BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 PENUAAN 2.1.1
Penuaan : Penyebab dan Tahapan Penuaan adalah suatu proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti diri dan mempertahankan struktur dan fungsi normalnya, sehingga tidak dapat bertahan serta memperbaiki kerusakan yang diderita. Proses penuaan menyebabkan penurunan sistem dan fungsi tubuh, meliputi sistem endokrin, sistem imun, sistem metabolisme, sistem seksual reproduktif, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, serta sistem saraf dan otot (Pangkahila, 2007). Banyak faktor yang menyebabkan terjadinya suatu proses penuaan yang dapat dikelompokkan menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal antara lain radikal bebas, hormon yang berkurang, proses glikosilasi, metilasi, apoptosis, sistem kekebalan yang menurun dan gen. Faktor eksternal yang utama ialah gaya hidup tidak sehat, diet tidak sehat, kebiasaan salah, polusi lingkungan, stres, dan kemiskinan (Pangkahila, 2011). Proses penuaan berlangsung tidak sekaligus melainkan melalui tahapantahapan sebagai berikut (Pangkahila, 2011) : 1. Tahap Subklinik (usia 25-35 tahun) Pada tahap ini sebagian besar hormon mulai mengalami sedikit penurunan, yaitu hormon testosteron, growth hormon, estrogen.
7
8
Radikal bebas, yang dapat merusak sel dan DNA mulai mempengaruhi tubuh, tetapi secara fisik belum terlihat tanda–tanda penuaan. Namun pada wanita muda yang menggunakan kontrasepsi hormonal dapat ditemukan gangguan sexual desire. 2. Tahap Transisi (usia 35-45 tahun): Selama tahap ini kadar hormon menurun sampai 25 persen. Masa otot berkurang sebanyak satu kilogram setiap beberapa tahun, kehilangan tenaga, dan komposisi lemak tubuh bertambah mengakibatkan terjadinya resistensi insulin, serta risiko penyakit jantung pembuluh darah meningkat. Pada tahap ini gejala penuaan mulai muncul, yaitu penglihatan dan pendengaran menurun, rambut mulai putih, elastisitas kulit berkurang, dorongan seksual dan bangkitan seksual menurun. 3. Tahap Klinis (usia 45 tahun keatas) : Pada tahap ini penurunan hormon terus berlanjut, meliputi DHEA, melatonin, growth hormone, testosteron, estrogen, dan hormon tiroid. Terjadi penurunan bahkan hilangnya kemampuan penyerapan bahan makanan, vitamin, dan mineral. Densitas tulang menurun, masa otot berkurang sekitar satu kilogram setiap tiga tahun, yang mengakibatkan ketidakmampuan membakar kalori sehingga meningkatkan lemak tubuh dan berat badan. Penyakit kronis menjadi lebih nyata, sistem organ tubuh mulai mengalami kegagalan, aktivitas sehari-hari terganggu, dan disfungsi seksual merupakan keluhan yang terpenting.
9
Dengan melihat ketiga tahap ini, dapat dikatakan bahwa proses penuaan tidak selalu dinyatakan dengan suatu gejala atau keluhan. Hal ini mempertegas bahwa seseorang yang tidak menunjukkan gejala ataupun keluhan bukan berarti tidak mengalami proses penuaan dan dalam mengatasi proses penuaan, tidaklah perlu menunggu adanya gejala atau keluhan yang nyata (Pangkahila, 2007).
2.1.2
Mekanisme Proses Penuaan Proses yang melatarbelakangi terjadinya proses penuaan sampai saat ini
masih menjadi perdebatan apakah merupakan proses fisiologis atau patologis, merupakan suatu proses yang terprogram atau peristiwa acak yang dipengaruhi oleh lingkungan eksternal. Perdebatan ini melahirkan beberapa konsep teori yang berusaha menerangkan bagaimana proses penuaan ini bisa terjadi (Goldman dan Klatz, 2007). 1. Teori “wear and tear” Sel dan organ tubuh mengalami kerusakan karena sering digunakan dan disalahgunakan (overuse and abuse). Fungsi organ tubuh menurun karena toksin di dalam makanan dan lingkungan, konsumsi berlebihan dari lemak, gula, kafein, alkohol dan nikotin, akibat sinar ultraviolet dan stres fisik dan emosional (Goldman dan Klatz, 2007). 2. Teori neuroendokrin Hormon berfungsi untuk mengatur fungsi – fungsi organ tubuh. Satu hormon dapat berpengaruh terhadap lebih dari satu fungsi dan satu fungsi dapat dikontrol oleh lebih dari satu hormon. Produksi hormon
10
diatur oleh hipotalamus yang membentuk poros dengan hipofisis dan organ tertentu yang kemudian mengeluarkan hormonnya (Djuanda, 2005). Pada usia muda kadar hormon berada dalam kondisi optimal sehingga tercapai performa biologis yang prima dan berbagai organ tubuh dapat bekerja dengan baik (Pangkahila, 2011). Produksi hormon mengalami perubahan ketika penuaan terjadi. Hormon tertentu mengalami penurunan (growth hormone, triiodothyronine (T3), testosteron, (DHEA)
estrogen,
dan
renin,
aldosteron,
dehydroepidanrosterone
dehydroepidanrosteronesulphate)
sementara
kadar
beberapa hormon lainnya meningkat seperti FSH, LH, vasopresin, insulin, parathyroid hormone (PTH), atrial natriuretic hormone (ANH) dan leptin. Ketidakseimbangan produksi hormon tersebut berpengaruh terhadap regulasi fungsi pertumbuhan, pemeliharaan dan perbaikan tubuh sehingga timbul berbagai keluhan yang dianggap sebagai gejala penuaan. Hubungan antara penuaan dan perubahan hormon terjadi secara timbal balik, yaitu proses penuaan mempengaruhi produksi hormon begitu pula sebaliknya penurunan hormon menyebabkan timbulnya keluhan-keluhan penuaan (Djuanda, 2005; Pangkahila, 2007). 3. Teori kontrol genetik Berdasarkan teori ini, setiap manusia memiliki kode genetik unik yang tersandi dalam deoxyribo-nucleic acid (DNA), yang menentukan setiap fungsi fisik dan mental dalam tubuh. Kerusakan pada kode genetik
11
tersebut menentukan seberapa cepat penuaan terjadi dan berapa lama individu tersebut dapat hidup (Goldman dan Klatz, 2007). 4. Teori radikal bebas Penuaan dianggap berhubungan dengan akumulasi radikal bebas yang meningkat seiring dengan pertambahan usia. Peningkatan radikal bebas menimbulkan kerusakan terhadap molekul-molekul organik seperti protein, DNA dan lemak. Kerusakan molekul akan bermanifestasi pada penyakit-penyakit berkaitan dengan usia tua seperti Alzheimer, aterosklerosis, kanker, Parkinson dan penurunan fungsi imun (Pangkahila, 2007).
2.2 OBESITAS 2.2.1
Definisi Obesitas didefinisikan oleh WHO sebagai akumulasi lemak yang abnormal
atau berlebihan yang berpeluang menimbulkan beberapa risiko kesehatan pada seorang individu (Nurmalina, 2011). Akumulasi lemak berlebih ini terjadi akibat adanya ketidakseimbangan antara pemasukan energi dan pengeluaran energi. Kegemukan tercatat sebagai faktor risiko utama kelima penyebab kematian di seluruh dunia (Pangkahila, 2011). Dalam mendefinisikan obesitas, muncul istilah kegemukan, overweight, dan obese namun masing-masing memiliki arti yang berbeda-beda. Berdasarkan metode pengukuran derajat obesitas yaitu Indeks Massa Tubuh (IMT), IMT ≥ 23
12
didefinisikan sebagai overweight sementara dikatakan obesitas apabila IMT ≥ 25 (WHO, 2005).
2.2.2
Epidemiologi Obesitas Obesitas telah menjadi suatu masalah kesehatan global, di mana terjadi
peningkatan prevalensi obesitas yang signifikan di seluruh dunia. Di negara maju seperti Amerika, penderita kegemukan diprediksi akan mencapai 85% pada tahun 2030, dimana 51,1% merupakan kasus obesitas (Nduhirabdani dkk., 2011). Tidak hanya di negara-negara maju, peningkatan prevalensi obesitas juga dialami negara-negara yang sedang berkembang, khususnya di Asia Tenggara dan Pasifik Barat. Obesitas dapat meningkatkan risiko beragam penyakit serius baik pada orang dewasa dan anak-anak seperti jantung koroner, stroke, tekanan darah tinggi, diabetes melitus tipe 2, lemak darah abnormal, kanker, osteoarthritis, sleep apnea, batu empedu, dan masalah reproduksi. Selain menimbulkan masalah kesehatan, obesitas juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan terhadap biaya medis dan biaya perawatan, baik biaya langsung maupun tidak langsung yang mencakup biaya layanan pencegahan, diagnosis, dan pengobatan yang berkaitan dengan obesitas (Nurmalina, 2011).
2.2.3
Etiologi dan Patofisiologi Obesitas Penyebab kegemukan dan obesitas sampai saat ini masih belum
sepenuhnya dipahami. Berdasarkan data penelitian diketahui ada banyak faktor
13
yang berperan dalam terjadinya obesitas seperti faktor genetik, kurangnya keseimbangan energi, kurangnya aktivitas fisik, lingkungan, kondisi kesehatan dan hormonal, obat-obatan dan faktor emosional (Nurmalina, 2011). Berbagai penelitian menunjukkan bahwa diet tinggi lemak dan karbohidrat akan menyebabkan peningkatan berat badan dan lemak tubuh, yang lama kelamaan dapat menimbulkan obesitas. Walaupun faktor genetik juga berperan dalam menentukan kecenderungan terjadinya obesitas, faktor lingkungan, yaitu diet tinggi lemak dan karbohidrat, dianggap lebih berperan penting (Wood dkk., 2003). Beberapa faktor yang dianggap memiliki peranan dalam terjadinya obesitas adalah sebagai berikut : 1. Faktor genetik Banyak gen yang berkaitan dengan terjadinya obesitas, namun sangat jarang yang berkaitan dengan gen tunggal. Sebagian besar berkaitan dengan kelainan pada banyak gen. Pada penyebab gen tunggal, di antaranya yang sudah diketahui adalah adanya mutasi pada gen leptin, reseptor leptin, reseptor melanocortin-4, pro-opiomelanocortin dan pada gen peroxisome proliferator-activated receptor gamma (PPAR-γ atau PPARG) (Paracchini dkk., 2005). 2. Aktivitas fisik Terjadinya obesitas merupakan dampak dari terjadinya kelebihan asupan energi (energy intake) dibandingkan dengan yang diperlukan (energy expenditure) oleh tubuh sehingga kelebihan asupan energi
14
disimpan dalam bentuk lemak (Soegih, 2009). Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan energi (energy expenditure), sehingga apabila aktivitas fisik rendah maka kemungkinan terjadinya obesitas akan meningkat. 3. Diet tinggi karbohidrat dan lemak Makanan merupakan sumber dari asupan energi, yang bila berlebih, maka karbohidrat akan disimpan sebagai glikogen dan lemak; protein akan disimpan sebagai protein tubuh; sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak. Tubuh memiliki kemampuan menyimpan lemak yang tidak terbatas (Soegih, 2009). Faktor-faktor yang berpengaruh dari asupan makanan terhadap terjadinya obesitas adalah kuantitas, porsi sekali makan, kepadatan energi, kebiasaan makan saat malam hari, frekuensi makan, dan jenis makanan (Barassi, 2009). 4. Regulasi fisiologis metabolisme Regulasi fisiologis metabolisme tubuh terdiri dari controller (otak) dan controlled system / nutrient partitioning yaitu organ di luar otak yang berperan dalam menggunakan atau menyimpan energi seperti saluran cerna, hati, otot, ginjal, dan jaringan lemak (Soegih, 2009).
Otak
menerima rangsang dari lingkungan ataupun dari dalam tubuh sendiri dalam bentuk sinyal neural dan humoral yang selanjutnya membuat otak merespon dalam bentuk menghambat atau mengaktivasi motor system, dan memodulasi sistem saraf dan hormonal untuk mencari atau menjauhi makanan. Hasil dari sinyal yang diterima oleh otak akan
15
memperngaruhi pemilihan jenis makanan, porsi makan, lama makan, proses pencernaan, absorpsi serta metabolisme zat gizi dalam tubuh. Hasil
akhirnya
dapat
berupa
pembentukan
jaringan
lemak,
glikogenesis, pembentukan hormon dan enzim, atau dibakarnya zat gizi sebagai energi (Soegih, 2009). 5. Gangguan kesehatan dan ketidakseimbangan hormon Gangguan
hormon
seperti
Cushing
syndrome,
adrenocortical
hyperactivity, dan hipogonad dapat menyebabkan penimbunan lemak tubuh (Wirahadikusumah, 2000). Ketidakseimbangan hormon tubuh seperti pada wanita postmenopause atau pada pasien hipogonad juga akan memberikan gambaran obesitas. 6. Obat-obatan Obat yang memperlambat metabolisme atau meningkatkan nafsu makan dapat menyebabkan kelebihan berat badan seperti kortikosteroid dan antidepresan (Nurmalina, 2011). 7. Faktor emosi Beberapa orang makan lebih dari biasanya ketika sedang merasa bosan, marah, atau sedih (Soegih, 2009).
2.2.4
Obesitas dan Hormon Testosteron Terdapat dua paradigma yang saling berkaitan dalam hal menjelaskan
hubungan antara obesitas dan hormon testosteron yaitu defisiensi hormon
16
androgen yang dipicu oleh obesitas dan obesitas yang dipicu oleh kondisi hipogonadisme.
Gambar 2.1 Hipotesis hipogonad – obesitas (Kelly dan Jones, 2013) Hormon testosteron mengalami konversi menjadi 17β-estradiol (E2) dengan bantuan enzim aromatase yang dihasilkan oleh jaringan lemak. Jaringan lemak tidak semata-mata berlaku sebagai tempat penyimpanan energi saja namun juga berperan dalam sistem endokrin. Akibat dari peningkatan jumlah lemak yang akan meningkatkan konversi testosteron, jumlah hormon testosteron yang
17
bersirkulasi akan berkurang. Penurunan kadar testosteron akan memicu terjadinya deposisi lemak lebih lanjut. Hal ini berlangsung berulang-ulang dan menyebabkan semakin rendahnya kadar testosteron dalam darah. Estradiol beserta tumour necrosis factor (TNF)-α dan interleukin (IL)-6 yang dihasilkan oleh sel adiposa akan menghambat produksi GnRH di hipotalamus serta pelepasan LH dan FSH oleh hipofisis. Kondisi ini menurunkan stimulasi terhadap jaringan gonad serta akan menurunkan produksi testosteron lebih lanjut (Kelly dan Jones, 2013). Pada penderita obesitas, di mana terjadi produksi leptin yang berlebih oleh sel adiposa, hypothalamic-hypofise axis akan mengalami resistensi terhadap leptin dan akan terjadi inhibisi terhadap produksi testosteron oleh sel Leydig (Isidori dkk., 1999). Berdasarkan fakta ini, dapat disimpulkan bahwa kondisi obesitas akan menyebabkan penurunan kadar testosteron dalam tubuh.
2.2.5
Obesitas dan Diabetes Melitus Hormon insulin terutama bekerja pada tiga jaringan utama yaitu otot
skeletal , hati, dan jaringan lemak. Pada kondisi hiperglikemia, ketiga jaringan ini tidak berespon secara adekuat terhadap hormon insulin yang bersirkulasi. Akibat dari resistensi insulin ini akan menyebabkan terganggunya aktivitas transpor glukosa oleh jaringan otot, terhambatnya inhibisi glukoneogenesis dan stimulasi glikogenesis di hati, serta berkurangnya kemampuan insulin untuk mencegah lipolisis di jaringan lemak.
18
Sebagai konsekuensi dari pelepasan asam lemak (free fatty acid) oleh jaringan lemak, terjadi penimbunan lemak di jaringan lain terutama otot dan hati (fatty liver). Akumulasi lemak pada kedua jaringan inilah yang berperan dalam abnormalitas dari kontrol glukosa tubuh serta resistensi insulin di jaringan (Kelly dan Jones, 2013). Resistensi insulin yang terutama disebabkan oleh penumpukan lemak abdominal, terbukti sebagai faktor patologis utama dalam terjadinya diabetes dan sindrom metabolik.
Gambar 2.2 Hubungan obesitas dengan resistensi insulin (Kelly dan Jones, 2013)
19
Obesitas berkaitan erat dengan kelainan metabolik dan penyakit kardiovaskular. Kelainan metabolik akibat obesitas yang sering disebut sebagai sindrom metabolik, ditandai dengan adanya tiga atau lebih dari faktor berikut, yaitu obesitas sentral, peningkatan tekanan darah, trigliserida, glukosa darah puasa, dan penurunan kadar kolesterol HDL. Peningkatan adipokin seperti PAI-1, TNF-α, IL-6, MCP-1, angiotensinogen dan penurunan adiponektin pada obesitas terlibat dalam patogenesis terjadinya sindrom metabolik (Furukawa dkk., 2004).
2.2.6
Pengaruh Obesitas terhadap Stres Oksidatif Penelitian pada binatang percobaan menunjukkan hubungan antara diet
tinggi lemak dan karbohidrat, obesitas, dan stres oksidatif. Stres oksidatif berperan penting pada patogenesis berbagai penyakit, seperti resistensi insulin, disfungsi endotel, hipertensi, inflamasi, dan aterosklerosis (Beltowski dkk., 2000; Ceriello dan Motz, 2004; Roberts dkk., 2006). Penelitian pada manusia juga menunjukkan bahwa obesitas meningkatkan pembentukan radikal bebas berlebihan yang akan mengganggu keseimbangan antara prooksidan dan antioksidan dalam tubuh, sehingga menimbulkan stres oksidatif. Hal ini menunjukkan adanya adiposity threshold, kondisi di mana tubuh tidak dapat lagi menghasilkan antioksidan yang cukup untuk menetralisir radikal bebas yang terbentuk (Olusi, 2002; Vincent dan Taylor, 2006). Peningkatan stres oksidatif dapat terjadi melalui beberapa mekanisme, yaitu peningkatan produksi ROS (reactive oxygen species) akibat oksidasi mitokondria dan peroksisomal dari asam lemak serta konsumsi oksigen berlebih yang menyebabkan timbulnya
20
radikal bebas pada rantai respirasi mitokondria. Sel adiposa juga memproduksi sitokin pro-inflamasi seperti interleukin (IL)-6 dan tumour necrosis factor (TNF)α. Sementara penurunan adiponektin akan menyebabkan terjadi resistensi insulin dan atherosclerosis (Sanchez dkk., 2011; Marseglia dkk., 2015).
2.3 DIABETES MELITUS 2.3.1
Definisi Diabetes Melitus Diabetes melitus, yang umum dikenal sebagai penyakit kencing manis,
merupakan keadaaan hiperglikemia kronik yang disebabkan oleh karena kelainan sekresi insulin, gangguan kerja insulin, atau kombinasi dari keduanya (Perkeni, 2008). Berdasarkan etiologinya, faktor yang menyebabkan keadaan hiperglikemia adalah penurunan sekresi insulin, penghambatan glikolisis dan peningkatan dari produksi glukosa di dalam tubuh (Powers, 2008). Definisi diabetes melitus menurut World Health Organization (WHO) adalah berdasarkan kadar glukosa puasa ≥ 126 mg/dL atau kadar glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dL disertai dengan gejala klasik, dimana kadar glukosa darah puasa antara 100 dan 125 mg/dL (6,1 sampai 7,0 mmol/L) dapat dikatakan suatu keadaan pre-diabetes. Diagnosis diabetes mellitus hanya bisa ditegakkan dengan melakukan pemeriksaan kadar glukosa darah, di mana dianjurkan pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan menggunakan bahan darah plasma vena (Perkeni, 2008).
21
Tabel 2.1 Kadar glukosa darah sewaktu dan puasa sebagai patokan penyaring dan diagnosis
Kadar Glukosa darah sewaktu (mg/dl) Kadar Glukosa darah puasa (mg/dl)
plasma vena
Bukan DM <100
darah kapiler
<90
90-199
>200
plasma vena
<100
100-125
>126
darah kapiler
<90
90-99
>100
Belum pasti DM
DM
100-199
>200
Diambil dari Konsensus pengelolaan dan pencegahan DM tipe 2 di Indonesia (PERKENI,2006)
2.3.2
Epidemiologi Diabetes Melitus Pandemi obesitas dan diabetes melitus (DM), khususnya DM tipe 2
(T2DM) kini menjadi ancaman yang serius bagi penduduk dunia. Di tahun 2012, sekitar 29,1 juta penduduk Amerika atau 9,3% dari keseluruhan populasi menderita penyakit diabetes melitus sementara sekitar 86 juta jiwa diperkirakan sudah mengalami keadaan pre-diabetes (WHO, 2014). Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) yang dilaporkan oleh Departemen Kesehatan tahun 2013 menunjukkan prevalensi DM di Indonesia mengalami peningkatan menjadi 1,2%. Menurut WHO, pasien diabetes di Indonesia akan mengalami kenaikan dari 8,4 juta jiwa pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta jiwa pada tahun 2030. Tingginya angka kesakitan tersebut menjadikan Indonesia menduduki peringkat ke 4 dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Angka tersebut dikhawatirkan akan terus meningkat tanpa upaya pencegahan dan program pengendalian yang efektif (DepKes, 2013).
22
2.3.3
Faktor Risiko Diabetes Melitus Ada beberapa faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan
terjadinya penyakit diabetes pada seorang individu. Faktor-faktor risiko tersebut antara lain adalah (Buse dkk., 2003; Semiardji, 2005) : 1. Faktor yang dapat dimodifikasi Obesitas, kurangnya aktivitas fisik, kondisi pre-diabetes atau TGT, hipertensi, kadar kolesterol HDL < 35 mg/dL, kadar trigliserida > 150 mg/dL. 2. Faktor yang tidak dapat dimodifikasi Usia > 45 tahun, etnis tertentu (contohnya African American, Hispanic American, Native American, Asian American, dan Pasific Islander) atau adanya faktor genetik, riwayat gestasional diabetes atau pernah melahirkan bayi dengan berat lebih dari 4 kg, riwayat Polycystic Ovary Syndrome, dan riwayat penyakit pembuluh darah.
2.3.4
Klasifikasi Berdasarkan pada etiologinya, diabetes melitus dapat diklasifikasikan
sebagai berikut (Harrison, 2008): 1.
Diabetes melitus tipe 1, di mana kelainan metabolisme glukosa
disebabkan oleh destruksi sel beta pankreas dan biasanya dijumpai defisiensi insulin yang absolut.
23
2.
Diabetes melitus tipe 2, di mana kelainan metabolisme glukosa
disebabkan oleh adanya resistensi insulin, defek sekresi insulin, atau gabungan dari keduanya. 3. Diabetes tipe lain 4. Diabetes gestasional
2.3.5
Patogenesis Diabetes Melitus Berbeda dengan diabetes melitus tipe 1, diabetes melitus tipe 2 (T2DM)
terjadi akibat kombinasi dari resistensi insulin dan sekresi insulin yang tidak adekuat. Pada banyak penelitian ditemukan bahwa umumnya resistensi insulin akan terjadi lebih dahulu namun kondisi diabetes baru memberikan gejala setelah sekresi insulin tidak lagi adekuat. Patogenesis T2DM sangat kompleks karena T2DM bersifat poligenik dan multifaktorial, di mana peran genetik dan pengaruh lingkungan dapat mempengaruhi tampilan penyakit ini (Buse dkk., 2003; Harrison, 2008). Diabetes melitus tipe 2 terutama ditandai oleh sekresi insulin yang terganggu, resistensi insulin, produksi glukosa di hati yang berlebih, dan metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas dapat ditemukan pada hampir 80% kasus T2DM. Awal dari T2DM hanya ditandai dengan resistensi insulin dengan kadar glukosa darah yang normal. Hal ini dapat terjadi akibat adanya mekanisme kompensasi tubuh dengan meningkatkan sekresi insulin. Kondisi hiperinsulinemia yang berlangsung terus menerus akan menyebabkan kelelahan sel beta pankreas
24
dan sekresi insulin pun akan berkurang. Pada titik ini, dapat ditemui gambaran kadar glukosa darah yang meningkat dan disertai dengan peningkatan pembentukan glukosa di hati akibat sekresi insulin yang semakin menurun (Vail, 2004; Harrison, 2008). Mekanisme awal terjadinya resistensi insulin masih belum dapat dipastikan, diperkirakan disebabkan oleh penurunan jumlah reseptor insulin dan penurunan aktivitas tyrosine kinase yang bersifat sekunder terhadap kondisi hiperinsulinemia. Kondisi yang dianggap menyebabkan keadaan resistensi ini adalah obesitas terutama obesitas viseral di mana peningkatan asam lemak bebas serta adipokine yang dihasilkan sel lemak yang memodulasi sensitivitas sel terhadap insulin (Harrison, 2008).
2.3.6
Gejala Klinis Diabetes Melitus Diabetes melitus umumnya akan memberikan beberapa gejala, yang
dibedakan menjadi gejala akut dan gejala kronis. Gejala akut adalah gejala yang khas ditemui pada penderita diabetes yaitu polidipsia sebagai mekanisme kompensasi tubuh kehilangan cairan dan elektrolit, poliuria akibat peningkatan kadar glukosa melebihi ambang renal sehingga terjadi diuresis osmotik, polifagia, dan penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas. Gejala kronis umumnya merupakan gejala yang kurang khas dan tidak langsung dijumpai pada awal perjalanan penyakit seperti rasa lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, rasa gatal, penglihatan kabur, dan disfungsi ereksi pada pria (Babar dan Skugor, 2009).
25
2.3.7
Kriteria Diagnosis Diabetes Melitus Diagnosis diabetes melitus dapat ditegakkan berdasarkan beberapa kriteria
dan pemeriksaan. Kriteria diagnosis yang ditetapkan menurut Perkeni meliputi tiga cara. Pertama, jika ditemukan gejala khas diabetes maka pemeriksaan glukosa darah sewaktu > 200 mg/dL sudah dapat menegakkan diagnosis T2DM. Kedua, dengan melakukan pemeriksaan glukosa darah puasa > 126 mg/dL disertai dengan gejala khas diabetes, di mana puasa diartikan sebagai pasien tidak mendapat kalori tambahan selama 8 jam. Ketiga adalah dengan melakukan pemeriksaan tes toleransi glukosa darah oral (TTGO) dengan kadar glukosa darah > 200 mg/dL dalam 2 jam setelah mengkonsumsi 75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air (Perkeni, 2008). TTGO bersifat lebih sensitif dan spesifik dalam mendiagnosa diabetes namun dalam pelaksanaannya memiliki keterbatasan dan lebih jarang dilakukan. Cara kedua lebih mudah dilakukan, lebih mudah diterima pasien, dan lebih murah sehingga sering dijadikan sebagai dasar pemeriksaan dalam praktek sehari-hari. Pemeriksaan hemoglobin terglikosilasi (HbA1c), yaitu hasil glikosilasi hemoglobin yang berikatan dengan glukosa pada gugus asam aminonya, bersifat spesifik untuk mendiagnosa diabetes melitus namun tidak bersifat sensitif di mana penderita diabetes dapat memiliki nilai HbA1c di bawah rentang normal. HbA1c merupakan metode yang baik untuk menilai efektivitas dari pengobatan diabetes yang dilakukan (Buse dkk., 2003; Hoogwart, 2009).
26
2.3.8
Komplikasi pada Hiperglikemia Keadaan hiperglikemia memicu timbulnya berbagai komplikasi. Menurut
Danerson (1994) komplikasi akibat diabetes melitus dibedakan menjadi komplikasi akut dan kronis, yang dibagi lagi menjadi makroangiopati dan mikroangipati. Komplikasi akut meliputi ketoasidosis diabetik, koma, hiperglikemia, dan hipoglikemia. Komplikasi makroangipati antara lain penyakit jantung koroner, stroke, dan peripheral artery disease. Komplikasi mikroangipati berupa retinopati diabetik, neuropati, dan nefropati diabetik. Selain itu dapat timbul gangguan pada sistem gastrointestinal berupa gastroparesis atau diare, sistem genitourinaria, kelainan kulit, katarak, glaukoma, penyakit periodontal, serta menurunnya fungsi pendengaran (Harrison, 2008). Ada beberapa hipotesis yang menerangkan proses terjadinya komplikasi pada keadaan hiperglikemia ini : 1. Melalui jalur sorbitol (Polyol Pathway) Glukosa yang masuk dalam sel sebagian akan dimetabolisme menjadi sorbitol oleh nicotinic acid adenine dinucleotide phosphate (NADPH). Peningkatan sorbitol memicu reaksi redoks, meningkatkan osmolalitas sel, dan memicu kerusakan sel. Sementara pengurangan jumlah NADPH yang merupakan kofaktor untuk regenarasi glutathion (GSH), menyebabkan GSH berkurang, sehingga ROS (reactive oxygen spesies) akan meningkat. Hiperglikemia juga menghambat glucose-6-phosphat dehydrogenase yang merupakan sumber regenerasi NADPH, sehingga
27
jumlah NADPH akan berkurang di dalam sel pembuluh darah dan neuron, mengakibatkan berkurangnya sintesa nitrit oxide (NO) (Subekti, 2005). 2. Melalui pembentukkan AGEs (Advanced Glycosylation End Products) AGEs merupakan produk lanjutan yang terbentuk saat terdapat kelebihan glukosa dalam tubuh. AGEs terbentuk melalui reaksi nonenzimatik di mana kelebihan glukosa akan berikatan dengan protein atau asam amino, kemudian membentuk produk glikasi yang bersifat reversibel yaitu Schiff base lalu menjadi Amadori product, selanjutnya menjadi AGEs yang tidak reversibel. AGEs merusak struktur enzimatik dan fungsi protein yang mengalami glikasi tersebut. (Subekti, 2005). Pada sel beta pankreas, AGEs memicu modifikasi oksidatif yang selanjutnya akan merusak sel. 3. Melalui peningkatan aktivasi PKC (Protein Kinase C) melalui peningkatan DAG (Diacylglycerol) PKC menyebabkan perubahan pada gen yang mengkode fibrinopektin, kolagen tipe IV, protein kontraktil, dan matriks ekstrasel di sel endotel dan saraf. PKC menstimulasi pembentukan ROS melalui aktivasi NAD(P)H oksidase. 4. Melalui peningkatan aktifitas jalur Hexosamine Pada keadaan hiperglikemi, glukosa akan mengaktifkan
jalur
hexosamine yang akan mengakibatkan perubahan ekspresi gen dan
28
fungsi protein. Perubahan ini yang akan berkontribusi terhadap proses terjadinya komplikasi pada DM (Taguchi dan Brownlee, 2005). Hiperglikemi H
Hyperglycemia Sorbitol
DAG – PKC
Hexosamine
AGE
Pathway
Pathway
Pathway
Pathway
Oxidative stress
Endothelial dysfunction Vascular compilation
Gambar 2.3 Proses Komplikasi pada Penderita Hiperglikemi
2.3.9
Penatalaksanaan Diabetes Melitus Tipe 2 Berdasarkan Konsensus Diabetes Melitus, disebutkan ada empat pilar
dalam penatalaksanaan diabetes melitus yaitu edukasi, terapi gizi medis, latihan jasmani, dan intervensi farmakologis (Perkeni, 2008). Penatalaksanaan diabetes di luar intervensi farmakologis umumnya dilaksanakan terlebih dahulu selama 2-4 minggu diikuti dengan pemantauan kadar gula darah pasien. Bila pada kurun waktu tersebut, kadar gula darah ideal belum dapat dicapai maka dapat dimulai terapi farmakologis. Terapi farmakologis juga
29
dapat langsung dimulai pada keadaan tertentu, misalnya dekompensasi metabolik yang berat (Perkeni, 2008). Intervensi farmakologis dapat berupa obat hipoglikemik oral (OHO), insulin, ataupun kombinasi dari OHO dan insulin. Obat hipoglikemik oral dapat dikelompokkan menjadi beberapa golongan : 1. Pemicu sekresi insulin -
Sulfonilurea Glibenklamid merupakan salah satu golongan sulfonilurea yang paling
umum
digunakan
sebagai
lini
pertama
terapi
antihiperglikemia oral dan umumnya menjadi pilihan utama untuk pasien dengan berat badan normal dan kurang. Glibenklamid memiliki efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas dengan cara menghambat kerja ATP-sensitive potassium channels sehingga kalsium intraseluler meningkat. -
Glinid Repaglinid dan Nateglinid meningkatkan sekresi insulin fase pertama, diabsorpsi cepat setelah pemberian oral dan diekskresi secara cepat melalui hati.
2. Penambah sensitivitas insulin Tiazolidindion berikatan pada Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-γ) di inti sel otot dan sel lemak. Golongan ini menurunkan resistensi insulin dengan cara meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa sehingga akan meningkatkan ambilan
30
glukosa oleh sel. Efek samping dari obat ini adalah retensi cairan sehingga dapat menambah berat badan, dan tidak dapat diberikan pada penderita gagal jantung kelas IV. 3. Penghambat glukoneogenesis Metformin bekerja dengan menurunkan produksi glukosa di hati dan memperbaiki ambilan glukosa di tingkat sel. Obat ini biasa digunakan pada pasien diabetes yang gemuk karena tidak memiliki efek stimulasi sel beta pankreas sehingga tidak mengakibatkan hipoglikemia ataupun penambahan berat badan (Babar dan Skugor, 2009). 4. Penghambat enzim glukosidase alfa Acarbose bekerja dengan menghambat enzim α-glukosidase di saluran cerna, sehingga pemecahan polisakarida berkurang dan mengurangi absorpsi glukosa di usus halus sehingga dapat menurunkan kadar glukosa post-prandial. Obat ini tidak mengakibatkan hipoglikemia, dan efek sampingnya ringan. Prinsip pemberian OHO pada pasien diabetes adalah dimulai dengan dosis rendah dan ditingkatkan secara bertahap, sesuai dengan respon tubuh terhadap pengobatan.
2.3.10 Streptozotosin (STZ) dan Diabetes melitus Streptozotosin merupakan senyawa yang disintesis dari Streptomycetes achromogenes yang memiliki fungsi antibakterial spektrum luas, anti tumor,
31
bersifat karsinogenik, dan secara selektif menghancurkan sel beta pada pulau Langerhans (Cooperstein, 1981). Induksi percobaan diabetes menggunakan streptozotocin sangat mudah untuk dilakukan di mana penyuntikan streptozotocin menyebabkan degradasi dari sel beta pankreas (Abeeleh dkk., 2009). Stretptozotocin secara selektif terakumulasi di dalam sel beta pankreas melalui transporter glukosa GLUT2 yang infinitasnya rendah, yang terdapat di dalam membran sel (Lenzen, 2008). Mekanisme kerja dari streptozotocin adalah terjadinya perpindahan gugus metil dari streptozotocin menuju molekul DNA, sehingga menyebabkan rantai DNA pada sel beta pankreas terputus. Dalam upaya untuk memperbaiki DNA, poliADP-ribose polymerase distimulasi secara berlebihan sehingga menurunkan kadar NAD+ dan ATP. Dengan menipisnya energi yang disimpan pada sel menyebabkan kematian pada sel beta, sehingga selanjutnya akan menghambat sintesis proinsulin dan menginduksi terjadinya keadaan hiperglikemia. Streptozotocin menghambat sekresi insulin dan menyebabkan insulin dependent diabetes melitus (IDDM) (Lenzen, 2008). Secara klinis, gejala dari diabetes pada tikus akan terlihat jelas dalam 2-4 hari setelah penyuntikan secara intraperitoneal dengan dosis tunggal (Abeeleh dkk., 2009). Streptozotocin juga mengaktivasi spesies oksigen reaktif seperti superoksida (O2-), radikal hidroksil (-OH) dan hidrogen peroksida (H2O2) (Li, 2001). Pemberian
nicotinamide
sebelum
pemberian
streptozotocin
dapat
melindungi sel beta pankreas yang mengalami nekrosis. Pemberian nicotinamide akan menyebabkan inhibisi dari sintesis poly-ADP-ribose, pengikatan radikal
32
bebas, penekanan dari ekspresi MHC-II, penekanan pada aktivitas nitric oxide, dan memblokir efek yang ditimbulkan oleh interleukin (IL)-1 (Greenbaum dkk., 1996). Nicotinamide bersifat dose-dependent sehingga besarnya jumlah sel beta yang terlindungi berbanding lurus dengan banyaknya jumlah nicotinamide yang diberikan (Hoorens dkk., 1999).
2.4 PANKREAS 2.4.1
Anatomi Fisiologi Kelenjar Pankreas Pankreas adalah organ yang terdiri dari jaringan eksokrin dan endokrin.
Bagian eksokrin mengeluarkan enzim-enzim pencernaan melalui duktus pankreatikus ke dalam saluran cerna. Bagian endokrin tersebar di antara bagian eksokrin, dikenal sebagai pulau Langerhans. Pulau Langerhans terdiri dari empat macam sel yaitu sel beta, sel alfa, sel delta, dan sel pankreas polipeptida. Dalam pulau Langerhans manusia dewasa normal, jumlah sel beta berkisar antara 75% - 80% dari populasi sel pulau Langerhans. Sel beta tersebar di bagian tengah pulau Langerhans, sementara ketiga jenis sel lainnya terletak di bagian perifer (Sherwood, 2001). Sel beta berperan dalam menghasilkan insulin, sementara sel alfa berperan dalam menghasilkan glukagon. Insulin berperan dalam meningkatkan transport glukosa ke dalam sel, sementara glukagon berfungsi untuk meningkatkan glikogenolisis di hati. Kadar gula darah dipertahankan oleh mekanisme umpan balik antara hormon insulin dan glukagon, di mana sekresi keduanya dihambat oleh somatostatin yang dihasilkan oleh sel delta. Peningkatan kadar gula darah
33
akan merangsang sekresi insulin dan menghambat sekresi glukagon, sementara penurunan gula darah akan menyebabkan penurunan sekresi insulin dan peningkatan sekresi glukagon (Sherwood, 2001).
Gambar 2.4 Mekanisme kerja Insulin – Glukagon (Sherwood, 2001)
2.4.2
Sel Beta Pankreas Berdasarkan United Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) dan
Belfast Diabetes Study, pada saat diagnosis diabetes melitus ditegakkan fungsi sel beta pankreas telah menurun sekitar 50 – 60% dan penurunan ini diperkirakan telah terjadi 10 – 12 tahun sebelum muncul kondisi hiperglikemia. Dari kedua penelitian ini disimpulkan bahwa tidak ada hiperglikemia yang tidak disertai dengan disfungsi sel beta pankreas (Popa dan Mota, 2013)
34
Kerusakan sel beta akibat keadaan hiperglikemia terjadi secara bertahap di mana awalnya sel beta mengalami desensitisasi akibat hiperglikemia berulang, lalu terjadi penurunan fungsi apabila keadaaan tersebut berlanjut akibat beta cell exhaustion. Keadaan ini akan terus berlanjut menjadi kerusakan dan apoptosis sel beta yang tidak reversibel (Shoelson dkk., 2006) Perubahan histopatologis pulau Langerhans pada keadaan diabetes dapat terjadi secara kuantitatif maupun kualitatif. Perubahan kuantitatif yang dapat diamati adalah pengurangan jumlah dan ukuran pada pulau Langerhans, sementara perubahan kualitatif dapat berupa terjadinya nekrosis, degenerasi, ataupun amyloidosis (Suarsana dkk., 2010). Gambaran histopatologis pankreas yang mungkin didapati pada keadaan diabetes adalah struktur pulau Langerhans yang ireguler akibat adanya hiperplasia atau hipertrofi yang mendahului disertai infiltrasi oleh sel inflamasi. Pada keadaan diabetes yang semakin lanjut didapatkan replikasi sel beta yang menurun dan apoptosis sel beta yang meningkat (Finegood dkk., 2001). Pemeriksaan histopatologi sel beta pankreas memberikan gambaran mengenai kelainan yang terjadi akibat kondisi hiperglikemia, bahkan sebelum diagnosis diabetes melitus ditegakkan.
Pemeriksaan histopatologi dapat
memberikan gambaran kelainan yang terjadi pada tingkat mikroskopik. Pemeriksaan histopatologi pada sel beta dapat menggunakan metode kuantitatif ataupun semi-kuantitatif (Paulsen dkk., 2010). Metode pemeriksaan kuantitatif mendasarkan pemeriksaan pada jumlah sel beta serta ukuran sel beta yang dapat dinilai dari masa sel beta pankreas.
35
Sementara metode pemeriksaan semi-kuantitatif menggabungkan pemeriksaan jumlah sel beta dengan intensitas kekuatan dari sel yang dinilai berdasarkan hasil pewarnaan yang dilakukan. Terdapat beberapa cara perhitungan semi-kuantitatif, salah satunya adalah HSCORE dan Allred Score. Pada HSCORE, intensitas sel beta pankreas dinilai dengan intensity score (IS) yang merupakan sistem skoring dengan empat poin yaitu (0) untuk tidak ada, (1) untuk intensitas lemah, (2) untuk intensitas sedang , dan (3) untuk intensitas kuat. Perhitungan sel beta dilakukan dengan menjumlahkan sel beta sesuai dengan nilai skornya. Jumlah sel beta untuk masing-masing kelompok intensitasnya dikalikan dengan skornya kemudian dijumlahkan sehingga didapatkan nilai HSCORE (Choudhury dkk., 2009). Pada Allred Score, digunakan dua penilaian yaitu proportion score (PS) dan intensity score (IS). Proportion score (PS) menggunakan sistem skoring dengan enam poin, mulai dari (0) sampai dengan (5) di mana (0) tidak ada sel yang terwarnai, (1) adalah sebanyak 1% sel terwarnai, (2) adalah sebanyak 10% sel terwarnai, (3) adalah sebanyak 30% sel terwarnai, (4) adalah sebanyak 60% sel terwarnai, dan (5) adalah sebanyak 100% sel terwarnai. Intensity score (IS) pada Allred Score menggunakan sistem skoring yang sama dengan HSCORE di mana dinilai kekuatan pewarnaan pada lapangan pandang yang dinilai, dengan nilai skor berkisar dari (0) sampai dengan (3). Nilai Allred Score didapatkan dari kombinasi PS dan IS, dengan skor maksimal sebesar 8 (Allred dkk., 1998)
36
Gambar 2.5 Allred Scoring Guidelines Seperti yang disimpulkan dalam penelitian Belfast Diabetes Study, kerusakan sel beta pankreas sudah terjadi sebelum ada gejala klinis seperti hiperglikemia. Kerusakan sel beta pankreas ini dapat terjadi melalui tiga mekanisme utama yaitu : 1. Glukotoksisitas Keadaan hiperglikemia dapat menginduksi gen TRIB3 yang terlibat dalam jalur sinyal apoptosis sel beta pankreas (Qian dkk., 2008). Hiperglikemia dapat menghambat proses transkripsi mRNA insulin dan menurunkan laju translasi protein proinsulin (Zhang dkk., 2009). Metabolisme dari glukosa akan menyebabkan pembentukan ROS, sementara enzim katalase dan superoksida dismutase yang terdapat dalam sel beta hanya sedikit. ROS yang tidak diubah kemudian
37
mengaktifkan NF-xB, yaitu suatu jalur proapoptotik (Stumvold dkk., 2008). 2. Lipotoksisitas Keadaan hiperglikemia menghambat oksidasi beta asam lemak sehingga terjadi penumpukan kompleks asam lemak rantai panjang (LC-KoA) yang akan mengganggu aktivitas pompa K+. Gangguan ini pada akhirnya akan menghambat pembentukan ATP (Stumvold dkk., 2008). Penumpukan asam lemak bebas juga merangsang sintesis seramida dan pembentukan oksida nitrit (NO). Seramida menghambat ekspresi gen insulin dan akan mengakibatkan terjadinya apoptosis. 3. Penumpukan amiloid Amiloid polipeptida atau amilin merupakan senyawa yang normalnya terdapat di dalam granul insulin dan ikut disekresikan bersama insulin. Amilin bersifat sitotoksik dengan menyebabkan masuknya kalsium dalam sel beta dan membentuk agregasi intrasel.
Gambar 2.6 Mekanisme Disfungsi Sel Beta Pankreas
38
2.4.3
Insulin Insulin merupakan hormon polipeptida yang mengatur metabolisme
karbohidrat. Struktur molekul insulin berupa dua rantai polipeptida yaitu rantai A (acidic) yang mengandung 21 asam amino dengan glysine sebagai N-terminal dan rantai B (basic) yang mengandung 30 asam amino dengan phenylalanine sebagai N-terminal (Turner dkk., 1969). Pembentukan insulin dimulai saat adanya rangsangan glukosa pada ribosom retikulum endoplasmik sehingga terjadi translasi dan transkripsi mRNA menjadi proinsulin. Bentuk ini kemudian akan ditransfer ke dalam badan Golgi dan mengambil bentuk granul yang pucat, disebut sebagai beta granul yang belum matang. Beta granul ini akan dilepaskan ke sitoplasma dan insulin di dalam beta granul akan ditranspor dalam bentuk kristal apabila dibutuhkan. Insulin merupakan hormon anabolik yang bekerja pada metabolisme glukosa, lemak, dan protein serta bertujuan untuk menjaga kestabilan kadar gula darah dalam tubuh. Target sel dari insulin meliputi hampir sebagian besar jaringan, namun yang utama adalah hati, sel lemak, dan otot (Sherwood, 2001). Insulin berperan dalam transpor glukosa ke dalam sel dengan bekerja secara langsung, berikatan dengan reseptor yang ada di membran sel tersebut. Ikatan insulin dengan reseptornya akan mengakibatkan dapat terjadi pengambilan glukosa oleh sel. Insulin juga bekerja dengan merangsang glikogenesis, yaitu pembentukan glikogen dari glukosa dan menghambat glikogenolisis, yaitu pemecahan glikogen menjadi glukosa. Melalui kedua mekanisme tersebut, insulin meningkatkan penyimpanan cadangan karbohidrat. Selain itu, insulin juga
39
menghambat glukoneogenesis di hati, yaitu pembentukan glukosa dari asam-asam amino dan menghambat lipolisis di jaringan lemak.
Gambar 2.7 Mekanisme kerja Insulin (Powers, 2008)
2.5 TESTOSTERON Testosteron merupakan hormon steroid yang termasuk dalam kelompok hormon androgen. Pada mamalia, hormon testosteron disekresikan secara utama oleh testis pada hewan jantan dan ovarium pada hewan betina, serta sebagian kecil disekresikan oleh kelenjar adrenal. Hormon testosteron merupakan hormon seks utama pada hewan jantan dan merupakan steroid anabolik. Pada umumnya tubuh pria akan memproduksi hormon testosteron 40-60 kali lebih banyak daripada wanita.
40
Hormon testosteron dalam tubuh juga memiliki bentuk lain yaitu sebagai dehidrotestosteron dan androstenedion, yang merupakan bentuk androgen lemah. Baik dalam testis maupun kelenjar adrenal, hormon androgen dapat dibentuk dari kolesterol ataupun langsung dari asetil koenzim A (Guyton dan Hall, 2001).
2.5.1
Sintesis, Sekresi, dan Regulasi Testosteron disintesis dan disekresikan terutama oleh testis. Testosteron
disintesis oleh sel-sel interstisial Leydig pada testis melalui mekanisme umpan balik dan diatur lewat kontrol hormon lutein (luteinizing hormon / LH) yang disekresi oleh kelenjar hipofisis. Testis memproduksi sekitar 95% dari total testosteron pada pria dewasa, sisanya diproduksi oleh zona retikularis korteks adrenal. Pelepasan testosteron mengikuti ritme sirkadian (circadian rhythm) tubuh di mana kadar testosteron di dalam sirkulasi mencapai puncaknya antara pukul 06.00-08.00 dan kadar terendahnya antara pukul 18.00-20.00. Testosteron disintesis menggunakan bahan utama kolesterol di mana sumber kolesterol ini bisa berasal dari sintesis pada sel Leydig ataupun berasal dari sirkulasi (Jones, 2008; English dkk., 2001). Untuk mempertahankan testosteron pada tingkat yang tepat maka kecepatan produksi harus seimbang dengan metabolisme dan ekskresi. Pengaturan sintesis dan sekresi testosteron adalah melalui hypothalamic-pituitary-testicular axis. Hipotalamus mensekresi Gonadotrophin-releasing Hormone (GnRH) yang mengatur sekresi LH dan FSH (follicle-stimulating hormone) dari hipofisis
41
anterior. Pada saat pubertas (umur 10-13 tahun) terjadi peningkatan sekresi GnRH oleh hipotalamus. Dengan ini terjadi peningkatan sekresi hormon FSH dan LH oleh hipofisis. Testis membesar dan LH menstimulasi sel Leydig memperoduksi hormon testosteron. Hormon FSH mempengaruhi sel Sertoli dalam menjaga spermatogenesis (Sofikitis dkk., 2008). LH menstimulasi sekresi testosteron dari sel Leydig dengan meningkatkan cyclic adenosine monophosphate (cAMP) dan level kalsium intraseluler. Siklik AMP meningkatkan pembentukan kolesterol dan ester-ester kolesterol, dan perubahan kolesterol menjadi pregnenolon melalui pengaktifan protein kinase A. Pregnenolon kemudian akan diubah menjadi androstenedion, dan dengan pengaruh enzim 17-β hidroksisteroid dehydrogenase akan diubah menjadi testosteron. Bila level testosteron sudah mencukupi, maka testosteron akan menimbulkan
negative-feedback
ke
hipofisis
dan hipotalamus
sehingga
selanjutnya pembentukan testosteron akan dihambat. Testosteron secara langsung akan menghambat monoamine oxidase sehingga produksi LH dan FSH akan berkurang. Sedangkan FSH terutama berpengaruh terhadap sel Sertoli untuk menginisiasi dan melakukan pemeliharaan proses spermatogenesis. FSH juga menstimulasi sintesis dan pelepasan hormon inhibin dan activin dari sel Sertoli. Inhibin akan menyebabkan negative-feedback ke hipofisis sehingga menekan pelepasan FSH (Jones, 2008). Kecepatan sekresi hormon testosteron sebesar 4-9 mg/hari (13,9-31,2 nmol/hari) pada pria dewasa normal (Guyton dan Hall, 2001).
42
Gambar 2.8 Regulasi Sekresi dan Sintesis Testosteron : Aksis Hipotalamus – Hipofisis – Testis
2.5.2
Testosteron dalam Sirkulasi Testosteron yang terdapat dalam sirkulasi tubuh terbagi dalam tiga bentuk.
Proporsi yang paling besar (50-80%) adalah testosteron yang terikat dengan sex hormon binding globulin (SHBG), 20-50% berikatan dengan albumin, dan 2-3% yang bebas atau tidak berikatan pada protein apapun (free testosteron). Persentase testosteron yang terikat pada SHBG bervariasi di antara individu, tetapi pada
43
umumnya sekitar 40–80 persen dari testosteron yang beredar dalam sirkulasi (Pangkahila, 2007). Free testosteron dimetabolisme dengan cepat di dalam hati dan mempunyai waktu paruh yang pendek, kira-kira 10 menit. Testosteron berikatan sangat kuat dengan protein globulin (SHBG), tidak mempunyai efek biologis aktif dan mungkin berfungsi sebagai simpanan hormon pada sirkulasi. Testosteron berikatan secara lemah dengan albumin dan bisa lepas untuk menimbulkan efek biologis. Free testosteron dan testosteron yang berikatan dengan albumin disebut bioavailable testosteron (Klingmuller dkk., 2006; Jones, 2008).
2.5.3
Metabolisme Testosteron Testosteron dimetabolisme menjadi metabolit aktif dan inaktif. Metabolit
aktif testosteron adalah 17β-estradiol dan 5α-dihydrotestosteron (DHT). Testosteron dikonversi menjadi 17β-estradiol oleh enzim aromatase. Enzim aromatase mempunyai aktivitas yang tinggi pada jaringan lemak, khususnya pada lemak viseral. Semakin besar jumlah lemak maka produksi 17β-estradiol akan semakin besar. Tempat lain aktivitas aromatase adalah pada testis, prostat, dan tulang. Konversi testosteron menjadi DHT diperantarai oleh enzim 5α-reduktase. Proporsi testosteron yang dikonversi menjadi 17β-estradiol dan DHT tergantung dari individu dan jenis jaringan, misalnya produksi DHT lebih tinggi pada prostat dan estradiol lebih tinggi pada tulang (Jones, 2008). Testosteron yang tidak terikat dalam jaringan dengan cepat akan diubah di dalam hati menjadi danrosteron dan dehidroepidanosteron, dan secara serempak
44
sebagian besarnya akan dikonjugasikan sebagai glukoromida dan sulfat, kemudian akan diekskresikan ke usus dalam empedu ataupun ke dalam urin melalui ginjal (Guyton dan Hall, 2001). Testosteron dan androgen yang lain, termasuk DHT diinaktivasi melalui reduksi, oksidasi, dan hidroksilasi oleh liver, yang kemudian berikatan dengan asam glukoronat. Metabolit ini kemudian akan diekskresikan oleh ginjal (Jones, 2008).
2.5.4
Efek Biologis Testosteron dan Metabolitnya Hormon testosteron secara langsung dapat menimbulkan efek biologis
ataupun dapat melalui metabolitnya yaitu DHT dan 17β-estradiol. Testosteron secara umum berfungsi pada maskulinisasi tubuh pria. Fungsi hormon testosteron tidak terbatas pada maskulinisasi namun juga berperan pada banyak sistem tubuh, dan dapat diklasifikasikan sebagai berikut (Sherwood, 2007, Eckardstein dan Nieschlag, 2002): 1. Efek pada sistem reproduksi pada saat sebelum lahir. Pada
janin,
testosteron
yang
berasal
dari
plasenta
menginisiasi
pembentukan duktus Wolffian dan membentuk organ genitalia interna pria (epididimis, vasdeferens dan vesikula seminalis). Testosteron diubah menjadi dehidrotestosteron sehingga menstimulasi pembentukan genitalia eksterna seperti skrotum dan penis. Selain itu pembentukan kelenjar prostat juga dipengaruhi oleh hormon testosteron (Gilbert, 2000; Guyton dan Hall,
45
2001). Sekresi testosteron mengakibatkan penurunan testis ke skrotum, maskulinisasi sistem reproduksi dan genitalia eksternal. 2. Efek pada jaringan seks spesifik setelah lahir. Masa puber adalah masa maturasi dari sistem reproduktif, dimulai pada usia 10–14 tahun. Pada masa puber, sel Leydig mulai mensekresi testosteron yang bertanggung jawab untuk pertumbuhan dan perkembangan seluruh sistem reproduksi pria. Di bawah pengaruh sekresi testosteron, terjadi pembesaran testis dan dimulailah produksi sperma, terjadi pembesaran glandula seksual aksesoris dan pembesaran penis serta skrotum. 3. Efek yang berkaitan dengan reproduksi Testosteron mengatur perkembangan libido dan berperan mempertahankan libido. Testosteron juga berfungsi sebagai umpan balik negatif untuk mengontrol produksi hormon gonadotropin dari hipofisis anterior. 4. Efek pada perkembangan seksual sekunder -
Pertumbuhan
rambut
bergantung
pada
topografi
tubuh.
Pertumbuhan jenggot dipengaruhi testosteron dan pertumbuhan rambut aksila dan pubis tergantung dari DHT. DHT menghambat pertumbuhan rambut kepala sehingga bisa menyebabkan kebotakan. -
Suara yang lebih rendah akibat dari pembesaran laring dan penebalan pita suara.
-
Testosteron mempunyai efek anabolik protein yang mendukung pertumbuhan tulang serta pembentukan fisik pria yang lebih
46
berotot. Pertumbuhan dan kekuatan otot tergantung dari testosteron dan tidak tergantung pada DHT. -
Testosteron menstimulasi sekresi kelenjar minyak.
-
Pada hewan, testosteron akan mengakibatkan terjadinya perilaku agresif.
5. Efek yang tidak berkaitan dengan sistem reproduksi -
Testosteron merangsang hematopoesis melalui dua mekanisme, yaitu menstimulasi produksi erythropoietin renal dan ekstra-renal serta efek langsung pada sumsum tulang.
-
Estrogen (17β-estradiol) pada pria berguna untuk memelihara kekuatan tulang dan penutupan epifisis. Pria dengan defisiensi enzim aromatase akan mengalami osteoporosis.
-
Testosteron mempunyai efek psikotropik yang penting terhadap otak, yaitu dapat meningkatkan motivasi, meningkatkan mood dan libido, meningkatkan fungsi kognitif seperti visuo-spatial skill, memori jangka pendek, dan kemampuan matematika.
-
Banyak studi yang membuktikan bahwa testosteron berefek terhadap metabolisme. Kadar testosteron yang rendah dapat mengganggu metabolisme gula darah yang pada akhirnya dapat menyebabkan
obesitas
dan
diabetes
melitus.
Testosteron
meningkatkan sensitivitas insulin dan toleransi glukosa, pada metabolisme lemak dapat menurunkan kadar kolesterol dan meningkatkan HDL (high-density lipoprotein).
47
-
Testosteron juga berefek sebagai vasodilator melalui efek langsung terhadap otot polos. Estradiol juga berefek sebagai vasodilator melalui pengaruhnya terhadap nitrit oksida. Hal ini mendukung sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa prevalensi penyakit koroner lebih tinggi pada populasi dengan tingkat testosteron yang rendah (Pangkahila dan Wong, 2015).
2.5.5
Testosteron dan Metabolisme Glukosa Banyak penelitian yang membahas mengenai hubungan antara kadar
plasma testosteron, sensitivitas insulin, serta prevalensi dari diabetes melitus tipe 2 (T2DM). Pada pria dengan T2DM didapatkan kadar plasma testosteron yang lebih rendah bila dibandingkan dengan pria tanpa riwayat diabetes. Sebaliknya, pada pria dengan kadar testosteron plasma yang rendah memiliki risiko yang lebih tinggi untuk menderita T2DM ataupun sindrom metabolik (Heufelder, 2009). Sindrom metabolik ditandai dengan adanya dislipidemia aterogenik, peningkatan lemak abdomen, peningkatan tekanan darah, serta adanya toleransi glukosa yang terganggu (Haffner, 2006). Pada T2DM didapati adanya keadaan hiperinsulinemia dan resistensi insulin, yang mana akan mempengaruhi dalam terjadinya sindrom metabolik. Resistensi insulin banyak ditentukan oleh adanya obesitas viseral di mana peningkatan jumlah lemak di abdomen akan diikuti dengan penurunan kadar testosteron plasma (Kapoor, 2006). Kadar testosteron yang rendah juga diasosiasikan dengan penurunan masa otot, yang merupakan target jaringan dari
48
insulin. Resistensi insulin akan semakin berat akibat efek anabolik dari kehilangan masa otot ini (Kelly dan Jones, 2013). Pemberian hormon testosteron meningkatkan insulin receptor substrate (IRS1) dan meningkatkan ekspresi molekul transporter GLUT 4 di membran sel, yang akan meningkatkan ambilan glukosa di sel, serta mengurangi keadaan resistensi insulin yang terjadi (Kelly dan Jones, 2013). Hormon steroid memiliki efek antioksidan pada berbagai sel dan jaringan. Hormon testosteron menjaga sel granuler cerebellum dari apoptosis yang diinduksi oleh stres dan hormon estradiol mengatur serangkaian mekanisme yang melindungi uterus dari stres oksidatif. Pada pankreas, hormon testosteron juga mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh stres oksidatif. Hormon testosteron bekerja melalui reseptor androgen, dan juga memodulasi enzim yang digunakan oleh sel untuk menghindari kerusakan akibat radikal bebas (Morimoto, 2005; Mancini, 2008). Dalam suatu penelitian pada tikus, didapatkan bahwa pada tikus diabetes ditemukan adanya kematian sel beta pankreas akibat proses apoptosis dan stres oksidatif. Sel beta pankreas sangat rentan terhadap stres oksidatif dikarenakan kemampuan anti-oksidatif yang dimilikinya rendah. Stres oksidatif yang biasanya timbul dalam proses metabolisme tubuh seperti methyl cation, radikal metil, reactive oxygen species (ROS) dan nitrit oxide dapat merusak sel beta pankreas (Kajimoto dan Kaneto, 2004). Penelitian lain juga memberikan gambaran hubungan antara kadar testosteron dengan ekspresi gen yang berkaitan dengan insulin. Testosteron
49
meningkatkan tingkat mRNA insulin baik secara in vitro maupun in vivo. Tindakan gonadektomi yang dilakukan pada tikus menurunkan kadar testosteron plasma, juga ekspresi gen insulin serta kadar insulin dalam serum (Morimoto dkk., 2001).
2.5.6
Terapi Sulih Testosteron (Testosteron Replacement Therapy) Penurunan hormon testosteron menyebabkan berbagai keluhan dan
perubahan fisik pada usia lanjut akibat rendahnya kadar hormon yang bersirkulasi (bioavailable testosteron / BT). Terapi sulih testosteron dikembangkan untuk mengatasi segala keluhan dan gejala tersebut. Preparat sulih testosteron dapat diberikan secara oral dalam bentuk tablet, suntikan, aplikasi nasal, inplan, dan transdermal (Eckardstein dan Nieschlag, 2002). Indikasi terapi sulih testosteron pada pria adalah keadaan hipogonadisme yang menunjukkan sindrom klinis yang kompleks yaitu adanya gejala-gejala hipogonadisme dan level testosteron yang rendah. Ambang batas level testosteron yang menimbulkan gejala-gejala hipogonad bervariasi tergantung jenis gejala dan individu (Arver dan Lehtihet, 2008). Formulasi optimal dari testosteron adalah formula yang mampu menormalisasi level testosteron yang beredar dan juga menimbulkan level yang fisiologis dari metabolit aktifnya yaitu estradiol dan DHT. Pengobatan sulih testosteron pada umumnya akan dilakukan dalam jangka panjang, dan memerlukan pemeriksaan yang teratur, termasuk pemeriksaan kadar hormon dan reaksi yang terjadi.
50
Ada beberapa preparat testosteron untuk pengobatan pengganti hormon, dengan cara pemberian yang berbeda, yaitu: 1. injeksi intramuskuler (testosteron propionat, testosteron enantat, testosteron undekanoat, dan injeksi subkutan testosteron) 2. per oral (testosteron undekanoat dan buccal testosterone pellet) 3. transdermal ( gel, patch atau krim) Testosteron mempunyai half-life yang pendek tetapi dengan esterifikasi half-lifenya dapat diperpanjang. Jenis-jenis ester yang telah digunakan adalah propionat, fenilpropionat, isocaproat, enanthate, decanoate, undecanoate. Esterifikasi testosteron ini bertujuan agar sediaan testosteron yang digunakan dapat memberikan kadar yang stabil di dalam serum dan bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama (Arver dan Lehtihet, 2008).
2.6 HEWAN PERCOBAAN 2.6.1
Penggunaan tikus putih (Rattus novergicus) Penggunaan tikus putih sebagai hewan percobaan berdasarkan karena
sudah diketahuinya sifat tikus sebagai subyek penelitian, mudah dipelihara, relatif sehat dan cocok untuk berbagai penelitian. Tikus putih memiliki beberapa galur, dan untuk penelitian ini digunakan galur Wistar yang ditandai dengan kepala besar dan ekor yang lebih pendek (Malole dan Pramono, 1989). Tikus wistar lebih besar dari famili tikus pada umumnya, panjangnya dapat mencapai 40 cm diukur dari hidung sampai ke ujung ekor dan beratnya 140 – 500 gram (Kusumawati, 2004).
51
Tikus wistar jarang berkelahi dibandingkan mencit, dan dengan perlakuan yang tepat sifatnya tenang dan mudah ditangani di laboratorium. Usia tikus laboratorium umumnya tidak lebih dari 3 tahun, dan berat tikus dewasa berkisar 200-250 gram (Smith dan Mangkoewidjojo, 1988).
2.6.2
Kriteria obesitas Penentuan obesitas pada tikus percobaan dapat menggunakan dua kriteria,
yaitu berdasarkan Indeks Massa Tubuh atau berdasarkan kriteria Lee. Penentuan obesitas didasarkan pada kriteria Lee dengan cara perhitungan sebagai berikut : Indeks Obesitas Lee = √ Berat Badan (gram) x 10 ─────────────── Panjang naso anal (mm) Tikus obesitas apabila nilai indeks obesitas Lee > 0,3 (Campos dkk., 2008). Induksi obesitas dilakukan diet tinggi kalori (tinggi karbohidrat dan tinggi lemak) ad libitum selama 8 minggu. Berat badan tikus diukur dengan timbangan, sementara panjang nasoanal diukur menggunakan sentimeter pada keadaan punggung tikus lurus.
2.6.3
Kriteria diabetes Kadar glukosa normal pada tikus yang sehat adalah antara 50 mg/dL
sampai 135 mg/dL. Seperti mamalia lainnya, kadar glukosa ini tergantung pada tipe makanan yang dikonsumsi dan waktu makan terakhir. Kadar glukosa pada tikus dapat dikatakan diabetes jika kadar glukosanya di atas 135 mg/dL.