengan pengecualian sebagaimana tercantum dalam Pasal 2(4) Piagam PBB yang melarang penggunaan kekerasan atau kekuatan militer terhadap kesatuan wilayah atau independensi politik dari negara lain. Pasal 51 Piagam PBB memberikan hak kepada negara untuk menggunakan kekuatan militer dalam rangka mempertahankan diri jika terjadi serangan bersenjata yang mengancam kedaulatan dan kesatuan politik negaranya. Konteks penggunaan kekuatan bersenjata ini hanya diperbolehkan jika telah muncul serangan dengan menggunakan kekuatan bersenjata dari lawan secara terang dan nyata. Sementara, hak mempertahankan diri yang ada dalam konteks Caroline Doctrine sangat kontroversial karena merupakan hak mempertahankan diri terhadap serangan lawan yang belum
tentu pasti akan terjadi di masa mendatang.70 Caroline Doctrine ini berkaitan dengan pre-emptive atau preventive self-defense yang bahkan pada tataran doktrin masih sangat kontroversial.71 Interdiksi bisa terjadi dalam beberapa skenario. Para ahli hukum internasional berpendapat bahwa interdiksi bisa dilakukan berdasarkan Pasal 51 Piagam PBB atau dilakukan berdasarkan teori hukum internasional lainnya. Beberapa ahli hukum internasional memang memberikan pandangan yang setuju terhadap tindakan interdiksi terhadap kapal pengangkut WMD. Termasuk didalamnya adalah berdasarkan argumentasi pre-emptive self-defense atau dengan mendefinisikan kembali syarat munculnya suatu serangan bersenjata sebagaimana diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. Alasan pembenar lainnya adalah dengan asumsi bahwa war on terror dilihat sebagai suatu alasan pembenar sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Piagam PBB karena berkaitan dengan hak untuk mempertahankan diri dari serangan kelompok bersenjata yang bisa dilakukan kapanpun. Dengan demikian, kriteria interdiksi akan sangat krusial untuk didefinisikan terlebih dahulu. Jika penggunaan kekuatan bersenjata hanya bisa dilakukan jika telah ada serangan bersenjata sebelumnya, maka timbul dua pertanyaan. Pertama, apakah perang melawan terorisme bisa dikategorikan sebagai collective self-defense sebagaimana tercantum dalam Pasal 51 Piagam PBB? Jika memang ternyata ada konflik bersenjata secara berkelanjutan sebagaimna ketentuan dalam pasal ini, maka pre-emptive rights tidak akan muncul namun diberlakukan hukum kebiasaan berkaitan dengan praktik contraband. Kedua, apa yang dimaksud dengan serangan bersenjata, armed attack? Menurut Michael Shaw, mayoritas negara tidak terlalu sepakat terhadap kemungkinan penerapan hak mempertahankan diri sebelum adanya serangan bersenjata. Shaw berpendapat bahwa sebaiknya parameter dari definisi ini bisa ditafsirkan secara fleksibel. Dalam kasus Nikaragua, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa tindakan memberikan suplai senjata kepada pihak pemberontak dakam sebuah konflik bersenjata bukan termasuk dalam kategori serangan bersenjata.72 Dengan demikian, interdiksi terhadap kapal pengangkut WMD, dengan dasar bahwa tindakan tersebut merupakan bentuk dari serangan bersenjata, sehingga dibenarkan untuk melakukan tindakan dalam kerangka Pasal 51 Piagam PBB akan sulit mendapat justifikasi. Ketentuan mengenai hak mempertahankan diri tergantung pada subyektivitas negara sebagai pihak yang menjadi korban akibat serangan bersenjata. Saat ini, tanpaknya sudah ada konsensus mengenai syarat terjadinya serangan bersenjata. Secara khusus, serangan bersenjata tidak hanya terbatas pada tindakan yang dilakukan 70 Maja Sersic, “The American Pre-Emptive Strike Doctrine and International Law,” Adrias Svezak, 2007. 71 Mary Ellen O’Connel, “The Myth of Preemptive Self-Defense,” ASIL The Task Force on Terrorism, 2002. 72 Case Concerning the Military and Paramilitary Activities in and Against Nicaragua (Nicaragua v. United States of Amrica) (merits), ICJ, 1986.
oleh angkatan bersenjata suatu negara diluar batas wilayah yurisdiksi negaranya namun juga termasuk pengiriman pasukan oleh dan/atau atas nama negara, serta kelompok bersenjata (mercenaries) sebagai pihak yang mampu melancarkan serangan bersenjata layaknya angkatan bersenjata suatu negara pada umumnya. Berdasarkan hukum kebiasaan internasional, larangan untuk melakukan serangan bersenjata berlaku terhadap negara yang hendak mengirimkan pasukannya ke wilayah negara lain. Namun, Mahkamah Internasional berpendapat bahwa konsep serangan bersenjata tidak termasuk didalamnya adalah bantuan untuk pemberontak dalam bentuk bantuan senjata atau logistik lainnya. Tindakan tersebut, menurut Mahkamah, merupakan tindakan yang tergolong dalam ancaman atau penggunaan kekuatan bersenjata (a threat or use of force) dan bukan sebagai serangan bersenjata (armed attack). Dalam putusan ini, Mahkamah Internasional tampaknya masih berpendapat bahwa Pasal 51 Piagam PBB mensyaratkan adanya serangan bersenjata sebelum negara bisa memberlakukan hak untuk mempertahankan dirinya. Kedua, masih adanya ketidakjelasan mengenai perbedaan konsep dari ‘serangan bersenjata’ dan ‘insiden bersenjata’. Putusan Mahkamah Internasional dalam kasus Nikaragua hanya sebatas pada konsep collective self-defense. Hal ini memiliki implikasi bahwa tidak semua penggunaan kekuatan bersenjata merupakan justifikasi untuk melaksanakan hak mempertahankan diri yang terkandung dalam Pasal 51 Piagam PBB namun terlebih dahulu dilihat dari skala dan efek yang mungkin ditimbulkan. Secara khusus, Mahkamah Internasional menyatakan bahwa suatu senjata bisa saja merupakan ancaman ketika digunakan namun tidak serta merta menjadikan insiden pengangkutan senjata tersebut sebagai serangan bersenjata. Oleh karena itu, tindakan memberikan suplai senjata kepada pihak pemberontak dalam sebuah konflik bersenjata di negara lain merupakan pelanggaran terhadap Pasal 2(4) Piagam PBB namun tidak serta merta menimbulkan hak untuk mempertahankan diri. Dengan demikian, interdiksi terhadap kapal pembawa WMD tidak bisa dibenarkan jika dilakukan dengan alasan hak untuk mempertahankan diri. Namun, kesimpulan diatas dibantah oleh Ian Brownlie yang menyatakan bahwa serangan bersenjata terhadap kapal dagang negara lain bisa menimbulkan hak untuk mempertahankan diri. Hal ini didasarkan pada argumentasi dasar yurisdiksi eksklusif dari kapal tersebut sebagai satu kesatuan integritas politik dengan negara bendera kapal sebagaimana tercantum dalam Pasal 2(4) Piagam PBB. Meskipun pandangan ini masih kontroversial namun diperkuat oleh Mahkamah Internasional sendiri dalam kasus Oil Platforms.73 Mahkamah berpendapat bahwa serangan terhadap kapal dagang bisa dianggap sebagai penyerangan terhadap negara bendera kapal. Hal ini berbeda dengan kasus Texaco Carribean ketika kapal yang berlayar tersebut tidak mengibarkan bendera Amerika sehingga serangan terhadap kapal dagang tersebut tidak termasuk dalam serangan terhadap negara bendera kapal.
73
Case Concerning Oil Platforms (Islamic Republic of Iran v. United States of America, ICJ, 2003.
Kapal dagang tidak mendapatkan perlindungan berdasarkan Pasal 2(4) Piagam PBB sehingga Pasal 51 Piagam PBB merupakan satu-satunya sumber hukum yang bisa dijadikan alasan terhadap ketentuan umum bahwa kapal yang berada di perairan internasional memiliki imunitas kecuali dari tindakan yang dilakukan oleh otoritas dari negara bendera kapal tersebut. Maka, untuk mengadakan interdiksi, beberapa ketentuan harus dibuat untuk mengatasi ketentuan dalam Pasal 110 UNCLOS 1982 yang melarang interdiksi oleh otoritas selain dari otoritas negara bendera kapal. Pendapat ini yang terkandung dalam Pasal 51 Piagam PBB dan juga sebagaimana didukung oleh praktik negara-negara, semisal dalam kasus Tanker War. Isu berikutnya yang akan dibahas adalah berkaitan dengan apakah hak mempertahankan diri antisipatif (anticipatory self-defense) juga diadopsi dalam Piagam PBB. Frase dalam Pasal 51 Piagam PBB berkaitan dengan ‘inherent right of individual … self-defence’ sebagai sebuah ketentuan yang mengatur hak untuk mempertahankan diri sudah secara jelas diterima oleh negara-negara anggota PBB. Kontroversi yang tersisa berkaitan dengan konsep ini adalah apakah hak yang terkandung dalam pasal ini termasuk juga didalamnya adalah hak anticipatory selfdefense dan apakah syarat bahwa pelaksanaan dari hak tersebut harus memenuhi ketentuan bahwa hak tersebut baru bisa digunakan jika didahului oleh adanya serangan bersenjata dari pihak lawan masih harus dipenuhi.74 Ian Brownlie berpendapat bahwa kedua premis tersebut tidak berlaku berdasarkan dua alasan. Pertama, hanya ada sedikit sekali praktik negara yang berkaitan dengan hak anticipatory self-defense yang bisa dilihat pada beberapa dekade sebelum munculnya Piagam PBB. Kedua, hukum kebiasaan internasional yang mengatur larangan untuk menggunakan kekuatan bersenjata dalam menyelesaikan sengketa telah ada pada tahun 1945 dengan didirikannya PBB. Ian Brownlie lebih lanjut berpendapat bahwa doktrin yang mendukung upaya antisipatif dalam penggunaan kekuatan bersenjata merupakan suatu bentuk ketidakkonnsistenan dengan ketentuan yang mengatur penggunaan kekuatan bersenjata. Pendapat Ian Brownlie ini ditentang oleh Bowett dengan mengatakan bahwa hak anticipatory self-defense telah berkembang dari Caroline incident dan pelaksanaan dari hak untuk mempertahankan diri adalah tidak serta merta harus didahului oleh adanya serangan bersenjata. Caroline incident, menurut pendukung dari hak anticipatory self-defense, merupakan bentuk legalitas dari hukum kebiasaan terhadap penggunaan hak tersebut secara necessary dan proportionate untuk menghadapi serangan yang bersifat nyata dan tiba-tiba. Bowett berpendapat bahwa tidak ada pembatasan terhadap hak untuk mempertahankan diri sebagaimana diatur dalam Pasal 2(4) Piagam PBB dan tidak ada larangan yang bersifat umum untuk mempertahankan diri kecuali sebagaimana ditentukan dalam Pasal 51 Piagam PBB. Bowett lebih lanjut berpendapat bahwa Pasal 51 Piagam PBB hanya bersifat deklaratif dan tidak membebankan kewajiban dalam bentuk apapun kepada negara 74
Oxman, B., “The Regime of Warships under the United Nations Convention on the Law of the Sea,” Virginia Journal of International Law, Vol. 24, 1984.
sebagaimana terkandung dalam Pasal 2(4) Piagam PBB. Dengan demikian, Pasal 2(4) Piagam PBB tidak membatasi ketentuan mengenai hak untuk mempertahankan diri karena ketentuan dalam Pasal 51 Piagam PBB hanya memberikan batasan yang bersifat deklaratif sehingga tidak mempunyai kekuatan mengikat.75 Argumentasi Bowett ini tidak dapat diterima oleh banyak negara. Jika sekalipun dengan asumsi bahwa argumentasi Bowett diterima, interdiksi terhadap kapal-kapal dagang ternyata tidak memenuhi unsur ‘imminent’. Dalam Krisis Misil Kuba, pandangan yang diterima secara umum adalah bahwa ancaman untuk melakukan serangan terlalu jauh sebagaimana parameter yang ditetapkan dalam Caroline incident. Pada masa itu, tidak ada indikasi bahwa Uni Sovyet akan menggunakan misilnya untuk melakukan penyerangan ke Amerika, bahkan dalam jangka waktu pendek. Pendukung karantina terhadap Kuba sebagai upaya untuk mempertahankan diri secara sepihak harus berdasarkan argumentasi keberadaan ancaman secara nyata sehingga harus dihadapi oleh tindakan mempertahankan diri yang bersifat preventif atau menyatakan bahwa blokade merupakan upaya untuk memperpendek konflik bersenjata.76 Oleh karena itu, validitas dari doktrin pre-emptive self-defense harus dipertanyakan. Ketika Piagam PBB dirancang, bisa diasumsikan bahwa serangan bersenjata pada skala besar terhadap sebuah negara hanya bisa dilakukan oleh negara lainnya dan serangan tersebut haruslah dalam bentuk yang nyata dengan adanya mobilisasi kekuatan militer dalam skala besar pula. Beberapa pihak lainnya berpendapat bahwa dengan adanya ancaman yang cukup signifikan dari aktor bukan negara dengan kapasitasnya menggunakan WMD memberikan ruang interpretasi baru yang memungkinkan diberlakukannya pre-emptive self-defense. Namun, pendapat tersebut tidak bisa diterima secara an sich mengingat WMD itu sendiri merupakan salah satu isu dalam hukum internasioal dan hubungan internasional sejak tahun 1945 atau bahkan sebelumnya. Hal yang berubah dari masa tersebut adalah semakin mudahnya suatu negara dan aktor bukan negara untuk mendapatkan senjata tersebut. Tragedi 11 September 2001 merupakan contoh dimana aktor bukan negara bisa melancarkan serangan dalam skala besar sebagaimana halnya bisa dilakukan oleh angkatan bersenjata suatu negara.77 Pendukung dari penggunaan anticipatory selfdefense berpendapat bahwa kehancuran yang disebabkan oleh WMD menyebabkan kehancuran yang luar biasa sehingga segala jenis doktrin hak untuk mempertahankan diri yang tidak bisa mencegah kehancuran ini hanya akan menjadi keuntungan yang tidak sebanding dengan efek yang ditimbulkan. Sebagai upaya mempertahankan diri, 75
Bowett D., “The Second United Nations Conference on the Law of the Sea,” International and Comparative Law Quaterly, Vol. 9, 1960. 76 Myres S. McDougal & William T. Burke, “The Public Order of the Oceans: A Contemporary International Law of the Sea, VII, 1962. 77 Graham Gererd Ong, “Ship Can Be Dangerous Too: Coupling Piracy and Maritime Terrorism in OSutheast Asia’s Maritime Security Framework,” ISEAS Working Paper: International Politics & Security Issues Series No.1, 2004; Jayant Abhyankar, “Piracy, Armed Robbery and Terrorism at Sea in Southeast Asia: A Global and Regional Outlook,” Workshop on Maritime Security, Maritime Terrorism and Piracy in Asia, 2004.
interdiksi terhadap kapal yang dicurigai membawa WMD merupakan tindakan preventif dengan cara mengerahkan kekuatan untuk mengawasi perpindahan senjata ini yang memiliki potensi untuk mengancam keamanan. Argumentasi yang mendukung interdiksi menyatakan bahwa WMD bisa menimbulkan efek yang luar biasa terhadap masyarakat sipil dan bisa dilancarkan dengan efektif tanpa adanya upaya yang bisa mengantisipasi serangan tersebut. Pertahanan terbaik adalah dengan cara mencari aktor yang berpotensi melancarkan serangan tersebut dan mencegahnya. Segala bentuk hak untuk mempertahankan diri tidak harus selalu diikuti dengan serangan bersenjata. Tindaka pencegahan, oleh karenanya, merupakan tindakan yang diluar interpretasi gramatikal Pasal 51 Piagam PBB atau bahkan diluar pengertian umum mengenai anticipatory self-defense. Pada akhirnya, interdiksi terhadap kapal berbendera negara lain bisa dianggap sebagai upaya untuk membatasi perpindahan WMD dan bisa dipertimbangkan karenanya sebagai upaya yang bersifat proportionate. Pendapat pendukung lainnya adalah fakta bahwa UNCLOS 1982 tidak menyebutkan bahwa negara bendera kapal memiliki yurisdiksi territorial terhadap kapal yang mengibarkan bendera negaranya. Jadi, berdasarkan penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Pasal 51 Piagam PBB memberikan batasan tertentu untuk melakukan interdiksi terhadap pengangkutan WMD berdasarkan tiga skenario. Pertama, interdiksi yang bersifat preventif yang dilakukan diluar kondisi konflik bersenjata bisa dijustifikasi berdasarkan argumentasi pre-emption. Kedua, interdiksi yang dilakukan sebelum terjadinya konflik terhadap pengangkutan WMD sebagai upaya untuk menyiapkan serangan merupakan hak anticipatory self-defense. Ketiga, interdiksi oleh pihak dalam konflik bersenjata, semisal dalam kasus Tanker War, dimana praktik negara-negara mengakui hak para pihak tersebut untuk menaiki dan melakukan pemeriksaan di kapal untuk melawan praktik contraband, bisa dibenarkan kecuali kapal dagang tersebut didampingi oleh kapal perang dalam perlintasannya. Argumentasi pre-emption tidak termasuk dalam kategori penggunaan kekuatan militer yang dibenarkan dalam Pasal 51 Piagam PBB dan masih juga diragukan apakah anticipatory self-defense juga termasuk dalam kategori dalam pasal ini. Terlepas dari itu semua, sebagaimana disimpulkan dalam Krisis Misil Kuba, akan cukup sulit tampaknya untuk menemukan dasar hukum bahwa pengangkutan WMD di laut bebas merupakan bentuk serangan yang bersifat imminent. Hanya skenario ketiga yang nampaknya sesuai dengan ketentuan dalam Piagam PBB berkaitan dengan hak untuk mempertahankan diri. Lebih lanjut, berdasarkan hukum yang mengatur masalah contraband, tidak ada perbedaan mengenai interdiksi yang dilakukan terhadap kapal yang dimiliki oleh sebuah negara dan kapal pribadi yang melakukan perdagangan internasional. Interdiksi dalam konteks ini tidak membutuhkan persetujuan dari negara bendera kapal agar interdiksinya dianggap sebagai tindakan legal. Dalam kondisi damai, penggunaan kekuatan bersenjata diluar wilayah yurisdiksi suatu negara terhadap kelompok bersenjata oleh negara yang
menjadi korban dalam konflik bisa diterima selama ada sanksi yang secara efektif diberlakukan terhadap kelompok ini. Dengan demikian, hak yang dimiliki oleh pihak dalam konflik bersenjata untuk menegakkan peraturan mengenai praktik contraband tidak hanya merupakan suatu hal yang telah diakui dalam hukum internasional untuk melakukan interdiksi namun juga merupakan satu-satunya kondisi dimana dalam kondisi konflik antara negara dan aktor bukan negara diizinkan penggunaan kekuatan bersenjata terhadap kapal dari negara netral. Lebih lanjut, hukum yang mengatur praktik contraband ini juga mengakui hak untuk melakukan interdiksi di wilayah perairan internasional. Dengan mengecualikan keberlakukan dari doktrin pre-emption, argumentasi terkuat sebagai dasar dari interdiksi di perairan internasional, yaitu dengan menggunakan kekuatan bersenjata terhadap kapal tanpa persetujuan dari negara bendera kapal, merupakan suatu pelanggaran terhadap Pasal 2(4) Piagam PBB dan UNCLOS 1982, terlepas dari statusnya sebagai perjanjian internasional maupun sebagai hukum kebiasaan internasional. Kesimpulan Konsep interdiksi merupakan salah satu konsep yang rumit dalam hukum internasional karena melibatkan berbagai macam interdiksi dalam berbagia zona maritim dengan pengaturan dan akibat hukum yang berbeda. Beberapa ahli hukum berpendapat bahwa usaha interdiksi terhadap kapal yang mengangkut WMD merupakan suatu tindakan illegal. Hal in didasarkan pada alasan bahwa target dari interdiksi itu sendiri tidak secara otomatis merupakan aktivitas illegal, yaitu pengangkutan laut. Meskipun dalam hal terjadinya ketidakjelasan mengenai aturan yang melarang kepemilikan dan pengangkutan WMD, masih bisa dipertanyakan juga bahwa sejauh mana interdiksi bisa dilakukan karena UNCLOS 1982 telah secara spesifik menyatakan bahwa segala interdiksi di laut bebas tanpa adanya persetujuan dari negara bendera kapal maupun dalam beberapa kondisi yang secara limitatif ditentukan dalam Pasal 110 UNCLOS 1982 tidak bisa dilakukan. Pada sisi lain, interdiksi juga telah dilakukan berdasarkan persetujuan maupun sepengetahuan bahwa negara bendera kapal tidak akan mengajukan keberatan. Namun, diakui juga bahwa masih ada ketentuan interdiksi yang masih berada pada kondisi yang bias. Pemerintah Amerika Serikat menjustifikasi interdiksi diluar wilayah laut territorial dengan alasan self-defense. Dengan adanya perubahan teknologi berkaitan dengan kapasitas dan tujuan, interdiksi merupakan suatu konsep yang bisa dipertahankan, bahkan sekalipun dengan diberlakukannya beberapa pembatasan dalam Caroline incident yaitu bahwa interdiksi hanya bisa dilakukan bila keadaan sangat memaksa dan tidak ada pilihan lain selain melakukan interdiksi dengan syarat bahwa pelaksanaannya tidak boleh tanpa dasar yang tidak jelas dan tidak boleh berlebihan. Meskipun aplikasinya sangat bergantung pada keadaan namun prinsip yang terkandung dalam Caroline incident ini sangat mungkin untuk diimplementasikan. Ahli hukum lainnya tidak setuju dengan alasan bahwa
argumentasi self-defense tidak bisa mengalahkan keberlakuan Pasal 110 yang merupakan lex specialis dari fokus ketentuan ini. Pasal ini telah menentukan secara jelas bahwa interdiksi tidak bisa dilakukan kecuali ketentuan dalam Pasal 110 ini terpenuhi. Dengan demikian, jika melihat kepada pengaturan dalam dunia internasional dan praktik negara yang juga didukung oleh pendapat para ahli hukum internasional, praktik interdiksi sebagai bentuk hak mempertahankan diri masih jauh dari kata sepakat.