BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kajian Teoritis 2.1.1 Tinjauan Tentang Konsep Nyeri 1. Definisi Nyeri Menurut Tarcy (2005) Dikutip dari International Association for the Study of Pain (IASP, 1994), mendefinisikan nyeri sebagai perasaan dan pengalaman sensoris atau emosional yang tidak menyenangkan, yang berhubungan dengan kerusakan jaringan yang aktual maupun potensial, nyeri selalu bersifat subjektif karena perasaan nyeri berbeda-beda pada setiap orang dalam hal skala atau tingkatannya. Nyeri merupakan suatu mekanisme produksi bagi tubuh, timbul ketika jaringan sedang dirusak, dan menyebabkan individu tersebut bereaksi untuk menghilangkan rangsangan nyeri (Curton: 2008). Nyeri merupakan suatu perasaan menderita secara fisik dan mental atau perasaan yang bisa menimbulkan ketegangan (Feurst: 2007). Nyeri merupakan pengalaman seseorang dan bersifat subjektif, berbeda antara satu orang dengan orang lain serta dirasakan bervariasi oleh seseorang dari waktu yang satu ke waktu yang lain (Reeder-Martin: 2007). Nyeri adalah sensasi subjektif, rasa yang tidak nyaman biasanya berkaitan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial (Corwin: 2006). Nyeri juga dapat disebabkan stimulus mekanik seperti pembengkakan jaringan yang menekan pada reseptor nyeri. (Taylor & Priccila: 2007 ). Nyeri adalah pengalaman persepsi yang sangat kompleks yang diakibatkan oleh faktor situasi dan lingkungan yang dikarenakan adanya proses fisiologi
dalam tubuh seperti, emosi, motivasi (dukungan) dan kesadaran, dPan semuanya itu dipengaruhi oleh suku, budaya dan bahasa (Suza: 2007). 2. Klasifikasi Nyeri Nyeri dapat diklasifikasikan kedalam beberapa golongan berdasarkan pada tempat, sifat, berat ringannya nyeri dan waktu lamanya serangan. a. Nyeri berdasarkan tempatnya: 1) Pheriperal pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh misalnya pada mukosa, kulit. 2) Deep pain, yaitu nyeri yang terasa pada permukaan tubuh yang lebih dalam atau pada organorgan tubuh visceral. 3)Referedpain, yaitu nyeri dalam yang disebabkan karena penyakit organ/strukturdalam tubuh yang ditransmisikan kebagian tubuh didaerah yang berbeda, bukandaerah asal nyeri. 4) Central pain, yaitu nyeri yang terjadi karena perangsangan pada system saraf pusat, spinal cord, batang otak, thalamus dan lain-lain. b. Nyeri berdasarkan sifatnya: 1) Incidental pain, yaitu nyeri yang timbul sewaktu-waktu lalu menghilang. 2) Steady pain, yaitu nyeri yang timbul dan menetap serta dirasakan dalam waktu yang lama. 3) Paroxysmal pain, yaitu nyeri yang dirasakan berintensitas tinggi dan kuat sekali. Nyeri tersebut biasanya menetap sekitar 10-15 menit, lalu menghilang, kemudian timbul lagi. c. Nyeri berdasarkan tingkatannya : 1) Nyeri ringan , yaitu nyeri dengan intensitas rendah 2) Nyeri sedang, yaitu nyeri yang menimbulkan reaksi. 3) Nyeri berat, yaitu nyeri dengan intensitas yang tinggi.
Intensitas Nyeri Individu diminta untuk membuat tingkatan nyeri pada skala verbal (misalnya nyeri ringan, nyeri sedang, nyeri berat). Skala Intensitas Nyeri Numerik 0-10
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Keterangan : Tidak Nyeri = Bila skala intensitas nyeri numerik 0 Nyeri ringan = Bila skala intensitas nyeri numerik 1-4 Nyeri sedang = Bila skala intensitas nyeri numerik 5-7 Nyeri hebat = Bila skala intensitas nyeri numerik 8-10 Menurut Smeltzer dan Bare (2002) adalah sebagai berikut : Skala Wajah
0
2
4
6
8
10
Tidak sakit
Sedikit Sakit
Agak mengganggu
Menganggu Aktivitas
Sangat Mengganggu
Tidak tertahankan
Gambar 2.1 Skala wajah menurut Smeltzer dan Bare (2002) d. Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan: 1) Nyeri akut, yaitu nyeri yang dirasakan dalam waktu yang singkat dan berakhir kurang dari enam bulan. Nyeri akut biasanya berlangsung secara singkat misalnya nyeri pada patah
tulang atau pembedahan abdomen, pasien yang mengalami nyeri akut biasanya menunjukan gelala-gejala antara lain : respirasi meningkat, percepatan jantung dan tekanan darah meningkat (Priharjo: 2006).Nyeri akut akhirnya menghilang dengan atau tanpa pengobatan setelah keadaan pulih pada area yang rusak ( Potter& Perry: 2005).Pasien dengan nyeri akut sering mengalami kecemasan (Berger :2002). 2) Nyeri Kronis merupakan nyeri yang timbul secara perlahan-lahan, dan berlangsung berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun. Yang termasuk dalam kategori nyeri kronis adalah nyeri terminal, sindrom nyeri kronis, dan nyeri psikosomatis (Long: 2006). Klien yang mengalami nyeri kronis mungkin menarik diri dan mengisolasi diri. Nyeri ini menimbulkan kelelahan mental dan fisik (Tamsuri: 2006). Nyeri kronis dapat tidak mempunyai awitan yang ditetapkan dengan tepat dan sering sulit untuk diobati karena biasanya nyeri ini tidak memberikan respon terhadap pengobatan yang diarahkan pada penyebabnya. Tabel 2.1 : Perbandingan Nyeri Akut dan Nyeri Kronis Karakteristik Tujuan/keuntungan Awitan Intensitas Durasi
Respon otonom
Nyeri Akut Memperingatkan adanya cedera atau masalah Mendadak Ringan sampai berat Durasi singkat (dari beberapa detik sampe enam bulan) - Konsistensi dengan respon simpatis - Frekuensi jantung meningkat - Volume sekuncup meningkat - Tekanan darah meningkat - Dilatasi pupil meningkat - Tegangan otot meningkat
Nyeri Kronis Tidak ada Terus-menerus atau intermiten Ringan sampai berat Durasi lama (enam bulan atau lebih) Tidak terdapat respon otonom
- Motilitas gastrointestinalmenu run - Aliran saliva menurun (mulut kering) Ansietas Komponen psikologis
Respon jenis lainnya Contoh Nyeri bedah, taruma Sumber : Keperawatan Medikal Bedah Vol 1
- Depresi - Mudah marah - Menarik diri dari minat dunia luar - Menarik diri dari persahabatan - Tidur terganggu - Libido menurun - Nafsu makan menurun Nyeri kanker, artritis
3. Patofisiologi Nyeri Penelitian menunjukkan bahwa menyusul suatu trauma atau operasi, maka input nyeri dari perifer ke sentral akan mengubah ambang reseptor nyeri baik di perifer maupun di sentral (kornu posterium medulla spinalis). Kedua reseptor nyeri tersebut diatas akan menurun ambang nyerinya, sesaat setelah terjadi input nyeri. Perubahan ini akan menghasilkan suatu keadaan yang disebut sebagai hipersensitifitas baik perifer maupun sentral. Perubahan ini dlam klinik dapat terlihat, dimana daerah perlukaan dan sekitarnya akan berubah menjadi hiperalgesia. Daerah tepat pada perlukaan akan berubah menjadi allodini, artinya dengan stimuli lemah, yang normal tidak menimbulkan rasa nyeri, kini dapat menimbulkan rasa nyeri, daerah ini disebut juga hiperalgesia primer. Dilain pihak daerah sekitar perlukaan yang masih nampak normal, juga berubah menjadi hiperalgesia, artinya dengan suatu stimuli yang kuat untuk cukup meninbulkan rasa nyeri, kini dirasakan sebagai nyeri yang lebih hebat dan berlangsung lebih lama. Daerh ini juga disebut sebagai hiperalgesia sekunder.
Kedua perubahan tersebut diatas, baik hiperalgesia primer maupun hiperalgesia sekunder merupakan konsekuensi terjadinya hipersensitifitas perifer dan sentral menyusul suatu input nyeri akibat suatu trauma atau operasi. Ini menunjukkan bahwa susunan saraf kita baik saraf perifer maupun saraf sentaral dapat berubah sifatnya menyusul suatu input nyeri yang kontinyu. Dengan kata lain susunan saraf kita tidak dapat disamakan sebagai suatu kabel yang kaku, tapi mampu berubah sesuai dengan fungsinya sebagai suatu alat proteksi. a.
Respon Lokal Akibat terjadinya kerusakan sel dalam jaringan, maka akn terlepas substansi nyeri yang berasal dari tiga tempat yaitu : 1.
Kerusakan sel itu sendiri yang akan melepas histamine, kalium, asetilkolin, serotonin, ATP. Juga terjadi sintesa prostaglandin metabolisme asam arahidonat dengan bantuan enzim siklosigenase.
2.
Substansi nyeri berupa bradikini, dilepaskan dari plasma darah melalui pembuluh darah yang berubah permeabilitasnya.
3.
Substansi nyeri yang dilepaskan dari ujung-ujung saraf itu sendiri yang disebut substan P. Akibat dari terlepasnya substansi nyeri tersebut diatas menyebabkan perubahan-
perubahan local yang oleh Celsus, seorang dokter zaman romawi menyebutnya sebagai tanda-tanda inflamasi berupa kemerahan (rubor), panas (calor), pembengkakan (tumor), nyeri (dolor), dan gangguan fungsi (funtio laesa). Dalam klinik perubahan-perubahan ini tampak sebagai gejala hiperalgesia atau allodini. Hiperalgesia artinya stimul: yng cukup menimbulkan nyeri, kini dirasakan sangat nyeri, sedangkan allodini artinya stimuli tidak nyeri (misalnya rabaan) kini menjadi tidak nyeri. Gejala hiperalgesia dan allodini ini
menjadi penting dalm klinik karena sekali terjadi hal ini dibuthkan dosi obat analgesic yang lebih tinggi untuk menghilangkannya. b.
Respon Lokal Input nyeri perifer yang dibawa oleh serabut saraf A Delta dan serabut C selain akan mengakibatkan kornu posterior medulla spinalis, juga mengaktifkan kornu anterior dan lateralis dari medulla spinalis yang pada gilirannya akn memberikan respon berupa spasme otot. Spasme pembuluh darah dan menekan aktifitas saluran cerna (usus). Spasme otot yang terjadi pada gilirannya menjadi sumber stimuli yang baru sehingga meningkatkan rasa nyeri dan mengakibatkan terjadinya spasme otot yang lebih hebat lagi. Jdi merupakan siklus visiosus. Demikian pula halnya dengan terjadinya spasme pembuluh darah yang menyebabkan iskemia dan hipoksia setempat, yang akan menimbulkan asidosis. Asidosis pada gilirannya menurunkan ambang nyeri sehingga ras nyeri makin meningkat. Selain itu akibat input nyeri dari kulit, akn merangsang timbulnya reflex kutaneoviseral yng menyebabkan menurunnya aktifitas (peristaltic) usus yang mengandung terjadinya ileus pasca bedah. Oleh sebab itu tanpa pengelolaan nyeri pasca bedah, penderita cenderung mengalami ileus paralitik hebat dari tertekannya aktifitas usus, sehingga puasa pask bedah lebih lama dan proses penyembuhan memanjang.
c.
Respon Suprasegmental Respon ini bersumber dari stimulasi dari susunan saraf di hypothalamus yang pad giliranny menimbulkan hiperventilasi, atau takipnyu dan meningkatkan denyut jantung, isi sekuncup jantung, dan curah jantung semenit. Selain itu meningkatnya aktifitas simpatis
menyebabkan vasokontraksi dan pelepasan hormone steroid dari glandula suprarenal yang pad gilirannya menimbulkan gejala hipertensi. Pada dasarnya akibat meningkatnya aktifitas hypothalamus menimbulkan terlepasnya berbagai macam hormone yang disebut sebagai hormone stress yang sangat merugikan penderita. Olehnya itu dengan pengelolaan pasca bedah diharapkan dapat menghambat pelepasan hormone sters yang merugikan penderita. d.
Respon Kotikal Respon kortikal merupakan respon psikodinamik seseorang terhadap sesuatu pembedahan. Hal ini akan menyebabkan terjadinya mekanisme psikodinamik yang akan menghasilkan perasaan cemas, takut, dan gelisah. Hal ini akan mengundang umpan balik sehingga menurunkan ambang nyeri penderita, sehingga akan merasa lebih nyeri. Dari keempat respon diatas dapat disimpulkan bahwa repon tubuh terhadap suatu pembedahan atu nyeri akan menghasilkan reaksi endokrin dan imunologik, yang secara umum disebut sebagai respon stress. Respon stress ini sangat merugikan penderita karena selain akan menurunkan cadngan dan daya tahan tubuh, meningkatkan kebutuhan oksigen otot jantung, mengganggu fungsi respirasi dengan segala konsekuensinya, juga akan mengundan resiko terjadinya tromboemboli yang pada akhirnya meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasca bedah.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri Nyeri merupakan hal yang kompleks, banyak faktor yang mempengaruhi pengalaman seseorang terhadap nyeri. Seorang perawat harus mempertimbangkan faktor-faktor tersebut dalam menghadapi klien yang mengalami nyeri hal ini sangat penting dalam pengkajian nyeri yang akurat dan memilih terapi nyeri yang efektif. Menurut Berger, (2005) beberapa faktor
yang mempengaruhi nyeri tersebut antara lain: (1) usia, (2) jenis kelamin, (3) pengalaman masa lalu dengan nyeri, (4) ansietas, (5) budaya, (6) keluarga dan support sosial. 1. Usia Usia merupakan variabel penting yang mempengaruhi nyeri, khususnya pada anak-anak dan lansia. Perbedaan perkembangan, yang ditemukan di antara kelompok usia ini dapat mempengaruhi bagaimana anak-anak dan lansia bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry: 2005). Usia juga berpengaruh terhadap persepsi seseorang terhadap nyeri. Anak-anak dan orang tua mungkin lebih merasakan nyeri dibandingkan orang dewasa muda karena mereka sering tidak dapat mengkomunikasikan apa yang dirasakannya. Sehingga kemungkinan perawat tidak dapat melakukan pengukuran untuk menurunkan nyeri secara adequate (Berger: 2007). 2. Jenis kelamin Jenis kelamin secara umum, pria dan wanita tidak berbeda secara bermakna dalam berespons terhadap nyeri (Potter & Perry: 2005). Diragukan apakah hanya jenis kelamin saja yang merupakan suatu faktor dalam pengekspresian nyeri. Beberapa kebudayaan yang mempengaruhi jenis kelamin. Misalnya, menganggap bahwa seorang anak laki-laki harus berani dan tidak boleh menangis, sedangkan anak perempuan boleh menangis dalam situasi yang sama (Potter & Perry: 2005). 3. Pengalaman masa lalu dengan nyeri Riwayat sebelumnya berpengaruh terhadap persepsi seseorang tentang nyeri. Orang yang sudah mempunyai pengalaman tentang nyeri akan lebih siap menerima perasaan nyeri. Sehingga dia merasakan nyeri lebih ringan dari pengalaman pertamanya (Taylor: 2007). 4. Ansietas
Ansietas pada umumnya akan meningkatkan nyeri, penggunaan rutin medikasi ansietas pada seseorang dengan nyeri dapat merusak kemampuan pasien untuk melakukan napas dalam. Secara umum, cara yang lebih efektif untuk menghilangkan nyeri adalah dengan mengarahkan pengobatan pada nyeri ketimbang ansietas (Smeltzer & Bare: 2001). 5. Budaya Budaya mempengaruhi bagaimana seseorang mengartikan nyeri, bagaimana mereka memperlihatkan nyeri serta keputusan yang mereka buat tentang nyeri yang dirasakannya. Masyarakat dalan suatu kebudayaan mungkin merasa bangga bila tidak merasakan nyeri karena mereka menganggap bahwa nyeri tersebut merupakan sesuatu yang dapat ditahan (Berger: 2007). Keyakinan dan nilai-nilai budaya mempengaruhi cara individu mengatasi nyeri. Individu mempelajari apa yang diharapkan dan apa yang diterima oleh kebudayaan mereka. Hal ini meliputi bagaimana bereaksi terhadap nyeri (Potter & Perry: 2005). 6. Keluarga dan support sosial Adanya orang-orang yang memberi dukungan amat berpengaruh terhadap nyeri yang dirasakan. Misalnya seorang anak tidak akan berfokus pada nyeri yang dirasakannya jika ia berada di dekat kedua orang tuanya (Taylor: 2007). Individu yang mengalami nyeri sering kali bergantung pada anggota keluarga atau teman dekat untuk memperoleh dukungan, bantuan atau perlindungan. Walaupun nyeri tetap klien rasakan, kehadiran orang yang dicintai dapat meminimalkan kesepian dan ketakutan (Potter & Perry: 2005). 2.1.2 Tinjauan Tentang Teori Mekanisme Nyeri 1. Teori Pemisahan (Specivicity Theory)
Teori ini digambarkan oleh “Descartes’ pada abad ke-17. Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi rasa nyeri. Saraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikanya melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke thalamus, yang akhirnya akan dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respons nyeri (Tamsuri: 2006). Menurut teori ini, rangsangan nyeri masuk ke medulla spinalis (spinal cord) melalui dorsalis yang bersinaps di daerah posterior, kemudian naik ke tractus lissur dan menyilang di garis median ke sisi lainnya, dan berakhir di korteks sensoris tempat rangsangan nyeri tersebut diteruskan (Long: 2005). 2. Teori Pola (Pattern theory) Teori ini menerangkan bahwa ada dua serabut nyeri, yaitu serabut yang mampu menghantarkan rangsangan dengan cepat; dan mampu menghantarkan rangsangan dengan lambat. Kedua serabut saraf tersebut bersinapsis pada medulla spinalis dan meneruskan informasi ke otak mengenai jumlah, intensitas, dan tipe input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori nyeri (Tamsuri: 2006). Rangsangan nyeri masuk melalui akar ganglion dorsal ke medulla spinalis dan merangsang aktivitas sel T. Hal ini mengakibatkan suatu respons yang merangsang ke bagian yang lebuh tinggi, yaitu korteks serebri, serta kontraksi menimbulkan persepsi dan otot berkontraksi sehingga minimbulkan nyeri. Persepsi dipengaruhi oleh modalitas respo dari reaksi sel T (Long: 2005). 3. Teori Pengendalian Gerbang (Gate Control Theory) Melzack & Wall (1965) pertama kali mengusulknan teori mekanisme nyeri yakni teori “Gate Control” mereka menjelaskan teori gerbang kendali nyeri, yang menyatakan terdapat
semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri (Tamsuri: 2006). Menurut teori ini, nyeri tergantung dari kerja serat syaraf besar dan kecil yang keduanya berada dalam akar ganglion dorsalis. Rangsangan pada serat syaraf besar akan meningkatkan aktivitas substansi gelatinosa yang mengakibatakan tertutupnya pintu mekanisme sehingga aktivitas sel T terhambat dan menyebabkan hantaran rangsangan ikut terhambat. Rangsangan serat besar dapat langsung merangsang korteks serebri. Hasil persepsi ini akan dikembalikan ke dalam medulla spinalis melalui serat eferen dan reaksinya mempengaruhi aktivitas sel T. rangsangan pada serat kecil akan menghambat aktivitas substansi gelatinosa dan membuka pintu mekanisme, sehingga merangsang aktivitas sel T yang selanjutnya akan menghantarkan rangsangan nyeri (Long: 2005). Teori gate control menggambarkan bahwa ada mekanisme pintu gerbang pada ujung syaraf ruas tulang belakang (spinal cord) yang dapat meningkatkan atau menurunkan aliran impuls saraf dari serat perifer menuju system saraf pusat. Mekanisme pintu gerbang ini dipengaruhi oleh aktifitas A-Beta berdiameter besar, A-Delta berdiameter kecil dan serabut c serta pengaruh dari otak. Bila pintu tertutup berakibat tidak ada nyeri; pintu terbuka, nyeri; sebagian pintu terbuka, nyeri kurang. Ketika pintu ditutup, transmisi impuls nyeri dihentikan di spinal cord sehingga nyeri tidak mencapai tingkay yang disadari (Reeder-Martin:1984 ; Flynn & Heffron: 2001). Sereblum dan thalamus disebut sebagai pusat control nyeri oleh (Melzak & Wall: 1965). Pesan sensori yang berbeda dialirkan langsung ke serebrum. Pusat control memproses informasi dari 3 sumber, yakni informasi sensori-diskriminatif, informasi motivasi-afektif dan informasi kognitif-evaluatif. Karena rangsangan nyeri diproses dalam konteks yang individual, variasi yang luas dari respon nyeri dapat diamati (Flynn & Heffron: 1984 & Marie: 2002).
Endorphin juga mempengaruhi transmisi impuls yang diartikan sebagai nyeri. Endorphin dapat berupa neourotransmitter atau neuromodulator yang menghambat transmisi pesan nyeri. Tingkat endorphin berbeda setiap orang yang menjelaskan mengapa seseorang merasakan nyeri yang lebih dari pada orang lain. Orang dengan tingkat endorphin tinggi tidak akan merasakan nyeri (Reeder, Koniak-Griffin & Martin, 1997). 4. Teori Transmisi dan Inhibisi Adanya stimulus pada nociceptor memulai transmisi impuls-impuls syaraf, sehingga transmisi impuls menjadi efektif oleh neurotransmitter yang spesifik. Kemudian, inhibisi impuls nyeri menjadi efektif oleh impuls-impuls pada serabut besar yang memblok impulsimpuls pada serabut lamban dan endogen opiate system supresif (Long: 2005). 2.1.3 Tinjauan Tentang Nyeri Post Operasi 1. Nyeri Post Operasi Nyeri post operasi adalah nyeri yang dirasakan akibat dari hasil pembedahan. Kejadian, intensitas, dan durasi nyeri post operasi berbeda-beda dari pasien ke pasien, dari operasi ke operasi, dan dari rumah sakit ke rumah sakit yang lain. Lokasi pembedahan mempunyai efek yang sangat penting yang hanya dapat dirasakan oleh pasien yang mengalami nyeri post operasi. Aspek dari nyeri post operasi adalah untuk menyelidiki adanya pengalaman nyeri yang mencakup persepsi dan perilaku tentang nyeri (Suza: 2007). Toxonomi Comitte of the international Association untuk pembelajaran tentang nyeri mendefenisikan nyeri post operasi sebagai sensori yang tidak menyenangkan dan pengalaman emosi yang berhubungan dengan kerusakan jaringan potensial atau nyata atau menggambarkan terminology suatu kerusakan (Alexander: 2006 ). Pada post operasi nyeri biasanya adalah hasil dari tindakan operasi tapi dapat disebabkan oleh hal lain penyebab-penyebab yang
berhubungan atau tidak berhubungan, yaitu: kandung kemih yang penuh, iskemia, pemasangan infuse dan lain-lain. Dan diagnosa terhadap penyebab nyeri harus dapat diobati jika memungkinkan. Sisa nyeri dapat dibebaskan dengan pembatasan keamanan pasien terhadap lingkungan postoperasi (Alexander: 2006). Nyeri post operasi dapat menjadi faktor penting yang mempengaruhi persepsi pasien tentang perkembangan dan kesembuhanya. Lebih tinggi nyeri yang dirasakan pasien, maka makin rendah harapan sembuh menurut pasien berdasarkan sifat subjektif nyeri, sulit mendapatkan hubungan langsung antara intensitas nyeri dengan tingkat komlikasi postoperasi secara fisik dan psikologis (Puntillo & Weiss: 1994, diambil dari Torrance & Surginson: 2008). 2. Pengkajian Nyeri Post Operasi Pengkajian nyeri yang tepat adalah awal dari penanganan nyeri dan merupakan proses lanjut yang meliputi faktor-faktor multidimensional perumusan manajemen nyeri terhadap rencana keperawatan. Pengkajian ini sangat penting dalam mengidentifikasi sindrom nyeri atau penyebab nyeri dan memasukkan pengkajian pada intensitas dan karakteristik nyeri, pengkajian fisik yang berhubungan dengan pemeriksaan sitem saraf akan dicurigai adanya gangguan pada sistem saraf. Psikososial dan pengkajian kebudayaan menggunakan diagnosa yang tepat dalam menentukan penyebab nyeri (Suza: 2007). Dalam mengkaji nyeri, perawat perlu memastikan lokasi nyeri secara jelas misalnya, nyeri pada post appendiktomi yaitu pada daerah operasi abdomen kanan bawah, intensitas nyeri dinyatakan dengan nyeri ringan, sedang dan berat atau sangat nyeri. Waktu dan durasi dinyatakan sejak kapan nyeri dirasakan, berapa lama terasanya apakah nyeri berulang. Bila nyeri berulang maka akan mengalami selang waktu berapa lama, dan kapan nyeri berakhir. Kualitas nyeri dikatakan seperti apa yang dirasakan pasien misalnya, seperti diiris-iris pisau,
dipukul-pukul dan lain-lain. Perilaku non verbal pada pasien yang mengalami nyeri dapat diamati oleh perawat misalnya ekspresi wajah kesakitan, gigi mencengkram, memejamkan mata rapat-rapat, menggigit bibir bawah dan lain-lain (Priharjo: 2006). Informasi-informasi tentang nyeri pasien dapat diperoleh dari informasi: observasi, interview dengan pasien dan dengan anggota keluarga pasien lainya sangat penting. Untuk kembali melihat pada data medis dan kilas baliknya dengan tim kesehatan yang lain (Suza: 2007). Pengkajian nyeri post operasi meliputi berbagai aspek yaitu : 1.
Lokasi Anatomi diagnosa adalah sebuah ilustrasi yang tepat untuk menentukan lokasi nyeri,
banyak pasien tidak dapat menentukan letak nyeri secara tepat, banyak yang mengindikasikan letak dengan dengan huruf seperti ABC. Pasien boleh menggambarkan lokasi nyeri dalam bentuk atau bekas lokasi pada tubuhnya dan anggota keuarga dapat memberi tanda bilangan atau angka pada bentuk pengkajianya (Suza: 2007). 2.
Intensitas Seseorang dalam mengekspresikan nyeri mereka hanya mampu menilai suatu intensitas
nyeri secara akurat, dua jenis skala penilaian intenstas nyeri yang digunakan adalah skala verbal dan skala numerical. a. Face Rating Scale Wong dan Baker (2007) mengembangkan skala wajah untuk mengkaji nyeri pada anakanak. Skala penilaian wajah pada dasarnya digunakan pada anak-anak tetapi juga bisa bermanfaat ketika orang dewasa yang mempunyai kesulitan dalam menggunakan angka-
angka dari skala visual analog (VAS) yang merupakan alat penilaian pengkajian nyeri secara umum (Suza: 2007). Skala tersebut terdiri dari enam wajah dengan profil kartun yang menggambarkan wajah dari wajah yang sedang tersenyum “tidak merasa nyeri” kemudian secara bertahap meningkat menjadi wajah kurang bahagia, wajah yang sangat sedih sampai wajah yang sangat ketakutan “nyeri yang sangat” (Potter & Perry, 2006). b. Flowsheets (Kartu Pencatatan) Kartu ini digunakan untuk mendokumentasikan perkembangan yang bertujuan mempertahankan keberhasilan dalam manajemen nyeri. Dokter menggunakan flowsheets untuk mencatat waktu, menilai nyeri dan mengontrol penggunaan obat penghilang rasa nyeri dan efek sampingnya. Informasi yang ada dalam manajemen Flowsheet dapat disatukan dalam bentuk bentuk format yang lain untuk menghindari terjadinya kesalahan pada waktu pencatatan. c. Graphic Rating Scale Graphic rating sacale dikembangkan oleh VAS untuk menambah kata-kata atau angka diantara awal dan akhir skala. Penambahan kata-kata seperti tidak nyeri, nyeri sedang dan nyeri berat disebut verbal graphic rating scale sedangkan jika huruf seperti 0 sampai 10 menjadi numerical graphic rating scale (Suza: 2007) d. Numerical Rating Scale Skala penilaian numeric (Numerical Rating Scales, NRS) lebih digunakan sebagai pengganti alat pendeskripsi kata. Dalam hal ini, klien menilai nyeri dengan menggunakan skala 0-10 (Potter & Perry: 2006). Skala ini digunakan secara verbal atau visual dari 0 sampai 10 dan menambahkan kata-kata dan huruf sepanjang garis vertical dan horizontal, 0
menunjukkan hasil dari tidak ada nyeri dan 10 menunjukkan hasil dari nyeri yang tak terbayangkan (Suza: 2007). e. Simple Descriptor Scale (Verbal Descriptor Scale, VDS) Skala ini menggunakan daftar kata-kata untuk mendeskripsikan perbedaan tingkat intensitas nyeri, mudah dan sangat sederhana dalam menggunakannya sebagai contoh tidak ada nyeri, nyeri ringan, nyeri sedang dan nyeri berat (Suza: 2007). Skala deskriptif merupaka alat pengukuran tingkat keparahan nyeri yang lebih objektif. Skala pendeskripsian verbal merupakan sebuah garis yang terdiri dari tiga sampai lima kata pendeskripsi yang tersusun dengan jarak yang sama di sepanjang garis. Pendeskripsi ini diranking dari “tidak terasa nyeri” sampai “nyeri yang tidak tertahankan” (Potter & Perry: 2006). f. Visual Analog Scale (VAS) Visual analog scale tidak melabel subsidi. VAS merupakan suatu garis lurus, yang mewakili intensitas nyeri yang terus menerus dan memiliki alat pendeskripsi verbal pada setiap ujungnya. Skala ini memberi klien kebebasan penuh untuk mengidentifikasi keparahan nyeri. VAS dapat merupakan pengukur keparahan nyeri yang lebih sensitive karena klien dapat mengidentifikasi setiap titik pada rangkaian dari pada dipaksa memilih satu kata atau satu angka (McGuire: 1984). Visual Analog Scale digunakan dengan garis horizontal 10 cm dengan menambahkan kata-kata pada garisnya seperti tidak ada nyeri, dan nyeri sangat berat. Pasien membuat sebuah tanda sepanjang garis untuk mengungkapkan intensitas nyeri, angka diperoleh dengan mengukur millimeter dari awal sampai akhir pengukuran dan pasien akan langsung menandainya (Suza: 2007). 3. Kualitas (mutu)
Pengkajian dalam bentuk ini pasien mendeskripsikan jenis dari nyeri atau nyeri seperti apakah yang dirasakan oleh mereka, mereka mungkin akan menggunakan kata - kata sebagai berikut: denyut, seperti terbakar, tajam, tumpul seperti ditikam. 4. Serangan, Durasi, Jenis and Ritme Banyak pasien yang mengalami nyeri mempunyai sensasi untuk mengekspresikan rasa nyeri yang mereka rasakan dalam periode 24 jam. Dalam rencana keperawatan yang penting untuk mengkaji perubahan atau untuk mengantisipasi prosedur nyeri dan memodifikasi aktivitas (jika mungkin) untuk menambah rasa nyaman, jika nyeri dirasakan 12 jam atau lebih dari waktu 24 jam maka yang harus dilakukan adalah pemberian obat penghilang rasa nyeri jika diperlukan (Suza: 2007). 3. Manajemen Nyeri Post Operasi Menurut Mc. Caffery diambil dari Tamsuri: 2006 tehknik yang diterapkan dalam mengatasi nyeri dapat dibedakan dalam dua kelompok utama, yaitu tindakan pengobatan (farmalogis) dan tindakan nonfarmakologis (tanpa pengobatan). 1.
Farmakologis Penatalaksanaan nyeri secara farmakologis meliputi penggunaan opioid (narkotik), nonopioid/NSAIDs (Nonsteroid Anti-Inflamasi Drugs), dan adjuvan, serta koanalgesik. Analgesik opioid (narkotik) terdiri dari berbagai derivate dari opium seperti morfin dan kodein. Narkotik dapat menyebabkan penurunan nyeri dan memberi efek euphoria (kegembiraan) karena obat ini mengadakan ikatan dengan reseptor opiate (ada beberapa reseptor opiate sepertu mu, delta, dan alppa)dan mengaktifkan penekanan nyeri endogen pada susunan syaraf pusat.
Narkotik tidak hanya menekan rangsang nyeri, tetapi juga menekan pusat pernapasan dan batuk di medulla
batang otak. Dampak lain dari narkotik adalah sedasi dan
peningkatan toleransi obat sehingga kebutuhan dosis obat akan meningkat. Analgesik non-opioid (analgesik non-narkotik) atau sering disebut juga Nonsteroid AntiInflammatoryDrugs, (NSAIDs) seperti aspirin, asetaminofen, dan ibu profen selain memiliki efek anti nyeri juga memiliki efek anti-inflamasi dan anti-demam (antipiretik). Obat-obat golongan ini menyebabkan penurunan nyeri yang bekerja pada ujung-ujung syaraf perifer di daerah yang mengalami cedera, dengan menurunkan kadar mediator peradangan yang dibangkitkan oleh sel-sel yang mengalami cedera (Tamsuri: 2007). Terapi pada nyeri pasca operasi ringan sampai sedang harus dimulai dengan menggunakan NSAIDs, kecuali kontraindikasi (AHCPR, 1992 dikutip dar Potter & Perry 2005). Walaupun mekanisme kerja pasti NSAIDs tidak diketahui, NSAIDs diyakini bekerja menghambat sintesis prostaglandin (McKenry dan Salerno: 1995) dan menghambat respon selular selama inflamasi. Kebanyakan NSAIDs bekerja pada reseptor saraf perifer untuk mengurangi transmisi dan resepsi stimulasi nyeri. Tidak seperti opiat, NSAIDs tidak menyebabkan sedasi atau depresi pernapasan juga tidak mengganggu fungsi berkemih atau defekasi (Potter & Perry: 2005). 2.
Non Farmakologis Penatalaksanan nyeri secara nonfarmkologis untuk mengurangi nyeri terdiri dari beberapa tehknik diantaranya adalah:
1. Distraksi
Distraksi, distraksi adalah metode untuk menghilangkan nyeri dengan cara mengalihkan perhatian pasien pada hal-hal lain sehingga pasien lupa terhadap nyeri yang dialami pasien, misalnya pada pasien postappendiktomi mungkin tidak merasakan nyeri saat perawat mengajaknya bercerita tentang hobbinya (Priharjo: 2006). 2. Tehknik Relaksasi Tehknik Relaksasi, relaksasi otot skeletal dipercaya dapat menurunkan nyeri dengan merilekskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Ada banyak bukti yang menunjukkna bahwa relaksasi efektif dalam meredakan nyeri punggung (Tunner dan Jensen: 1993 & Altmaier dkk: 2002). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa relaksasi efektif dalam menurunkan nyeri post operasi (Lorenti: 1991 ; Miller & Perry: 2001). Tehknik relaksasi yang sederhana terdiri atas napas abdomen dengan frekuansi lambat, berirama. Pasien dapat memejamkan matanya dan bernapas dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat dipertahankan dengan menghitung dalam hati dan lambat bersama setiap inhalasi (hirup) dan ekhalasi (hembus). Relaksasi yaitu pengaturan posisi yang tepat, pikiran, beristirahat dan lingkungan yang tenang. Relaksasi otot skeletal dapat menurunkan nyeri dengan merilakskan ketegangan otot yang menunjang nyeri. Tekhnik relaksasi mungkin perlu diajarkan beberapa kali agar mencapai hasil yang optimal. Tindakan relaksasi dapat dipandang sebagai upaya pembebasan mental dan fisik dari tekanan dan stress. Dengan relaksasi, klien dapat mengubah persepsi terhadap nyeri (Tamsuri: 2006). 3. Imajinasi Terbimbing Imajinasi Terbimbing, imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positf
tertentu. Sebagai contoh, imajinasi terbimbing untuk relaksasi dan meredakan nyeri dapat terdiri atas menggabungkan suatu napas berirama lambat dengan suatu bayangan mental relaksasi dan kenyamanan. Dengan mata terpejam, individu diinstruksikan untuk membayangkan bahwa setiap napas yang diekhalasi secara lambat ketegangan otot dan ketidak nyaman dikeluarkan, menyebakan tubuh yang rileks dan nyaman. Setiap kali menghirup napas, pasien harus membayangkan energi penyembuh dialairkan ke bagian yang tidak nyaman. Setiap kali napas di hembuskan, pasien diinstruksikan untuk membayangkan bahwa udara yang dihembuskan membawa pergi nyeri dan ketegangan. Biasanya, pasien diminta untuk mempraktikkan imajinasi terbimbing selama sekitar 5 menit, tiga kali sehari. Bebarapa hari praktik mungkin diperlukan sebelum intensitas nyeri dikurangi. Banyak pasien mulai mengalami efek rileks dari imajinasi terbimbing saat pertama kali meraka mencobanya. Nyeri mereda dapat berlanjut selam berjam-jan setelah imajinasi digunakan. Pasien harus diinformasikan bahwa imajinasi terbimbing hanya dapat berfungsi pada beberapa orang. Imajinasi terbimbing harus digunakan hanya sebagai tambahan dari bentuk pengobatan yang telah terbukti, sampai riset telah menunjukkan apakah dan bilakah tekinik ini efektif (Harnawatiaj: 2008). 2.2 Kerangka Berfikir 2.2.1 Kerangka Teori Secara umum nyeri adalah suatu rasa yang tidak nyaman, baik ringan maupun berat. Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang mempengaruhi seseorang dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah mengalaminya (Tamsuri, 2009). Menurut International Association for
Study Of Pain (IASP), nyeri sebagai suatu sensori subjektif dan pengalaman perasaan emosional yang tidak menyenangkan akibat terjadinya kerusakan actual maupun potensial, atau menggambarkan kondisi terjadinya kerusakan. Nyeri post operasi adalah sensasi nyeri yang dirasakan oleh klien pasca dilakukannya tindakan pembedahan/ operasi hari pertama. Kriteria objektif : - Dikatakan nyeri hebat tidak terkontrol, apabila responden menyatakan nyeri berada pada nilai/skala 10. - Dikatakan nyeri hebat tapi terkontrol, apabila responden menyatakan nyeri berada pada nilai/skala 7-9. - Dikatakan nyeri sedang, apabila responden menyatakan nyeri berada pada nilai/skala 4-6. - Dikatakan nyeri ringan, apabila responden menyatakan nyeri berada pada nilai/skala 1-3. - Dikatakan tidak nyeri, apabila responden menyatakan nyeri berada pada nilai/skala 0.
Faktor-faktor yang mempengaruhi nyeri :
Nyeri
1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Pengalaman masa lalu dengan nyeri 4. Ansietas 5. Budaya 6. Keluarga dan support sosial
Nyeri berdasarkan waktu lamanya serangan :
Nyeri berdasarkan tingkatannya : 1. Nyeri ringan
1. Nyeri akut 2. Nyeri sedang 2. Nyeri kronis 3. Nyeri berat
Post operasi
Gambar 2.1 Kerangka Teori
2.2.2 Kerangka Konsep
Pasien Tingkat Nyeri
Usia, jenis kelamin, pengalaman masa lalu dengan nyeri, ansietas, budaya, dukungan keluarga dan support sosial
Keterangan : : Variabel yang diteliti
Post Operasi