6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Lansia Lanjut usia adalah suatu proses menjadi tua pada seseorang secara alamiah.
Menua adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap jejas atau kerusakan yang diderita (Boedhi-Darmojo, 2010). Proses menua dipengaruhi oleh faktor eksogen dan endogen yang dapat menjadi faktor risiko penyakit degeneratif yang dimulai sejak usia muda atau produktif, namun bersifat subklinis (Fatmah, 2010). Lanjut usia adalah usia kronologis lebih atau sama dengan 65 tahun di Negara maju, tetapi untuk negara sedang berkembang bahwa kelompok manusia usia lanjut adalah usia sesudah melewati atau sama dengan 60 tahun (Oenzil, 2006). Menurut WHO (World Health Organization), lansia dikelompokan menjadi 4 kelompok yaitu usia pertengahan ( usia 45 – 59 tahun), lansia (usia 60 – 74 tahun), lansia tua (usia 75 – 90 tahun) dan usia sangat tua ( usia di atas 90 tahun) (Fatmah, 2010). 2.1.1
Epidemiologi Lansia Seiring dengan meningkatnya usia harapan hidup, populasi penduduk lanjut
usia juga semakin bertambah dari hari ke hari. Pertumbuhan penduduk lansia yang cepat di seluruh dunia telah mengatasi pertumbuhan kelompok usia lainnya. Hal ini dapat dilihat melalui peningkatan penduduk lansia yang signifikan dimana pada tahun 2007, jumlah penduduk lanjut usia adalah sebesar 18,96 juta jiwa dan jumlah ini meningkat
menjadi
20.547.541
orang
pada
tahun
2009
(U.S.Census
Bureau,International Data Base, 2009). Di negara-negara maju, jumlah lansia juga
7
ternyata mengalami peningkatan, antara lain : Jepang (17,2%), Singapura (8,7%), Hongkong (12,9%), dan Korea Selatan (12,9%) (Notoadmodjo, 2007). Menurut WHO, di kawasan Asia Tenggara populasi lansia sebesar 8% atau sekitar 142 juta jiwa. Pada tahun 2050 diperkirakan populasi lansia meningkat 3 kali lipat dari tahun 2013. Pada tahun 2000 jumlah Lansia sekitar 5.300.000 (7,4%) dari total populasi, sedangkan pada tahun 2010 jumlah Lansia 24.000.000 (9,77%) dari total populasi, dan tahun 2020 diperkirakan jumlah Lansia mencapai 28.800.000 (11,34%) dari total populasi. Data Badan Pusat statistik menunjukkan bahwa penduduk lanjut usia di Indonesia pada tahun 2007 berjumlah 18,7 juta jiwa selanjutnya pada tahun 2010 meningkat menjadi 23,9 juta jiwa (9,77 persen). Pada tahun 2020 diprediksikan jumlah lanjut usia mencapai 28,8 juta jiwa (11,34 persen) (Kemenkes RI, 2013). Indonesia adalah termasuk negara yang memasuki era penduduk berstruktur lanjut usia (aging structured population) karena jumlah penduduk yang berusia 60 tahun ke atas sekitar 7,18%. Jumlah penduduk lansia di Indonesia pada tahun 2006 sebesar kurang lebih dari 19 juta, dengan usia harapan hidup 66,2 tahun. Pada tahun 2010 jumlah lansia sebanyak 14,439.967 jiwa (7,18%) dan pada tahun 2010 mengalami peningkatan menjadi 23.992.553 jiwa (9,77%) sementara pada tahun 2011 jumlah lansia sebesar 20 juta jiwa (9,51%), dengan usia harapan hidup 67,4 tahun dan pada tahun 2020 diperkirakan sebesar 28,8 juta (11,34%), dengan usia harapan hidup 71,1 tahun (Depkes, 2012). Di Bali menurut data BPS Provinsi Bali jumlah lansia di Bali pada tahun 2011 sebanyak 371.900 jiwa, pada tahun 2012 sebanyak 680.114 jiwa dan pada tahun 2013 sebanyak 988.329 jiwa (BPS Provinsi Bali, 2013).
8
2.1.2
Permasalahan Lansia Peningkatan populasi lansia tentunya akan diikuti dengan peningkatan risiko
untuk menderita penyakit kronis seperti diabetes melitus, penyakit serebrovaskuler, penyakit jantung koroner, osteoartritis, penyakit musculoskeletal, dan penyakit paru. Pada tahun 2000, di Amerika Serikat diperkirakan 57 juta penduduk menderita berbagai penyakit kronis dan akan meningkat menjadi 81 juta lansia pada tahun 2020.(4) Sekitar 50-80% lansia yang berusia ≥65 tahun akan menderita lebih dari satu penyakit kronis (Yenny, 2006). Kelompok lanjut usia dipandang sebagai kelompok masyarakat yang beresiko mengalami gangguan kesehatan seperti meningkatnya disabilitas fungsional fisik serta sering punya masalah dalam hal makan. Padahal meskipun aktivitas menurun sejalan dengan bertambahnya usia, ia tetap membutuhkan asupan zat gizi lengkap, seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral. Ia masih tetap membutuhkan energi untuk menjalankan fungsi fisiologis tubuhnya (Adriani & Wirjatmadi, 2012). 2.2
Obesitas Obesitas adalah kelebihan lemak dalam tubuh, yang umumnya ditimbun dalam
jaringan subkutan (bawah kulit), sekitar organ tubuh dan kadang terjadi perluasan ke dalam jaringan organnya (Misnadierly, 2007). Obesitas merupakan keadaan yang menunjukkan ketidakseimbangan antara tinggi dan berat badan akibat jaringan lemak dalam tubuh sehingga terjadi kelebihan berat badan yang melampaui ukuran ideal (Sumanto, 2009). The National Heart, Lung and Blood Institute dan WHO menyatakan bahwa obesitas adalah keadaan dimana IMT sesorang sudah melebih 30, dan obesitas ekstrim adalah saat IMT sudah melewati 40. Namun untuk orang Indonesia, seseorang dikatakan obesitas saat memiliki IMT lebih dari 27 (Brown, 2011).
9
2.3
Epidemiologi Obesitas Menurut data Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada tahun 2006, terdapat 1,6
miliar orang dewasa di seluruh dunia mengalami overweight , dan sekurang kurangnya 400 juta mengalami obesitas (Portal Nasional RI, 2009). Di dunia, prevalensi obesitas sangat bervariasi antara negara yang satu dengan negara yang lain, dari <0,1% di Asia Selatan sampai >75% di perkotaan di Samoa. Secara keseluruhan, diperkirakan bahwa lebih dari 1 miliar orang dewasa (16%) mengalami overweight dan sedikitnya 300 juta (5%) mengalami obesitas. Peningkatan prevalensi ini telah teramati di Amerika Utara, Inggris, Eropa Timur, Timur Tengah, negara Pasifik, Australasia, dan China, tetapi beberapa peningkatan tercepat telah teramati di area perkotaan negara berkembang, di mana obesitas dan masalah gizi kurang terjadi bersamaan (nutrition transition) (Gandy, 2006). Di Indonesia, prevalensi obesitas juga mengalami peningkatan. Menurut data riskesdas tahun 2007 (Depkes, 2008), prevalensi obesitas umum pada penduduk dewasa (15 tahun ke atas) secara nasional adalah 19,1% (8,8% BB lebih dan 10,3% Obese). Prevalensi ini meningkat di tahun 2010 (Kementerian Kesehatan, 2010), yakni menurut Riskesdas (2010), prevalensi obesitas umum pada penduduk dewasa (>18 tahun) adalah 21,7% (10,0% BB lebih dan 11,7% Obese). Persentase obesitas ini lebih tinggi dibandingkan dengan persentase kurus pada penduduk dewasa, yaitu 14,8% pada tahun 2007 dan 12,6% pada tahun 2010. Hal ini menunjukkan bahwa obesitas di Indonesia akan menjadi masalah baru yang perlu mendapat perhatian serius.(Dwi, 2011). Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010 dapat dilihat bahwa di Indonesia prevalensi obesitas berdasarkan Indeks Massa Tubuh (IMT) umur 6-12 tahun didapati pada anak laki-laki sebesar 10,7% dan pada anak perempuan sebesar
10
7,7%. Kejadian obesitas pada anak di Provinsi Sulawesi Utara sebesar 6,4%. Di masa mendatang, persoalan gizi lebih pada anak diprediksi bakal lebih meningkat dibandingkan kasus gizi kurang (Kemenkes RI, 2010).Sedangkan prevalensi obesitas pada anak SD di Manado berkisar 2,1%- 25% (Rendy, 2013) Menurut Riskesdas Provinsi Bali tahun 2007, di Provinsi Bali ada dua (2) kabupten memiliki prevalensi obesitas umum di atas angka prevalensi provinsi. Tujuh kabupaten/kota yang memiliki prevalensi obesitas umum terendah adalah Karang Asem, Bangli, Buleleng, jembrana, Gianyar, Klungkung, dan kab.Badung. Sedangkan 2 kabupaten/kota dengan prevalensi obesitas umum tertinggi adalah: Denpasar, dan Kabupaten Tabanan. Prevalensi obesitas sentral untuk tingkat provinsi Bali adalah 16,4%. Dari 9 kabupaten/kota, 4 kabupaten/kota di antaranya memiliki prevalensi obesitas sentral di atas angka prevalensi provinsi yaitu Denpasar 24,3%, kab.Tabanan 18,2%, Gianyar 18,0% dan kab.Jembrana 17,2%. Menurut data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007, prevalensi obesitas pada penduduk berusia ≥ 15 tahun adalah laki-laki 13,9% dan perempuan 23,8%. Dari survei Indeks Masa Tubuh (IMT) pada kelompok usia ≥ 60 tahun di kota besar di Indonesia tahun 2004, 15,6% pria dan 26,1% wanita mengalami obesitas. Sedangkan menurut penelitian pada usia lanjut kelompok binaan Puskesmas di Kecamatan Kota Arga Makmur Kabupaten Bengkulu Utara (2005), 19 orang (30,6%) lansia mengalami obesitas dari 62 responden. Menurut penelitian Juwita (2007), pada lansia di Posyandu Lansia Wilayah Kerja Puskesmas Amplas Medan, 25 orang (20,7%) lansia mengalami obesitas dari 121 responden.Hasil penelitian Nelvin (2008), pada orang dewasa (2160 tahun) dari keluarga miskin di Desa Marindal, 53 orang yang mengalami obesitas, dengan rincian pada umur 21-30 tahun terdapat 21 orang (39,62%), umur 31-40 tahun
11
terdapat 18 orang (33,96%), umur 41-50 tahun terdapat 10 orang (18,87%), dan umur 51-60 tahun terdapat 4 orang (7,55%) yang mengalami obesitas. Brown, dalam bukunya yang berjudul Nutrition Through The Life Cycle, mengatakan bahwa rata-rata IMT suatu populasi akan berada di puncaknya saat usia 60 tahun, dan menurun saat melewati usia 70 tahun. Hal ini disebabkan bukan karena penurunan lemak tubuh, namun akibat dari penurunan lean body mass yang termasuk juga penurunan massa otot. Dari pernyataan diatas, maka menggunakan IMT saja tidak cukup untuk dijadikan acuan obesitas bagi usia lanjut. IMT didesain untuk mengukur dan membandingkan tingkat kekurusan dan kegemukan suatu populasi, bukan jumlah lemak yang berlebih ataupun kurang pada individu (Brown, 2011). 2.4
Jenis- jenis obesitas Jenis obesitas ada bermacam-macam. Secara umum dibedakan berdasarkan
bentuk tubuh dan berdasarkan sel lemak. Jenis obesitas berdasarkan bentuk tubuh yaitu Tipe Android (tipe apel) dan tipe genoid (tipe pear). Tipe android (tipe apel) adalah tipe yang memiliki abdomen besar dengan paha dan pantat relatif kecil dan terjadi da seseorang yang sudah menopause. Tipe genoid (tipe pear) adalah tipe obesitas yang memiliki tubuh dengan abdomen kecil, namun pada bagian pinggul, paha dan pantat relatif besar hingga tampak seperti buah pear. Selain berdasarkan tipe, obesitas juga dibagi berdasarkan usia dan tingkatan kelebihan berat badannya, serta berdasarkan kondisi sel. Obesitas berdasarkan usia dibagi menjadi infancy-onset obesity (kegemukan pada masa bayi), childhood-onset obesity (kegemukan pada masa anakanak), dan adultonset obesity (kegemukan pada masa dewasa). Sementara itu, berdasarkan tingkatannya, obesitas dibagi menjadi 4 jenis yaitu simple Obesity (kelebihan berat badan hingga 20% dari berat badan ideal tanpa disertai penyakit seperti Diabetes Mellitus, hipertensi, dan hyperlipidemia), Mild Obesity (kelebihan
12
berat badan antara 20 – 30% dan perlu diwaspadai), Moderat Obesity (kelebihan berat badan 30 – 60% hingga berisiko terkena penyakit-penyakit yang berhubungan erat dengan obesitas), dan Morbid Obesity (kelebihan berat badan hingga lebih dari 60% hingga berisiko sangat tinggi pada penyakit pernafasan, gagal jantung, bahkan mati mendadak). Berdasarkan kondisi sel, obesitas dibagi menjadi tiga, yaitu tipe hiperlastik yaitu tipe yang disebabkan oleh sel lemak yang ukurannya normal, namun jumlahnya banyak dan Obesitas tipe ini lebih sulit menurunkan berat badan dibandingkan tipe hipertropik. Dan yang kedua tipe hipertropik yaitu tipe yang disebabkan oleh pembesaran ukuran sel, namun tetap dengan jumlah yang normal dan Lebih mudah untuk menurunkan berat badan, namun lebih berisiko juga terhadap penyakit Diabetes Mellitus dan hipertensi. Dan yang ketiga tipe hiperplastikhipertropik yaitu Kegemukan yang terjadi karena jumlah dan ukuran sel lemak melebihi normal. Pembentukan sel lemak baru terjadi segera setelah derajat hypertropik mencapai maksimal dengan perantaraan suatu sinyal yang dikeluarkan oleh sel lemak yang mengalami hypertropik. Kegemukan ini bisa dimulai pada anakanak dan berlangsung terus sampai dewasa. Upaya untuk menurunkan berat badan paling sulit dan resiko tinggi untuk terjadi komplikasi penyakit (Mumpuni & Wulandari, 2010). 2.4
Dampak Obesitas Obesitas merupakan salah satu faktor resiko penyebab terjadinya penyakit
degeneratif seperti diabetes mellitus, penyakit jantung koroner, dan hipertensi menurut Laurentika (dalam Nuri Rahmawati 2009). Banyak penelitian yang memberikan hasil bahwa kejadian obesitas akan mempengaruhi terjadinya berbagai macam penyakit, antara lain adalah: a. Penyakit jantung koroner
13
Peningkatan risiko penyakit jantung koroner sejalan dengan kegemukan yang dialami seseorang. Penyakit jantung koroner adalah penyempitan pembuluh darah yang mengaliri jantung akibat penumpukan lemak. b. Diabetes Mellitus tipe II Diabetes Mellitus tipe II mengakibatkan seseorang memiliki gangguan dalam metabolisme akibat tidak berfungsinya insulin. Diabetes Mellitus sebenarnya memiliki faktor keturunan, namun tidak berbahaya bila seseorang yang membawa gen ini tidak mengalami kegemukan dan menjaga pola makan serta aktivitas fisiknya. c. Hipertensi Berat badan yang berlebih akan membuat kerja jantung lebih berat dalam memompa darah ke seluruh tubuh. Hal ini membuat orang yang obesitas lebih rentan terhadap hipertensi, yaitu keadaan dimana tekanan darah sistol melebihi 140 mmHg dan diastol diatas 90 mmHg. Penderita diabetes tipe android diketahui lebih rentan terhadap hipertensi bila dibandingkan dengan tipe ginoid d. Kanker Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pria yang obesitas, akan lebih mudah terserang penyakit kanker usus besar, dan kelenjar prostat. Sementara pada wanita, terutama yang sudah mengalami menopause, akan mudah terserang penyakit kanker payudara. 2.5
Faktor-faktor obesitas Menurut para ahli, didasarkan pada hasil penelitian, obesitas dapat dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah pola makan, aktiftas fisik, genetic dan hormon. Pola makan merupakan faktor utama terjadinya obesitas. Pola makan adalah cara seseorang atau sekelompok orang untuk memilih makanan dan mengkonsumsinya
14
sebagai reaksi terhadap pengaruh – pengaruh fisiologis, psikologis, budaya dan sosial. Pola makan tidak teratur seperti porsi yang berlebihan yang tidak terkontrol dan menjadi suatu kebiasaan pada anak sehingga menyebabkan status gizi pada anak akan menjadi lebih atau over weight (Sulistyoningsih, 2011). Faktor penyebabnya obesitas kebanyakan karena adanya perubahan gaya hidup dan kebiasaan pola makan yang salah pada anak (Dewi, 2007). Pola makan jika tidak dikonsumsi secara rasional mudah menyebabkan kelebihan masukan kalori yang akan menimbulkan berat badan berlebih (Sismoyo, 2006). Pola makan adalah berbagai informasi yang memberikan gambaran mengenai macam dan jumlah bahan makanan yang dimakan setiap hari oleh satu orang dan merupakan cirri khas untuk suatu kelompok masyarakat tertentu (Bidjuni, 2014). Obesitas terjadi jika seseorang mengonsumsi kalori melebihi jumlah kalori yang dibakar (Yustini, 2014). Aktivitas fisik yang kurang juga tururt memicu terjadinya obesitas. Aktifitas fisik ialah pergerakan dari setiap anggota badan yang melibatkan otot keletal sehingga pengeluaran energi akan lebih besar dari energi basal tubuh. Yang dimaksud exercise (latihan) adalah aktivitas fisik yang dilakukan secara berulang, disengaja, terjadwal dan terstruktur untuk mencapai kesehatan tubuh yang prima baik segi fisik ataupun psikis (Ahmad, 2014). Jenis – jenis aktifitas fisik ada 3 yaitu Aktivitas ringan diantaranya adalah lebih banyak menghabiskan waktunya untuk kegiatan dalam posisi berdiri, diam atau duduk, aktivitas sedang diantaranya adalah melakukan aktivitas berdiri dalam waktu lama dengan membawa beban ringan, sedangkan aktivitas berat diantaranya adalah mencangkul, dan berjalan kaki dalam jarak yang jauh dengan beban yang berat (Suryaputra, 2010). Seseorang yang hidupnya kurang aktif (sedentary life) atau tidak melakukan aktivitas fisik yang seimbang dan mengkonsumsi makanan yang tinggi lemak, akan cenderung mengalami obesitas (Proverawati, 2010). Hal ini
15
disebabkan gaya hidup yang kurang bergerak (aktivitas fisik rendah) menjadikan penumpukan lemak dalam tubuh dan tidak dikeluarkan sebagai energy (Riska, 2014). Aktivitas fisik yang cukup pada orang dewasa dapat menurunkan risiko hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke, diabetes, dan kanker (Winnie, 2013). Beberapa peneliti telah menemukan faktor-faktor yang berkontribusi terhadap kejadian obesitas pada anak, antara lain factor genetik atau keturunan (Maddah & Nikooyeh, 2009). Banyak penelitian mengungkapkan bahwa faktor keturunan (genetik) mempunyai pengaruh yang penting pada terjadinya obesitas, walau mekanismenya belum diketahui (Suciati, 2008). Faktor genetik lebih banyak berperan dalam metabolisme dalam tubuh yang berkaitan dengan penumpukkan lemak di dalam sel-sel lemak dan berperan dalam perilaku makan. Mutasi menyebabkan gen-gen tersebut tidak berfungsi sebagaimana mestinya, sehinggan menyebabkan obesitas pada orang yang bersangkutan.(Victoria, 2010). Menurut Whitney dan Hegarthy dalam Manurung (2009), genetik memegang peranan penting dalam mempengaruhi berat dan komposisi tubuh seseorang. Itulah sebabnya kita seringkali menjumpai orangtua yang gemuk cenderung memiliki anak-anak yang gemuk pula (Agus, 2010). Hormon adalah salah satu faktor obesitas. Leptin merupakan salah satu hormone yang dianggap berperan dalam menyebabkan obesitas.(Yulina, 2010). Obesitas sangat erat kaitannya dengan sekresi hormone ghrelin dan leptin yang ada dalam sirkulasi darah. Hormon ghrelin dan leptin merupakan dua hormon pencernaan yang memberikan signal ke hipotalamus untuk mengatur nafsu makan yang bekerja sebagai system penyeimbang yang mengatur rasa lapar dan kenyang (Salim, 2014). Pengaturan keseimbangan energi diperankan oleh hipotalamus melalui 3 proses fisiologis, yaitu: pengendalian rasa lapar dan kenyang, mempengaruhi laju pengeluaran energy dan regulasi sekresi hormon yang terlibat dalam pengaturan penyimpanan energi, melalui
16
sinyalsinyal efferent yang berpusat di hipotalamus setelah mendapatkan sinyal afferent dari perifer terutama dari jaringan adipose tetapi juga dari usus dan jaringan otot. Sinyal-sinyal tersebut bersifat anabolik (meningkatkan asupan makanan, menurunkan pengeluaran energi) dan katabolik (anoreksia, meningkatkan pengeluaran energi) dan dibagi menjadi 2 kategori, yaitu sinyal pendek dan sinyal panjang (Siti, 2011). Pada waktu perut kosong, akan disekresikan hormon ghrelin yang merangsang nafsu makan. Sistem usus juga mengeluarkan beberapa peptide termasuk hormon obestatin dan cholecystokinin yang merupakan sinyal untuk rasa kenyang dan berhenti makan (Solomon dkk., 2008:1007). Terdapat pula hormon-hormon yang mempengaruhi asupan makanan melalui rangsangan ke otak baik meningkatkan ataupun menurunkan yaitu norepinefrin, serotonin, dopaminin dan histamin. Diantaranya histamin, apabila sekresi histamin berkurang, maka asupan makanan akan meningkat (Nugraha, 2009).