INTEGRASI KEILMUAN DALAM PENYELENGGARAAN STIKES DI PONPES QAMARUL HUDA BAGU LOMBOK TENGAH Nurdin L. Mukhtar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Mataram Jl. Pendidikan Nomor 35 Mataram Email:
[email protected]
Abstrak: kehadiran STIKES di Ponpes Qamarul Huda, menunjukkan bahwa integrasi keilmuan bukanlah wacana dan upaya milik akademisi PTAI an sich, namun kini pesantren telah memberanikan diri untuk melakukan perubahan epistimologi yang jauh lebih mendasar dibandingkan PTAI. Mendalami fenomena ini, metode yang digunakan adalah kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa: pertama , penyelenggaraan STIKES di Ponpes Qamarul Huda Bagu dilatarbelakangi oleh multi faktor, yaitu faktor sosial ekonomi masyarakat, perubahan paradigma keagamaan, dinamika pendidikan baik eksternal maupun internal Ponpes Qamarul Huda, dan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang memadai; Kedua, berbagai strategi yang dilakukan untuk integrasi keilmuan belum mencerminkan upaya yang sistematis dan integral dalam proses akademis.; dan Ketiga, implikasi dari ketidaksistematisan berbagai upaya yang dilakukan tersebut, struktur keilmuan di STIKES Qamarul Huda merupakan adopsi secara utuh struktur keilmuan kesehatan an-sich, sementara muatan keilmuan keislaman yang tertuang dalam Mata Kuliah Aswaja ditempatkan sebagai suplemen yang tidak memiliki signifikansi. Secara kelembagaan integrasi antara pesantrean dan perguruan tinggi umum di Ponpes Qamarul Huda masih terbatas pada integrasi kelembagaan, belum masuk ke integrasi yang lebih substansial yaitu integrasi keilmuan. Integrasi keilmuan masih mencerminkan model single entity dimana ilmu agama Islam yang tercantum dalam Awaja masih berdiri sendiri dengan bobot yang masih terbatas. Abstract: Presence of STIKES in Ponpes Qamarul Huda, indicating that integration of science is not discourses and the effort of academician of PTAI itself, but nowadays Pesantren has make a change much more in the based on epistemology compared than PTAI. To comprehend this phenomenon, the method used is descriptive qualitative. The result of research indicate, firstly, management of STIKES in Ponpes Qamarul Huda Bagu which has background by factor multi, that is social factor of social economics, religious paradigm, dynamics education of goodness external and internal of Ponpes Qamarul Huda, and social need toward of adequate health; secondly, various strategy has conducted for the integration of science is not yet reflected in systematic effort in integral and academic process; and third, the implication of various itself, the science structure in STIKES Qamarul Huda represent a adoption the structure health science whereas concern in Islamic education with Aswaja program as supplement which do not have significances. As Institute regulation the integration between public college and Ponpes Qamarul Huda is still limited in institute integration, it is not more integration as substantial that is integration science. Integration science still express in single model where Islam theology which is contained in Awaja still self supporting which still limited subject.
Kata kunci: integrasi ilmu, pesantren, single entity, epistimologi
23
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
PENDAHULUAN Isu integrasi keilmuan sesungguhnya sudah lama didengungkan, namun hingga kini dipandang masih berserakan dan belum dirumuskan dalam sutau konstruk keilmuan yang terstruktur dan sistematis, baik pada tingkat epistimologi, maupun pada pelaksanaan pendidikan Islam. Lahirnya gagasan ini telah memberikan spektrum yang signifikan pada pengembangan keilmuan di lembaga-lembaga pendidikan Islam. Agenda integrasi ini terasa semakin menguat sejalan dengan semakin disadarinya bahwa pemilahan secara dikotomis antara ilmu agama dan ilmu umum mengakibatkan kajian-kajian keislaman menjadi kaku sehingga kurang responsif terhadap tantangan dan tuntutan perkembangan zaman. Awal munculnya ide tentang integrasi keilmuan dilatarbelakangi oleh adanya dikotomi keilmuan antara ilmu-ilmu umum di satu sisi dengan ilmu agama di sisi lain. Dikotomi ilmu yang salah satunya terlihat dalam dikotomi institusi pendidikan antara pendidikan umum dan pendidikan agama telah berlangsung semenjak bangsa ini mengenal sistem pendidikan modern. Dikotomi keilmuan Islam tersebut menurut Huzni berimplikasi luas terhadap aspekaspek kependidikan di lingkungan umat Islam, baik yang menyangkut cara pandang umat terhadap ilmu dan pendidikan, kelembagaan pendidikan, kurikulum pendidikan, maupun psikologi umat pada umumnya.1 Sebagian umat Islam hanya memandang lembaga-lembaga pendidikan yang berlabel Islam yang akan mampu mengantarkan anak-anak dan generasi mudanya mencapai cita menjadi muslim yang sejati demi mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Sementara itu, lembaga-lembaga pendidikan “umum” dipandang sebagai lembaga pendidikan sekuler yang tidak kondusif mengantarkan anak-anak dan generasi muda Islam menjadi Muslim sejati yang diidolakan orang tua. Kontras dengan cara pandang di atas adalah pandangan yang juga dimiliki oleh sebagian umat Islam. Mereka lebih cenderung memilih lembaga-lembaga pendidikan umum dengan pertimbangan jaminan mutu serta jaminan pekerjaan yang bakal diperoleh setelah lulus. Bagi mereka ini, lembaga pendidikan yang berlabel Islam cenderung dipandang sebagai tradisional, ketinggalan zaman, dan oleh karena itu mutu dan kesempatan kerja setelah lulus tidak terjamin. Merespon kondisi dan upaya tersebut, pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam yang terbesar di tanah air, kini melakukan berbagai inovasi institusional dan keilmuan dengan mendirikan perguruan tinggi umum di lingkungan pesantren. Kehadiran perguruan tinggi umum di lingkungan pesantren sebagaimana kecenderungan pengembangan pendidikan Islam beberapa tahun terakhir, dipandang memberikan harapan besar sebagai satu upaya untuk
1
Toyyar, Huzni, Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam, 2011,
h. 2.
24
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
mewujudkan integrasi di atas. Keberadaan perguruan tinggi di lingkungan pesantren kini sebagai salah satu indikator dan parameter mutakhir kemajuan sebuah pesantren. Dalam catatan Mujammil sampai saat ini pesantren yang menyelenggarakan perguruan tinggi sudah mencapai 166 pesantren, dengan perbandingan 131 pesantren menyelenggarakan PTAI, sedangkan 35 pesantren menyelenggarakan perguruan tinggi umum.2 Melalui perguruan tinggi, pesantren dipandang telah meletakkan peranannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang mampu mengikuti ritme perkembangan keilmuan. Pesantren meneguhkan dirinya untuk tetap melakukan akomodasi dan penyesuaian dalam menghadapi arus modernisasai. Bahkan tidak sedikit hasil studi, seperti halnya Horikoshi (1987), Steenbrink (1974), Mastuhu (1994), dan Brunessen (1994) menggambarkan pesantren yang dilekatkan sebagai lembaga tradisional sebagai sinema yang merekam dan sekaligus menawarkan perubahan-perubahan keilmuan, paradigmatik, institusional dan emosional. Bagi eksponen pesantren, dinamika tersebut dipandang sebagai respon dan upaya jajaran pesantren menghilangkan dikotomi ilmu-ilmu agama dengan ilmu pengetahuan umum, dan sekaligus menjadikan pesantren sebagai sentral pengembangan keilmuan. Dalam konteks inilah persepsi dualisme dikotomik bahwa perguruan tinggi dan pesantren adalah dua tradisi pendidikan yang mempunyai perbedaan baik secara institusional, filosofis, dan kultural tidak lagi sepenuhnya dipandang relevan. Kehadiran Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) di lingkungan Ponpes Qamarul Huda, menunjukkan bahwa integrasi keilmuan bukanlah wacana dan upaya milik akademisi PTAI an sich, namun kini pesantren telah memberanikan diri untuk melakukan perubahan epistimologi yang jauh lebih mendasar dibandingkan PTAI. Dikatakan demikian, mengingat ilmu kesehatan merupakan disiplin ilmu yang relatif jarang dipertautkan dengan kajian keislaman, sehingga belum memperoleh perhatian, baik di lingkungan PTAI maupun pesantren itu sendiri. Dalam kondisi demikian, kemampuan Ponpes Qamarul Huda Bagu mengembangkan ilmu kesehatan melalui pendirian STIKES di lingkungan pesantren dapat dipandang restrukturisasi bangunan keilmuan dalam dunia pesantren. Berdasarkan uraian di atas, bahwa fenomena yang dikaji dalam studi ini adalah proses integrasi keilmuan dalam penyelenggaraan STIKES di Ponpes Qamarul Huda Bagu. Atas dasar fenomena tersebut, studi ini diarahkan untuk menjawab beberapa persoalan mendasar berkaitan dengan: pertama, bagaimana latar belakang penyelenggarakan STIKES di Ponpes Qomarul Huda Bagu. Rumusan ini dibatasi pada latar belakang atau setting sosial pendirian,
2
Qomar, Mujammil, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Erlangga, Jakarta, 2005.
25
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
dan proses akademis di STIKES tersebut; kedua, upaya-upaya yang dilakukan dalam merumuskan integrasi keilmuan dalam penyelenggaraan perguruan tinggi tersebut. Hal ini dibatasi pada analisis terhadap upaya-upaya yang dilakukan oleh eksponen pesantren dan akadamisi STIKES dalam mewujudkan integrasi antara dimensi keilmuan pesantren dan keilmuan kesehatan, dalam penyelenggaraan STIKES tersebut; dan ketiga, bagaimana pola integrasi keilmuan dalam kurikulum perguruan tinggi tersebut. Pada aspek ini dibatasi pada porsi dan pola integrasi antara materi keilmuan Islam dan ilmu kesehatan dalam kurikulum yang digunakan. Hasil studi ini diharapkan memiliki dua kegunaan, pertama, dari segi kebijakan pendidikan dapat memberi informasi kualitatif mengenai beberapa aspek tentang penyelenggaraan perguruan tinggi umum di lingkungan pesantren, dan implikasinya terhadap upaya integrasi keilmuan. Informasi ini dapat dipergunakan bagi pihak-pihak pengambil kebijakan, terutama pimpinan pesantren, Kementerian Agama, maupun pemerintah daerah. Dengan demikian diharapkan adanya improvisasi, apresiasi dan partisipasi yang memadai dalam pengembangan kelembagaan dan keilmuan di pesantren. Kedua, secara teoritis dalam konteks pendidikan Islam dapat menambah khazanah intelektual dan memperkaya informasi empiris mengenai realitas dan dinamika pendidikan Islam. METODE PENELITIAN Sesuai dengan fenomena dan fokus dalam studi ini, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kualitatif deskriptif, yaitu metode yang digunakan untuk meneliti kondisi obyektif yang alamiah.3 Pendekatan ini digunakan mengingat sasaran penelitian tidak saja menyoroti fenomena sosial penyelenggaraan perguruan tinggi umum di pesantren yang bersifat obyektif, namun juga berusaha memahami interpretasi, persepsi, proses dan implikasinya terhadap integrasi keilmuan yang dipengaruhi berbagai faktor yang mengitari subyek (pimpinan pesantren dan STIKES Qamarul Huda) dalam menerjemahkan eksistensi diri dan lingkungannya. Dengan demikian, walaupun yang manifes dari kehadiran STIKES di Ponpes Qamarul Huda untuk memperkuat eksistensi pesantren, namun perubahan-perubahan epistomologis dan sosiologis dalam pengembangan kelembagaan dan keilmuan merupakan hal yang paling mendasar. Dalam penelitian ini yang dijdaikan sumber data adalah informan yang berkaitan secara langsung dengan permasalahan yang akan diteliti. Mereka terdiri dari jajaran pimpinan pesantren dan pimpinan perguruan tinggi, unsur dosen, dan unsur mahasiswa. Tehnik 3
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif Dilengkapi Contoh Proposal dan Laporan Penelitian, Alfabeta, Bandung, 2005, h. 1.
26
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
pemilihan informan dari unsur pimpinan dilakukan dengan tehnik purposif sampling (sampel bertujuan), yaitu penentuan sampel dimana peneliti memiliki pertimbangan-pertimbangan, tujuan tertentu sesuai dengan kepentingan peneliti.4 Artinya, peneliti akan menentukan informan dengan mempertimbangkan tingkat pengetahuan dan relevansinya dengan fokus studi. Sedangkan penentuan informan dari unsur dosen dan mahasiswa dilakukan dengan tehnik Snowball sampling, dimana subyek ditentukan berdasarkan tingkat kecukupan atau kejenuhan data yang diperoleh.5 Manakala informasi atau data dari beberapa dosen dan mahasiswa dianggap belum memadai, maka dilanjutkan kepada dosen dan mahasiswa yang lain, sampai data yang dibutuhkan dianggap memadai. Berdasarkan tehnik tersebut, secara operasional terlebih dahulu dilakukan pengidentifikasian jajaran pimpinan pesantren dan STIKES Qamarul Huda, selanjutnya dari pimpinan tersebut dipilih berdasarkan pertimbangan tingkat keterkaitannya secara struktural dengan studi ini, keterlibatannya dalam proses penyelenggaraan STIKES dan pesantren. Dari mereka diperoleh informasi tentang latar belakang dan proses penyelenggaraan perguruang tinggi umum (STIKES) di lingkungan pesantren, setting sosial yang mengitari, pengembangan dan dinamika pendidikan di pesantren, rumusan kurikulum perguruan tinggi, serta upaya-upaya yang dilakukan dalam integrasi ilmu keislaman dalam pesantren, dengan ilmu kesehatan pada STIKES Qamarul Huda. Sedangkan dari unsur dosen dan mahasiswa akan diperoleh informasi yang berkaitan dengan proses operasional berbagai aktivitas akademis, baik di dalam kelas perkuliahan, laboratorium, praktikum di klinik/Rumah Sakit, maupun di dalam pondok pesantren. Di samping itu, dari mereka juga akan diperoleh informasi tentang berbagai kegiatan pengembangan kemahasiswaan dan keislaman, kegiatan-kegiatan pesantren yang mendukung dan relevan dengan kegiatan akademis di STIKES tersebut. Dari data ini akan diidentifikasi aspek-aspek yang bersentuhan baik langsung maupun tidak langsung dengan upaya integrasi keilmuan di atas. Untuk mendapatkan data yang valid, dibutuhkan tehnik pengumpulan data yang tepat berdasarkan fokus penelitian. Dalam studi ini tehnik yang digunakan adalah: a. Observasi, yaitu mengamati secara langsung lingkungan dimana proses yang berkaitan dengan pemasahan yang akan diteliti berlangsung. Observasi diarahkan untuk memahami setting sosial Ponpes Qomarul Huda Bagu, kondisi sosiologis, komunikasi dan interaksi antar subyek atau unsur di dalamnya, yang memungkinkan berpengaruh terhadap penyelenggaraan perguruan tinggi umum dan kecenderungan perubahan orientasi dan 4
Ardana, dkk. Metodologi Penelitian Pendidikan, UMN Malang, 2001, h. 52 Sugiyono, Memahami Penelitian, h. 52
5
27
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
paradigma keilmuan di Ponpes Qomarul Huda. Di samping itu, berbagai kegiayan akademis baik di pesantren maupun di STIKES Qamarul Huda, juga merupakan data yang mendasar untuk digali melalui teknik ini. b. Wawancara bebas terpimpinan, yaitu pengumpulan data secara lisan, dimana garis-garis besar pertanyaan telah disediakan terlebih dahulu, baik dengan unsur pimpinan maupun dosen dan mahasiswa yang sudah ditentukan sebelumnya. Wawancara dengan pimpinan Ponpes dan STIKES Qamarul Huda penting dilakukan berkaitan dengan informasi informasi tentang latar belakang dan proses penyelenggaraan perguruang tinggi umum (STIKES) di lingkungan pesantren, setting sosial yang mengitari, pengembangan dan dinamika pendidikan di pesantren, rumusan kurikulum perguruan tinggi, serta upayaupaya yang dilakukan dalam integrasi ilmu keislaman dalam pesantren, dengan ilmu kesehatan pada STIKES Qamarul Huda. c. Dokumentasi, yaitu pengumpulan data berdasarkan dokumen tertulis, simbol atau benda tertentu. Dalam kontek studi ini metode dokumentasi digunakan untuk mengungkapkan struktur keilmuan pada STIKES Qamarul Huda berdasarkan kurikulum yang digunakan, pedoman praktikum, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan upaya integrasi keilmuan, dan arsip-arsip, majalah, audiovisual, dan lain-lain yang memiliki relevansi dengan fokus penelitian ini, guna memperkuat (triangulasi) data-data hasil wawacara dan observasi. Sedangkan prosedur analisis data yang digunakan dalam studi ini adalah mengacu pada prosedur analisis Milles dan Huberman. Menurut Milles dan Huberman analisis data dalam penelitian kualitatif secara umum dimulai sejak pengumpulan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan atau verifikasi.6 Unsur-unsur metodologis dalam prosedur ini sekaligus mencerminkan komponen-komponen analisis yang bersifat interaktif. Kegiatan analisis selama pengumpulan data dimaksudkan untuk menetapkan fokus dilapangan, penyusunan temuan sementara, pembuatan rencana pengumpulan data berikutnya, pengembangan pernyataan-pernyataan analitik dan penetapan sasaran-sasaran pengumpulan data berikutnya. Kemudian dari pengumpulan data (data colection) tersebut, direduksi ( data reduction ) sebagai upaya pemilihan pemusatan perhatian pada penyederhanaan, dan pengabstrakan data-data lapangan. Dalam proses reduksi data ini peneliti melakukan pemilihan atau pemetaan dengan membuat kategori-kategori berdasarkan permasalahan yang diteliti. Ketika penulis berada di lapangan tidak hanya mencari dan mengumpulkan data, tetapi langsung melakukan klasifikasi dan mengolah data.
6
Milles, Mathew dan Michael Huberman, Analisi Data Kualitatif, Universitas Indonesia, Jakarta,1992
28
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
Setelah hasil dari seperangkat reduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan sekumpulan informasi atau data yang disusun, kemungkinan adanya penarikan kesimpulan. Kesimpulan-kesimpulan juga diverifikasi selama kegiatan berlangsung, sehingga akan jelas bagaimana karakteristik data tersebut secara utuh. Sebagaimana penelitian kualitatif lainnya, studi ini juga sejak awal diharapkan menghasilkan temuan-temuan yang sahih serta dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penelitian dalam hal ini mencoba menerapkan teknik keabsahan data sebagai mana yang dirumuskan Lincoln dan Guba. Menurut Lincoln dan Guba, untuk mencapai hasil penelitian yang terjamin kesahihannya harus memenuhi standar kredibilitas, standar transferablitas, dan standar konfirmabilitas. Namun demikian dalam studi hanya digunakan standar kredibilitas dan standar trasferabilitas. Untuk memenihi standar kredibilitas, ada beberapa upaya yang peneliti akan ditempuh dalam studi ini, yaitu pertama peneliti berusaha untuk berada di lapangan dalam waktu yang cukup lama dalam kegiatan pengumpulan data dan analisa data, sehingga kenyataan lapangan dapat diangkat dan dipahami dengan baik dan utuh. Cara ini dipandang efektif mengingat peneliti sudah relatif mengenal lingkungan (Ponpes Qomarul Huda) dimana penelitian ini dilakukan. Kedua, meskipun peneliti telah mengenal daerah penelitian, namun kegiatan observasi tetap akan dilakukan dengan intens terutama ketika kegiatan akademik berlangsung, baik di perguruan tinggi, maupun pesantren, sehingga kenyataan di lapangan betul-betul akan tampak dan terbaca sebagai kenyatan yang sebenarnya. Ketiga, berusaha melakukan triangulasi, baik antara metode, antar informan atau subyek, dan antar peneliti dengan pihak yang kompeten dalam hubungannya dengan tema studi ini. Sedangkan untuk memenuhi standar transferablitas, peneliti akan berusaha sedapat mungkin menggambarkan tentang konteks penelitian secara menyeluruh, utuh, serta dengan pelukisan yang obyektif. HASIL DAN PEMBAHASAN Sekilas tentang Ponpes Qamarul Huda Bagu Sejarah Ponpes Qamarul Huda Bagu tidak terlepas dengan perkembangan organisasi Nahdlatul Ulama di Nusa Tenggara Barat. Geneologi intelektual sang pendiri Lalu Hasan, yang kini disebut TGH.L.Turmudzi Badaruddin, adalah salah seorang alumnus Ponpes Darul Qur’an Bengkel dibawah asuhan TGH. Shaleh Hambali,7 yang merupakan pesantren yang telah melahirkan tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama di Nusa Tenggara Barat.
7 HL. Azhari, Pimpinan Ponpes Qamarul Huda, Wawancara, 5 Oktober 2012. Lihat juga Lombok Post, 31 Agustus, 2010
29
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
Sepulangnya dari Ponpes Darul Qur’an Bengkel, TGH.L. Turmudzi mengawali perjuangannya dengan pembelajaran diniyah bagi masyarakat sekitar. Walaupun secara resmi Ponpes Qamarul Huda didirikan pada tanggal 1 April 1963, aktivitas diniyah yang dimulainya tahun 1959 inilah oleh berbagai kalangan disebutkan sebagai awal perintisannya. Pada awal perintisannya (tahun 1959) hanya memiliki 50 orang santri, 8 namun karena konsistensi (keistiqomahan) dan ketulusan yang dimiliki, telah mengantarkan L. Hasan yang kini TGH. L. Turmudzi Badaruddin sebagai ulama besar dengan Ponpes Qamarul Huda pada saat ini. Lembaga pendidikan yang pertama kali dimiliki oleh ponpes inilah adalah Madrasah Diniyah pada tahun 1960, diikuti pendirian Madrasah Ibtidaiyah pada tahun 1962. Tingginya respon masyarakat terhadap kedua lembaga tersebut, maka pada tahun 1963 secara resmi didirikan Ponpes Qoamrul Huda sebagai wadah untuk menampung para santri, utamanya yang berasal dari daerah-daerah lain. Saat ini tidak kurang dari 15.000.000 orang yang mengenyam pendidikan baik formal maupun nonformal di lembaga ini. Untuk menampung para alumni dari Madrasah Ibtidiyah yang dibangun lebih awal, maka pada tahun 1969 didirikanlah Madrasah Tsanawiyah. Dengan kondisi dan latar belakang yang sama, maka pada tahun 1984 didirikanlah Madrasah Aliyah untuk menampung para alumni Madrasah Tsanawiyah ketika itu. Melalui madrasah ini Ponpes Qamarul Huda menapakkan sayapnya, dan perlahan menjadi salah satu lembaga pendidikan alternatif bagi masyarakat Nusa Tenggara. Seiring dengan tumbuhnya kepercayaan masyarakat dan pemerintah, Ponpes Qamarul Huda kembali menunjukkan eksistensinya sebagai lembaga pendidikan yang dinamis dengan mendirikan perguruan tinggi di lingkungan pesantren pada tahun 1999. Perguruan tinggi yang pertama kali diselenggarakan adalah Sekolah Tinggi Agama Islam Ibrahimy Qamarul Huda yang kini berkembang menjadi Institut Agama Islam Qamarul Huda dengan berbagai disiplin keilmuan. Kemajuan dalam pengembangan lembaga pendidikan di Ponpes ini semakin nampak melalui penyelenggaraan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan (STIKES) Qamarul Huda pada tahun 2005.9 Melalui kedua lembaga pendidikan tinggi ini, para santri memiliki berbagai pilihan, tidak hanya kajian-kajian keagamaan pada Ma’had ‘Aly, namun juga berbagai disiplin profesi yang lain. Keragaman lembaga pendidikan baik jenjang maupun disiplin keilmuan yang diselenggarakan, Ponpes Qamarul Huda membuktikan dirinya sebagai ponpes yang memiliki eksistensi dan kontribusi besar di daerah ini.
8
Agus Wahaji, Qamarul Huda Simbol Baru Perjuangan NU di NTB, Lombok Post, 31 Agustus 2010 TGH.L.Turmudzi Badarauddin, Wawancara, 20 Juli 2012.
9
30
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
Sejarah Singkat Pendiririan STIKES di Ponpes Qamarul Huda STIKES Qamarul Huda Bagu bermula dari Awal Pengalaman Pengasuh Ponpes Qamarul Huda Bagu (TGH. Turmudzi Badruddin) selama dirawat di RS beliau banyak menyaksikan pasien yang akan meninggal dunia jarang sekali yang mendapat tuntunan rohani dari perawat secara islami. Sejak saat itu tercetus ide untuk mendirikan rumah sakit yang pelayanannya berorientasi islami. Tahun 2001 Ide TGH. L. M. Turmudzi Badaruddin mendapat dukungan dari Gusdur (Presiden waktu itu), kemudian karena Presiden Gusdur lengser rumah sakit yang sudah direncanakan akhirnya tertunda. Kemudian muncul ide untuk mendirikan Sekolah Perawat Islami pada tahun 2003 atas usul dari seorang professor dalam bidang Psiko Neuro Immunologi yaitu Prof Dr. Saleh dengan tesisnya yang sangat terkenal di pulau Jawa yaitu tentang Solat Tahajjud, untuk segera menyiapkan pencanangan pendirian STIKES. Tahapan yang dilalui sampai pada resminya berdiri STIKES tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Tahun 2004 : Pencanangan pendirian STIKES Tahun 2005 : Persiapan pendirian (Rapat konsolidasi, Persiapan infra struktur, dan Persiapan sumber dana dan sumber daya) Tahun 2006 : Proses pengurusan ijin (Persiapan visitasi, dan permohonan ijin ke dikti) Juli 2006 : Visitasi oleh PPNI Pusat Oktober 2006 : Ijin dari MENDIKNAS terbit Agust-Sept : Proses penerimaan mahasiswa baru September : Proses belajar mengajar semester I sudah dimulai dengan jumlah mahasiswa sebanyak 90 orang 22 Nopember 2006: Peresmian oleh Menkes RI (Dr. Dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP.(K)10 Visi dan Misi Penyelenggaraan STIKES Qamarul Huda Visi STIKES Qamarul Huda adalah “menjadi pusat pendidikan tenaga kesehatan professional unggulan yang islami yang mampu menghadapi tantangan dalam pelayanan kesehatan masyarakat”. Rumusan visi ini selanjutnya dituangkan lebih spesifik pada misinya, yaitu: 1. Menyelenggarakan pendidikan tenaga kesehatan yang berkualitas untuk mendukung pembangunan 2. Menyelenggarakan penelitian dan pengembangan ilmu kesehatan tepat guna yang berkualitas berbasis kompetensi dan islami 10
Pedoman Akademik STIKES Qamarul Huda 2012
31
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
3. Menyelenggarakan pengabdian masyarakat yang dijiwai ketulusan dalam rangka berperan aktif meningkatkan derajat kesehatan masyarakat.11 Visi dan misi tersebut selanjutnya sebagai dasar operasional STIKES Qamarul Huda. Visi islami disamping profesionalisme merupakan ruh dan karakter yang melekat, dan sekaligus yang membedakannya dengan perguruan tinggi kesehatan pada umumnya. Manifestasi dari visi misi ini nampak dari apa yang dipaparkan Ketua STIKES Qamarul Huda:
Karakter yang ingin dibangun dalam proses penyelenggaraan STIKES ini adalah tenaga professional yang islami. Profesional dalam bidangnya dilakukan melalui aktivitas kurikuler perkuliahan dan praktik. Sedangkan islami, dilakukan selain melalui kurikuler dalam mata kuliah Ahlussunnah waljama’ah (ASWAJA) dalam empat semester, juga pembimbingan untuk internasliasi nilai-nilai agama dalam peraktik pelayanan kesehatan, baik di laboratorium STIKES sendiri maupun Rumah Sakit atau Puskesmas mitra kerja. Misalnya membiasakan mahasiswa membaca basmalah dalam memulai aktivitas pelayanan, dan menuntun setiap pasiennya setiap minum obat, makan, minum, dan berbagai aktivitas lainnya. Menuntun pasien untuk senantiasa berdoa sesuai dengan penyakit yang dihadapi, bertasbih, bertahmid, bertahlil, mengazankan dan mengiqomatkan setiap kelahiran, melafazkan syahadat dan istigfar bagi pasien sakaratul maut, dan lain-lain. Internalisasi nilai keislaman ini akan semakin ditingkatkan dan dipantau setiap praktik mahasiswa, selain mendesain lingkungan yang mendukung.12 H. Menap yang berprofesi sebagai tenaga medis, dan selaku ketua STIKES Qamarul Huda ini meyakini sepenuhnya bahwa pendekatan agama memiliki pengaruh yang signfikan terhadap kesehatan seseorang. Menurutnya berbagai hasil reseach yang telah dilakukan menunjukkan dengan sentuhan-sentuhan religius dapat membantu pasien untuk memperoleh kesembuhan, terutama pada aspek psikologis, aspek yang sangat penting dalam dunia medis. Implementasi visi islami tersebut juga didukung oleh adanya mata kuliah bahasa Arab dan Ahlussunnah Waljama’ah (Aswaja) dalam kurikulum STIKES. Dengan diajarkannya Bahasa Arab menurut Ketua STIKES H. Menap diharapkan para mahasiswa dapat lebih akrab dengan terminologi-terminologi Islam dalam menjalankan profesi. Sedangkan materi Aswaja diharapkan mahasiswa memiliki pengetahuan Islam yang memadai sehingga terbangun watak dan prilaku yang agamis, baik sebagai tenaga professional maupun anggota masyarakat. Untuk mendukung ini H. Menap menyatakan bahwa sekarang sedang dirancang Aswaja yang mencakup materi kesehatan dalam perspektif Islam secara spesifik, sehingga
11
Profile STIKES Qamarul Huda, www.stikesqamarulhuda.ac.id. Dikutip tanggal 10 Agustus 2012 H. Menap, Ketua STIKES Qamarul Huda, Wawancara, 19 September 2012
12
32
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
dalam menjalankan tugas profesionalnya, disamping melakukan pendekatan medis, juga dibarengi dengan pendekatan Islam.13 Struktur Keilmuan pada STIKES Qamarul Huda
Kurikulum Barometer aspek pengembangan keilmuan di sebuah perguruan tinggi adalah struktur kurikulum yang diguanakan. Struktur kurikulum STIKES Qamarul Huda nampak dalam rumusan sebagai berikut: 1. Kurikulum yang menjadi dasar penyelenggaraan program sarjana dan program diploma terdiri atas: a. Kurikulum Inti b. Kurikulum Institusional. 2. Kurikulum inti terdiri atas: a. Kelompok Matakuliah Pengembangan Kepribadian (MPK) b. Kelompok Matakuliah Keilmuan dan Ketrampilan (MKK) c. Kelompok Matakuliah Keahlian Berkarya (MKB) d. Kelompok Matakuliah Perilaku Berkarya (MPB) e. Kelompok Matakuliah Berkehidupan Bermasyarakat (MBB) 3. Kurikulum inti program sarjana berkisar antara 60% - 80% dari jumlah SKS kurikulum program sarjana. Sedangkan untuk Kurikulum Institusional/Global berkisar antara 20 % - 40 % dari jumlah SKS kurikulum program sarjana. 4. Kurikulum inti program diploma sekurang-kurangnya 60% dari jumlah SKS kurikulum program diploma. Sedangkan untuk Kurikulum Institusional/Global maksimal 60 % dari jumlah SKS kurikulum program sarjana. 5. Kurikulum institusional program sarjana dan program diploma terdiri atas keseluruhan atau sebagian dari: a. Kelompok MPK yang terdiri atas matakuliah yang relevan dengan tujuan pengkaryaan wawasan, pendalaman intensitas, pemahaman dan penghayatan MPK inti. b. Kelompok MKK yang terdiri atas matakuliah yang relevan untuk memperkuat penguasaan dan memperluas wawasan kompetensi keilmuan atas dasar keunggulan kompetitif serta komparatif penyelengaraan program studi bersangkutan. c. Kelompok MKB yang terdiri atas matakuliah yang relevan, bertujuan untuk memperkuat penguasaan dan memperluas wawasan kompetensi keahlian dalam berkarya
13
Ibid.
33
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
di masyarakat sesuai dengn keunggulan kompetitif serta komparatif penyelenggaraan program studi bersangkutan. d. Kelompok MPB yang terdiri atas matakuliah yang relevan bertujuan untuk memperkuat penguasaan dan memperluas wawasan, perilaku berkarya sesuai dengan ketentuan yang berlaku di masyarakat untuk setiap program studi. e. Kelompok MBB yang terdiri atas matakuliah yang relevan dengan upaya pemahaman serta penguasaan ketentuan yang berlaku dalam berkehidupan di masyarakat, baik secara nasional maupun global, yang membatasi tindak kekaryaan seseorang sesuai dengan keahliannya. 6. Kelompok MPK pada kurikulum inti yang wajib diberikan dalam kurikulum setiap program studi/kelompok program studi terdiri atas matakuliah : Bahasa, Pendidikan Agama, dan Pendidikan Kewarganegaraan. 7. Dalam Kelompok MPK secara institusional dapat termasuk matakuliah : Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, IImu Budaya Dasar, IImu sosial Dasar, IImu Alamiyah Dasar, Filsafat IImu, Olah Raga dan sebagainya.14 Struktur kurikulum yang memuat pembagian kelompok bidang kajian di atas, mencerminkan bahwa bidang keahlian dan keilmuan cukup memadai untuk mendukung pengembangan ilmu-ilmu kesehatan, dan sekaligus membentuk tenaga kesehatan. Namun dalam pengelompokkan tersebut, terasa kurang apresiatif terhadap ilmu-ilmu keislaman, dimana kajian Islam ditempatkan dalam sebagai MPK yang disebut Pendidikan Agama Islam, yang merupakan terminologi yang khas pada perguruan tinggi umum. Kondisi tersebut diperjelas dengan penjabaran kurikulum ke dalam sejumlah mata kuliah dengan bobot SKS,15 dimana materi Aswaja (Ahlussunnah Waljama’ah)16 sebagai mata kuliah yang khas di lingkungan Ponpes Nahdlatul Ulama, sebagaimana halnya Qamarul Huda. Dari sebaran mata kuliah tersebut nampak bahwa maka kuliah Aswaja yang memuat materimateri keislaman hanya memperoleh bobot 3 SKS, yang disebar pada tiga semester, sehingga bobot SKSnya persemester masing-masing 1 SKS. Demikian juga pada jurusan Kebidanan, mata kuliah Aswaja hanya diberikan satu kali di semester akhir. Komposisi mata kuliah di atas, nampaknya berbeda dengan struktur kurikulum pada masa awal berdirinya STIKES Qamarul Huda (2006-2009), dimana mata kuliah Aswaja 14
Pedoman Akademik STIKES Qamarul Huda 2012 Sebaran mata kuliah di semua jurusan pada STIKES Qamarul Huda terlampir. 16 Aswaja merupakan nama mata pelajaran dan mata kuliah yang khas di lingkungan Nahdlatul Ulama, dan diberikan disemua jenjang pendidikan. Muatan materi mata kuliah ini adalah berkaitan dengan kajian keislaman dalam berbagai aspeknya, termasuk bidang kesehatan. 15
34
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
diberikan disemua jurusan dari semester satu sampai semester akhir. Pengurangan SKS mata kuliah Aswaja ini sejalan dengan perubahan kurikulum STIKES Qamarul Huda. Untuk diketahui bahwa semenjak beridirinya perguruan tinggi ini, sudah melakukan perubahan kurikulum sebanyak tiga kali. Kondisi ini menurut Sastrawan selaku Wakil Ketua bidang akademik:
Dalam perubahan kurikulum, materi Aswaja sengaja dikurangi karena dianggap terlalu banyak. Sementara ilmu-ilmu yang berkaitan dengan keahlian di bidang kesehatan masih banyak yang harus ditempuh oleh mahasiswa. Komposisi ini (kurikulum) dianggap proporsional, mengingat di semua STIKES dengan jurusan sebagaimana yang ada STIKES Qamarul Huda memiliki sebaran mata kuliah yang sama, sehingga keilmuan mereka juga sama. Oleh karena itu jumlah SKS untuk Aswaja sudah dipandang cukup jika dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya.17 Pengurangan jumlah SKS mata kuliah Aswaja di atas, selain berdampak terhadap kurangnya jam pembejaran agama, juga berbeda dengan harapan TGH. Turmuzi (selaku pimpinan Ponpes), yang menghendaki agar materi Aswaja diberikan di setiap semester (semester 1 sampai 6). Perbedaan tersebut mencerminkan adanya tarik-menarik antara tuntutan keilmuan di satu sisi, dan tuntutan keilmuan keislaman di sisi lain, walapun pada akhirnya kepentingan disiplin ilmu yang diutamakan oleh pimpinan STIKES Qamarul Huda.
Perpustakaan Keberadaan perpustakaan di perguruan tinggi memiliki peran penting dan strategis dalam membangun lingkungan akademis dan mengembangan keilmuan. Pentingnya perpustakaan ini diwujudkan dalam koleksi sejumlah referensi di perpustakaan STIKES Qamarul Huda Bagu. Dari daftar katalog, perpustakaan STIKES Qamarul Huda memiliki 628 buku dalam berbagai disiplin ilmu kesehatan, 18 dalam berbagai disiplin ilmu, sesuai dengan bidang keilmuan yang dikembangkan di perguruan tinggi tersebut (Katalog terlampir). Sebagaimana disebutkan dibagian awal, STIKES Qamarul Huda menyelenggarakan lima jurusan, yaitu kebidanan, perawat, farmasi, Rekam Medik, dan Nears, berbagai referensi yang tersedia mencerminkan kelima jurusan tersebut. Dari sejumlah 628 buku yang dikoleksi, nampak tidak ada satu pun referensi yang berkaitan dengan ilmu-ilmu keislaman. Di sisi lain mata kuliah ASWAJA (Ahlus Sunnah Wal Jama’ah) yang memuat berbagai konsep tentang berbagai aspek Islam menjadi salah satu mata kuliah yang diajarkan (walaupun dengan porsi yang sangat terbatas), tidak tercantum dalam katalog di atas. Kondisi ini menurut H. Menap: 17
Sastrawan, Wakil Ketua Bidang Akademik STIKES Qamarul Huda, Wawancara, 7 September 2012 Katalog Perpustakaan STIKES Qamarul Huda, 2011
18
35
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
Saat ini STIKES Qamarul Huda masih memperiotaskan pengadaan buku-buku pokok yang bersentuhan langsung dengan disiplin ilmu yang dikembangkan, inipun masih terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan referensi Aswaja atau bahasa Arab, sampai saat ini masih kita serahkan sepenuhnya kepada dosen yang bersangkutan. Bahkan beberapa tahun yang lalu kita sudah membuat tim Aswaja yang akan merumuskan sejumlah bahan ajar dalam bentuk buku dari semester satu sampai empat, dimana Aswaja empat khusus memuat kajian Islam yang berkaitan dengan ilmu-ilmu kesehatan. Namun karena adanya kendala teknis hingga kini belum bisa terwujud.19 Tidak tersedianya referensi yang berkaitan dengan keislaman di perpustakaan STIKES Qamarul Huda, berdampak terhadap kurang optimalnya pencapaian target pembelajaran Aswaja di atas. Selanjutnya referensi yang dapat diakses oleh mahasiswa hanya referensi yang digunakan oleh dosen pengampu mata kuliah, yang memang sangat terbatas. Artinya upaya integrasi keilmuan antara disiplin ilmu yang dikembangkan dengan ilmu-ilmu keislaman belum dirumuskan secara utuh dalam penyelenggaraan perguruan tinggi tersebut di Ponpes Qamarul Huda.
Praktikum Sebagaimana perguruan tinggi dalam bidang kesehatan pada umumnya, kegiatan praktikum merupakan bagian intrakulikuler dalam pengembangan keilmuan atau keahliah. Kegiatan praktikum di STIKES Qamarul Huda dirancang secara sistematis dan terstruktur. Hal ini nampak dari adanya pedoman praktikum di masing-masing jurusan. Di samping itu ketersedian laboratorium di masing-masing jurusan juga cukup mendukung pelaksanaan pengembangan kilmuan sesuai dengan disiplin yang ditekuni mahasiswa. Namun demikian, dari tiga pedoman yang kami peroleh di lapangan (pedoman praktikum kebidanan, Perwawat dan Farmasi) tidak memuat nilai-nilai keislaman dalam berbagai tahap dalam proses praktikumnya. Pedoman praktikum tersebut hanya memuat langkah-langkah penerapan sebagaimana praktikum ilmu kesehatan pada umumnya.20 Mempertegas muatan pedoman di atas, Sastrawan mengungkapkan bahwa dalam pedoman praktikum masing-masing jurusan memang tidak disebutkan secara spesifik muatan keislamannya, namun dalam kondisi-kondisi tertentu sebelum praktik, mereka (mahasiswa) diberikan tausiyah oleh bapak tuan guru (TGH. Turmuzi) kaitannya dengan pentingnya praktik pelayanan kesehatan yang islami, seperti membaca basmalah disetiap memulai, memberika doa bagi orang yang sakit, memberikan motivasi dengan pendekatan teologis, dan lain-lain. Bahkan ketika mahasiswa mau praktik lapangan (PPL), semua mahasiswa 19 20
36
H. Menap, Ketua STIKES Qamarul Huda, Wawancara, September 2012 Lihat Pedoman Praktikum masing-masing jurusan tahun 2011, Dokumen dikutip 7 September 2012
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
dikumpulkan oleh beliau (TGH. Turmuzi) untuk diberikan bekal keagamaan ketika terjun di lapang, baik dirumah sakit, puskesmas, maupun masyarakat. Hal ini juga sejalan dengan pengalaman para mahasiswa dalam melakukan PLL, dimana mereka oleh masyarakat diminta dan diharapkan iktu terlibat secara langsung dalam berbagai kegiatan keagamaan. Harapan masyarakat ini tentu relevan mengingat kehadiran mahasiswa dengan almamater Ponpes Qamarul Huda tidak hanya dipandang ahli dibidang kesehatan, juga bidang agama Islam.21 Walaupun tidak termuat dalam pedoman, pelaksanaan praktikum selalu dislipkan nilainilai keislaman. Salah seorang mahasiswa jurusan Kebidanan Zulfaini, menuturkan bahwa seluruh mahasiswa Kebidanan secara bergiliran meperoleh piket praktik di Klinik Qamarul Huda. Dalam piket tersebut mereka melayani masyarakat sekitar dan warga Ponpes Qamarul Huda selama 24 jam. Disamping diwajibkan mengucapkan salam pada setiap pasien yang datang, juga setiap mereka diwajibkan shalat tahajud pada malam hari. Hal ini langsung tuan guru (TGH. Turmuzi) yang perintahkan, walaupun kadang-kadang aja mahasiswa yang meremehkannya.22
Proses Pembelajaran Aktivitas perkuliahan di STIKES Qamarul Huda sebagaimana lazimnya, memuat berbagai perangkat dan aktivitas instruksional di dalamnya. Proses pembelajaran ini merupakan aktivitas pokok akademis dalam mengembangkan keilmuan di masing-masing jurusan. Dengan kata lain, aktivitas pembejalaran akan menentukan dimensi keilmuan para mahasiswa. Dalam kondisi ini dosen memiliki peran strategis dalam membimbing dan mengarahkan mahasiswa, termasuk yang berkaitan dengan dimensi keislaman dalam hubungannya dengan ilmu yang diajarkan. Sensitifitas dosen terhadap nilai-nilai keislaman dalam proses pembelajaran di STIKES Qamarul Huda, sejauh pengamatan peneliti belum terbangun secara utuh. Anjuran pimpinan Ponpes (TGH. Turmuzi) agar para dosen menyelipkan aspek atau perspektif keislaman dalam proses perkuliahan, belum terjawab secara baik di lapangan. Hal ini menurut H. Menap:
Adanya hambatan psikologis, dimana hampir seluruh dosen yang mengajar di STIKES Qamarul Huda merupakan dosen luar biasa, yang memiliki kesibukan dan aktivitas tetap di tempat lain. Upaya untuk menekankan mereka agar menyelipkan nilai-nilai keislaman dalam menerjemahkan dan menjelaskan ilmu yang disampaikan kepada mahasiswa tidak bisa kita lakukan. Di sisi lain, keterbatasan dosen yang bersangkutan terhadap landasan-landasan normatif ajaran Islam yang terkait dengan bidangnya, karena mereka umumnya memperoleh proses akademik di perguruan yang umum. Namun 21
Sastrawan, Wakil Ketua Bidang Akademik, Wawancara, 7 September 2012 Zulfaini, Mahasiswa Jurusan Kebidanan, Wawancara, 2 Agustus 2012
22
37
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
demikian penanaman nilai-nilai keislaman yang sifatnya sudah umum, seperti melafazakan salam, doa sebelum aktivitas pembelajaran maupun praktikum, seluruh dosen sudah mulai melakukannya.23 Kondisi yang dipaparkan H. Menap di atas tidak hanya berdampak terhadap lemahnya pengutan keislaman dalam proses pembelajaran, lebih jauh juga berdampak terhadap karakter alumni atau tenaga medis yang dihasilkan STIKES Qamarul Huda. Latar belakang tenaga pengajar sebagaimana dideskripsikan di bagian sebelumnya, umumnya dari ilmu murni menjadi hambatan utama dalam menginternalisasi nilai keislaman dalam kajian dan pengembangan ilmu kesehatan di Ponpes Qamarul Huda.24 Bila kondisi ini terus berjalan, maka visi STIKES yang akan menghasilkan tenaga medis yang islami nampaknya belum sepenuhnya diwujudkan dalam aktivitas pembelajaran. Menjembatani persoalan ini, Sastrawan menjelaskan “adanya mata kuliah Bahasa Arab disamping mata kuliah Aswaja, diharapkan akan memberikan muatan keislaman dalam kajian ilmu kesehatan. Muatan bahasa Arab tidak hanya berkaitan dengan berbagai istilah medis dalam bahasa Arab, juga berkaitan dengan beberapa istilah dan praktis medis yang digunakan dalam al-Qur’an dan As-Sunnah”.25 Harapan ini sesungguhnya cukup baik untuk menunjang muatan keislaman dalam proses pembelajaran, namun dengan pengajaran bahasa Arab dengan bobot hanya 2 SKS, nampaknya belum cukup untuk mewujudkannya. Senada dengan paparan di atas, L. Fauzi salah seorang mahasiswa menuturkan bahwa “masalah agama kami diajarkan oleh dosen Aswaja dan dosen Bahasa Arab. Dosen Aswaja lebih banyak mengajarkan berkaitan dengan Aqidah, ibadah dan akhlak, kadang-kadang dikaitkan dengan bidang kesehatan, dan Bahasa Arab diajarkan istilah-istilah medis dalam bahasa Arab, termasuk yang termuat dalam al-Qur’an dan Hadits. Sedangkan para dosen yang memberikan perkuliahan ilmu kesehatan mengajarkan ilmu sesuai dengan mata kuliah masing-masing.26 Upaya untuk memperkuat muatan keislaman, sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, diharapkan para mahasiswa tinggal diasrama, sehingga harapan orang tua dan sesuai dengan niat awal mereka masuk baik ke IAI maupun STIKES Qamarul Huda Bagu dapat tercapai. Sebagaimana halnya L. Fauzi, Zulfaini salah seorang mahasiswa kebidanan yang sekaligus aktivis Ikatan Keluarga Mahasiswa (IKM) Qamarul Huda nampaknya memiliki 23
H. Menap, Ketua STIKES, Wawancara, Oktober 2012 Lihat lampiran tentang jumlah tenaga pengajar pada STIKES Qamarul Huda, Dokumen dikutip, 3 Agustus 2012 25 Sastrawan, Wakil Ketua Bidang Akademik STIKES Qamarul Huda, Wawancara, 7 September 2012 26 L. Fauzi, Mahasiswa Perawat, Wawancara, 2 Agustus 2012 24
38
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
idealisme yang sama bahwa pilihan melanjutkan studi di STIKES Qamarul Huda adalah memadukan ilmu umum yang lebih pragmtis dengan ilmu agama. Namun demikian menurutnya “ ada kecenderungan umum bahwa para santri lebih banyak memilih meninggalkan pondok ketika mereka sudah menyandang status mahasiswa. Mereka memilih tinggal di luar pesantren, atau kembali ke rumah masing-masing. Kecenderungan ini, boleh jadi karena kehidupan kampus yang lebih terbuka, adanya serangkaian tugas dan aktivitas perkuliahan, maupun kejenuhan dengan lingkungan pesantren yang serba diatur, memungkinkan mereka mencari tempat tinggal yang lebih terbuka dan longgar”.27 Penyelenggaraan Perguruan Tinggi : Memperkuat Eksistensi Pesantren Berdasarkan Undang-undang Sisdiknas Nomor 20 tahun 2003, dan PP Nomor 30 tahun 1990 yang menyatakan “pendidikan tinggi dapat diselenggarakan oleh satuan pendidikan yang diadakan oleh pemerintah, dalam hal ini Departemen Pendidikan atau departemen lain, atau lembaga pemerintah lain, atau oleh suatu pendidikan yang diadakan oleh masyarakat”. Undang-undang ini menjadi landasan konstitusional bagi TGH.L. Turmuzi bersama pimpinan Ponpes Qamarul Huda untuk menyelenggarakan perguruan tinggi di lingkungan pesantren. Dengan tetap mempertahankan lembaga pesantren, TGH. L.Turmuzi selanjutnya mengembangkan institusi pendidikan dengan mendirikan IAIQ dan STIKES di lingkungan pesantren. Perbaikan bentuk kelembagaan dengan tambahan perguruan tinggi tersebut berdasarkan data setidaknya dilatarbelakangi oleh beberapa faktor; pertama, faktor sosial ekonomi, mobilitas masyarakat Lombok Tengah yang disertai diversifikasi keahlian, serta pergeseran peran dalam bidang ekonomi, menandai adanya potensi dan kecenderungan semakin urban. Arus besar industrialisasi sebagai implikasi dari modernisasi memaksa masyarakat Lombok Tengah mengubah orientasi hidup untuk tidak hanya mementingkan aspek spiritualitas, namun juga kebutuhan pragmatis menjadi tuntutan vital. Menjawab arus modernisasi, terutama dinamika masyarakat sekitarnya TGH.L.Turmuzi bersama eksponen Ponpoes Qamarul Huda meneguhkan dirinya untuk tetap melakukan akomodasi dan penyesuaian dalam menghadapi arus modernisasi. Bersamaan dengan kecenderungan ini, minat para santri untuk mendalami agama pada Ma’ahad Aly di Ponpes Qamarul Huda cenderung menurun. Mereka lebih banyak melanjutkan ke perguruan tinggi, karena lebih menjanjikan dari aspek sosial ekonomi. Para pimpinan pesantren dan santri di Ponpes Qamarul Huda menyadari kecenderungan ini. Maka penyelenggaraan perguruan tinggi di Ponpes Qamarul Huda dipandang sebagai solusi.
27
Zulfaini, mahasiswa Jurusan Kebidanan STIKES Qamarul Huda, Wawancara 2 Agustus 2012
39
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
Kedua, perubahan paradigma keagamaan, mindset pesantren yang mengidolakan ilmuilmu keagamaan, dan menegasikan ilmu-ilmu umum yang dulu menjadi frame dominan, kini berubah kearah pembaharuan dan berusahan mengintegrasikan ilmu umum dan ilmu agama. TGH.L.Turmuzi secara ekspelisit mengungkapkan bahwa tidak ada lagi dikotomi ilmu agama dan ilmu umum. Seraya merefleksikan historis Islam pada masa awal, ia mengatakan bahwa sejarah Islam telah membuktikan bahwa para ulama dahulu selain menguasai ilmu agama, juga menguasai ilmu pengetahuan umum, dan mereka telah berhasil membawa Islam kepuncak kejayaan. TGHL.Turmuzi menegaskan keyakinannya bahwa tidak ada pemisahan antara kepetingan dunia dan akhirat.28 Maka kehadiran perguruan tinggi dengan berbagai disiplin ilmu di lingkungan pesantren diharapkan dapat menjadikan pesantren sebagai pusat keilmuan. Selain pandangan di atas, salah satu bentuk kegelisahan akademik (sense crisis of academic) TGH.L. Turmuzi dalam mendirikan perguruan tinggi adalah kekecewaannya terhadap realitas pengembangan pendidikan dewasa ini. Bersama elit pesantren, mereka dipersatukan oleh persepsi bahwa lembaga pendidikan yang ada saat ini, pendidikan tradisional di satu pihak, dan pendidikan yang bercorak modern (sekuler) dipihak lain, hanya akan melahirkan pribadi yang terpecah (split personality). Berangkat dari kritik inilah para pimpinan Ponpes Qamarul Huda memandang dibutuhkan lembaga pendidikan tinggi yang dapat mengintegrasikan kedua kepentingan tersebut. Sehingga akan melahirkan ulama intelek atau intelektual yang ulama. Penegasan visi ini sebagai abstraksi harapan kedepan yang didasarkan atas realitas pesantren di satu sisi, dan dinamika masyarakat di sisi lain. Ketiga, dinamika pendidikan, kondisi pendidikan di Lombok Tengah, dimana Bagu sebagai bagian integral di dalamnya, belum menunjukkan perkembangan yang berarti jika dibandingkan dengan kabupaten lain di NTB. Sebelum munculnya perguruan tinggi di Ponpes Qamarul Huda Bagu, pendidikan di Lombok Tengah hanya terbatas pendidikan dasar dan menengah. Rasio perguruan tinggi dengan jumlah SLTA di Lombok Tengah tidak sebanding jika dibandingkan dengan daerah lain. Untuk tahun 2011, jumlah Madrasah Aliyah di Lombok Tengah baik negeri maupun swasta 104 buah, dengan total jumlah siswa yang belajar didalamnya 12.519 siswa. Sedangkan jumlah Sekolah Menengah Atas baik negeri maupun swasta 35 sekolah, dengan jumlah siswa sebanyak 11.162 orang.29 Sebagai elit agama TGH.L. 28
TGH.L.Turmuzi Badarudin, Wawancara, Juli 2012 Pemda NTB, Nusa Tenggara, hal. 124, 134. Bandingkan dengan daerah lain masing-masing Lombok Timur 85 madrasah Aliyah dengan jumlah siswa 15.797, dan Sekolah Menengah Atas 47 buah, dengan jumlah siswa 10.940 orang. Lombok Barat Madrasah Aliyah 67 buah dengan jumlah siswa 10.192, dan Sekolah Menengah Atas 26 buah dengan jumlah siswa 9.456 orang. Sedangkan Kota Mataram memiliki 10 Madrasah Aliyah dengan 2.326 siswa, Sekolah Menengah Atas 23 buah dengan jumlah siswa 6.192 orang. 29
40
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
Turmuzi merasa berkepentingan untuk memunculkan lembaga pendidikan yang lebih tinggi sebagai kesinambungan pendidikan tersebut. Selain kondisi di atas, dinamika internal pendidikan dilingkungan Ponpes Qamarul Huda juga turut mendorong penyelenggaraan perguruan tinggi. Salah seorang pimpinan Ponpes Qamarul Huda HL. Azhari menyatakan bahwa “pendirian perguruan tinggi memang sebuah keharusan yang secara integral berkaitan dengan kebutuhan pokok Ponpes Qamarul Huda yang sudah lama memiliki lembaga pendidikan formal yang lebih rendah (Madrasah Aliyah), baik di Qamarul Huda sendiri maupun Madrasah-Madrasah pada pesantren yang berafilisasi secara ideologis30 dengan Ponpes Qamarul Huda.31 Keempat, perubahan orientasi santri, pergolakan yang paling nampak dan dirasakan oleh santri adalah keinginan untuk mengembangkan karirnya. Setelah sekian lama menjadi santri, dan menjadi guru/ustaz dialmamaternya baik pada Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Tsanawiyah maupun Madrasah Aliyah, dan laksanakan dengan penuh kebanggaan. Mereka memandang mengajar di pesantren sebagai ibadah dan pengabdian, dilaksanakan dengan ikhlas, semata-mata mengharap ridla dari Allah SWT. Tetapi dengan semakin tajamnya persaingan dan meningkatnya kebutuhan ekonomi, mereka dituntut oleh keadaan untuk mencari nafkah guna memenuhi kebutuhan hidupnya. Untuk memenuhi hasrat tersebut para santri yang belum memperoleh gelar formal/ kesarjanaan mereka ikut melanjtukan studi di IAI dan STIKES Qamarul Huda. Mereka semakin menyadari bahwa mereka memerlukan gelar dan status formal dalam memasuki system kehidupan yang menuntut syarat-syarat formal mengenai keahlian semakin jelas. Kini para santri dipersatukan oleh persepsi bahwa keilmuan mereka harus ada legimitasi secara formal, sehingga mereka memiliki peluang yang sama dengan mereka yang ada diinstitusi pendidikan diluar pesantren. L. Fauzi, salah seorang mahasiswa mewakili beberapa rekannya mengungkapkan “dengan bermodal ijazah Madrasah Aliyah dan Ma’ahad Aly, kita tidak bisa bersaing dengan orang lain. Mereka yang memiliki ijazah perguruan tinggi ratarata sudah sukses, sedangkan teman-teman yang tidak memiliki ijazah mereka tidak memiliki pekerjaan tetap, bahkan ada yang ngaggur”.32 Keberadaan STIKES di Ponpes Qamarul Huda kini memperkaya lembaga pendidikan di pesantren tersebut. Kendati lembaga ini belum mampu mempresentasikan dua kebutuhan 30 Ponpes Qamarul Huda untuk saat ini merupakan lembaga pendidikan Nahdatul Ulama terbesar di NTB, maka adanya afiliasi ideologis pesantren-pesantren atau madrasah lain cukup mendasar. Kondisi ini menjadi peluang bagi ponpes Qamarul Huda, mengingat Lombok Tengah merupakan basis Nahdliyin di NTB. 31 Nurdin dkk, Penyelenggaraan Perguruan Tinggi di Pesantren, dan Implikasinya terhadap Perubahan Orientasi di Ponpes Qamarul Huda, Lemlit IAIN Mataram, 2010. 32 Muh.Imam Saukani, Mahasiswa/sanri, Wawancara 4 Juli 2012
41
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
besar, yaitu integrasi keiluman keislaman dengan disiplin umum dalam proses akademik hingga saat ini. Mengamati penyelenggaraan perguruan tinggi di Ponpes Qamarul Huda mengukuhkan pandangan Neisbit bahwa kini modernisasi mendukung dan parallel dengan inovasi dibidang keagamaan. Tidak sedikit para sarjana mempunyai anggapan bahwa kondisi-kondisi eksternal memberikan pengaruh yang sangat berarti terhadap meningkatnya kualitas pemahaman keagamaan seseorang. Oleh karena itu Neisbit menolak anggapan bahwa modernisasi akan menyebabkan sekularisasi dalam masyarakat. Bahkan menurutnya teori ini tidak dapat dipakai untuk menganalisis kehidupan keagamaan dalam Islam.33 Sebab realitas empirik menunjukkan bahwa berbagai gerakan inovatif dewasa ini mulai dibangun atas dasar wawasan keagamaan. Kebisingan modernitas telah mempengaruhi orang mencari nilai-nilai spritualitas-religius untuk membangun infrastruktur sosial, termasuk dalam pendidikan. Kondisi di atas sejalan dengan pandangan umum bahwa perguruan tinggi yang mempunyai keunggulan dari sisi rasionalitas dan ditambah dengan pengayaan di bidang skill tetapi minus pengayaan moral, dalam kenyataannya hanya menghasilkan manusia cerdas tetapi kurang mempunyai kepekaan etik dan moral. Sebaliknya pesantren yang mempunyai keunggula dari sisi moralitas tetapi minus tradisi rasional, meskipun melahirkan pribadi yang tangguh secara moral tetapi lemah secara intelektual. Dengan memperhatikan implikasi yang sifatnya sedemikian mendasar, maka kehadiran STIKES di lingkungan Ponpes Qamarul Huda yang menawarkan konvergensi dipandang alternatif, jika proses penyelenggaraannya dilakukan secara professional dan berkualitas. Pola Integrasi Keilmuan di STIKES Qamarul Huda Kehadiran STIKES baik oleh pimpinan ponpes, santri, maupun masyarakat dipandang sebagai penyeimbang dua kemampuan, yaitu keagamaan dan keilmuan profesional. Untuk mematangkan aspek profesional dapat ditempuh dalam perkuliahan sesuai dengan jurusan masing-masing. Sedangkan pada aspek keagamaan dan spiritaulitas, mereka tidak cukup waktu untuk melakukakannya dibangku kuliah. Oleh karena itu pesantren merupakan sarana bagi perguruan tinggi Islam untuk menggodok dan membiasakan kehidupan dan kemampuan keagaman, serta spiritualitas mahasiswa. Hal ini sejalan visi IAIQ dan STIKES Namun dalam proses penyelenggaraannya, harapan berbagai komponen masyarakat, tidak terkecuali pimpinan Ponpes Qamarul Huda belum sepenuhnya terjawab dalam pengembangan keilmuan di STIKES Qamarul Huda Bagu. Hal ini nampak dari : pertama, 33
2000.
42
John Neisbit dan Patricia Aburdene, Ten New Direction fo the Megatrends, Jakarta, Bina Pura Aksara,
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
upaya-upaya yang dilakukan masih bersifat konvensional, dalam arti masih berisfat seremoni rutinitas tanpa menunjukkan uapaya yang lebih terncana dan sistematis. kedua, muatan keislaman dalam struktur kurikulum STIKES Qamarul Huda dipandang belum memadai, walaupun ada harapan dan upaya reil yang dilakukan. Dalam kurikulum nampak materi aswaja belum memperoleh apresiasi yang memadai. Sedangkan Aswaja 4 yang direncanakan sebagai mata kuliah yang membahas konsep kecehatan dalam Islam hingga kini belum terwujud. Kondisi di atas bila merujuk pada pemetaan Amin Abdullah tentang pola integrasi, 34 maka dapat dikategorikan ke dalam model single entity yaitu pengetahuan agama berdiri sendiri tanpa memerlukan bantuan metodologi yang digunakan oleh ilmu pengetahuan umum yang lain, dan begitu pula sebaliknya. Sedangkan, upaya untuk merumuskan Aswaja 4 yang memuat kajian kesehatan dalam ajaran Islam dapat dikategorikan dalam model isolated entities dalam arti masing-masing rumpun ilmu berdiri sendiri, tahu keberadaan rumpun ilmu yang lain, tetapi tidak bersentuhan dan bertegur-sapa secara metodologis. Sementara model ketiga, model interconected entities, dalam arti masing-masing sadar akan keterbatasannya dalam memecahkan persoalan manusia, lalu menjalin kerjasama setidaknya dalam hal yang menyentuh persoalan pendekatan (approach), metode berpikir, dan penelitian (process and procedure), belum nampak baik dalam tataran konsep maupun pelaksanaannya. Berdasarkan pemetaan tiga model hubungan ilmu agama dengan ilmu-ilmu yang lain di atas, maka menurut Amin Abdullah, kedepan integrasi interkoneksitas merupakan alternatif paradigma pengembangan keilmuan di perguruan tinggi. Karenanya, pendekatan interdiciplinary dikedepankan, interkoneksitas dan sensitivitas antarberbagai disiplin ilmu agama (religious studies) dengan disiplin ilmu kealaman (natural sciences), disiplin ilmu sosial (social sciences), dan disiplin ilmu humaniora (humanities) perlu diupayakan secara terusmenerus tanpa henti. Dinamika keilmuan STIKES Qamarul Hudan saat ini, dalam faktanya posisi ilmu keagamaman masih beridiri sendiri, tanpa bersentuhan dengan ilmu kesehatan. Upaya untuk sharing konseptual yang direncanakan akan muncul pada mata kuliah Aswaja 4 hingga kini belum terwujud. Kehadiran STIKES di lingkungan Ponpes Qamarul Huda semsetinya teintegrasi dalam satu kultur keilmuan yang mutual. Logis, karena kini mulai disadari, ilmu keislaman yang dikelmbangakan di Ponpes tidak dapat secara otonom berdiri sendiri tanpa interaski dengan ilmu yang lain (ilmu kealamaan dan humaniora). Oleh karena itu menurut
34
Abdullah, M. Amin dkk., Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi). Yogyakarta: Suka Press, 2007. h. 36
43
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
Amin Abdullah bangunan keilmuan yang hendak dikembangan, yang termuat dalam kurikulum perguruan tinggi, hendaknya mengacu pada prinsip-prinsip dasar hadharat alnash, hadharat al-‘ilm, dan hadharat al-falsafah.35 Hadharat al-nash berarti kesediaan untuk menimbang kandungan isi teks keagamaan (keislaman); hadharat al-‘ilm berarti kesediaan untuk profesional-obyektif-inovatif dalam bidang keilmuan yang digeluti; dan terakhir hadharat al-falsafah berarti kesediaan untuk mengaitkan muatan keilmuan (yang didapat dari hadharat al-‘ilm dan telah “berdialog” dengan hadharat al-nash) dengan tanggung jawab moral-etik dalam praksis kehidupan riil di tengah masyarakat. Hadharat al-nash adalah jaminan identitas keislaman, hadharat al-‘ilm adalah jaminan profesionalitas-ilmiah, dan hadharat al-falsafah adalah jaminan bahwa muatan keilmuan yang dikembangkan bukan “menara gading” yang terhenti di “langit akademik”, tetapi memberi kontribusi positifemansipatifyang nyata dalam kehidupan masyarakat. Perguruan Tinggi dan Perubahan Orientasi Kilmuan Santri Mobilitas masyarakat yang semakin tinggi yang disertai dengan diversifikasi keahlian serta pergeseran peran dalam berbagai bidang, berimplikasi terhadap terjadinya krisis prilaku santri di Ponpes Qamarul Huda. Para santri mengalami krisis prilaku sesuai dengan kedudukan dan perannya. Hal ini setidaknya terjadi pada tiga aspek kepentingan, mengabdi, mencari nafkah, dan pengembangan karir. Pada awalnya mereka memandang pekerjaan mengajar di pesantren, juru dakwah, pimpinan keagamaan, sebagai ibadah dilaksanakan semata-mata mengharap ridlo Allah, tetapi kemudian dengan semakin tajamnya persaingan dan meningkatnya kebutuhan ekonomi, mereka dituntut oleh keadaan untuk mencari nafkah guna menghidupi keluarga dan mengatasi kebutuhan-kebutuhan lainnya. Sehubungan dengan hal tersebut, maka dikalangan santri terdapat kecenderungan yang semakin kuat untuk mempelajari ilmu dan teknologi pada lembaga-lembaga pendidikan formal, baik madrasah, sekolah maupun pergruan tinggi, tanpa kehilangan pelajaran atau aktivitas pesantrennya. Kecenderungan ini menurut Maghfurin semakin dominan dalam dinamika santri.36 Kecenderungan di atas merupakan konskuensi dari arus besar industrialisasi dan modernisasi yang memaksa masyarakat Islam mengubah orientasi hidup untuk tidak hanya mementingkan aspek spritualitas, namun juga kebutuhan pragmatis menjadi tuntutan vital. Dalam kondisi seperti ini, TGH.L. Turmuzi menyadari bahwa tantangan yang dihadapi santri maupun pimpinan pesantren, mereka tidak lagi menjadi satu-satunya sumber informasi dan 35 36
44
Ibid. Ahmad Magfurin, Pesantren Model, hal. 151
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
referensi tindakan sosial masyarakat. Norma-norma imperatif, yang mengkonfigurasikannya ikut pula mengubah tatanan kehidupan tradisional santri. Peranan personal TGH.L.Turmuzi yang bersifat kharismatik sebagai elit pesantren yang dulu lebih mendominasi nuansa kehidupan santri, kini mulai tergantikan oleh peranan artifisial dan impersonal yang telah mendorong mereka mencari peluang peranan baru. Kondisi ini telah mendorong santri mencari sumber referensi pengetahuan lainnya guna menjawab arus besar modernisasi dan desakan industrialisasi serta informasi dewasa ini yang bersifat terbuka dan massal. Semua santri yang dijadikan informan dipersatukan oleh persepsi bahwa memperoleh pengetahuan umum dibangku kuliah adalah sebuah keharusan sebagai prasyarat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Mereka nampak menyadari bahwa pengetahuan yang diperolehnya dipesantren tidak memadai sebagai modal untuk memperoleh bargaining position di tengah masyarakat. Dengan mengikuti jenjang pendidikan tinggi baik di IAIQ maupun STIKES Qamarul Huda, para santri berharap kelak akan memperoleh pekerjaan yang lebih pragmatis (mendatangkan keuntungan material). Hal ini dengan apa yang dianalisis Prasodjo bahwa parameter keberhasilan mereka tidak lagi semata-mata diukur dari tingkat kesalehan beribadah, namun juga kesiapan dan kemampuan penyelesaian tugas-tugas pragmatis sebagai anggota masyarakat.37 Motivasi yang lebih pragmtis di atas menentukan pilihan santri dalam integritas mereka dengan dunia baru. Seluruh santri yang dijadikan informan menyatakan bahwa mereka berasal dari keluarga petani, yang secara ekonomi hidup pas-pasan. kehadiran mereka sebagai mahasiswa yang memperoleh pendidikan tinggi, diharapkan kelak akan memiliki kemampuan untuk mengubah kehidupan, dan memperoleh kehidupan yang lebih baik. Spesialisasi dan profesionalisasi jenis pekerjaan mengakibatkan santri memerlukan reoriantasi dalam menempuh jalur pendidikan. Ma’had Aly sebagaimana halnya di Ponpes Qamarul Huda yang dulu merupakan pilihan bagi para santri, perlahan kini mulai ditinggalkan, tergantikan oleh kehadiran perguruan tinggi yang bersifat formal. M.Imam Saukani salah seorang mahasiswa STIKES Qamarul Huda/santri menuturkan “banyak orang sudah puluhan tahun menjadi santri, alumni Ma’had, ketika pulang kemasyarakat dan memiliki keluarga, mereka terpaksa menjadi buruh tani, bahkan menjadi tenaga kerja ke luar negeri”38. Pernyataan Saukani tersebut memberikan gambaran bahwa elit santri dan alumni pesantren yang semula secara individu menikmati posisi sebagai referensi sosial terpaksa menyesuaikan diri dengan
37
Soedjoko Prasodjo, Profil Pesantren,hal. 124 Muh. Imam Saukani, Mahasiswa/santri, Wawancara 4 Juli 2012
38
45
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
berbagai pihak. Jika dilansir bahwa sikap merupakan realisasi dari fungsi kepentingannya. Maka pekerjaan seseorang akan menentukan bentuk dan memaksa mereka berusaha menyesuaiakan diri mereka dengan perkembangan dalam berbagai aspek kehidupan. Kecenderungan santri di atas, telah menempatkan pendidikan formal sebagai kebutuhan di kalangan santri semakin berkembang, baik dalam hal diversifikasi keahlian maupun tingkatan yang lebih tinggi. Kondisi Ponpes Qamarul Huda pada awalnya yang terbatas pada pesantren dan madrasah bagaimana pun juga, hanyalah pendidikan dasar dan menengah. Oleh karena itu TGH.L.Turmuzi bersama jajarannya dan didukung oleh elit Nahdatul Ulama di tingkat pusat, segera menyadari perlunya mendirikan perguruan tinggi. Berbagai kondisi yang melatarbelakangi TGH.L.Turmuzi mendirikan perguruan tinggi di Ponpes Qamarul Huda sebagaimana dijelaskan pada bagian sebelumnya, menujukkan bahwa tidak terlepas dari dorongan internal maupun eksternal. Kondisi ini relevan dengan analisis Steenbrink (1986) dan Khursid Ahmad yang menyatakan bahwa modernisasi pesantren setidaknya dipengaruhi oleh dua faktor : Pertama, kondisi internal umat Islam sendiri. Di kalangan umat Islam sudah banyak generasi yang menyelesaikan pendidikan menengah baik melalui sekolah umum, maupun sekolah agama (pesantren dan madrasah). Lapisan pendidikan menengah ini secara alamiah membutuhgkan tersedianya lembaga pendidikan tinggi demi kontinuitas pengembangan sumber daya muslim. Kedua, semakin besarnya peranan lulusan universitas sekuler model barat di tengah masyarakat Indonesia dengan sendirinya menantang umat Islam untuk berpikir menyediakan sistem pendidikan tinggi bagi generasi mudanya yang dibangun atas dasar wawasan keagamaan.39 Berdasarkan kondisi di atas, kini para santri memiliki berbagai pertimbangan dalam memilih lembaga pendidikan di Ponpes Qamarul Huda. Pertimbangan tersebut dalam pandangan Malik Fadjar setidaknya ada tiga hal, yaitu nilai agama, status sosial, dan citacita.40 Hal ini tentu berbeda kondisi masyarakat Islam tempo dulu, dimana pendidikan lebih merupakan wahana pembentukan maupun pewarisan nilai-nilai keagamaan dan tradisi masyarakatnya. Ketiga aspek tersebut akan berdampak terhadap apa yang disebut Maghfurin sebagai “orientasi alokasi posisional”, yakni dorongan yang kuat untuk mencapai tingkat pendidikan yang setinggi-tingginya, karena mereka yang memiliki pendidikan makin tinggi semakin besar peluang untuk memasuki lembaga-lemabaga sosial ekonomi.41
39
Ahmad, Khursid, Sejarah Pertumbuhan, hal. 233 Malik Fadjar, Sintesa Perguruan Tinggi, hal.vi 41 Ahmad Magfurin, Pesantren Model, hal. 142 40
46
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
SIMPULAN Berdasarkan hasil analisis terhadap data temuan, maka simpulan penting dalam studi ini: pertama, penyelenggaraan STIKES di Ponpes Qamarul Huda Bagu dilatarbelakangi oleh multi faktor, yaitu faktor sosial ekonomi masyarakat, perubahan paradigma keagamaan, dinamika pendidikan baik eksternal maupun internal Ponpes Qamarul Huda, dan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang memadai. Kedua, berbagai strategi yang dilakukan untuk integrasi keilmuan belum mencerminkan upaya yang sistem dan integral dalam proses akademis. Hal ini nampak dari beberapa aktivitas keislaman yang dilakukan masih bersifat konvensional, seperti pelaksanaan PHBI, penunjukkan simbol agama, tausiyah, dan pembelajaran Aswaja dan PAI; dan Ketiga, implikasi dari ketidaksistematisan berbagai upaya yang dilakukan tersebut, struktur keilmuan di STIKES Qamarul Huda merupakan adopsi secara utuh struktur keilmuan kesehatan an-sich, sementara muatan keilmuan keislaman yang tertuang dalam Mata Kuliah Aswaja ditempatkan sebagai suplemen yang tidak memiliki signifikansi. Secara integrasi antara pesantrean dan perguruan tinggi umum di Ponpes Qamarul Huda masih terbatas pada integrasi kelembagaan, belum masuk ke integrasi yang lebih substansial yaitu integrasi keilmuan. Integrasi keilmuan masih mencerminkan model single entity dimana ilmu agama Islam yang tercantum dalam Awaja masih berdiri sendiri dengan bobot yang masih terbatas. Namun demikian pimpinan STIKES Qamarul Huda kini sedang merancang konsep untuk menjadikan Islam sebagai paradigma ilmu kesehatan, melalui penerbitan bahan ajar Aswaja yang mencakup kajian ilmu kesehatan dalam Islam, pengasramaan seluruh mahasiswa di dalam Ponpes, dan pengintensifkan bahasa Arab yang berkaitan dengan ilmu kesehatan. Daftar Pustaka Agus Wahaji, Qamarul Huda Simbol Baru Perjuangan NU di NTB, Lombok Post, 31 Agustus 2010. Ardana, dkk. Metodologi Penelitian Pendidikan, UMN Malang, 2001 Abdullah, M. Amin dkk., Islamic Studies Dalam Paradigma Integrasi-Interkoneksi (Sebuah Antologi). Yogyakarta: Suka Press, 2007. Azra, Azyumardi, Pendidikan Islam, Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru, Jakarta: Logos, 1999 Azizy, Qodri Abdillah, Dinamika Pesantren dan Madrasah, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2002 Ahmad, Khursid, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 1999 47
Jurnal Penelitian Keislaman, Vol. 9, No. 1, Januari 2013: 23-49
Burhan, Wildan, Modernisasi Pesantren, Antara Tuntutan dan Ancaman , Majlis Fathul Hidayah, 2009 Brunessen, Martin, NU Tradisi, Relasi Kuasa Pencarian Wacana Baru, Yogyakarta : LKIS, 1994 Fadjar, Malik, Sintesa Perguruan Tinggi dengan Pesantren Upaya Menghadirkan Wacana Pendidikan Alternatif, dalam Quo Vadis Pendidikan Islam Malang, Cendikia Paramulya, 2002 Faiz, Fahrudin, Islamic Studies di IAIN Sunan Kalijaga dan Hubungannya dengan Ilmuilmu Lain: Sebuah Kajian Menuju UIN, Jurnal Penelitian Agama Vol.XIV, No. 1, 2005 Furqon, Arif, Sudah saatnya PTAIS Mendapatkan Perhatian, Swara Ditpertais No. 15, 2004 ______, Pembenahan Mutu Lulusan Perguruan Tinggi Agama Islam, Swara Ditpertais No. 4, 2005 Huda, Miftah, Model Pengembangan Perguruan Tinggi Islam Berbasis Kultural di Jawa Timur, Lemlit Universitas Islam Negeri Malang, 2006 /www.drhmiftahulhuda. blogspot.com Kuntowijaya, Paradigma Islam, Interpretasi Untuk Aksi, Bandung: Mizan, 1991 Maman, U, Dikotomi dan Integrasi Ilmu, dalam http:/www.pusbangsitek.com, 2011 Milles, Mathew dan Michael Huberman, Analisi Data Kualitatif, Universitas Indonesia, Jakarta,1992. Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, PSAPM, Surabaya, 2003 Natsir, M dan M, Saleh, Tuan Guru dan Pesantren (Pergeseran Peran dan Fungsi sebagai Pendidik di Lombok Tengah, (Laporan Penelitian), Lemlit IAIN Mataram, 2007 Neisbit, John dan Patricia Aburdene, Ten New Direction fo The Megtrends, Jakarta: Bina Aksara, 2000 Prasodjo, Soedjoko, Profil Pesantren, Laporan Hasil Penelitian Pesantren Al-Falah dan
Delapan Pesantren lain di Bogor, Jakarta, LP3ES, 1997 Qomar, Mujammil, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Erlangga, Jakarta, 2005. Saparudin, Eksistensi Tuan Guru dalam Pengembangan Pendidikan Islam di Lombok, Jurnal Ulul Albab UMM Vol. 2, 2007 Steenbrink, Karel, Pesantren, Madrasah dan Sekolah, Pendidikan Islam Kurun Modern , alih bahasa; Abdurrahman (Jakarta; LP3ES, 1986) Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif Dilengkapi Contoh Proposal dan Laporan Penelitian, Alfabeta, Bandung, 2005 48
Integrasi Keilmuan (Nurdin & L. Mukhtar)
Sutrisno, Problem Dikotomi Ilmu dalam Islam: Upaya Integrasi Ilmu di UIN Sunan Kalijaga), Jurnal Penelitian Agama Vol.XIV, No. 1, 2005 Toyyar, Huzni, Model-Model Integrasi Ilmu dan Upaya Membangun Landasan Keilmuan Islam, 2011 Ziemek, Manfred, Pesantren Dalam Perubahan, (Alih bahasa :BB.Soendjono) Jakarta: P3M, 1986 Brosur Penerimaan Mahasisw Baru STIKES Qamarul Huda Tahun Akademik 2012/2013 STIKES Qamarul Hudan, Pedoman Akademik STIKES Qamarul Huda 2012 ______, Pedoman Praktikum masing-masing jurusan tahun 2011. ______, Profile STIKES Qamarul Huda, www.stikesqamarulhuda.ac.id. ______, Katalog Perpustakan STIKES Qamarul Huda Bagu, 2012 IAIQ Huda, Pedoman Akademik Institut Agama Islam Qamarul Huda, 2007 Pemda NTB, Nusa Tenggara Barat dalam Angka 2009 Dokumen Evaluasi Diri, IAI dan STIKES Qamarul Huda Bagu, 2012
49