INTEGRASI GEN UNTUK LISIN DAN TRIPTOFAN DENGAN KETAHANAN PENYAKIT BULAI MEMANFAATKAN MARKA MOLEKULER (MAS) DALAM PENGEMBANGAN JAGUNG HIBRIDA
MUHAMMAD AZRAI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa disertasi saya dengan Judul Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida adalah benar-benar asli karya saya dengan arahan komisi pembimbing, dan bukan hasil jiplakan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun.
Bogor, 18 Januari 2007
Muhammad Azrai NPM. A361040121
ii
ABSTRAK MUHAMMAD AZRAI. Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida. Dibimbing oleh HAJRIAL ASWIDINNOOR, MEMEN SURAHMAN, dan JAJAH KOSWARA. Jagung bermutu protein tinggi (QPM= Quality Protein Maize) merupakan salah satu sumber protein nabati yang diperlukan oleh manusia dan ternak monogastric karena mengandung gen mutan opaque-2 yang mengekspresikan peningkatan lisin dan triptofan pada endosperma menjadi lebih tinggi dibandingkan dengan jagung normal. Kendala pengembangan QPM di Indonesia adalah semua koleksi QPM yang ada rentan penyakit bulai. Pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi (MAS = Marker Assisted Selection) untuk mengintrogresikan gen mutan opaque-2 ke galur elit resisten terhadap Peronosclerospora maydis dapat mempercepat pembentukan populasi atau hibrida QPM komersial yang resisten terhadap penyakit tersebut. Tujuan akhir yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mendapatkan kandidat varietas jagung hibrida QPM, resisten terhadap penyaki bulai dan hasil tinggi. Penelitian ini dilaksanakan dalam empat bagian percobaan. Penelitian pertama: Pendugaan ragam dan model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis. Dibuat masing-masing 7 macam populasi (P1, P2, F1, F2, BC1P1, BC1P2 dan F3) dari set persilangan CML161 x MR10 dan CML161 x Nei9008 kemudian diinokulasi dengan konidia P. maydis secara semi buatan, menggunakan rancangan acak kelompok (RAK). Hasil percobaan menunjukkan bahwa ketahanan penyakit bulai dikendalikan oleh gen-gen yang bersifat kuantitatif dan tingkat ketahanannya secara nyata diperankan oleh aksi gen-gen aditif, dominan dengan pengaruh interaksi epistasis komplementer pada set persilangan MR10 x CML161 dan interaksi epistasis duplikat pada set persilangan Nei9008 x CML161. Penelitian kedua: Introgresi gen resesif mutan o2 ke galur jagung resisten penyakit bulai dengan pendekatan MAS-1. Galur CML 161 (tetua donor gen o2), Nei9008 dan MR10 (tetua resisten penyakit bulai), progeninya (BC1F1, BC2F1, BC3F1, BC3F2,) disaring di laboratorium, menggunakan marka SSR umc1066 dan phi057 dengan metode MAS 1 (Parsial). Galur yang tersaring dengan MAS, dievaluasi penampilannya dengan rancangan perbesaran. Diperoleh 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2 dan beberapa diantaranya memiliki potensi hasil lebih tinggi dari galur asalnya. Penelitian ketiga: Seleksi dan uji daya gabung galur-galur hasil introgresi gen resesif mutan o2 untuk ketahanan penyakit bulai. Terseleksi 8 Nei9008+o2 sebagai lini dan 8 MR10+o2 sebagai tester yang resisten P. maydis dengan kandungan lisin dan triptofan meningkat hingga lebih dua kali lipat dari tetua silang baliknya. Kemudian dibentuk 64 hibrida silang tunggal dengan metode lini x tester. Lini Nei9008+o2-11 dan Nei9008+o2-71 dan tester MR10+o2-30 merupakan penggabung umum yang baik terhadap ketahanan P. maydis dan 7 kombinasi persilangan mempunyai DGK nyata. Penelitian keempat: Evaluasi daya gabung galur dan potensi karakter hasil QPM. Genotip uji terdiri atas delpan lini, delapan tester, hibrida hasil persilangan lini x tester dan 4 varietas cek, ditata dengan RAK, masing-masing dua ulangan di Lahan Sawah, Lapeccang (Bone) dan Lahan Kering Bajeng (Gowa). Interaksi genotip x lokasi nyata untuk karakter bobot tongkol panen dan hasil. Galur Nei9008+o2-09 dan MR10+o2-31 merupakan penggabung yang baik untuk karakter hasil dan hibridanya memberikan hasil biji tertinggi dan berbeda nyata dengan semua pembanding. Diperoleh 8 pasang persilangan dengan nilai daya gabung khusus nyata untuk karakter hasil. Pada akhir percobaan, teridentifikasi 3 hibrida QPM dengan sifat daya hasil tinggi, dan resisten terhadap P. maydis, yaitu Nei9008+o227//MR10+o2-13 (rerata hasil 8.4 t/ha dan infeksi bulai 2.2%), Nei9008+o2-09// MR10+o2-26 (rerata hasil 7.7 t/ha dan infeksi bulai 14.4%) dan Nei9008+o2-27// MR10+o2-08 (rerata hasil 7.4 t/ha dan infeksi bulai 2.2%). Sedangkan varietas pembanding: hibrida C7 (rerata hasil 7.4 t/ha dan infeksi bulai 48.7%), hibrida Bima 1 (rerata hasil 6.3 t/ha dan infeksi bulai 45%), hibrida Bima 1q iii
(rerata hasil 4.9 t/ha dan infeksi bulai 64.4%) dan komposit Srikandi Kuning-1 (rerata hasil 5.3 t/ha dan infeksi bulai 100%). Kata kunci:
jagung, gen opaque-2, ketahanan penyakit bulai, analisis genetik, daya gabung
iv
ABSTRACT MUHAMMAD AZRAI. Integression of opaque-2 Gene into Downy Mildew Resistance Lines, Utilizing Marker Assisted Selection (MAS) in Developing Hybrid Maize. Under advisory of HAJRIAL ASWIDINNOOR, MEMEN SURAHMAN, and JAJAH KOSWARA. Quality protein maize (QPM) is one of the sources of plant protein that is necessary for human and monogastric livestock because the QPM contains opaque-2 mutant gene that expresses increased lysine and tryptophan in maize endosperm as compared to normal maize. One problem of QPM development in Indonesia is that all QPM collections were susceptible to downy mildews (DM). Application of marker-assisted selection (MAS) for introgression of the opaque-2 mutant to downy mildew resistance (DMR) elite lines faster developing of commercial QPM population or hybrids carrying DMR gene. The goals of this research were to generate QPM hybrid varieties having downy mildew resistance and high yield. The study consisted of four experiments. First: Estimate of genetic variance and genetic models to downy mildew resistance in maize. Each seven kinds of populations (P1, P2, F1, F2, BC1P1, BC1P2, and F3) from crosses CML161 x MR10 and CML161 x Nei9008 was developed then evaluated for DMR under artificial screening nursery using randomize bock design (RBD). The results of the experiment showed that DMR was controlled by quantitative genes and the level of its resistance was significantly played by gene action of additive and dominant. Complementary epitasis interaction and duplicate epitasis interaction observed for the cross of MR10 x CML161 and Nei9008 x CML161. Second: Introgression of o2 recessive mutant gene to downy mildew resistance maize lines with MAS-1 approach. Lines CML161, Nei9008 and 36 MR10, its progenies (BC1F1, BC2F1, BC3F1, BC3F2) were screened in the laboratory using specific markers umc1066 and phi057 with Partial MAS 1 method. The selected lines were evaluated for its performance using augmented design. There were 42 of Nei9008+o2 and 36 MR10+o2 lines and some lines showed higher yield potential compared to their original lines. Third: Selection and combining ability of lines containing homozygote recessive opaque2 gene for downy mildew resistance. Eight Nei9008+o2 lines, and eight MR10+o2 testers to DMR character having twice lysine and of tryptophan content compared to their backcross parental lines were screened. The lines were recombined to develop 64 single cross hybrids. Lines Nei9008+o2-11 and Nei9008+o2-71, and tester of MR10+o2-30 were identified have significant for general combining abilities and seven-cross combinations showed significance for specific combining abilities. Fourth: Evaluation of combining ability, yield potentials, yield components, and agronomy characters of lines and testers containing opaque-2 recessive homozygous gene. Genotype test consisted of eight lines, eight testers, hybrid crosses of lines x testers and four check varieties. The experiment was arranged in randomized block design, with two replications under lowland farm, Lapeccang (Bone) and upland farm, Bajeng (Gowa). Results showed that genotype x locations were significant for ears weight and yield characters. Line Nei9008+o2-09 and tester MR10+o2-31 were good combiner for yield and their hybrid gave highest yield and significantly different from all checks. Eight new hybrids of good and significant specific combining abilities for yield were selected. At the end, we identified three new QPM hybrids, having high yield potential, and resistant to downy mildew. The new QPM hybrids are Nei9008+o2-27//MR10+o2-13 (mean yield is 8.4 t/ha and DM infections is 2.2%), (Nei9008+o2-09// MR10+o2-26, (mean yield is 7.7 t/ha, and DM infections is 14.4%) and Nei9008+o2-27// MR10+o2-08 (mean yield is 7.4 t/ha and DM infections is 2.2%). The check varieties were three hybrid varieties and one open pollinated variety, with following performances: hybrid C7 (yield mean is 7.4 t/ha and DM infections is 48.7%), hybid Bima 1 6.3 t/ha and 45%), hybrid Bima 1q (4.9 t/ha and 64.4%), and Srikandi Kuning-1 (5.3 t/ha and 100%), respectively. Key words: maize, opaque-2 gene, downy mildew resistance, genetic analysis, combining ability. v
@ Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Peranian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, foto kopi, microfilm dan sebagainya.
vi
INTEGRASI GEN UNTUK LISIN DAN TRIPTOFAN DENGAN KETAHANAN PENYAKIT BULAI MEMANFAATKAN MARKA MOLEKULER (MAS) DALAM PENGEMBANGAN JAGUNG HIBRIDA
OLEH : MUHAMMAD AZRAI
Disertasi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Sekolah Pascasarjanan Institut Pertanian Bogor
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2007 vii
Judul Penelitian
: Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida
Nama Mahasiswa
: Muhammad Azrai
Nomor Pokok
: A361040121
Program Studi
: Agronomi
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M.Sc. Ketua
Prof. Dr. Ir. Jajah Koswara Anggota
Dr. Memen Surahman, M.Sc. Anggota Mengetahui
2. Ketua Program Studi Agronomi
Dr. Ir. Satriyas Ilyas, MS.
Tanggal Ujian: 25 Januari 2007
3. Dekan Sekolah Pascasarjana,
Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS.
Tanggal Lulus: viii
PRAKATA Segala puja, puji dan syukur bagi Allah S.W.T., atas segala limpahan berkah, rahmat, hidayah dan inayah-Ny as e hi nggape nul i sda pa tme ny e l e s a i ka ndi s e r t a s ibe r j udul“ Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida” . Pada kesempatan ini, penulis menghaturkan ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada Dr. Ir. Hajrial Aswidinnoor, M. Sc., selaku ketua komisi pembimbing, Prof. Dr. Jajah Koswara dan Dr. Memen Surahman, M. Sc., sebagai anggota komisi pembimbing atas segala bimbingan, arahan, sumbangan pemikiran dan motivasi yang diberikan sejak penulis mengikuti pendidikan, penelitian dan penulisan hingga selesainya disertasi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan juga saya sampaikan kepada Dr. Bonny P. Wahyu Soekarno, M. Sc., selaku penguji luar komisi pada ujian tertutup serta Prof Dr. Alex Hartana dan Dr. Firdaus Kasim, M. Sc., selaku penguji luar komisi pada ujian terbuka. Kepada Kepala Badan Litbang Pertanian, Kepala Puslitbang Tanaman Pangan, Kepala Balai Penelitian Tanaman Serealia dan Ketua Komisi Pembinaan Tenaga Badan Litbang Pertanian, juga disampaikan ucapan terima kasih atas izin belajar dan dukungan yang diberikan kepada penulis. Ucapan terima kasih penulis juga ditujukan kepada Dr. Maria Luz Geoge selaku Kordinator Proyek AMBIONET, Dr. Kevin V. Pixley selaku Direktur Program Ekosistem Tropis CIMMYT, Dr. Firdaus Kasim, Dr. Sutrisno, dan Dr. Marsum Dahlan (Almarhum) sebagai pemimpin AMBIONET Indonesia, yang telah membantu pengadaan bahan kimia dan peralatan di Laboratorium dan mendorong penulis untuk melanjutkan jenjang pendidikan doktor di IPB. Penulis sangat menyadari bahwa keberhasilan penyelesaian disertasi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan dari rekan-rekan peneliti dan teknisi di Lab Biologi Molekuler dan KP. Cikeumeuh Balai Besar Litbang Biogen serta di Balai Penelitian Tanaman Serealia. Untuk itu sudah selayaknya penulis mengucapkan terima kasih kepada mereka, terutama kepada Reflinur, M.Si, Marcia B. Pabendon. MP., Joko Prasetyono, M.Si., Tri Joko, M.Si, Andi Takdir Ma kkul a wu,MP,Ami nNur ,SP. ,Sr iSuna r t i ,SP. ,Ha s na h,SP. ,Ahma dDa da ng ,SP. ,Ma ’ s uma , M. Toha, dan Arifuddin. Kepada Pimpinan dan Dosen SPs IPB, penulis juga menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih atas segala bimbingan dan pembinaannya selama ini, terutama kepada Ibu Ketua Program Studi Agronomi dan staf yang telah membantu penulis selama mengikuti studi di IPB. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada rekan-rekan mahasiswa Program Studi Agronomi atas segala bantuan, dukungan dan kebersamaannya selama penulis mengikuti studi di SPs IPB. Rasa hormat dan terima kasih serta penghargaan tiada henti penulis sampaikan kepada Ibunda Nurkaya, A.Md dan Ayahanda Mahmud (Almarhum), serta mertua penulis Drs. H. Nurdin dan Dra. Hj. Barlian atas doa restu, dorongan dan motivasinya selama ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya untuk istriku tercinta Asni, S. Ag., M.Hi. dan anandaku tersayang Muhammad Rais Kamil atas segala doa, dorongan, kesabaran serta keikhlasannnya sehingga penulis mampu menyelesaikan disertasi ini. Kepada adik-adikku serta keluarga dan sahabat-sahabatku yang banyak memberikan bantuan dan dukungannya, penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Akhirnya penulis berharap semoga karya tulis ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu pemuliaan tanaman di Indonesia. Bogor,
Januari 2007
Penulis ix
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Walenreng, Kabupaten Bone, Sul-Sel, pada tanggal 20 Janjuari 1972 sebagai anak pertama dari enam bersaudara dari pasangan Bapak Mahmud (Almarhum) dan Ibu Nurkaya. Penulis telah menikah dengan Asni, S. Ag., M.Hi, pada tanggal 22 Desember 2003 dan di Karunia seorang putra yaitu Muhammad Rais Kamil yang lahir pada tanggal 8 Oktober 2004. Pendidikan Sarjana Pertanian ditempuh di Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian dan Kehutanan Universitas Hasanuddin dan lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2000, penulis mendapat beasiswa dari Badan Litbang, Departemen Pertanian untuk melanjutkan studi di Universitas Padjadjaran pada Program Studi Ilmu Tanaman dengan Minat Utama Pemuliaan Tanaman, dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2004, penulis mendapat izin belajar dari Kepala Badan Litbang Pertanian untuk melanjutkan pendidikan di Program Studi Agronomi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai staf peneliti bidang pemuliaan tanaman dan plasmanutfah di Balai Penelitian Tanaman Serealia sejak tahun 1999 sampai sekarang. Tiga varietas jagung bersari bebas yang telah dirilis yaitu Srikandi Kuning-1, Srikandi Putih-1 dan Anoman-1, dimana penulis menjadi salah seorang anggota Tim Pemulianya, dan menjadi Pemulia Utama pada perilisan jagung hibrida NT 10 dan N35. Selain itu, juga menjadi pemulia utama pada dua calon varietas jagung hibrida baru yang sedang dalam proses perilisan di Departemen Pertanian. Selama mengikuti program S3, penulis sempat mengikuti magang selama tiga minggu di Lab Service AMBIONET, IRRI, Los Banos, Filipina pada bulan Februari 2005.Se l a i ni t u,j ug ame nda pa tke s e mpa t a nme ng i kut iwor ks hop“ Greater impact through participatory approaches to variety development and delivery. ”da n“ the 9
th
Asian regional maize workshop (ARMW) pada bulan Oktober 2005 di Beijing” .
x
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL ...................................................................................................
xiii
DAFTRA GAMBAR...................................................................................................
xv
DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................................
xvi
PENDAHULUAN.........................................................................................................
1
Latar Belakang..................................................................................................
1
Tujuan Penelitian..............................................................................................
3
TINJAUAN PUSTAKA ...............................................................................................
4
Jagung Bermutu Protein Tinggi (QPM)...........................................................
4
Marka SSR.........................................................................................................
6
Konversi Galur QPM dengan Bantuan Marka SSR ..........................................
7
Patogenesis dan Resistensi Tanaman Jagung ....................................................
10
Kendali Genetik Tanaman Jagung terhadap Penyakit Bulai..............................
12
Daya Gabung dan Metode Lini x Tester............................................................
13
Heterosis ............................................................................................................. 15 Heritabilitas.............................. .......................................................................... 15 Interaksi Genotip x Lingkungan, Heritabilias dan Potensi Tanaman .................
16
Strategi Pemuliaan Jagung Berprotein Tinggi dan Resisten terhadap Penyakit Bulai ....................................................................... 16 PENDUGAAN RAGAM DAN MODEL GENETIK KARAKTER KETAHAN TERHADAP PENYAKIT BULAI PADA JAGUNG Pendahuluan ...................................................................................................... Bahan dan Metode............................................................................................. Hasil dan Pembahasan....................................................................................... Kesimpulan........................................................................................................
21 21 22 26 33
INTROGRESIKAN GEN RESESIF MUTAN o2 KE GALUR JAGUNG RESISITEN TERHADAP PENYAKIT BULAI DENGAN PENDEKATAN MAS Pendahuluan ...................................................................................................... Bahan dan Metode............................................................................................. Hasil dan Pembahasan....................................................................................... Kesimpulan........................................................................................................ SELEKSI DAN UJI DAYA GABUNG GALUR-GALUR HASIL INTROGRESI GEN RESESIF MUTAN o2 UNTUK KARAKTER KETAHANAN TERHADAP PENYAKIT BULAI Pendahuluan ...................................................................................................... Bahan dan Metode............................................................................................. Hasil dan Pembahasan....................................................................................... Kesimpulan........................................................................................................
35 35 36 41 49
50 50 51 56 65
EVALUASI DAYA GABUNG DAN POTENSI KARAKTER HASIL, KOMPNEN HASIL DAN AGRONOMIS GALUR-GALUR HASIL INTROGERSI GEN MUTAN O2 Pendahuluan ...................................................................................................... Bahan dan Metode............................................................................................. Hasil dan Pembahasan....................................................................................... Kesimpulan........................................................................................................
66 66 67 74 93
PEMBAHASANUMUM……………………………………………………………. . . 94 KESI MPULANDANSARAN………………………………………………………. .102 DAFTAR PUSTAKA…………………………………………. ……………………… 104
xii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Koefisien parameter genetik yang digunakan dalam analisis rata-rata generasi...........................................................................................................
25
Nilai tengah, keragaman genetik, dan heritabiltas persentase penularan terhadap P. maydis pada pasangan persilangan galur jagung.........................
27
Uji normalitas persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi F3 pasangan persilangan galur jagung………………………………………. .
28
Uji skala untuk menguji model aditif dominan untuk karakter ketahanan terhadap P.maydis pada kedua pasang persilangan galur jagung....................................................................................................
29
2 Uji χ dua persilangan galur jagung menggunakan beberapa model genetik..............................................................................................................
30
Komponen genetik dan galat baku dari model genetik yang sesuai 2 pada uji χ untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada dua pasangan persilangan galur jagung...................................................
31
Parameter genetik untuk karakter ketahanan dua pasangan persilangan galur jagung terhadap P. maydis...................................................
33
8
Kompos i s il a r ut a nbuf f e ri s ol a s iDNAj a g ung………………………………
39
9
Komposisi reaksi PCR untuk mikrosatelit.......................................................
39
10
Nilai Chi-kuadrat rata-rata untuk derajat kecocokan nisbah segregasi silang balik dan silang dalam terhadap beberapa nisbah hipotetik..................
44
Komponen agronomi dan hasil galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo) progeni CML161 x Nei9008 di lahan kering KP. Cikemeuh, Bogor, MK 2006............................................................................
46
Komponen agronomi dan hasil galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo) progeni CML161 x Mr10 di lahan kering KP. Cikemeuh, Bogor, MK 2006............................................................................
47
Analisis ragam dengan menggunakan model lini x tester dengan model random.............................................................................................................
54
Persentase penularan patogen penyakit bulai dan mutu protein galur-galur hasil introgresi yang terseleksi sebagai kandidat tetua persilangan metode lini x tester. ....................................................................
57
2 3 4
5 6
7
11
12
13 14
15 16 17 18 19 20 21
Nilai varians karakter ketahanan jagung terhadap penyakit bulai dengan menggunakan model random....................................................
58
Efek daya gabung umum karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester..........................................................
59
Efek daya gabung khusus karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester..........................................................
61
Parameter genetik karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester...................................................................
62
Fenomena heterosis karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester ..................................................................
64
Analisis ragam untuk lini x tester dengan menggunakan model random.............................................................................................................
71
Analisis ragam gabungan di dua lokasi pengujian menggunakan model random ................................................................................................
22
23 24 25 26
27 28 29
Analisis ragam untuk daya gabung
73
beberapa karakter agronomis
dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK 2006. .............................................
76
Efek daya gabung umum gabungan beberapa karakter agronomis dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK 2006...............................................
78
Efek daya gabung khusus gabungan beberapa karakter agronomis dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK 2006...............................................
80
Parameter genetik karakter agronomis, komponen hasil dan hasil menggunakan metode lini x tester................................. .............................
83
Hasil biji (k.a 15%) genotip uji dan cek pada dua lokasi pengujian, MK 2006. ........................................................................................................
85
Karakter agronomis genotip uji dan cek dari gabungan dua lokasi pengujian, MK 2006........................................................................................
89
Karákter komponen hasil genotip uji dan cek dari gabungan dua lokasi pengujian, MK .2006.............................................................................
90
Skor penampilan tanaman, klobot dan tongkol genotip uji dan cek dari gabungan dua lokasi pengujian, MK 2006.........................................
92
xiv
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Penampilan tongkol jagung normal, QPM berbiji buram dan jernih (a), serta penampilan bijinya pada mejah cahaya (b) …………………………….
6
2
Teknik marka SSR untuk seleksi gen opaque-2 pada jagung ........................
9
3
Konidium cendawan P. maydis dan P. Philippinensis....................................
10
4
Gejala sistemik penularan penyakit bulai pada pada jagung di KP Cikeumeuh, Bogor, 2005, (A) dan KP Natar, Lampung, 2004 (B).................
11
5
Alur kegiatan penelitian .................................................................................
20
6
Sebaran frekuensi penularan terhadap P. maydis generasi F3 pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 ..................................................
28
7
Profil DNA jagung pada agarose 0.80% yang diekstraksi dengan metode CITAB................................................................................................
42
8
Profil DNA tanaman yang telah diencerkan pada agarose 0.75% dengan kuantitas 10 ng/l................................................................................
42
9
Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC2F1 divisualisasi dengan gel polyacrilamid dengan menggunakan primer SSR spesifik phi 057 ...........................................................................
43
Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC2F1 divisualisasi dengan gel polyacrilamid gel Agarose dengan menggunakan primer SSR spesifik umc1066..................................................
43
Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC3F1 divisualisasi dengan gel polyacrilamid dengan menggunakan primer SSR spesifik phi 057............................................................................
44
Profil pita DNA individu tanaman hasil PCR pada generasi BC3F1 divisualisasi dengan gel polyacrilamid gel Agarose dengan menggunakan primer SSR spesifik umc1066..................................................
44
13
Penampilan tongkol galur jagung hasil introgresi gen homosigot resesif opaque-2 pada generasi BC3F3...........................................................
48
14
Penamnpilan biji jagung hasil introgresi gen homosigot resesif opaque-2 pada generasi BC3F3 di atas cahaya lampu.........................
49
15
Skema persilangan galur-galur jagung grup B x A mengikuti model pe r s i l a ng a n’ design II (factorial design) ’ ........................................................
52
16
Bentuk penutupan kelobot dan nilai skor........................................................
69
17
Histogram sebaran frekuensi hasil biji kering (k.a 15%) 64 hibrida hasil introgresi gen o2 di Bone dan Bajeng, MK 2006. .........................................
86
10
11
12
xv
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Skema Kegiatan Persilngan dengan Metode MAS 1 (Parsial).......................
113
2
Tata letak percobaan penyaringan genotip jagung terhadap P. maydis di lapangan dengan menggunakan dua ulangan ……. . .......................................
114
Tata letak percobaan penyaringan genotip jagung terhadap P. maydis di lapangan dengan rancangan perbesaran, tanpa ulangan...............................
115
Tata letak percobaan pengujian daya gabung, efek heteosis, dan potensi tanaman untuk karakter komponen hasil, hasil dan beberapa karakter agronomi.............................................................................
116
Persentase infeksi galur-galur Nei9008-o2 terhadap P. maydis, KP. Cikemeuh, MH 2006.................................................................................
117
Persentase infeksi galur-galur Mr10-o2 terhadap P. maydis, KP. Cikemeuh, MH 2006......................................................................................
118
Nilai tengah varians gabungan potensi tanaman untuk karakter komponen hasil, hasil dan beberapa karakter agronomi, MK 2006.................
119
Karakteristik fisik dan kimia tanah lokaksi evaluasi daya gabung dan potensi hasil di Lahan kering KP. Bajeng dan Lahan Sawah Lapeccang, Bone. MK 2006. ..........................................................................
120
Kandungan lisin, tiptofan dan protein kasar pada galur-galur hasil introgresi gen opaque di Laboratorium CIMMYT, Mexico, 2006..................
121
Diskripsi galur resisten terhadap penyakit bulai dan galur QPM....................
122
3 4
5 6 7 8
9 10
xvi
PENDAHULUAN Latar Belakang Riset pengembangan jagung dunia akhir-akhir ini selain diarahkan untuk meningkatkan produktivitas, juga diarahkan untuk peningkatan nilai nutrisinya seperti kandungan mutu protein dan minyak. Menurut Untoro (2002), penduduk Indonesia yang menderita kekurangan gizi protein sekitar 100 juta jiwa. Akibat gizi buruk tersebut, dampaknya sudah mulai terasa yaitu munculnya penyakit busung lapar yang menimpa anak-anak pada beberapa daerah di Indonesia. Kenyataan tersebut merupakan suatu indikator bahwa peningkatan mutu protein pada bahan pangan sangat diperlukan. Salah satu bahan pangan sebagai sumber protein adalah jagung dengan kandungan protein berkisar 8% - 11% (Vasal, 2001). Namun demikian, jagung normal tersebut masih kekurangan dua asam amino esensial yaitu lisin dan triptofan dengan kandungan masingmasing hanya 0,225% dan
0,05% (Cordova, 2001). Jika jagung tersebut digunakan
sebagai pangan, maka manusia yang mengkonsumsinya juga akan kekurangan asam amino lisin dan triptofan. Selain manusia, kedua asam amino tersebut juga sangat dibutuhkan oleh ternak, terutama oleh ternak ‘ monogas t r i c ’seperti unggas dan babi yang tidak dapat menghasilkan lisin dan triptofannya sendiri sehingga harus disuplai dari bahan makanannya untuk produksi protein hewani. Gen mutan Opaque-2 yang mampu meningkatkan kadar lisin dan triptofan pada endosperma jagung telah dimanfaatkan untuk menghasilkan produk riset yang disebut Quality Protein Maize (QPM). Produk riset tersebut mampu mengatasi kelemahan kualitas protein jagung biasa (Directorat of Maize Research, 2001; Prasanna et al., 2001). Namun demikian, awalnya QPM tidak diminati karena pengaruh pleiotrofik sifat fisik endospermnya yang lunak, rentan hama gudang dan busuk tongkol, hasil rendah, dan biji lama mengering. Peneliti jagung dan terigu internasional (CIMMYT = Centro Internacional de Mejoramiento de Maiz y Trigo) telah berhasil menggabungkan gen mutan o2 dengan ‘ o-2e ndos pe r m modi f i e rge ne ’(Vasal et al., 1980). Melalui program seleksi berulang (recurrent selection) dengan beberapa siklus seleksi, kemudian dihasilkan QPM dengan endosperma lebih keras (Bjarnason and Vasal, 1992). Selain kandungan triptofan dan lisin QPM meningkat berturut-turut menjadi 0,11% dan 0,475%, sebagian genotip juga meningkat kandungan proteinnya dari 8% - 11% menjadi 11,0% 13,5% dengan sifat yang hampir sama dan bahkan ada beberapa QPM yang mampu
memberikan produktivitas hasil lebih tinggi daripada jagung biasa (Cordova, 2001). Selanjutnya, pengujian dan penanaman QPM jenis sintetik dan hibrida secara komersial meluas di negara-negara seperti Brazil, Coloumbia, India, USA, Afrika Selatan, dan Hungaria (Bjarnason dan Vasal, 1992). Oleh karena karakter QPM dikendalikan oleh gen homosigot resesif Opaque2 (o2) (AMBIONET, 2002), maka dengan metode pemuliaan secara konvensional untuk menyeleksi galur-galur potensial unggul QPM tidak dapat dilakukan dalam kondisi heterosigot, sehingga memerlukan penyerbukan sendiri pada setiap generasi silang balik karena ekspresi alel o2 tertutupi oleh alel O2 yang merupakan protein pengatur (regulatory protein) dengan motif leucine zipper (Schmidt et al., 1990). Selain itu, dengan pemuliaan konvensional murni, kegiatan persilangan butuh waktu yang lebih lama dan jumlah materi persilangan yang lebih besar karena diperlukan tambahan generasi penyerbukan sendiri pada setiap hasil silang balik untuk mendeteksi secara fenotipik individu tanaman pembawa opaque-2 homosigot resesif. Untuk itu, diperlukan terobosanterobosan baru untuk mengatasi masalah yang muncul pada pemuliaan konvensional dan salah satu diantaranya adalah pemanfaatan marka molekuler sebagai alat bantu seleksi (MAS = Marker Assisted Selection). Sehubungan dengan hal tersebut, peneliti bidang molekuler tanaman jagung telah berhasil mengindentifikasi tiga marka SSR (Simple Sequence Repeat) pada kromosom 7, bin 7.01 yang didesain dari daerah sequen gen Opaque-2 itu sendiri. Marka SSR tersebut adalah phi057 dan phi112 yang dikembangkan oleh Pioneer Hibrid serta umc1066 yang dikembangkan oleh Proyek Jagung Universitas Missouri-Columbia, dengan amplifikasi produk sekitar 140-160 bp (Chin et al., 1996). Pengalaman menunjukkan bahwa umumnya materi genetik asal introduksi tidak resisten terhadap penyakit bulai. Hasil penelitian di Kebun Percobaan Cikemeuh-Bogor, Natar-Lampung, dan Maros-Sulawesi Selatan dari bulan November 2003 sampai Juli 2004 menunjukkan bahwa dari beberapa genotip QPM introduksi asal CIMMYT yang diuji, semuanya rentan terhadap penyakit bulai (Azrai dan Kasim, 2005a). Penyakit bulai di Indonesia umumnya disebabkan oleh Peronosclerospora maydis. Patogen tersebut cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 100 persen atau puso seperti yang pernah terjadi di Lampung pada tahun 1996 (Subandi et al., 1996). Upaya pencegahan penyakit bulai biasanya dilakukan melalui perlakuan benih dengan menggunakan fungisida berbahan aktif metalaksil. Namun demikian, penggunaan fungisida ini tidak efektif pada kultivar yang rentan dan di lingkungan pertanaman dimana terdapat penularan bulai yang cukup tinggi. Selain itu, penggunaan fungisida 2
tersebut dapat menimbulkan dampak negatif karena residunya dapat mencemari lingkungan dan merupakan salah satu penyebab mahalnya harga benih jika diaplikasikan pada benih jagung komersial sebelum dipasarkan, terutama benih hibrida di tingkat petani (Azrai, 2002). Berdasarkan uraian tersebut di atas, maka perlu dilakukan penelitian pemanfaatan marka SSR sebagai alat bantu seleksi untuk mengintrogresikan gen mutan resesif opaque2 pada galur-galur jagung yang sudah mengalami seleksi dan teridentifikasi resisten terhadap penyakit bulai di beberapa daerah endomik penyakit bulai Indonesia (Kasim et al., 2002). Galur-galur hasil introgresi yang akan diperoleh masih perlu pengkajian lebih lanjut untuk karakter ketahanannya terhadap penyakit bulai dan potensinya untuk karakter komponen hasil dan hasil serta beberapa karakter agronomis penting lainnya. Beberapa parameter genetik yang terkait dengan pengujian tersebut adalah daya gabung, fenomena heterosis, heritabilitas keragaan hasil dan komponen hasil serta beberapa karakter agronomis penting lainnya. Daya gabung yang baik dapat mendukung perolehan nilai heterosis yang tinggi. Untuk memperoleh informasi awal potensi galurgalur hasil introgresi perlu dilakukan pengujian penampilan dan daya adaptasi hibridanya pada tipologi lahan yang berbeda. Tujuan Penelitian 1. Mendapatkan informasi model genetik dan pewarisan karakter ketahanan tanaman jagung terhadap P. maydis pada progeni CML161 x MR10 dan CML161 x Nei9008. 2. Mengintrogresikan gen mutan o2
dari galur CML161 ke galur MR10 dan
Nei9008 yang resisten terhadap P. maydis. 3. Menyeleksi galur-galur hasil introgresi gen mutan o2 untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai sebagai calon tetua hibrida dan mengetahui efek daya gabung dan heterosisnya. 4. Mendapatkan informasi daya gabung galur dan potensi karakter hasil, komponen hasil dan penampilan agronomis penting hibrida silang tunggal dari galur-galur hasil introgresi gen mutan o2 dan terseleksi resisten terhadap P. maydis. 5. Mendapatkan satu atau lebih calon hibrida silang tunggal yang mempunyai potensi hasil dan mutu protein tinggi serta resisten terhadap P. maydis.
TINJAUAN PUSTAKA
3
Jagung Bermutu Protein Tinggi (QPM) Jagung merupakan tanaman multiguna, karena hampir seluruh bagian tanaman tersebut bernilai ekonomis yang dapat dimanfaatkan oleh ternak dan manusia pada berbagai stadia tumbuh. Sebagai bahan pangan dan pakan, jagung adalah sumber energi dan protein penting. Kandungan protein jagung biasanya sekitar 8%-11%, namun kandungan lisin dan triptofannya masing-masing hanya sekitar 0.225 % dan 0.05% sehingga masih kurang dari separuh yang disarankan oleh Food and Agriculture Organization (FAO, 1992). Upaya peningkatan kadar protein pada biji jagung sudah lama dilakukan. Publikasi klasik tentang QPM pertama kali dilakukan oleh Dudley et al. (1974) yang melaporkan keberhasilan peningkatan kadar protein jagung dari 10,9% (populasi asal) menjadi 26,6% pada galur jagung ‘ I l l i noi sHi ghPr ot e i n’ .Selain itu, juga dilaporkan bahwa terdapat korelasi negatif antara kenaikan kadar protein dengan hasil. Komposisi biji jagung yang matang secara fisiologis terdiri atas perikarp (6%), endosperma (82%), dan lembaga (12%). Pada lembaga, kadar dan mutu proteinnya tinggi tetapi pada endosperma mutu proteinnya rendah. Berdasarkan kelarutannya, protein pada endosperma biji jagung terdiri atas fraksi-fraksi albumin-larut dalam air, globulin-larut dalam larutan garam, prolamin atau zein-larut dalam alkohol, dan glutelin-larut dalam asam atau basa (Bjarnason and Vasal, 1992). Proporsi fraksi zein pada endosperma cukup tinggi yakni sekitar 60%, tetapi tidak terdapat lisin dan triptofan, sedangkan pada ketiga fraksi lainnya, komposisi asam amino cukup seimbang. Hal ini menjadi penyebab sehingga mutu protein pada jagung biasa rendah (Vasal, 2000; Vasal, 2001). Untuk itu, pemuliaan jagung bermutu protein tinggi perlu diarahkan pada perbaikan genetik endospermanya. Awal dari perbaikan genetik terhadap mutu protein dipicu oleh penemuan gen-gen opaque dan floury yang dilaporkan dapat mengubah kandungan lisin dan triptofan pada endosperma biji (Zuber, et al., 1975). Dari sejumlah gen yang telah berhasil diidentifikasi, hanya gen opaque-2 (o2) dan floury2 (fl2) yang sering dimanfaatkan dalam memperbaiki sifat endosperma jagung (Mertz et al., 1964; Nelson et al., 1965). Pada awalnya, CIMMYT menggunakan kedua gen tersebut, namun dalam perkembangan berikutnya lebih memfokuskan kepada pemanfaatan gen o2 (Vasal, 2000). Pemanfaatan gen o2 dan fl2 dalam kegiatan pemuliaan jagung mulai intensif pada dekade 1970-an. Untuk mentransfer kedua gen tersebut ke bahan genetik target, biasanya
4
digunakan metode seleksi silang balik. Biji yang mengandung gen o2 dan fl2 memperlihatkan sifat lunak berkapur (soft chalky), namun fenotip yang lunak dan berkapur inilah yang merupakan penanda atau marka morfologis yang efektif dalam seleksi gen o2 pada populasi yang bersegregasi (Vasal, 2001). Oleh karena sifatnya yang resesif, maka pada setiap tahap silang balik masih diperlukan satu generasi silang dalam untuk identifikasi individu tanaman yang mengandung gen homosigot resesif opaque2. Walaupun fenotip biji yang lunak dan berkapur merupakan marka morfologis yang efektif, namun sifat tersebut merupakan salah satu kelemahan yang dimiliki oleh QPM saat itu (Bjarnason dan Vasal, 1992). Hal ini terkait dengan pengaruh pleiotropi sehingga kelemahan tersebut juga terekspresi pada biji sehingga hasilnya rendah, rentan terhadap hama gudang dan penyakit busuk tongkol. Kelemahan lainnya adalah biji jagung opaque tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengeringkannya setelah masak fisiologis. Penampilan biji yang lunak, dan kusam tidak disukai oleh petani jagung yang sudah biasa dengan tipe endosperma keras dan jernih (Kasim, 2004). Dengan munculnya karakter yang tidak dikehendaki dari mutan fl2, penggunaan materi genetik QPM saat itu semakin berkurang. Untuk itu, selama satu dekade penelitian, CIMMYT menitikberatkan program konversi QPM ke jagung normal, baik jenis varietas sintetik maupun inbrida elit untuk menjadi genotip QPM. Upaya pemuliaan QPM berendosperma keras dimulai dengan mencari sumber gen baru. Walaupun teridentifikasi mutan-mutan lain, seperti o6 dan fl3 akan tetapi mutan tersebut belum bisa mengungguli gen o2 dalam meningkatkan mutu protein. Gen o2 dan fl2 secara tunggal hanya akan menghasilkan fenotip dengan endosperma lunak. Untuk memecahkan permasalahan tersebut, para peneliti mencoba menggabungkan dua gen (o2 dan fl2 atau o2 dan su2) dan penggunaan secara serempak gen o2 de ng a n ge n‘ modifier o2’ .Ha s i lpe ne l i t i a n menunjukkan bahwa gen ‘ modi f i e ro2’yang pertama sekali dilaporkan oleh Paez et al. (1969) cukup efektif untuk mengubah kekerasan edosperma biji setelah digabungkan dengan gen o2. Bahan genetik hasil perbaikan tersebut juga memperlihatkan proporsi berbeda antara fenotip yang opaque (buram) dan yang transluscent (jernih). Hal yang lebih penting dari semua itu, penggabungan gen o2 dengan ‘ modi f i e ro2’telah terbukti dapat mengubah fenotipe biji dengan tetap mempertahankan mutu biji protein (Bjarnason dan Vasal, 1992). Untuk mendapatkan genotip dengan warna biji yang lebih jernih, maka kriteria seleksi perla diperketat, yaitu hanya memilih biji-biji terbaik dari tongkol terpilih yang digunakan pada generasi-generasi seleksi selanjutnya dan membuang sifat biji yang
5
tampilannya kabur dan kurang menarik serta tongkol-tongkol dengan biji renggang (Gambar 1). Jika program pemuliaan dilakukan secara konvensional murni, biji QPM yang jernih dengan biji jagung normal sulit dibedakan sehingga mutu protein, terutama kandungan lisin dan triptofan endosperma biji harus selalu dimonitor di laboratorium (Vasal, 2000; Vasal, 2001).
Gambar 1. Penampilan tongkol jagung normal, QPM berbiji buram dan jernih (a) serta penampilan bijinya pada mejah cahaya (b). (Gambar dikutip dari Prasanna et al. (2001)) Marka SSR Marka SSR (Simple Sequence Repeats) atau biasa disebut mikrosatelit merupakan sekuen DNA yang bermotif pendek dan berulang secara tandem dengan 2 sampai 5 unit nukleotida yang tersebar dan menyelimuti seluruh genom, terutama pada inti genom eukariotik. Primer SSR dibentuk berdasarkan pada daerah pengapit konservatif (conserved flanking region). Variasi dalam jumlah pengulangan untuk suatu batasan lokus diantara genotip-genotip yang berbeda dengan mudah dapat dideteksi dengan teknik PCR (Hamada et al., 1982; Powell et al., 1996). Kemudahan SSR dalam mengamplifikasi dan mendeteksi fragmen-fragmen DNA (Deoxyribo Nucleic Acid), serta tingginya tingkat polimorfisme yang dihasilkannya menyebabkan metode ini ideal untuk dipakai dalam studi genetik, terutama pada studi dengan jumlah sampel yang banyak. Selain itu, teknik PCR (Polymerase Chain Reaction) pada SSR hanya menggunakan DNA dalam jumlah kecil dengan daerah amplifikasi yang kecil, sekitar 100 - 300 bp (base-pair) dari genom. Selain itu, SSR dapat diaplikasikan tanpa merusak bahan tanaman karena hanya sedikit saja yang digunakan dalam ekstraksi DNA atau dapat menggunakan bagian lain, seperti biji atau polen (Senior et al., 1996). Marka SSR juga bersifat multialelik dan mudah diulangi sehingga penggunaan marka SSR lebih menarik dalam mempelajari keragaman genetik di antara genotipgenotip yang berbeda (Senior et al., 1998). Keunggulan lain adalah selain produk PCR dari SSR dapat dielektroforesis dengan gel agarose, juga dapat dielektroforesis dengan menggunakan gel akrilamid
terutama pada alel suatu karakter memiliki tingkat
6
polimorfis yang rendah, dimana gel agarose tidak mampu digunakan. Dengan demikian, gel akrilamid mampu mendeteksi lebih lebih banyak alel per lokus daripada gel agarose (Macaulay et al., 2001). Beberapa pertimbangan lain sehingga marka mikrosatelit banyak digunakan dalam studi genetik diantaranya: terdistribusi secara melimpah dan merata dalam genom, variabilitasnya sangat tinggi (banyak alel dalam lokus), dan sifatnya yang kodominan dengan lokasi genom yang telah diketahui. Dengan demikian, marka mikrosatelit merupakan alat uji yang memiliki reproduksibilitas dan ketepatan yang sangat tinggi sehingga banyak digunakan dalam membedakan genotip, evaluasi kemurnian benih, pemetaan gen, sebagai alat bantu seleksi, studi genetik populasi, dan analisis diversitas genetik. Akhir-akhir ini, mikrosatelit lebih banyak digunakan untuk karakterisasi dan pemetaan genetik pada tanaman, diantaranya pada tanaman jagung, padi, anggur, kedelai, jawawut, gandum, dan tomat (Gupta et al., 1996; Powel et al., 1996). Dalam program MAS, marka SSR juga merupakan salah satu marka DNA yang cukup menarik untuk digunakan. Hal ini disebabkan karena pengenalan awal dari marka SSR sifatnya kodominan sehingga meskipun genotip dalam kondisi heterosigot, marka tersebut tetap dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan alel resesif. Selain itu, marka SSR sangat informatif dan mudah dideteksi karena dapat membedakan polimorfisme antara dua karakter yang jarak genetiknya lebih dekat, sedangkan marka lain tidak dapat mendeteksinya. Oleh karena itu, marka SSR sangat baik digunakan untuk menganalisis genetik yang sederhana pada tanaman jagung (Taramino dan Tingey, 1996). Konversi dan Selaksi Galur QPM dengan Bantuan Marka SSR Gen mutan opaque2 (o2) pada jagung yang pertama ditemukan oleh Singleton dan Jones pada tahun 1935 (Soave et al, 1981), dengan fenotipe endosperma yang buram dan lembut telah digunakan sebagai penanda morfologi. Dalam analisis protein pada endosperma mutan pada jagung tersebut yang dilakukan oleh Mertz et al (1964) terdeteksi kandungan lisin 69% lebih tinggi dibandingkan dengan jagung normal. Sejak itu, mutan o2 telah digunakan sebagai sumber genetik untuk memperbaiki kualitas protein jagung (Vasal et al, 1980; Gevers dan Lake, 1992; Magnavaca, 1992; Bockholt dan Rooney, 1992; Shi et al., 2001). Gen o2 telah diklon dengan beberapa metode sejak 1987 (Schmidt et al., 1987; Motto et al., 1988; Thomson dan Salmini, 1988; Hartings et al., 1989; Schmidt et al., 1990). Metode tersebut telah ditetapkan sebagai dasar untuk studi genetik, ragam, evolusi, 7
dan aplikasi studi-studi tersebut yang terkait dengan alel resesif mutan o2. Sebagai contoh, Bernard et al. (1994) melaporkan karakterisasi beberapa alel-alel mutan o2 pada DNA, RNA, dan level protein yang menghasilkan spektrum mutan o2 yang luas dengan ukuran yang bervariasi. Berdasarkan hal tersebut, diusulkan tata nama gen o2 sesuai dengan perbedaan panjangnya potongan fragmen hasil situs enzim restriksi (Restriction Fragment Length Polymorphism = RFLP), transkripsi, dan variasi alel yang dihasilkannya. Kata et al. (1994) membangun suatu sistem teknik untuk MAS dengan marka RFLP pada lokus o2 dengan menggunakan pelacak cDNA O2. Pelacak tersebut dihibridisasi ke genom DNA yang digesti dengan enzim HindIII sehingga genotip-genotip O2/O2, O2/O2, dan o2/o2 dapat diidentifikasi. Hartings et al. (1995a, 1995b) membagi 10 alel resesif (o2) dari sumber yang bebas ( o2-R, o2-m[r], o2-Columbian, o2-Agroceres, o2-261, o2-mh, o2-33, o2-Go2-Charentes, o2-Italian, dan o2-Crow) ke dalam 6 kelompok yang polimorfis melalui analisis Southern dengan 2 pelacak molekuler ke uj ung5 ’da nuj ung3’pa dac DNA O2. Dengan memperbandingkan urutan genom alelalel resesif dengan apa yang ada pada tipe liar, ditemukan subsitusi, penyisipan, dan penghapusan nukleotida dalam alel-alel o2. Pada tahun 2001, sekuen primer untuk tiga marka SSR, yaitu: phi 112, umc1066 dan phi057 pada lokus o2, telah dirilis pada situs www.agron.missouri.edu/ssr.htm. Lokasi phi 112 berlokasi antara G box dan ujung pangkal 3 pengkode protein (upstream open reading frames = uORF) (Schmidt et al., 1990) dalam sekuen leader pada gen O2, dan mutasinya dapat mempengaruhi transkripsi gen O2. SSR umc1066 berada pada ekson 1 dan phi057 berada pada ekson 6, dan merupakan ekson yang paling besar diantar 6 ekson di dalam gen O2 (www.ncbi.nlm.Nih.gov, nomor aksesi bank gen X15544 dan X16618). Mutasi yang terjadi pada kedua ekson ini akan meningkatkan atau mengurangi jumlah prolin di dalam protein O2 dan mempengaruhi aktivitas protein O2 sebagai aktivator transkripsial. Hal ini disebabkan karena posisi residu prolin mempengaruhi tingkat dan arah putaran pada struktur 3-dimensi protein O2 (Shen dan Wang, 1998; Yang et al, 2004). Pada sisi lain, Lazzari et al (2002) mengemukakan bahwa diantara alel-alel gen O2 yang berbeda memiliki tingkat homologi yang sangat tinggi, kecuali pada dua daerah yang sangat bervariasi (hypervariable) di dalam ekson 1. Oleh karena itu, penggunaan marka phi112, umc1066, dan phi057 dapat menggambarkan variasi di dalam gen O2 dengan variasi alelik SSR yang terjadi pada daerah pengorgani s a s i a ns e r t ada e r a h5’da n da e r a h3’pa dag e nO2.
8
Gambar 2. Teknik marka SSR untuk seleksi gen opaque-2 pada jagung (dikutip dari Dreher et al., 2000). Analisis marka SSR untuk mengkonversi gen resesif mutan o2 dari isolasi DNA hingga analisis separasi fragmen DNA disajikan pada Gambar 2. Primer yang mengapit daerah yang mengandung SSR di dalam gen opaque2 kemudian digunakan untuk mengamplifikasi sampel dengan menggunakan PCR (membuat jutaan kopi segmen DNA yang diapit oleh primer). Ketika jumlah sekuen berulang diantara apitan primer berbedabeda dalam alel opaque2 normal dan alel opaque2 mutant, fragmen-fragmen DNA yang diamplifikasi panjangnya bervariasi. Fragmen-fragmen DNA yang teramplifikasi
9
diseparasi dengan menggunakan elektroforesis untuk menentukan individu-individu tanaman QPM dan non-QPM berdasarkan pola pita yang dihasilkan.
Patogenesis dan Resistensi Tanaman Jagung terhadap Patogen Bulai Penyakit bulai yang disebabkan oleh cendawan jenis P. maydis terdapat hampir di seluruh Indonesia, sedangkan P. philippinensis hanya ditemukan di Sulawesi Utara. Cendawan P. maydis dan P. philippinensis termasuk ke dalam famili Peronosporacea yang merupakan kelompok cendawan penyebab downy mildew (bulai) dan semua spesies anggota dari famili tersebut bersifat parasit obligat. Konidium jamur P. maydis yang masih muda berbentuk bulat sedangkan yang sudah masak dapat menjadi jorong. Konidia P. maydis berukuran 12-19 x 10-23 µm dengan rata-rata 19,2 x 17,0 µm, sedangkan konidium P. philippinensis lebih oval dengan diameter berkisar (14-15 x 8-10 µm (Gambar 3). Konidium tumbuh dengan membentuk buluh kecambah (Semangun, 1996 dan Shurtleff, 1980). P. maydis
A=Konidia B=konidofor
P. maydis
P. philppinensis
Gambar 3. Konidium cendawan P. maydis dan P. philippinensis Gejala yang ditimbulkan oleh patogen P. maydis saat menginfeksi tanaman jagung adalah munculnya garis-garis sejajar dengan tulang daun berwarna putih sampai kuning klorosis diikuti dengan garis-garis coklat pada permukaan daun jika infeksinya berlanjut (Gambar 4). Penularan pada tanaman muda (umur satu sampai tiga minggu) merupakan penyebab terjadinya gejala sistemik. Periode tanaman sangat rentan bulai, yaitu saat tanaman berumur satu minggu hingga satu bulan setelah tanam. Jika tanaman tertular penyakit bulai pada periode tersebut, pertumbuhan tanaman menjadi terhambat, bahkan menyebabkan kematian tanaman. Tanaman yang terinfeksi pada umur lebih dari satu bulan, tidak mati, namun pada umumnya tidak dapat menghasilkan biji. Oleh karena infeksi dari spora yang tersebar di udara, maka tanaman yang terinfeksi bulai di lapangan biasanya dimulai pada daun keempat dari bawah. Pada permukaan bawah daun terdapat banyak spora berwarna putih, terutama pada pagi hari (Gambar 4). 10
Penyebaran patogen P. maydis terutama ditularkan melalui perantaraan angin dan perkembangannya sangat didukung oleh adanya kelembaban yang tinggi, yaitu lebih dari 95% (Mikoshiba, 1983). Suhu dan energi merupakan dua faktor penting yang dibutuhkan dalam proses sporulasi. Proses sporulasi P. maydis mulai dari keluarnya calon konidofor hingga terlepasnya konidia. Petani jagung di sentra-sentra jagung, seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Jawa, Madura dan Lampung umumnya menanam jagung di lahan tegal pada musim hujan dan di lahan sawah pada saat musim kemarau sehingga sangat mendukung siklus perkembangan penyakit bulai. Hal ini disebabkan karena tanaman yang terinfeksi bulai pada salah satu musim akan menjadi sumber inokulum bagi pertanaman di musim berikutnya (Mikoshiba, 1983). Infeksi cendawan pada tanaman melalui stomata dan selanjutnya cendawan dapat berkembang secara lokal ataupun sistemik. B B A
B
Gambar 4. Gejala sistemik penularan penyakit bulai pada jagung di KP Cikeumeuh, Bogor, 2005, (A) dan KP Natar, Lampung, 2004 (B). Mengingat besarnya kerugian yang ditimbulkan pada tanaman yang terinfeksi bulai, maka upaya perakitan tanaman resisten terhadap penyakit bulai perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Ciri penting ketahanan genetik tanaman jagung terhadap suatu penyakit adalah kestabilannya dalam berproduksi, baik pada saat ada penyakit maupun pada saat tidak ada penyakit. Ketahanan genetik harus dapat memberikan perlindungan yang baik dan menyeluruh dari kemungkinan kerusakan yang dapat disebabkan oleh suatu penyakit (Soetopo dan Saleh, 1992). Selain itu, ketahanan genetik sangat berguna bagi program pemuliaan dalam memperbaiki karakter ketahanan terhadap tanaman dalam proses pelepasan varietas unggul baru yang sedang dirilis atau dapat digunakan sebagai sumber gen untuk memperbaiki karakter ketahanan varietas tanaman yang masih rentan, dengan syarat bahwa karakter tersebut dapat diwariskan. Pewarisan karakter ketahanan genetik terhadap suatu penyakit dapat berupa karakter monogenik atau sederhana (Allard, 1960) dan dapat berupa karakter oligogenik atau
11
poligenik (Simmonds, 1972). Dari beberapa kasus, diduga bahwa terdapat gen-gen minor atau gene modifier yang ikut berinteraksi dengan gen-gen mayor dalam menentukan tingkat ketahanan tanaman terhadap penyakit (Hooker 1967; Zaumeyer dan Meiners, 1975). Tingkat ketahanan jagung terhadap penyakit bulai beragam dan dapat dinyatakan secara kualitatif yaitu resisten, agak resisten, dan rentan. Dalam kondisi lingkungan yang sengaja diberi perlakuan dengan inokulasi buatan, tingkat ketahanan jagung terhadap penyakit bulai menurut Aday (1974), dapat dibagi ke dalam empat kelompok sebagai berikut : - Sangat resisten, jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida tidak lebih dari 25 persen. - Resisten jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida lebih besar dari 25 persen hingga 50 persen. - Agak resisten, jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida lebih besar dari 50 persen hingga 75 persen. - Rentan, jika tingkat infeksi patogen terhadap suatu inbrida lebih besar dari 75 persen. Kendali Genetik Tanaman Jagung terhadap Penyakit Bulai Informasi mengenai kendali genetik ketahanan penyakit bulai dari beberapa hasil penelitian di Indonesia sampai saat ini tidak konsisten sehingga penelitian pola pewarisan tanaman jagung terhadap penyakit bulai masih diperlukan. Sebagian peneliti menyimpulkan bahwa ketahanan penyakit bulai di Indonesia dikendalikan oleh gen-gen mayor sehingga bersifat kualitatif, namun juga ada yang menyimpulkan bahwa penyakit bulai dikendalikan oleh gen-gen minor sehingga bersifat kuantitatif. Hakim dan Dahlan (1972) telah melakukan penelitian pola pewarisan tanaman jagung terhadap penyakit bulai di Jawa. Populasi yang digunakan adalah F1 dan F2 serta silang baliknya (BC1P1 dan BC1P2) dibandingkan dengan induk-induk yang resisten dan yang rentan. Hasil pengujian populasi F1, F2, BC1P1 dan BC1P2 menunjukkan bahwa persentase tanaman yang terinfeksi bulai sesuai dengan dugaan aksi gen aditif. Selain itu, hasil persilangan dari 30 pasangan tetua kemudian diuji resistensinya terhadap penyakit bulai menunjukkan frekuensi infeksi penyakit bulai mengikuti distribusi normal. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa pola pewarisan resistensi tanaman jagung yang diuji terhadap penyakit bulai di Jawa bersifat kuantitatif dengan aksi gen aditif.
12
Serangkaian penelitian tentang varians interaksi genotip jagung dan lingkungan terhadap penyakit bulai pada beberapa lokasi di Indonesia telah dilakukan sejak tahun 1974 sampai 1980 oleh Subandi et al. (1982). Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa dari enam set varietas jagung yang digunakan, semua varietas dalam setiap set meperlihatkan reaksi yang sangat nyata, dua set memperlihatkan interaksi varietas dengan lingkungan sangat nyata dan satu set memperlihatkan interaksi yang nyata serta tiga set yang lain tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa kendali genetik dari varietas terhadap penyakit bulai tidak konsisten. Informasi tentang interaksi genotip dan lingkungan yang sangat nyata terhadap penyakit bulai juga didukung oleh penelitian menggunakan populasi RIL progeni CML 139 x Ki3 yang dilakukan oleh Azrai dan Kasim (2003) pada dua lokasi yang berbeda serta populasi BC1F2 progeni Mr-4 x AMATLCOHS-9-1-1-1-11-2-B yang dilakukan oleh Azrai dan Kasim (2005b) pada tiga lokasi yang berbeda. Pengujian kendali genetik tanaman jagung terhadap penyakit bulai yang dilakukan oleh Takdir et al. (2003) menggunakan tiga pasangan persilangan yaitu: Ki3 x CML357, Nei9008 x CML270, dan AMATL-COHS-9-1-1-1-1-1-2-B x CML358. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit mengikuti pola segregasi 3 : 1 dengan nilai derajat dominansi antara –1 dan 0, aksi gennya adalah dominan positif tidak sempurna. Hasil penelitian ini hampir sama dengan hasil yang diperoleh Mochizuki (1974); Aday (1974), yang menyimpulkan bahwa pola pewarisan ketahanan terhadap P. philippinensis dikendalikan oleh gen-gen dominan dengan derajat dominansi berada dalam over dominance. Hal yang berbeda dikemukakan oleh Rifin (1983) yang menyatakan bahwa ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis ditentukan oleh gen aditif dan dominan, tetapi gen aditif lebih menonjol, sedangkan Ruswandi et. al., (2002) secara jelas menyatakan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis bersifat kuantitatif dengan efek aditif dan epistasis. Daya Gabung dan Metode Lini x Tester Konsep daya gabung yang diperkenalkan oleh Sprague dan Tatum pada tahun 1941 (Hallauer dan Miranda, 1981) terbagi atas daya gabung umum (general combining ability) dan daya gabung khusus (specific combining ability). Daya gabung (combining ability) merupakan suatu ukuran kemampuan suatu tetua persilangan menghasilkan hibrida dengan penampilan tetuanya atau sebaliknya.
13
Daya gabung umum (DGU) adalah nilai rata-rata dari suatu tetua yang disilangkan dengan tetua-tetua lain dibandingkan dengan rata-rata umum. DGU merupakan simpangan dari rata-rata seluruh persilangan sehingga dapat bernilai positif maupun negatif (Hallauer dan Miranda, 1981). Daya gabung khusus (DGK) adalah penampilan kombinasi dari suatu pasangan persilangan tertentu. Bila nilai pasangan persilangan tertentu lebih baik daripada nilai rata-rata keseluruhan persilangan yang terlibat, dikatakan daya gabung khususnya baik (Poehlman dan Sleeper, 1995). Kombinasi tetua persilangan yang mempunyai efek daya gabung umum yang tinggi tidak selalu memberikan efek daya gabung khusus yang tinggi pula (Silitonga et al, 1993). Daya gabung umum dan daya gabung khusus yang bermakna untuk karakter yang dievaluasi memberikan indikasi bahwa keragaman karakter disebabkan oleh efek gen aditif dan non aditif. Hasil pipilan suatu hibrida F1 yang tinggi dapat diperoleh bila kedua tetua komponen pembentuk hibrida tersebut memiliki efek DGU dan DGK yang tinggi (Setiyono dan Subandi, 1996). Penelitian Rifin et al (1984) menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata di dalam heterosis, DGU, dan DGK untuk semua karakter yang diamati, yaitu hasil pipilan 10 tanaman, waktu pembungaan, tinggi tanaman, tinggi tongkol, diameter tongkol, jumlah baris per tongkol, dan bobot 100 biji. Tidak semua nilai daya gabung yang positif bermakna lebih baik, tetapi beberapa karakter yang menguntungkan dengan nilai daya gabung negatif seperti umur masak, dimana efek DGU dan DGK yang negatif sangat bermanfaat untuk merakit varietas yang berumur genjah. Mochizuki et al. (1980) yang melakukan analisis dialel terhadap sembilan galur dan 36 F1 menyimpulkan bahwa galur-galur yang mempunyai DGK tinggi mempunyai keturunan yang resisten terhadap penyakit bulai dan ketahanannya dikendalikan oleh gengen dominan. Callaway (1990) telah melakukan penelitian ketahanan jagung terhadap penyakit antraknos dan rebah batang melalui persilangan dialel dengan simpulan bahwa galur jagung yang memiliki karakter ketahanan terhadap penyakit antraknosa dan rebah batang memiliki daya gabung umum tinggi, dan karakter ketahanan tersebut dikendalikan oleh efek gen aditif. Sedangkan Lamb (1992) yang melakukan persilangan dialel antara galur jagung yang resisten dengan galur yang rentan terhadap busuk tongkol, menyimpulkan bahwa galur jagung yang memiliki karakter ketahanan terhadap busuk tongkol ditandai dengan daya gabung umum dan daya gabung khusus tinggi.
14
Metode analisis lini x tester yang diperkenalkan oleh Kempthorne pada tahun 1957 (Singh dan Chaudary, 1979) merupakan pengembangan dari metode persilangan top cross yang menggunakan
beberapa tester. Metode analisis tersebut mampu memberikan
informasi mengenai DGU maupun DGK tetua yang digunakan dan pada saat yang sama sangat membantu dalam mengestimasi berbagai macam komponen genetik. Metode lini x tester mi r i pde ng a nmode lpe r s i l a ng a n’ design II (factorial design) ’ menggunakan beberapa genotip sebagai lini (female) dan beberapa genotip sebagai tester (male). Jumlah lini maupun tester bervariasi, tergantung pada kebutuhan atau ketersediaan materi genetik. Heterosis Fenomena heterosis pertama kali diperkenalkan oleh Shull pada tahun 1908 yang didukung oleh East tahun 1936 dan Hull tahun 1945 dan peneliti yang lain sesudahnya (Fehr, 1987). Heterosis merupakan superioritas dalam penampilan individu-individu hibrida dibandingkan dengan tetuanya. Fenomena heterosis dapat muncul apabila tetua dari hibrida memiliki alel yang berbeda dan terdapat beberapa tingkat dominansi diantara alel-alel tersebut (Falconer, 1996). Penampilan suatu hibrida secara relatif terhadap tetuanya dapat diekspresikan dalam dua hipotesis yaitu hipotesis dominan dan over dominan. Hipotesis dominan menjelaskan bahwa fenomena heterosis muncul sebagai akibat terkumpulnya gen-gen dominan yang baik (Favourable dominant genes) dalam satu genotip tanaman. Hipotesis over dominan menjelaskan bahwa vigor hibrida merupakan hasil penampilan superioritas heterozigositas terhadap homozigositas atau dengan kata lain bahwa individu yang penampilannya superior adalah individu yang memiliki jumlah alel dalam keadaan heterosigos yang terbanyak (Baihaki, 1989). Fenomena heterosis telah banyak dimanfaatkan secara intensif pada pemuliaan jagung dalam membentuk varietas hibrida. Keberhasilan jagung memanfaatkan fenomena heterosis mendorong pemulia menggunakannya pada jenis tanaman lain, seperti pada tanaman terung, tomat, mentimum, sorgum, dan lain-lain (Dahlan et al, 1998). Heritabilias Heritabilitas untuk suatu karakter penting dari suatu materi pemuliaan perlu diketahui, terutama untuk menduga besarnya pengaruh lingkungan terhadap pertumbuhan
15
dan perkembangan tanaman serta pemilihan lingkungan yang sesuai untuk proses seleksi. Heritabilitas merupakan gambaran besarnya konstribusi genetik suatu karakter yang terlihat di lapangan, dan dijadikan sebagai ukuran mudahnya suatu karakter untuk diwariskan. Nilai duga heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan daripada faktor lingkungan. Begitu pula sebaliknya, bila nilai duga heritabilitas rendah, menunjukkan bahwa faktor lingkungan lebih berperan daripada faktor genetik (Fehr, 1987). Interaksi Genotip x Lingkungan dan Potensi Tanaman Potensi genetik tanaman yang terekspresi secara fenotipik dipengaruhi oleh faktor genetik, lingkungan, dan interaksi faktor genetik dan lingkungan (Simms dan Rausher, 1995). Interaksi genotip dan lingkungan yang nyata akan mempengaruhi ekspresi tanaman (Vargas et al., 1998) dan umumnya penampilan fenotip dari suatu genotip akan optimal bila didukung oleh kondisi lingkungan yang juga optimal. Interaksi genotip dan lingkungan pada pemuliaan tanaman merupakan gambaran kegagalan genotipe untuk berpenampilan sama pada kondisi lingkungan yang berbeda (Soemartono et al., 1992). Penampilan suatu karakter dari materi pemuliaan yang diseleksi ditentukan oleh tingkat kerentanannya terhadap lingkungan dan pada kebanyakan seleksi memberikan penampilan yang tinggi pada lingkungan yang baik, dan sebaliknya pada lingkungan yang jelek memperlihatkan penampilan yang kurang baik (Kearsey dan Pooni, 1996). Penampilan fenotip diperlukan sebagai dasar dalam pemilihan genotip unggul, yaitu genotip yang dapat mempertahankan tingkat penampilan yang tinggi pada lingkup lingkungan yang luas. Genotip yang memiliki daya adaptasi yang luas merupakan genotip yang dikehendaki dalam program pemuliaan tanaman (Hill et al, 1998). Seleksi secara fenotip pada jagung bertujuan untuk memaksimumkan karakterkarakter penting, selain mempertahankan sifat lain pada tingkat yang sama atau di atas standar minimum untuk diterima sebagai varietas komersial. Sebagai contoh adalah karakter hasil yang merupakan tujuan utama dari kegiatan pemuliaan tanaman, maka keragaman genetik populasi untuk potensi hasil harus tinggi, tetapi karakter lainnya seperti umur berbunga, umur panen, ketahanan terhadap penyakit, dan kualitasnya harus lebih seragam (Halloran et al, 1978).
16
Strategi Pemuliaan Jagung Berprotein Tinggi dan Resisten Penyakit Bulai Dalam hal penelitian pemuliaan jagung berprotein tinggi perlu diarahkan pada kegiatan konversi gen homosigot resesif opaque-2 ke materi jagung unggul nasional untuk meningkatkan mutu proteinnya. Kegiatan ini perlu dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan. Bahan genetik nasional yang hendak dikonversi menjadi jenis QPM adalah populasi atau galur yang memiliki sifat baik dan resisten penyakit bulai. Program konversi jagung normal menjadi QPM dapat dilakukan dengan menggunakan skema seleksi silang balik secara konvensional dengan bantuan marka molekuler. Pada masa mendatang tampaknya teknologi genetika molekuler akan semakin berperan dalam riset QPM (Prasanna et al.,2001). Strategi penelitian pemuliaan hibrida QPM nasional hendaknya mengarah kepada program yang menghasilkan galur-galur unggul untuk menghasilkan varietas bersari bebas sintetik atau dan hibrida. Keuntungan program QPM berorientasi hibrida adalah: Karena adanya heterosis potensi genetik hibrida yang lebih tinggi daripada varietas bersari bebas Kemurnian mutu protein dari QPM lebih terjamin karena kemurnian galurnya lebih terkontrol. Fenotip biji lebih seragam dan hasilnya lebih stabil. Oleh karena sifat resesif dari gen o-2 maka penanganan produksi benih dan pengendalian mutu protein dari QPM mesti dilakukan dengan hati-hati dan secermat mungkin. Walaupun teknik produksi benih QPM tidak berbeda dengan produksi benih jagung biasa (dalam hal isolasi), tetapi mutu protein biji QPM mesti terkontrol terutama untuk kelas benih penjenis dan benih dasar. Dalam kaitannya untuk pembentukan hibrida, galur QPM yang ada di Indonesia masih sangat terbatas jumlahnya dan merupakan galur introduksi dari CMMYT-Mexico. Sebagai produk riset introduksi yang memiliki nilai tambah dan sekaligus kelemahan sehingga perlu dilakukan evaluasi untuk mengetahui daya adaptasi dan potensi hasil populasi, sintetik, maupun galur QPM asal CIMMYT. Pengalaman penulis saat melakukan perbanyakan benih di Kebun Percobaan (KP) Cikeumeuh selama tahun 2004 menunjukkan bahwa untuk memperbanyak galur-galur QPM cukup sulit karena rentan bulai, walaupun telah diberi perlakuan fungisida berbahan aktif metalaksil.
17
Dari hasil penyaringan galur-galur resisten bulai pada beberapa agroekosisitem di Indonesia yang dilakukan oleh Peneliti di Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), teridentifikasi beberapa galur yang resisten terhadap penyakit bulai, diantaranya adalah MR10, Nei9008, Ki3, P345C4S2B46, AMATLCOHS-115, AMATLCOHS-9, dan Nei9202 (Kasim et al., 2002). Dari hasil penyaringan tersebut, dipilih dua galur yang paling resisten dan stabil pada semua lokasi pengujian, yaitu MR10 dan Nei9008. MR10 merupakan salah satu galur elit Balitsereal yang dikembangkan dari populasi Suwan-2, sedangkan Nei9008 merupakan galur introduksi dari Thailand dengan pedigree SW1(s)C9-germplasm/(DA9-1(s)-7-3-1 x SW C9)-S9-177-1 (Grudloyma et al., 2004). Dengan tersedianya galur QPM sebagai sumber gen homosigot resesif opaque-2 (CML 161) dan resisten bulai (Nei9008 dan Mr10), maka perakitan varietas unggul baru yang bermutu protein tinggi dan resisten penyakit bulai dapat dilakukan (diskripsi galur disajikan pada Lampiran 10). Salah satu teknik yang dapat dilakukan sebagai langkah awal adalah mengintrogresikan gen o2 dari galur-galur QPM ke galur jagung resisten bulai melalui pendekatan MAS dalam metode silang balik (Gambar 5). Secara garis besar penelitian ini terdiri dari empat bagian sebagai berikut : 1. Pendugaan ragam dan model genetik karakter ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung. Penelitian ini menggunakan dua pasang tetua yaitu: CML161x MR10 dan CML161 x Nei9008 dan turunannya yang terdiri atas: populasi F1, F2, F3, BC1P1 dan BC1P2. Pada bagian ini setiap famili dari setiap populasi genetik diuji sifat ketahanannya terhadap penyakit bulai dengan inokulasi semi buatan. Analisis data mencakup penghitungan rata-rata, ragam, galat baku, pendugaan parameter genetik, sebaran frekuensi, pendugaan model genetik (Mather dan Jinks, 1982), dan uji kesesuaian model genetik dengan metode 2 (Simon, 1994). 2. Introgresikan gen mutan resesif mutan o2 ke galur jagung resisten terhadap penyakit bulai dengan pendekatan MAS pada metode silang balik. Pada bagian penelitian ini diharapkan dapat dihasilkan galur-galur BC3F3 yang telah memiliki gen resesif homozigot o2. Galur-galur tersebut kemudian dievaluasi penampilannya untuk karakter tinggi tanaman dan letak tongkol, umur berbunga jantan dan betina, bobot tongkol panen dan 1000 biji serta hasil biji kering pada kadar air 15%. 3. Seleksi dan uji daya gabung galur-galur hasil introgresi gen resesif mutan o2 untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai. Penyaringan galur-galur hasil introgresi gen o2 untuk ketahanan terhadap penyakit bulai dilakukan dengan inokulasi semi
18
buatan. Galur yang dinyatakan resisten terhadap penyakit bulai adalah kelompok galur MR10 + o2 (set A) dan Nei9008 + o2 (set B) disilangkan mengikuti model persilangan lini x tester untuk membentuk hibrida silang tunggal. Hibrida silang tunggal yang diperoleh akan dievaluasi daya gabung dan efek heterosisnya untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai. Sebagian biji dari galur-galur yang dijadikan sebagai tetua persilangan tersebut dikirim ke Laboratorium Biokimia Tanah dan Tanaman CIMMYT-Mexico untuk mengecek kuantitas lisin dan triptofannya. 4. Evaluasi daya gabung dan potensi karakter hasil, komponen hasil, dan beberapa karakter agronomis penting dari galur-galur hasil introgresi gen resesif mutan o2. Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini adalah sama dengan bagian tiga di atas.
19
Integrasi Gen untuk Lisin dan Triptofan dengan Ketahanan Penyakit Bulai Memanfaatkan Marka Molekuler (MAS) dalam Pengembangan Jagung Hibrida Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap P. maydis pada Jagung
Introgresi gen resesif mutan opaque-2
Populasi 1.
Populasi 2.
MR10 x CML 161 F1 x MR10 : BC1 F1 x MR10 : BC2 MAS F1 x MR10 : BC3 MAS BC3F1 MAS BC3F2 MAS BC3F3 : Galur MR10 + gen opaque-2
Nei 9008 x CML 161 F1 x Nei 9008 : BC1 F1 x Nei 9008 : BC2 MAS F1 x Nei 9008 : BC3 MAS BC3F1 MAS BC3F2 MAS BC3F3 : Galur Nei 9008 + gen opaque-2
Introgresikan gen resesif mutan o2 ke galur jagung resisten terhadap P. maydis melalui pendekatan MAS pada metode silang balik
Seleksi, analisis daya gabung, dan efek heterosis galur-galur hasil introgresi gen resesif mutan o2 untuk ketahanan terhadap P. maydis
Evaluasi daya gabung dan potensi karakter hasil, komponen hasil, dan beberapa karakter agronomis penting dari galurgalur hasil introgresi gen resesif mutan o2. Luaran yang diharapkan: Diperoleh satu atau lebih hibrida silang tunggal berdaya hasil tinggi, bermutu protein tinggi dan resisten terhadap penyakit bulai Publikasi Ilmiah pada Jurnal Terakreditasi
Gambar 5. Alur kegiatan penelitian
20
Penelitian I: Pendugaan Ragam dan Model Genetik Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai pada Jagung
Pendahuluan Kendala biotis yang paling sering terjadi dalam budidaya jagung di Indonesia adalah penyakit bulai yang disebabkan oleh P. maydis. Patogen tersebut cukup berbahaya karena dapat menyebabkan kehilangan hasil hingga 90 persen (Mikoshiba, 1983) dan bahkan dapat menyebabkan kegagalan panen (Semangun, 1996; Subandi et al., 1996). Hasil penelitian yang dilaporkan oleh Wakman dan Kontong (2000) di Lanrang (Sulawesi Selatan) serta Azrai dan Kasim (2005a) di Maros, Bogor, dan Lampung menunjukkan bahwa ketahanan dari beberapa varietas jagung unggul nasional terhadap penyakit bulai masih bervariasi, yaitu dari sangat rentan hingga resisten. Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketahanan jagung terhadap patogen penyebab penyakit bulai cukup beragam, tergantung pada variabilitas genetik, variabilitas fenotipik, dan interaksi antara genetik dengan lingkungannya. Pengetahuan mengenai keragaman tersebut sangat penting terutama dalam penerapan program seleksi yang akan digunakan untuk mendapatkan suatu karakter yang diinginkan (Prasanna, 2002). Upaya perakitan jagung yang resisten terhadap penyakit bulai terus dilakukan melalui penyaringan plasmanutfah yang dilanjutkan dengan kegiatan persilangan antara tetua terpilih. Kegiatan tersebut telah lama dilakukan oleh pemulia jagung, akan tetapi sejauh ini belum banyak dilaporkan mengenai model genetik ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung di Indonesia. Pengetahuan tentang sifat dan aksi gen yang mengendalikan suatu karakter sangat penting terutama dalam hal keefektifan penerapan program seleksi yang akan digunakan untuk mendapatkan karakter yang diinginkan. Beberapa peneliti melaporkan bahwa karakter ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung dikendalikan oleh gen tunggal (Chang dan Cheng, 1968; Chang, 1972; Handoo et al. 1970; Takdir et al., 2004), sedangkan beberapa peneliti yang lain melaporkan melaporkan bahwa karakter ini dikendalikan oleh banyak gen (polygenic) (Francis, 1967; Carangal et al. 1970; Hakim dan Dahlan, 1972; Peerasak, 1974; Ruswandi, 2001). Salah satu contoh kasus perbedaan hasil penelitian yang paling menonjol adalah studi tentang kendali genetik terhadap P. philippinensis. Aday (1974), melaporkan bahwa pola pewarisan ketahanan terhadap P. philippinensis dikendalikan oleh gen-gen dominan
21
dengan derajat dominansi berada dalam over dominan. Hal ini berbeda dengan yang dilaporkan oleh Rifin (1983) yang menyatakan bahwa ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis ditentukan oleh gen aditif dan dominan, tetapi aditif lebih menonjol, sedangkan Ruswandi et. al., (2002) secara jelas menyatakan bahwa pola pewarisan ketahanan tanaman jagung terhadap P. philippinensis bersifat kuantitatif dengan efek aditif dan epistasis. Perbedaan tersebut diduga kuat karena perbedaan tingkat ketahanan dari tetua persilangan, jumlah generasi, dan besarnya genotip yang diteliti. Untuk itu, informasi tentang model genetik ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung di Indonesia dirasa perlu untuk ditelaah lebih lanjut. Berdasarkan hal tersebut, maka dilakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui variabilitas dan model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161. Bahan dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Bogor, terbagi atas dua tahap, yaitu pembentukan genotip uji dan pengujian ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai. Pembentukan genotip dilaksanakan dari Agustus 2004 sampai April 2005. Pengujian ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai berlangsung dari bulan JanuariMaret 2006. Bahan Penelitian Materi genetik yang digunakan pada penelitian ini masing-masing terdiri atas 7 macam populasi pada dua set persilangan dan progeninya, yaitu: masing-masing 10 genotip (tongkol) tetua persilangan yaitu P1 (CML161) sebagai tetua rentan (donor gen opaque-2) dan P2 (MR10 dan Nei9008) sebagai tetua resisten (silang balik = recurrent), masing-masing 20 genotip dari generasi F1, F2, BC1P1, dan BC1P2 serta 100 genotip dari generasi F3. CML161 merupakan galur yang bermutu protein tinggi (QPM = Quality Protein Maize) yang diintroduksi dari CIMMYT-Mexico. Nei9008 diintroduksi dari Thailand melalui Jaringan Kerjasama Bioteknologi Jagung Asia (AMBIONET = Asian Maize Biotechnology Network) dan MR10 merupakan salah satu galur elit Balitseral yang digunakan sebagai tetua hibrida Semar 8. Selain itu, juga digunakan Varietas Anoman-1 sebagai cek rentan dan tanaman baris penyebar konidia bulai. Varietas Anoman-1
22
merupakan salah satu varietas bersari bebas milik Balitsereal yang sangat rentan terhadap penyakit bulai (Azrai, 2006). Pembentukan Genotip Uji Pembentukan genotip uji dilakukan dengan cara melakukan silang balik antara tanaman F1 dengan kedua tetuanya untuk membentuk masing-masing 20 genotip BC1P1 dan BC1P2 dan mensegregasikan tanaman F1 untuk membentuk 20 genotip F2. Benih genotip F2 masing-masing ditanam dua baris kemudian dilakukan penyerbukan sendiri sebanyak 10 tanaman per genotip. Setelah panen, dipilih 5 tongkol per genotip sehingga diperoleh 100 tongkol benih F3. Dengan demikian telah tersedia masing-masing 7 macam populasi dari dua set persilangan untuk dievaluasi sifat ketahanannya terhadap penyakit bulai. Pengujian Karakter Ketahanan terhadap P. maydis Masing-masing set persilangan diuji karakter ketahanannya terhadap P. maydis dengan teknik inokulasi pada tanaman baris penyebar dan pada genotip uji. Saat tanaman baris penyebar >80% terinfeksi bulai, masing-masing set persilangan ditanam sesuai dengan rancangan acak kelompok (RAK), dua ulangan (Petersen, 1994), kemudian 5 hari setelah kecambah muncul dipermukaan tanah, genotip uji disemprot dengan konidia bulai dan 3 hari setelah penyemprotan pertama dulangi lagi dengan cara yang sama dengan penyemprotan sebelumnya. Faktor pertama adalah dua set persilangan dan faktor kedua adalah 7 macam populasi uji. Evaluasi dilakukan dengan menghitung persentase tanaman terinfeksi per genotip, sedangkan metode penyiapan inokulum sampai evaluasi tingkat ketahanannya mengikuti metode yang dilakukan oleh Azrai et al. (2000). Tata letak percobaan di lapangan disajikan pada Lampiran 3. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap jumlah tanaman yang tumbuh dan terinfeksi konidia bulai pada tiap genotip yang diuji. Waktu pengamatan yaitu saat tanaman berumur 14, 21, 28, 35 dan 42 hari setelah tanam (hst). Data yang diperoleh merupakan data komulatif dari pengamatan setiap pengamatan tersebut, kemudian dikonversi ke dalam persentase tanaman terinfeksi (P) patogen P. maydis dengan menggunakan rumus : a P x 100% b
23
keterangan : P = persentase tanaman terinfeksi penyakit bulai a = jumlah kumulatif tanaman terinfeksi penyakit bulai b = jumlah tanaman tumbuh Pengamatan tanaman terinfeksi dimulai pada umur 14 hst karena pada umur tersebut biasanya penyakit bulai mulai menular pada daun tanaman jagung dan setelah berumur 42 hst penularannya sudah jarang terjadi. Analisis Data Analisis Ragam Analisis ragam meliputi ragam genetik per generasi dari masing-masing set persilangan. Estimasi ragam genetik dan fenotip dianalisis berdasarkan nilai kuadrat tengah genotip (M2), nilai tengah galat (M1), dan ulangan (r), dengan persamaan sebagai berikut, (Bernardo, 2002): M 2 M 1 r 2 e = M1
g2 =
2f = g2 + e2 Luas sempitnya nilai keragaman genetik suatu karakter ditentukan berdasarkan variabilitasgenetik ( g2 ) dan standar deviasi variabilitasgenetik ( 2 ) menurut Anderson g
dan Brancoff (1952), dikutip Wahdah et al. (1995) sebagai berikut :
2 = g
2 r2
M 22 M 12 dbgenotipe 2 dbgalat 2
keragaman genetik luas jika g2 >2 2 dan sempit jika g2 2 2 g
g
Analisis Data Sebaran Frekuensi Untuk mempelajari pola sebaran frekuensi terhadap pola distribusi berlanjut, dilakukan dengan uji normalitas berdasarkan aturan Sturgers (Siregar, 2004):
2 i 1
f i
e i ei
2
keterangan : fi = jumlah fenotip ke i menurut hasil pengamatan ei = jumlah fenotip ke-i yang diharapkan
24
Kriteria keputusan sesuai dengan hipotesis yakni jika nilai peluang (p-v) > 0.05 maka data dinyatakan berdistribusi normal. Uji Kesesuaian Model Genetik Untuk menentukan model genetik yang sesuai terhadap sifat ketahanan dari kedua set persilangan, dilakukan analisis rata-rata generasi. Model genetik aditif dominan yang sesuai untuk pola pewarisan kuantitatif, digunakan untuk menduga pengaruh gen-gen yang mengendalikan karakter ketahanan untuk kedua genotip yang digunakan. Selanjutnya model aditif dominan diuji untuk menentukan kesesuaiannya dengan uji t (Hill et al., 1998). Jika hasil uji skala menunjukkan adanya pengaruh interaksi antar lokus, maka model interaksi ditentukan kesesuaiannya dengan uji skala gabungan (Joint Scalling Test) dengan menggunakan seluruh generasi secara bersama-sama (Mather dan Jinks, 1982). Enam parameter genetik dari model yang menyertakan pengaruh interaksi adalah m = pengaruh rata-rata generasi, [d] = pengaruh aditif, [h] = pengaruh dominan, [I] = pengaruh interaksi aditif x aditif, [j] = pengaruh interaksi aditif x dominan, dan [l] = pengaruh interaksi dominan x dominan. Jadi model genetik yang menyertakan pengaruh interaksi adalah [m][d][h][I]; [m][d][h][j]; [m][d][h][l]; [m][d][h][i][j]; [m][d][h][i][l] dan [m][d][h][i][j][l]. Setiap model diuji kebaikan suainya dengan 2 terboboti. Koefisien dari parameter genetik yang digunakan dalam model lengkap disajikan pada Tabel 1. Tabel 1. Koefisien parameter genetik yang digunakan dalam analisis rata-rata generasi. Generasi P1 P2 F1 F2 F3 BCP1 BCP2
m 1 1 1 1 1 1 1
[d] 1 -1 0 0 0 ½ -½
Parameter Genetik [h] [i] 0 1 0 1 1 0 ½ 0 ¼ 0 ½ ¼ ½ ¼
[j] 0 0 0 0 0 ¼ -¼
[l] 0 0 1 ¼ 1/16
¼ ¼
Analisis selanjutnya adalah pendugaan komponen ragam yang ditentukan sesuai dengan persamaan menurut Kearsey dan Pooni, (1996) sebagai berikut : VP1 = E1 VP2 = E2 VF1 = E3 VF2 = E4 25
VF3 = VA + VD +¼VE2 + ½VE3 VBCP1 = ½VA + VD –½VI + ½VE1 + ½VE3 VBCP2 = ½VA + VD + ½ VI + ½VE2 + ½VE3 VP1 , VP2 , VF1 , VF2, VF3, VBCP1 , VBCP2 masing-masing adalah ragam P1, P2, F1, F2, F3, BCP1 dan BCP2. Awal pendugaan parameter dilakukan dengan menduga nilai E = (VP1 + VP2 + VF1 + VF2 )/4. Selanjutnya Nilai E disubstitusikan ke persamaan, sehingga diperoleh nilai VA, VD dan VF. Nilai VE adalah jumlah ragam lingkungan, VA adalah jumlah ragam aditif, VD adalah jumlah ragam dominan, dan VI adalah jumlah ragam interaksi aditif dan dominan. Parameter yang diduga adalah : a. Heritabilitas arti sempit (narrow sense heritability): h2ns =
VA VA + VD + E
b. Heritabilitas arti luas (broad sense heritability): h2bs =
VA+ VD VA + VD + E
HASIL DAN PEMBAHASAN Keragaman Genetik Hasil analisis ragam genetik ketahanan dari set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161 terhadap P. maydis disajikan pada Tabel 2. Kedua tetua dari masingmasing set persilangan memperlihatkan reaksi ketahanan yang sangat berbeda. Galur MR10 dan Nei9008 sebagai tetua donor gen resisten memperlihatkan reaksi yang sangat resisten, sedangkan galur CML161 sebagai tetua donor gen opaque-2 (gen pengendali lisin dan triptofan tinggi) sangat rentan terhadap patogen P. maydis. Perbedaan karakter ketahanan penyakit bulai yang ekstrim antara kedua tetua sangat bermanfaat untuk melihat frekuensi sebaran karakter kuantitatif ketahanan genotip terhadap patogen penyakit bulai yang terekspresi pada progeninya (Namkong, 1979; Hoisington dan Coe, 1990; Prasanna, 2002).
26
Nilai tengah antar generasi dari set persilangan yang sama maupun dari set persilangan yang berbeda memperlihatkan reaksi ketahanan terhadap penyakit bulai yang beragam. Progeni Nei9008 x CML161 lebih resisten dibandingkan dengan progeni MR10 x CML161. Hal ini diduga karena pada pengujian ini, Nei9008 sangat resisten dan bahkan tidak terinfeksi bulai sama sekali. Dari beberapa pengujian sebelumnya, Nei9008 sangat resisten bulai di Sulawesi Selatan, Bogor, dan Lampung (Kasim et al., 2004). Selain resisten terhadap P. maydis, Nei9008 juga resisten terhadap P. zeae dan P. philippinensis (Ruswandi, 2002 dan Grudloyma et al, 2004).
Tabel 2. Nilai tengah, keragaman genetik, dan heritabiltas persentase penularan terhadap P. maydis pada set persilangan galur jagung Set Persilangan MR10 x CML161
Nei9008 x CML161 2x 2
Rerata ± SD
Interval (%)
g2
0.1
0.4
0.0 ± 0.0 tn
0.0 –0.0
-
-
95.7 –100
0
2.3
99.0 ± 0.3 tn 98.0 –100
0
0.5
60.0 ± 2.0 tn
36.4 –70.8
35.1
53.5
28.6 ± 1.3 tn 21.0 - 39.1
6.4
17.2
F2
59.0 ± 1.5 tn
47.4 –67.0
1.6
19.4
35.1 ± 1.4 tn 25.2 - 47.9
12.5
22.9
F3
54.2 ± 0.8**
6.3 –100
324.8
101.9
41.8 ± 0.6**
249.5
76.3
BC1P1
32.5 ± 1.0 tn
26.1 –41.2
3.9
10.0
23.9 ± 0.9 tn 20.0 - 31.8
4.8
8.7
BC1P 2
78.2 ± 1.7 tn
68.6 –88.8
7.0
28.3
56.7 ± 1.3 tn 50.3 –64.6
3.0
15.2
Generasi
Rerata ± SD
Interval (%)
g2
P1
2.2 ± 0.2tn
1.3 - 3
P2
99.6 ± 0.6 tn
F1
Keterangan:
g
4.2 –85.7
2x 2 g
Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi
g2
= Keragaman genetik; 2g = standar deviasi keragaman genetik; Hbs = Heritabilitas dalam arti
luas; - = data tidak dianalisis karena tidak ada infeksi bulai
Nilai duga ragam genetik yang disajikan pada Tabel 2, menunjukkan bahwa variabilitas genetik dari setiap generasi pada kedua set persilangan menurut kriteria Anderson dan Brancoff (1952) tergolong sempit, kecuali pada generasi F3 yang tergolong luas. Hal ini menunjukkan bahwa segregasi puncak terjadi pada generasi F3. Kejadian ini disebabkan karena data yang digunakan merupakan data persentase antar famili, bukan berupa skoring terhadap individu tanaman, sehingga secara teoritis variabilitas genetik yang timbul pada tetua, F1, generasi silang balik, dan F2 adalah keragaman antara individu dalam famili yang sama yang ditimbulkan oleh ragam lingkungan. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Takdir (2003) yang melaporkan bahwa tidak ditemukan
27
adanya keragaman genetik yang nyata antar famili pada generasi P1, P2, F1, F2, BC1P1, dan BC1P2. Variabiliatas genetik dapat terjadi karena adanya gen-gen yang bersegregasi dan berinteraksi dengan gen pada generasi tersebut sehingga tingkat heterosigositasnya tinggi (Crowder, 1988). Sebaran Frekuensi Generasi F3 Uji normalitas untuk pola sebaran frekuensi terhadap pola distribusi berlanjut tingkat penularan penyakit bulai menurut aturan Sturgers (Siregar, 2004) disajikan pada Tabel 3. Sebaran frekuensi generasi F3 dari kedua set persilangan disajikan pada Gambar 6. Tabel 3 menunjukkan bahwa persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi F3 dari kedua set persilangan menyebar normal Tabel 3.
Uji normalitas persentase penularan terhadap P. maydis pada generasi F3 set persilangan galur jagung Set Persilangan Parameter MR10 x CML161
Nei9008 x CML161
Rerata
54.2
41.8
Simpangan baku (S)
19.0
17.0
2 χ
8.2tn
7.4 tn
p-v
0.3
0.4
Keterangan:
Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi;
t
n
= tidak nyata; Nilai chi-square0.05: db 7 = 14.07; Nilai chi-square0.01: db 7 = 12.02; p-v = nilai peluang (p-v > 0.05 = sesuai dengan hipotesis)
35
Frekuensi
30 25 MR10 20 Nei9008 15 10
MR10 Nei CML161
5
0
0
Gambar 6.
Sebaran frekuensi penularan terhadap P. maydis generasi F3 pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008
28
Pada Gambar 6 terlihat bahwa pola distribusi penularan penyakit bulai pada genotip uji untuk generasi F3 dari set persilangan MR10 x CML161 cenderung mengarah ke tetua rentan, sedangkan untuk set persilangan Nei9008 x CML161 berada di antara nilai tengah tetua resisten dengan tetua rentan. Namun demikian, dari hasil analisis statistik sebaran normal mengindikasikan bahwa terdapat gen-gen bersifat kuantitatif yang mengendalikan ketahanan penyakit bulai. Hal ini sejalan dengan beberapa penelitian sebelumnya yang menyimpulkan bahwa pola pewarisan ketahanan penyakit bulai pada tanaman jagung dikendalikan oleh gen-gen minor atau poligenik dan bersifat aditif (Handoo et al., 1970; Hakim dan Dahlan, 1972; Pamin 1980; Ruswandi et al., 2002; Azrai dan Kasim, 2003).
Kesesuaian Model Genetik Untuk mengetahui model aksi gen yang mengendalikan karakter ketahanan 2 terhadap P. maydis dari dua set persilangan yang diuji, diperlukan uji χ . Model genetik
yang paling sederhana adalah model genetik aditif dominan yang terdiri atas komponen rata-rata tetua (m), pengaruh aksi gen aditif [d], dan pengaruh aksi gen dominan [h]. Hasil uji skala (scalling test) terhadap rata-rata generasi sesuai dengan metode Singh dan Chaudary (1979) disajikan pada Tabel 4. Tabel 4. Uji skala untuk menguji model aditif dominan untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua pasang persilangan galur jagung Skala A B C D
Set Persilangan MR10 x CML161 Ragam Nei9008 x CML161 2.83 ± 2.81 tn -3.13 ± 3.96tn 14.06 ± 7.13 * -2.78 ± 4.47 tn
7.92 15.71 50.92
19.07 ± 2.13 ** -14.26 ± 2.90 ** -15.90 ± 6.14 * -1.84 ± 3.85 tn
20.02 Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi;
Ragam 4.54 8.38 37.75 14.84
A = 2BC1P1-P1-F1; B= 2BC1P2-P2-F1; C = 4F2-2F1-P1-P2; D = 4F3-2F2-P1-P2; ** = nyata pada taraf uji t 1% = 2.58; * = nyata pada taraf uji t 5% = 1.96; tn = tidak nyata
Hasil uji skala pada Tabel 4, menunjukkan bahwa nilai skala C pada set persilangan MR10 x CML161 berbeda nyata dengan hipotesis nol, sedangkan nilai skala A, B, dan D tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan bahwa model aksi gen ketahanan terhadap P. maydis pada set persilangan tersebut tidak cukup dijelaskan dengan mengikuti model aksi gen aditif-dominan. Demikian pula halnya dengan set persilangan antara Nei9008 x CML161, nilai skala A, B, dan C masing-masing berbeda sangat nyata dengan nol, sedangkan nilai skala D tidak berbeda nyata. Dengan adanya nilai skala yang berbeda nyata pada kedua set persilangan tersebut, menunjukkan adanya pengaruh
29
interaksi antar lokus (non alelik) sehingga untuk menguji kesesuaian model interaksinya diperlukan uji skala gabungan dengan menggunakan seluruh generasi secara bersamasama (Mather dan Jinks, 1982). Hasil uji skala gabungan untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis untuk kedua set persilangan yang digunakan disajikan pada Tabel 5. 2 Tabel 5. Uji χ dua persilangan galur jagung menggunakan beberapa model genetik
Persilangan MR10 x CML161
Nei9008 x CML161
Model genetik m [d] m [d] [h] m [d] [h] [i] m [d] [h] [j] m [d] [h] [l] m [d] [h] [i] [j] m [d] [h] [i] [l] m [d] [h] [j] [l] m [d] [h] [i] [j] [l] m [d] m [d] [h] m [d] [h] [i] m [d] [h] [j] m [d] [h] [l] m [d] [h] [i] [j] m [d] [h] [i] [l] m [d] [h] [j] [l] m [d] [h] [i] [j] [l]
2 χ 101.62**
90.85
**
tn
7.49 7.77
tn
8.14* 4.93 tn 7.38 * 6.11* 11.65* 355.66 ** 138.26 ** 5.06 tn 14.03* 102.78 ** 2.40 tn 0.34 tn 10.71 * 0.01tn
Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; **
= nyata pada taraf uji chi-square 1%; * = nyata pada taraf uji chi-square 5% = tidak nyata; Nilai chi-square0.05: db 5 = 11.07; db 4 = 9.49; db 3 = 7.82; db 2 = 5.99; db 1 = 3.84 tn
Beberapa model genetik memperlihatkan nilai kebaikan suai yang cukup kontras 2 antara kedua set persilangan pada generasi yang sama. Dari hasil analisis χ diketahui
bahwa penyebab perbedaan tersebut disebabkan karena adanya penyimpangan nilai yang cukup besar antara nilai pengamatan dengan nilai duganya sehingga menimbulkan selisih nilai yang tinggi. Dari uji kebaikan suai untuk set persilangan MR10 x CML161 diperoleh tiga model genetik yang sesuai yaitu: m [d] [h] [i]; m [d] [h] [j]; m [d] [h] [i] [j]. Hal ini menunjukkan bahwa komponen genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis untuk set persilangan tersebut terdiri atas gen aditif, dominan, interaksi aditif x aditif, dan interaksi aditif x dominan. Model aksi gen yang sesuai dengan set persilangan Nei9008 x CML161 yaitu: m [d] [h] [i]; m [d] [h] [i] [j]; m [d] [h] [i] [l], dan m [d] [h] [i] [j] [l]. Model aksi gen tersebut menunjukkan bahwa aksi gen aditf, dominan, interaksi aditif x aditif,
30
interaksi aditif x dominan, dan interaksi dominan x dominan berkontribusi untuk ketahanan genetik pada set persilangan Nei9008 x CML161 terhadap P. maydis. Untuk mengetahui komponen genetik yang berkontribusi nyata terhadap karakter ketahanan terhadap P. maydis dari kedua set yang digunakan, dilakukan uji t. Uji t untuk komponen dari model-model genetik yang digunakan adalah model genetik yang mempunyai komponen yang paling lengkap seperti yang disajikan pada Tabel 6. Tabel 6. Komponen genetik dan galat baku dari model genetik yang sesuai pada uji X2 untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada dua set persilangan galur jagung. Persilangan MR10 x CML161
Model yang sesuai m [d] [h] [i] [j]
Nei9008 x CML161
m [d] [h] [i] [j] [l]
Komponen genetik m = 53.07 ± 1.26 [d] = -48.67 ± 0.35** [h] = 7.12 ± 2.14** [i] = -2.20 ± 1.11* [j] = 5.22 ± 3.26tn m = 50.94 ± 3.30 [d] = -37.37 ± 9.07** [h] = -41.06 ± 15.03** [i] = 20.72 ± 6.33 ** [j] = -10.96 ± 18.76 tn [l] = 18.76 ± 12.11 tn
Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; ** = nyata pada taraf uji t 1% = 2.58; * = nyata pada taraf uji t 5% = 1.96; tn = tidak nyata
Hasil uji t pada Tabel 6, menunjukkan bahwa gen-gen aditif [d] dan dominan [h] berkontribusi sangat nyata pada kedua set persilangan yang digunakan. Selain itu, komponen interaksi gen aditif x aditif [i] masing-masing sangat nyata dan nyata pada set persilangan MR10 x CML161 dan Nei9008 x CML161. Nilai komponen genetik aditif yang bertanda sama dengan interaksi aditif x aditif pada set persilangan MR10 x CML161 menunjukkan adanya interaksi gen yang bersifat epistasis komplomenter, sedangkan pada set persilangan Nei9008 x CML161 komponen genetik aditif bertanda sama dengan interaksi aditif x aditif menunjukkan adanya interaksi gen yang bersifat epistasis duplikat (Hill et al, 1998) Kontribusi gen-gen aditif untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis lebih tinggi daripada gen-gen dominan pada set persilangan MR10 x CML161 dan sebaliknya pada set persilangan Nei9008 x CML161 relatif seimbang (Tabel 6). Selain itu, interaksi gen aditif x aditif masing-masing berkontribusi nyata dan sangat nyata pada set persilangan MR10 x CML161 dan set persilangan Nei9008 x CML161. Kontribusi yang nyata dari interaksi gen aditif x aditif pada set persilangan tersebut dapat meningkatkan
31
variasi antara famili generasi F3 dan ini dapat difiksasi (Singleton, 1967). Ragam aditif mencerminkan nilai pewarisan (breeding value) yang merupakan penyebab utama kemiripan antara famili sehingga menjadi penentu utama dalam penurunan suatu sifat, sedangkan ragam dominan dapat dimanfatkan jika varietas hibrida yang menjadi tujuan program pemuliaan (Hallauer dan Miranda, 1981).
Parameter Genetik Gabungan Generasi Nilai parameter genetik dari kedua set persilangan disajikan pada Tabel 7. Pada set persilangan MR10 x CML161 memiliki nilai ragam genetik (dominan dan aditif), ragam lingkungan dan fenotip serta ragam interaksi genetik x lingkungan yang lebih luas dibandingkan dengan ragam pada set persilangan Nei9008 x CML161. Kedua set persilangan yang digunakan juga mempunyai nilai duga heritabilitas dalam arti luas yang tergolong tinggi berdasarkan kriteria yang digunakan oleh McWhirter (1979) yaitu masing-masing sebesar 0.78 untuk set persilangan MR10 x CML161 dan 0.76 untuk set persilangan Nei9008 x CML161. Berbeda halnya dengan nilai duga heritabilitas dalam arti sempit, dimana kedua set persilangan menunjukkan nilai heritabilitas yang tergolong sedang yaitu masing-masing sebesar 0.46 untuk set persilangan MR10 x CML161 dan 0.47 untuk set persilangan Nei9008 x CML161. Nilai duga heritabilitas merupakan suatu ukuran sampai sejauh mana fenotip yang tampak sebagai refleksi genotip, atau hubungan antara keragaman genetik dengan keragaman fenotipiknya (Fehr, 1987). Nilai duga heritabilitas yang tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih berperan dari faktor lingkungan. Begitu pula sebaliknya bila nilai duga heritabilitas rendah, menunjukkan bahwa faktor lingkungan lebih berperan daripada faktor genetik (Sjamsudin, 1990). Nilai heritabilitas dalam arti sempit yang tergolong sedang pada kedua set persilangan yang digunakan menunjukkan bahwa faktor lingkungan cukup berpengaruh pada pewarisan ketahanan terhadap P. maydis sehingga seleksi akan lebih efektif jika dilakukan pada generasi lebih lanjut. Dengan keberadaan interaksi gen yang bersifat epistasis duplikat pada set persilangan Nei9008 x CML161, maka disarankan proses seleksi dilakukan secara hati-hati dan tidak dilakukan pada generasi awal yang masih bersegregasi (Stoskpf, 1993).
32
Tabel 7.
Parameter genetik untuk karakter ketahanan pada dua pasang persilangan galur jagung terhadap P. maydis Parameter VA VD VE VP VI Hbs Hns Hns/Hbs (%)
Set Persilangan MR10 x CML161 Nei9008 x CML161 65.12 37.40 26.03 14.38 31.63 18.82 122.78 70.60 19.41 8.51 0.78 0.76 0.46 0.47 58.90 62.03
Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; VA = jumlah ragam aditif; VD = jumlah ragam dominan; VE = jumlah ragam lingkungan; VI = jumlah ragam interaksi genetik x lingkungan; Vp = jumlah ragam fenotip; Hbs = Heritabilitas dalam arti luas; Hns = Heritabilitas dalam arti sempit
Efek dominansi berdasarkan rasio heritabilitas disajikan pada Tabel 7. Menurut Moeljopawiro (1986), nisbah antara nilai heritabilitas dalam arti sempit terhadap nilai heritabilitas dalam arti luas menggambarkan besarnya porsi ragam aditif terhadap total ragam genetik. Karakter yang mempunyai nisbah Hns/Hbs < 50%, berarti karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen dominan, dan bila mempunyai nilai nisbah Hns/Hbs > 50%, berarti karakter tersebut dikendalikan oleh aksi gen aditif. Berdasarkan kriteria tersebut, aksi gen-gen aditif mempunyai porsi yang lebih besar dalam mengendalikan karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua set persilangan yang digunakan. Oleh karena kedua set persilangan yang digunakan memiliki ragam aditif yang lebih tinggi daripada ragam dominan, maka peluang pewarisan karakter ketahanan terhadap P. maydis dari kedua persilangan tersebut cukup tinggi sehingga sangat bermanfaat dalam proses seleksi untuk mengintrogresikan gen resisten ke galur jagung rentan terhadap penyakit tersebut, namun punya nilai ekonomis tinggi, seperti pada galur-galur QPM . KESIMPULAN 1. Estimasi variabilitas genetik dari tiap generasi pada kedua set persilangan tergolong sempit, kecuali generasi F3 yang tergolong luas. 2. Nilai duga heritabilitas dalam arti sempit dari tiap generasi pada kedua set persilangan tergolong rendah sampai sedang, kecuali generasi F3 yang tergolong luas. Dari hasil analisis gabungan rata-rata generasi pada kedua pasang persilangan diperoleh nilai duga heritabilitas dalam arti luas tergolong tinggi, sedangkan dalam arti sempit tergolong sedang.
33
3. Pola distribusi penularan konidia patogen bulai genotip uji pada generasi F3 dari set persilangan MR10 x CML161 cenderung mengarah ke tetua rentan, sedangkan dari set persilangan Nei9008 x CML161 berada di antara nilai tengah tetua resisten dengan tetua rentan, namun keduanya berdistribusi normal. Terdapat gengen yang bersifat kuantitatif dalam mengontrol ketahanan penyakit bulai. 4. Model genetik karakter ketahanan terhadap P. maydis yang sesuai untuk set persilangan MR10 x CML161 adalah m [d] [h] [i] [j], sedangkan untuk set persilangan Nei9008 x CML161 yaitu: m [d] [h] [i] [j] [l]. 5. Aksi gen aditif dan dominan dari kedua set persilangan berkontribusi nyata untuk karakter ketahanan terhadap P. maydis pada kedua set persilangan. Set MR10 x CML161 diperankan oleh aksi gen aditif dominan dengan pengaruh interaksi non alelik aditif komplementer epistasis dan non alelik aditif duplikat epistasis pada set persilangan Nei9008 x CML161.
34
Penelitian II: Introgresi Gen Resesif Mutan o2 ke Galur Jagung Resisten tehadap Penyakit Bulai dengan Pendekatan MAS Pendahuluan Kegiatan pemuliaan dengan cara konvensional untuk merakit jagung yang bermutu protein tinggi cukup rumit karena memerlukan waktu yang lama dan bahan genetik yang banyak. Hal ini disebabkan karena alel-alel mutan o2 dikendalikan oleh gen resesif (AMBIONET, 2002), sehingga menyulitkan seleksi galur-galur potensial unggul QPM dalam kondisi heterosigot. Kemajuan di bidang pemuliaan molekuler (molecular breeding) dengan memanfaatkan marka DNA sebagai alat bantu seleksi (MAS = Marker Assisted Selection) diharapkan dapat membantu mengatasi masalah yang dihadapi dalam pemuliaan konvensional. Salah satu syarat utama yang harus dipenuhi suatu marka DNA dalam kegiatan MAS untuk mengintrogresikan alel-alel yang dinginkan adalah posisi marka tersebut sangat dekat dengan gen target, dan akan lebih baik lagi jika DNA berbasis marka diperoleh dari sekuen gen target itu sendiri. Untuk kegiatan MAS pada kegiatan pemuliaan jagung bermutu protein tinggi menggunakan marka SSR yang didesain dengan menggunakan informasi sekuen DNA yang tersedia untuk alel opaque-2 yang mengendalikan peningkatan lisin dan triptofan pada biji jagung. Ketiga marka DNA tersebut terletak pada kromosom 7, bin 7.01 yaitu: phi057 dan phi 112 yang dikembangkan oleh Pioneer Hibreed, serta umc1066 yang dikembangkan oleh proyek jagung Universitas Missouri, Columbia (Chin et al. 1996). Sekuen ketiga pasangan primer tersebut dapat diperoleh dari situs www.agron.missouri.edu/ssr.htm sebagai berikut: Phi112
F:5’ -TGCCCTGCAGGTTCACATTGAGT-3’ R:5’ -AGGAGTACGCTTGGATGCTCTTC-3’
Umc 1066F:5’ - ATGGAGCACGTCATCTCA ATGG-3’ R:5’ - AGCAGCAGCAACGTCTATGACACT-3’ Phi057
F:5’ - CTCATCAGT GCCGTCGTCCAT-3’ R:5’ - CAGTCGCAAGAAACCGTTGCC-3’
Primer phi057 memiliki tingkat polimorfisme yang rendah sehingga polimorfisnya hanya dapat divisualisasi dengan menggunakan gel poliakrilamid, sedangkan phi112, dan umc1066 selain dapat divisualisasi dengan gel poliakrilamid, juga dapat divisualisasi
35
dengan menggunakan super fine agarose (metafor) dengan konsentrasi 3 –4 % (Mereille, 2002). Ketiga marka SSR tersebut memiliki kemampuan untuk membedakan alel mutant o2 dengan alel O2 sehingga kegiatan introgresi gen o2 dari galur QPM ke galur jagung normal yang resisten terhadap penyakit bulai pada skema silang balik dapat menjadi lebih efektif dan efisien. Oleh karena ketiga marka DNA tersebut di desain dari daerah amplifikasi sekuen DNA yang tersedia
untuk alel opaque-2, maka tingkat akurasi
deteksinya cukup tinggi. Berdasarkan hal tersebut, pada penelitian ini dipilih dua marka SSR yaitu phi057 dan umc1066 sebagai alat bantu seleksi genotip yang membawa alel resesif mutan opaque-2 pada setiap generasi silang balik dan penyerbukan sendiri. Tujuan penelitian ini adalah mengintrogresikan gen resesif mutan opaque-2 dari galur QPM ke galur jagung normal yang resisten terhadap penyakit bulai dengan menggunakan marka SSR sebagai alat bantu seleksi dan mengevaluasi penampilan galur-galur yang telah memilik gen homosigot resesif opaque-2. Bahan dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Biologi Molekuler dan di Kebun Percobaan Cikeumeuh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik (BBPP Biogen), Laboratorium AMBIONET di IRRI, Los Banos dan Laboratorium Tanah dan Biokimia CIMMYT, Mexico. Kegiatan penelitian MAS (Marker Assisted Selection) berlangsung dari September tahun 2004 sampai Februari 2006, sedangkan kegiatan penampilan galur yang terseleksi memiliki gen homosigot opaque-2 berlangsung dari akhir Februari –Juni 2006. Bahan Penelitian Bahan genetik yang digunakan untuk introgresi gen resesif o2 adalah galur CML 161 sebagai tetua donor gen o2 (oo), galur resisten terhadap penyakit bulai sebagai tetua pemulih, yaitu Nei9008 dan MR10, hibrida CML-161 x Mr-10 dan CML-161 x Nei 9008 serta progeni silang balik CML-161 x Mr-10 // Mr-10 dan CML-161 x Nei 9008 // Nei 9008 (BC1F1, BC2F1, BC3F1, BC3F2). Diskripsi galur-galur tetua persilangan disajikan pada Lampiran 10. Marka SSR yang digunakan sebagai marka penyeleksi gen opaque-2
36
adalah umc1066 untuk menyeleksi progeni CML 161 x Mr-10 dan phi057 untuk menyeleksi progeni CML 161 x Nei9008. Pemilihan marka didasarkan pada studi pendahuluan dimana marka tersebut secara konsisten polimorfis antara masing-masing alel opaque2 dari tetua persilangan yang digunakan. Materi genetik yang digunakan pada penelitian evaluasi penampilan agronomis galur-galur hasil introgresi gen homosigot resesif o2 adalah 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2 serta empat galur sebagai cek yaitu CML161, MR10, Nei9008 dan CML165. Pelaksanaan Penelitian Pelaksanaan penelitian menggunakan metode MAS 1 (Parsial) (Dreher et al, 2000) seperti yang disajikan pada skema penelitian Lampiran 1. Kegiatan penelitian terdiri atas: 1) introgresi gen resesif o2 dengan metode silang balik; 2) deteksi gen resesif o2 pada individu tanaman generasi silang balik dengan mengunakan marka SSR; 3) evaluasi penampilan agronomis dari galur-galur yang terseleksi memiliki gen homosigot resesif o2 Introgresi gen resesif o2 dengan metode silang balik Dua puluh satu genotip (tongkol) galur CML161 (tetua donor gen oo) dan masingmasing lima galur MR10 dan Nei9008 (tetua pemulih) ditanam pada petakan baris tunggal dengan jarak tanam 70 cm x 20 cm. Galur CML 161 masing-masing disilangkan dengan tetua pemulihnya untuk mendapatkan masing-masing 105 tongkol F1, kemudian benih tersebut ditanam kembali dan disilangkan dengan tetua pemulihnya untuk membentuk genotip silang balik (BC1F1). Individu tanaman BC1F1 yang teridentifikasi memiliki gen heterosigot untuk gen opaque (Oo) dengan menggunakan marka SSR spesifik, disilang balik ke tetua pemulihnya untuk membentuk BC2F1. Kegiatan seperti ini diulangi untuk membentuk BC3F1. Individu tanaman BC3F1 yang teridentifikasi memiliki gen heterosigot untuk gen opaque disegregasikan untuk membentuk genotip BC3F2, kemudian benih BC3F2 ditanam kembali untuk diskrining dengan menggunakan marka SSR spesifik untuk gen opaque. Tanaman BC3F2 yang teridentifikasi memiliki gen homosigot resesif untuk gen opaque (oo) diserbuksendirikan untuk membentuk galur BC3F3 .
37
Deteksi gen resesif o2 pada individu tanaman generasi silang balik dengan mengunakan marka SSR Kegiatan di laboratorium meliputi isolasi DNA, analisis PCR dan elektroforesis. Isolasi DNA daun jagung dilakukan dengan cara miniprep berdasarkan metode SaghaiMaroof et al. (1984) yang telah dimodifikasi oleh AMBIONET Service Laboratory untuk tanaman jagung (George dan Regalado, 2003). Isolasi DNA dilakukan pada setiap generasi silang balik dan penyerbukan sendiri. Daun muda dengan panjang kurang lebih 10 cm dipanen paling lambat 30 hari setelah tanam. Daun yang dipanen dimasukkan ke dalam plastik yang telah diberi nomor sesuai dengan nomor label yang ada di lapangan, kemudian dimasukkan ke dalam box berisi es. Sampel daun tersebut diisolasi DNAnya dengan bantuan liquid nitrogen di laboratorium. Sampel daun per nomor digerus sampai terbentuk serbuk halus dalam tabung eppendorf berukuran 2.0 mL dengan menggunakan sumpit. Setelah daun menjadi serbuk halus, ditambahkan 0.5 ml buffer ekstraksi CTAB (Cetyltrimethylammonium bromide) panas yang mengandung -mercaptoethanol dengan konsentrasi 2l/ml larutan (komposisi larutan pada Tabel 8) kemudian diinkubasi pada suhu 65o C dalam waterbath selama 30 menit. Selama proses inkubasi, tabung ependorf dijentik-jentik setiap 10 menit. Setelah proses inkubasi selesai, tabung ependorf dikeluarkan dari waterbath dan didinginkan pada suhu ruang (10 menit) kemudian ditambahkan 500 l Chloroform isoamylalcohol (Chisam, 24:1 v/v). Tabung ependorf dijentik-jentik hingga larutan tercampur dengan baik kemudian disentrifugasi pada 12000 rpm selama 10 menit. Supernatan DNA (larutan bening bagian atas) dipindahkan ke tabung ependorf steril 1.5 ml dan ditambahkan 500 l isoprophanol dingin kemudian disimpan dalam freezer -20oC selama 2 jam hingga satu malam. Tabung digoyang secara perlahan hingga muncul DNA berupa untaian benang berwarna putih. DNA yang terbentuk dipisahkan dari larutan supernatan dan isoprophanol dengan cara mengeluarkan larutan tersebut dari tabung ependorf. Endapan DNA dicuci dengan ethanol absolut dingin kemudian diulangi dengan ethanol 70% dingin. Setelah DNA dicuci kemudian dikeringkan dengan cara membalik tabung ependorf yang berisi DNA di atas meja yang telah dialasi tissu. Setelah pelet DNA tersebut kering, DNA dilarutkan dalam buffer 1xTE sesuai dengan besar kecilnya endapan. Untuk menguji kualitas dan kuantitas DNA, dilakukan pengecekan dengan teknik elektroforesis menggunakan agarose 0,8% (0,8 gram agarose dilarutkan dalam 100 ml 0,5 X TBE). Sebanyak 4 l DNA dan 2 l loading dye dicampur di atas microplate kemudian dimasukkan ke dalam masing-masing hole (sumur) gel agarose yang telah dicetak 38
sebelumnya yang dimulai pada sumur ke empat. Pada tiga sumur pertama dimasukkan DNA standar masing-masing pada konsentrasi 10 ng/l, 20 ng/l dan 100 ng/l yang telah dicampur dengan 2 l loading dye untuk mengestimasi konsentrasi sampel DNA yang dirunning. Elektoforesis dilakukan pada tegangan listrik 100 volt selama 1,5 jam. Setelah proses elektroforesis selesai, gel direndam dalam ethidium bromida dan dipotret dengan menggunakan gel doc. DNA yang bagus akan memiliki gumpalan besar di dekat sumur gel. Tabel 8. Komposisi larutan buffer isolasi DNA jagung (George dan Regalado, 2003). Reagen
Konsentrasi akhir
CTAB 5 M NaCl 1 M Tris, pH 8,0 0,5 M EDTA, pH 8,0 dd H2O
Kuantitas per 500 ml
2,0% 1,4 M 100,0 mM 20,0 mM
10,00 g 40,91 g 50,00 ml 20,00 ml 379,09 ml
Konsentrasi DNA dapat ditentukan dengan membandingkan DNA sampel dengan DNA standar. Sebagian sampel DNA diencerkan dengan TE 1X menjadi 10 ng/l sebanyak 50 l sebagai larutan DNA kerja dan disimpan pada freezer 4oC, sedangkan untuk stok DNA disimpan pada freezer -20oC. Larutan DNA sebagai stok kerja di PCR dengan campuran untuk satu reaksi disajikan pada Tabel 9. Tabel 9. Komposisi reaksi PCR untuk mikrosatelit Reagan Kosentrasi Stok ddH2O steril --Taq buffer (10X; Mg-free) 10X MgCl2 50 mM dNTPmix 2,5 mM Primer mix (F + R) 5,0 M @ Taq Enzim 5 unit/l DNA 10 ng/l Total
Volume (l) 9,25 1,50 0,75 0,90 0,90 0,20 1,50 15
Konsentrasi akhir --1X 2,5 mM 150 M 0,3M * 1 unit 10 ng/l
* Kedua primer sudah dicampur terlebih dahulu pada tabung yang sama
PCR diset sebanyak 30 siklus dengan tahapan sebagai berikut: Denaturasi pertama 1
94oC selama 2 menit
Denaturasi
1
94oC selama 30 detik
Annealing
2
58-60oC selama 1 menit
Extension
3
72oC selama 1 menit
Final extension
1
72oC selama 5 menit
Penyimpanan
1
4oC sampai tak terhingga 39
Hasil PCR dicek pada gel agarose 1%. Bila didapatkan pita maka separasi akan dilanjutkan pada gel agarose ’ s upe rf i ner e s ol ut i on’untuk menyeleksi progeni CML 161 x Mr-10 dan pada gel polyacrilamide untuk menyeleksi progeni CML 161 x Nei 9008. Separasi hasil PCR sampel DNA progeni CML 161 x Mr-10 dilakukan pada gel agarose 3% yang merupakan campuran agarose metaphor dan agarose seakem dengan perbandingan 2:1. Agarose tersebut dilarutkan pada buffer TBE 1 X kemudian dimasukkan dalam cetakan gel elektroforesis menggunakan 4 comb, 200 sumur dengan jarak migrasi masing-masing sekitar 6 cm. Hasil PCR diberi loading buffer sebanyak 4 l per sampel kemudian dimasukkan ke dalam sumur cetakan masing-masing 10l. Selanjutnya sampel dielektroforesis dengan daya 130 Volts sekitar 2 jam atau bromofenol dari loading buffer telah bermigrasi ke gel berikutnya. Setelah selesai dielekroforesis, gel tersebut di de-staining ke dalam etidium bromida selama 15 menit kemudian difoto pada gel doc. Hasil PCR sampel DNA progeni CML 161 x Nei9008 diseperasi pada gel polyacrilamide 6%. Gel dicetak pada alat pencetak gel (glass plate) merek BioRad. Hasil PCR dipindahkan ke mikroplet yang lain, masing-masing sebanyak 4 l kemudian ditambahkan loading buffer 2l pada setiap lubang mikroplet tersebut. Sampel didenaturasi pada mesin PCR dengan suhu 94oC selama 5 menit. Setelah proses denaturasi selesai, secepat mungkin dimasukkan ke dalam box berisi es.
Sampel
dielektroforesis pada suhu 50oC dengan daya 60 watt selama 55 –60 menit, atau bromophenol dari loading buffer telah mencapai bagian bawah plate. Pewarnaan DNA dilakukan dengan metode silver staining. Plat kaca yang mengandung gel berisi DNA direndam dalam baki yang berisi larutan asam asetat glacial 10% (larutan fiksasi) kemudian digoyang selama 20 menit, atau warna loading buffer pada gel menjadi hilang. Plat kaca dicuci dalam ultra pure water (air yang disuling dua kali) sebanyak 2 kali masing-masing 5 menit. Plat kaca direndam dalam larutan pewarna (silver staining) di atas shaker selama 30 menit, kemudian dibilas dalam air ultra pure selama 10 detik. Plat kaca kemudian direndam dalam larutan developer sehingga akan muncul pita-pita. Setelah itu secepatnya direndam dalam larutan asam asetat selama 5 menit dan dibilas dengan air ultra pure lagi, dan dikering anginkan. Seleksi individu tanaman progeni silang balik bergenotip heterozygot (Oo) didasarkan pada munculnya dua pita pada DNA individu yang dianalisis, sedangkan untuk menyeleksi individu tanaman hasil penyerbukan sendiri yang bergenotip homosigot
40
resesif (oo) didasarkan pada munculnya pita hanya satu, yaitu pada posisi pita yang sama dengan tetua donor opaque-2. Hanya tanaman yang bergenotip Oo disilang balik lebih lanjut hingga diperoleh benih BC3F1. Benih tanaman BC3F1 ditanam lalu dilakukan analisis DNA untuk mendeteksi tanaman bergenotip Oo yang akan disegregasikan lebih lanjut untuk mendapatkan biji BC3F2. Biji BC3F2 ditanam untuk menyeleksi tanaman bergenotip oo. Hanya tanaman yang terseleksi yang akan disilangkan untuk memperoleh benih BC3F3. Evaluasi penampilan hasil dan agronomis dari galur-galur yang terseleksi bergenotip homosigot resesif o2 Sebanyak 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2 serta empat galur sebagai cek (CML161, MR10, Nei9008 dan CML165) diuji penampilan hasil dan agronomisnya di Kebun Percobaan Cikemeuh, Balai Besar Litbang Biogen, Bogor pada MK 2006. Galur-galur tersebut masing-masing ditanam 2 baris dengan jarak tanam 70 cm antar baris dan 20 cm dalam baris, menggunakan rancangan perbesaran, tanpa ulangan (Augmented design). Parameter agronomis yang diamati adalah tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, umur berbunga jantan dan betina, bobot tongkol panen, kadar air, bobot 1000 biji. Hasil biji kering pada kadar air 15% dianalisis dengan menggunakan persamaan (CIMMYT, 1994): 10000
100-KA
Hasil (kg/ha) = ----------- x ----------- x B x 0,80 L.P
100-15
K.A =Kadar Air biji waktu panen L.P = Luas Panen (m2). B = Bobot Tongkol Kupasan (kg) R = Rata-rata rendemen (shelling percentage) HASIL DAN PEMBAHASAN DNA genomik Secara umum, kualitas DNA yang dihasilkan pada setiap isolasi cukup baik (Gambar 7). Dengan kualitas DNA genomik yang cukup baik tersebut pola pita DNA dapat terdeteksi secara optimal dengan metode SSR, terutama pada hasil PCR yang divisualisasi dengan menggunakan agarose’ s upe rf i ner e s ol ut i on’ . Berbeda halnya dengan 41
visualisasi hasil PCR dengan menggunakan gel polyacrilamide, dimana dengan DNA berkualitas rendah sampai sedang masih cukup optimal untuk divisualisasi (Lee, 1998).
Gambar 7.
Profil DNA pada agarose 0.80% dari tanaman yang telah diekstraksi dengan metode CTAB. No 1 dan 2 adalah DNA dengan konsentrasi masingmasing 100 dan 10 ng/l.
Kuantitas DNA yang diperoleh seperti yang disajikan pada Gambar 7 masih bervariasi mulai dari 10 ng sampai 200 ng/μl. Oleh karena itu masih diperlukan pengenceran sehingga kuantitas DNA yang diperoleh untuk kegiatan PCR berkisar 10 – 15 ng/μl (Gambar 8). Pengalaman menunjukkan bahwa umumnya penyebab terjadinya kegagalan amplifikasi produk PCR adalah karena konsentrasi DNA-nya yang tidak tepat.
1 2
Gambar 8.
1
2
3 4 5…
Profil DNA tanaman yang telah diencerkan pada agarose 0.75% dengan menggunakan pembanding 1= 25 ng/l dan 2 = 10 ng/l. DNA nomor urut 1, 2, 3 dan seterusnya sudah siap untuk di analisis PCR.
Seleksi individu heterosigot opaque (Oo) dengan bantuan marka SSR spesifik Sebelum tanaman disilangkan pada setiap generasi silang balik, DNA yang sudah diencerkan dengan konsentrasi 10 –15 ng/μl diamplifikasi dengan mesin PCR. Untuk generasi silang balik CML 161 x Nei9008 menggunakan primer phi057 dan divisualisasi dengan gel poliakrilamid (vertikal) 6% (Gambar 9), sedangkan untuk generasi silang balik CML 161 x MR10 menggunakan primer umc1066 dan divisualisasi dengan agarose metafor 3% (Gambar 10). Daerah amplikasi kedua primer tersebut berada antara 140 (alel o)-160 bp (alel O).
Pemilihan marka SSR spesifik phi057 didasarkan pada hasil survei sebelumnya, dimana marka tersebut memberikan amplifikasi yang polimorfis antara galur CML161 sebagai tetua donor gen resesif opaque-2 dengan galur Nei9008 (Pabendon et al., 2006). Dari penelitian pendahuluan, ternyata hasil produk PCR dengan menggunakan marka SSR spesifik phi057, gen resesif dan dominan opaque-2 hanya dapat diserperasi dengan
42
menggunakan PAGE, sedangkan pada agarose metafor 3% visualisasinya monomorfis. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan deteksi gel agarose ’ s upe rf i ner e s ol ut i on’hanya terbatas pada alel dengan polimorfisme yang cukup tinggi. Oleh karena tingkat resolusi gel akrilamid lebih tinggi dari pada gel agarose, maka gel tersebut
mempunyai
kemampuan yang lebih besar untuk mendeteksi sejumlah besar alel per lokus (Macaulay et al., 2001). 200 bp o M
P1
P2 O 100 bp 12 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 Gambar 9. Profil pita DNA individu tanaman generasi BC2F1 (progeny CML 161 (P2) x Nei9008 (P1) // Nei9008) hasil PCR yang divisualisasi dengan gel polyacrilamid dengan menggunakan primer SSR spesifik phi 057 Walaupun penggunaan gel agarose ’ s upe rf i ner e s ol ut i on’dalam visualisasi hasil produk PCR SSR memiliki keterbatasan (terutama pada DNA dengan panjang fragmen >4 bp (pasang basa)), namun jika suatu fragmen DNA dapat divisualisasi tingkat folimorfisnya dengan agarose, maka pekerjaan teknik SSR bisa lebih cepat dan relatif lebih mudah dilakukan (Prasanna dan Gark, 2002).
P1123456… P2
Gambar 10. Profil pita DNA individu tanaman generasi BC2F1 (progeny CML 161 (P2) x Mr-10 (P1) // MR10) hasil PCR yang divisualisasi pada pada gel Agarose Methapor 3% dengan menggunakan primer SSR spesifik umc1066. Pada Gambar 9 dan 10, terlihat pola pita ganda yang berarti salah satu alelnya sama dengan tetua donor dan alel yang lainnya sama dengan tetua pemulihnya. Individu tanaman yang memiliki heterosigositas (Oo) diseleksi untuk disilangbalikkan lebih lanjut sampai terbentuk genotip BC3F1. Sedangkan pola pita tunggal artinya adalah alel genotip silang balik tersebut mengikuti pola alel tetua pemulihnya (Nei9008 atau Mr-10) yaitu individu homosigot dominan untuk alel opaque.
43
Seleksi individu homosigot opaque (oo) dengan bantuan marka SSR spesifik Benih BC3F2 yang diperoleh pada kegiatan percobaan sebelumnya ditanam masingmasing satu baris per genotip untuk menyaring idividu-individu tanaman yang telah memiliki gen
homosigot resesif opaque-2 (oo) kemudian disilangdalamkan untuk
membentuk genotip BC3F3. Visualisasi hasil PCR genotip BC3F3 disajikan pada Gambar 11 dan 12.
P2
P1
1
2
3
4
5
6
7
8
.
9
Gambar 11. Profil pita DNA individu tanaman generasi BC3F2 (progeni CML 161 (P2) x Nei9008 (P1) // Nei9008) hasil PCR yang divisualisasi dengan gel polyacrilamid dengan menggunakan primer SSR spesifik phi 057 individu tanaman terseleksi
P1 1 2 3 4 M P2 5 6…
Gambar 12. Profil pita DNA individu tanaman generasi BC2F1 (progeny CML 161 (P2) x Mr-10 (P1) // MR10) hasil PCR yang divisualisasi pada pada gel Agarose Methapor 3% dengan menggunakan primer SSR spesifik umc1066. Tabel 10. Nilai Chi-kuadrat rata-rata untuk derajat kecocokan nisbah segregasi silang balik dan penyerbukan sendiri terhadap beberapa nisbah hipotetik. Persilangan CML161 x Nei9008
CML161 x MR10
Jumlah tanaman bergenotip OO Oo oo
Generasi
Nisbah yang diuji
BC1F1
1:1
104
101
BC2F1
1:1
100
BC3F1
1:1
BC3F2
X2
P
-
0.12
0.70-0.90
108
-
0.24
0.50-0.70
104
96
-
0.24
0.50-0.70
1:2:1
48
102
50
0.05
0.90-0.95
BC1F1
1:1
100
96
-
0.05
0.95-1.00
BC2F1
1:1
110
97
-
0.69
0.30-0.50
BC3F1
1:1
98
104
-
0.12
0.70-0.90
BC3F2
1:2:1
57
102
42
1.93
0.30-0.50
Kegiatan MAS pada Gambar 11 dan 12 memperlihatkan bahwa kegiatan seleksi dilakukan dengan cara menyaring individu tanaman yang memiliki pola pita tunggal yang sama dengan tetua donor gen opaque-2 (oo). Jumlah genotip yang tersaring berdasarkan 44
pola pita DNAnya adalah 50 dari 200 individu tanaman genotip BC3F2 dari progeni CML161 x Nei9008 dan 42 dari 201 individu tanaman genotip B3F2
dari progeni
CML161 x MR10 (Tabel 10). Berdasarkan hasil uji Chi-kuadrat, nisbah segregasi genotip BC3F2 dari kedua pasangan persilangan tersebut sesuai dengan nisbah 1 : 2 : 1. Nisbah segregasi tersebut sama dengan yang dilaporkan oleh Babu (2005) yang menggunakan marka spesifik yang sama untuk menyaring materi genetik yang berbeda pada generasi BC2F2. Penampilan agronomis galur hasil introgresi Untuk mengetahui penampilan dari galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo), telah dilakukan evaluasi lapangan terhadap beberapa karakter agronomis dan hasil. Dari 50 progeni CML161 x Nei9008 dan 42 progeni CML161 x MR10 yang tersaring, masing –masing hanya 42 dan 36 genotip yang bisa ditanam kembali. Hal ini disebabkan karena beberapa tongkol yang bijinya tidak bisa dipanen karena busuk dan atau kurang berisi. Hasil evaluasi beberapa karakter agronomis dan potensi hasil biji dari galur-galur hasil introgresi gen opaque-2 (oo) disajikan pada Tabel 11 dan 12. Komponen agronomi yang diamati meliputi tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, umur keluar serbuk sari dan rambut. Pada pengamatan tinggi tanaman, hanya beberapa genotip yang nyata lebih tinggi dari salah satu pembanding (CML161), yaitu MR10+o217, MR10+o2-25, MR10+o2-26, dan MR10+o2-35. Tidak satupun genotip yang memiliki tinggi letak tongkol yang berbeda nyata dari galur pembanding. Galur MR10+o2 umumnya memiliki tinggi tanaman yang relatif lebih tinggi dari galur Nei9008+o2. Hal ini berarti bahwa jika terdapat salah satu pasangan heterotik yang sesuai antara kedua kelompok galur ini, maka galur MR10+o2 sangat cocok untuk dijadikan sebagai tanaman pejantan. Pada karakter 50% umur berbunga, hanya galur Nei9008+o2-13 dan Nei9008+o2-37 yang nyata lebih genjah dibandingkan dengan kedua pembanding. Hasil Uji LSI untuk karakter hasil seperti yang disajikan pada Tabel 11, terlihat bahwa beberapa galur Nei9008+o2 yang memiliki potensi hasil lebih tinggi dari salah satu dan atau kedua galur pembanding. Tiga galur memperlihatkan hasil biji nyata lebih tinggi dari kedua galur pembanding yaitu Nei9008+o2-12 (3.8 t/ha), Nei9008+o2-15 dan Nei9008+o2-12 (3.9 t/ha). Berbeda halnya dengan hasil uji LSI pada Tabel 12, tidak terdapat galur MR10+o2 yang memiliki potensi hasil yang nyata lebih tinggi dari pembanding.
45
Tabel 11. Komponen agronomi dan hasil galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo) progeni CML161 x Nei9008 di lahan kering KP. Cikemeuh, Bogor, MK 2006. Genotip
TT cm
T_Tk cm
UBJ hari
UBB hari
Bobot Tkl
KA %
Y t/ha
Bobot 1000 biji g
Nei9008+o2-1 Nei9008+o2-2 Nei9008+o2-3 Nei9008+o2-4 Nei9008+o2-5 Nei9008+o2-6 Nei9008+o2-7 Nei9008+o2-8 Nei9008+o2-9 Nei9008+o2-10 Nei9008+o2-11 Nei9008+o2-12 Nei9008+o2-13 Nei9008+o2-14 Nei9008+o2-15 Nei9008+o2-16 Nei9008+o2-17 Nei9008+o2-18 Nei9008+o2-19 Nei9008+o2-20 Nei9008+o2-21 Nei9008+o2-22 Nei9008+o2-23 Nei9008+o2-24 Nei9008+o2-25 Nei9008+o2-26 Nei9008+o2-27 Nei9008+o2-28 Nei9008+o2-29 Nei9008+o2-30 Nei9008+o2-31 Nei9008+o2-32 Nei9008+o2-33 Nei9008+o2-34 Nei9008+o2-35 Nei9008+o2-36 Nei9008+o2-37 Nei9008+o2-38 Nei9008+o2-39 Nei9008+o2-40 Nei9008+o2-41 Nei9008+o2-42 CML161 (Cek-1) Nei9008 (Cek-2) LSI 5% KK %
90 84 104 93 83 103 94 103 94 83 90 88 113 101 118 94 100 109 97 103 100 85 97 105 98 92 108 80 105 102 111 111 81 97 106 97 99 94 99 103 109 110 101 99 18.4 6.6
36 30 46 47 33 47 34 43 41 31 36 33 46 48 59 47 46 53 42 52 47 42 58 52 33 44 53 37 57 52 47 52 33 48 50 42 52 44 44 53 52 51 50 47 19.3 15.9
59 59 60 60 60 58 59 60 59 61 59 58 58 58 61 61 60 60 60 61 61 61 61 60 60 60 61 61 61 62 60 60 60 61 61 60 57 61 60 61 61 61 59 60 1.6 1.1
60 60 62 61 61 60 60 61 60 62 61 60 58ab 59 62 62 62 60 61 62 63 61 62 60 62 61 62 62 60 64 60 60 60 61 61 60 58 ab 61 60 61 61 61 61 61 1.4 1.1
3.3 a 3.7 a 3.1 a 2.8 2.5 2.6 1.9 3.4 a 3.4 a 2.6 2.5 3.6 a 3.3 a 3.4 a 3.8 ab 2.6 2.6 3.7 a 2.1 3.2 a 3.3 a 2.8 3.2 a 3.5 a 2.7 3.5 a 2.1 2.1 3.6 a 3.7 a 4.0 a b 2.3 2.8 2.6 2.7 2.9 2.2 3.3 a 3.1 a 3.3 a 3.1 a 3.5 a 2.6 3.4 0.4 5.1
24.8 25.2 21.5 ab 31.6 25.5 26.5 22.0 ab 34.4 27.5 28.2 18.3 ab 21.1 ab 20.6ab 20.7 ab 25.2 24.9 24.2 25.5 24.4 21.2 ab 31.4 22.2 ab 25 25.7 24 28.7 24.9 22.0 ab 27.3 25 27.3 27.4 28.3 26.2 26.4 28.1 21.6 28.3 34.9 35.5 26.2 32 26.2 25.8 3.7 5.5
3.3 a 3.7 3.3 a 2.5 2.5 2.5 2.1 2.9 3.3 a 2.5 2.8 3.8 ab 3.5 a 3.6 a 3.9 ab 2.6 2.6 3.7 a 2.1 3.4 a 3.1 a 2.9 3.2 a 3.5 a 2.7 3.4 a 2.2 2.2 3.6 a 3.7 a 3.9 ab 2.2 2.7 2.6 2.6 2.8 2.3 3.2 a 2.7 2.8 3.1 a 3.2 a 2.5 3.3 0.3 5.0
284.8 204.8 234.8 294.8 294.8 314.8 a 224.8 344.8 ab 254.8 294.8 214.8 314.8 a 274.8 202.8 260.5 300.5 320.5 ab 260.5 245.5 320.5 ab 280.5 340.5 ab 340.5 ab 210.5 250.5 280.5 270.5 290.5 284.8 324.8 ab 254.8 164.8 304.8 114.8 246.8 224.8 344.8 ab 282.8 254.8 264.8 194.8 184.8 260.0 271.0 46.6 6.9
a
=nyata lebih baik dari cek-1(CML161) dan b = nyata lebih baik dari cek-2 (Nei9008) pada taraf 5 % LSI. Keterangan: TT = Tinggi tanaman (cm), (2) T_Tkl = Tinggi letak tongkol (cm), UBJ = Umur 50 % keluarnya pollen (hari), UBB = Umur50 % keluarnya rambut (hari), KA = kadar air, Y = hasil biji pada kadar air 15 % , (5) Bbj = bobot 1000 biji pada kadar air 15 % (g); Inf = Infeksi.
46
Tabel 12. Komponen agronomi dan hasil galur-galur hasi introgresi gen opaque-2 (oo) progeni CML161 x MR10 di lahan kering KP. Cikemeuh, Bogor, MK 2006. Genotip
MR10+o2-1 MR10+o2-2 MR10+o2-3 MR10+o2-4 MR10+o2-5 MR10+o2-6 MR10+o2-7 MR10+o2-8 MR10+o2-9 MR10+o2-10 MR10+o2-11 MR10+o2-12 MR10+o2-13 MR10+o2-14 MR10+o2-15 MR10+o2-16 MR10+o2-17 MR10+o2-18 MR10+o2-19 MR10+o2-20 MR10+o2-21 MR10+o2-22 MR10+o2-23 MR10+o2-24 MR10+o2-25 MR10+o2-26 MR10+o2-27 MR10+o2-28 MR10+o2-29 MR10+o2-30 MR10+o2-31 MR10+o2-32 MR10+o2-33 MR10+o2-34 MR10+o2-35 MR10+o2-36 CML161 (cek-1) MR10 (Cek-2) LSI 5% KK % a
TT
T_Tk
UBJ
UBB
Bobot
KA
Y
Bobot 1000 biji
cm
cm
hari
hari
Tkl
%
t/ha
g
104 113 116 114 126 131 126 120 113 103 108 106 116 107 129 126 140 a 120 124 105 131 111 121 121 137 a 150 a 114 126 109 107 110 126 111 105 136 a 134 116 126 17.8 5.7
40 53 52 44 52 56 57 56 58 44 45 48 55 50 60 59 58 48 50 48 50 55 55 55 58 73 55 60 50 48 45 49 47 48 57 60 52 52 25.0 19.9
57 55 57 57 57 56 57 58 57 57 58 57 58 58 58 56 55 56 56 57 56 57 57 57 57 57 58 57 58 57 57 57 57 56 57 57 57 56 2.9 2.0
59 58 58 59 58 57 58 60 59 58 59 58 60 59 60 58 56 57 57 58 57 59 58 58 59 58 60 59 59 58 58 58 58 57 59 58 58 56 4.1 2.8
1.8 3.5 2.8 2.9 2.7 2.3 3.7 2.5 2.9 2.5 2.9 4 2 3.1 3.4 3.6 2.4 3.2 2.7 3.8 2.4 2.8 2.2 3.5 3.6 3.7 2.9 2.1 3.9 3.1 4.3 2.5 3.6 4.6 a 3.9 1.8 3.1 3.8 1.2 14.0
23.4 22.9 24.8 23.5 21.4 25 23.8 23.5 23.1 25.7 21.7 25.6 22.2 23.2 24.8 24.1 19.9 21.3 25 18.7b 20.7 23 22.1 22 24.2 21.5 25.7 21 22.3 23.2 25.5 24.2 24.5 19.7 19.5 a 16.9 22.7 19.5 3.1 5.8
1.9 3.6 2.8 3.0 2.9 2.2 3.8 2.6 3.0 2.5 3.1 4.0 2.1 3.2 3.4 3.7 2.6 3.4 2.8 4.2 2.6 2.9 2.3 3.7 3.7 4 2.9 2.2 4.0 3.1 4.3 2.6 3.7 3.9 4.2 2.1 3.3 4.1 1.3 14.4
260.4 234.4 267.7 228.3 278.1 224.4 271.2 258.9 270.3 311.3 237.5 300.2 262.7 261.4 224.9 252.2 248.1 235.2 293.8 265.6 244.9 288.5 254.3 263.3 195.3 221.3 279 262.4 270.1 261 261.4 253.8 286.6 226.7 248.5 282.1 239.8 259.8 73.7 11.9
= nyata lebih tinggi dari cek-1(CML161) dan
Keterangan:
b
= nyata lebih baik dari cek-2 (MR10) pada taraf 5 % LSI.
TT = Tinggi tanaman (cm), (2) T_Tkl = Tinggi letak tongkol (cm), UBJ = Umur 50 % keluarnya pollen (hari), UBB = Umur50 % keluarnya rambut (hari), KA = kadar air, Y = hasil biji pada kadar air 15 % ,
Pengetahuan tentang potensi hasil galur sangat penting karena terkait dengan produksi benih hibrida. Salah satu kendala yang sering muncul dalam produksi benih hibrida adalah karena induk betina merupakan galur penyerbukan sendiri yang pada 47
umumnya memiliki produktivitas rendah (Poespodarsono, 1988). Galur yang memiliki potensi hasil tinggi juga memberi produktivitas benih hibrida yang tinggi. Permasalahan yang sering muncul di lapangan adalah tidak selamanya galur yang potensi hasilnya tinggi mendapatkan pasangaan heterotik yang sesuai untuk mendapatkan potensi hasil benih hibrida yang tinggi.
A
B
Gambar 13.
C
Penampilan tongkol galur jagung Nei9008 hasil introgresi gen homosigot resesif opaque-2 pada generasi BC3F3 Tampak dari kiri ke kanan (A) biji dengan opaque berwarna buram, (B) biji dengan opaque-semi buram dan (C) modifikasi opaque sempurna.
Selain potensi hasil, penampilan biji juga perlu mendapat perhatian dalam seleksi karena terkait dengan kelemahan penampilan biji dari QPM yaitu fenotipe biji yang lunak dan berkapur (Bjarnason dan Vasal, 1992). Hasil penelitian menunjukkan bahwa warna biji yang diperoleh bervariasi yaitu modifikasi biji opaque kurang dari 25%, modifikasi biji opaque 25% - 50%, modifikasi biji opaque diatas 50% dan modifikasi opaque sempurna (Gambar 13 dan 14). Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa terdapat lorelasi positif antara warna biji dengan ketahanan galur-galur terhadap penyakit bulai. Galur-galur yang terseleksi resisten terhadap penyakit bulai, juga memililiki warna biji yang lebih jernih, sebaliknya galur yang berwarna biji buram lebih rentan terhadap penyakit bulai.
48
A
Gambar 14.
B
C
D
Penampilan biji jagung hasil introgresi gen homosigot resesif opaque-2 pada generasi BC3F3 di atas cahaya lampu. Tampak dari kiri ke kanan (A) biji jagung normal, (B) biji dengan opaque diatas 50%, (C) biji dengan opaque kurang dari 50% dan (D) modifikasi opaque sempurna. KESIMPULAN
1. Marka SSR spesifik phi057 dan umc1066 secara berturut-turut terbukti efektif dan efisien digunakan menyeleksi galur-galur progeni CML 161 x Nei9008 dan CML 161 x MR10 yang telah terintrogresikan dengan gen homosigot resesif opaque-2 (oo). 2. Uji Chi-kuadrat (2) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada tiap generasi silang balik dan penyerbukan sendiri pada penelitian ini sesuai dengan nisbah hipotetik yaitu masing-masing 1 : 1 dan 1 : 2 : 1 3. Dari 50 progeni CML161 x Nei9008 tersaring dengan bantuan marka spesifik phi057, diperoleh 42 galur Nei9008+o2 yang bisa dievaluasi lebih lanjut, dan dari 42 progeni CML161 x MR10 yang tersaring dengan marka spesifik umc1066, diperoleh 36 galur MR10+o2. 4. Diperoleh beberapa galur Nei9008+o2 yang memiliki potensi hasil yang lebih tinggi dari salah satu dan atau kedua galur pembanding, sedangkan pada galur MR10+o2 potensi hasilnya tidak berbeda nyata dengan pembanding. 5. Penampilan warna biji galur hasil introgresi yang diperoleh bervariasi yaitu modifikasi biji opaque kurang dari 25%, modifikasi biji opaque 25% - 50%, modifikasi biji opaque diatas 50% dan modifikasi opaque sempurna.
49
Penelitian III:
Seleksi dan Uji Daya Gabung Galur-Galur Hasil Introgresi Gen Resesif Mutan o2 untuk Karakter Ketahanan terhadap Penyakit Bulai Pendahuluan
Penyakit bulai merupakan salah satu penyakit utama tanaman jagung di Indonesia terutama pada sentra-sentra produksi seperti Pulau Jawa, Lampung, Sumatera Utara dan Sulawesi. Jenis patogen yang paling banyak menimbulkan kerugian pada pertanaman jagung di sentra-sentra produksi jagung tersebut adalah Peronosclerospora maydis (DeLeon, 1984). Perakitan varietas jagung resisten terhadap penyakit bulai melalui program pemuliaan merupakan cara yang paling aman dan efektif dalam mengatasi penularan penyakit tersebut. Syarat utama yang diperlukan untuk merakit varietas unggul baru yang resisten terhadap penyakit bulai adalah tersedianya materi genetik yang memiliki variabilitas genetik yang luas. Variabilitas genetik timbul dari gen-gen yang bersegregasi dan berinteraksi dengan gen lain. Pada individu-individu generasi awal, sebagian besar gen masih mengalami segregasi sehingga tingkat heterosigositasnya tinggi (Crowder, 1988). Oleh karena itu, seleksi untuk suatu karakter yang dikendalikan secara poligenik, umumnya dilakukan pada generasi lebih lanjut. Dengan demikian, fiksasi gen-gen kuantitatif pada suatu individu tanaman dapat menjadi lebih efisien dan efektif. Untuk merakit hibrida jagung resisten terhadap penyakit bulai memerlukan rekombinasi tetua (galur-galur inbrida) yang memiliki daya gabung baik. Salah satu cara untuk mengetahui daya gabung galur adalah melalui model persilangan design II atau line x tester. Daya gabung merupakan suatu ukuran kemampuan suatu genotip tanaman dalam persilangan untuk menghasilkan tanaman unggul. Dengan mengetahui daya gabung dari kandidat tetua hibrida, dapat diperoleh informasi tentang kombinasi-kombinasi persilangan yang mampu menghasilkan turunan resisten terhadap penyakit bulai. Hasil analisis dialel yang dilakukan oleh Mochizuki, et al. (1974) terhadap sembilan galur dan 36 F1 menyimpulkan bahwa galur dengan daya gabung khusus tinggi mempunyai keturunan yang resisten terhadap penyakit bulai dan
ketahanannya
dikendalikan oleh gen-gen dominan. Sedangkan menurut Rifin (1983) yang melakukan evaluasi daya gabung umum terhadap empat galur resisten melalui persilangan puncak dengan menggunakan tiga galur rentan sebagai tester, menyimpulkan bahwa galur yang
50
memiliki efek daya gabung umum negatif dan nilai heterosis tinggi lebih resisten terhadap penyakit bulai. Berkaitan dengan uraian sebelumnya, dalam penelitian ini akan dilakukan penyaringan galur-galur inbrida hasil introgresi gen mutan o2 untuk resistensi terhadap penyakit bulai dari dua set sebagai kandidat tetua hibrida. Galur-galur yang tersaring sebagai kandidat tetua persilangan tersebut perlu dianalisis kandungan lisin dan triptofannya. Kombinasi persilangan dari galur-galur terseleksi yang berasal dari suatu set galur yang berbeda akan diuji daya gabungnya berdasarkan persentase tanaman terinfeksi penyakit bulai pada blok pengujian dengan menggunakan teknik tanaman baris penyebar. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah menyeleksi galur-galur hasil introgresi gen mutan o2 yang resisten terhadap penyakit bulai untuk dijadikan sebagai kandidat tetua hibrida, mendapatkan informasi kandungan lisin dan triptofan kandidat tetua hibrida, serta menguji daya gabung dan heterosis untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai. Bahan dan Metode Penelitian Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam dua musim yaitu pada musim pertama dilakukan seleksi galur-galur hasil introgresi untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai dan pembentukan hibrida F1 dari galur-galur terseleksi dengan metode lini x tester. Masingmasing delapan galur dari kedua set genotip yang terseleksi resisten bulai saling disilangkan untuk membentuk hibrida F1. Pada musim kedua dilakukan evaluasi daya gabung karakter ketahanan terhadap penyakit bulai dengan menggunakan hibrida F1 yang dihasilkan pada musim pertama. Kegiatan musim pertama berlangsung dari bulan Maret hingga Juli 2006 di Kebun Percobaan Cikeumeuh, Balai Besar Litbang Biogen, Bogor. Kegiatan musim kedua berlangsung dari bulan Juli hingga September 2006 di Kebun Percobaan Bajeng (Gowa, Sulawesi Selatan), Balai Penelitian Tanaman Serealia. Bahan Penelitian Bahan genetik yang digunakan pada musim pertama adalah 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2. Sebagai cek digunakan CML 161 dan CML 165 (cek rentan), serta MR10 dan Nei9008 (cek resisten). Pada musim kedua digunakan masing-masing 8 galur Nei9008+o2 dan MR10+o2 yang terseleksi resisten bulai, 64 F1 dari hasil
51
silangannya, dan Varietas cek: Varietas Hibrida: C7, Bima 1, Bima 1q dan Varietas Komposit Srikandi Kuning-1. Pelaksanaan Penelitian Musim Tanam Pertama : Seleksi ketahanan galur-galur hasil introgresi gen mutan homosigot resesif o2 terhadap penyakit bulai dan pembentukan hibrida silang tunggal Sebanyak 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2 serta empat galur sebagai cek (CML161, MR10, Nei9008 dan CML165) diuji ketahanannya terhadap penyakit bulai dengan menggunakan rancangan perbesaran (Augmented Design) tanpa ulangan di Kebun Percobaan Cikemeuh, Balai Besar Litbang Biogen, Bogor pada MH 2006. Materi genetik masing-masing ditanam 2 baris dengan jarak tanam 70 cm antar baris dan 20 cm dalam baris. Evaluasi ketahanan terhadap penyakit bulai dilakukan dengan cara menginokulasi tanaman baris penyebar dan genotip uji. Teknik penyiapan inokulum sampai evaluasi tingkat ketahanannya mengikuti metode yang dilakukan oleh Azrai et al. (2000). Tata letak percobaan di lapangan disajikan pada Lampiran 4. Kegiatan ini dilanjutkan dengan melakukan persilangan antar set galur. Masingmasing 8 galur Nei9008+o2 dan MR10+o2 yang terseleksi resisten bulai saling disilangkan mengikuti mode lpe r s i l a ng a n’ design II (factorial design) ’unt ukme mbe nt uk hibrida silang tunggal (Gambar 15). ♂ A1
A2
A3
A4
A5
A6
A7
A8
B1
B1 A1
B1 A2
B1 A3
B1 A4
B1 A5
B1 A6
B1 A7
B1 A8
B2
B2 A1
B2 A2
B2 A3
B2 A4
B2 A5
B2 A6
B2 A7
B2 A8
B3
B3 A1
B3 A2
B3 A3
B3 A4
B3 A5
B3 A6
B3 A7
B3 A8
B4
B4 A1
B4 A2
B4 A4
B4 A5
B4 A6
B4 A7
B4 A8
B5
B5 A1
B5 A2
B5 A3
B5 A4
B5A5
B5 A6
B5 A7
B5 A8
B6
B6 A1
B6 A2
B6 A3
B6 A4
B6 A5
B6A6
B6 A7
B6 A8
B7
B7 A1
B7 A2
B7 A3
B7 A4
B7 A5
B7 A6
B7 A7
B7 A8
B8
B8 A1
B8 A2
B8 A3
B8 A4
B8 A5
B8 A6
B8 A7
B8 A8
♀
B4 A3
Keterangan: A = MR10+o2; B = Nei9008+o2
Gambar 15. Skema persilangan galur-galur Nei9008+o2 x MR10+o2 mengikuti model pe r s i l a ng a n’ design II (factorial design) ’ .
52
Galur-galur MR10+o2 dijadikan sebagai tetua jantan sedangkan galur-galur Nei9008+o2 dijadikan sebagai tetua betina. Jumlah tanaman yang disilangkan adalah 5-7 tanaman per kombinasi persilangan. Setelah panen, dipilih masing-masing 3-4 tongkol per kombinasi persilangan kemudian dicampur untuk digunakan sebagai materi pengujian berikutnya. Evaluasi kandungan lisin dan triptofan Untuk analisis kandungan lisin dan triptofan, digunakan masing-masing delapan galur Nei9008+o2 dan MR10+o2 yang terseleksi resisten terhadap penyakit bulai serta CML 161, Nei9008 dan MR10 sebagai cek. Masing-masing 25 biji per galur dikirim sampelnya ke Laboratorium Biokimia Tanah dan Tanaman CIMMYT, Mexico untuk dianalisis kandungan lisin, triptofan dan protein kasarnya. Musim Tanam Ke dua: Evaluasi daya gabung kombinasi persilangan antar kedua set galur resisten terhadap penyakit bulai Hibrida silang tunggal yang diperoleh pada musim pertama dan tetuanya serta Varfietas cek (Varietas Hibrida: C7, Bima 1, Bima 1q dan Varietas Komposit Srikandi Kuning-1) dievaluasi ketahanannya terhadap penyakit bulai dengan menggunakan rancangan acak kelompok, dua ulangan (Lampiran 3). Benih ditanam dua biji per lubang pada satu baris plot per genotip dengan jarak tanam 50 cm x 20 cm. Panjang plot baris 3 m sehingga pada setiap plot ditanam 60 biji per ulangan. Pada setiap 10 baris genotip uji juga ditanam satu baris cek rentan (Varietas Srikandi Kuning 1) untuk mengetahui sebaran konidia patogen bulai di lahan pengujian. Metode inokulasi dan evaluasi tingkat ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai sama dengan metode evaluasi pada penelitian satu dan dua. Pengamatan Cara pengamatan kegiatan musim pertama dan kedua pada prinsipnya sama yaitu dilakukan terhadap jumlah tanaman yang tumbuh dan terinfeksi konidia bulai pada tiap genotip yang diuji. Pengamatan dilakukan pada saat tanaman berumur 14, 21, 28 dan 35 hari setelah tanam. Data yang diperoleh merupakan data komulatif dari pengamatan pertama, ke dua, ke tiga dan keempat, lalu dikonversi kedalam persentase tanaman terinfeksi (P) patogen P. maydis dengan menggunakan rumus : a P x 100% b
53
keterangan : P = persentase tanaman terinfeksi penyakit bulai a = jumlah kumulatif tanaman terinfeksi penyakit bulai b = jumlah tanaman pada umur 14 hst Pengamatan tanaman terinfeksi dimulai pada umur 14 hst karena pada umur tersebut biasanya penyakit bulai mulai menular pada daun tanaman jagung dan setelah berumur 35 hst penulannya sudah jarang terjadi dan tanaman biasanya masih mampu menghasilkan tongkol dan biji. Analisis Data Analisis Ragam Data evaluasi bulai yang diperoleh pada musim pertama dianalisis ragam menurut rancangan perbesaran, tanpa ulangan, sedangkan data hasil pengamatan evaluasi bulai pada musim kedua dianalisis ragam dan daya gabung mengikuti model analisis lini x tester, dimana Set B sebagai lini (tetua betina) dan Set A sebagai tester (tetua jantan). Tabel 13. Analisis ragam untuk lini x tester dengan menggunakan model random Sumber Variasi Derajat Bebas (DB) KT Nilai Harapan KT F.Hit. Ulangan (R) Genotip Tetua Silangan (F1) Tetua vs. F1 Lini (L) Tester (T) LxT Galat Total
r-1 g-1 p-1 lt-1 1 M4
e2 r2 tl rt2 l
M4/M2
t-1
M3
r tl rl t
M3/M2
(l - 1) (t - 1)
M2
e2 r2 tl
M2/M1
(l t - 1)(r - 1)
M1
e2
l -1
2 e
2
2
l t r –1
Untuk mengetahui adanya variasi yang nyata diantara genotip, dilakukan analisi varians menggunakan uji-F dengan tingkat kepercayaan 1% dan 5%. Apabila hasil analisis varians menunjukkan perbedaan yang nyata, maka dilanjutkan analisis lini x tester (Tabel 13) untuk menduga nilai daya gabung dan komponen varians genetiknya Singh dan Chaudhary, 1979).
54
Analisis Daya Gabung Daya gabung yang dianalisis adalah daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Estimasi efek daya gabung tersebut menggunakan formula sebagai berikut (Singh dan Chaudary, 1979): DGU lini: x i . x.. gi tr ltr DGU tester:
x. j x.. gi tr ltr DGK: xij x x j x.. gi i r tr lr ltr keterangan : xi . x. j
: Total lini ke-i : Total tester ke-j pada semua lini
x ij x..
: Total persilangan lini ke-i dan tester ke-j
r l t
: Grand total : jumlah ulangan : jumlah lini : jumlah tester
Untuk menentukan adanya beda nyata DGU dan DGK terhadap rata-rata umum digunakan uji t dengan menggunakan formula sebagai berikut (Baihaki et al., 1999; Petersen, 1994): x x 2 t1 Sd db t-tabel = n - 2 Keterangan:
Sd
= ragam gabungan
n
= jumlah data pada xi. untuk DGU tester, dan pada x.j untuk DGK dan pada x ij untuk DGK
x1
=
x2
= rata-rata x..
rata-rata xi. untuk DGU lini, pada x.j untuk DGU tester, dan pada xij untuk DGK
55
t
= t-hitung
dengan ketentuan bahwa jika: t-hitung < t-tabel, maka nilai DGU atau DGK nyata t-hitung > t-tabel, maka nilai DGU atau DGK tidak nyata. Analisis Heterosis Analisis heterosis dilakukan dengan dua cara, yaitu nilai heterosis rata-rata tetua (mid parent heterosis) dan heterosis tetua terbaik (heterobeltiosis), sebagai berikut (Fehr, 1987):
Heterosis rata-rata tetua (%)
F P1 P2 / 2 h 1 x 100 P P /2 2 1
Heterosis tetua terbaik (%)
F - HP h 1 x 100 HP
Keterangan : F1 rata-rata penampilan hibrida (F1) P1 rata-rata penampilan tetua pertama P2 rata-rata penampilan tetua kedua HP = rata-rata penampilan tetua terbaik
Hasil dan Pembahasan Seleksi ketahanan penyakit bulai dari galur-galur hasil introgersei gen mutan o2 Data presentase bulai galur-galur yang telah diintrogresikan gen mutan o2 disajikan pada Lampiran 5 dan 6. Presentase infeksi penyakit bulai pada galur-galur MR10+o2 sangat bervariasi antara 0.6% – 83.9%, sedangkan pada Nei9008+o2 variasinya cukup sempit yaitu antara 0% - 20.7 %. Dari hasil penyaringan tersebut, terseleksi masing-masing 8 galur resiste terhadap penyakit bulai untuk digunakan sebagai tetua persilangan berikutnya (Tabel 14). Galur-galur terseleksi memiliki tingkat ketahanan yang cukup tinggi yaitu > 10%. Dengan demikian, diharapkan dapat diperoleh kombinasi persilangan yang resisten terhadap penyakit bulai.
56
Galur-galur yang terseleksi sebagai kandidat tetua rekombinasi dengan metode lini x tester, sebagian bijinya (25 biji per genotip) dikirim ke Laboratorium Biokimia Tanah dan Tanaman CIMMYT untuk dianalisis mutu proteinnya. Hasil analisis kandungan lisin dan triptofan dari galur-galur terseleksi tersebut, disajikan pada Tabel 14. Tabel 14. Persentase penularan patogen penyakit bulai dan mutu protein galur-galur hasil introgresi yang terseleksi sebagai kandidat tetua persilangan metode lini x tester.
No
1 2 3 4 5 6 7 8
1 2 3 4 5 6 7 8
Genotip
Lini Nei9008+o2-11 Nei9008+o2-14 Nei9008+o2-15 Nei9008+o2-24 Nei9008+o2-26 Nei9008+o2-27 Nei9008+o2-41 Nei9008+o2-9 CML161 Nei9008 LSI KK (%) Tester MR10+o2-8 MR10+o2-13 MR10+o2-21 MR10+o2-24 MR10+o2-26 MR10+o2-30 MR10+o2-31 MR10+o2-32 CML161 MR10 LSI 5% KK (%)
Keterangan:
Infeksi Bulai (%)
Mutu Protein (%)
Progeni vs Tetua Silang Balik (%) Tript Lisin
Protein Total (%)
Indeks Kualitas
Tript
Lisin
1.1 6.4 7.2 0 6.6 5.4 5.5 7 89.9 2.3 12.1 9.9
0.100 0.106 0.096 0.105 0.097 0.097 0.105 0.100 0.092 0.046
0.480 0.510 0.466 0.523 0.486 0.481 0.503 0.480 0.433 0.254
218.0 229.8 207.7 228.5 211.5 211.1 228.2 218.2
188.8 200.6 183.1 205.6 191.0 189.3 197.7 188.8
10.40 9.96 9.34 11.33 9.52 10.00 10.84 10.03 10.52 9.53
0.97 1.06 1.02 0.93 1.02 0.97 0.97 1.00 0.87 0.48
1.8 3.2 4.5 2.7 2.7 0.6 4.5 5.6 86.5 5.9 11.3 10
0.063 0.072 0.078 0.104 0.069 0.081 0.079 0.066 0.092 0.049
0.309 0.359 0.363 0.502 0.340 0.391 0.377 0.331 0.433 0.220
127.6 146.4 160.0 211.7 141.3 164.9 161.4 134.7
140.3 163.0 164.9 228.1 154.5 177.9 171.4 150.6
11.47 11.03 11.06 10.18 10.25 9.38 11.08 9.93 10.52 13.03
0.74 0.94 0.99 1.02 0.88 0.86 0.83 0.96 0.87 0.45
Data bulai diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi; Protein = %N x Factor (6.25); Quality Index = %Try ÷ %Protein x 100. Lisin, triptofan dan protein total dianalisis di Laboratorium Analsis Tanah dan Tanaman, CIMMYT –Mexico pada periode 17 Oktober –17 November, 2006
Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan triptofan galur-galur Nei9008+o2 berkisar antara 211.1% hingga 229.8%, sedangkan kandungan lisinnya berkisar antara 183.1% sampai 205.6 dibandingkan dengan galur asalnya (Nei9008). Galur MR10+o2
57
yang dianalisis memiliki kandungan triptofan dan lisin masing-masing berkisar antara 127.6% - 211.7 dan 140.3 –228.1 dibandingkan dengan galur asalnya (MR10). Dari hasil analisis tersebut, terungkap bahwa marka SSR cukup efektif digunakan untuk menyeleksi tanaman yang memiliki gen mutan resesif homosigot opaque-2 dengan biji yang jernih dimana seleksi secara fenotipik (visual) dengan ligh table tidak bisa dilakukan. Dengan demikian, pemanfaatan marka SSR phi057 dan umc1066 dapat mempercepat proses seleksi untuk pembentukan hibrida yang berkualitas protein tinggi dan resisten terhadap penyakit bulai. Analisis Ragam Hasil analisis varians pada Tabel 15, menunjukkan bahwa penampilan karakter ketahanan terhadap penyakit bulai antar genotip, silangan (F1), tetua betina (lini) dan tetua jantan (tester) berbeda nyata pada taraf uj iα1%.Ni l a ikua dr a tt e ng a hl i nida nt e s t e r untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai yang nyata menunjukkan varians aditifnya merata, sedangkan nilai kuadrat tengah silangan yang nyata menunjukkan bahwa terdapat keragaman genetik karakter tersebut diantara F1. Nilai kuadrat tengah yang tidak nyata pada tetua vs F1 dan antara lini x tester disebabkan karena baik lini maupun tester telah mengalami seleksi dan dinyatakan resisten terhadap penyakit bulai. Sebaran konidia patogen bulai pada lokasi pengujian cukup merata karena varietas Srikandi Kuning-1 sebagai cek rentan yang ditanam pada setiap 10 baris genotip uji, semuanya terinfeksi penyakit bulai (terinfeksi 100%). Tabel 15.
Nilai varians karakter ketahanan jagung terhadap penyakit bulai dengan menggunakan model random
Sumber Variasi
Derajat Bebas
Jumlah Kuadrat
Kuadrat Tengah
Fhitung
Replikasi
1
1104.6700
1104.670
8.54
Genotip
79
17637.2600
223.257
1.73**
Tetua
15
2906.4984
193.767
1.50
Silangan (F1)
63
14595.8401
231.680
1.79**
Tetua vs. (F1)
1
15.6149
15.615
0.12
Silangan
63
14595.8401
231.680
1.79**
Lini
7
6278.49453
896.928
8.30**
Tester
7
3022.54649
431.792
4.00**
LinixTester
49
5294.79912
108.057
0.84
Galat
79
10217.3000
129.333
Total
159
28959.3000
Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi
58
Analisis Daya Gabung Nilai duga efek daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) dari masing-masing galur disajikan pada Tabel 16 dan 17. Beberapa genotip memiliki nilai efek DGU dan DGK relatif tinggi untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai (nilai negatif lebih tinggi daripada nilai positif). Tabel 16.
Efek daya gabung umum karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester No
Genotip
1 2 3 4 5 6 7 8
Nei9008+o2-09 (L1) Nei9008+o2-11 (L2) Nei9008+o2-14 (L3) Nei9008+o2-15 (L4) Nei9008+o2-24 (L5) Nei9008+o2-26 (L6) Nei9008+o2-27 (L7) Nei9008+o2-41 (L8)
1 2 3 4 5 6 7 8
MR10+o2-08 (T1) MR10+o2-13 (T2) MR10+o2-21 (T3) MR10+o2-24 (T4) MR10+o2-26 (T5) MR10+o2-30 (T6) MR10+o2-31 (T7) MR10+o2-32 (T8)
Nilai tengah (%) Lini 34.1 11.0 18.8 20.6 17.0 15.7 14.1 10.6 Tester 19.2 22.7 13.6 17.3 13.3 10.2 25.7 20.0
Efek DGU
t.uji
16.39 -6.71* 1.03 2.90 -0.74 -2.08 -3.62 -7.16*
5.77 -2.36 0.36 1.02 -0.26 -0.73 -1.27 -2.52
0.8 2.5 -2.1 -0.2 -2.2 -3.8** 4.0 1.1
0.53 1.74 -1.47 -0.16 -1.55 -2.66 2.79 0.78
Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi * nyata menurut uji t pada taraf α= 5% (-1.96); ** nyata menurut uji t pada taraf α= 1% (-2.58)
Pada Tabel 16 terlihat bahwa lini yang memiliki daya gabung umum yang nyata adalah Nei9008+o2-11 (-7.16) dan Nei9008+o2-71 (-6.71). Kedua lini tersebut juga memiliki nilai tengan persentase infeksi bulai yang sangat rendah dari semua kombinasi persilangannya dengan tester. Lini yang memiliki nilai DGU yang nyata berarti bahwa genotip tersebut baik digunakan sebagai tetua dalam persilangan untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai. Selain itu, dari delapan tester yang digunakan, hanya MR10+o2-30 yang memiliki daya gabung umum yang nyata dengan nilai sebesar -3.8 dan nilai tengah infeksi bulai sebesar 10.2%. Nilai DGU nyata tersebut menunjukkan bahwa MR10+o2-30 mempunyai kemampuan sebagai penggabung umum yang baik untuk menghasilkan hibrida jagung resisten terhadap penyakit bulai. Pada penelitian
59
sebelumnya, Rifin (1983) yang melakukan evaluasi DGU dengan metode persilangan puncak melaporkan bahwa galur-galur
inbrida jagung yang memiliki DGU negatif
mampu menghasilkan turunan yang resisten terhadap penyakit bulai. Persilangan antara dua galur penggabung umum yang baik belum tentu menunjukkan daya gabung khusus yang baik pula, tetapi penggabung umum yang sedang atau kurang juga dapat menunjukkan daya gabung khusus yang baik (Maurya dan Singh, 1977; Silitonga et al., 1993). Daya gabung khusus merupakan deviasi dari suatu hibrida dari nilai yang diharapkan berdasarkan penampilan tetuanya dan menggambarkan aksi gengen non aditif (non fixable genes). Hasil analisis daya gabung khusus tanaman jagung terhadap penyakit bulai dengan metode persilangan lini x tester disajikan pada Tabel 17. Pada Tabel 17 terlihat bahwa hanya lini Nei9008+o2-41 (L8) dan tester MR10+o230 (T6) yang masing-masing memiliki DGU yang nyata, dan setelah berrekombinasi juga memiliki DGK yang nyata. Selain itu, beberapa lini yang DGU-nya nyata setelah disilangkan dengan tester yang DGU-nya tidak nyata (Nei9008+o2-41 (L8) // MR10+o208 (T1), Nei9008+o2-11 (L2) // MR10+o2-26 (T5) dan Nei9008+o2-11 (L2) // MR10+o2-31 (T7) menunjukkan DGK yang nyata. Demikian pula halnya dengan lini Nei9008+o2-24 (L5) yang memiliki DGU tidak nyata, tetapi setelah disilangkan dengan tester MR10+o2-30 (T6) yang DGU-nya nyata, juga menunjukkan DGK yang nyata. Menurut Virmani (1994), hibrida yang menunjukkan DGK yang tinggi, biasanya dihasilkan dari rekombinasi persilangan dimana paling sedikit satu tetuanya memiliki DGU yang tinggi. Namun demikian, beberapa dari rekombinasi persilangan yang salah satu atau kedua tetuanya memiliki DGU tinggi, namun setelah dipasangkan dalam persilangan, DGK-nya rendah dan bahkan bisa juga terjadi suatu rekombinasi persilangan yang DGK-nya tinggi, meskipun kedua tetuanya memiliki DGU tinggi. Hal yang sama juga ditemukan pada penelitian ini, dimana dari hasil analisis DGU dan DGK, teridentifikasi bahwa lini Nei9008+o2-11 (L2) dan tester MR10+o2-30 (T6) yang masingmasing memiliki DGU yang nyata, namun setelah disilangkan DGK-nya tidak nyata. Sebaliknya, lini dan tester yang DGU-nya tidak nyata, namun setelah disilangkan menunjukkan DGK yang nyata yaitu Nei9008+o2-14 (L3) // MR10+o2-26 (T5) dan Nei9008+o2-27 (L7) // MR10+o2-08 (T1). Kejadian tersebut diduga karena keterlibatan dari gen-gen non aditif yang saling melengkapi pada lokus yang berbeda sehingga hanya dapat terekspresi pada hibrida dari rekombinasi persilangan tertentu untuk karakter ketahanan tanaman terhadap penyakit bulai. Selain itu, faktor lingkungan juga memiliki 60
pengaruh yang cukup besar dalam pendugaan nilai DGU sehingga untuk menjadikan DGU sebagai suatu parameter, pengaruh faktor lingkungan perlu diminimalisasi melalui analisis berdasarkan hasil pengujian pada beberapa lokasi (Virmani, 1999). Tabel 17. No
Efek daya gabung khusus karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester
Silangan
% Infeksi
Efek DGK
No
Silangan
% Infeksi
Efek DGK
1
L1/T1
34.6
-1.08
35
L5/T3
13.7
0.86
2
L1/T2
46.8
7.74
36
L5/T4
16.4
-0.14
3
L1/T3
23.8
-6.13
37
L5/T5
20.4
7.80
4
L1/T4
32.5
-1.19
38
L5/T6
5.1
-4.30*
5
L1/T5
14.4
-5.29*
39
L5/T7
20.8
-4.11
6
L1/T6
26.7
0.10
40
L5/T8
17.0
-2.17
7
L1/T7
58.9
16.79
41
L6/T1
11.3
-5.92
8
L1/T8
25.4
-10.95
42
L6/T2
15.0
-5.61
9
L2/T1
22.7
10.18
43
L6/T3
7.8
-3.71
10
L2/T2
22.0
6.07
44
L6/T4
12.5
-2.72
11
L2/T3
7.9
1.04
45
L6/T5
7.9
-3.37
12
L2/T4
7.0
-3.54
46
L6/T6
10.0
1.91
13
L2/T5
5.3
-1.35*
47
L6/T7
30.0
6.40
14
L2/T6
6.3
2.81
48
L6/T8
30.9
13.01
15
L2/T7
2.5
-16.47*
49
L7/T1
2.2
-13.45*
16
L2/T8
14.5
1.26
50
L7/T2
14.7
-4.36
17
L3/T1
27.6
7.37
51
L7/T3
19.2
9.22
18
L3/T2
29.2
5.45
52
L7/T4
16.8
3.14
19
L3/T3
17.2
2.58
53
L7/T5
15.0
5.28
20
L3/T4
22.1
3.81
54
L7/T6
17.5
10.95
21
L3/T5
5.6
-8.81*
55
L7/T7
17.2
-4.84
22
L3/T6
7.1
-4.06
56
L7/T8
10.4
-5.94
23
L3/T7
24.4
-2.35
57
L8/T1
2.3
-9.82*
24
L3/T8
17.0
-3.99
58
L8/T2
17.6
2.12
25
L4/T1
23.4
1.22
59
L8/T3
7.5
1.09
26
L4/T2
23.6
-1.97
60
L8/T4
14.1
3.94
27
L4/T3
11.5
-4.95
61
L8/T5
7.9
1.71
28
L4/T4
16.9
-3.29
62
L8/T6
2.8
-0.24
29
L4/T5
20.3
4.03
63
L8/T7
20.0
1.48
30
L4/T6
5.9
-7.18
64
L8/T8
12.5
-0.29
31
L4/T7
31.7
3.09
C1
C7
48.7
-
32
L4/T8
31.9
9.06
C2
Bima 1
45.0
-
33
L5/T1
30.0
11.49
C3
Bima 1q
64.4
-
34
L5/T2
12.5
-9.44
C4
Srikandi K-1
100.0
-
Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi, * ny a t ame n ur utu j itpa dat a r a fα=5 %( -1.96); * *ny a t ame nur utu j itp a d at a r a fα=1% ( -2.58)
61
Nilai DGK tertinggi diperoleh pada rekombinasi persilangan antara Nei9008+o2-11 (L2) // MR10+o2-31 (T7). Nei9008+o2-11 (L2) memiliki DGU tinggi (nilai tengah infeksi patogen bulai rendah) sedangkan MR10+o2-31 (T7) memiliki DGU rendah (nilai tengah infeksi patogen bulai tertinggi). Singh dan Kumar (2004) melaporkan bahwa nilai DGK yang tinggi dapat terjadi dari persilangan antara dua galur karena adanya interaksi antara alel positif (gen ketahanan) dari tetua DGU tinggi dengan alel negatif dari tetua dengan DGU yang rendah. Nilai DGK terendah diperoleh pada persilangan antara lini yang memiliki DGU terendah (Nei9008+o2-09 (L1) dengan tester yang juga memiliki DGU terendah (MR10+o2-31 (T7). Selain nilai DGK-nya terendah, Nei9008+o2-09 (L1) memiliki nilai DGU terendah pada kelompok lini dan MR10+o2-31 (T7) memiliki nilai DGU terendah pada kelompok tester. Hal ini diduga karena persilangan antara dua galur yang meliliki nilai DGU terendah tersebut tidak menimbulkan adanya efek dominan sehingga DGK-nya rendah. Tabel 18.
Parameter genetik karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester. Parameter
Nilai Duga
2 DGU
2.4834953
2 DGK
-10.63789
2 Aditif
9.9339812
2 Do min an
-51.15932
Konstribusi Lini (%)
43.015643
Konstribusi Tester (%)
20.708273
Konstribusi Lini x Tester (%)
36.276083
Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang terinfeksi
Nilai duga parameter genetik berdasarkan analisis lini x tester untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai disajikan pada Tabel 18. Hasil analisis menunjukkan bahwa nilai duga varians DGK lebih besar dibanding dengan varians DGU, sedangkan nilai duga varians dominan lebih tinggi dibandingkan dengan varians aditif (nilai negatif lebih tinggi daripada nilai positif). Hal ini menunjukkan bahwa aksi gen-gen non-aditif (alel-alel dominan dan dominan sebagian) yang saling melengkapi pada berbagai lokus yang berbeda pada hibrida F1 memberikan pengaruh yang cukup besar dalam
62
mengendalikan ketahanan tanaman uji terhadap penyakit bulai. Konstribusi lini terhadap varians total mencapai 43.0%, lebih tinggi daripada konstribusi tester yang mencapai 20.7% dan lini x tester yang mencapai 36.3%. Heterosis Nilai heterosis terhadap rata-rata tetua pada 64 persilangan F1 berkisar antara -43.6 sampai 26.7%, sedangkan nilai heterosis terhadap tetua tertinggi berkisar antara -47.2% sampai 22.8% (Tabel 19) (analisis berdasarkan tanaman sehat, nilai positif lebih tinggi dari negatif). Beberapa rekombinasi persilangan memiliki nilai heterosis positif, yaitu 54 rekombinasi (54.7% dari semua kombinasi) untuk nilai heterosis terhadap rata-rata tetua dengan kisaran 0.6% sampai 26.7% dan 21 rekombinasi (32.8% dari semua kombinasi) dan untuk nilai heterosis terhadap tetua tertinggi dengan kisaran 0.9% sampai 22.8%. Nilai heterosis tertinggi diperoleh dari rekombinasi persilangan lini Nei9008+o2-24 (L5)// MR10+o2-30 (T6). Nei9008+o2-24 (L5) memiliki nilai DGU tidak nyata, sedangkan tester MR10+o2-30 (T6) nilai DGU-nya nyata tertinggi. Hasil persilangan dari kedua galur tersebut menunjukkan DGK yang nyata, tetapi bukan merupakan DGK tertinggi. Menurut Poehlman dan Borthakur (1977), persilangan antara galur/tetua yang yang memiliki latar belakan genetik yang jauh akan menghasilkan keturunan silang tunggal yang mempunyai nilai heterosis tinggi dibanding tetua yang latar belakang genetiknya yang dekat. Dengan demikian, diduga bahwa rekombinasi persilangan lini dan tester yang memiliki nilai heterosis tinggi pada penelitian ini memiliki jarak genetik yang jauh. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Pabendon et al. (2006) dilaporkan bahwa hasil analisis kekerbatan genetik berdasarkan 39 lokus SSR, galur Nei9008 dan MR10 berada pada klaster yang berbeda. Dengan demikian, secara gentik, galur asal dari kedua kelompok inbrida yang digunakan pada penelitian ini memiliki kekerabatan yang jauh. Beberapa rekombinasi lini x tester yang memiliki nilai heterosis negatif diduga karena kedua galur asal yang digunakan pernah disilangkan dengan CML161 sebagai sumber gen mutan resesif homosigot opaque-2
sebelum dilakukan silang balik sehingga didug
beberapa diantara kelompok lini dan tester masih memiliki jarak genetik yang dekat. Rekombinasi persilangan yang mempunyai nilai heterosis tertinggi bukan berasal dari rekombinasi yang memiliki efek DGK tertinggi. Namun demikian, rekombinasi persilangan yang efek DGK-nya nyata, pada umumnya memiliki nilai heterosis yang positif. Dengan demikian, galur yang mempunyai efek DGK lebih tinggi belum tentu
63
nilai heterosisnya juga lebih tinggi karena nilai heterosis relatif terhadap tetuanya sedangkan DGK relative terhadap galur-galur yang diuji. Tabel 19.
No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Fenomena heterosis karakter ketahanan terhadap penyakit bulai menggunakan metode lini x tester. Silangan
L1/T1 L1/T2 L1/T3 L1/T4 L1/T5 L1/T6 L1/T7 L1/T8 L2/T1 L2/T2 L2/T3 L2/T4 L2/T5 L2/T6 L2/T7 L2/T8 L3/T1 L3/T2 L3/T3 L3/T4 L3/T5 L3/T6 L3/T7 L3/T8 L4/T1 L4/T2 L4/T3 L4/T4 L4/T5 L4/T6 L4/T7 L4/T8
Heterosis % -6.8 -26.9 12.4 -10.5 -2.8 1.0 -43.6 7.3 -8.2 -10.0 12.8 4.0 3.3 8.3 12.2 2.4 -7.6 -12.3 9.3 -6.7 10.1 15.1 -6.6 7.0 -11.2 -13.9 5.7 -9.1 -14.9 6.2 -23.2 -20.4
Heterobeltiosis %
No
-9.7 -31.4 12.0 -18.5 -13.7 -5.1 -47.2 4.9 -19.4 -18.6 -3.9 -3.0 -1.2 -2.2 1.7 -10.8 -14.0 -15.8 -1.5 -7.4 7.9 10.4 -10.0 -1.3 -23.4 -23.6 -11.5 -16.9 -20.3 -5.9 -31.7 -31.9
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64
Silangan L5/T1 L5/T2 L5/T3 L5/T4 L5/T5 L5/T6 L5/T7 L5/T8 L6/T1 L6/T2 L6/T3 L6/T4 L6/T5 L6/T6 L6/T7 L6/T8 L7/T1 L7/T2 L7/T3 L7/T4 L7/T5 L7/T6 L7/T7 L7/T8 L8/T1 L8/T2 L8/T3 L8/T4 L8/T5 L8/T6 L8/T7 L8/T8
Heterosis %
Heterobeltiosis %
-3.4
-3.4
16.7
12.9
23.3
19.0
7.6
0.9
-0.5
-9.0
26.7
22.8
5.3
1.6
15.5
14.4
11.9
3.1
3.9
-1.3
20.1
7.1
3.6
1.6
6.1
5.3
10.2
4.5
-14.6
-18.7
-12.1
-19.7
18.1
5.0
-0.1
-8.5
0.6
-13.3
-5.5
-10.7
-5.9
-8.8
-3.2
-11.5
-3.2
-11.2
9.1
-3.8
20.5
8.9
-1.5
-8.2
17.7
3.1
-0.4
-4.3
3.9
2.6
16.4
8.3
-4.6
-10.9
8.8
-2.5
Keterangan: Data diolah berdasarkan persentase tanaman yang sehat
64
KESIMPULAN 1. Galur–galur Nei9008+o2 lebih resisten terhadap penyakit bulai dibandingkan dengan Galur–galur MR10+o2. Dari hasil penyaringan, masing-masing delapan galur hasil introgresi gen mutan o2 terseleksi sebagai tetua persilangan metode lini x tester. Galur-galur hanya terinfeksi ringan P. maydis yaitu <10%. 2. Lini dan tester memiliki kandungan lisin dan triptofan meningkat hingga diatas dua kali lipat dibandingkan dengan tetua pemulihnya. Sebagian besar lini Nei9008+o2 memiliki kandungan lisin dan triptofan lebih tinggi daripada tester MR10+o2. 3. Lini Nei9008+o2-11 dan Nei9008+o2-71 memiliki efek DGU nyata, sedangkan untuk tester adalah MR10+o2-30. Tuju kombinasi persilangan mempunyai efek efek DGK nyata. 4. Terdapat 54 rekombinasi persilangan (54.7% dari semua kombinasi) memiliki nilai heterosis terhadap terhadap rata-rata tetua dan 21 rekombinasi (32.8% dari semua kombinasi) untuk nilai heterosis terhadap tetua tertinggi. 5. Hasil analisis memperlihatkan pengaruh yang besar dari aksi gen-gen non aditif terhadap karakter ketahanan genotip uji terhadap penyakit bulai.
65
Penelitian IV: Evaluasi Daya Gabung dan Potensi Karakter Hasil, Komponen Hasil dan Agronomis Galur-Galur Hasil Introgersi Gen Mutan o2 PENDAHULUAN Swasembada jagung tahun 2007 yang dicanangkan oleh pemerintah merupakan suatu tantangan untuk menjawab permasalahan pangan dan kemiskinan yang saat ini masih melanda bangsa kita. Selain sebagai bahan pangan kedua setelah padi, jagung juga merupakan bahan baku industri, terutama pakan ternak sehingga kebutuhan
jagung
semakin meningkat dari tahun ke tahun. Meningkatnya kebutuhan jagung di Indonesia ternyata tidak diikuti oleh peningkatan produksi. Pemenuhan kebutuhan jagung dari produksi domestik untuk pangan baru mencapai 40%, sedangkan untuk bahan baku industri pakan untuk pengembangan peternakan baru mencapai 42% (Badan Pusat Statistik, 2002). Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran jagung semakin strategis, sehingga kekurangan pasokan perlu diatasi melalui peningkatan produksi. Salah satu upaya pencapaian peningkatan kapasitas produksi jagung nasional adalah mengintensifkan kegiatan pemuliaan untuk mendapatkan benih unggul hibrida yang berpotensi hasil tinggi. Jagung hibrida memanfaatkan gen non aditif dan aditif sehingga mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan jagung komposit, diantaranya adalah potensi hasil yang lebih tinggi, lebih seragam, dan penampilannya lebih menarik. Seiring dengan semakin meningkatnya kesadaran masyarakat akan mutu dan nilai gizi produk-produk pertanian, maka dalam penelitian jagung selain diarahkan untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi dengan daya adaptasi yang luas, juga untuk perbaikan nilai gizinya seperti peningkatan mutu kandungan protein. Hal ini dapat dilakukan setelah ditemukannya gen mutan opaque 2 yang dapat digabungkan dengan gen opaque 2
pada jagung normal sehingga mampu meningkatkan kandungan lisin dan
triptofan jagung hingga dua kali lipat dengan fenotip endosperma yang keras (Bjarnason dan Vasal, 1992; Paez et. al, 1973). Selain itu, jagung hasil modifikasi tersebut juga memiliki sifat yang hampir sama dan malah beberapa genotip lebih tinggi hasilnya daripada varietas unggul yang sudah ada (Babu, et al 2002, Cordova, 2001, Azrai et. al., 2004). Berkaitan dengan hal tersebut, pada kegiatan penelitian sebelumnya telah dilakukan inrogresi gen mutan opaque-2 pada dua galur tahan bulai yang berasal dari lembaga penelitian yang berbeda yaitu Balitsereal dan CIMMYT. Hasil penelitian pendahuluan
66
menunjukkan bahwa kedua galur tersebut berada pada grup heterotik yang berbeda sehingga diduga berkerabat jauh (Pabendon et. al., 2006). Hubungan kekerabatan yang jauh dan daya gabung yang baik akan memunculkan fenomena heterosis yang tinggi (Rifin et al., 1984; Setiyono dan Subandi, 1996). Fenomena heterosis hasil persilangan antara galur dapat memberikan potensi hasil yang tinggi dan penampilan karakter agronomis penting yang baik (Vacaro et. al., 2002. Saat ini telah diperoleh dua set galur-galur inbrida yang telah memiliki gen homosigot resesif o2 dan terseleksi resisten terhadap P. maydis. Kedua set galur-galur inbrida tersebut belum diketahui daya gabungnya dan penampilan beberapa karakter agronomis, komponen hasil dan hasil, sehingga perlu dilakukan telaah lebih lanjut. Tujuan yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah mendapatkan informasi daya gabung dan potensi karakter hasil, komponen hasil, dan penampilan beberap karakter agronomis hibrida silang tunggal dari galur-galur yang telah memiliki gen homosigot resesif o2 dan terseleksi tahan terhadap P. maydis pada dua lingkungan tumbuh yang berbeda. Bahan dan Metode Penelitian Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan pada dua lokasi, yaitu lahan kering di Kebun Percobaan Balitsereal di Bajeng (Gowa, Sulawesi Selatan) dan lahan sawah di Lapeccang, Kabupaten Bone yang berlangsung dari Juli –Oktober 2006. Kebun percobaan Balitsereal di Bajeng terletak pada ketinggian ± 50 meter dari permukaan laut, jenis tanah ultisol dengan tipe curah hujan C2 (menurut Smith Ferguson, 1951). Lokasi pengujian di Lapeccang terletak pada ketinggian ± 100 meter dari permukaan laut, jenis tanah aluvial dengan tipe curah hujan D2 (menurut Smith Ferguson, 1951). Kedua jenis lahan pengujian tersebut memiliki beberapa sifat kimia dan fisik yang berbeda (Lampiran 8). Bahan Penelitian Bahan genetik yang digunakan dalam penelitian adalah 8 lini Nei9008+o2 dan 8 tester MR10+o2 dari hasil seleksi galur untuk ketahanan penyakit bulai, dan 64 F1 dari hasil silangannya. Sebagai pembanding untuk evaluasi potensi genotip uji digunakan tiga varietas hibrida yaitu C7, Bima 1 dan Bima 1q, serta satu varietas komposit, yaitu Srikandi Kuning-1.
67
Pelaksanaan Penelitian Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan dua ulangan. Setiap genotip ditanam dua biji per lubang pada petakan dua baris, panjang petak 5 m, jarak tanam: antar baris 70 cm dan dalam baris 20 cm. Dua minggu setelah tanam, dilakukan penjarangan dengan menyisakan satu tanaman per rumpun sehingga terdapat 25 tanaman per baris. Aplikasi pupuk buatan dilakukan dua kali yaitu pada saat tanam dengan dosis 100 kg urea/ha, 200 kg SP36/ha, dan 100 kg KCl/ha, dan pada umur 30 hari setelah tanam dengan dosis 200 kg urea/ha. Untuk mencegah serangan hama digunakan insektisida dengan bahan aktif carbofuran dengan dosis 8 kg/ha yang diaplikasikan pada lubang tanaman, bersamaan saat tanam dan pada pucuk daun tanaman, saat tanaman berumur tiga minggu setelah tanam. Pengamatan Pengamatan dilakukan terhadap beberapa karakter agronomis sebagai berikut (CIMMYT, 1994): 1. Umur berbunga (hari) 50% umur berbunga betina diamati sejak rambut mulai keluar dengan panjang >2 cm hingga mencapai 50% dari jumlah tanaman per nomor plot baris. 2. Tinggi tanaman (cm) Diamati setelah fase berbunga dan dipilih lima tanaman secara acak di setiap petakan. Pengukuran dimulai dari dasar tanaman di permukaan tanah sampai pangkal terakhir bunga jantan. 3. Tinggi Tertancapnya Tongkol (cm) Dilakukan bersamaan dengan pengukuran tinggi tanaman terhadap lima sampel yang sama digunakan pada pengukuran tinggi tanaman. Pengukuran dimulai dari dasar tanaman di permukaan tanah sampai dasar kedudukan tongkol. Bila tanaman mempunyai dua tongkol, maka diambil tongkol yang teratas atau tongkol yang lebih normal perkembangannya. 4. Menutupnya kelobot (husk cover) Penutupan kelobot diberi skor 1 (baik) sampai 5 (jelek), sesuai dengan gambar penutupan kelobot sebagai berikut:
68
Gambar 16. Bentuk penutupan kelobot dan nilai skor Keterangan: Skor 1 : Kelobot menutup rapat dengan baik, sehingga beberapa tongkol dapat diikat menjadi satu pada ujung tongkol Skor 2 : Kelobot menutup ketat hanya sampai ujung tongkol saja Skor 3 : Kelobot menutup agak longgar di ujung tongkol Skor 4 : Kelobot menutup tongkol kurang baik, ujung tongkol terlihat Skor 5 : Kelobot menutup tongkol sangat jelek, sebahagian biji nampak tidak dilindungi kelobot. 5. Jumlah tanaman saat dipanen per plot baris Dicatat jumlah tanaman panen menjelang pelaksanaan panen. 6. Jumlah tongkol panen. Dicatat jumlah tongkol yang diperoleh saat melakukan panen. 7. Bobot tongkol kupasan basah Tongkol-tongkol yang dipanen, dikupas kemudian ditimbang beratnya per plot. Data ini digunakan untuk menghitung hasil per plot, selanjutnya dikonversi ke satuan berat per satuan luas . 8. Kadar air Panen. Setelah diperoleh data bobot kupasan tongkol di lapangan, diambil 5 tongkol sampel per petak kemudian dipipil bijinya ± 3-4 baris per tongkol. Hasil pipilan dicampur kemudian diukur kadar air dengan alat pengukur kadar air digital pada hari yang sama dengan pengukuran berat tongkol kupasan basah. 9. Komponen Hasil Data ukuran komponen hasil diambil dari sejumlah tongkol sampel untuk parameter sebagai berikut : Berat 1000 biji dalam kadar air 15 % yaitu menimbang biji yang sudah diambil kadar airnya kemudian dikonversi dengan berat pada kadar air 15 % Panjang tongkol diukur dari pangkal sampai keujung tongkol yang berbiji. Lingkaran tongkol diukur di pertengahan tongkol
69
Rendemen, diukur dengan menimbang 10 tanaman yang diambil secara acak, kemudian ditimbang kembali hasil pipilannya. Rendemen merupakan bobot pipilan dibagi dengan bobot tongkol sebelum dipipil. 10. Skor Penampilan Tanaman . Dalam prakteknya cukup dilakukan satu kali, yaitu pada waktu rambut tongkol telah mengering tapi tanaman masih hijau. Perhatian diarahkan pada keseragaman pertumbuhan tanaman, serangan hama dan penyakit secara umum, dan vigor, kemudian diskor 1 (terbaik) sampai 5 (terjelek). 11. Skor Keragaan Tongkol. Dicatat waktu panen sebelum mengambil sampel untuk menentukan kadar air. Tongkol disusun
secara teratur kemudian diskor 1 (terbaik) sampai 5 (terjelek)
dengan mempertimbangkan kerusakan karena hama dan penyakit, ukuran, mengisinya biji pada tongkol dan keseragaman. 12 Hasil biji pada kadar air 15% Dilakukan dengan cara mengkonversi hasil pengamatan bobot kupasan basa per petak (kg) dengan persamaan sebagai berikut: 10000
100-KA
Hasil (kg/ha) = ----------- x ----------- x B x SP L.P
100-15
K.A =Kadar Air biji waktu panen L.P = Luas Panen (m2). B = Bobot Tongkol Kupasan (kg) SP = Rata-rata rendemen (shelling percentage). Analisis Data Analisis data meliputi analisis ragam untuk mengetahui ragam genetik dari genotip uji untuk semua karakter yang diamati serta analisis daya gabung untuk parameter karakter agronomis, komponen hasil dan hasil. Analisis Ragam Faktorial untuk Daya Gabung Sebelum dilakukan analisis daya gabung, data dianalis ragam terlebih dahulu untuk mengetahui adanya ragam yang nyata diantara tetua jantan (tester), diantara tetua betina (lini) dan interaksi tetua betina dan jantan (lini x tester). Model analisis ragam faktorial
70
berdasarkan model persamaan linear rancangan acak kelompok (Singh dan Chaudhary, 1979); Mattjik dan Sumertajaya, 2000; Bernardo, 2002) sebagai berikut : Yijkl
=
el k l i t j (lxt ) ij (exl ) li (ext ) lj (exlxt ) lij ijkl
keterangan : Yijkl k el li tj (lxt)ij (exl)li (ext)lj (exlxt)lij ijkl
: genotip i x j dalam ulangan ke k dan lingkungan ke l : rata-rata umum : efek ulangan ke-k : efek lingkungan ke-l : efek lini ke-i : efek tester ke-j : efek lini x tester ke-ij : efek lingkungan x lini ke-li : efek lingkungan x tester ke-lj : efek interaksi lingkungan x lini x tester ke-lij : galat
Berdasarkan model linear tersebut, dapat disusun analisis ragam gabungan seperti yang disajikan pada Tabel 20 (Hallauer dan Miranda, 1981; Bernardo, 2002). Jika pada analisis varians diperoleh respon genotip yang berbeda nyata maka dilanjutkan analisis daya gabung. Tabel 20. Analisis ragam untuk lini x tester dengan menggunakan model random Sumber Keragaman Lokasi (E) Lokasi/Ulangan Genotip (G) GxE Tetua (P) P VS C
Derajat Bebas (db)
KT
Nilai Harapan KT
F.Hit.
e-1 e(r - 1) g-1 (g - 1) (e - 1) p-1 1
F1
lt-1
Lini (L)
l -1
M4
e2 r2 tl rt2 l
M4/M2
Tester (T)
t-1
M3
e2 r2 tl rl2 t
M3/M2
(l - 1) (t - 1)
M2
e2 r2 tl
M2/M1
e (lt - 1)(r - 1)
M1
e2
l (g - 1)(r - 1)
Lini x Tester Residu Total
l g r –1
l g r –1
71
Analisis Daya Gabung Daya gabung yang dianalisis adalah daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK). Estimasi efek daya gabung tersebut menggunakan formula sebagai berikut (Singh dan Chaudary, 1979): DGU lini: x i . x.. gi tr ltr DGU tester:
x. j x.. gi tr ltr DGK: xij x x j x.. gi i r tr lr ltr keterangan : xi . x. j
: Total lini ke-i : Total tester ke-j pada semua lini
x ij x..
: Total persilangan lini ke-i dan tester ke-j
r l t
: Grand total : jumlah ulangan : jumlah lini : jumlah tester
Untuk menentukan adanya beda nyata DGU dan DGK terhadap rata-rata umum digunakan uji t dengan menggunakan formula sebagai berikut (Baihaki et al., 1999; Petersen, 1994): Sd
S12 S 22 n1 n2
x x 2 t1 Sd db t-tabel = (n1 + n2) - 2 Keterangan:
Sd
= ragam gabungan
S12 = ragam pada xi untuk DGU lini, pada x.j untuk DGU tester, dan pada
xij untuk DGK
72
S 22 = ragam pada x.. n1
= jumlah data pada xi. untuk DGU tester, dan pada x.j untuk DGK dan pada x ij j untuk DGK
n2
= jumlah data pada x..
x1
=
x2
= rata-rata x..
t
= t-hitung
rata-rata xi. untuk DGU lini, pada x.j untuk DGU tester, dan pada xij untuk DGK
dengan ketentuan bahwa jika: t-hitung t-tabel, maka nilai DGU atau DGK nyata t-hitung < t-tabel, maka nilai DGU atau DGK tidak nyata. Analisis Potensi Tanaman Uji potensi tanaman dilakukan untuk membandingkan genotip uji dengan varietas komersial yang sudah dirilis atau calon varietas yang sudah mengalami pengujian dan beradaptasi baik pada beberapa lingkungan. Analisis data yang dilakukan berdasarkan pada analisis ragam gabungan untuk dua lokasi menurut Villena (1990) seperti yang disajikan pada Tabel 21. Tabel 21. Analisis ragam gabungan di dua lokasi pengujian menggunakan model random Sumber Keragaman
Derajat Bebas Varians
Nilai Harapan
F.Hitung
(DB)
MS
Kuadrat Tengah
l -1
M5
e2 g2 r / l gr2 l
l (r - 1)
M4
e2 g2 r / l
g-1
M3
e2 r2 gl rl2 g
M3/M2
Genotip x Lokasi.
(g - 1)( l - 1)
M2
e2 r2 gl
M2/M1
Galat
l (g - 1)(r - 1)
M1
e2
Total
l g r –1
Lokasi Ulangan / Lokasi Genotip
M5/M4
Untuk mengetahui bahwa genotip dan interaksi genotip x lingkungan berbeda nyata, dapat dilihat nilai F hitungnya. Jika nilai F hitung > nilai F tabel pada taraf 0.01 atau
0.05 maka perlakuan tersebut dinyatakan berbeda sangat nyata atau nyata. Analisis uji lanjut antara masing-masing genotip QPM dengan varietas pembanding menggunakan uji LSI pada taraf 5% (Petersen, 1994).
73
Hasil dan Pembahasan Analisis Ragam Faktorial untuk Daya Gabung Hasil analisis terhadap beberapa karakter agronomis dan komponen hasil memperlihatkan semua kuadrat tengah genotip nyata, sedangkan kuadrat tengah interaksi genotip x lingkungan hanya nyata pada karakter bobot tongkol panen dan hasil panen biji pada kadar air 15% (Tabel 22). Nilai kuadrat tengah genotip uji lebih tinggi daripada kuadrat tengah interaksi genotip x lokasi pada semua karakter yang diamati. Hal ini mengindikasikan bahwa pengaruh faktor genetik lebih dominan daripada faktor lingkungan. Interaksi genotip x lokasi pada kedua karakter tersebut menunjukkan bahwa terdapat genotip dengan peringkat hasil yang tidak konsisten pada kedua lokasi pengujian. Dari beberapa hasil penelitian telah dilaporkan bahwa suatu genotip yang memberikan hasil tertinggi di suatu lokasi, sering tidak konsisten di lokasi yang lain sehingga menyulitkan pemulia tanaman untuk memilih genotip yang superior (Sumantri et al., 1991; Suwarno et al., 1984; Tirtowirjono, 1988). Kejadian interaksi genotip x lingkungan seperti musim, lokasi dan tahun menggambarkan bahwa genotip-genotip uji berpenampilan tidak sama pada lingkungan yang berbeda, sedangkan ketiadaan interaksi yang nyata menunjukkan keberhasilan genotip berpenampilan sama pada kondisi lingkungan yang berbeda (Soemartono et al., 1992). Pada Tabel 22 terlihat bahwa nilai kuadrat tengah lini nyata untuk karakter tinggi kedudukan tongkol, bobot tongkol panen, diameter tongkol, bobot 1000 biji dan hasil biji. Untuk tester, nilai kuadrat tengah nyata diperlihatkan pada karakter tinggi tanaman, rendemen, dan bobot 1000 biji. Selain itu, nilai kuadrat tengah lini x tester nyata untuk, tinggi tanaman, bobot tongkol panen, rendemen biji, dan hasil biji. Dari hasil tersebut, tampak bahwa tidak semua karakter yang memiliki kuadrat tengah nyata pada lini atau tester atau pada keduanya juga memiliki kuadrat tengah lini x tester yang nyata. Singh dan Kumar (2004) melaporkan bahwa karakter yang memiliki kuadrat tengah lini dan tester yang nyata menunjukkan bahwa varians aditifnya merata, sedangkan karakter yang memiliki nilai kuadrat tengah yang nyata untuk lini x tester menunjukkan arti penting varians aditif maupun non aditif dalam mengendalikan karakter tersebut. Nilai kuadrat tengah P vs F1 pada semua karakter yang diamati memperlihatkan pengaruh yang nyata. Hal ini mengindikasikan karakter-karakter tersebut diwariskan dari tetua ke hibrida F1 nya. 74
Analisis Daya Gabung Daya gabung umum (DGU) untuk karakter a hasil, komponen hasil dan gronomis, tersaji pada Tabel 23. Beberapa karakter menunjukkan DGU nyata berdasarkan hasil uji t. Nilai duga DGU yang terdapat pada lini dan tester menunjukkan bahwa beberapa diantara genotip tersebut merupakan penggabung yang baik. Pada karakter umur berbunga, DGU yang diinginkan adalah DGU yang nyata dan bernilai negatif. Hal ini terkait dengan umur tanaman, dimana tanaman yang lebih genjah dan potensi hasil tinggi merupakan varietas yang banyak diharapkan oleh petani yang sebagian besar berusahatani jagung di lahan-lahan kering atau pada lahan sawah setelah musim tanam padi. Jagung berumur genjah berpeluang dapat terhindar dari kekeringan sehingga dapat mengurangi resiko kegagalan panen (Subandi et al., 1988). Berdasarkan hal tersebut, tester MR10+o2-08 (T1) dan MR10+o2-24 (T4) memiliki DGU negatif beurturut-turut nyata dan sangat nyata. Kedua tester tersebut sangat baik digunakan sebagai tetua jika arah seleksi ditujukan untuk mendapatkan turunan yang lebih genjah.
75
Tabel 22. Kuadrat tengah untuk analisis ragam daya gabung beberapa karakter agronomis dan hasil menggunakan metode lini x tester pada dua lokasi pengujian, MK 2006. Sumber Keragaman
db
UBB
T.Tan
T.Tk
Bbt. Tk.P
hari
cm
cm
kg
Lokasi (L)
1
Lokasi/Ulangan
2
Genotip (G)
79
GxL
79
4.749
353.022
183.147
Tetua
15
8.199*
342.863
210.196*
P VS F1
1
F1
63
8.482*
484.409
178.620
Lini
7
6.366
626.834
325.383*
Tester
7
37.428**
662.531
244.883
0.959
Lini x Tester
49
4.649 438.616**
148.188
Residu
158
4.419
146.262
Keterangan:
96.800** 44062.6** 14.900
31860.200
2.041
107.066
13.898** 953.999**
412.773**
440.63** 39705.2** 18203.073**
317.920
Rend
D. Tk cm
71.351* 0.0118** 12.580** 1.655 0.036 0.0021
Pj. Tk cm
Bbj
Hsl
g
t/ha
28.150
1758.270
1.612*
9.968
6349.250
0.969**
10.968** 0.0079** 1.715** 0.0004
0.335** 11.486**
2227.873**
10.591**
5.144
1143.251
1.348**
0.674 0.0116** 704.434** 0.0023**
0.308* 12.046**
1266.550
0.867
2.412** 0.3019** 5.496** 0.002
0.148
7.998** 249.36** 31470.050** 666.187** 0.220
7.577**
1992.598
2.500*
0.553**
5.621
5966.724**
6.102*
0.008**
0.237
9.918
4925.941**
1.58
2.179**
0.002**
0.170
7.522
1005.817
2.117**
0.699
0.001
0.182
4.245
1100.057
0.566
UBB= Umur berbunga betina; T.Tan = Tinggi tanaman; T.Tk = Tinggi letak tongkol; Bbt.Tk.P = Bobot tongkol panen; Rend = Rendemen; D. Tk = Diameter tongkol; Pj. Tk = Panjang tongkol; Bbj = Bobot 1000 biji; Hsl = Hasil biji kering pada Ka. 15%. *: nyata menurut uji F pada t a r a fα=5% ;* * :ny a t ame nur utuj iFpa dat a r a fα=1%
76
Pada karakter tinggi tanaman, lini Nei9008+o2-15 (L4 memiliki DGU negatif dan sangat nyata, sedangkan beberapa lini maupun tester yang lain memiliki nilai DGU negatif yang cukup tinggi namun tidak nyata, yaitu: Nei9008+o2-24 (L5), Nei9008+o2-26 (L6), MR10+o2-08 (T1), MR10+o2-13 (T2), dan MR10+o2-31 (T7). Demikian pula halnya dengan karakter tinggi letak tongkol dimana genotip yang memiliki DGU negatif dan nyata adalah Nei9008+o2-24 (L5) dan MR10+o2-30 (T6). Beberapa genotip juga memiliki DGU negatif yang cukup tinggi, namun tidak nyata, yaitu Nei9008+o2-15 (L4); Nei9008+o2-26 (L6); MR10+o2-13 (T2) dan MR10+o2-24 (T4). Genotip-genotip tersebut berpotensi dijadikan sebagai penggabung umum yang baik untuk mendapatkan tanaman yang lebih pendek. Pada beberapa sentra jagung di Indonesia, petani menginginkan tanaman yang lebih pendek, namun berdaya hasil tinggi, terutama pada daerah yang sering mengalami serangan angin kencang. Tanaman yang lebih pendek umumnya lebih tahan rebah karena terpaan angin kencang. Nilai DGU positif dan sangat nyata untuk karakter bobot tongkol panen diperoleh pada Nei9008+o2-14 (L3) dan Nei9008+o2-27 (L7). Kedua genotip tersebut merupakan tetua-tetua yang baik bila digunakan untuk memperoleh hasil tongkol panen yang tinggi, karena memiliki kemampuan untuk bergabung baik dengan genotip lainnya. Untuk karakter rendemen biji panen terhadap tongkol panen, Nei9008+o2-09 (L1), dan MR10+o2-31 (T7) memiliki nilai DGU positif dan sangat nyata, sedangkan MR10+o213 (T2) adalah nyata. Rendemen berkaitan dengan kedalaman biji masuk ke dalam tongkol jagung. Pada tongkol-tongkol besar dengan rendemen yang tinggi mampu menghasilkan produktivitas yang tinggi pula. Hasil uji t 5% menunjukkan bahwa genotip Nei9008+o2 -15 (L4) dan MR10+o2-31 (T7) merupakan penggabung umum yang baik untuk karakter diameter tongkol, sedangkan untuk karakter panjang tongkol tester MR10+o2-26 (T5) merupakan penggabung yang baik dan nyata. Bobot 1000 biji merupakan salah satu karakter penting yang dapat digunakan untuk mengetahui ukuran biji. Nila DGU positif dan nyata pada karakter ini adalah Nei9008+o209 (L1) dan MR10+o2 (T3) sedangkan pada genotip Nei9008+o2 -15 (L4), dan MR10+o226 (T5) adalah sangat nyata. Karakter hasil pada umumnya merupakan tujuan akhir dari program pemuliaan. Nilai DGU positif dan nyata diperlukan untuk merakit tanaman yang memiliki potensi hasil tinggi. Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat tiga lini yang memiliki DGU positif dan sangat nyata yaitu Nei9008+o2-09 (L1), Nei9008+o2-14 (L3) dan Nei9008+o2-27 (L7) 77
serta hanya satu tester yang memiliki nilai DGU positif dan nyata yaitu MR10+o2-31 (T7). Selain itu, diperoleh beberapa lini maupun tester yang memiliki nilai DGU negatif untuk karakter hasil biji. Lini yang memiliki DGU negatif adalah Nei9008+o2-15 (L4), Nei9008+o2 (L5), Nei9008+o2 (L6) dan Nei9008+o2 (L8), sedangkan testernya adalah MR10+o2-08 (T1), MR10+o2-13 (T2), MR10+o2-30 (T6) dan MR10+o2-32 (T8). Genotipgenotip dengan nilai negatif tersebut, baik yang terdapat pada lini maupun pada tester merupakan penggabung umum yang kurang baik sehingga tidak dapat direkomendasikan untuk digunakan dalam perakitan varietas berdaya hasil tinggi. Tabel 23.
Efek daya gabung umum gabungan beberapa karakter agronomis dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK 2006
Genotip
UBB
Lini No2-09 (L1) No2-11 (L2) No2-14 (L3) No2-15 (L4) No2-24 (L5) No2-26 (L6) No2-27 (L7) No2-41 (L8) Tester Mro2-08 (T1) Mro2-13 (T2) Mro2-21 (T3) Mro2-24 (T4) Mro2-26 (T5) Mro2-30 (T6) Mro2-31 (T7) Mro2-32 (T8) SE Keterangan:
T.Tan
T. Tk
Bbt. Tk.P
Rend
D.Tk
Pj.Tk
Bbj
Hsl
-0.68
0.25
-0.36
0.29
0.015**
0.02
0.53
15.09*
0.55**
0.26
0.62
3.02
0.01
0.001
0.08
0.04
-16.15
0.02
0.54
4.34
0.80
0.55**
0.000
0.14
0.47
-15.53
0.45**
-0.14
-8.32**
-3.51
-0.15
-0.010
0.16*
-0.72
19.6**
-0.24
0.32
-4.10
-4.54*
-0.54
-0.001
-0.23
-0.44
-10.98
-0.55
-0.43
-0.69
-2.20
-0.18
-0.004
-0.08
-0.04
6.62
-0.19
-0.30
3.62
2.93
0.49**
0.001
0.01
0.15
-3.03
0.44**
0.42
4.28
3.86
-0.47
-0.004
-0.09
0.01
4.41
-0.49
-0.83*
-3.22
1.52
0.00
-0.002
0.01
0.06
-16.75
-0.06
-0.58
-1.79
-2.42
-0.26
0.010*
-0.02
-0.13
-11.17
-0.17
0.70
9.53
1.93
0.24
-0.019
0.00
0.67
15.02*
0.03
-2.1**
1.00
-2.45
0.24
-0.002
0.09
-0.53
5.47
0.25
0.64
1.34
2.02
0.01
0.002
-0.04
0.95**
15.78**
0.02
0.42
-4.60
-4.51*
-0.12
0.003
-0.11
-0.18
3.35
-0.01
1.04
-3.79
0.61
0.01
0.028**
0.15*
-0.69
0.79
0.33*
0.73 0.37
1.53 3.15
3.30 2.14
-0.12 0.15
-0.020 0.005
-0.09 0.08
-0.16 0.36
-12.49 5.86
-0.38 0.13
No2 = Nei9008+o2; Mro2 = MR10+o2; UBB= Umur berbunga betina; T.Tan = Tinggi tanaman; T.Tk = Tinggi letak tongkol; Bbt.Tk.P = Bobot tongkol panen; Rend = Rendemen; D. Tk = Diameter tongkol; Pj. Tk = Panjang tongkol; J.Brs.Tk = Jumlah baris biji per tongkol; J.Bj.Tk = Jumlah biji per tongkol; Bbj = Bobot 1000 biji; Hsl = Hasil biji kering (k.a. 15%) * :ny a t ame nur utu j itpa dat a r a fα=5 %( 1 . 96) ; **: nyata menur utu j itpa d at a r a fα=1% ( 2. 5 8)
Untuk mengetahui potensi dari masing-masing hibrida hasil persilangan antara set lini (Nei9008+o2) dan set tester (MR10+o2) dalam mengeksploitasikan heterosis pada beberapa karakter penting dapat diketahui berdasarkan pengaruh daya gabung khusus (DGK). Nilai duga DGK untuk karakter agronomis, komponen hasil dan hasil disajikan pada Tabel 24. Beberapa hibrida menunjukkan nilai DGK yang nyata dan sangat nyata. 78
DGK karakter umur berbunga betina menunjukkan bahwa terdapat dua pasang persilangan yang bernilai negatif dan nyata yaitu Nei9008+o2-14 (L3)//MR10+o2-24 (T4) dan Nei9008+o2-24 (L5)//MR10+o2-08 (T1) serta satu pasang yang lainnya yaitu Nei9008+o2-09 (L1)//MR10+o2-24 (T4) sangat nyata. Hibrida ini berasal dari tetua yang memiliki DGU lini tidak nyata dan tester yang nyata Hal ini berarti bahwa persilangan tersebut melibatkan interaksi antara tipe gen-gen non aditif dan aditif. Veraro et al. (2002) mengemukakan bahwa nilai DGK tinggi pada umumnya diperoleh dari hibrida yang berasal dari tetua atau salah satu tetuanya meiliki nilai DGU tinggi. Estimasi nilai DGK negatif nyata untuk karakter umur tanaman, tinggi tanaman dan letak tongkol dimaksudkan untuk memenuhi permintaan sebagian petani atas hibrida yang berumur genjah dan berbatang pendek, namun berdaya hasil tinggi. Dari genotip hibrida yang diuji, hanya satu hibrida yang memiliki DGK negatif sangat nyata untuk karakter tinggi tanaman yaitu Nei9008+o2-15 (L4)//MR10+o2-08 (T1) dan tiga hibrida
yang
memiliki DGK negatif nyata untuk karakter tinggi letak tongkol yaitu Nei9008+o2-15 (L4)//MR10+o2-31 (T7), Nei9008+o2-24 (L5)//MR10+o2-30 (T6) dan Nei9008+o2-26 (L6)//MR10+o2-30 (T6). Hibrida Nei9008+o2-24 (L5)//MR10+o2-30 (T6) berasal dari kedua tetua memiliki DGU negatif dan nyata untuk karakter tinggi letak tongkol. Hal ini mengindikasikan bahwa terjadi interaksi alel-alel positif untuk mengekspresi karakter tersebut. Bobot tongkol panen merupakan karakter yang menggambarkan potensi hasil pada kadar air panen di lapangan. Nilai DGK karakter bobot tongkol panen bervariasi dari sangat rendah (-1.74) hingga DGK tertinggi dan sangat nyata (1.39). Hibrida yang menunjukkan DGK sangat nyata adalah Nei9008+o2-09 (L1)//MR10+o2-31 (T7),
Nei9008+o2-11
(L2)//MR10+o2-21 (T3), Nei9008+o2-14 (L3)//MR10+o2-32 (T8) Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-08 (T1) dan Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-13 (T2). Hibrida yang bernilai DGK nyata untuk karakter bobot tongkol panen yaitu Nei9008+o2-09 (L1)//MR10+o2-26 (T5), Nei9008+o2-09 (L1)//MR10+o2-30 (T6), Nei9008+o2-15 (L4)//MR10+o2-24 (T4), Nei9008+o2-26 (L6)//MR10+o2-24 (T4) dan Nei9008+o2-41 (L8)//MR10+o2-21 (T3).
79
T abel 24. Silangan
Efek daya gabung khusus gabungan beberapa karakter agronomis dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK 2006 UBB
Ti.Tan
L1/T1
0.83
4.47
L1/T2 L1/T3 L1/T4 L1/T5 L1/T6 L1/T7 L1/T8 L2/T1 L2/T2 L2/T3 L2/T4 L2/T5 L2/T6 L2/T7 L2/T8 L3/T1 L3/T2 L3/T3 L3/T4 L3/T5 L3/T6 L3/T7 L3/T8 L4/T1 L4/T2 L4/T3 L4/T4 L4/T5 L4/T6 L4/T7 L4/T8
0.08 0.55 -0.89** -0.14 -0.17 -1.29 1.02 -0.11 0.89 0.11 1.43 -0.57 -1.36 -0.48 0.08 -0.64 -0.39 1.33
-9.21 2.22 -10.75 3.91 13.60 -0.96 -3.28 -1.40 -2.09 -0.90 -4.37 -4.96 6.47 8.91 -1.65 -1.12 5.44 -8.62 1.16 21.57 -6.00 -16.06 3.63
-1.11*
-1.36 1.86 0.24 0.05 -0.45 -0.45 -1.23 1.08 -1.42 -0.20 2.18 0.49
-5.21**
7.10 16.29 9.07 8.72 0.66 -3.90 -2.71
T.Tk -0.61
B.TkP -1.74
Rend -0.024
D.Tk
Pj.Tk
-0.11
-2.41
Bbj 9.92
Hsl -1.74
-5.18 -0.55 -0.017 -0.29 -1.98 -5.02 -0.67 2.98 -0.75 -0.008 -0.09 -0.95 0.24 -0.72 -6.89 -0.13 0.006 0.16 -0.43 -9.43 -0.30 4.64 0.78* -0.011 0.09 -0.27 -7.15 0.53** 13.17 0.71* 0.019** 0.08 1.23 1.55 0.70** -6.46 1.39** 0.020** 0.26* 5.34** 11.89* 1.86** -1.64 0.29 0.014 -0.09 -0.54 -2.01 0.35 -2.74 0.37 -0.007 0.04 0.03 9.61 0.12 6.45 -0.12 -0.037 -0.19 -0.57 -8.40 -0.70 -2.64 0.84** 0.007 0.09 0.94 10.25 0.81* -2.02 -0.29 0.007 -0.10 -0.14 -1.34 -0.30 -2.74 0.13 0.008 0.09 -0.23 1.85 0.41 -2.46 0.32 0.011 0.21 1.04 -1.18 0.63 6.17 -0.99 0.008** 0.03 -0.58 -2.53 -0.82 -0.02 -0.27 0.003 -0.16 -0.48 -8.26 -0.14 0.23 0.17 0.023 -0.13 0.75 -41.93 0.50 1.67 0.34 0.003 0.05 1.38 10.45 0.03 -8.43 -0.66 -0.014 -0.01 -1.97 7.68 -0.70 -3.05 -0.14 0.003 0.41** 0.28 10.84 0.09 12.98 0.13 0.005 0.12 0.06 20.33 0.24 -6.49 -0.66 -0.011 -0.27 -0.64 21.72 -0.71 -0.11 0.08 -0.009 0.02 -0.06 -43.89 -0.11 3.20 0.74** -0.001 -0.20 0.21 14.81 0.67 -8.21 -0.37 0.021 0.03 0.24 -7.61 -0.02 1.48 0.32 -0.008 0.09 1.05 11.31 0.35 3.64 -0.53 0.007 -0.31 -0.76 -23.44 -0.34 4.26 0.84* -0.012 0.15 1.38 10.52* 0.68 7.29 0.68 -0.005 0.03 -0.35 -27.22 0.36 7.82 0.37 -0.002 -0.01 -0.25 9.63 0.17 -10.30* -1.32 -0.010 -0.31 -1.45 5.97 -1.23 -5.99 0.01 0.009 0.33 0.15 20.83 0.04
80
T abel 24 (Lanjutan) Efek daya gabung khusus gabungan beberapa karakter agronomis dan hasil pada dua lokasi pengujian, MK 2006 Silangan
UBB
L5/T1
-1.92*
17.32
L5/T2 L5/T3 L5/T4 L5/T5 L5/T6 L5/T7 L5/T8 L6/T1 L6/T2 L6/T3 L6/T4 L6/T5 L6/T6 L6/T7 L6/T8 L7/T1 L7/T2 L7/T3 L7/T4 L7/T5 L7/T6 L7/T7 L7/T8 L8/T1 L8/T2 L8/T3 L8/T4 L8/T5 L8/T6 L8/T7 L8/T8
-0.17 -0.45 1.11 -0.14 -0.17 0.71 1.02 0.33 0.58 -0.20 0.11 1.61 0.58 -0.79 -2.23 0.96 -1.54 0.68 -0.26 1.49 -0.29 -0.17 -0.86 0.99 0.99 -0.79 -1.48 0.52 -0.26 -0.39 0.43
10.63 -9.18 -12.65 0.25 -3.81 2.38 -4.93 6.91 -4.78 8.41 -2.56 -7.65 -5.46 5.47 -0.34 3.10 2.66 -15.90 10.63 -14.46 0.97 10.66 2.35 5.94 -9.75 7.69 9.47 -7.37 -6.43 -6.50 6.94
1.051
8.915
SE Keterangan:
Ti.Tan
T.Tk 5.07
B.TkP
d_Tk Pj.Tk
0.024
0.08
5.26 -0.25 -0.035 -2.08 -0.48 -0.006 -5.71* -0.61 -0.010 2.57 0.20 0.015 -5.39 0.12 0.005 1.48 0.35 0.011 -1.21 0.24 -0.002 3.73 0.60 -0.024 -4.08 -0.39 -0.017 4.32 0.71 0.016 3.45 0.88* 0.008 -6.77 -0.92 0.004 -7.49* -1.13 -0.001 6.39 -0.09 0.018** 0.45 0.33 -0.004 -0.14 0.96** 0.008* -0.21 1.09** 0.024 -4.30 -0.32 -0.008 6.32 0.06 0.011 -12.14 -0.92 -0.006 2.64 0.39 -0.013 5.01 -0.09 -0.023 2.82 -1.18 0.007 2.67 -0.42 -0.021 -5.39 -0.43 0.087** 6.51 1.18* 0.006 3.64 -0.63 -0.012 -5.83 -0.07 -0.010 -1.80 -0.12 -0.008 -2.18 0.67 -0.016 2.39 -0.17 -0.026
0.33 0.10 -0.55 0.13 -0.12 -0.08 0.11 0.01 -0.05 0.30 0.15 -0.35 -0.12 0.06 0.00 0.26 0.08 -0.30 -0.07 -0.08 0.22 -0.08 -0.02 -0.18 -0.01 0.22 -0.14 -0.02 0.01 0.09 0.03
6.047
0.43
Rend
0.418
0.014 0.075
1.45
Bbj 25.61
Hsl 0.89
-0.11 -6.09 -0.44 0.75 -11.67 -0.29 -1.39 2.49 -0.69 1.04 18.75 0.32 0.69 -9.30 0.22 -3.23 -10.28 -0.09 0.79 -9.52 0.08 0.46 0.55 0.24 -0.81 -11.12 -0.40 1.47* 15.57* 0.67 0.67 -13.15 0.88* 0.66 0.77 -0.80 -1.48 -7.38 -0.97 -0.75 20.04 0.22 -0.21 -5.29 0.16 -0.53 -13.05 0.46* 2.14* 23.47 1.46** -0.30 -8.75 -0.42 -0.47 -0.08 0.22* -0.19 2.06 -0.93 0.43 -9.07 0.14 -0.46 9.80 -0.17 -0.62 -4.38 -0.75 0.01 16.90 -0.44 -1.10 -14.60 0.37 0.82 10.12 0.99 0.09 0.15 -0.58 -0.70 -9.40 -0.12 -1.00 -5.97 -0.17 1.18 8.99 0.35 0.70 -6.18 -0.40 0.819 16.584
0.376
L = Nei9008+o2; T = MR10+o2; UBB= Umur berbunga betina; T.Tan = Tinggi tanaman; T.Tk = Tinggi letak tongkol; Bbt.Tk.P = Bobot tongkol panen; Rend = Rendemen; D. Tk = Diameter tongkol; Pj. Tk = Panjang tongkol; Bbj = Bobot 1000 biji; Hsl = Hasil biji kering (k.a. 15%) *: nyata menurut uji t pada taraf α=5 %( 1 . 96) ; **: nyata menur utu j itpa d at a r a fα=1% ( 2. 5 8)
81
Hibrida yang memiliki DGK positif dan nyata untuk karakter komponen hasil yang lain seperti rendemen biji, diameter dan panjang tongkol adalah hal penting diperhatikan pemulia untuk mendapatkan varietas berdaya hasil tinggi, sedangkan karakter bobot 1000 biji merupakan salah satu parameter ukuran biji. Hasil Uji t menunjukkan bahwa terdapat beberapa pasang lini x tester yang memiliki DGK sangat nyata untuk karakter rendemen biji yaitu Nei9008+o2-09 (L1)//MR10+o2-30 (T6), Nei9008+o2-09 (L1)//MR10+o2-31 (T7), Nei9008+o2-11 (L2)// MR10+o2-31 (T7), Nei9008+o2-26 (L6)// MR10+o2-31 (T7) dan Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-13 (T2) yang memiliki DGK sangat nyata untuk karakter rendemen biji yaitu Nei9008+o2-09 (L1)//MR10+o2-30 (T6), Nei9008+o2-09 (L1)//MR10+o2-31 (T7), Nei9008+o2-11 (L2)// MR10+o2-31 (T7), Nei9008+o2-26 (L6)// MR10+o2-31 (T7) dan Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-13 (T2) serta satu pasang tetua dengan DGK nyata yaitu Nei9008+o2-27 (L7)//MR10+o2-08 (T1).. Selain itu, rekombinasi persilangan Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-31 (T7) dan Nei9008+o2-14 (L3)//MR10+o224 (T4) memiliki nilai DGK positif yang nyata dan sangat nyata untuk karakter diameter tongkol, dengan nilai DGK 0.26 dan 0.41. Untuk karakter panjang tongkol, rekombinasi persilangan Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-31 (T7) memiliki DGK sangat nyata, sedangkan rekombinasi persilangan Nei9008+o2-26 (L6)// MR10+o2-21 (T3) memiliki DGK nyata. Pada karakter bobot 1000 biji yang merupakan salah satu parameter ukuran biji, hibrida Nei9008+o2-15 (L4)//MR10+o2-24 (T4) dan Nei9008+o2-26 (L6)// MR10+o221 (T3) memiliki DGK nyata dengan nilai masing-masing 10.52 dan 15.57. Hasil uji t 5% untuk karakter hasil biji kering (k.a 15%) menunjukkan bahwa terdapat masing-masing empat rekombinasi lini x tester dengan DGK nyata dan sangat nyata. Persilangan antara Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-26 (T5), Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-30 (T6), dan Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-13 (T2) memiliki DGK yang sangat nyata dan berasal dari lini dengan DGU sangat nyata dan DGU tester yang tidak nyata, sedangkan persilangan Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-31 (T7) juga memiliki DGK sangat nyata dan berasal dari lini dengan DGU sangat nyata dan DGU tester yang juga nyata. Hibrida Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-08 (T1) dan Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-24 (T4) memiliki DGK yang nyata dan berasal dari lini dengan DGU sangat nyata dan DGU tester yang tidak nyata. Dua pasang lini x tester yang lain memiliki DGK nyata namun berasal dari lini dan tester dengan DGU tidak nyata. Rekombinasi persilangan tersebut adalah Nei9008+o2-11 (L2)// MR10+o2-13 (T2) dan Nei9008+o2-26 (L6)// MR10+o2-21 (T3). 82
Kejadian dimana lini dan tester yang memiliki DGU tidak nyata, namun rekombinasi persilangannya menghasilkan DGK nyata diduga karena adanya pengaruh faktor lingkungan, mengingat karakter hasil dikendalikan oleh banyak gen, baik yang bersifat aditif, dominant maupun epistasis. Oleh karena itu dalam pendugaan DGK diperlukan beberapa lingkungan untuk mendapatkan nilai DGK yang lebih akurat dan stabil. Pengujian pada musim dan lokasi yang lebih banyak dapat mengurangi pengaruh lingkungan yang berbeda diantara bahan uji (Petersen, 1994). Dengan demikian, hanya rekombinasi persilangan dengan DGK sangat nyata dan nyata dan berasal dari lini dan atau tester yang memiliki DGU nyata atau sangat nyata berdasarkan hasil pengujian lebih dari satu lingkungan yang diharapkan untuk mendapatkan hibrida jagung dengan hasil biji yang tinggi. Analsis varians dan kontribusi dari genotip terhadap karakter agronomis, komponen hasil dan hasil disajikan pada Tabel 25. Varians DGK lebih tinggi dibandingkan dengan varians DGU pada semua karakter. Hal ini menunjukkan besarnya besarnya aksi gen-gen non aditif dalam mengandalikan karakter-karakter tersebut. Tabel 25. Parameter genetik karakter agronomis, komponen hasil dan hasil menggunakan metode lini x tester Karakter
UBB Ti.Tan T.Tk B.TkP Rend D.Tk Pj.Tk B 1000 bj Hsl
2 DGU
0.018 0.216 0.144 0.001 0.000003 0.0002 0.0003 4.664 0.002
2 DGK
0.057 30.174 0.482 0.370 0.00022 -0.003 0.819 23.560 0.388
2 Aditif
0.072 0.866 0.575 0.004 0.00001 0.001 0.001 18.658 0.007
2 Do min an
0.057 30.174 0.482 0.370 0.00022 -0.003 0.819 23.560 0.388
L (%) 8.339 14.378 20.241 25.318 7.754 27.911 8.243 33.272 27.122
Kontribusi T (%) L x T (%) 49.032 42.629 15.197 70.425 15.233 64.526 4.418 70.264 36.195 56.051 11.936 60.153 14.544 77.213 27.468 39.260 7.023 65.855
Keterangan: UBB= L = Nei9008+o2; T = MR10+o2; Umur berbunga betina; T.Tan = Tinggi tanaman; T.Tk = Tinggi letak tongkol; Bbt.Tk.P = Bobot tongkol panen; Rend = Rendemen; D. Tk = Diameter tongkol; Pj. Tk = Panjang tongkol; Bbj = Bobot 1000 biji; Hsl = Hasil biji kering (k.a. 15%).
Hasil yang diperoleh tersebut sejalan dengan yang dilaporkan oleh Xio et al. (1996) pada tanaman padi. Efek DGK yang lebih tinggi daripada DGU diduga karena adanya pengaruh saling melengkapi dari alel-alel baik dominan penuh maupun dominan sebagian pada berbagai lokus yang berbeda pada hibrida F1 sebagai penyumbang terbesar terjadinya heterosis. Kontribusi lini x tester terhadap varians total lebih besar daripada kontribusi lini 83
atau tester secara individu pada semua karakter, kecuali karakter umur berbunga betina denagn kontribusi tester yang lebih besar dan bobot 1000 biji untuk konststribusi lini yang lebih besar. Uji Potensi Hibrida Analisis gabungan karakter hasil biji menunjukkan bahwa genotip dan
interaksi
genotip x lokasi berturut turut berpengaruh nyata dan sangat nyata terhadap hasil biji (Lampiran 6). Menurut Sumarno (1984), penampilan suatu karakter dari materi pemuliaan yang diseleksi ditentukan oleh tingkat kepekaannya terhadap lingkungan, dimana pada lingkungan yang baik memperlihatkan penampilan yang baik, namun sebaliknya pada lingkungan yang jelek memperlihatkan penampilan yang kurang baik. Tingkat kepekaan genotip terhadap lingkungan turut menentukan tingkat kestabilannya yang dapat diukur melalui besaran nilai interaksi genotip x lingkungan. Hasil ini didukung oleh hasil analisis tanah pada kedua lokasi pengujian yang menunjukkan beberapa sifat fisik dan kimia yang berbeda (Lampiran 8). Rata-rata hasil biji kering dari tiap lokasi dan gabungan kedua lokasi disajikan pada Tabel 26. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat beberapa hibrida QPM o2 yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan keempat varietas pembanding. Kisaran hasil genotip uji di lokasi Bone adalah 4.9 –10.0 t/ha dan lokasi Bajeng adalah 6.6 –8.7 t/ha, sedangkan untuk rata-rata kedua lokasi berkisar antara 5.3 t/ha –9.3 t/ha. Sebaran frekuensi hasil biji genotip uji pada lokasi pengujian disajikan pada Gambar 18. Nilai koefisien keragaman (KK) di lokasi Bone, Bajeng dan gabungan lokasi berturut-turut 11.0%, 12.8% dan 12.0%, lebih kecil dibandingkan syarat KK maksimum untuk pengujian daya hasil jagung (KK = 20%). Hal ini menunjukkan bahwa tingkat akurasi data yang dipperoleh cukup tinggi.
84
Tabel 26. Hasil biji (k.a 15%) genotip uji dan cek pada dua lokasi pengujian, MK 2006 No
Genotip
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 K1 K2 K3 K4
L1/T1 L1/T2 L1/T3 L1/T4 L1/T5 L1/T6 L1/T7 L1/T8 L2/T1 L2/T2 L2/T3 L2/T4 L2/T5 L2/T6 L2/T7 L2/T8 L3/T1 L3/T2 L3/T3 L3/T4 L3/T5 L3/T6 L3/T7 L3/T8 L4/T1 L4/T2 L4/T3 L4/T4 L4/T5 L4/T6 L4/T7 L4/T8 C7 Bima 1 Srik K-1 Bima 1q LSI KK (%) GxL
Keterangan:
Bone t/ha 5.3 5.5 6.0 6.2 8.0bcd 8.2bcd
Bajeng Rerata t/ha t/ha 5.5 5.4 7.1 6.3 7.0 6.5 d 8.0 7.1cd 7.4 7.7 cd 7.5 7.8 bcd abcd 10.0 8.7 cd 9.3a 6.8cd 7.5 7.1cd 6.2 7.2 6.7 d 6.0 5.5 5.8 cd d 6.8 8.1 7.5 cd 6.6 d 6.5 6.6 cd 7.0 7.1 7.0 cd 8.7 bcd 5.8 7.2 cd 5.8 6.5 6.1 5.7 6.5 6.1 cd d 7.0 8.0 7.5 cd 6.4 d 7.5 6.9 cd 5.8 7.0 6.4 cd 7.5 7.3 7.4 cd 7.7 cd 6.9 7.3 cd 5.4 7.2 6.3 cd 6.8 7.8 7.3cd 7.2 cd 7.5 7.3 cd 5.0 7.5 6.3 cd 6.9 6.2 6.6 5.1 7.0 6.0 bcd 8.4 6.2 7.3 cd d 6.5 7.0 6.7d 5.5 7.6 6.5 5.6 5.3 5.5 5.3 6.7 6.0 7.8 7.0 7.4 6.3 7.1 6.7 5.3 6.4 5.8 4.9 6.2 5.5 1.4 1.7 1.1 11.0 12.8 12.0 **
No
Genotip
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 K1 K2 K3 K4
L5/T1 L5/T2 L5/T3 L5/T4 L5/T5 L5/T6 L5/T7 L5/T8 L6/T1 L6/T2 L6/T3 L6/T4 L6/T5 L6/T6 L6/T7 L6/T8 L7/T1 L7/T2 L7/T3 L7/T4 L7/T5 L7/T6 L7/T7 L7/T8 L8/T1 L8/T2 L8/T3 L8/T4 L8/T5 L8/T6 L8/T7 L8/T8 C7 Bima 1 Srik K-1 Bima 1q LSI KK (%) GxL
Bone Bajeng Rerata t/ha t/ha t/ha cd 6.9 6.9 6.9 cd 5.0 5.9 5.5 d 6.4 5.1 5.8 5.6 5.7 5.6 6.2 6.6 6.4 6.0 6.5 6.3 d 6.7 5.8 6.3 4.9 6.6 5.8 6.2 7.0 6.6 5.9 5.8 5.8 bcd 8.6 5.7 7.1 cd 6.7d 8.3 cd 7.5 cd 6.0 5.3 5.6 6.2 4.6 5.4 d 6.6 7.3 7.0 cd 6.8 cd 5.6 6.2 d cd 6.6 8.3 7.4 cd 9.2bcd 7.5 8.3bcd 7.2 cd 6.1 6.7d 7.0 cd 8.1d 7.5 cd 6.1 6.2 6.1 b 8.0 6.4 7.2 cd 7.8 b 6.7 7.2 cd 5.7 6.1 5.9 5.7 5.6 5.6 cd 6.8 5.8 6.3 d 6.7 7.6 7.1 cd 6.4 d 5.2 5.8 6.1 5.9 6.0 5.3 6.5 5.9 d 5.6 8.0 6.8d 5.1 5.6 5.3 7.8 7.0 7.4 6.3 7.1 6.7 5.3 6.4 5.8 4.9 6.2 5.5 1.4 1.7 1.1 11.0 12.8 12.0 **
K = Cek (pembanding); Srik K-1 = Srikandi Kuning 1; Bima 1q = Konversi o2 pada Bima 1 a = nyata lebih baik dari C7; b= nyata lebih baik dari Bima-1; c = nyata lebih baik dari Srikandi Kuning-1; d = nyata lebih baik dari Bima 1q. menurut uji LSIpa dat a r a fα=5%.
85
Jumlah
30 25 20 15 10 5 0
Bima-1 C7
SK-1 Bima 1q
Bn Bj Gab
≥9. 0 ≥8. 0 ≥7. 0 ≥6. 0 ≥5. 0 ≥4. 0 Hasil (t/ha)
Gambar 17. Histogram sebaran frekuensi hasil biji kering (k.a 15%) 64 hibrida hasil introgresi gen mutan o2 di Bone dan Bajeng, MK 2006. Hasil pengujian di lokasi Bone menunjukkan bahwa hibrida Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-31 (T7) memberikan hasil 10 t/ha dan nyata lebih tinggi dibandingkan varietas hibrida C7 (7.8 t/ha), hibrida Bima-1 (6.3 t/ha), Srikandi Kuning-1 (5.3 t/ha) dan hibrida Bima-1q (4.9 t/ha). Diperoleh sembilan genotip uji yang hasilnya nyata lebih tinggi dari varietas hibrida Bima-1, Srikandi Kuning-1 dan Bima-1q, dua puluh empat genotip uji yang hasilnya nyata lebih tinggi dari varietas Srikandi Kuning-1 dan Bima-1q, dan tiga puluh empat genotip uji yang hasilnya nyata lebih tinggi dari hibrida Bima-1q. Genotip uji lainnya tidak berbeda nyata dengan hibrida Bima-1q untuk karakter hasil biji. Distribusi potensi hasil genotip uji menunjukkan bahwa frekuensi hasil tertinggi pada kisaran 6 t/ha - 7 t/ha (Gambar 17). Hasil uji LSI 5% berdasarkan hasil pengujian lokasi Bajeng menunjukkan bahwa tidak diperoleh genotip uji yang hasilnya nyata lebih tinggi dibandingkan dengan C7 (7.0 t/ha) dan Bima 1 (7.1 t/ha), namun terdapat delapan genotip uji yang hasilnya 8.0-8.7 t/ha. Selain itu, diperoleh tiga genotip uji yang hasilnya nyata lebih tinggi dari varietas Srikandi Kuning-1 (6.4 t/ha) dan Bima 1q (6.2 t/ha), serta delapan genotip uji yang hasilnya nyata lebih tinggi dari hibrida Bima-1q. Genotip uji yang lain tidak berbeda nyata dengan hibrida Bima-1q. Distribusi potensi hasil genotip uji di Bajeng menunjukkan bahwa frekuensi hasil tertinggi berkisar antara 7 t/ha - 8 t/ha (Gambar 17). Hasil analisis gabungan menunjukkan bahwa hibrida Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-31 (T7) menunjukkan rata-rata hasil tertinggi dan berbeda nyata dengan semua pembanding, tiga genotip uji yang hasilnya nyata lebih tinggi dari varietas hibrida Bima-1, Srikandi Kuning-1 dan Bima-1q, dua puluh lima genotip uji yang hasilnya nyata lebih tinggi 86
dari varietas Srikandi Kuning-1 dan Bima-1q, serta dua puluh sembilan genotip uji yang hasilnya nyata lebih tinggi dari varietas hibrida Bima-1q. Komponen agronomi yang diamati meliputi umur keluar rambut, tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, dan bobot tongkol panen (Tabel 26).
Hasil analisis gabungan
menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi genotip dan lokasi untuk karakter 50% umur berbunga betina, tinggi tanaman dan tinggi letak tongkol, sedangkan pada karakter bobot tongkol panen interaksi genotip x lokasi sangat nyata. Hal ini diduga karena penelitian dilakukan pada saat musim kemarau sehingga tanaman tidak mengalami fluktuasi cuaca yang besar di kedua lokasi. Rata-rata umur 50% keluarnya bunga betina (rambut) berkisar 52.3 –59 hari setelah tanam. Faktor genetik dan respon genetik terhadap lingkungannya merupakan penyebab utama beragamnya umur berbunga dari genotip-genotip uji. Genotip uji yang umur berbunganya paling genjah adalah Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-24 (T4), dan berbeda nyata dengan semua genotip pembanding. Terdapat delapan genotip uji yang memiliki umur yang nyata lebih genjah dari semua pembanding. Genotip yang lebih cepat berbunga pada umumnya lebih cepat panen dan merupakan salah satu kriteria seleksi oleh pemulia untuk menghasilkan varietas jagung unggul berumur genjah (Poespodarsono, 1988). Tanaman berumur genjah dengan produktivitas tinggi pada umunya disukai oleh petani karena selain memperpendek pemeliharaan di lapangan sehingga hasilnya lebih cepat dipanen, juga sangat penting dalam pemanfaatan lahan setelah panen padi dimana saat itu juga menjelang musim kemarau. Dengan demikian tanaman dapat terhindar dari kegagalan panen akibat kekeringan. Tinggi tanaman bervariasi antara 108.3 –182.3 cm, sedangkan tinggi letak tongkol berkisar antara 61.3 –91.5 cm. Hibrida Nei9008+o2-15 (L4)// MR10+o2-08 (T1) memiliki tinggi tanaman paling pendek dan berbeda nyata dengan semua pembanding. Diperoleh sembilan genotip uji yang tanamannya nyata lebih pendek dari varietas hibrida C7,
Bima
1 dan Srikandi Kuning 1. Berbeda halnya dengan tinggi letak tongkol, dimana genotip uji tidak berbeda nyata dengan tiga varietas hibrida C7, Bima 1 dan Bima 1q. Sebanyak 45 genotip uji yang memiliki tinggi letak tongkol yang nyata lebih pendek dari varietas Srikandi Kuning-1. Informasi tentang tinggi tanaman dan letak tongkol sangat penting untuk budidaya jagung karena ada daerah-daerah tertentu yang cocok untuk tanaman yang lebih pendek, terutama pada daerah ketinggian dengan tiupan angin kencang sedangkan tanaman yang tinggi dibutuhkan pada daerah-daerah yang rawan terhadap hama babi dan anjing (Azrai et al., 2004). 87
Karakter bobot tongkol kupasan panen merupakan salah satu parameter yang diukur untuk mengetahui potensi hasil tanaman. Karakter ini memberikan informasi yang sangat penting untuk mengetahui potensi hasil tanaman dengan cepat. Dengan menggunakan persamaan yang melibatkan bobot tongkol kupasan panen, luas panen, kadar air dan rendemen biji, poroduksi tanaman jagung per satuan luas dapat diketahui, tanpa menunggu prosesing biji sampai kering (CIMMYT, 1994). Dari hasil analisis gabungan diperoleh inpormasi bobot rata-rata kupasan tongkol panen per genotip uji berkisar antara 6.2 –9.4 t/ha. Hasil uji LSI 5% menunjukkan bahwa tidak diperoleh bobot tongol kupasan panen yang nyata lebih tinggi dari varietas hibrida C7 dan Bima 1, namun enam genotip uji yang nyata lebih tinggi dari varietas Srikandi Kuning1 dan hibrida Bima 1q. Keenam genotip uji tersebut adalah Nei9008+o2-09 // MR10+o2-31 (9.4 t/ha), Nei9008+o2-27// MR10+o2-08 (9.1 t/ha), Nei9008+o2-27// MR10+o2-13 (9.0 t/ha), Nei9008+o2-14// MR10+o2-32 (8.9 t/ha), Nei9008+o2-11// MR10+o2-21 (8.8 t/ha), dan Nei9008+o2-09// MR10+o2-26 (8.8 t/ha). Hasil analisis gabungan terhadap komponen hasil disajikan disajikan pada Tabel 27. Dari analisis ragam gabungan diketahui bahwa nilai kuadrat tengah genotip nyata untuk karakter panjang tongkol dan sangat nyata untuk rendemen bij, namun tidak nyata untuk karakter diamter tongkol dan bobot 1000 biji (Lampiran. 6). Selain itu, hasil analisis ragam gabungan juga menunjukkan bahwa terdapat interaksi genotip x lokasi yang nyata untuk karakter panjang tongkol, sedangkan untuk karakter diameter tongkol, rendemen dan bobot 1000 biji tidak nyata. Karakter panjang tongkol bervariasi diantara genotip uji yaitu berkisar antara 9.7 – 19.2 cm. Hasil analisis LSI 5% menunjukkan bahwa tidak satupun genotip uji yang memiliki tongkol nyata lebih panjang dari varietas hibrida Bima 1, namun terdapat satu genotip uji yang nyata dibandingan dengan varietas hibrida C7, hibrida Bima 1q dan Srikandi Kuning 1. Genotip yang memiliki tongkol terpanjang adalah Nei9008+o2-09 // MR10+o2-31 (9.4 t/ha). Selain panjang tongkol, diameter tongkol juga merupakan salah satu faktor yang menentukan produktivitas tanaman. Karakter diameter tongkol dari genotip uji bekisar antara 11.7 –14.3 cm. Hasil uji LSI 5% menunjukkan bahwa tidak satupun genotip uji yang memiliki diameter tongkol nyata lebih besar dibandingkan dengan varietas hibrida Bima 1 dan Srikandi Kuning 1. Genotip Nei9008+o2-14 (L3)// MR10+o2-24 (T4) memiliki diameter tongkol yang nyata lebih besar dari varietas hibrida C7 dan hibrida Bima 1q, serta 5 genotip lainnya yang nyata lebih besar dari hibrida Bima 1q. 88
Tabel 27. Karakter agronomis genotip uji dan cek dari gabungan dua lokasi pengujian, MK 2006 No
Genotip
UBB
TT
TTk
TkP
hari
No
Genotip
UBB
cm
cm
Kg
hari
ab
c
abcd
TT cm
TTk
TkP
cm
Kg
c
1 2
L1/T1 L1/T2
55.3 54.8 abc
156.5 144.3bcd
76.3 67.8c
6.2 7.2
33 34
L5/T1 L5/T2
53.5 55.5ab
165 159.8
77.8 74.0c
7.6 6.6
3 4
L1/T3 L1/T4
56.5 52.3 abcd
167 145.5bcd
80.3 66.0c
7.5 8.1
35 36
L5/T3 L5/T4
56.5 55.3ab
151.3cd 139.3bcd
71.0c 63.0c
6.9 6.8
5 6
L1/T5 L1/T6
55.8 ab 55.5 ab
160.5 164.3
82 84
8.8cd 8.6d
37 38
L5/T5 L5/T6
56.8 56.5
152.5cd 142.5bcd
75.8c 61.3c
7.4 7.2
7 8
L1/T7 L1/T8
55.0 abc 57
150.5cd 153.0cd
69.5c 77.0c
9.4cd 8.1
39 40
L5/T7 L5/T8
58 58
149.5cd 147.5cd
73.3c 73.3c
7.5 7.3
9 10
L2/T1 L2/T2
55.3 ab 56.5
151.0cd 151.8cd
77.5c 82.8
8.1 7.3
41 42
L6/T1 L6/T2
55.0abc 55.5ab
158 147.8cd
78.8c 67.0c
8.1 6.9
11 12
L2/T3 L2/T4
57 55.5 ab
164.3 152.3cd
78.0c 74.3c
8.8cd 7.7
43 44
L6/T3 L6/T4
56.0ab 53.5abcd
172.3 152.8cd
79.8c 74.5c
8.5 8.6d
13 14
L2/T5 L2/T6
56.3b 55.3 ab
152.0cd 157.5
78.0c 71.8c
7.8 7.9
45 46
L6/T5 L6/T6
57.8 56.5
148.0cd 144.3bcd
68.8c 61.5c
6.6 6.3
15 16
L2/T7 L2/T8
56.8 57
160.8 155.5
85.5 82
6.7 7.3
47 48
L6/T7 L6/T8
55.8ab 54.0abcd
156 155.5
80.5 77.3c
7.4 7.7
17 18
L3/T1 L3/T2
55.0 abc 55.5 ab
155.0cd 163
78.3c 75.8c
8.4 8.3
49 50
L7/T1 L7/T2
55.8ab 53.5abcd
158.5 159.5
80 76.0c
9.1cd 9.0cd
19 20
L3/T3 L3/T4
58.5 53.3 abcd
160.3 161.5
70.0c 71.0c
7.8 8.3
51 52
L7/T3 L7/T4
57 53.3abcd
152.3cd 170.3
76.3c 82.5
8.1 8.5
21 22
L3/T5 L3/T6
55.8 ab 58.8
182.3 148.8cd
91.5 65.5c
8.4 7.5
53 54
L7/T5 L7/T6
57.8 55.8ab
145.5bcd 155.0cd
68.5c 76.8c
7.3 8.4
23 24
L3/T7 L3/T8
57.8 57.3
139.5bcd 164.5
77.0c 83
8.3 8.9cd
55 56
L7/T7 L7/T8
56.5 55.5ab
165.5 162.5
84.3 84.8
8.1 6.9
25 26
L4/T1 L4/T2
54.5 abc 54.8 abc
108.3abcd 152.0cd
65.5c 71.3c
7.2 7.6
57 58
L8/T1 L8/T2
56.5 56.8
162 147.8cd
83.8 71.8c
6.8 6.5
27 28
L4/T3 L4/T4
55.3 ab 54.8 abc
172.5 156.8
77.8c 74.0c
7.2 8.6d
59 60
L8/T3 L8/T4
56.3b 52.8abcd
176.5 169.8
88 80.8
8.6d 6.8
29 30
L4/T5 L4/T6
55.0 abc 56.0 ab
156.8 142.8bcd
81.5 75.5c
8.2 7.8
61 62
L8/T5 L8/T6
57.5 56.5
153.3cd 148.3cd
75.8c 73.3c
7.2 7
31 32 K1 K2 K3 K4
L4/T7 L4/T8 C7 Bima 1 Srik K-1 Bima 1q LSI KK (%) GxL
59 57 59 59.3 58 57 2.83 13.6 tn
139.0bcd 145.5bcd 163 173.5 182 155.3 26.19 12.0 tn
62.5c 69.5c 77 75.5 97.5 70.3 18.5 17.4 tn
6.2 7.4 8.3 8.4 7.4 7.3 1.25 11.6 **
63 64 K1 K2 K3 K4
L8/T7 L8/T8 C7 Bima 1 Srik K-1 Bima 1q
57 57.5 59 59.3 58 57 2.83 13.6 tn
149.0cd 167.8 163 173.5 182 155.3 26.19 12.0 tn
78.0c 85.3 77 75.5 97.5 70.3 18.47 17.4 tn
7.9 6.9 8.3 8.4 7.4 7.3 1.25 11.6 **
Keterangan:
K = Cek (pembanding); Srik K-1 = Srikandi Kuning 1; Bima 1q = Konversi o2 pada Bima 1; UBB = Umur berbunga betina; TT = Tinggi tanaman; TTk = Tinggi letak tongkol; TkP = Berat tongkol panen; a = nyata lebih baik dari C7; b= nyata lebih baik dari Bima-1; c = nyata lebih baik dari Srikandi Kuning-1; d = nyata lebih baik dari Bima 1q. menurut ujiLSIpa dat a r a fα=5%.
89
Tabel 28. Karákter komponen hasil genotip uji dan cek dari gabungan dua lokasi pengujian, MK 2006 No
Genotip
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 K1 K2
L1/T1 L1/T2 L1/T3 L1/T4 L1/T5 L1/T6 L1/T7 L1/T8 L2/T1 L2/T2 L2/T3 L2/T4 L2/T5 L2/T6 L2/T7 L2/T8 L3/T1 L3/T2 L3/T3 L3/T4 L3/T5 L3/T6 L3/T7 L3/T8 L4/T1 L4/T2 L4/T3 L4/T4 L4/T5 L4/T6 L4/T7 L4/T8 C7 Bima 1
K3 K4
Sri K-1 Bima 1q LSI KK GxL
Keterangan:
Pj.Tk cm 12.2 12.4 14.3 13.6 15.2 15.6 19.2abd 13.9 14.2 13.4 15.7 13.4 14.8 14.9 12.8 13.4 15.3 15.8 13.2 14.3 15.5 13.7 13.8 14.6 13.6 14.2 13.2 14.2 13.9 12.9 11.2 13.3 15.6 17.5
D.Tk cm 4.2 4.0 4.2 4.5 4.3 4.3 4.7a 4.1 4.4 4.1 4.4 4.3 4.4 4.5 4.5 4.1 4.3 4.4 4.4 4.9ad 4.5 4.0 4.6a 4.1 4.5 4.5 4.1 4.7a 4.4 4.3 4.3 4.7a 4.0 4.5
0.70 0.72d 0.70 0.73bcd 0.71d 0.75bcd 0.77bcd 0.72d 0.70 0.68 0.70 0.71d 0.72d 0.72d 0.75bcd 0.69 0.73bcd 0.72d 0.68 0.71d 0.72d 0.70 0.73bcd 0.69 0.72d 0.70 0.69 0.68 0.70 0.70 0.72d 0.69 0.77 0.69
Bbt bj g 270.8 261.5 292.9ad 273.7d 286.3ad 282.6ad 290.4ad 263.2 239.3 226.9 271.7d 250.6 264.1 248.6 244.7 225.7 233.4 246.3 269.8 263.4 283.2ad 272.1d 204.0 249.4 257.8 282.3ad 228.7 298.1ad 270.7 295.1ad 288.9ad 290.5ad 226.1 276.9ad
14.5 15.2 2.5 12.7 *
4.4 4.2 0.5 9.3 tn
0.69 0.67 0.03 3.10 tn
255.9 223.0 48.5 13.3 tn
Rend
No
Genotip
33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 K1 K2
L5/T1 L5/T2 L5/T3 L5/T4 L5/T5 L5/T6 L5/T7 L5/T8 L6/T1 L6/T2 L6/T3 L6/T4 L6/T5 L6/T6 L6/T7 L6/T8 L7/T1 L7/T2 L7/T3 L7/T4 L7/T5 L7/T6 L7/T7 L7/T8 L8/T1 L8/T2 L8/T3 L8/T4 L8/T5 L8/T6 L8/T7 L8/T8 C7 Bima 1
K3 K4
Sri K-1 Bima 1q LSI KK GxL
Pj.Tk cm 15.1 13.4 15.0 11.7 15.6 14.1 9.7 14.2 14.5 13.1 16.1 14.1 15.6 12.3 12.6 13.6 13.7 16.2 14.6 13.2 14.9 14.4 13.0 13.4 14.1 12.8 15.5 13.6 14.3 12.9 14.5 14.6 15.6 17.5
D.Tk cm 4.1 4.3 4.1 3.6 4.1 3.8 4.1 4.1 4.2 4.1 4.5 4.4 3.8 4.0 4.4 4.1 4.6a 4.3 4.0 4.3 4.2 4.4 4.3 4.2 4.0 4.2 4.4 4.1 4.1 4.1 4.4 4.1 4.0 4.5
0.73bcd 0.68 0.68 0.69 0.72d 0.72d 0.75bcd 0.68 0.68 0.70 0.70 0.71d 0.71d 0.71d 0.75bcd 0.68 0.71d 0.74bcd 0.68 0.72d 0.70 0.70 0.71d 0.70 0.68 0.80bcd 0.69 0.69 0.70 0.70 0.72d 0.66 0.77 0.69
Bbt bj g 260.5 234.4 255.0 259.6 286.1ad 245.7 242.1 229.6 253.0 246.9 299.8ad 261.5 285.8ad 265.2 290.0ad 251.4 229.8 271.9d 265.8 265.0 277.4ad 253.8 270.2 242.7 267.1 241.2 292.1ad 272.6d 273.4d 264.4 276.8ad 248.3 226.1 276.9ad
14.5 15.2 2.5 12.7 *
4.4 4.2 0.5 9.3 tn
0.69 0.67 0.03 3.10 tn
255.9 223.0 48.5 13.3 tn
Rend
K = Cek (pembanding); Sri K-1 = Srikandi Kuning 1; Bima 1q = Konversi o2 pada Bima 1; Pj. Tk = Panjang tongkol; D. Tk = Diameter tongkol; Rend = Rendemen; Bbt.bj = Bobot 1000 biji; a = nyata lebih baik dari C7; b= nyata lebih baik dari Bima-1; c = nyata lebih baik dari Srikandi Kuning-1; d = nyata lebih baik dari Bima 1q. me nur utu j iLSIpa dat a r a fα=5%.
90
Karakter rendemen biji memiliki variasi yang cukup besar diantara genotip uji dengan kisaran antara 0.66 –0.80. Hasil uji LSI 5% menunjukkan bahwa tidak diperoleh genotip uji yang memiliki rendemen nyata lebih tinggi dari varietas hibrida C7. Namun demikian, diperoleh 11 genotip uji dengan rendemen biji berkisar antara 0.73 –0.80 dan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas hibrida Bima 1, Srikandi Kuning 1 dan hibrida Bima 1q , serta 20 genotip uji lainnya nyata lebih tinggi dari hibrida Bima 1q. Pada karakter 1000 biji, tidak satupun genotip uji yang nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas hibrida Bima-1 dan Srikandi Kuning 1. Dari 64 genotip uji, terdapat 18 genotip dengan kisaran bobot biji antara 276.8 –299.8 dan nyata lebih tinggi dari varietas hibrida C7 dan hibrida Bima 1q, dan 4 genotip uji lainnya yang juga lebih tinggi dari hibrida Bima 1q. Karakter penting lain yang dianalisis adalah parameter kualitatif yang dilakukan secara visual di lapang dengan memberikan skor 1 (sangat baik) sampai dengan skor 5 (sangat jelek) untuk penampilan tanaman (plant aspect), penampilan tongkol (ear aspect), penutupan kelobot (husk cover) berdasarkan kriteria CIMMYT (1994). Hasil skor parameter kualitatif tersebut disajikan pada Tabel 28. Data yang dianalisis dan ditampilkan merupakan hasil transformasi akar kuadrat untuk memenuhi asumsi normalitas ragam data. Skor penampilan tanaman dilakukan untuk melihat keserempakan tumbuh dalam satu petak dengan memperhatikan keserempakan pertumbuhan tinggi tanaman, tinggi tertancapnya tongkol serta kekohan batang dan akar. Hasil uji LSI 5% menunjukkan bahwa tidak diperoleh genotip uji yang memiliki penampilan tanaman yang nyata lebih baik dari varietas hibrida C7, meskipun beberapa diantaranya memiliki nilai skor yang lebih baik seperti Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-31 (T7), Nei9008+o2-14 (L3)// MR10+o2-13 (T2), Nei9008+o2-31 (L7)// MR10+o2-13 (T2), Nei9008+o2-31 (L7)// MR10+o2-31 (T7) dan Nei9008+o2-26 (L6)// MR10+o2-08 (T2). Sebanyak 31 genotip uji dengan skor penampilan tongkol nyata lebih baik dibandingkan dengan varietas hibrida Bima 1, hibrida Bima 1q dan 42 genotip lainnya nyata lebih baik dari Srikandi Kuning 1.
91
Tabel 29. Skor penampilan tanaman, klobot dan tongkol genotip uji dan cek dari gabungan dua lokasi pengujian, MK 2006 No 1 2 3 4 5 6
As.Tan
As.Kl Skor 1-5
As.Tk
L1/T1
1.45
1.22
1.54
L1/T2
1.3
bcd
d
1.54
1.26
bcd
1.22
d
d
1.32
Genotip
L1/T3 L1/T4
1.36
L1/T5 L1/T6
1.16 1.11
As. Tan
As.Kl Skor 1-5
As.Tk
No
Genotip
33
L5/T1
1.37d
1.37
1.41
34
L5/T2
bcd
1.11d
1.44
1.49
35
L5/T3
1.50
1.37
1.54
1.54
36
L5/T4
1.54
1.37
1.53
1.37d
37
L5/T5
1.41
1.37
1.46
1.46
d
1.40
bd
1.37d
1.32
1.32
bcd
1.3
bcd
1.22
1.11
bcd
d
1.17cd
39
L5/T7
1.41
1.16d
1.16cd
40
L5/T8
1.41
1.11d
1.61
bcd
d
1.36d
38
L5/T6
1.16
7
L1/T7
8
L1/T8
1.35d
9
L2/T1
d
1.26
1.31d
41
L6/T1
10
L2/T2
1.46
1.27
1.32d
42
L6/T2
1.46
1.27
1.54
L2/T3
1.27
bcd
1.22
1.36d
43
L6/T3
1.46
1.22
1.48
bcd
d
1.26d
44
L6/T4
1.41
1.32
1.37d
1.52
1.45
45
L6/T5
1.22bcd
1.26
1.49
L6/T6
1.3
bcd
d
1.50
1.26
bcd
bd
1.49
bcd
abd
1.32d
11
1.35
12
L2/T4
1.32
13
L2/T5
1.27bcd
L2/T6
bcd
14 15
1.26
L2/T7
1.17
1.21
1.16cd
46
1.17
d
1.25
bcd
abcd
1.32d
48
L6/T8
1.22
1.37 1.32
1.11
1.27d
1.00
1.41
47
L6/T7
1.10
1.16
1.11 1.10
16
L2/T8
17
L3/T1
1.37d
1.26
1.22d
49
L7/T1
1.22bcd
1.22
1.26d
18
L3/T2
1.11bcd
1.11d
1.22d
50
L7/T2
1.11bcd
1.11d
1.16cd
19
L3/T3
1.49
1.37
1.49
51
L7/T3
1.37d
1.37
1.31d
20
L3/T4
1.32bcd
1.22
1.27d
52
L7/T4
1.22bcd
1.16d
1.16cd
21
L3/T5
1.22bcd
1.27
1.41
53
L7/T5
1.41
1.22
1.53
d
1.45
54
L7/T6
1.3
bcd
d
1.31d
1.37
1.25d
55
L7/T7
1.16bcd
1.06abd
1.45
bcd
bd
1.46
22
L3/T6
1.46
23
L3/T7
1.32bcd
L3/T8
d
1.22
1.16cd
56
L7/T8
bcd
1.26
1.31d
57
L8/T1
1.41
1.21
1.31d
1.31d
58
L8/T2
1.41
1.11d
1.54
d
1.31d
24
1.35
1.16
1.06
1.26
1.16 1.10
25
L4/T1
1.32
26
L4/T2
1.27bcd
1.22
27
L4/T3
1.39
d
d
1.45
59
L8/T3
1.41
1.11
28
L4/T4
1.25bcd
1.06abd
1.17cd
60
L8/T4
1.35d
1.16d
1.41
L4/T5
d
1.26
1.53
61
L8/T5
1.41
1.22
1.53
1.41
1.17
d
1.27d
62
L8/T6
1.41
1.22
1.69
1.11
d
L8/T7
bcd
d
1.49
d
1.41 1.11 1.37 1.41 1.61 0.23 11.80 tn
29 30 31 32 K1 K2 K3 K4
1.37
L4/T6 L4/T7
1.46
L4/T8 C7 Bima 1 Sri K1 Bima 1q LSI KK GxL
Keterangan:
bcd
1.32 1.32 1.54 1.61 1.54 0.21 11.30 tn
1.11
1.22 1.27 1.31 1.22 1.41 0.20 12.00 **
1.54 1.49 1.11 1.37 1.41 1.61 0.23 11.80 tn
63 64 K1 K2 K3 K4
L8/T8 C7 Bima 1 Sri K1 Bima 1q LSI KK GxL
1.25
1.45 1.32 1.54 1.61 1.54 0.21 11.30 tn
1.16
1.11 1.27 1.31 1.22 1.41 0.20 12.00 **
K = Cek (pembanding); Sri K-1 = Srikandi Kuning 1; Bima 1q = Konversi o2 pada Bima 1; As. Tan = Aspek tanaman; As.Kl = Aspek klobot; As Tk = Aspek tongkol; Nilai Skor 1 paling baik sampai 5 paling jelek; a = nyata lebih baik dari C7; b= nyata lebih baik dari Bima-1; c = nyata lebih baik dari Srikandi Kuning-1; d = nyata lebih baik dari Bima 1q. me nur utu j iLSIpa dat a r a fα=5%.
92
Penampilan tanaman dan tongkol sangat penting artinya karena terkait dengan ideotipe tanaman. Genotip tanaman yang mampu mengekspresikan penampilan tanaman ideal akan menjadi semakin efisien dalam memanfaatkan energi dalam rangka mengoptimalkan proses metabolisme di dalam tubuh tanaman. Namun demikian, tidak semua tanaman yang memberikan penampilan secara visual baik, juga memiliki produktivitas tinggi. Genotip yang memiliki penampilan tongkol yang menarik mempunyai daya tarik tersendiri bagi konsumen dalam memilih hasil produk pertanian. Ada kecenderungan bahwa warna biji kuning jernih dan mengkilap lebih disukai oleh petani dibandingkan dengan warna biji buram. Penutupan klobot juga sangat penting diperhatikan dalam seleksi karena terkait dengan kemampuan tanaman untuk melindungi biji dari kerusakan yang disebabkan oleh cuaca yang tidak menguntungkan, infeksi aflatoksin dan untuk mengurangi luka atau bekas gigitan serangga dan burung (Poehlman dan Sleper, 1995). KESIMPULAN 1. Pengaruh interaksi genotip x lokasi nyata untuk karakter bobot tongkol panen dan hasil, sedangkan untuk karakter lain tidak nyata 2. Penampilan karakter hasil, komponen hasil dan agronomis hibrida dari hasil persilangan 8 lini dan 8 tester sangat beragam. Pengaruh faktor genetik lebih dominan dari faktor lingkungan dalam mengekspresikan karakter tersebut. 3. Analisis daya gabung karakter hasil dan komponen hasil memperlihatkan bahwa galur Nei9008+o2-09 dan MR10+o2-31 merupakan penggabung yang baik dan memberikan hasil biji tertinggi yang berbeda nyata dengan semua pembanding. 4. Galur inbrida Nei9008+o2-14 dan MR10+o2-24 berpotensi dimanfaatkan untuk mendapatkan hibrida umur genjah karena selain memiliki daya gabung yang baik, potensi hasilnya juga cukup tinggi.
93
PEMBAHASAN UMUM Penggabungan karakter resisten terhadap penyakit bulai dan karakter yang mengendalikan peningkatan lisin dan triptofan pada jagung merupakan hal yang sulit dilakukan. Hal ini disebabkan karena pola pewarisan karakter ketahanan terhadap penyakit bulai cukup kompleks, sedangkan gen-gen yang mengendalikan peningkatan kandungan lisin dan triptofan bersifat homosigot resesif. Analisis genetik ketahanan jagung terhadap penyakit bulai pada penelitian ini dilakukan dengan pendekatan analisis pendugaan model genetik dan pola pewarisan berdasarkan persentase infeksi patogen P. maydis menggunakan masing-masing tujuh macam populasi pada dua set persilangan (Penelitian 1) dan analisis daya gabung dengan metode lini x tester (Penelitian 3). Hasil analisis pada bagian penelitian pertama menunjukkan bahwa infeksi patogen P maydis pada masing-masing 100 famili generasi F3 progeni CML161 x Mr 10 dan CML 161 x Nei9008 berdistribusi normal. Hal tersebut mengindikasikan bahwa karakter ketahanan terhadap penyakit bulai pada jagung dikendalikan oleh gen-gen yang bersifat poligenik. Hasil uji kesesuaian model genetik aditif dominan menunjukkan bahwa keragaman sifat ketahanan terhadap penyakit bulai pada masing-masing tujuh macam populasi kedua set persilangan tidak cukup hanya dijelaskan dengan model genetik aditif dominan. Oleh karena itu, diperlukan pengujian dengan model yang menyertakan pengaruh interaksi non alelik dengan uji skala gabungan. Dari hasil pengujian tersebut diperoleh informasi bahwa karakter ketahanan jagung terhadap penyakit bulai dikendalikan oleh gen-gen aditif, dominan dan interaksi non alelik (epistasis). Komponen gen aditif berkontribusi lebih nyata daripada aksi gen dominan dan epistasis pada kedua rekombinasi persilangan. Hasil uji skala gabungan juga menunjukkan bahwa pada rekombinasi MR10 x CML161 diperankan oleh aksi gen aditif dominan dengan pengaruh interaksi non alelik aditif komplementer epistasis, sedangkan pada rekombinasi Nei9008 x CML161 diperankan oleh non alelik aditif duplikat epistasis. Dengan keberadaan aksi gen epistasis tersebut, menyebabkan seleksi sifat ketahanan terhadap penyakit bulai tidak dapat difiksasi pada generasi awal yang masih bersegregasi sehingga diperlukan beberapa generasi seleksi hingga gen-gennya sudah stabil. Pengaruh gen-gen aditif untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai juga diperlihatkan pada penelitian ketiga. Nilai kuadrat tengah lini dan tester yang nyata berdasarkan analisis varian metode lini x tester menunjukkan bahwa varians aditif karakter 94
ketahanan terhadap penyakit bulai merata dan terdapat keragaman genetik karakter tersebut diantara turunannya (Tabel 15). Metode persilangan silang balik secara konvensional untuk mengintrogresikan gen homosigot resesif opaque2 ke galur-galur elit pemulia yang resisten terhadap penyakit bulai sulit dilakukan karena ekspresi gen opaque2 dalam kondisi heterosigot sulit dibedakan dengan ekspresi gen dalam kondisi homosigot dominan. Dengan demikian, untuk mendetekasi keberadaan gen resesif opaque2 pada tiap generasi silang balik, diperlukan uji keturunan. Hal ini berarti bahwa diperlukan tambahan generasi silang pada setiap generasi silang balik. Berdasarkan hal tersebut, pada kegiatan penelitian kedua dilakukan metode pendekatan pemanfaatan marka SSR sebagai alat bantu seleksi. Pemanfaatan marka SSR tidak berarti menghilangkan kegiatan pemuliaan dengan metode silang balik secara konvensional, tetapi hanya membantu percepatan kegiatan seleksi karena pada setiap generasi silang balik tidak diperlukan lagi uji keturunan. Marka yang digunakan sebagai alat bantu seleksi adalah marka SSR spesifik phi057 untuk progeni CML161 x Nei9008, sedangkan umc1066 untuk progeni CML161 x MR10. Pemilihan marka tersebut didasarkan pada hasil penelitan pendahuluan yang dilakukan sebelum kegiatan penelitian disertasi ini dilakukan. Dari hasil penelitian pendahuluan tersebut diperoleh informasi bahwa marka SSR spesifik phi057 bersifat polimorfis untuk galur inbrida CML 161 dan Nei9008 serta CML 161 dan MR10, sedangkan marka spesifik umc1066 teridentifikasi bersifat polimorfis untuk galur inbrida CML 161 dan
MR10.
Visualisasi hasil PCR dengan menggunakan marka umc066 pada gel ’ s upe rf i neagar os e ’ untuk galur CML 161 dan Nei9008 sulit dilakukan karena tingkat folimorfis kedua galur tersebut sangat rendah sehingga penampilannya bersifat monomorfis. Kelebihan yang dimiliki oleh marka umc1066 adalah hasil PCRnya dapat diseparasi pada gel ’ s upe rf i ne agarose’sehingga lebih mudah diaplikasikan dan mempercepat kegiatan seleksi di Laboratorium. Hasil penelitian kedua menunjukkan bahwa marka SSR spesifik phi057 dan umc1066 secara berturut-turut terbukti efektif dan efisien digunakan sebagai alat bantu seleksi galurgalur yang memiliki gen homosigot resesif opaque-2 (oo). Berdasarkan hasil Uji Chikuadrat (2) untuk derajat kecocokan nisbah segregasi pada setiap generasi silang balik dan silang dalam sesuai dengan nisbah hipotetiknya yaitu masing-masing 1 : 1 dan 1 : 2 : 1. Dari kegiatan seleksi dengan bantuan marka SSR phi057 dan umc1066, secara berturutturut diperoleh 50 galur Nei9008+o2 dan 42 galur MR10+o2. Namun demikian, beberapa 95
galur yang tersebut mengalami kegagalan dalam persilangan sehingga yang bisa dimanfaatkan lebih lanjut hanya 42 galur Nei9008+o2 dan 36 galur MR10+o2. Galur-galur yang memiliki gen homosigot resesif opaque2 (o2), telah dievaluasi penampilan agronomis dan potensi hasil bijinya di lapangan. Hasil evaluasi menunjukkan bahwa potensi hasil dari beberapa galur Nei9008+o2 lebih tinggi dari salah satu dan atau kedua galur pembanding, sedangkan pada galur MR10+o2 potensi hasilnya tidak berbeda nyata dengan pembanding. Selain itu, untuk memilih tetua yang digunakan untuk evaluasi daya gabung, telah dilakukan penyaringan untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai dengan menggunakan metode inokulasi baris penyebar dan penyemprotan konidia patogen bulai pada genotip uji. Dari hasil penyaringan tersebut, masing-masing terpilih delapan galur Nei9008+o2 dan MR10+o2 dengan tingkat infeksi <10%. Untuk lebih meyakinkan kualitas protein dan mengetahui kuantitas lisin dan triptofan dari galur-galur yang digunakan sebagai tetua persilangan dengan metode lini x tester, sebagian bijinya (25 biji/galur) dikirim ke laboratorium biokimia tanah dan tanaman CIMMYT di Mexico. Hasil analisis lisin dan triptofan menunjukkan bahwa kandungan triptofan galur-galur Nei9008+o2 berkisar antara 211.1% hingga 229.8%, sedangkan kandungan lisinnya berkisar antara 183.1% - 205.6% dibandingkan dengan galur inbrida asalnya (Nei9008). Galur MR10+o2 yang dianalisis memiliki kandungan triptofan berkisar antara 127.6% - 211.7% dan lisin berkisar antara 140.3% –228.1% dibandingkan dengan galur inbrida asalnya (MR10). Dengan demikian, hasil penelitian ini membuktikan bahwa tingkat keakuratan penggunaan marka dalam kegiatan seleksi untuk memilih individu tanaman yang mengandung gen o2 cukup tinggi. Evaluasi daya gabung karakter ketahanan terhadap penyakit bulai telah dilakukan dengan menggunakan materi genetic yang berasal dari galur-galur hasil introgresi gen o2 yang terseleksi resisten terhadap penyakit bulai pada kegiatan penelitian sebelumnya. Galur-galur yang bernilai DGU tinggi (negatif) diharapkan mempunyai kemampuan berdaya gabung umum baik untuk menghasilkan genotip yang resisten terhadap penyakit bulai. Di antara genotip uji yang digunakan, lini yang memiliki efek DGU nyata adalah Nei9008+o2-11 dan Nei9008+o2-71, sedangkan untuk tester adalah MR10+o2-30 (T6) dengan nilai DGU berturut-turut -6.71,
-7.16 dan -3.8. Galur-galur tersebut mempunyai
kemampuan daya gabung umum paling baik untuk menghasilkan genotip jagung yang resisten terhadap penyakit bulai.
Hal ini sesuai dengan pendapat Rifin (1983) yang
menyatakan bahwa galur yang mempunyai efek daya gabung umum tinggi diharapkan menghasilkan turunan yang resisten terhadap penyakit bulai 96
Pemilihan galur-galur atau tetua yang mempunyai daya penggabung yang baik akan sangat membantu pemulia dalam menyeleksi tetua-tetua yang layak digunakan dalam program pemuliaan dalam pengembangan varietas yang resisten terhadap penyakit bulai. Pasangan galur-galur yang memiliki
nilai DGK yang tinggi diharapkan menghasilkan
genotip yang resisten terhadap penyakit bulai, dan dapat digunakan sebagai tetua dalam pembentukan varietas hibrida. Hasil uji t 5% untuk DGK menunjukkan bahwa terdapat tujuh rekombinasi persilangan dengan efek DGK nyata. Rekombinasi persilangan tersebut menurut urutan signifikansinya dimulai dari yang tertinggi adalah Nei9008+o2-27 (L7) // MR10+o2-08 (T1), Nei9008+o 2-41 (L8) // MR10+o2-08 (T1), Nei9008+o2-11 (L2) // MR10+o2-31 (T7), Nei9008+o2-27 (L7) // MR10+o2-08 (T1), Nei9008+o2-24 (L5)// MR10+o2-30 (T6), Nei9008+o2-11 (L2) // MR10+o2-26 (T5), Nei9008+o2-14 (L3) // MR10+o2-26 (T5). Untuk mengetahui seberapa besar potensi karakter ketahanan terhadap penyakit bulai dari hibrida (F1) terhadap tetuanya, telah dilakukan analisis heterosis berdasarkan rata-rata kedua tetua dan heterobioltisis berdasarkan tetua tertinggi. Data yang digunakan pada analisis heterosis adalah persentase tanaman sehat yang tidak terinfeksi penyakit bulai. Heterosis terhadap rata-rata tetua yang bernilai positif diperoleh pada 54 kombinasi persilangan (Tabel 19). Persilangan Nei9008+o2-24 (L5)// MR10+o2-30 (T6), mempunyai nilai heterosis dan heterobioltisis positif tertinggi yaitu masing-masing tertinggi 26.7% dan 22,8%. Hal ini berarti bahwa rekombinasi persilangan tersebut menghasilkan keturunannya (F1) 26.7% lebih resisten dibanding rata-rata kedua tetuanya dan 22,8% terhadap tetua tertinggi. Secara teoritis, nilai heterosis tertinggi diperoleh dari persilangan antara tetua yang mempunyai perbedaan frekuensi gen dominan tinggi, sehingga pada hibridanya akan terkumpul gen-gen yang baik dan dominan di berbagai lokus serta alel-alel dominan yang menguntungkan akan menutupi alel-alel resesif yang merugikan (Fehr, 1987). Menurut Allard (1960) hibrida yang mempunyai efek heterosis terhadap penyakit dan hama berarti mempunyai resistensi yang tinggi terhadap penyakit dan hama, dan toleransinya meningkat terhadap kelakuan
iklim, dan berbagai manifestasi lain dari
keadaan yang lebih baik. Dari 64 rekombinasi F1, 54 rekombinasi persilangan (54.7% dari semua kombinasi) memiliki nilai heterosis terhadap terhadap rata-rata tetua dan 21 rekombinasi (32.8% dari semua kombinasi) untuk nilai heterosis terhadap tetua tertinggi. Evaluasi daya gabung dengan metode lini x tester bertujuan untuk mendapatkan informasi lini dan atau tester yang merupakan penggabung umum dan khusus pada beberpa karakter agronomis, komponen hasil dan hasil. Hasil analisis gabungan faktorial metode lini 97
x tester menunjukkan bahwa terdapat interaksi genotip dan lokasi untuk karakter bobot tongkol kupasan basah dan hasil biji pada kadar air 15%. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa genotip uji memiliki peringkat hasil yang tidak konsisten pada kedua lokasi pengujian. Sebaliknya, ketiadaan interaksi antara genotip x lokasi untuk beberapa karakter agronomis dan komponen hasil menunjukkan keberhasilan genotip berpenampilan sama dalam mengekspresikan karakter tersebut pada kondisi lokasi yang berbeda. Hasil analisis ragam gabungan juga menunjukkan bahwa nilai kuadrat tengah lini nyata untuk karakter tinggi kedudukan tongkol, bobot tongkol panen, diameter tongkol, bobot 1000 biji dan hasil biji, sedangkan untuk tester, nyata untuk karakter tinggi tanaman, rendemen, dan bobot 1000 biji. Hal ini menunjukkan bahwa varians aditif karakter-karakter tersebut tersebar secara merata diantara lini dan atau diantara tester. Selain itu, nilai kuadrat tengah P vs F1 pada semua karakter yang diamati memperlihatkan pengaruh yang nyata, mengindikasikan bahwa karakter-karakter tersebut dapat diwariskan dari tetua ke hibrida F1 nya. Pendugaan efek DGU untuk karakter agronomis, komponen hasil dan hasil memiliki arti penting untuk mendapatkan tanaman sesuai tujuan seleksi dalam kegiatan pemuliaan. Untuk mendapatkan tanaman yang berumur genjah, diperlukan galur penggabung yang baik untuk karakter umur berbunga, sedangkan untuk mendapatkan tanaman yang lebih pendek, arah seleksi adalah genotip yang memiliki daya gabung baik untuk karakter tinggi tanaman dan letak tongkol. Berdasarkan tujuan seleksi tersebut, pada penelitian ini diperoleh informasi bahwa tester MR10+o2-08 (T1) dan MR10+o2-24 (T4) dengan DGU negatif masing-masing nyata dan sangat nyata untuk umur berbunga betina, sehingga dapat digunakan sebagai tetua untuk mendapatkan turunan yang lebih genjah. Kedua tester tersebut juga menghasilkan daya gabung khsusus negatif dan nyata dengan kombinasi persilangan Nei9008+o2-14//MR10+o2-24 dan Nei9008+o2-24// MR10+o2-08 serta sangat nyata pada kombinasi persilangan Nei9008+o2-09//MR10+o2-24. Dari hasil evaluasi potensi tanaman, karakter rata-rata umur 50% keluar bunga betina (rambut) pada genotip uji berkisar 52.3 –59 hari setelah tanam. Genotipe uji yang umur berbunganya paling genjah adalah Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-24 (T4), dan berbeda nyata dengan semua genotip pembanding. Selain itu, diperoleh delapan genotip uji yang memiliki umur yang nyata lebih genjah dari semua pembanding. Untuk karakter tinggi tanaman, lini Nei9008+o2-15 merupakan penggabung yang baik karena memiliki nilai DGU negatif dan sangat nyata. Lini tersebut memiliki daya gabung 98
khusus negatif dan sangat nyata dengan tester MR10+o2-08. Beberapa lini dan tester yang lain berpotensi digunakan sebagai tetua untuk mendapatkan tanaman lebih pendek dengan nilai DGU negatif yang cukup tinggi yaitu: Nei9008+o2-24, Nei9008+o2-26, MR10+o2-08, MR10+o2-13 dan MR10+o2-31 (T7). Hasil uji t 5% menunjukkan bahwa Nei9008+o2-24 dan MR10+o2-30 memiliki nilai DGU negatif dan nyata untuk karakter tinggi letak tongkol. Kedua galur tersebut masingmasing berdaya gabung khusus negatif dan nyata pada kombinasi persilangan Nei9008+o224//MR10+o2-24 dan Nei9008+o2-26//MR10+o2-30. Kombinasi persilangan antara galur yang memiliki DGU nyata dengan DGU tidak nyata yang menghasilkan DGK nyata tersebut
mengindikasikan
adanya
interaksi
alel-alel
positif
dan
negatif
dalam
mengendalikan karfakter tinggi letak tongkol. Hasil analisis gabungan (Lampiran 6) menunjukkan bahwa tinggi tanaman bervariasi antara 108.3 –182.3 cm, sedangkan tinggi letak tongkol berkisar antara 61.3 –91.5 cm. Diperoleh 9 genotip uji yang memiliki rata-rata tinggi tanaman nyata lebih pendek dari varietas hibrida C7, Bima 1 dan Srikandi Kuning 1, sedangkan untuk karakter tinggi letak tongkol, semua genotip uji tidak berbeda nyata dengan tiga varietas hibrida C7, Bima 1 dan Bima 1q.
Tanaman yang berumur genjah dan pendek serta berpotensi hasil tinggi
merupakan tanaman jagung yang banyak diminati oleh petani. Hal ini disebabkan karena dengan menanam tanaman yang berumur genjah dan pendek akan memudahkan petani mengatur jadwal tanamnya, terutama pada daerah-daerah dimana pengairan sering menjadi kendala dalam bercocok tanam. Tanaman yang lebih pendek dan kokoh umumnya lebih tahan terhadap kerebahan sehingga sangat sesui pada daerah yang sering mengalami serangan angin kencang. Untuk karakter rendemen biji panen terhadap tongkol panen, Nei9008+o2-09 (L1), dan MR10+o2-31 (T7) memiliki nilai DGU positif dan sangat nyata, sedangkan MR10+o213 (T2) adalah nyata. Lini Nei9008+o2-09 (L1) dan tester MR10+o2-31 (T7), selain memiliki DGU sangat nyata, kombinasi antara keduanya juga menghasilkan DGK yang sangat nyata. Kombinasi persilangan antara galur yang masing-masing memiliki DGU sangat nyata dan menghasilkan DGK sangat nyata tersebut mengindikasikan adanya interaksi antara alel-alel positif dalam mengendalikan karfakter rendemen biji. Kombinasi persilangan dari lini atau tester yang memiliki DGU positif yang nyata dengan lini atau tester dengan DGU tidak nyata dan menghasilkan DGK sangat nyata untuk karakter rendemen biji adalah Nei9008+o2-09 (L1)//MR10+o2-30 (T6), Nei9008+o2-11 (L2)// 99
MR10+o2-31 (T7), Nei9008+o2-26 (L6)// MR10+o2-31 (T7) dan Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-13 (T2). Karakter rendemen biji mempunyai kontribusi yang cukup nyata terhadap hasil panen. Petani yang sudah berpengalaman menanam jagung cenderung mencari benih jagung yang mampu menghasilkan tongkol dengan rendemen hasil panen yang tinggi. Hal tersebut merupakan salah satu penyebab sehingga varietas Bisi 2 yang dirilis sejak tahun tahun 1995 masih disenangi petani, walaupun secara genetik saat ini varietas tersebut telah mengalami penurunan, terutama ekspresi tongkol dua dan tingkat keseragamannya di lapangan. Dari 64 hibrida hasil kombinasi lini x tester pada penelitian ini, karakter rendemen biji sangat bervariasi dengan kisaran antara 0.66 –0.80. Hasil uji LSI 5% menunjukkan bahwa diperoleh 11 genotip uji dengan rendemen biji berkisar antara 0.73 –0.80 dan nyata lebih tinggi dibandingkan dengan varietas hibrida Bima 1, Srikandi Kuning 1 dan hibrida Bima 1q , namun tidak nyata dibandingkan dengan C7. Selain itu,
20 genotip uji lainnya
memiliki rendemen yang nyata lebih tinggi dari hibrida Bima 1q. Ekspresi genetik tanaman untuk karakter hasi selain dipengaruhi oleh rendemen biji, juga dipengaruhi oleh karakter lain seperti panjang dan diameter tongkol. Dari hasil uji t 5% diperoleh informasi bahwa galur Nei9008+o2 -15 (L4) dan MR10+o2-31 (T7) merupakan penggabung umum yang baik untuk karakter diameter tongkol, sedangkan untuk karakter panjang tongkol tester MR10+o2-26 (T5) merupakan penggabung yang baik dan nyata. Kombinasi persilangan yang
memiliki daya gabung khusus yang baik untuk karakter
diameter tongkol adalah Nei9008+o2-09//MR10+o2-31. Lini Nei9008+o2 -15 (L4) dan tester MR10+o2-26 (T5) tidak memiliki pasangan persilangan yang baik untuk mendapatkan nilai DGK yang nyata untuk karakter diameter dan panjang tongkol, meskipun DGU nya nyata. Dengan demikian, diperoleh informasi bahwa tidak semua galur yang memiliki DGU nyata untuk suatu karakter, juga memiliki DGK yang nyata. Karakter hasil tinggi pada umumnya merupakan tujuan akhir dari program pemuliaan tanaman jagung. Hasil uji t 5% untuk DGU menunjukkan bahwa diperoleh tiga lini yang memiliki DGU positif dan sangat nyata yaitu Nei9008+o2-09 (L1), Nei9008+o2-14 (L3) dan Nei9008+o2-27 (L7) serta hanya satu tester yang memiliki nilai DGU positif dan nyata yaitu MR10+o2-31 (T7). Dari lini yang memiliki DGU sangat nyata dan tester yang DGU nya tidak nyata menghasilkan tiga pasangan persilangan dengan DGK yang sangat nyata, yaitu Nei9008+o2-09 (L1)//MR10+o2-26 (T5), Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-30 (T6) dan dan Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-13 (T2). Lini Nei9008+o2-09 (L1) yang memiliki DGU sangat nyata dan tester MR10+o2-31 (T7) dengan DGU nyata, juga merupakan 100
kombinasi persilangan yang memiliki DGK sangat nyata, sedangkan pasangan persilangan Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-08 (T1 ) dan Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-24 (T4) memiliki DGK yang nyata dan berasal dari lini dengan DGU sangat nyata dan DGU tester yang tidak nyata. Dari analisis gabungan lokasi untuk menguji potensi hibrida, diperoleh informasi hasil panen biji kering pada kadar air 15% dari masing-masing kombinasi galur yang memiliki DGK nyata dan sangat nyata sebagai berikut: Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-31 (T7) = 9.3 t/ha; Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-13 (T2) = 8.4 t/ha; Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-30 (T6) = 7.8 t/ha, Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-26 (T5) = 7.7 t/ha; Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-24 (T4) = 7.5 t/ha dan Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-08 (T1 ) = 7.4 t/ha. Tujuan akhir yang ingin dicapai pada penelitian ini adalah untuk mendapatkan hibrida yang memiliki kandunngan lisin dan triptofan tinggi, resisten terhadap penyakit bulai dan berdaya hasil tinggi. Dengan berdasar pada tujuan akhir penelitian tersebut, diperoleh tiga kombinasi persilangan yang dapat direkomendasikan berdasarkan hasil evaluasi daya gabung ketahanan terhadap penyakit bulai dan daya gabung karakter hasil yaitu: (1) Nei9008+o2-27 (L7)// MR10+o2-13 (T2)
dengan DGK hasil biji sangat nyata, DGK
ketahanan infeksi patogen penyakit bulai bernilai negative (-4,36), rata-rata hasil 8.4 t/ha serta rata-rata infeksi bulai 2.2%; (2) Nei9008+o2-09 (L1)// MR10+o2-26 (T5) dengan DGK hasil biji sangat nyata, DGK ketahanan infeksi patogen penyakit bulai
bernilai
negative (-5,29), rata-rata hasil 7.7 t/ha serta rata-rata infeksi bulai 14.4%; (3) Nei9008+o227 (L7)//MR10+o2-08 (T1 ) dengan DGK hasil biji sangat nyata, DGK ketahanan infeksi patogen penyakit bulai bernilai negatif dan sangat nyata (-13,45), rata-rata hasil 7.4 t/ha serta rata-rata infeksi bulai 2.2%. Sedangkan varietas pembanding: hibrida C7 dengan rerata hasil 7.4 t/ha dan infeksi bulai 48.7%, hibrida Bima dengan rerata hasil 6.3 t/ha dan infeksi bulai 45%, hibrida Bima 1q dengan rerata hasil 4.9 t/ha dan infeksi bulai 64.4%, dan varietas komposit Srikandi Kuning-1 dengan rerata hasil 5.3 t/ha dan infeksi bulai 100%.
101
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan:
1. Model genetik karaker ketahanan tanaman jagung terhadap P. maydis yang sesuai untuk pasangan persilangan Mr10 x CML161 adalah m [d] [h] [i] [j], sedangkan untuk pasangan persilangan Nei9008 x CML161 yaitu: m [d] [h] [i] [j] [l]. Pewarisan karaker ketahanan tanaman jagung terhadap P. maydis diperankan oleh aksi gen aditif dominan dengan pengaruh interaksi non alelik aditif komplementer epistasis pada pasangan persilangan Mr10 x CML161 dan non alelik aditif duplikat epistasis pada pasangan persilangan Nei9008 x CML161 2. Sebanyak 42
galur Nei9008 dan 36 galur Mr10 yang telah diperoleh dari hasil
introgresi gen o2 dengan bantuan marka SSR spesifik phi057 dan umc1066. Terseleksi masing-masing delapan galur Nei9008+o2 dan Mr10+o2 untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai dengan kandungan lisin dan triptofan meningkat hingga >100%. Galur-galur tersebut dijadikan sebagai tetua persilangan dengan metode lini x tester. 3. Sebanyak dua lini yaitu Nei9008+o2-11 dan Nei9008+o2-71, dan satu tester yaitu Mr10+o2-30 teridentifikasi sebagai penggabung umum yang baik untuk karakter ketahanan terhadap penyakit bulai. Diperoleh delapan kombinasi persilangan dengan efek DGK nyata dan berpotensi digunakan sebagai bahan pengujian pada tahap seleksi berikutnya untuk mendapatkan hibrida resisten terhadap penyakit bulai. Sebanyak 54 kombinasi persilangan (54.7% dari semua kombinasi) memiliki nilai heterosis dan 21 pasangan (32.8% dari semua kombinasi) untuk nilai heterobioltisis. 4. Beberapa lini maupun tester memperlihatkan daya gabung umum dan khusus yang baik untuk karakter hasil, komponen hasil dan agronomis. Kombinasi persilangan Nei9008+o2-09 dan Mr10+o2-31 merupakan penggabung yang baik untuk karakter hasil dan komponen hasil serta memberikan hasil biji tertinggi dan berbeda nyata dengan semua pembanding. Galur Nei9008+o2-14 dan Mr10+o2-24 memperlihatkan kemampuan daya gabung yang baik untuk mendapatkan hibrida umur genjah. 5. Diperoleh tiga kombinasi persilangan sebagai hibrida jagung bermutu protein tinggi dengan sifat daya hasil tinggi, dan resisten terhadap penyakit bulai, yaitu Nei9008+o227//MR10+o2-13 (rerata hasil 8.4 t/ha dan infeksi bulai 2.2%), Nei9008+o2-09// MR10+o2-26 (rerata hasil 7.7 t/ha dan infeksi bulai 14.4%) dan Nei9008+o2-27// MR10+o2-08 (rerata hasil 7.4 t/ha dan infeksi bulai 2.2%). Sedangkan varietas 102
pembanding: hibrida C7 (rerata hasil 7.4 t/ha dan infeksi bulai 48.7%), hibrida Bima 1 (rerata hasil 6.3 t/ha dan infeksi bulai 45%), hibrida Bima 1q (rerata hasil 4.9 t/ha dan infeksi bulai 64.4%) dan komposit Srikandi Kuning-1 (rerata hasil 5.3 t/ha dan infeksi bulai 100%). Saran: 1. Pengujian daya gabung karakter ketahanan terhadap penyaikit bulai baru dilakukan pada satu musim dan satu lokasi sehingga untuk pengembangan lebih lanjut, masih diperlukan tambahan minimal satu lokasi berbeda atau penambahan minimal satu kali pengujian di musim hujan dengan lokasi yang sama pada pengujian sebelumnya. 2. Untuk pengembangan hasil rekombinasi persilangan menjadi varietas hibrida unggul baru, bermutu protein tinggi dan resisten terhadap penyakit bulai, masih diperlukan pengujian pada beberapa lokasi dan musim yang berbeda. 3. Kandungan lisin dan triptofan pada hibrida hasil rekombinasi juga masih perlu dianalsis lebih lanjut di Laboratorium.
103
DAFTAR PUSTAKA Aday, B. A. 1974. The Philippine program in breeding for resistance to downy mildew of maize. Proc. Symposium on Downy Mildew of Maize. Tokyo. Agric. Res. 8: 207244. Allard, R.W. 1960. Principles of Plant Breeding. John Wiley and Sons. New York. AMBIONET. 2002. Developing New Maize Germplasm Through Biotechnology for Resource-Poor Farmer in Asia. CIMMYT, El Batan, Mexico DF. Azrai, M., F. Kasim, dan M. Jabbar. 2000. Teknik penyaringan galur jagung terhadap penyakit bulai dengan menggunakan tanaman baris penyebar. Prosiding Simposium Nasional Pengelolaan Pemuliaan dan Plasmanutfah. PERIPI. Bogor. 2: 239-245. Azrai, M. 2002. Analisis Karakter Kuantitatif dan Pemetaan QTL Ketahanan Penyakit Bulai di Indonesia pada Populasi Jagung RIL Progeni CML 139 x Ki 3. Tesis Program Pascasarjana UNPAD. Tidak dipublikasikan. Azrai, M., dan F. Kasim. 2003. Analisis varians dan heritabilitas ketahanan galur jagung rekombinan terhadap penyakit bulai. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 22 (1): 31-35. Azrai, M., F. Kasim, M.B. Pabendon, J. Wargiono, J.R. Hidayat, dan Komaruddin. 2004. Penampilan beberapa genotip jagung protein mutu tinggi (QPM) pada lahan kering dan lahan sawah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 23 (3): 123-131. Azrai, M., dan F. Kasim. 2005a. Ketahanan beberapa genotip jagung terhadap penyakit bulai. Makalah dipersentasikan pada Simposium Nasional dan Kongres Perhimpunan Ilmu Pemuliaan Indonesia. Purwokerto, 25-27 Agustus 2005. 12p. Azrai, M., dan F. Kasim. 2005b. Pendugaan variabilitas genetik dan heritabilitas ketahanan penyakit bulai (Peronosclerospora maydis) pada jagung. Stigma. XII (1): 20-26. Azrai, M. 2006. Ragam interaksi genotip x lingkungan untuk infeksi penyakit bulai pada beberapa jagung koleksi Balitsereal. Agrivita. 28 (1): 45-53. Babu, R., S.K. Nair, and B.M. Prasanna. 2002. Integrating marker assisted selection in crop breeding prospects and challenges. Part of Manual ICAR Short-Term Training Course: Molecular Marker Application in Plant Breeding, Sept 26 –October 5, 2002. Division of Genetics Indian Agricultural Research Institute, New Delhi, pp. 84-94. Babu, R. 2005. Two-generation marker-aided backcrossing for rapid conversion of normal maize lines to quality protein maize (QPM). Presented in the 9th Asian Maize Research Workshop, 05-09th Sep, 2005, Beijing. 10p. Badan Pusat Statistik. 2002. Data produksi tanaman pangan dan hortikultura. Pusat Data Statistik Pertanian. Jakarta. Baihaki, A. 1989. Fenomena heterosis. Disampaikan pada Latihan Pemuliaan Tanaman dan Hibrida, bagi Staf Litbang Deptan, Balittan Sukamandi, 30 Agustus –4 September. Kerjasama Badan Litbang Deptan dan Fakultas Pertanian UNPAD. Baihaki, A., T. Warsa, dan M. Sudrajat. 1999. Perancangan dan Analisis Percobaan. Kelompok Statistika Fakultas Pertanian UNPAD. Jatinangor.
104
Balitsereal. 2005. Deskripsi Varietas Unggul Jagung. Dikompilasikan oleh Suryawati, Constance Rapar dan Zubactirodin. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. 114p. Bernard, L., P. Ciceri, and A. Viotti. 1994. Molecular analysis of wild-type and mutant alleles at the Opaque-2 regulatory locus of maize reveals different mutations and types of O2 products. Plant Mol Biol 24: 949-959. Bernardo Rex. 2002. Breeding for Quantitative Traits in Plants. Stemma Press, Woodbury, Minnesota. Bjarnason, M. and S.K. Vasal. 1992. Breeding of fuality protein maize (QPM). In Janick (Ed.). Plant Breeding Review. 9: 181-216. Bockholt AJ and Rooney LW. 1992. QPM Hybrids for the United States. In: Mertz ET (ed), Quality Protein Maize. Amer. Assoc. Cereal Chem., St. Paul, pp. 111-121. Callaway, M.B. 1990. Maize resistance to anthracnose leaf blight and stalk root caused by Colletotrichum graminicola. DAI-B 50/07, pp. 26-79. Carangal, V., M. Clausio and M. Sumayao. 1970. Breeding for resistance to maize downy mildew caused by Sclerospora philippinensis in The Philippines. Indian Phytopath. 23: 285-306. Chang, S. C. 1972. Breeding for sugarcane downy mildew resistance in corn in Taiwan. The Eighth Inter-Asian Corn Improvement Workshop Proceedings, pp.114-115. Chang, S. C., and C. P. Cheng. 1968. Inheritance of resistance to Sclerospora sacchari Miyaki in corn. The Fifth Inter-Asian Corn Improvement Workshop Proceedings, pp. 105-109. Chin ECL, Senior ML, Shu H, Smith JSC . 1996. Maize simple repetitive sequences: abundance and allelic variation. Genome 39: 866–874 CI MMYT,1994.Ma na g i ngt r i a l sa ndr e por t i ngda t af orCI MMYT’ si nt e r na t i ona lma i z e testing program. Mexico, DF. Cordova, H. 2001. Quality protein maize: improved nutrition and livelihoods for the poor. Maize Research Highlights. 1999-200. CIMMYT, pp. 27-31. Crowder, L. V. 1988. Plant Genetics. Terjemahan oleh Lilik Kusdiarti. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Dahlan, M., Mudjiono, dan Sugijatni Slamet. 1998. Pembentukan populasi heterosis untuk program hibrida. Risalah Penelitian Jagung dan Serealia Lain 1: 1-8. Department of Agriculture Thailand. 2002. All about Maize in Thailand. Nakhon Sawan Foeld Crops Research Center, Takfa. 25p. De-Leon C. 1984. Maize Disease. A guide for Field Identification. Centro International de Mejoramiento de Maiz Y. Trigo. 3 rd Edition. CIMMYT Mexico. Directorate of Maize Research. 2001. Production Technology of Quality Protein Maize, DMR, IARI. Pusa Campus. New Delhi –110012. Dreher, K. Morris, M. Khairallah, J.M. Ribaut, S. Pandey, and G. Sinivasan. Is marker assisted selection cost-effective compared to conventional plant breeding methods? The case of quality protein maize. Paper presented at the fourth annual conference of the international consortium on Agricultural Biotechnology Research (ICBR). Economics ofAg r i c ul t ur a lBi ot e c hnol ogy“ he l di nRa ve l l o” ,I t a l y ,f r om 24–28 August, 2000. 25p. 105
Dudley, J.W., R.J. Lambert, and D.E. Alexander. 1974. Seventy generations of selection for oil content and protein concentration in the maize kernel. In Seventy generations of Selection for Oil and Protein in Maize. Dudley, J.W., (Eds.), CSSA. Madison, Wisconsin, WI. Falconer, D.S., and T. F.C. Mackay 1996. Introduction Quantitatif Genetics. Fourth Edition. Institute of Cell, Animal and Population Biology University of Edinburgh. FAO. 1992. Agrostat, Food Balance Sheets, FAO, Rome, Italy. Fehr, W.R. 1987. Principles of Cultivar Development. Vol. 1. Theory and Technique. Iowa State University. New York. Francis, C.A. 1967. Downy mildew disease of maize in the Philippines. M.S. Thesis, Col. Agric., Univ. Philippines, College, Laguna, Philippines. Unpublished. George, M.L.C, and E Regallado. 2003. Maize Genetic Diversity Analysis. AMBIONET Service Laboratory. 36p. Gevers H.O., and Lake JK. 1992. Development of Modified Opaque-2 Maize in South Africa. In: Mertz ET (ed), Quality Protein Maize, Amer. Assoc. Cereal Chem., St. Paul, pp. 49-78 Grudloyma, P., S., Noradechanon, C. Koshawatana and M. Pumklom. 2004. Research de ve l o pme nta nddi s t r i but i onofHy br i dMa i z e .“ Na khonSa wa n72” .Pr oc e e di ng sof the Eight Asian Regional Maize Workshop. Kasetsart University, Department of Agriculture –Thailand, CIMMYT, pp. 522-531. Gupta, P.K., H.S. Balyan, P.C. Sharma, and B. Ramesh. 1996. Micro satellites in plants: A new class of molecular markers. Curr. Sci. 70: 45-54. Hakim,R., and M. Dahlan. 1972. Segregating behavior of Sclerospora maydis of corn. Paper presented at Southeast Asia Regional Symposium on plant disease in the tropics. Yogyakarta, Sept. 11-15, 1972. 7p. Hallauer, A.R., and J.B.Miranda. 1981. Quantitatif Genetics in Maize Breeding 1st. Iowa State University Press/Ames. Halloran, G. M. 1978. Breeding self pollinated crops. In Halloran, G.M., R.Knight, K.S. McWhirter and D.H.B. Sparrow, 1979. A course Manual in Plant Breeding. AAUCS. Brisbane. Hamada H., M.G. Petrino, and T. Kakunaga. 1982. A novel repeated element with ZDNAforming potential is widely found in evolutionarily diverse eukaryotic genomes. Proc Natl Acad Sci USA 79: 6465-6469. Handoo, M.I., B.L. Renfro, and M.M. Payak. 1970. On the inheritance of resistance to Sclerophthora rayssiae var. zeae in maize. Indian Phytopath. 23: 231-249. Hartings H., M. Maddaloni, N. Lazzaroni, N. Fonzo, M. Motto, F. Salamini, and R. Thompson. 1989. The o2 gene which regulates zein deposition in maize encodes a protein with structural homologies to transcriptional activators. EMBO J 8: 2795-2801. Hartings H., N. Lazzaroni, V. Rossi, and M. Motto. 1995a. Molecular analysis of opaque2 alleles. Maize Genet Coop Newslett 69: 18-19. Hartings H., N. Lazzaroni, V. Rossi, G.R. Riboldi, R.D. Thompson, F. Salamini, and M. Motto.1995b. Molecular analysis of opaque-2 alleles from Zea mays L. reveals the 106
nature of mutational events and the presence of a hypervariable region in the 5′pa r tof the gene. Genet Res 65 (1): 11-9. Hill. J., H.C. Becker and P.M.A. Tigerstedt. 1998. Quantitatif and Ecological Aspects of Plant Breeding. Chapman & Hall. London, Weinheim, New York, Tokyo, Melbourne, Madras. Hoisington, D.A., and E. H. Coe, J.r. 1990. Mapping in maize using RFLPs. Gene manipulation in plant improvement II. Edt. J. P. Gustafson. Plenum Press. New York, pp. 331-352. Hooker, A.L. 1967. The genetic and expression of resistance in plants to rusts of the genus puccinia. Annu. Rev. Phytopath. 5. 163 p. Kasim F., M. 2004. Hasil-hasil penelitian dan prospek jagung bermutu protein tinggi. Makalah Seminar Review ilmiah. Puslit Tanaman Pangan. 8 Juli 2004. 12p. Kasim F., M. Azrai, Sutrisno and D.Ruswandi, 2002. Preliminary Marker Assisted Selection Breeding Program for Downy Mildew Resistance in Indonesia. Presented in 8th Asian Regional Maize Conference, Bangkok, Thailand, pp. 82-90. Kata SR., B.H. Taylor, A.J Bockholt, and J.D. Smith. 1994. Identification of opaque-2 genotypes in segregating populations of quality protein maize by analysis of restriction fragment length polymorphisms. Theor Appl Genet 89: 407-412. Kearsey M.J., and H.S. Pooni. 1996. The Genetical Analysis of Quantitative Traits. Plant Genetic Group School of Biology Scinces The University of Birmingham, UK. Capman and Hall. Lamb, E.M. 1992. Resistance Of Maize to European Corn Borer Damage And Its Relationship to Larval Behaviour. DAI-B 53/02. Lazzari B, C. Cosentino, and A. Viotti. 2002. Gene products and structure analysis of wildtype and mutant alleles at the Opaque-2 locus of Zea mays. Maydica 47: 253-265. Lee, M. 1998. DNA markers for detecting genetic relationship among germplasm revealed for establishing heterotic groups. Presented at the Maize Training Course, CIMMYT, Texcoco, Mexico, August 25, 1998. Macaulay, M., L. Ramsay, W. Powell, and R. Waugh. 2001. A representative, highly i nf or ma t i ve ,‘ g e not y pi ngs e t ’ofb a r l e ySSRs .The or .Appl .Ge ne t102:801- 809. Magnavaca R. 1992. Quality protein maize development in Brazil. In: Mertz ET (ed), Quality Protein Maize. Amer. Assoc. Cereal Chem., St. Paul, pp 98-110. Mather, K. and J. L. Jinks. 1982. Biometrical Genetics. variation. Cornell University Press. Ithaca, New York.
The study of continuous
Matjik, A.A dan I. M. Sumertajaya. Perancangan Percobaan. IPB. Press. Maurya, D.M and D.P. Singh. 1977. Combining ability in rice for yield and fitness. Indian J. Agric. Sci. 47(2): 65-70. McWhirter K.S., 1979. Breeding of Cross-Pollinated Crops. In Halloran, G.M., R.Knight, K.S. McWhirter and D.H.B. Sparrow, 1979. Plant Breeding. Australian ViceChancellors' Committee. Mereille. 2002. SSR markers for opaque-2. Lab Protocols for o2. Molecular Gentic Service Lab Laboratory, ABC-CIMMYT. Mexico. 3p. 107
Mertz ET., L.S. Bates, and O.E. Nelson. 1964. Mutant gene that changes protein composition and increases lysine content of maize endosperm. Science 145: 279-280. Mikoshiba, H. 1983. Studies on the control of downy mildew disease of maize in tropical countries of Asia. Tech. Bull. Trop. Agric. Res. Cent. 16: 1-62. Mochizuki, N. 1974. Inheritance of host resistance to downy mildew disease of maize. Proc. Symposium on Downy Mildew of Maize. Tokyo.Trop.Agric.Res., Series. 8: 179193. Mochizuki, N., V.R. Carangal and B.A. Aday. 1974. Diallel analysis of host resistance to Philippine downy mildew. Japan Agr.Res.Quart. 8:185-187. Moeljopawiro, S. 1986. Genetic relationship between grain types and agronomic traits in rice (Oriza sativa L.). Ph. D. Dissertation of Arkansas University. Unpublished. Motto M, Maddaloni M, Ponziani G, Brembilla M, Marotta R, Fonzo ND, Soave C, Thompson RD, and Salamini F. 1988. Molecular cloning of the o2-m5 allele of Zea mays using transposon marking. Mol Gen Genet 212: 488-494. Namkoong, G. 1979. Introduction to quantitative genetics in forestry. Tech. Bull. No. 1588, Forest Service USDA. Nelson, O.E., E.T. Mertz, and L.S. Bates. 1965. Second mutant gene affecting the amino acid pattern of maize endosperm proteins. Science. 150: 1469-1470. Paez, A.V., J.L.Helm, and M.S Zuber. 1969. Lysine content of opaque-2 maize kernels having different phenotypes, Crop Sci. 9: 251-252. Pabendon, M.B., M. Azrai, M. Mejana dan Sutrisno. 2006. Keragaman genetik inbrida jagung QPM dan normal berdasarkan marka SSR dan hubungannya dengan penampilan hibrida. Jurnal Bioteknologi Pertanian. In Press. Pamin, K. 1980. Pendugaan parameter-parameter genetik dan evaluasi kemajuan seleksi galur S1 dan S2 pada suatu varietas jagung komposit. Tesis Institut Pertanian Bogor. Tidak dipublikasikan. Peerasak, S. 1974. Inheritance of downy mildew resistance in maize. M.S. Thesis, Col. Biology. Univ. Kasetsart. Thailand. Unpublished. Petersen R.G. 1994. Agricultural Field Experiments. Marcel Dekker, Inc. New York. Poehlman, J. M., and D. Borthakur. 1977. Breeding Asia Field Crops. Oxpord and IBH Publ. Co. New Delhi. Poehlman, J. M., and D.A. Sleper. 1995. Breeding Field Crops. Fourth Edition. Iowa State University Press. America. Poespodarsono, S. 1988. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. PAU. Lembaga Sumberdaya Informasi. Institut Pertanian Bogor. Powell W, G.C. Machray, and J.P. Rovan. 1996. Polymorphism revealed by simple sequence repeats. Trends Plant Sci 1: 215-222. Prasanna, B.M., S.K. Vasal, B. Kassahun and N.N. Singh. 2001. Quality protein maize. Curr. Sci. 81 (10):1308-1319. Prasanna, B.M. 2002. QTL Mapping in crop plants: Principle and methodology. Part of Manual ICAR Short-Term Training Course: Molecular Marker Application in Plant 108
Breeding, September 26 –October 5, 2002. Division of Genetics Indian Agricultural Research Institute, New Delhi, pp. 71-78. Prasanna, B.M. and A. Gark. 2002. Molecular profiling of maize lines using SSR Markers. Part of Manual ICAR Short-Term Training Course: Molecular Marker Application in Plant Breeding, September 26 – October 5, 2002. Division of Genetics Indian Agricultural Research Institute, New Delhi, pp. 118-121. Rifin, A. 1983. Downy mildew resistance of single cross progenies between Indonesian and Philippine corn inbred lines. Penelitian Pertanian 3 (1): 81-83. Rifin, A., R.Setiyono., A.Nuraefendi dan D.Hadian. 1984. Heterosis and combining ability in corn. Penelitian Pertanian. 4(3):81-83. Rusawandi D. 2001. Genetic analysis and quantitative trait loci mapping of Downy mildew resistance genes in maize (Zea maize L.) Ph. D. Dissertation of The Philipines Laos Banos University. Unpublished. Ruswandi D., A.L. Carpena, R.M. Lantican, A.M. Salazar, D.M. Hautea, and A.D. Raymundo. 2002. Genetic analysis of components of resistance to philippine downy mildew in maize. Zuriat. 13 (2):106-112. Saghai-Maroof, M.A., K.M. Soliman, R.A. Jorgensen, and R.W. Allard. 1984. Ribosomal DNA spacer-length polymorphisms in barley: Mendelian inheritance, chromosomal location, and population dynamics. Proc Natl Acad Sci USA 81: 8014-8018. Sumarno, 1984. Penampilan Kedelai Introduksi dari Program INTSOY. Penelitian Pertanian. 4 (1): 31-35. Schmidt, F.H., and J.H. Ferguson. 1951. Rainfall Types Based on Wet and Dry Period Ratios fo Indonesians with Western New Guinea. Jawatan Metereologi dan Geofisika. Jakarta. Schmidt RJ, Burr FA, and Burr B. 1987. Transposon tagging and molecular analysis of the maize regulatory locus opaque-2. Science 238: 960-963. Schmidt, R.J., F.A. Burr, M.J. Aukerman, and B. Burr. 1990. Maize regulatory gene opaque-2 encodes protein with a“ l e uc i nez i ppe r ”mot i ft ha tbi ndst oz e i nDNA.Pr oc . Natl. Acad. Sci. USA. 8: 46-50. Semangun. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada University Press. Senior, M.L., E.C.L. Chin, M. Lee, J.S.C. Smith, and C.W. Stuber. 1996. Simple sequence repeat markers developed from maize sequences found in the Genebank database: Map construction. Crop Sci. 36: 1676- 683. Senior, M.L., J.P. Murphy, M.M. Goodman, and C.W. Stuber. 1998. Utility of SSRs for determining genetic similarities and relationships in maize using an agarose gel system. Crop Sci. 38: 1088 - 1098. Setiyono, R.T. dan Subandi.1996. Analisis heterosis dan daya gabung jagung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 15 (1): 30-34. Shen T., and J.Y. Wang. 1998. Biochemistry, 2nd ed. Higher Educational Press, Beijing. Shi D., Q. Guo, L. Wang, S. Meng, Y. Wen, and Z. Guo. 2001. The situation of maize quality and development priority of high quality food maize in China. J. of Maize Sci. 9 (2): 3-7. 109
Shurtleff, M.C. 1980. Compendium of corn disease. Second Eddition. The American Phytopath. Sociaty. USA, 105 p. Silitonga,T.S., Minantyorini, Lilis Cholisoh, Warsono, dan Indarjo.1993. Evaluasi daya gabung padi bulu dan cere. Peneltian Pertanian. Balai Penelitian Tanaman Pangan, Bogor. 1: 6-11. Simmonds, M.D. 1972. Polygenic resistance to plant disesase and its use in breeding resistance cultivar. Environ J. Qual. 1: 1-32. Simms, E. L., and M. D. Rausher. 1995. Use of quantitatifve genetics for studying the evolution of plat resistance. Plant Resistance to Herbivores and Pathogens, pp. 43-69. Simon, M.R. 1994. Gene action and heritability for photosynthetic activity in two wheat crosses. J. Euphytica 76: 235-238. Singh, R.K., and B.D. Chaudhary. 1979. Analysis. Kalyani Publishers.
Biometrical Methods in Quantitatif Genetic
Singh, N.K., and A. Kumar. 2004. Combining ability analysis to identify suitable parents for heterotic rice hybrid breeding. IRRN 29(1):21-22. Siregar, S. 2004. Statistik Terapan untuk Penelitian. Grasindo. Jakarta. Sjamsudin. E. 1990. Pendugaan heritabilitas kacang tanah (Arachis hypogaea .L) tipe virginia di Queensland Australia. Buletin Agronomi. XIX (1): 1-7. Soave C, L. Tardani, D. N. Fonzo, and F. Salamini. 1981. Zein level in maize endosperm depends on a protein under control of the opaque-2 and opaque-6 loci. Cell 27: 403-410. Soemartono, Nasrullah, dan Hari Hartiko. 1992. Genetik Kuantitatif dan Bioteknologi tanaman. PAU –Bioteknologi, Universitas Gadjah Mada. Soetopo, L., dan N. Saleh. 1992. Perbaikan ketahanan genetik tanaman terhadap penyakit. Prosiding Simposium Pemuliaan Tanaman I. Perhimpunan Pemuliaan Tanaman Indonesia, Komisariat Daerah Jawa Timur. Stoskopf, N. C. 1993. Plant Breeding: Theory and Practice. Boulder: Westview Pr. Subandi, A. Sudjana, A. Rifin, and M.M. Dahlan. 1982. Variety x environment interaction variances for downy mildew infection in corn. Penelitian Pertanian. 2 (1): 27-30. Subandi, I. Manwan, and A. Blumenschein. 1988. National Coordinated Research Program: Corn. Central Research Institute for Food Crops. Bogor. p.83. Subandi, M. Sudjadi, dan D. Pasaribu. 1996. Laporan hasil pemantauan penyakit bulai dan benih pada pertanaman jagung hybrida. 5p. Sumantri, I. H., Sutjihno dan Suharsono. 1991. Pengaruh koefisien keragaman pada analisis stabilitas hasil galur-galur padi sawah. Penelitian Pertanian. 11(1) : 38-41. Suwarno, Z. Harahap, dan H. Siregar. 1984. Interaksi varietas dan lingkungan pada daya hasil padi. Penelitian Pertanian. 4 (2) : 86-90. Takdir M. A, 2003. Pola pewarisan ketahanan terhadap potogen bulai Peronosclerospora maydis (Rac.) Shaw. pada tanaman jagung. Tesis Program Pascasarjana Unpad. Tidak dipublikasikan. Takdir M. A, R. Neni Iriany M., Marsum M. Dahlan, A. Baihaki, N. Rostini, dan Subandi. 2003. Kendali genetik ketahanan terhadap potogen bulai Peronosclerospora 110
maydis (Rac.) Shaw. pada tanaman jagung. Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. 22 (2): 101-105. Taramino, G., and S. Tingey. 1996. Simple Sequence repeats for germplasm analysis and mapping in maize. Genome 39: 277-288. Thompson R.D., and F Salmini. 1988. Molecular cloning of the o2-m5 allele of Zea mays using transposon marking. Mol Gen Genet 212: 488-494. Tirtowirjono, S. 1988. Adaptasi dan stabilitas hasil galur-galur harapan padi sawah Penelitian Pertanian. 8 (1) : 9-11. Untoro, R. 2002. The effort alleveating iron deficiency anemia in Indonesia. Bioforification seminar: Breeding or micronutrient-dense rice to complement other strategies for reducing malnutrition. At Ministri of Agriculture. 10p. Vacaro, E., J.F.B. Neto, D.G. Pegoraro, C.N. Nuss and L.D. Haa Conceicao. 2002. Combining ability of twelve maize populations. Agropec. Bras, Brasilia 37 (1): 67-72. Vargas, M., J. Crossa, K. Sayre, M. Reynolds, M. E. Ramirez, and M. Talbot. 1998. Interpreting genotype x environment interaction in Wheat by partial least square regression. Crop Sci. 38 (3):379-689. Vasal S.K., E. Villegas, M. Bjarnason, B. Gelaw, and P. Goertz. 1980. Genetic modifiers and breeding strategies in developing hard endosperm opaque-2 materials. In: Pollmer WG and Phillips RH (eds), Improvement of quality traits of maize for grain and silage use. Martinus Nijhoff Press, London, pp 37-73 Vasal, S.K. 2000. The Quality Protein Maize story. Food and Nutrition Bulletin. 21 ( 4): 445-450. Vasal, S.K. 2001. High Quality Protein Corn. In Hallauer, A.R. (Ed.). Specialty Corns. Second Ed. CRC Press LLC, Boca Raton, Florida, pp. 85-129 Villegas, E. 1995. In Proceeding of the International Symposium on Quality Protein Maize (eds. Larkins, B.A,, and E.T. Mertz), EMBRAPA/CNPMS. Villena, W.D. 1990. Analisis of data across environments and yield stability analysis. Maize Breeding at CIMMYT. 31p. Virmani, SS. 1994. Heterosis and Hybrid Rice Breeding. Monographs on Theoretical and Applied Genetics 22. Springer Verlag. Berlin. 189 pp. Virmani, SS. 1999. Exloitation of heterosis for shifting the yield frontier in rice. In: Coors, J.G., and S. Pandey (Eds.). Genetics and Exploitation of Heterosis in Crops. Proceedings of the international Symposium on the Genetic and Exploitation of Heterosis in Crops; Mexico City, 17-22 Aug 1997. American Society of Agronomi and Crop Science. Wisconsin. p 423-438 Wahdah, R., A. Baihaki, R. Setiamihardja, dan G. Suryatmana. 1995. Variabilitas dan heritabilitas laju akumulasi bahan kering pada biji kedelai. Zuriat. 7 (2): 92--98. Wakman W. dan M. S. Kontong. 2000. Pengendalian penyakit bulai pada tanaman jagung dengan varietas tahan dan aplikasi fungisida metalaksil. Penelitian Pertanian. 19 (2): 38-42. Yang, W., Y. Zheng1, S. Ni, and J. Wu. 2004. Recessive allelic variations of three microsatellite sites within the o2 gene in maize. Plant Mol. Bio. Rep. 22: 361–374. 111
Zaumeyer, W.J., and J.P. Meiners. Phytopath 13: 313-324.
1975.
Disease resistance in beans. Annu. Rev.
Zuber, M.S., W.H. Skrdla, and B.H. Choe. 1975. Survey of maize selections for endosperm lysine content. Crop Sci. 15: 93-94.
112
Lampiran 1. Skema Kegiatan Persilngan dengan Metode MAS 1 (Parsial) Galur: DMR tetua pemulih x QPM donor (oo) 21 baris
(OO) 5 baris
F1 x DMR 105 baris
3 baris
BC1F1
MAS
(Analisis 210 sampel dengan menggunakan satu marka SSR untuk mengidentifikasi 105 tanaman bergenotip Oo)
105 baris
Oo BC1F1 x DMR 105 baris
5 baris
BC2F1
MAS
(Analisis 210 sampel dengan menggunakan satu marka SSR untuk mengidentifikasi 105 tanaman bergenotip Oo)
105 baris
Oo BC2F1 x DMR 105 baris
5 baris
BC3F1 105 baris
MAS
(Analisis 210 sampel dengan menggunakan marka SSR untuk mengidentifikasi 105 tanaman bergenotip Oo)
Oo BC3F1 105 tanaman
BC3F2 105 baris
MAS
(Analisis 210 sampel dengan menggunakan marka SSR untuk mengidentifikasi 53 tanaman bergenotip oo)
oo BC3F2 53 tanaman
53 tongkol BC3F3 (Analisis sample pada SPAL untuk mengdengan biji oo
konfirmasi fenotipe QPM)
Penyaringan terhadap patogen bulai
Rekombinasi antara progeny BC3F3 (Nei 9008 + o2 x Mr-10 + o2) Uji Daya Hasil Keterangan: MAS = Marker Assisted Selection menggunakan Marka SSR DMR = Downy mildew resistance , QPM (Quality protein maize)
113
Lampiran 2.
Tata leptak percobaan penyaringan genotip jagung terhadap P. maydis di lapangan dengan menggunakan dua ulangan 10 cm 50 cm 10 cm
50 cm
Pasangan Persilangan Mr10 x CML161 (Ulangan 1) 2.5 m
Pasangan Persilangan Nei9008 x CML161 (Ulangan 1)
Pasangan Persilangan Nei9008 x CML161 (Ulangan 2)
Pasangan Persilangan Mr10 x CML161 (Ulangan 2)
= baris tanaman penyebar (spreader rows) sebagai sumber inokulum.
= baris tanaman yang dievaluasi.
114
Lampiran 3. Tata letak percobaan penyaringan genotip jagung terhadap P. maydis di lapangan dengan rancangan perbesaran, tanpa ulangan. 20 cm s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
50 cm
1
20 cm
3m
2
98
99 100
Blok II
Blok I s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
200 199 198
103 102 101
Blok III
Blok IV s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s s 50 cm s s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
s
Keterangan : Denah Percobaan untuk satu populasi, 5 Blok, 40 genotip per Blok. 1, 2, 3, 4 , . . . , 200 = Nomor plot genotip uji s s s s s s s s s s s s = Tanaman spreader rows (Kultivar Srikandi K-1) Jarak tanam genotip uji = 20 cm X 60 cm Jarak tanam tanaman baris penyebar = 20 cm X 50 cm
115
Lampiran 4. Tata letak percobaan pengujian daya gabung, efek heteosis, dan potensi tanaman untuk karakter komponen hasil, hasil dan beberapa karakter agronomi
Replikasi I R e p l i k a s i II
B
1
2
34
45
B
B
90
69
37
46
B
B
91
134 135 B
B
190 189
137 136 B
Keterangan: B= Tanaman Boreder; 1,2,3…. . 190=Ge n o t i puj idan cek.
116
Lampiran 5. Persentase infeksi galur-galur Nei9008-o2 terhadap P. maydis, KP. Cikemeuh, MH 2006 Genotip Asal Data Amat (%) Koreksi Data terkoreksi (%) Nei9008+o2-1 BC3F4-212 17.4 -1.1 18.5 Nei9008+o2-2 BC3F4-213 14.6 -1.1 15.7 Nei9008+o2-3 BC3F4-215 18.8 -1.1 19.9 Nei9008+o2-4 BC3F4-216 15.2 0.6 14.6 Nei9008+o2-5 BC3F4-217 15.6 0.6 15.0 Nei9008+o2-6 BC3F4-219 15.0 0.6 14.4 Nei9008+o2-7 BC3F4-224 7.7 0.5 7.2 Nei9008+o2-8 BC3F4-226 19.4 0.5 18.9 Nei9008+o2-9 BC3F4-230 17.3 0.5 16.8 Nei9008+o2-10 BC3F4-231 19.6 -1.1 20.7 Nei9008+o2-11 BC3F4-235 17.2 0.6 16.6 Nei9008+o2-12 BC3F4-236 15.4 0.5 14.9 Nei9008+o2-13 BC3F4-237 14.3 0.5 13.8 Nei9008+o2-14 BC3F4-238 14.3 -1.1 15.4 Nei9008+o2-15 BC3F4-240 19.4 0.6 18.8 Nei9008+o2-16 BC3F4-241 19.0 0.5 18.5 Nei9008+o2-17 BC3F4-247 19.0 0.5 18.5 Nei9008+o2-18 BC3F4-249 20.0 0.5 19.5 Nei9008+o2-19 BC3F4-251 11.1 -1.1 12.3 Nei9008+o2-20 BC3F4-252 20.0 0.5 19.5 Nei9008+o2-21 BC3F4-265 0.0 0.5 -0.5 Nei9008+o2-22 BC3F4-267 14.7 -1.1 15.8 Nei9008+o2-23 BC3F4-268 16.7 -1.1 17.8 Nei9008+o2-24 BC3F4-273 16.7 0.5 16.1 Nei9008+o2-25 BC3F4-275 5.9 -1.1 7.0 Nei9008+o2-26 BC3F4-276 14.0 0.6 13.4 Nei9008+o2-27 BC3F4-279 14.3 -1.1 15.4 Nei9008+o2-28 BC3F4-280 7.1 0.5 6.6 Nei9008+o2-29 BC3F4-285 0.0 -1.1 1.1 Nei9008+o2-30 BC3F4-286 5.9 0.5 5.4 Nei9008+o2-31 BC3F4-289 18.0 0.5 17.5 Nei9008+o2-32 BC3F4-290 14.7 0.6 14.1 Nei9008+o2-33 BC3F4-305 17.5 -1.1 18.6 Nei9008+o2-34 BC3F4-307 13.0 0.6 12.4 Nei9008+o2-35 BC3F4-308 19.4 0.6 18.7 Nei9008+o2-36 BC3F4-309 18.2 -1.1 19.3 Nei9008+o2-37 BC3F4-320 5.3 -1.1 6.4 Nei9008+o2-38 BC3F4-322 16.7 0.6 16.0 Nei9008+o2-39 BC3F4-326 15.8 0.6 15.2 Nei9008+o2-40 BC3F4-327 21.3 0.6 20.7 Nei9008+o2-41 BC3F4-336 6.1 0.6 5.5 Nei9008+o2-42 BC3F4-337 17.5 0.6 16.9 CML161 (Cek 1) 86.5 Nei9008 (%) 5.9 LSI 5% 12.1 KK (%) 10
117
Lampiran 6. Persentase infeksi galur-galur MR10-o2 terhadap P. maydis, KP. Cikemeuh, MH 2006 Genotip Asal Mr10+o2-1 BC3F3_Mr10-12 Mr10+o2-2 BC3F3_Mr10-14 Mr10+o2-3 BC3F3_Mr10-20 Mr10+o2-4 BC3F3_Mr10-40 Mr10+o2-5 BC3F3_Mr10-46 Mr10+o2-6 BC3F3_Mr10-49 Mr10+o2-7 BC3F3_Mr10-50 Mr10+o2-8 BC3F3_Mr10-57 Mr10+o2-9 BC3F3_Mr10-66 Mr10+o2-10 BC3F3_Mr10-80 Mr10+o2-11 BC3F3_Mr10-83 Mr10+o2-12 BC3F3_Mr10-84 Mr10+o2-13 BC3F3_Mr10-103 Mr10+o2-14 BC3F3_Mr10-115 Mr10+o2-15 BC3F3_Mr10-116 Mr10+o2-16 BC3F3_Mr10-117 Mr10+o2-17 BC3F3_Mr10-118 Mr10+o2-18 BC3F3_Mr10-119 Mr10+o2-19 BC3F3_Mr10-123 Mr10+o2-20 BC3F3_Mr10-125 Mr10+o2-21 BC3F3_Mr10-132 Mr10+o2-22 BC3F3_Mr10-139 Mr10+o2-23 BC3F3_Mr10-140 Mr10+o2-24 BC3F3_Mr10-150 Mr10+o2-25 BC3F3_Mr10-155 Mr10+o2-26 BC3F3_Mr10-166 Mr10+o2-27 BC3F3_Mr10-169 Mr10+o2-28 BC3F3_Mr10-170 Mr10+o2-29 BC3F3_Mr10-180 Mr10+o2-30 BC3F3_Mr10-188 Mr10+o2-31 BC3F3_Mr10-189 Mr10+o2-32 BC3F3_Mr10-199 Mr10+o2-33 BC3F3_Mr10-205 Mr10+o2-34 BC3F3_Mr10-32 Mr10+o2-35 BC3F3_Mr10-33 Mr10+o2-36 BC3F3_Mr10-38 CML161 (Cek-1) Mr10 (Cek-2) LSI 5% KK (%)
Data Amat (%) 48.4 60.1 36.1 80.4 10.0 47.9 48.7 4.3 28.0 53.9 48.8 15.0 2.6 20.0 49.7 48.8 30.8 17.3 48.1 49.2 7.1 50.0 76.8 5.3 70.0 5.3 77.4 55.1 48.7 0.0 2.5 5.0 29.8 19.6 29.9 81.9
Koreksi 2.6 -2.0 -0.6 -0.6 2.6 -2.0 -0.6 2.6 -0.6 2.6 2.6 2.6 -0.6 -2.0 -2.0 -0.6 -2.0 -0.6 2.6 -0.6 2.6 -2.0 -2.0 2.6 2.6 2.6 -2.0 -2.0 -0.6 -0.6 -2.0 -0.6 2.6 -2.0 -0.6 -2.0
Data terkoreksi (%) 45.8 62.0 36.8 81.0 7.4 49.9 49.3 1.8 28.7 51.4 46.2 12.4 3.2 22.0 51.6 49.4 32.7 17.9 45.5 49.8 4.5 52.0 78.8 2.7 67.4 2.7 79.4 57.1 49.4 0.6 4.5 5.6 27.2 21.6 30.6 83.9 86.5 5.8 11.3 9.9
118
Lampiran 7. Nilai tengah analisis varians gabungan potensi tanaman untuk karakter komponen hasil, hasil dan beberapa karakter agronomi, MK 2006 Sumber Keragaman
db
hari
T.Tan cm
T.Tk cm
Bbt. Tk.P kg 81.663**
0.0103
8.712
38.74
1030.05
0.073
0.411
0.120
2.713 0.480
UBB
Rend
D. Tk cm
Pj.Tk cm
B.bj g
Asp. Tan
Asp. Klb
Asp. Klb
Hsl t/ha
Lokasi (L)
1
56.529
38071.8**
31777.9**
Lokasi/Ulangan
2
15.537
12.625
150.735
0.603172
0.0040
0.061
17.064
1829.83
0.054
0.027
0.026
Genotipe (G)
67
9.445**
520.710
197.94
2.33928
0.0025**
0.217
8.048
1840.54
0.045
0.040
0.071
2.492*
GxL
67
4.604
352.914
166.978
1.73908
0.0003**
0.124*
4.829*
1266.78
0.032
0.0371**
0.036
1.486**
Residu
134
4.104
349.901
174.079
0.79692
0.0005
0.15819
3.205*
1201.63
0.023
0.021
0.027
0.622
13.6
12.0
17.4
11.6
3.1
9.3
12.7
13.3
11.3
12.0
11.8
12.0
KK (%) Keterangan:
UBB= Umur berbunga betina; T.Tan = Tinggi tanaman; T.Tk = Tinggi letak tongkol; Bbt.Tk.P = Bobot tongkol panen; Rend = Rendemen; D. Tk = Diameter tongkol; Pj. Tk = Panjang tongkol; Bbj = Bobot 1000 biji; Asp.Tan = Aspek Tanaman; AspKlb = Aspek penutupan klobot; Asp.Tk = Aspek tongkol,Hsl = Hasil biji kering pada Ka. 15%. *: nyata menurut uji F pada taraf α= 5% ; **: nyata menurut uji F pada taraf α= 1%
119
Lampiran 8. Karakteristik fisik dan kimia tanah lokaksi evaluasi daya gabung dan potensi hasil di Lahan kering KP. Bajeng dan Lahan Sawah Lapeccang, Bone. MK 2006. Ciri fisik dan kimia - Tekstur
-
-
- liat % - debu % - pasir % pH (air 1 : 2,5) (KCl 1: 2,5) Bahan Organik N Total (%) C/N P Olsem (ppm) Kation Dapat Tukar (mc/100 g) K Ca Mg Na Aldd (me/100 g)
- H + (me/100 g) - KTK (me/100 g) - Kejenuhan Basa (%) Ekologi Tipe Tanah Tipe Iklim Ketinggian
Hasil Analsis Bajeng, Gowa Lapeccang, Bone Lempung berpasir Liat/Lempung 13 56 47 31 40 13 5.5 6.33 5 5.5 1,94 2.74 0,09 0.16 10 29.92 0.4 0,43 6.12 1.02 0,19 -
0.29 22.38 1.35 0.09
0.06
0.06 33.93 71 Lahan Sawah Aluvial
9.76 79 Lahan Kering Ultisol C2 50 m dpl
-
100 m dpl
Keterangan: Analisis Lab dilakukan di Lab Tanah Balitsereal, Juli 2006
120
Lampiran 9. Kandungan lisin, tiptofan dan protein kasar pada galur-galur hasil introgresi gen opaque di Laboratorium CIMMYT, Mexico, 2006
Improvement Center International Maize and Wheat Centro Internacional de Mejoramiento de Maíz y Trigo
SOIL AND PLANT ANALYSIS LABORATORY Dr. Mappaganggang S. Pabbage Exp.Sta.: Indonesia
Received: October 17, 2006 Delivery: November 17, 2006
Protein = %N x Factor (6.25) Quality Index = %Try ÷ %Protein x 100 Whole Grain LAB. No. IDENTIFICATION Try Lys Protein Quality Ent. PEDIGREE (2006) % % % Index 1 Mr10+02-8 10443 0.063 0.309 11.82 0.53 2 Mr10+02-13 10444 0.072 0.359 13.10 0.55 3 Mr10+02-21 10445 0.078 0.363 10.74 0.73 4 Mr10+02-24 10446 0.104 0.502 10.18 1.02 5 Mr10+02-26 10447 0.069 0.340 9.21 0.75 6 Mr10+02-30 10448 0.081 0.391 9.38 0.86 7 Mr10+02-31 10449 0.079 0.377 9.55 0.83 8 Mr10+02-32 10450 0.066 0.331 10.27 0.64 9 Nei9008+02-9 10451 0.100 0.480 10.40 0.97 10 Nei9008+02-11 10452 0.106 0.510 9.96 1.06 11 Nei9008+02-14 10453 0.096 0.466 9.34 1.02 12 Nei9008+02-15 10454 0.105 0.523 11.33 0.93 13 Nei9008+02-24 10455 0.097 0.486 9.52 1.02 14 Nei9008+02-26 10456 0.097 0.481 10.00 0.97 15 Nei9008+02-27 10457 0.105 0.503 10.84 0.97 16 Nei9008+02-41 10458 0.100 0.480 10.03 1.00 17 CML161 10459 0.092 0.433 10.52 0.87 18 Mr10 10460 0.049 0.220 10.03 0.49 19 Nei9008 10461 0.046 0.254 9.53 0.48 Sampel dikirim dan dianalisis di Laboratorium Biokimia Tanah dan Tanaman CIMMYT, Mexico Keterangan: Try = kandungan triptofan dalam protein jagung, Lys = kandungan lisin dalam protein jagung
121
Lampiran 10. Diskripsi galur resisten terhadap penyakit bulai dan galur QPM. Karakter Golongan Asal
Umur Anthesis Keluar rambut Masak Fisiologi Tinggi tanaman Tinggi tongkol Batang Daun Bentuk malai Warna sekam Warna anthera Warna rambut Warna biji Tipe biji Kelobot Potensi hasil Ketahanan
Nei9008* Galur Murni Introduksi galur dari Dept Pertanian Thailand, melaui jaringan kerjasama AMBIONET, CIMMYT
Mr-10** Galur Murni Hasil seleksi pedigri dari Suwan 2 (S1) C7
CML161*** Galur Murni CIMMYT, Mexico
56-60 hari 57-62 hari ±115 hari ±110 cm ±65 cm Hijau Hijau agak lebar dan tegak Kompak Kream Merah Putih kemerahan Kuning orange Mutiarta (flint) Menutup dengan baik 4.5 t/ha Resisten terhadap P.maydis, P. zeae, P. sorghi dan P. philippinensis, P. heteropogoni, Resisten terhadap penyakit karat dan bercak daun Toleran kekeringan
50 –54 50 - 55 ±97 hari ±117 cm ±54 cm Hijau keunguan Hijau agak sempit
55-60 57-62 ±117 hari ±115 cm ±57 cm Hijau Hijau agak lebar
Agak terbuka Merah keunguan Ungu Merah kecoklatan Kuning Semi mutiara Menutup cukup baik
Kompak Kream Merah keunguan Putih kemerahan Kuning orange Mutiarta (flint) Menutup dengan baik
3 t/ha Resisten terhadap P. maydis, bercak dan karat daun
4.0 /ha H. maydis P. polysora
Keterangan: *Departemen of Agriculture, Thailand, 2002. **Balitsereal, Maros, 2005 *** CIMMYT, 2001.
122