SINERGI TEKNOLOGI MARKA MOLEKULER DALAM PEMULIAAN TANAMAN JAGUNG Muhammad Azrai Balai Penelitian Tanaman Serealia, Jalan Dr. Ratulangi No. 274, Maros 90514, Kotak Pos 1173 Makassar
ABSTRAK Penggunaan marka molekuler yang saat ini telah meluas terbukti dapat membantu introgresi gen mayor ke dalam kultivar elit dengan metode silang balik. Jika suatu gen tunggal atau lokus karakter kuantitatif berpengaruh nyata terhadap suatu karakter target dan dapat diidentifikasi berdasarkan keterpautannya dengan marka molekuler maka pemilihan karakter yang dituju pada plasma nutfah elit akan lebih efisien. Dengan mengombinasikan pendekatan analisis quantitative trait loci (QTL) metode silang balik, gen-gen pengendali karakter kuantitatif dapat diidentifikasi baik pada plasma nutfah tanaman liar maupun tanaman budi daya, dan telah berhasil dipindahkan ke galur-galur elit pemulia. Di Indonesia, pemanfaatan marka molekuler pada tanaman jagung dimulai sejak program pemuliaan jagung Indonesia bergabung dalam jalinan kerja sama bioteknologi jagung Asia (AMBIONET). Sasaran strategis dari jaringan kerja sama tersebut adalah meningkatkan dan mendukung kemampuan program pemuliaan untuk mengadopsi alat bantu bioteknologi dalam perbaikan genetik jagung. Fokus utama kegiatan penelitian dari masing-masing negara peserta AMBIONET adalah pebaikan sifat ketahanan jagung terhadap penyakit bulai, identifikasi dan karakterisasi keragaman genetik galur-galur elit pemulia, serta perbaikan kualitas protein jagung dan ketahanan terhadap kekeringan. Saat ini, peneliti Balai Penelitian Tanaman Serealia mulai mensinergikan pemanfaatan marka SSR dalam kegiatan pemuliaan tanaman jagung. Kata kunci: Jagung, marka molekuler, pemuliaan tanaman
ABSTRACT Sinergy of molecular marker technology in corn breeding in Indonesia The most widespread use of marker assisted selection (MAS) to date is to assist backcrossing of major gene to elite cultivars. If an individual gene or quantitative trait loci (QTL) significantly influenced specific target traits and can be identified based on their linkage to molecular markers, the efficiency of incorporating the desired traits in elite germplasm could be greatly enhanced. By combining the QTL analysis approach with backcross breeding method, useful genes that control quantitative traits have been identified in the germplasm of plant not adapted to agriculture and have successfully been transferred to danced breeding lines. Application of MAS in Indonesian maize crop breeding was started when Indonesian maize breeding program joined in the Asian Maize Biotechnology Network (AMBIONET). The strategic objective of the network was to enhance and support the capacity of the breeding program to adopt biotechnology tools for maize improvement. The focus of the country research activities included improvement of maize for downy mildew resistance, genetic diversity, quality protein maize, and drought tolerance. In this time, researchers of the Indonesian Cereals Research Institute are starting to apply SSR markers in maize breeding. Keywords: Maize, molecular markers, plant breeding
S
wasembada jagung tahun 2007 yang dicanangkan oleh pemerintah merupakan suatu tantangan untuk menjawab permasalahan pangan dan kemiskinan. Selain sebagai bahan pangan kedua setelah padi, jagung merupakan bahan baku industri, terutama pakan ternak, sehingga kebutuhan jagung terus meningkat dari tahun ke tahun. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas produksi jagung mutlak dilakukan untuk memenuhi
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
kebutuhan dalam negeri dan meningkatkan kesejahteraan petani. Salah satu upaya pencapaian peningkatan kapasitas produksi jagung nasional adalah mengintensifkan kegiatan pemuliaan untuk mendapatkan benih unggul yang berpotensi hasil tinggi. Pemuliaan tanaman merupakan suatu metode eksploitasi potensi genetik untuk mendapatkan kultivar unggul baru yang berdaya hasil dan berkualitas tinggi pada
kondisi lingkungan tertentu (Mayo 1980; Guzhov 1989; Stoskopf et al. 1993; Shivanna dan Sawhney 1997). Kegiatan eksploitasi potensi genetik tanaman semakin gencar setelah dicetuskannya Revolusi Hijau. Sejak itu, dengan teknik pemuliaan konvensional, pemulia tanaman termasuk pemulia jagung telah berhasil memperbaiki sifat kualitatif maupun kuantitatif tanaman. Walaupun teknologi pemuliaan konvensional terbukti berhasil 81
meningkatkan produksi tanaman dan mampu memenuhi pangan penduduk bumi sampai saat ini, teknologi tersebut memiliki keterbatasan seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk, berkurangnya luas lahan produktif, dan semakin melandainya produktivitas hasil pertanian. Kegiatan seleksi dalam pemuliaan secara konvensional hanya didasarkan pada pengamatan fenotipe yang dibantu dengan pendugaan menggunakan metode statistik yang tepat. Beberapa masalah yang sering muncul dalam pemuliaan secara konvensional, seperti yang disarikan oleh Lamadji et al. (1999), adalah: 1) memerlukan waktu yang cukup lama, 2) sulit memilih dengan tepat gen-gen yang menjadi target seleksi untuk diekspresikan pada sifat-sifat morfologi atau agronomi, karena penampilan fenotipe tanaman bukan hanya ditentukan oleh komposisi genetik, tetapi juga oleh lingkungan tempat tanaman tersebut tumbuh, 3) rendahnya frekuensi individu berkenan yang berada dalam suatu populasi yang besar sehingga menyulitkan kegiatan seleksi untuk mendapatkan hasil yang valid secara statistik, dan 4) pautan gen antara sifat yang diinginkan dengan yang tidak diinginkan sulit dipisahkan saat melakukan persilangan. Dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi molekuler pada awal tahun 1980-an, ditemukan teknologi molekuler yang berbasis pada DNA. Marka molekuler merupakan alat yang sangat baik bagi pemulia dan ahli genetik untuk menganalisis genom tanaman. Sistem ini telah merevolusi bidang pemetaan genetik dan dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan keragaman genetik, klasifikasi dan filogeni dalam pengelolaan plasma nutfah, dan sebagai alat bantu dalam pemuliaan dan seleksi melalui penandaan gen. Marka molekuler juga dapat digunakan untuk pengklonan gen yang difasilitasi oleh peta marka molekuler. Kegiatan seleksi pada pemuliaan secara konvensional dapat dipercepat jika dapat disinergikan dengan teknologi marka molekuler yang dikenal dengan nama marker assisted selection (MAS). Dengan MAS, kegiatan seleksi menjadi lebih efektif dan efisien karena seleksi hanya didasarkan pada sifat genetik tanaman, tidak dipengaruhi oleh faktor lingkungan. Tulisan ini membahas secara ringkas beberapa strategi sinergi teknologi marka molekuler dalam pemuliaan jagung. 82
MARKA MOLEKULER SEBAGAI ALAT BANTU SELEKSI Teknologi marka molekuler pada tanaman jagung berkembang sejalan dengan makin banyaknya pilihan marka DNA yaitu: 1) marka yang berdasarkan pada hibridisasi DNA seperti restriction fragment length polymorphism (RFLP), 2) marka yang berdasarkan pada reaksi rantai polimerase yaitu polymerase chain reaction (PCR) dengan menggunakan sekuen-sekuen nukleotida sebagai primer, seperti randomly amplified polymorphic DNA (RAPD) dan amplified fragment length polymorphism (AFLP), 3) marka yang berdasarkan pada PCR dengan menggunakan primer yang menggabungkan sekuen komplementer spesifik dalam DNA target, seperti sequence tagged sites (STS), sequence characterized amplified regions (SCARs), simple sequence repeats (SSRs) atau mikrosatelit, dan single nucleotide polymorphisms (SNPs). Pemilihan marka yang akan digunakan dalam analisis genetik perlu mempertimbangkan tujuan yang diinginkan, sumber dana yang dimiliki, fasilitas yang tersedia, serta kelebihan dan kekurangan masing-masing tipe marka. Keberhasilan penggunaan suatu marka penyeleksi dalam kegiatan pemuliaan bergantung pada tiga syarat utama yang harus dipenuhi (AMBIONET 1998) yaitu: 1) tersedianya peta genetik dengan jumlah marka polimorfis yang cukup memadai sehingga dapat mengidentifikasi QTL atau gen-gen mayor target secara akurat, 2) marka terkait erat dengan QTL atau gen mayor target pada peta genetik yang sudah dikonstruksi, dan 3) kemampuan menganalisis sejumlah besar tanaman secara efektif. Karakteristik beberapa tipe marka untuk analisis genetik disajikan pada Tabel 1. Pada makalah ini hanya ditampilkan marka isozim dan beberapa marka DNA yaitu RFLP, RAPD, mikrosatelit (SSR), dan AFLPs, karena marka DNA tersebut paling banyak digunakan di laboratorium dan marka yang lain pada umumnya merupakan varian dari marka tersebut. Tabel 1 memperlihatkan bahwa tingkat kemampuan deteksi marka isozim dan DNA dibagi menjadi dua, yaitu marka yang memiliki kemampuan mendeteksi keragaman di tingkat alel, yaitu isozim, RFLP dan mikrosatelit, serta mar-
ka yang mampu mendeteksi keragaman di tingkat lokus yaitu RAPD dan AFLPs. AFLPs merupakan marka DNA dengan prinsip kerja menggabungkan kelebihan dari RFLP dan RAPD sehingga sangat baik digunakan dalam penelitian genetik. Namun demikian, penggunaan marka AFLPs di Indonesia belum meluas karena memerlukan investasi yang besar dan keterampilan khusus. Dalam konteks MAS, marka berbasis DNA dapat lebih efektif jika digunakan untuk tiga tujuan dasar, yaitu: 1) identifikasi galur-galur tetua untuk perbaikan suatu karakter untuk tujuan khusus, 2) penelusuran alel-alel dominan atau resesif pada tiap generasi persilangan, dan 3) identifikasi individu-individu target sesuai dengan karakter yang diinginkan di antara turunan yang bersegregasi, berdasarkan komposisi alel persilangan sebagian atau seluruh genom.
Identifikasi Galur-Galur Tetua untuk Tujuan Khusus Marka DNA dapat digunakan untuk mengidentifikasi plasma nutfah yang memiliki karakter khusus jika marka DNA tersebut berasosiasi kuat dengan gen yang mengendalikan karakter yang diinginkan. Salah satu contoh adalah resistensi penyakit bulai pada tanaman jagung yang dapat dikarakterisasi secara molekuler pada alel tertentu dengan marka RFLP dan SSR (George et al. 2003). Dengan pendekatan ini, tetua yang memiliki komposisi alel pengatur karakter ketahanan terhadap penyakit bulai dengan mudah dapat diidentifikasi. Identifikasi galur-galur dengan bantuan marka molekuler juga sangat bermanfaat dalam analisis sidik jari (finger printing), karena dapat memberikan informasi untuk perencanaan program pemuliaan, terutama dalam pembentukan segregasi baru, varietas hibrida dan sintetik unggul baru, serta dalam menentukan tetua yang digunakan untuk memilih pasangan persilangan baru. Walaupun informasi dari kelompok heterosis tidak selalu mampu menghasilkan kombinasi persilangan terbaik, pendekatan ini dapat mengurangi jumlah persilangan maupun keturunan bersegregasi yang diperlukan untuk evaluasi lebih lanjut. Selain itu, sidik jari DNA sangat diperlukan dalam perlindungan galur elit pemulia dari pencurian (klaim) oleh pihak yang tidak Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
Tabel 1. Karakteristik dan kegunaan beberapa tipe marka untuk aplikasi genetika molekuler. Uraian
Isozim
RFLPs
RAPDs
SSRs
AFLPs
Sidik jari Keragaman genetik Penandaan gen Pemetaan QTL MAS Prinsip kerja
+ + − − − Alat bantu enzim
++ ++ ++ ++ ++ Pemotongan Endonuklease, hybridisasi southern blot
−/+ − ++ −/+ − Amplifikasi DNA dengan primer acak
++ + + + ++ PCR dengan ulangan sekuen pendek
+++ + ++ ++ +/++ Pemotongan endonuklease menggunakan adaptor dan primer khusus
Tipe polimorfis
Perubahan beban elekroforesis
Perubahan basa tunggal Insersi dan delesi
Perubahan basa tunggal Insersi dan delesi
Perubahan pada panjang ulangannya
Perubahan basa tunggal Insersi dan delesi
Kelimpahan genom Tingkat polimorfis Sifat pewarisan Deteksi varian alelik Jumlah lokus terdeteksi Kebutuhan untuk informasi sekuen Tingkat kesulitan Reliabilitas Jumlah DNA yang diperlukan Penggunaan radioisotop Tipe primer
Rendah Sedang/rendah Ko-dominan Ya 1−5 Tidak
Tinggi Sedang Ko-dominan Ya 1−5 Tidak
Sangat tinggi Sedang Dominan Tidak 1−10 Tidak
Sedang/tinggi Tinggi Ko-dominan Ya 1 Ya
Sangat tinggi Tinggi Dominan/ko-dominan Tidak 30−100 Tidak
Sedang Tinggi − Tidak −
Sedang Tinggi 2−15 µg Ya/tidak gDNA/cDNA
Rendah Tinggi 50−100 µg Ya/tidak Primer khusus 16−30 mer
Sedang/tinggi Tinggi 1 µg Ya/tidak Adapter dan primer khusus
Biaya awal Biaya pengembangan
Rendah Rendah
Sedang Sedang
Rendah Sedang 10−50 µg Tidak Random 9-atau 10-meroligo nucletida Rendah Rendah
Sedang Tinggi
Tinggi Sedang/tinggi
Sumber: AMBIONET (1998).
Penelusuran Alel yang Diinginkan pada Setiap Generasi Persilangan
tetua donor dapat diseleksi dengan menggunakan marka yang lokasinya berdekatan atau di dalam gen target sehingga memiliki peluang keberhasilan yang lebih besar (Gambar 1), 2) marka dapat digunakan untuk mempercepat dan mengefisienkan seleksi progeni silang balik yang memiliki porsi genom terbesar (99%) dan gen target 1% (Gambar 2), dan 3) marka dapat digunakan untuk menyeleksi turunan silang balik, sehingga
Marka DNA dapat digunakan untuk menelusuri keberadaan gen target (foreground selection) dan mempercepat pemulihan genom tetua recurrent (background selection) pada pemuliaan silang balik. Keberhasilan metode marker assisted backcrossing (MAB) dalam meningkatkan efisiensi pemuliaan secara konvensional telah dilaporkan oleh Holland (2005) sebagai berikut: 1) jika fenotipe tetua yang mengandung gen target tidak mudah diamati maka turunan silang balik yang mengandung gen dari
Gambar 1. Identifikasi individu tanaman jagung resesif homozigot untuk alel opaque-2 pada populasi BC2S2 dengan menggunakan marka umc 1066. Pita DNA pertama adalah galur tetua non-QPM (P1) dan pita DNA kedua adalah galur tetua QPM (P2). Individu tanaman bertanda * adalah homozigot untuk alel mutan resesif opaque-2 recessive (Babu 2005).
bertanggung jawab. Dengan demikian, efisiensi pemuliaan dapat ditingkatkan melalui seleksi secara terarah berdasarkan data molekuler dan ekspresi genetik secara fenotipik di lapangan.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
gen yang tidak diinginkan tidak terbawa meskipun terpaut dengan gen target (linkage drag) (Gambar 3). Individu tanaman yang mengandung gen homozigot resesif mutant opaque-2 ditandai dengan pita tunggal, sedangkan individu tanaman yang masih heterozigot ditandai dengan pita ganda (Gambar 1). Introgresi alel resesif mutant opaque-2 ke jagung normal dengan menggunakan marka SSR hanya membutuhkan
83
sudah dipergunakan secara meluas, terutama untuk menyeleksi galur-galur jagung transgenik yang memiliki ketahanan terhadap herbisida dan resisten terhadap hama (Ragot et al. 1995). Beberapa parameter diperlukan untuk mengoptimalkan penerapan background selection, antara lain flanking marka dengan alel target untuk memindahkan pautan yang tidak diinginkan, optimalisasi jarak antara gen target dan flanking marka melalui seleksi yang intensif dan jumlah tanaman silang balik yang diperlukan untuk diregenerasi dan diaklimatisasi dengan set khusus flanking marka (Hospital dan Charcosset 1997).
% genom tetua silang balik:
94% BC3
87% BC2
75% BC1
99% BC6
% genom tetua silang balik:
75%
87%
99%
MAS untuk Perbaikan Karakter Kualitatif
Gambar 2. Perbandingan penerapan metode seleksi secara konvensional (atas) dan dengan menggunakan marka RFLP (bawah) pada pemuliaan silang balik (Young dan Tanskley 1989).
F1
F1
BC1
BC2
BC1
BC2
BC3
BC20
BC100
Gambar 3. Perbandingan kekuatan seleksi untuk introgresi gen dari kerabat liar ke plasma nutfah komersial dengan metode seleksi silang balik secara konvensional (atas) dan dengan menggunakan marka RFLP (bawah) (Young dan Tanskley 1989).
dua generasi silang balik (Babu 2005). Hal ini karena introgresi gen target ke tetua donor dipadukan dengan penggunaan marka DNA sebagai sidik jari terhadap kedua galur tetua persilangan, sehingga persentase genom nontarget dapat dideteksi. Metode ini didasari oleh metode yang diperkenalkan oleh Young dan Tanskley (1989) seperti disajikan pada Gambar 2. Introgresi gen target dengan menggunakan marka molekuler dalam pemuliaan silang balik dapat meningkatkan efisiensi seleksi dan mengurangi jumlah generasi silang balik menjadi separuhnya dibandingkan dengan seleksi secara konvensional. Hal ini karena pemuliaan secara konvensional memerlukan tambahan beberapa generasi silang dalam secara 84
berulang-ulang serta materi genetik dan tenaga yang lebih banyak. Pemanfaatan marka molekuler untuk menelusuri gen target telah dilaporkan oleh Melchinger (1990) yang memindahkan gen ketahanan oligenik terhadap penyakit melalui pendekatan estimasi jumlah individu minimum dan ukuran famili yang diperlukan dalam ulangan silang balik. Namun demikian, jika marka-marka alel spesifik belum ditemukan, penggunaan pendekatan ini dalam pemuliaan tanaman masih terbatas. Untuk menghindari linkage drag pada seleksi secara konvensional, dibutuhkan 100 generasi silang balik, sedangkan dengan menggunakan marka sebagai alat bantu seleksi hanya dibutuhkan dua generasi (Gambar 3). Marka DNA
Pemuliaan tanaman untuk karakter kualitatif berhasil dikembangkan melalui pemuliaan secara konvensional dengan metode silang balik. Seperti dijelaskan sebelumnya, metode ini memiliki beberapa kelemahan, yaitu selain membutuhkan waktu yang lama, juga terdapat masalah besarnya linkage drag pada saat dilakukan introgresi gen donor dari plasma nutfah liar ke plasma nutfah komersial. Young dan Tanskley (1989) melaporkan adanya linkage drag pada saat introgresi gen ketahanan Tm2 yang berasal dari Lycopersicum peruvianum ke dalam kultivar tomat komersial melalui pemuliaan silang balik. Mereka menemukan bahwa kultivar yang dikembangkan melalui 20 generasi silang balik memiliki segmen yang diintrogresikan sebesar 4 cM, sedangkan kultivar yang dikembangkan melalui 11 generasi silang balik masih mengandung seluruh lengan kromosom yang membawa gen dari tetua donor. Pemuliaan silang balik dengan memanfaatkan marka DNA dapat memfasilitasi introgresi gen pengendali karakter kualitatif secara efektif dan efisien. Salah satu contoh keberhasilan MAS untuk pengembangan karakter kualitatif adalah pemanfaatan marka SSR sat309 untuk menyeleksi genotipe yang memiliki gen rhg1 sebagai gen pengendali ketahanan terhadap soybean cyst nematode (SCN) yang disebabkan oleh Heterodera glycinae (Mudge et al. 1997; Cregan et al. 2000). Marka SSR sat309 diketahui berlokasi 1−2 cM dari rhg1 sehingga dapat diprediksi tingkat akurasinya sekitar 99% genotipe rentan SCN. Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
Keberhasilan juga dilaporkan pada pemuliaan untuk quality protein maize (QPM). Pemuliaan yang bertujuan untuk memperbaiki mutu protein jagung telah dilakukan secara intensif setelah Mertz et al. (1964) menemukan mutan jagung pada biji opak yang mengandung lisin tinggi: gen opaque-2. Gen opaque-2 (o-2) mampu meningkatkan kadar lisin dan triptofan pada endosperm jagung. Namun pada awal kegiatan pemuliaan tersebut, jagung yang mengandung gen opaque-2 memiliki endosperm yang lunak sehingga menyulitkan dalam proses pengeringan serta peka terhadap penyakit. Setelah melalui serangkaian penelitian yang cukup panjang, pemuliaan dengan metode silang balik secara konvensional berhasil mengkonversi gen opaque-2 ke dalam jagung biasa dengan kandungan lisin dan triptofan meningkat dua kali lipat dan endosperm keras (Vasal 2001). Meskipun pemuliaan secara konvensional telah berhasil mengubah kultivarkultivar komersial ke dalam bentuk varietas QPM sintetis, introgresi opaque2 bersama dengan modifiers endosperm ke dalam galur-galur elit cukup rumit karena adanya tiga faktor pembatas utama yaitu: 1) setiap generasi persilangan memerlukan enam generasi silang balik dan setiap generasi silang balik memerlukan silang diri untuk mengidentifikasi gen resesif opaque-2, 2) selain memerlukan pemeliharaan gen opaque-2 homozigot, jumlah modifiers yang harus diseleksi cukup banyak, dan 3) pengujian secara biokimia diperlukan untuk memastikan kadar lisin dan triptofan dalam materimateri yang terseleksi pada setiap generasi pemuliaan. Untuk mengatasi kendala tersebut, CIMMYT berhasil mengembangkan teknologi inovatif berdasarkan marka SSR terhadap alel opaque-2, sehingga konversi galur-galur jagung normal ke dalam QPM lebih efisien dari segi waktu dan biaya. Ada tiga marka SSR yang telah diidentifikasi pada kromosom 7, bin 7.01 yang memiliki hubungan erat dengan gen opaque-2, yaitu phi 057, phi 112, dan umc1066 (CIMMYT 2002). Dengan memanfaatkan marka SSR, waktu yang diperlukan untuk memulihkan genom tetua silang balik hanya dua atau tiga generasi, yang setara dengan enam generasi silang balik pada seleksi secara konvensional. Selain itu, tingkat kesalahan dalam merekombinasikan gen-gen target dan pautan marka dapat berkurang selama marka SSR dapat Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
mendeteksi gen target itu sendiri. Pengujian biokimia yang secara rutin dilakukan untuk mendeteksi keberadaan gen opaque-2 pada setiap generasi pada pemuliaan secara konvensional murni tidak diperlukan lagi. Dengan demikian penggunaan marka SSR untuk mengonversi galur jagung normal ke dalam QPM cukup sederhana, cepat, akurat, serta efisien dari segi biaya dan waktu (Dreher et al. 2000). Pengembangan karakter kualitatif dengan MAS juga dapat berupa gen tagging dan piramiding. Gen tagging merupakan cara cepat dan tepat untuk menyeleksi individu tanaman dengan menggunakan marka yang terpaut kuat untuk suatu karakter, seperti gen resistensi terhadap penyakit blas dan hawar daun bakteri pada padi dan karat daun pada gandum, melalui pendekatan analisis segregasi bulk (bulk segregation analysis = BSA), tanpa memerlukan uji lapangan. Metode gen tagging dan piramiding berpeluang besar diaplikasikan untuk mempercepat perbaikan sifat tanaman jagung komersial.
MAS untuk Pengembangan Karakter Kuantitatif Masalah yang sering muncul dalam perakitan kultivar unggul baru adalah umumnya karakter agronomi penting tanaman sangat kompleks dan dikendalikan oleh banyak gen. Ketidakterpautan karakter sederhana yang dikendalikan oleh satu atau beberapa gen mayor menyebabkan perbaikan karakter poligenik melalui MAS menjadi sangat rumit. Kesulitan memanipulasi karakter kuantitatif yang berhubungan dengan kompleksitas genetik disebabkan oleh banyaknya gen yang terlibat dalam ekspresinya, namun efek dari setiap gen tersebut terhadap penampilan fenotipe tanaman hanya kecil. Adanya interaksi antargen (epistasis) juga menjadi faktor penghambat dalam memanipulasi karakter kuantitatif. Dengan demikian, diperlukan beberapa lokasi genom yang harus dimanipulasi pada waktu yang sama untuk mendapatkan pengaruh yang nyata, meskipun untuk menghasilkan efek yang nyata pada suatu lokasi genom pada individu tanaman cukup sulit. Untuk kasus ini, reposisi pengujian lapangan diperlukan untuk mengkarakterisasi efek QTL secara akurat dan menguji stabi-
litasnya pada lingkungan yang berbeda. Evaluasi interaksi QTL dengan lingkungan (Q x E) secara kontinu merupakan pembatas utama terhadap efisiensi MAS (Beavis dan Keim 1996). Adanya interaksi epistasis di daerah yang berbeda pada genom dapat mempengaruhi pengujian arah efek QTL. Jika semua lokasi genom yang terlibat dalam interaksi tidak menyatu dalam skema seleksi maka efek QTL akan menjadi bias. Penghambat utama dalam penerapan MAS pada karakter kuantitatif menurut Tanskley dan Nelson (1996) antara lain adalah: 1) identifikasi jumlah terbatas pada players mayor (QTLs) pengendali karakter spesifik, 2) defisiensi percobaan dalam analisis QTL terutama dalam estimasi yang berlebihan atau estimasi yang sangat rendah pada jumlah dan efek QTL, 3) ketiadaan dalam validasi QTL (marka) yang berhubungan dengan penerapan materi pemuliaan yang berbeda, 4) kekuatan interaksi antar QTL x E, dan 5) kesulitan dalam mengevaluasi efek epistasis dengan tepat. Meskipun sulit, tidak berarti peningkatan efisiensi MAS untuk karakter kuantitatif tidak dapat dilakukan. Melalui perbaikan rancangan percobaan, penyempurnaan model matematika, dan penggunaan pendekatan metode statistik yang tepat, efisiensi MAS pada karakter kuantitatif dapat ditingkatkan. Dengan composite interval mapping (CIM), data dari lingkungan yang berbeda dapat diintegrasikan dalam analisis gabungan untuk mengevaluasi Q x E, dan selanjutnya memungkinkan identifikasi QTL yang stabil dari lingkungan yang berbeda (Jiang dan Zeng 1995). Selain itu, dengan peta pautan yang rinci, CIM mampu mengidentifikasi presisi QTL dalam genom dan pautan QTL (gabungan) yang berasal dari beberapa galur tetua. Pengetahuan tentang lokasi dan efek QTL dapat dimanfaatkan untuk percepatan program pemuliaan. Aplikasi marka sebagai alat bantu seleksi karakter kuantitatif yang menggunakan metode advanced back-crossing (AB) QTL antara lain telah dilakukan oleh Tanskley dan Nelson (1996) untuk perbaikan ketahanan buah tomat terhadap patogen penyebab blackmold dan Stuber et al. (1999) untuk peningkatan hasil hibrida silang tunggal B73 x Mo17. Prospek pengembangan karakter kuantitatif pada tanaman jagung cukup besar dengan keberhasilan identifikasi lokasi QTL 85
MARKA MOLEKULER DALAM LITBANG JAGUNG DI INDONESIA Penelitian dan pengembangan biologi molekuler dalam pemuliaan jagung di Indonesia belum berkembang luas dan baru berupa penelitian dasar. Kegiatan tersebut dimulai sejak Indonesia bergabung dalam jaringan kerja regional Asia pada tahun 1998, yakni Asian Maize Biotechnology Network (AMBIONET). Jaringan tersebut beranggotakan lima negara pada fase I yakni Cina, Filipina, Indonesia, Thailand, dan India dan menjadi enam negara pada fase II dengan bergabungnya Vietnam. Kegiatan pada fase I (tahun 1998−2002) meliputi peningkatan sumber daya manusia, karakterisasi dan identifikasi ketahanan terhadap penyakit bulai serta keragaman genetik galur-galur jagung. Karena laboratorium biologi molekuler terdapat di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Sumberdaya Genetik Pertanian (BB Biogen), maka kegiatan molekuler dilakukan oleh tim AMBIONET di Bogor, sedangkan kegiatan lapangan dilaksanakan oleh tim AMBIONET di Balai Penelitian Tanaman Serealia (Balitsereal), Maros. Pembagian tugas tersebut ternyata tidak efektif sehingga pada fase I, Indonesia belum berhasil menyelesaikan aktivitas dalam kegiatan molekuler, sedangkan kegiatan lapangan telah berhasil mengidentifikasi ketahanan penyakit bulai pada 40 galur jagung di lima lokasi pada dua musim tanam, serta karakterisasi fenotipe untuk pemetaan QTL ketahanan penyakit bulai di Maros, Sulawesi Selatan. Belajar dari pengalaman pada fase I serta keberhasilan Cina dan India, kegiatan molekuler pada fase II dilakukan oleh Tim AMBIONET dari Balitsereal yang dimagangkan di laboratorium BB Biogen, Bogor. Pada fase II, berhasil diidentifikasi QTL ketahanan penyakit bulai pada jagung dengan menggunakan marka by RFLP dan SSR (Gambar 4), identifikasi QTL ketahanan kekeringan pada populasi F3 86
dan RIL, introgresi gen homozigot resesif opaque-2 pada galur jagung tahan bulai, dan pemanfaatan marka SSR untuk mengidentifikasi diversitas genetik galurgalur jagung untuk membentuk kelompok heterosis yang sangat bermanfaat dalam pembentukan hibrida. QTL mayor yang teridentifikasi dengan marka RFLP, yaitu bnl5.47, bnl8.23, dan csu95d, berasosiasi kuat dengan ketahanan penyakit bulai pada jagung (Gambar 4). Setelah dilakukan pemetaan dengan marka SSR, ternyata di antara flanking marka tersebut teridentifikasi satu marka SRR yang berada pada posisi antara bnl5.47 dan bnl8.23 yaitu bnlg1154, serta empat marka SSR yang berada pada posisi antara bnl8.23 dan csu95d yaitu mmc0241, phi078, bnlg1702, dan nc013. Marka-marka tersebut juga berasosiasi kuat dengan ketahanan penyakit bulai di empat lokasi pada tiga negara, yakni Mandya dan Udaipur (India), Filipina dan Thailand (George et al. 2003). Marka-marka SSR yang secara konsisten berasosiasi kuat dengan gen ketahanan penyakit bulai pada jagung dapat digunakan untuk meningkatkan efisiensi seleksi dan mempercepat introgresi gen tahan bulai dengan metode AB-QTL. QTL ketahanan kekeringan pada jagung juga telah dianalisis dengan menggunakan data marka RFLP sebagai data genotipe dan hasil penyaringan kekeringan di Probolinggo tahun 2004. Beberapa marka RFLP berasosiasi dengan karakter agronomis untuk toleransi terhadap kekeringan, yaitu parameter daya kapasitas akar dan bobot 100 biji untuk genotipe F3 dan untuk genotipe RIL adalah tinggi tanaman, letak tongkol, selang berbunga jantan dan betina, daya kapasitas akar, dan umur berbunga betina. Namun demikian, marka yang mendeteksi karakter ketahanan tersebut tidak konsisten antara populasi F3 dan RIL sehingga diperlukan pemetaan untuk menentukan posisi QTL mayor secara tepat. Tidak semua marka yang terdeteksi berasosiasi dengan QTL suatu karakter dapat digunakan sebagai MAS. Hanya marka yang berasosiasi dengan QTL mayor yang memiliki efek yang sangat kuat mengendalikan karakter penting tersebut yang dapat digunakan sebagai MAS. Kekuatan efek suatu QTL ditentukan oleh kerapatan pautan gen pada suatu lokus, tingkat konsistensi informasi mengenai jumlah QTL, lokasi
Ch6 unc85 (6,01) 10,4
brl6.29 (6,01)
41,3
unc65a (6,04)
54,1
csu95d (6,04)
69,9
bnlg1154
82,1
bnl8.23 (6,05)
91,5 92,0 92,4 95,2 98,5 99,8 102,4 115,3 130,3
mmc0241 phi078 bnlg1702 nc013 bnl5.47a (6,05) bnl9.03 (6,05) unc33a (6,06) unc140c (6,56) unc132a (6,07)
Mayor QTL
▲
mayor untuk karakter toleransi terhadap kekeringan oleh Ribaut et al. (2002), karakter ketahanan terhadap southwestern corn borer (SWBC) oleh Khairallah et al. (1997), karakter ketahanan terhadap Cercospora zeae-maydis oleh Gordon et al. (2004), dan karakter ketahanan penyakit bulai oleh George et al. (2003).
Gambar 4. Posisi QTL mayor untuk ketahanan tanaman jagung terhadap penyakit bulai yang diidentifikasi dengan marka RFLP dan SSR (Azrai et al. 2003).
dan efek genetiknya, serta stabilitasnya dari pengaruh lingkungan (Babu et al. 2002). Introgresi gen opaque-2 dari galur QPM ke galur normal tahan bulai dengan menggunakan MAB sedang dilakukan. Pemilihan galur tahan bulai didasarkan pada hasil penyaringan Kasim et al. (2002) dari 40 galur dengan metode inokulasi semibuatan di lima lokasi dan dua musim di Indonesia. Saat ini, kegiatan MAS telah berhasil mengintrogresikan gen resesif opaque-2 pada galur Nei9008 dan Mr10. Galur-galur hasil introgresi tersebut saling disilangkan dan sedang diuji daya hasilnya di Bone dan Gowa, Sulawesi Selatan. Dengan demikian, diharapkan 2–3 tahun mendatang dapat dilepas kultivar unggul jagung baru bermutu protein tinggi dan tahan terhadap penyakit bulai. Pada kegiatan AMBIONET fase II, 10 galur elit jagung Indonesia dari Balitsereal bersama-sama dengan galurgalur yang berasal dari CIMMYT, Eropa, dan Amerika Serikat serta negara peserta AMBIONET telah diambil sidik jarinya dengan menggunakan marka SSR dan ditemukan 409 alel dalam 102 galur jagung. Sebanyak 19% alel unik ditemukan pada Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
galur-galur jagung Asia dan tidak ditemukan pada galur-galur CIMMYT, Amerika Serikat maupun Eropa, yaitu Cina 3 alel, India 3 alel, Indonesia 11 alel, Filipina 10 alel, Thailand 6 alel, Vietnam 1 alel, dan program jagung Asia 11 alel (George et al. 2004). Untuk pembentukan pola heterosis berdasarkan analisis marka molekuler, telah dilakukan analisis klaster terhadap delapan galur elit Balitsereal menggunakan 26 marka SSR (Pabendon et al. 2005). Kekerabatan atau kemiripan genetik dapat dilihat pada visualisasi dendrogram (Gambar 5). Dari dendrogram tersebut, galur Mr11 dan Mr12 mempunyai tingkat kemiripan genetik yang paling tinggi sebesar 0,76 (1 = paling mirip), dengan tingkat kepercayaan pengelompokan 85%. Kedua galur tersebut berasal dari populasi Suwan2C7 (Mejaya et al. 2005) sehingga masih memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Galur Mr4 mempunyai kemiripan genetik yang rendah dengan galur Mr14 yaitu sekitar 0,27, yang berarti kedua galur tersebut memiliki hubungan yang jauh. Galur Mr4 berasal dari J1, sedangkan Mr14 dari populasi Suwan3C7 (Mejaya et al. 2005). Untuk mendapatkan informasi hubungan kekerabatan galur-galur penyusun hibrida tersebut, selanjutnya dilakukan analisis klaster terhadap delapan galur dengan menggunakan 26 marka SSR (Pabendon et al. 2005). Kekerabatan atau kemiripan genetik dapat dilihat pada visualisasi dendrogram (Gambar 5). Dari dendrogram tersebut, galur Mr11 dan Mr12 mempunyai tingkat kemiripan genetik yang paling tinggi yaitu 0,76, dengan tingkat kepercayaan pengelompokan 85%. Hal ini sesuai dengan silsilahnya, yaitu kedua galur berasal dari populasi Suwan2C7 sehingga memiliki hubungan yang dekat. Galur inbrida Mr4 mempunyai kemiripan genetik yang rendah dengan inbrida Mr14 yaitu sekitar 0,27, yang berarti kedua galur memiliki hubungan yang jauh. Hal ini sesuai dengan silsilahnya yaitu galur Mr4 berasal dari J1, sedangkan Mr14 dari populasi Suwan3C7 (Mejaya et al. 2005). Jarak genetik antarpasangan galur tetua hibrida disajikan pada Tabel 2. Hibrida Semar-8 merupakan hasil persilangan tiga jalur (Mr9 x Mr10)// GM15). Jarak genetik Mr9 dengan Mr10 sebesar 0,50, sedangkan antara GM15 dengan Mr9 dan Mr10 masing-masing 0,51 dan 0,54. Semar-9 merupakan hasil Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
persilangan tiga jalur (Mr11 x Mr12)// GM15. Jarak genetik antara Mr11 dan Mr12 sebesar 0,25, sedangkan GM15 dengan genotipe Mr11 dan Mr12 masingmasing 0,46 dan 0,49. Semar-8 dan Semar-9 tersusun dari galur-galur yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat sampai sedang (nilai 0,25–0,54). Selanjutnya Semar-10 adalah hasil silang tiga jalur (Mr13 x Mr04)// Mr14. Jarak genetik antara Mr13 dan Mr4 sebesar 0,62, sedangkan antara Mr14 dengan Mr13 dan Mr4 masing-masing 0,60 dan 0,71. Jadi, Semar10 tersusun dari galur-galur yang memiliki hubungan kekerabatan cukup jauh (nilai 0,60–0,71).
Varietas Bima-1 merupakan hasil silang tunggal antara Mr4 dan Mr14 dengan nilai jarak genetik 0,71. Nilai jarak genetik terbesar (0,85) diperoleh pada pasangan Mr14 x GM15, sedangkan pasangan persilangan Mr11 dan Mr12 memiliki nilai jarak genetik terendah (Tabel 2). Nilai jarak genetik galur-galur di atas sesuai dengan silsilahnya (Mejaya et al. 2005). Tabel 2 memperlihatkan terdapat beberapa pasangan persilangan yang mempunyai peluang sebagai kandidat tetua berdasarkan nilai jarak genetik yang tinggi. Dengan memilih pasangan per-
Mr4 Mr9
75,20
56,30
Mr11
85 47,20
Mr12
57,80 GM15 Mr10 60,60
Mr13 Mr14
0,27
0,52
0,39
0,64
0,76
Koefisien kemiripan genetik
Gambar 5. Dendrogram delapan inbrida jagung berdasarkan kemiripan genetik yang dikonstruksi dengan menggunakan koefisien Jaccard pada 26 lokus SSR. Nilai di atas garis menunjukkan tingkat kepercayaan pengelompokan yang diperoleh melalui analisis boot strapping (Pabendon et al. 2005).
Tabel 2. Matriks jarak genetik inbrida-inbrida jagung pembentuk kultivar Semar-8, Semar-9, Semar-10, dan Bima-1.
Mr4 Mr9 Mr10 Mr11 Mr12 Mr13 Mr14 GM15
Mr4
Mr9
Mr10
Mr11
Mr12
Mr13
Mr14 GM15
0,00 0,65 0,60 0,55 0,53 0,62 0,71 0,60
0,00 0,50 0,38 0,34 0,71 0,75 0,51
0,00 0,56 0,48 0,63 0,76 0,54
0,00 0,25 0,78 0,74 0,46
0,00 0,68 0,74 0,49
0,00 0,60 0,73
0,00 0,83
0,00
Sumber: Pabendon et al. (2005).
87
silangan dengan nilai di atas 0,70, terdapat delapan persilangan lain di luar Mr4 x Mr14 yang mempunyai peluang untuk mendapatkan heterosis tinggi dan digunakan sebagai bahan percobaan, misalnya Mr14 dengan GM15. Dengan demikian penampilan dan kelebihan lain secara fenotipik perlu diperhitungkan sehingga akan memberi peluang keberhasilan yang lebih besar dan lebih akurat dalam melakukan seleksi tetua. Estimasi jarak genetik sejumlah inbrida jagung yang dilakukan oleh Lee (1995) berdasarkan Modified Rogers’ Distance menunjukkan bahwa hasil dan kemampuan daya
gabung khusus (DGK) mempunyai korelasi yang nyata.
KESIMPULAN Teknologi marka DNA telah banyak dimanfaatkan oleh peneliti jagung di beberapa negara dan cukup prospektif dikembangkan untuk mempercepat dan meningkatkan efisiensi seleksi dalam pemuliaan jagung di Indonesia. Melalui jalinan kerja sama AMBIONET, telah berhasil diidentifikasi lokus karakter kuantitatif (QTL) ketahanan jagung
terhadap penyakit bulai dan karakterisasi keragaman genetik dan homozigositas galur-galur elit pemulia yang berguna bagi pengembangan varietas jagung hibrida. Perbaikan kualitas protein jagung dengan mengintrogresikan gen resesif opaque-2 ke galur jagung elit tahan bulai juga telah dilakukan. Lokus karakter kuantitatif dari beberapa parameter agronomis yang terpaut dengan karakter ketahanan terhadap kekeringan juga berhasil diidentifikasi, namun masih memerlukan studi lebih lanjut sebelum dilakukan fine mapping dalam rangka MAS.
DAFTAR PUSTAKA AMBIONET. 1998. Molecular marker applications to plant breeding. AMBIONET’s First Training Workshop, 9 November – 4 December 1998. CIMMYT Headquarters, El Batan, Mexico. Azrai, M., F. Kasim, Sutrisno, dan S. Moeljopawiro. 2003. Identifikasi lokus karakter kuantitatif ketahanan penyaki bulai pada jagung menggunakan marka RFLP. Jurnal Bioteknologi Pertanian 8(1): 8−14. Babu, R. 2005. Two-generation marker-aided backcrossing for rapid conversion of normal maize lines to quality protein maize (QPM). Presented in the 9th Asian Maize Research Workshop, 05−09 September 2005, CAASCIMMYT, Beijing. Babu, R., S.K. Nair, and B.M. Prasanna. 2002. Integrating marker assisted selection in crop breeding: prospect and challenges. Manual Molecular Marker Applications in Plant Breeding. ICAR Short-Term Training Course, 26 September−5 October 2002. Division of Indian Agricultural Research Institute, New Delhi, India. Beavis, N.D. and P. Keim. 1996. Identification of QTL that are affected by environment. p. 123−149. In M.S. Kang and H.G. Gauch (Eds.). Genotype-by-Environment Interaction. CRC Press, Florida. CIMMYT. 2002. SSR Markers for Opaque-2. Service Lab Protocols. Applied Biotechnology Laboratory, CIMMYT, Mexico. Cregan, P.B., J. Mudge, J.P. Kenworthy, W.J. Kenworthy, J.H. Orf, and N.D. Young. 2000. Two simple sequence repeat markers to select for soybean cys nematode resistance conditioned by rghl locus. Theor. Appl. Genet. 99: 172−181. Dreher, K. Morris, M. Khairallah, J.M. Ribaut, S. Pandey, and G. Sinivasan. 2000. Is marker assisted selection cost-effective compared to conventional plant breeding methods? The case of quality protein maize. Paper presented at the Fourth Annual Conference
88
of the International Consortium on Agricultural Biotechnology Research (ICBR), Economics of Agricultural Biotechnology, held in Ravello, Italy, 24–28 August 2000. George, M.L.C., B.M. Prasanna, R.S. Rathore, T.A.S. Setty, N.N. Singh, F. Kasim, M. Azrai, S. Vasal, O. Balla, E. Regalado, M. Vargas. M. Khairallah, D. Jeffers, and D. Hoisington. 2003. Identification of QTL conferring resistance to downy mildews of maize in Asia. Theor. Appl. Genet. 107: 544–551. George, M.L., E. Regalado, M. Warburton, S. Vasal, and D.A. Hoisington. 2004. Genetic diversity of maize inbred lines in relation to downy mildew. Euphytica 135: 145–155. Gordon, S.G., M. Bartsch, I. Matthies, H.O. Gevers, P.E. Lipps, and R.C. Pratt. 2004. Linkage of molecular markers to Cercospora zeae-maydis resistance in maize. Crop Sci. 44: 628–636. Guzhov, Y. 1989. Genetics and Plant Breeding for Agriculture. Mir Publisher, Moscow. Holland, J.B. 2005. Implementation of molecular marker for quantitative traits in breeding programs: challenges and opportunities. Manual Training of Advances in MarkerAssisted Selection Workshop, 21−24 February 2005. IRRI, Laos Banos, Philippines. Hospital, F. and A. Charcosset. 1997. Marker assisted introgression of quantitative trait loci (QTL). Genetics 132: 1.199−1.210. Jiang, C. and Z.B. Zeng. 1995. Multiple trait analysis of genetic mapping for quantitative trait loci. Genetics 140: 1.111−1.127. Kasim, F., M. Azrai, Sutrisno, and D. Ruswandi, 2002. Preliminary marker assisted selection breeding program for downy mildew resistance in Indonesia. Proceedings of the 8 th Asian Regional Maize Workshop, Bangkok, Thailand, 5 August 2002. Kasetsart University: 82−90. Khairallah, M., M. Bohn, C. Jiang, J.A. Deutsch, D.C. Jewell, J.A. Mihm, A.E. Melchinger,
D. Gonzales-de-Leon, and D.A. Hoisington. 1997. Moleculer mapping of QTL for southwestern corn borer resistance, plant height and flowering in tropical maize. Plant Breed. 117: 309−318. Lamadji, S., L. Hakim, dan Rustidja. 1999. Akselerasi pertanian tangguh melalui pemuliaan nonkonvensional. Prosiding Simposium V Pemuliaan Tanaman PERIPI Komda Jawa Timur. hlm. 28−32. Lee, M. 1995. DNA markers and plant breeding programs. Adv. Agron. 55: 265–344. Mayo, O. 1980. The Theory of Plant Breeding. Clarendon Press, Oxford. Mejaya, M.J., M.M. Dahlan, dan M.B. Pabendon. 2005. Pola Heterosis dalam Pembentukan Varietas Unggul Jagung Bersari Bebas dan Hibrida. Seminar Bulanan Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor, 12 Mei 2005. hlm. 13. Melchinger, A.E. 1990. Use of molecular markers in breeding for oligogenic disease resistance. Plant Breed. 104: 1−19. Mertz, E.T., L.S. Bates, and O.E. Nelson. 1964. Mutant gene that changes protein composition and increases lysine content of maize endosperm. Science 145: 279−280. Mudge, J., P.B. Cregan, J.P. Kenworthy, W.J. Kenworthy, J.H. Orf, and N.D. Young. 1997. Two microsatellite markers that flank the major soybean cys nematode resistance locus. Crop Sci. 37: 1.611−1.615. Pabendon, M.B., M.J. Mejaya, O. Superman, M.M. Dahlan, dan Subandi. 2005. Karakterisasi molekuler plasma nutfah jagung varietas Semar-8, Semar-9, Semar-10, dan Bima-1. Seminar Mingguan Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. hlm.12. Ragot, M., A. Beeville, and M. Tarsac. 1995. Marker Assisted Back Crossing: A practical example in techniques et utilizations des marquees molecularies. Les Colloques,
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
Institute National de la Recherché Agronomique 72: 45−56. Ribaut, J.M., C. Jiang, and D.A. Hoisington. 2002. Simulation experiments on efficiencies of gene introgression by backcrossing. Crop Sci. 42: 557–565. Shivanna, K.R. and Sawhney. 1997. Pollen biology and pollen biotechnology: an introduction. In Shivanna and Sawhney (Eds.). Pollen Biotechnology for Crop Production and Improvement. Cambridge University Press. hlm. 253−265.
Jurnal Litbang Pertanian, 25(3), 2006
Stoskopf, N.C., D.T. Thomes, and B.R. Christie. 1993. Plant Breeding, Theory and Practice. Westview Press, Oxford. Stuber, C.W., M.D. Edwards, and J.F. Wendel. 1999. Synergy of empirical breeding, markerassisted selection, and genomics to increase yield potential. Crop Sci. 39: 1.571−1.583. Tanskley, S.D. and J.C. Nelson. 1996. Advanced backcross QTL analysis, a method for the simultaneous discovery and transfer of valuable QTLs from unadapted germplasm
into elite breeding lines. Theor. Appl. Genet. 92: 191−203. Vasal, S.K. 2001. High quality protein corn. p. 85−129. In A.R. Hallauer (Ed.). Specialty Corns. Second Ed. CRC Press LLC, Boca Raton, Florida. Young, N.D. and S.D. Tanskley. 1989. RFLP analysis of the size of the chromosomal segments retained around the tm-2 locus of tomato during backcross breeding. Theor. Appl. Genet. 77: 353−359.
89