Vol. 20 No. 2, Mei 2015
INDONESIAN FEMINIST JOURNAL
Instrumen Gender Internasional International Gender Instrument: Beijing+20
Diterbitkan oleh:
Yayasan Jurnal Perempuan
85
Gerakan 1000 Sahabat Jurnal Perempuan Pemerhati Jurnal Perempuan yang baik, Jurnal Perempuan (JP) pertama kali terbit dengan nomor 01 Agustus/September 1996 dengan harga jual Rp.9200,- Jurnal Perempuan hadir di publik Indonesia dan terus menerus memberikan yang terbaik dalam penyajian artikel-artikel dan penelitian yang menarik tentang permasalahan perempuan di Indonesia. Tahun 1996, Jurnal Perempuan hanya beroplah kurang dari seratus eksemplar yang didistribusikan sebagian besar secara gratis untuk dunia akademisi di Jakarta. Kini, oplah Jurnal Perempuan berkisar 3000 eksemplar dan didistribusikan ke seluruh Indonesia ke berbagai kalangan mulai dari perguruan tinggi, asosiasi profesi, guru-guru sekolah, anggota DPR, pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat dan kalangan umum seperti karyawan dan ibu rumah tangga. Kami selalu hadir memberikan pencerahan tentang nasib kaum perempuan dan kelompok minoritas lainnya melalui kajian gender dan feminisme. Selama perjalanan hingga tahun ini, kami menyadari betapa sangat berat yang dihadapi kaum perempuan dan betapa kami membutuhkan bantuan semua kalangan termasuk laki-laki untuk peduli pada perjuangan perempuan karena perjuangan ini. Jurnal Perempuan menghimbau semua orang yang peduli pada Jurnal Perempuan untuk membantu kelangsungan penerbitan, penelitian dan advokasi Jurnal Perempuan. Tekad kami adalah untuk hadir seterusnya dalam menyajikan penelitian dan bacaan-bacaan yang bermanfaat untuk masyarakat Indonesia dan bahkan suatu saat dapat merambah pembaca internasional. Kami berharap anda mau membantu mewujudkan cita-cita kami. Bila anda percaya pada investasi bacaan bermutu tentang kesetaraan dan keadilan dan peduli pada keberadaan Jurnal Perempuan, maka, kami memohon kepada publik untuk mendukung kami secara finansial, sebab pada akhirnya Jurnal Perempuan memang milik publik. Kami bertekad menggalang 1000 penyumbang Jurnal Perempuan atau 1000 sahabat Jurnal Perempuan. Gabunglah bersama kami menjadi penyumbang sesuai kemampuan anda:
SJP Silver : Rp 300.000,-/tahun
SJP Gold : Rp 500.000,-/tahun
SJP Platinum : Rp 1.000.000,-/tahun
SJP Company : Rp. 10.000.000,-/tahun Formulir dapat diunduh di http://www.jurnalperempuan.org/sahabat-jp.html Anda akan mendapatkan terbitan-terbitan Jurnal Perempuan dan Jurnal Perempuan Muda secara teratur, menerima informasi-informasi kegiatan Jurnal Perempuan dan berita tentang perempuan serta kesempatan menghadiri setiap event Jurnal Perempuan. Dana dapat ditransfer langsung ke bank berikut data pengirim, dengan informasi sebagai beriktut: - BCA KCP Menteng a.n Gadis A. Effendi, No. Rekening: 7350454416 - Bank Mandiri cabang Tebet Raya a.n Yayasan Jurnal Perempuan, No. Rekening 124-00-0497988-7 (Mohon bukti transfer difaks ke 021 83706747, attn: Andri Wibowo/Gerry) Semua hasil penerimaan dana akan dicantumkan di website kami di: www.jurnalperempuan.org Informasi mengenai donasi dapat menghubungi Mariana Amiruddin (Hp 08174914315, email: mariana@ jurnalperempuan.com) dan Deedee Achriani (Hp 0818730289, email:
[email protected]). Sebagai rasa tanggung jawab kami kepada publik, sumbangan anda akan kami umumkan pada setiap tanggal 1 setiap bulannya di website kami www.jurnalperempuan.org dan dicantumkan dalam Laporan Tahunan Yayasan Jurnal Perempuan. Salam pencerahan dan kesetaraan, Gadis Arivia (Pendiri Jurnal Perempuan)
Vol. 20 No. 2, Mei 2015
ISSN 1410-153X Pendiri Dr. Gadis Arivia Prof. Dr. Toeti Heraty Noerhadi-Roosseno Ratna Syafrida Dhanny Asikin Arif (Alm.) Dewan Pembina Melli Darsa, S.H., LL.M. Mari Elka Pangestu, Ph.D. Svida Alisjahbana Pemimpin Redaksi Dr.Phil. Dewi Candraningrum Dewan Redaksi Dr. Gadis Arivia (Filsafat Feminisme, FIB Universitas Indonesia) Prof. Dr. Sulistyowati Irianto (Antropologi Hukum Feminisme, Universitas Indonesia) Dr. Nur Iman Subono (Politik & Gender, FISIPOL Universitas Indonesia) Prof. Sylvia Tiwon (Antropologi Gender, University California at Berkeley) Prof. Saskia Wieringa (Sejarah Perempuan & Queer, Universitaet van Amsterdam) Mariana Amiruddin, M.Hum (Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan) Yacinta Kurniasih, M.A. (Sastra dan Perempuan, Faculty of Arts, Monash University) Soe Tjen Marching, Ph.D (Sejarah dan Politik Perempuan, SOAS University of London) Manneke Budiman, Ph.D. (Sastra dan Gender, FIB Universitas Indonesia) Mitra Bestari Prof. Mayling Oey-Gardiner (Demografi & Gender, Universitas Indonesia) David Hulse, PhD (Politik & Gender, Ford Foundation) Dr. Pinky Saptandari (Politik & Gender, Universitas Airlangga) Dr. Kristi Poerwandari (Psikologi & Gender, Universitas Indonesia) Dr. Ida Ruwaida Noor (Sosiologi Gender, Universitas Indonesia) Dr. Arianti Ina Restiani Hunga (Ekonomi & Gender, Universitas Kristen Satya Wacana) Katharine McGregor, PhD. (Sejarah Perempuan, University of Melbourne) Prof. Jeffrey Winters (Politik & Gender, Northwestern University) Ro’fah, PhD. (Agama & Gender, UIN Sunan Kalijaga) Tracy Wright Webster, PhD. (Gender & Cultural Studies, University of Western Australia)
Prof. Rachmi Diyah Larasati (Budaya & Perempuan, University of Minnesota) Dr. Phil. Ratna Noviani (Media & Gender, Universitas Gajah Mada) Prof. Merlyna Lim (Media, Teknologi & Gender, Carleton University) Prof. Claudia Derichs (Politik & Gender, Universitaet Marburg) Sari Andajani, PhD. (Antropologi Medis, Kesehatan Masyarakat & Gender, Auckland University of Technology) Dr. Wening Udasmoro (Budaya, Bahasa & Gender, Universitas Gajah Mada) Prof. Ayami Nakatani (Antropologi & Gender, Okayama University) Assoc. Prof. Muhamad Ali (Agama & Gender, University California, Riverside) Assoc. Prof. Paul Bijl (Sejarah, Budaya & Gender, Universiteit van Amsterdam) Assoc. Prof. Patrick Ziegenhain (Politik & Gender, Goethe University Frankfurt) Assoc. Prof. Alexander Horstmann (Studi Asia & Gender, University of Copenhagen) Redaksi Pelaksana Elisabeth Anita Dhewy Haryono Sekretaris Redaksi Andi Misbahul Pratiwi Sekretariat dan Sahabat Jurnal Perempuan Himah Sholihah Andri Wibowo Hasan Ramadhan Abby Gina Boangmanalu Desain & Tata Letak Agus Wiyono ALAMAT REDAKSI : Jl. Lontar No. 12 - Menteng Atas, Setiabudi - Jakarta Selatan 12960 Telp. (021) 8370 2005 (hunting) Fax: (021) 8370 6747 Email:
[email protected] [email protected] Website: www.jurnalperempuan.org Cetakan Pertama, Mei 2015
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015
85
Instrumen Gender Internasional International Gender Instrument: Beijing+20
Catatan Jurnal Perempuan: Apa Kabar Hak Asasi Manusia Perempuan?................................................................
iii-iv
Artikel / Articles •
Membumikan Instrumen HAM Internasional: Kajian Kebijakan Hukum yang Melanggar Hak Perempuan / Disseminating International Human Rights Instruments: a Study of Legal Policies that Violates Women’s Human Rights................................................................................................................................
81-89
R. Valentina Sagala •
Apakah ACWC (Komisi ASEAN untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak)? Kajian Instrumen Kebijakan Internasional / What is ACWC (ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children)? A Study on the International Policy Instruments............
91-98
Yuyun Wahyuningrum •
Status Anak Perempuan dalam Kovenan Internasional: Kajian Advokasi Perkawinan Anak / Status of Girls under International Covenants: a Study of Advocacy of Child-Marriage...................................................
99-105
Maria Ulfah Anshor •
Perempuan Membongkar Diplomasi Senyap Beijing+20 & CSW59 New York: Kajian Diplomasi Internasional Ramah Perempuan / Women Disassembling Silent Diplomacy of Beijing+20 & New York CSW59: a Study of Woman-Friendly International Diplomacy............................................................................. 107-114 Dwi Ruby Kholifah
•
Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial: Kajian Kovenan Internasional atas Perdagangan Perempuan / Criminalization of Sexual Workers: a Study of International Covenants on Women’s Trafficking.................. 105-121 Lorensia Brahmana
•
Perdagangan Perempuan dalam Migrasi Internasional: Kajian Diplomasi Indonesia dan Malaysia / Trafficking of Women in International Migration: a Study of Indonesia and Malaysia Diplomacy................ 123-131 Masthuriyah Sa’dan
•
Memperkuat Instrumen Gender dan Agensi Perempuan: Studi Kasus Resiko Bencana di Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan / Strengthening Gender Instrument and Women’s Agency: a Study of Disaster Risks in Indonesia, Philippine, and South Korea...................................................................................................... 133-138 Dian Lestariningsih
•
Perempuan Buruh Dalam Pasar Internasional: Cinta Ibu, Agensi dan Keragaman Politik Aktivisme / Women’s Labors in International Market: Mother’s Love, Agency and Plurality of Activism Politics.............. 139-147 Dewi Candraningrum
Wawancara / Interview •
Patrick Ziegenhain: “Perlu Peningkatan Ekonomi, Perubahan Administratif dan Pola Pikir Sosial Untuk Memperbaiki Status Perempuan di Asia Tenggara” / Patrick Ziegenhain: “The need to increase economy, administrative reformation, and changes of mindset to improve the status of South East Asian women”.......................................................................................................................................................................... 149-152 Anita Dhewy
Kata dan Makna / Words and Meanings...................................................................................................................
153-154
Profil / Profile •
Retno Marsudi: “Diplomasi All-Out Untuk Lindungi Buruh Migran Perempuan” / Retno Marsudi: “Allout diplomacy to protect Indonesian female migrant workers”........................................................................... 155-159 Anita Dhewy
Resensi Buku/ Book Review •
Pentingnya Memahami Instrumen Gender / Importance of Understanding International Gender Instruments................................................................................................................................................................... 161-164 Lola Loveita
ii
Catatan Jurnal Perempuan
Apa Kabar Hak Asasi Manusia Perempuan?
D
alam Jurnal Perempuan Edisi 45 Sejauh Mana Komitmen Negara? JP mengkaji peletakan dasar dan instrumen CEDAW (Convention on the Elimination of Discrimination Against Women) menjadi penanda awal bagi peta awal perlawanan atas diskriminasi gender. Indonesia merupakan salah satu anggota dari 188 negara lainnya. Instrumen legal ini merupakan peta dan jalan untuk melawan fragmentasi hukum internasional yang masih mendiskriminasi separuh penduduk dunia, yaitu perempuan. Kekerasan terhadap perempuan mengambil bentuk dasarnya dalam diskriminasi, yang kemudian beroperasi menjadi kekerasan. Sampai dengan tahun 2015 ini visibilitasnya masih mengalami gangguan seperti dalam peringatan Deklarasi dan Platform Aksi Beijing+20 (UNWomen Report: http://www.unwomen.org/en/news/ stories/2014/12/). Ban Ki-moon me-miliki komitmen kuat dalam menyampaikan pesannya bahwa perihal ini telah, sedang dan akan menjadi perhatian penuh dalam Post 2015 dan kerangka pembangunan berkelanjutan (baca SDGs—Sustainable Development Goals). Setidaknya 17.000 partisipan dan 30.000 aktivis memenuhi pembukaan Konferensi Dunia Perempuan ke-4 di Beijing pada September 1995. Tujuan mereka adalah satu, yaitu kesetaraan gender dan pemberdayaan atas perempuan secara global. 20 tahun setelah itu, di tahun 2014 ini mereka berkumpul kembali dalam Aksi Platform Beijing+20. Prioritas pertama yang menjadi perhatian dunia adalah 1) Perempuan dan Lingkungan, disamping 12 isu kritis yang menjadi perhatian, yaitu 2) Perempuan dalam Kekuasaan dan Pengambilan Keputusan; 3) Anak Perempuan; 4) Perempuan dan Ekonomi; 5)
Perempuan dan Kemiskinan; 6) Kekerasan terhadap Perempuan; 7) Hak Asasi Manusia dari Perempuan; 8) Pendidikan dan Training Perempuan; 9) Mekanisme Institusional untuk Kemajuan Perempuan; 10) Perempuan dan Kesehatan; 11) Perempuan dan Media; 12) Perempuan dan Daerah Konflik (UN Women Reports, Beijing+20: http://beijing20. unwomen.org/en/about). Platform Aksi Beijing+20 membayangkan tentang perempuan dan anak-anak perempuan yang mendapatkan kebebasan dan pilihan dan menyadari hak-haknya serta terbebas dari kekerasan, baik ketika ke sekolah, berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan juga bayaran yang setara ketika bekerja. Aksi ini merupakan usaha untuk menampakkan yang tak terlihat (the insivible) bahwa perempuan mendapatkan beban paling berat dari ketidakadilan sosial ekonomi dan politik. Yang memperparah kondisi ini adalah akses terhadap “hak” dan pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksual amat minim. Di samping kemunduran tersebut, kehidupan dan pemajuan hak-hak perempuan di Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir juga menunjukkan pelbagai kemajuan dan capaian sebagai berikut sebagai turunan dari Kovenan Internasional: 1) Undang-Undang No.23 Tahun 2000 tentang Perlindungan Anak. 2) Instruksi Presiden No.9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender. 3) Undang-Undang No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. 4) Undang-Undang No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. 5) Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum. 6) Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. 7) Undang-Undang No. 13 Tahun 2006 tentang iii
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015
Perlindungan Saksi dan Korban. 8) Undang-Undang No. 21 Tahun 2007 tentang Perdagangan Manusia. 9) Undang-Undang No. 7 Tahun 2012 tentang Penanganan Konflik Sosial. 10) Undang-Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa. 11) Peraturan Empat Kementerian, yakni Kementerian Keuangan, Kementerian Dalam Negeri, Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional, Kementerian Perlindungan
iv
dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak No. 105 Tahun 2008 tentang Anggaran berperspektif Gender. 12) Peraturan Presiden No. 18 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Perempuan dan Anak di area konflik. Pada edisi ini, Jurnal Perempuan 85 hendak mengulas aspek-aspek tersebut dalam pelbagai matra kajian. (Pemimpin Redaksi: Dewi Candraningrum)
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015 Lembar Abstrak/Abstracts Sheet R. Valentina Sagala. Institut Perempuan. Jl. Dago Pojok No.85, Coblong, Kota Bandung, Jawa Barat 40135. Phone:0815-9074-798 Membumikan Instrumen HAM Internasional: Kajian Kebijakan Hukum yang Melanggar Hak Perempuan Disseminating International Human Rights Instruments: a Study of Legal Policies that Violates Women’s Human Rights Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, hal. 81-89, 1 tabel, 9 daftar pustaka. This paper paper examines human rights including women’s human rights (women’s rights), the adoption of the Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), and other international human rights instruments. Referring to CEDAW’s principles together with human rights principles, States are urged to create law that promotes women’s perspective. Unfortunately until now, there are many policies and laws, at any levels—national and province/district/city—discriminate against women. Regarding this, this paper will focus to list on Bills which become the advocacy priority for women’s movement in Indonesia. Keywords: women’s rights, CEDAW, feminist legal theory and practices. Tulisan ini mengkaji perkembangan hak asasi manusia (HAM) meliputi hak asasi perempuan (HAP), kelahiran Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW), dan instrumen hukum internasional lainnya. Dengan mengacu pada prinsip-prinsip CEDAW yang melengkapi prinsip-prinsip HAM, negara didorong untuk mewujudkan hukum yang berperspektif perempuan. Namun sayangnya hingga saat ini, di Indonesia, berbagai produk hukum dan kebijakan masih diskriminatif terhadap perempuan. Diskriminasi ini terjadi tidak hanya di tingkat nasional, namun juga pada peraturan perundang-undangan di tingkat daerah. Kajian ini mengkhususkan diri pada Undang-Undang (Rancangan Undang-Undang) yang tengah menjadi agenda perjuangan gerakan perempuan di Indonesia saat ini. Kata Kunci: hak asasi perempuan, CEDAW, hukum berperspektif perempuan.
Yuyun Wahyuningrum. Penasihat Senior mengenai ASEAN & HAM. Human Rights Working Group (HRWG) Indonesia Apakah ACWC (Komisi ASEAN untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak)? Kajian Instrumen Kebijakan Internasional What is ACWC (ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children)? A Study on the International Policy Instruments Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, hal. 91-98, 13 daftar pustaka. ASEAN has established a commission specialised in advancing and protection rights of women and children in Hanoi Vietnam on 7 April 2010. This commission is called ACWC (ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children). This paper investigates and narrates its history, challenges and hindrance being faced to advance human rights. It argues that despite all the obstacles, ACWC has crucial potential to increase women and children participation as well as state and community to advance human rights in ASEAN.
Keywords: ASEAN, ACWC, Women, Child. ASEAN mendirikan sebuah mekanisme hak asasi manusia yang memiliki spesialisasi pada pemajuan dan perlindungan hak perempuan dan anak pada tanggal 7 April 2010 di Hanoi, Viet Nam. Komisi ini dinamakan ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children atau ACWC. Artikel ini membahas perkembangan ACWC sejak ia didirikan, tantangannya ke depan dan kans apa saja yang dimilikinya untuk meningkatkan upaya perlindungan hak perempuan dan anak di kawasan. Artikel ini berargumentasi bahwa meskipun ACWC didirikan dengan segala keterbatasan dan dinamikanya, badan ini bisa memiliki potensi untuk meningkatkan perlindungan terhadap hak perempuan di ASEAN. Kata kunci: ASEAN, ACWC, perempuan, anak.
Maria Ulfah Anshor. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI). Jl. Teuku Umar No.10, Menteng, Kota Jakarta Pusat, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 10350. Phone:(021) 31901556 Status Anak Perempuan dalam Kovenan Internasional: Kajian Advokasi Perkawinan Anak Status of Girls under International Covenants: a Study of Advocacy of Child-Marriage Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, hal. 99-105, 9 daftar pustaka. In Beijing Platform Action (BPFA) in 1995, one of the twelve critical issues is the girl-child. Referring to the reality in many countries that girls from an early age are treated discriminately and harmfully into practices such as female genital mutilation, sex selection before the baby is born, even the killing of female infants, violence against girls, child marriage, sexual exploitation, sexual abuse, discrimination against girls in provision, protection, & participation and other discriminatory practices, such as regarding the health and welfare facilities for girls. This paper will examine Indonesia’s efforts to reduce the marriage of girls. Keywords: international covenants, girls, child-marriage. Dalam Beijing Platform Action (BPFA) tahun 1995, salah satu dari dua belas isu kritis adalah anak perempuan (the girl child). Merujuk pada realitas di banyak Negara bahwa anak perempuan sejak usia dini mendapat perlakuan diskriminatif dan praktek-praktek yang merugikan anak perempuan seperti pengrusakan alat kelamin anakanak perempuan termasuk sunat perempuan, pemilihan jenis kelamin sebelum bayi lahir, bahkan pembunuhan terhadap bayi-bayi perempuan, kekerasan terhadap perempuan, pernikahan anak, eksploitasi seksual, penyalahgunaan seksual, diskriminasi terhadap anak perempuan dalam pemberian makanan dan praktik diskriminasi lainnya, seperti menyangkut fasilitas kesehatan dan kesejahteraan bagi anak-anak perempuan. Tulisan ini akan mengkaji usaha Indonesia dalam mereduksi perkawinan anakanak perempuan. Kata kunci: kovenan internasional, anak perempuan, perkawinan anak.
v
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015
Dwi Ruby Kholifah. Delegasi CSO untuk CSW 59 New York. AMAN Indonesia. Jl. Jatipadang II No. 18 A Pasar Minggu Jakarta Selatan. Telp/ Fax : +62 21 7892870 Perempuan Membongkar Diplomasi Senyap Beijing+20 & CSW59 New York: Kajian Diplomasi Internasional Ramah Perempuan Women Disassembling Silent Diplomacy of Beijing+20 & New York CSW59: a Study of Woman-Friendly International Diplomacy Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, hal. 107-114, 6 daftar pustaka. This paper examines a comprehensive picture of women’s advocacy in Beijing+20 and Commission on the Status of Women 59 New York that spoke against silence-diplomacy led by Indonesian government. Indonesia was seen as most democratic Muslim country in the World by the UN. Yet Indonesia was not promoting works in human rights maximally, especially the advancement of women’s rights and children’s rights. Women’s Movement to advocate the previous two international meetings had successfully opened-up a more women-friendly advocacy to advance status of women and children under international gender instruments. Keywords: Beijing+20, CSW 59 New York, Women-friendly Diplomacy. Kajian ini bertujuan memberikan gambaran komprehensif tentang advokasi gerakan perempuan dalam membongkar diplomasi senyap Indonesia pada Review Beijing +20 di tingkat Asia Pasifik maupun global yaitu di Sidang PBB Commission on the Status of Women (CSW) Sesi 59 di New York. Indonesia dipandang sebagai negara Muslim paling demokratis di dunia, dengan kepemimpinan baru yang mengusung rakyat sebagai sentral dari perubahan sangat ditunggu kepemimpinannya oleh dunia, terutama berbicara tentang pemajuan HAM perempuan dan anak. Sayangnya, Indonesia lebih banyak memilih diam bahkan ketika ditafsirkan sebagai negara yang menolak gagasan progresif terkait dengan pemajuan HAM perempuan dan anak perempuan. Gerakan Perempuan Peduli Indonesia untuk Beijing +20 berhasil membongkar diplomasi “senyap” Indonesia, dengan dialog intensif sebagia bagian dari delegasi CSW 59. Kata kunci: Beijing+20, CSW 59 New York, Diplomasi Ramah Perempuan.
Lorensia Brahmana. Universitas Padjajaran & Caritas Indonesia. Jl. Raya Bandung Sumedang Km. 21, Jatinangor, Jawa Barat 45363. Phone:(022) 84288828 Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial: Kajian Kovenan Internasional atas Perdagangan Perempuan Criminalization of Sexual Workers: a Study of International Covenants on Women’s Trafficking Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, hal. 115-121, 9 daftar pustaka. This article looks into the actions taken by the Government of Indonesia to follow up the integration of the points of the Beijing Platform +20 into national instruments such as legislation products, law, and public policy based on gender equality in accordance with suppressing women trafficking particularly the exploitation of prostitution pinpointed by the Beijing Platform +20. It will also discuss gender injustice as the root of women’s trafficking. Women exploitation in prostitution still can not be addressed optimally by the government because of gender inequality in legal structure and system. Besides, the implementation is still based on gender-biased value and construction of sexuality in patriarchal society.
vi
Keywords: Commercial Sex, Women, Trafficking. Tulisan ini membahasa tentang sejauh mana tindak lanjut pemerintah Indonesia untuk mengintegrasikan poin-poin Platform Aksi Beijing +20 ke dalam Instrumen nasional yakni produk-produk legislasi, hukum, dan kebijakan pemerintah yang berkeadilan gender dalam memberantas perdagangan perempuan khususnya terkait eksploitasi prostitusi sebagai salah satu aspek yang menjadi seruan dalam Platform Aksi Beijing +20. Tulisan ini akan membahas bagaimana ketidakadilan gender sebagai akar terjadinya perdagangan perempuan. Keberlangsungan eksploitasi perempuan dalam dunia prostitusi belum bisa ditangani secara maksimal oleh pemerintah disebabkan karena masih ada ketidakadilan struktur dan sistem dalam hukum yang disebabkan oleh gender. Selain itu, praktek implementasi hukum dan undang-undang masih menyerap nilai-nilai konstruksi seksualitas yang cenderung bias gender dalam masyarakat patriarki. Kata kunci: komersialisasi seks, perempuan, perdagangan manusia.
Masthuriyah Sa’dan. . Pengajar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Jl. Marsda Adisucipto, Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55281. Phone:(0274) 589621 Perdagangan Perempuan dalam Migrasi Internasional: Kajian Diplomasi Indonesia dan Malaysia Trafficking of Women in International Migration: a Study of Indonesia and Malaysia Diplomacy Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, hal. 123-131, 1 gambar, 1 tabel, 16 daftar pustaka. The lack access in knowledge, education, training and economic factor has made women and girls become prone-victims of trafficking. Malaysian Govt has reported that 4.268 sex commercial workers are coming from Indonesia. They are mostly trafficked via the borders of Malaysia and Indonesia. To cut the chain of violence, it is necessary to cut the whole syndicate of traffickers instead of one trafficker. International diplomacy between Indonesia and Malaysia is hoped to foster the reduction of human trafficking, specifically women and girls as way to advocate international gender instruments. Keywords: trafficking, International diplomacy, Indonesia-Malaysia. Minimnya akses pengetahuan dan pendidikan dan faktor ekonomi yang menghimpit membuat perempuan dewasa dan anak-anak perempuan menjadi korban trafficking. Sebagaimana yang dilaporkan oleh pemerintah Malaysia, bahwa 4.268 pekerja seks komersial di Malaysia berasal dari Indonesia. Dengan demikian memutus mata rantai kejahatan kemanusiaan tidak bisa hanya dengan prioritas satu oknum saja, melainkan memutus mata rantainya dari sumber perekrutan sindikat perdagangan manusia yaitu perekrut tenaga kerja. Diplomasi internasional yang telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia dengan Malaysia dengan cara program pemulangan tenaga kerja Indonesia dan penyaluran tenaga kerja melalui satu jalur yakni jalur pintu legal merupakan upaya advokasi pemerintah atas pemenuhan hak-hak perempuan dalam instrumen gender internasional. Kata Kunci: perdagangan manusia, diplomasi Internasional, IndonesiaMalaysia.
Dian Lestariningsih. PolGov, FISIPOL, Universitas Gadjah Mada. SosioYustisia Bulaksumur, Jogjakarta 55281. Telepon: (0274) 563362 Memperkuat Instrumen Gender dan Agensi Perempuan: Studi Kasus Resiko Bencana di Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan Strengthening Gender Instrument and Women’s Agency: a Study of Disaster Risks in Indonesia, Philippine, and South Korea Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, hal. 133-138, 3 gambar, 18 daftar pustaka. UNDP 2004 has reported that 75% of the world inhabit a high-risk disaster-prone area. Oxfam 2005 has narrated that during the tsunami attacking Indonesia and other countries, 77% casualties were women and girls. This facts shall strengthen the understanding of international gender instrument that support those who are vulnerable during disaster. Indonesia has impotant task to work and cooperate among multistakeholders such as government, communities, CSOs, NGOs, mass medias, etc to reduce disaster-risks. Indonesia should also pay more attention to promote women’s agency in reducing disaster-risks. Keywords: gender instrument, disaster, women, agency. Laporan UNDP (2004) memperkirakan sekurangnya 75% penduduk bumi hidup di daerah yang berisiko bencana. Oxfam (2005) melaporkan bahwa pada Tsunami Samudera Hindia terdapat 77 % korban meninggal adalah perempuan. Melihat makin tingginya kepedulian publik pada pengurangan risiko bencana dan tumbuhnya solidaritas di Indonesia, maka pekerjaan rumah yang utama adalah bagaimana memastikan bahwa pemahaman instrumen gender di Indonesia khususnya dalam pengurangan risiko bencana semakin baik di tiap level bagi multipihak; pemerintah, masyarakat sipil, komunitas bisnis, akademisi dan media. Di sisi lain, perlu adanya upaya untuk mendukung promosi keagenan perempuan dalam pengurangan risiko bencana yang lebih masif lagi. Kata Kunci: instrumen gender, bencana, perempuan, agensi.
Dewi Candraningrum. Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan & Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jl. Lontar No. 12, Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12960. Telp: 02183702005, Faks: 021-83706747 Perempuan Buruh Dalam Pasar Internasional: Cinta Ibu, Agensi dan Keragaman Politik Aktivisme Women’s Labors in International Market: Mother’s Love, Agency and Plurality of Activism Politics Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, hal. 139-147, 33 daftar pustaka. Activism of international women’s labors does not deal with one version of global action yet manifesting in pluralism of actions with divergent and different forms. Many faces of Asia-Pacifics women’s movements, for example, are having multiple expressions in engaging with emancipatory politics at all levels. Effort to generalize their fights, resistance, and resilience will at the end reduce the capacity of their political movement in terms of framework, tradition, generation, ethnicity and nationalism. Women are collectively challenging the injustice, violence, and inequality by demonstrating differences which are linguistically, geographically and culturally defined. Thus, flexibility of action and resilience is the best cure to patriarchy. Keywords: women labors, international market, activism. Aktivisme perempuan buruh internasional tidak sedang berurusan dengan satu versi aksi global, tetapi keberagaman aksi, dengan pola yang divergen dan saling terbedakan. Beragam kelompok perempuan di Asia Pasifik misalnya, dan yang lainnya, memiliki ekspresi yang beragam dalam keterlibatan mereka dalam politik emansipatoris di semua level. Usaha untuk menggeneralisasikan perjuangan dan resistensi perempuanperempuan ini, demikian juga, ketahanan mereka, akan mereduksi politik gerakan dalam kerangka, tradisi, generasi, etnisitas dan nasionalisme. Secara kolektif perempuan melawan kesewenangan, penindasan, ketidakadilan dengan mendemonstrasikan perbedaan yang kaya baik secara geografis dan secara ekspresi linguistik. Fleksibilitas aksi dan ketahanan aksi kemudian amat ditakuti oleh dunia patriarki. Kata Kunci: perempuan buruh, pasar internasional, aktivisme.
vii
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015
viii
Artikel / Article
Vol. 20 No. 2, Mei 2015, 139-147
UDC: 305
Perempuan Buruh Dalam Pasar Internasional: Cinta Ibu, Agensi dan Keragaman Politik Aktivisme Women’s Labors in International Market: Mother’s Love, Agency and Plurality of Activism Politics Dewi Candraningrum Pemimpin Redaksi Jurnal Perempuan & Universitas Muhammadiyah Surakarta. Jl. Lontar No. 12, Menteng Atas, Setiabudi, Jakarta Selatan, 12960. Telp: 021-83702005, Faks: 021-83706747
[email protected] Naskah Diterima 11 Januari 2015. Direvisi 20 Februari 2015. Disetujui: 21 April 2015
Abstract Activism of international women’s labors does not deal with one version of global action yet manifesting in pluralism of actions with divergent and different forms. Many faces of Asia-Pacifics women’s movements, for example, are having multiple expressions in engaging with emancipatory politics at all levels. Effort to generalize their fights, resistance, and resilience will at the end reduce the capacity of their political movement in terms of framework, tradition, generation, ethnicity and nationalism. Women are collectively challenging the injustice, violence, and inequality by demonstrating differences which are linguistically, geographically and culturally defined. Thus, flexibility of action and resilience is the best cure to patriarchy. Keywords: women labors, international market, activism.
Abstrak Aktivisme perempuan buruh internasional tidak sedang berurusan dengan satu versi aksi global, tetapi keberagaman aksi, dengan pola yang divergen dan saling terbedakan. Beragam kelompok perempuan di Asia Pasifik misalnya, dan yang lainnya, memiliki ekspresi yang beragam dalam keterlibatan mereka dalam politik emansipatoris di semua level. Usaha untuk menggeneralisasikan perjuangan dan resistensi perempuan-perempuan ini, demikian juga, ketahanan mereka, akan mereduksi politik gerakan dalam kerangka, tradisi, generasi, etnisitas dan nasionalisme. Secara kolektif perempuan melawan kesewenangan, penindasan, ketidakadilan dengan mendemonstrasikan perbedaan yang kaya baik secara geografis dan secara ekspresi linguistik. Fleksibilitas aksi dan ketahanan aksi kemudian amat ditakuti oleh dunia patriarki. Kata Kunci: perempuan buruh, pasar internasional, aktivisme.
Pendahuluan Perempuan pekerja atau perempuan buruh dalam pasar dunia semakin bertambah, dan terminologi yang tepat untuk menjelaskannya tetap belum ada yang memadai untuk secara spesifik mewadahi beberapa dimensi. Perempuan pekerja secara lebih detil dalam penjelasannya secara pasar internasional dibedakan dari mereka yang ada di Utara (baca: Negara-negara kaya) dan di Selatan (baca: Negaranegara miskin). Secara khusus, perihal itu memberikan identitas budaya dan identitas ekonomi yang kemudian menimbulkan kerugian-kerugian pada perempuan. Melalui kajian ini, akan dipaparkan bagaimana kerugian itu disebabkan oleh
ketidaksetaraan yang secara genetik telah ada sebelumnya dalam struktur masyarakat tradisional, yang kemudian dilanggengkan dalam masyarakat modern. Perempuan dan laki-laki dalam pasar buruh dibayar dengan cara yang amat berbeda. Pekerja perempuan di Utara dan Selatan dipisahkan secara horizontal, dan berada dalam lokus pekerjaan yang amat terbatas dibanding rekan prianya. Secara vertikal, perempuan buruh berada di tangga paling bawah, baik dalam sistem karir dan penggajian. Segregasi tersebut disebabkan oleh rendahnya penghasilan perempuan dan inferiornya kondisi 139
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, 139-147
pekerjaan perempuan yang ditandai oleh divisi pekerjaan dalam rumah, yaitu ranah domestik, dimana perempuan banyak melakukan pekerjaan seperti pengasuhan anak, memasak, pemeliharaan rumah, dan lain-lain, yang dianggap tak penting dalam divisi pekerjaan. Kekuatan apa yang mendorong perihal itu? Kekuatan apa yang membuatnya demikian langgeng? Dan dalam kondisi bagaimana perempuan terjebak menjadi pelayan setia peradaban? Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, banyak kajian sebelumnya berfokus pada tiga variabel, yaitu kondisi material, keputusan institusional, dan faktor yang sulit diobservasi seperti pilihan, sikap, dan ideologi perempuan dalam pekerjaan. Penjelasan ekonomi ortodoks, misalnya, telah banyak memaparkan kekuatan dan efek operasional dari pasar, dan banyak kajian difokuskan pada perubahan-perubahan yang dapat dikuantifikasi, seperti gaji, penghasilan, kondisi keluarga, termasuk umur dan jumlah anak. Para pencetus teori pasar buruh, di sisi lain, lebih menekankan pada pentingnya perbedaan struktural dalam pasar buruh secara umum dan meneliti pentingnya keputusan institusional atas perbedaan-perbedaan tersebut. Contohnya, dukungan penuh pada laki-laki dalam pasar-pasar buruh dominan yang dikuasainya—yang hampir-hampir tidak ada atau jarang ada perempuan di dalamnya, misalnya industri otomotif, atau industri ekstraktif seperti tambang, dan lain-lain. Kajian lain dalam etnografi dan sosiologi lebih berfokus pada peran sosialisasi dan budaya yang membentuk proses kesadaran dari perempuan buruh. Kajian ini akan meletakkan fokus pada bagaimana posisi perempuan pekerja terlalu dianggap sederhana. Karena ketaksetaraan perempuan dan laki-laki disebabkan oleh hubungan yang amat kompleks antara pasar dan kondisi internal dalam keluarga dan Negara. Atas ketaksetaraan sistem tersebut, kemudian perempuan harus berusaha lebih berat ketimbang kolega lelakinya untuk satu jenis karir yang sama. Telah disepakati bersama bahwa produksi sosial adalah kunci dari keputusan kesadaran kolektif. Tulisan ini akan mengkaji ideologi gender, kontrol dan kesadaran dalam praktek pekerjaan alternatif yang diambil perempuan. Meskipun demikian isu kontrol dan ideologi gender merupakan fokus utama dari tulisan ini.
Kecurigaan Pasar Internasional atas Perempuan Pekerja 140
Salah satu topik utama dalam kajian ini adalah hubungan antara gender, definisi dari pekerja terampil dan tidak terampil yang dikaitkan dengan jumlah upah. Perempuan dalam hal ini berada dalam penjara pekerjaan yang berupah rendah, baik secara karir dan proporsi pekerjaan. Perempuan tidak hanya menyukseskan porsi-porsi pekerjaan berupah rendah di Negara-negara industri maju tetapi juga di Negaranegara yang kurang berkembang industrinya. Perihal ini dilanggengkan oleh nilai bahwa perempuan “dilihat” tidak strategis dan tidak produktif dalam industri utama. Hal ini diterangkan dengan jelas dalam teori kapital manusia, dimana level upah dari sumberdaya manusia kemudian membentuk manusia, yaitu (pendidikan, training, dan ketrampilan). Perempuan disebut sebagai kurang memiliki ketrampilan ketimbang laki-laki, dan karenanya kemudian perempuan kekurangan dalam hal pendidikan dan training. Inilah yang menyebabkan perempuan berupah rendah. Meskipun teori ini tidak sepenuhnya benar, karena ketrampilan perempuan dalam pengasuhan dan pekerjaan domestik kemudian tidak dianggap strategis, maka perempuan tidak mendapatkan upah sebagaimana mestinya. Hal ini konon diperparah oleh bagaimana perempuan terlalu menghabiskan banyak waktu dalam pengasuhan anak, yang kemudian menyebabkan perempuan disebut sebagai tidak produktif dan tidak strategis, dengan demikian kurang memiliki kontrol atas ekonomi kapitalisme (Mincer dan Polachek, 1974). Perempuan juga menempati pekerjaan berupah rendah karena kecurigaan pasar, bahwa perempuan kurang setia pada pekerjaannya, kecuali pada keluarganya. Banyak bos berasumsi bahwa perempuan memiliki komitmen rendah pada perusahaan ketimbang laki-laki dan lebih memilih mentraining laki-laki daripada perempuan karena pasti akan kehilangan mereka ketika mereka memiliki anak. Perempuan dicurigai memilih “cinta” daripada profesi, konon. Problem fundamental dari ketaksetaraan yang menimpa perempuan adalah alasan sirkularitasnya, yaitu bahwa rendahnya level sumber kapital manusia perempuan tak hanya merupakan penyebab tetapi juga akibat (Amsden, 1980). Dus, perempuan sepenuhnya tak bisa disalahkan, demikian juga laki-laki—karena kuatnya sistem yang tak setara tersebut. Hal ini berangkat dari asumsi bahwa rendahnya ketrampilan dan produktivitas perempuan tak hanya merupakan sebab, tetapi juga merupakan akibat dari rendahnya gaji perempuan. Upah merupakan elemen kunci
Dewi Candraningrum
dalam kesempatan pembiayaan pengasuhan anak dan perempuan memilih berupah rendah supaya mereka dapat mengasuh anak-anaknya. Kehilangan besar-besaran yang dialami perempuan ketika hamil, dan dalam masa pengasuhan anak dalam pasar kerja, telah diapresiasi oleh sedikit Negara akhir-akhir ini, meskipun tidak masif—dimana banyak Negara lain abai dan tidak peduli (Joshi, 1984). Pilihan dalam konteks ketaksetaraan tersebut, antara laki-laki dan perempuan, memasuki dunia kerja dengan cara yang berbeda. Asumsi gender dan distribusi ketaksetaraan kekuasaan merupakan pemicu awal dari rendahnya upah perempuan pekerja. Analisis interaksi antara penghasilan dan produktivitas menunjukkan bahwa ideologi patriarki masih kuat mengakar dalam distribusi kekuasaan— dimana laki-laki mendapatkan hak-hak istimewa lebih banyak daripada perempuan. Hal ini diperparah oleh kurangnya resistensi dan perlawanan perempuan atas ketakadilan tersebut, yang disebabkan kelelahan perempuan dalam mengelola ruang domestik. Perempuan kemudian kehilangan tenaga untuk mengelola karir di luar rumah. Kajian perihal ini juga sangat kurang. Di Negara-negara maju, kajian tentang hal ini telah banyak, tetapi amat jarang di Negaranegara Selatan, yang masih berkembang dan miskin (Beneria, 1981). Perbedaan antara kelompok yang berbeda juga mengubah dan memengaruhi rencana dan harapan dari pendidikan, training, tingkat kesuburan, dan kombinasi antara pasar kerja dan aktivitas domestik. Inilah yang kemudian mengubah wajah dari pasar kerja. Perempuan pekerja disewa untuk memenuhi persepsi bahwa di masa akan datang mereka akan dapat ditraining dengan menggunakan indikator pendidikan sebagai alat screening pertama. Banyak perempuan pekerja kemudian tersingkir di luar pasar kerja yang lebih mapan, karena jumlah pekerjaan tidak sebanding dengan jumlah mereka. Yang lebih mengerikan adalah bahwa di kebanyakan pekerjaan dengan upah murah, tidak didirikan dan hampir tidak ada serikat pekerja untuk melindungi hak-hak mereka. Kontribusi teori feminis-Marxist dalam analisis hubungan antara buruh perempuan domestik dalam pasar ekonomi kapital banyak dituangkan saat debat buruh domestik, yangmana mereka tidak mampu menjelaskan mengapa perempuan masih bertanggung-jawab lebih besar atas pekerjaan domestik dan pengasuhan anak (Molyneux, 1979: 12). Dan lebih jauh dalam debat ini juga ditanyakan mengapa perempuan kemudian berubah menjadi
Perempuan Buruh Dalam Pasar Internasional: Cinta Ibu, Agensi dan Keragaman Politik Aktivisme
pasukan buruh murah bagi pabrik-pabrik ketimbang laki-laki (Beechey 1978; Bruegel 1979; Somerville 1982). Perihal dua sebelumnya tidak ditopang dengan penjelasan yang lebih adil bagaimana perempuan diekspor dalam area buruh murah di Negara-negara maju. Salah satu penanda dari dua hal tersebut adalah “bungkamnya” perempuan atas hak-haknya dan status-statusnya sebagai pekerja dibandingkan lakilaki—karena perempuan melihat bahwa “kesempatan” untuk bekerja telah merupakan keberuntungan tersendiri daripada menuntut hak yang lebih adil. Dalam akses atas kesejahteraan, perempuan dan gender ketiga serta minoritas liyan, seperti kelompok difabel, hampir-hampir terkunci dari pintu pekerjaan dengan gaji tinggi yang telah dikuasai laki-laki sebelumnya. Hal ini bisa terjadi terutama karena pilihan perempuan untuk mengambil porsi waktu yang lebih sedikit daripada laki-laki demi membela keluarga. Untuk ibu-tunggal (single mom), bahkan, “cinta ibu” merupakan medan lama yang lebih dipilih oleh perempuan daripada berkarir tinggi (Beechey & Perkins 1987). Validitas argumen ini sesungguhnya telah ditolak oleh banyak perempuan juga, bahwa bekerja di luar juga merupakan ekspresi cinta ibu yang tak kalah heroiknya daripada di rumah. Tetapi kecenderungan sepanjang zaman adalah bahwa perempuan memilih menanggung tanggung-jawab domestik daripada publik, bahkan tanpa dipaksa oleh sistem sekali pun. Perihal lain yang menghalangi perempuan memasuki pekerjaan dengan gaji tinggi adalah “ideologi seksual” bahwa perempuan lebih lemah dibandingkan laki-laki baik secara fisik dan seksual— dalam hal ini menantang kehormatan sebuah komunitas atau keluarga—dimana perempuan bekerja menjadi sumber malu bagi keluarga (Josephine, 1988). Meskipun kemudian ideologi itu kemudian berkembang dan berubah sesuai dengan kondisi material keluarganya. Salah satu implikasi dari debat panjang mengapa perempuan tidak bisa setara dalam dunia kerja dan pasar kerja internasional adalah dengan menganalisis kembali peran perempuan dalam proses reproduksi dan konsumsi— baik secara biologis maupun secara sosial—dimana perempuan amat rentan dieksploitasi sebagai konsumen per se (Harris & Young 1981; Mackintosh 1981). Salah satu hal penting untuk melihat persoalan ini adalah dengan memasukkan matra gender, kelas, ras dan seksualitas. Perempuan Jawa, misalnya, kebanyakan disewa sebagai Pekerja Rumah Tangga 141
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, 139-147
dalam keluarga-keluarga Tionghoa. Demikian juga perempuan Jawa yang lebih miskin menjadi PRT di rumah perempuan Jawa yang lebih kaya secara kelas ekonomi dan politik. Sumber budaya tersebut dapat berfungsi sebagai stereotype atau bahkan sumber resistensi dalam pasar kerja. Meskipun dalam banyak kasus, perempuan masih merupakan kelompok yang terus-menerus dimiskinkan oleh struktur sosial (Westwood, 1988). Persepsi dan definisi perempuan atas ketrampilan juga memiliki makna dan efek penting dalam modus penggajian pasar internasional. Sistem penggajian telah mematok bahwa perempuan dipandang tidak lebih terampil daripada laki-laki dalam pekerjaan karena “kepercayaan dan mitos” usang yang tidak terbukti. Perihal ini disebabkan oleh kecurigaan yang besar dari pasar kerja atas perempuan, bahwa perempuan tak loyal pada pekerjaannya kecuali pada keluarga dan anak-anaknya. Kecurigaan ini dipelihara sebagai bagian dari kepercayaan bahwa perempuan kemudian tidak lebih terampil daripada laki-laki karena halangan waktu dan halangan kesetiaan. Dengan itu pula, kemudian perempuan dianggap tak sempurna bagi pasar kerja yang sempurna, apalagi bila dikaitkan dengan informasi dan teknologi terkini (Craig et al 1982: 82). Ketelitian, kesabaran, dan perhatian perempuan dalam pekerjaannya, bahkan, pada situasi tertentu tidak dianggap sebagai sebuah kapasitas oleh perusahaan. Sementara keberanian, luangnya banyak waktu, dan kekuatan fisik laki-laki kemudian lebih dianggap sebagai penting oleh perusahaan. Kecurigaan yang buruk inilah yang menjadi akar dari timpangnya penggajian perempuan dan laki-laki (Elson & Pearson 1981; Heyzer 1986: 103). Misalnya, kemampuan perempuan untuk membuat bordir dalam industri fashion dianggap sebagai karakter dasar, dan tidak mendapatkan apresiasi sebagai “kapasitas” yang mumpuni, untuk kemudian mendapatkan gaji yang tinggi. Perihal ini disebabkan oleh rendahnya posisi tawar perempuan. Dan lagilagi perempuan enggan untuk menawar karena bekerja baginya sudah merupakan “keberuntungan” tersendiri (Taylor 1980). Padahal kemampuan bordir tersebut tidak dapat digantikan oleh mesin, karena sifatnya unik dan individual—kecuali pada pola-pola bordir tertentu yang sudah dimasalkan. Feminis seperti Cockburn (1983, 1985) telah melakukan beberapa kajian tentang peran prosedur institusional dan peran serikat buruh—dimana lakilaki telah terlalu banyak menentukan definisi
142
ketrampilan dan gaji yang lebih tinggi daripada perempuan—disebabkan kosongnya kepemimpinan perempuan dalam serikat pekerja. Inilah yang kemudian melanggengkan ketimpangan gaji dalam pasar kerja. Perempuan kemudian kalah dalam sistem budaya kerja, sistem budaya perserikatan, negosiasi dengan bos, dan akses atas training dan kenaikan jenjang karir. Hal ini pula yang kemudian mendorong laki-laki memilih untuk tak terlibat jauh dalam urusan domestik karena tidak menarik dan tidak strategis. Disebutnya laki-laki sebagai lebih memiliki ketrampilan karena pada saat mesin-mesin pabrik didatangkan, laki-lakilah yang pertama kali menguasainya. Monopoli laki-laki atas mesin-mesin modern ini yang kemudian membuat mereka disebut lebih berketrampilan daripada perempuan (Amstrong, 1982). Struktur pasar kerja internasional baik di Negara bagian Utara dan Selatan masih menyisakan cerita bahwa perempuan tetap tak setara dalam sistem perburuhan. Persepsi perempuan atas pekerjaanya ternyata juga memainkan peran penting dalam menentukan pekerjaan dan gajinya. Struktur pasar kerja telah melahirkan dan memelihara stereotype atas pekerja perempuan yang berbeda daripada lakilaki. Karakteristik feminin seperti submisif, penurut, sabar, dan perhatian merupakan karakteristik yang dilekatkan pada pekerja perempuan dan dianggap sebagai lemah dan tidak produktif. Penanda feminin yang dominan dimiliki perempuan juga dapat dianalisis lagi dengan menggunakan ras, dimana perempuan ras tertentu, misalnya, lebih kalah dalam pasar kerja—misal perempuan ras Papua biasanya akan kalah dalam pasar kerja dengan perempuan ras Melayu. Demikian juga, misalnya, perempuan Jawa lebih banyak menjadi PRT bagi perempuan Arab Saudi atau Malaysia, misalnya, dalam pasar tenaga kerja internasional. Ideologi seksualitas juga banyak merugikan perempuan, misalnya, perempuan penjual kosmetik, atau penjual barang lain yang lebih dikenal sebagai PSG (promotion sales girls) “diharuskan” lebih mampu menerima pelecehan seksual dari pelanggannya, atau konsumen, apabila produk ingin laku. Ideologi seksual dalam pasar produksi ekonomi ini telah meletakkan seksualitas perempuan dalam posisi inferior—yaitu yang dikonsumsi. Sementara seksualitas laki-laki sebagai superior—dalam iklaniklan maka seksualitas inilah yang melakukan konsumsi. Misalnya, iklan rokok, iklan mobil, dan lain-lain. Posisi seksualitas perempuan, bahkan,
Dewi Candraningrum
dalam pasar pekerja seks komersial, tidak memiliki daya tawar yang tinggi, karena sebagian besar pekerja adalah anak-anak yang tidak mengetahui hakhaknya. Bahkan, perempuan yang berasal dari Negara-negara miskin diperjualbelikan karena mereka diusir oleh keluarga dan komunitasnya. Dalam serikat pekerja, perempuan-perempuan ini hampir-hampir tidak memiliki waktu untuk ikut organisasi pekerja karena harus segera mengurusi keluarga dan anak-anaknya. Dari sinilah kemudian perempuan ketinggalan dalam meja-meja perundingan perihal gaji dan karir mereka dalam sistem ekonomi kapitalisme. Dilahirkannya praktek bekerja dari kalangan feminis yang menuntut kesetaraan distribusi kerja dan upah telah mengubah ideologi publik dan privat dalam pasar kerja, meskipun masih sangat kecil efeknya. Perempuan perlu memiliki kesadaran bahwa ia setara, dan perempuan harus mendapatkan akses dan kontrol atas meja perundingan dan meja keputusan dan kebijakan—yangmana ini akan mengubah wajah material dan budaya dari pasar kerja. Perspektif ini digunakan sebagai identitas politik feminis dalam pasar kerja internasional untuk dapat mengkoordinasikan perubahan secara bertahap dalam pasar kerja dan ekonomi global. Pasar kerja internasional perlu mendapatkan resistensi feminisme yang secara kontekstual lahir di Utara dan Selatan dimana dual-strategy ini merupakan basis dari politik otonomi dan politik aliansi antara perempuan dari negara kaya dan negara-negara miskin.
Agensi dan Aktivisme Perempuan Lokal Salah satu strategi penting dalam struktur ekonomi adalah dengan mengkonstruksi beragam identitas dan menavigasikan identitas-identitas itu dalam saluran-saluran ekonomi dimana perempuan dapat bebas memilih dengan agensinya masingmasing. Materialitas sosial membutuhkan agensi perempuan dalam struktur sosial dan struktur ekonomi dimana relasi kekuasaan memainkan peran penting dalam merebut kesetaraan. Taktik agensi ini digunakan untuk aktivisme dan mobilisasi sosial. Lokalitas perempuan perlu mendapatkan perhatian secara khusus karena dari sini, agensi dan politik identitas dapat dibangun secara lebih orisinil dan tidak tercerabut dari akar perjuangan dan aktivisme. Kemanjuran agensi yang berpijak pada lokalitas merupakan obat resistensi yang dapat melawan diskursus stereotype yang hidup subur dalam pasar
Perempuan Buruh Dalam Pasar Internasional: Cinta Ibu, Agensi dan Keragaman Politik Aktivisme
kapitalisme—perempuan yang melawan diam, perempuan yang melawan tradisi yang menindas dengan tradisi lokal, perempuan yang menggunakan permainan linguistik lokal untuk melawan penindasan lokal. Dengan agensi lokalitasnya, subjektivitas perempuan menjadi orisinil dan asli dibandingkan dengan menyuplai perempuan dengan kosa-kota yang asing bagi diri dan komunitasnya, bahkan bahasanya (Randall 1998: 185-6). Teorisasi kekuasaan tidak lagi cukup dapat dilihat dalam dimensi penindasan singular, karena kesenjangan sosial memerlukan matra ras, kelas, gender dan kewarganegaraan, sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari politik identitas yang berhubungan secara langsung dalam emansipasi sosial atas ancaman-ancaman yang sama, yaitu ketidakadilan. Perempuan perlu mengambil matra gender sebagai bagian untuk memobilisasi aktivisme dan identifikasi bersama ketidakadilan baik di dalam rumah, dalam Negara dan dalam kapitalisme global. Dengan perspektif melihat dan memahami, aktivisme perempuan diambil sebagai bagian dari mengambil perempuan terluar dari lingkar kekayaan yang biasanya tidak terlalu “politis” (Waylen 1998: 1). Masih banyak gerakan perempuan yang terserakserak dan terputus satu sama lain, dan mengalami dislokasi karena terlalu mengadopsi bahasa internasional, seperti bahasa Inggris, yang kemudian pada satu titik tertentu merugikan gerakan mereka sendiri. Domain dari resistensi dan politik dalam hal ini dapat diperluas melampui aksi heroik, yaitu dengan menyatukan apa-apa yang mereka kerjakan secara ideologis dalam kegiatan sehari-hari yang nyata (de Certeu 1984)—misalnya dengan menolak memakai produk merk tertentu yang jelas melanggar hak perempuan dan LGBT. Perang linguistik juga dapat dilancarkan dengan melakukan re-framing kata-kata tertentu yang dinilai tidak dapat diterima oleh masyarakat lokal. Ini merupakan senjata bagi yang lemah, yang terbukti amat penting—karena dalam situasi budaya tertentu, budaya lokal yang dipakai sebagai alat perjuangan sulit untuk ditolak oleh masyarakat pemilik budaya itu sendiri—misalnya banyak pengusaha Salon di perdesaan Jawa adalah waria, sebagai sebuah tradisi secara lokal. Romantisme aktivisme ini dapat dimunculkan sebagai tradisi baru yang dapat diklaim sebagai yang dilahirkan dalam ruang lokal dan diperkirakan masyarakat akan menerima. Dan terbukti menerima keberadaan Waria. 143
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, 139-147
Politik perempuan yang berangkat dari kapasitas linguistik lokal merupakan praktek rhizomatik, secara metafor merujuk pada resistensi yang lahir dari tanahnya sendiri, dari dalam buminya sendiri— yang kemudian merujuk pada kekuasaan yang khusus. Dengan cara ini, dapat dianalisis apakah resistensi perempuan dalam sistem pasar kapitalisme berasal dari dirinya dan otonom, atau terdislokasi dari dirinya sendiri atau tidak asli dan yang meniruniru pada konteks yang lain. Dengan cara ini kemudian ruang dominasi merupakan cara strategi untuk dapat membela diri dan dapat berfungsi sebagai kontrol untuk dominasi (Foucault 1980: 1634). Dengan memandang resistensi sebagai aksi rhizomatik, aksi yang mengakar, kemudian menekankan kreativitas, subjektivitas, secara polifonik dalam diskursus perlawanan ekonomi. Dalam analisis ini kemudian penting melihat politik perempuan sebagai tak hanya saling menghubungkan, tetapi juga bisa saling menabrakkan, berhubungan, mengalami transmutasi, dan kadang-kadang dalam caranya yang tidak terduga dapat bergerak keluar dan ke dalam dalam ruang dominasi. Ini adalah permainan domino kartu kekuasaan menurut teori Foucault. Nilai dari pemahaman atas ruang politik dan resistensi menjadi bermakna ketika diletakkan dalam metafora geografis lokasi tertentu, dimana tempat, posisi, nilai dan praktek budaya lokal menjadi bagian penting dari gerakan perempuan dalam pasar ekonomi kapitalisme. Dalam mempertimbangkan situs agensi perempuan, yaitu ruang dimana perempuan beraksi—banyak yang berargumen bahwa dalam ruang marjinal dan ruang-antara (inbetween), perempuan dapat menemukan cara-cara beragam dalam mengekspresikan dan mempraktekkan agensinya. Banyak penulis telah mendokumentasikan perihal ruang—disebut sebagai ruang yang terbuka secara radikal, dalam kosa kata para feminis menjadi: “pinggiran ikut bersuara kencang” (hooks 1990); “marjin, periferi, kelas bawah dalam struktur kekuasaan” (Hays-Mitchell 1995); “ruang berlawan” (Lefebvre 1991)—atau dalam metafora lain “keruangan (spatiality) untuk mendemonstrasikan perjuangan perempuan untuk menciptakan, memelihara, dan menciptakan kembali hal yang politis” (Keith & Pile 1993). Dan lain-lain. Ruang di pinggiran, dus, tak hanya diproduksi oleh grup yang dominan, tetapi juga secara simultan diambil dari kelompok subordinat yang telah dikeluarkan untuk menjadi ruang dan taktik
144
kekuasaan atas representasi (Harvey 2000:116). Lokus yang paling tidak bisa direduksi dalam ruang representasi adalah tubuh manusia dan bagaimana ia diukur, tetapi tubuh secara material dan secara representasi juga mengalami persoalan besar dalam pasar kekuasaan—karena ia kemudian ditandai berdasarkan kelas, ras, gender dan perbedaan lain. Harvey menekankan bahwa tubuh seharusnya dapat menjadi produk dari proses internal yang selalu aktif dan melakukan transformasi dengan mengiringkan kelas, ras, gender secara strategis—untuk melakukan perlawanan atas proses-proses yang melanggengkan ketidakadilan. Dalam parameter ini tubuh tak hanya objek patuh-penurut (docile), tetapi juga sebagai alat, instrumen, dan agen yang memampukan transgresi dan resistensi (Callard 1998: 387). Tubuh yang dibentuk dengan pemberdayaan adalah proses dimana perempuan melakukan aksi dan mendapatkan aksi, melihat dan dilihat, berswara dan diswarakan. Hal ini dialami melalui bahasa tubuh, perilaku tubuh dan presentasi diri via tubuh dalam relasinya dengan cermin, dirinya sendiri, dan manusia di luar dirinya—yaitu dengan kepercayaan diri penuh. Dari sini solidaritas fisik dan visibilitas ideologi menjadi alat gerakan perempuan yang turun di jalan-jalan untuk kemudian melakukan transformasi, tak hanya ruang publik, yaitu jalanan, tetapi juga di rumahnya—antara dirinya dan keluarganya, atau anak-anaknya, atau partnernya. Proses diskursif ini merupakan cara untuk membuka sifat negatif mitos. Misalnya, ikon Marsinah dalam gerakan buruh, yang diperkosa dan dibunuh, merupakan proses diskursif yang matang untuk dapat menggerakkan perempuan buruh untuk pertama-tama mengetahui hak-haknya dan pentingnya berserikat, apapun harganya. Simbol perempuan yang diperkosa, disiksa, menjadi tanda ‘kekalahan perempuan’ atau ‘kemenangan perempuan’, tergantung dari cara memainkan simbol ini dalam ruang representasi. Tubuh Marsinah menjadi penanda bahwa kematiannya dapat menjadi kepanjangan tangan ketegangan yang tak habis, atau justru api perjuangan yang semakin menyala—baik secara fisikal dan metaforikal. Makamnya di Jawa Timur menjadi penanda bagi perempuan untuk terlibat dalam percakapan tentang keadilan dengannya. Swara Marsinah kemudian menggema, dan menjadi penanda bagi seremoni tahunan perempuan buruh dan feminis seluruh Indonesia, kemudian. Dalam kematian, demikian juga dalam kehidupan, tubuh
Dewi Candraningrum
Marsinah terkondensasi menjadi figur penting untuk dapat mereduksi kompleksnya nasib buruh kontemporer—dan dari sini ia kemudian menjadi makna kultural baru. Tubuh tidak dapat diberi makna jika lokus dan situs dari aksi-aksi politis tidak mendapat konsep atas ‘diri’ atau ‘rasa diri’ dan ‘identitas’. Identitas sifatnya amat relasional, yaitu dikonstruksi secara sosial dan secara politis dengan mempelajari peta dan kontur politik representasi yang kemudian secara radikal dapat menggerakan seseorang secara politis pada ideologi tertentu (Keith and Pile 1993: 34). Dus, politik identitas bukanlah perihal tentang apa yang terjadi di pusat proses sosial, tetapi bagaimana tubuh secara mendalam memiliki kemampuan untuk melakukan transformasi sosial ke dalam pengetahuan yang nyata. Fokus dari politik identitas adalah proses sosial dimana manusia dapat mengartikulasikan, menyampaikan, menantang, mengkooptasi hirarki identitas tertentu yang telah menciptakan diri dan liyan secara tidak adil. Tidak semua identitas mengklaim diri atau termotivasi oleh keuntungan ekonomi, politik dan emosional sebagaimana narasi kapitalisme atas motivasi buruh dalam mobilisasi pasar ekonomi. Yaitu, bahwasanya tubuh Marsinah dan kematiannya yang tak hening tak hanya menandai kelas perempuan pekerja atau perempuan buruh, tetapi merupakan perjuangan budaya, perjuangan kelas, dimana ia lekat dalam memori sosial masyarakatnya. Teori feminisme kontemporer masih mencari jalan alternatif dan emansipatoris untuk menjelaskan subjektivitas manusia dengan menekankan bagaimana agensi aktif perempuan dapat dinegosiasikan dan digunakan sebagai alat strategis untuk melakukan resistensi dan penantangan atas patriarki, kapitalisme, teknologi dan bahkan feminisme itu sendiri—yaitu mengedepankan keberanian atas ‘perbedaan’, yaitu (p)erempuan dengan huruf p kecil—tak melulu (P)erempuan dengan p besar. Politik identitas berfungsi sebagai jangkar yang bergerak tak hanya vertikal tetapi horizontal dalam hirarki kelas sosial—dan juga menandai perbedaan dalam identitas dan lokus dari identitas—yang secara inheren terlampir dalam gerakan-gerakan aktivisme sosial ekonomi. Politik identitas merupakan ketegangan kreatif yang dapat dimobilisasi sepanjang peta kekuasaan dan pasar ekonomi. Mobilisasi selektif merupakan pilihan politis identitas gerakan perempuan. Misalnya memilih ikon Kartini, atau Marsinah, atau ikon lain
Perempuan Buruh Dalam Pasar Internasional: Cinta Ibu, Agensi dan Keragaman Politik Aktivisme
yang kuat untuk mengangkat kelas perempuan di mata patriarki. Dalam teras kekuasaan patriarki, medan kekuasaan dapat dimainkan dengan cara terlibat dalam permainan kekuasaan, praktek diskursif yang menantang status-quo, memasukkan gosip dan grundelan perempuan dalam sharing publik yang kemudian memberikan efek produksi transkrip baru dalam lanskap kekuasaan. Misalnya dengan menggambarkan bahwa perempuan kuat, terampil, dan lantang sebagai pekerja—dan bisa jadi, laki-laki buruh digambarkan secara terbalik untuk dapat mengimbangi kekuasaan. Kebisingan swara dalam pusat kekuasaan harus diintrusi dan diinterupsi oleh swara gaduh perempuan untuk memastikan pluralisme identitas ada. Suara dapat menjamin koneksi antar ruang, sehingga dunia yang lebih baik dapat diciptakan kembali (Love 1991: 96). Perlu dicurigai bahwa politik gender tertaut baik dengan projek-projek kekuasaan dalam ekonomi kapitalisme. Dus, perempuan kemudian tidak bisa lagi secara langsung melawan itu. Politik identitas kemudian membuka ruang untuk melawan bagi mereka yang terpinggirkan, tanpa perlu mengalahkan identitasidentitas dominan (Squires 1999: 135). Politik transversal ini mengambil gaya bahwa swara homogen dan dominan selalu dan dipastikan tak akan berpihak pada mereka yang terpinggirkan (Davis 1998: 185). Politik transversal mengakui untuk mampu menumbuhkan kepelbagaian identitas untuk dapat mengakomodir kepentingan para Liyan. Pengalaman yang hidup biasanya melampui kelas, gender, dan etnisitas yang kemudian membawa makna pengalaman hidup menjadi lebih subjektif— dan tidak semena-mena dianggap sebagai publik umum. Identitas gender memiliki fungsi juga untuk mengikat perjuangan budaya dalam ruang-ruang sumberdaya representasi. Kasus migrasi perempuan muda lampung ke daerah Jakarta untuk menjadi buruh tekstil merupakan contoh bagaimana pertentangan intergenerasional, atau antar generasi perempuan merupakan penanda penting dalam gerakan perempuan buruh. Ibunya dari Jawa yang kemudian mengerjakan tanah-tanah di Sumatera sebagai transmigran—telah berbeda penampilan dari perempuan etnis lokal yang kebanyakan berada di dalam rumah. Lalu kedua anak perempuan mereka, dari etnis Jawa dan etnis asli Sumatera, kemudian memilih untuk tidak mengolah tanah dan bekerja dalam industri tekstil dan jasa sebagai bagian untuk 145
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015, 139-147
membedakan dirinya dari orang tuanya—atau generasi perempuan yang lebih senior, tua.
Penutup: Aktivisme Kolektif Seperti dalam penjelasan sebelumnya, bahwa politik identitas amat fleksibel dan cair, seringkali melibatkan pilihan strategis atas identifikasi diri dan mengerjakan kembali pilihan-pilihan di depan kekuatan dan ideologi hegemonik dalam konteks tertentu. Dalam melibatkan diri, perempuan kemudian memberikan suaranya ketimbang diam, dengan memakai simbol yang kompleks atau simbol yang lebih ringan dan mudah diterima. Dengan itu pula perempuan dapat mengklaim subjektivitasnya dalam ruang publik vis a vis kekuatan yang dominan. Agensi individual ini merupakan pemicu kekuatan mobilisasi atas aksi-aksi kolektif, yang memiliki konteksnya masing-masing. Dalam simbol Marsinah, perempuan dari kalangan manapun berbondongbondong untuk melakukan perjalan dan ziarah ke makamnya sebagai simbol perlawanan atas kesewenangan. Memorialisasi ini merupakan penanda transformasi sosial atas status sosial yang penting dari perempuan buruh. Agensi politik dapat dilihat dalam indera historis dan konteks lokal. Proses ini mengantarkan aksi kolektif dimana perempuan dengan p kecil, yaitu perempuan-perempuan pinggiran, dapat bergabung bersama dalam gerakan melawan pasar ekonomi yang tak adil pada perempuan. Mobilisasi ini dapat menjadi ruang untuk menegosiasikan kepentingan perempuan. Dalam aktivisme transnasional, politik gender perlu diletakkan dalam konteks lokal untuk mendapatkan makna yang lebih orisinil—yaitu salah satunya dengan mengadopsi bahasa lokal untuk tujuan internasional bagi perempuan buruh misalnya. Ruang-ruang yang berbeda tersebut dapat menjadi tempat untuk perempuan imigran di Negara-negara kaya untuk bisa bersatu memperjuangkan nasibnya. Seperti forum United Nations Conference on Women in Beijing di tahun 1995 merupakan forum yang telah membantu perempuan buruh internasional dalam memasukkan agenda-agenda internasional atas perjuangan mereka. Seperti halnya perempuan pekerja domestik internasional dari Filipina, Thailand, Sri Lanka dan Nepal yang datang bersama untuk meminta upah minimum secara internasional— meskipun masih belum sukses karena perbedaan kebijakan di tiap Negara tujuan. Advokasi dan aktivisme transnasional ini kemudian membuka diaspora pos-nasional—dimana publik hadir tidak 146
berdasar narasi tunggal tetapi narasi plural dengan spirit kesetaraan. Dus, aktivisme perempuan tidak sedang berurusan dengan satu versi narasi aksi global, tetapi keberagaman narasi aksi, dengan pola yang divergen dan saling terbedakan. Beragam kelompok perempuan di Asia Pasifik misalnya, dan yang lainnya, memiliki ekspresi yang beragam dalam keterlibatan mereka dalam politik emansipatoris di semua level. Usaha untuk menggeneralisasikan perjuangan dan resistensi perempuan-perempuan ini, demikian juga, ketahanan mereka, akan mereduksi politik gerakan mereka dalam kerangka tradisi, generasi, etnisitas dan nasionalisme. Secara kolektif perempuan melawan kesewenangan, penindasan, ketidakadilan dengan mendemonstrasikan perbedaan yang kaya baik secara geografis dan secara ekspresi linguistik. Fleksibilitas aksi dan ketahanan aksi kemudian amat ditakuti oleh dunia patriarki, dus.
Daftar Pustaka Amsden, A.H. (1980) ‘Introduction’, in A.H.Amsden (ed.) The Economics of Women and Work, Harmondsworth: Penguin. Armstrong, P. (1982) ‘If it’s only women it doesn’t matter so much’, in J.West (ed.) Work, Women and the Labour Market, London: Routledge and Kegan Paul. Beechey, V. (1978) ‘Women and production: a critical analysis of some sociological theories of women’s work’, in A.Khun and A.M.Wolpe (eds) Feminism and Materialism. Women and Modes of Production, London: Routledge and Kegan Paul. Beechey, V. and Perkins, T. (1987) A Matter of Hours, Cambridge: Polity Press. Beneria, L. (1981) ‘Conceptualising the labour force: the underestimation of women’s economic activities’, Journal of Development Studies 17(3): 10–28. Bruegel, I. (1979) ‘Women as a reserve army of labour; a note on recent British experience’, Feminist Review 3:12–23. ——(1989) ‘Sex and race in the labor market’, Feminist Review No. 32: 49–68. Cockburn, C. (1983) Brothers. Male Dominance and Technological Change, London: Pluto Press. ——(1985) Machinery of Dominance. Women, Men and Technological Know-how, London:Pluto Press. Craig, C., Rubery, J., Tarling, R., and Wilkinson, F. (1982) Labour Market Structure, Industrial Organisation and Low Pay, Cambridge: Cambridge University Press. Elson, D. and Pearson, R. (1981) “‘Nimble fingers make cheap workers”: An analysis of women’s employment in Third World export manufacturing’, Feminist Review 7:87–107. Heyzer, N. (1986) Working Women in South-East Asia. Development, Subordination and Emancipation, Milton Keynes: Open University Press. Josephides, S. (1988) ‘Honour, family and work: Greek Cypriot
Dewi Candraningrum women before and after migration’, in S.Westwood and P.Bhachu (eds) Enterprising Women, London: Routledge. Joshi, H. (1984) ‘Women’s participation in paid work. Further analysis of the women and employment survey’, Department of Employment Research Paper No. 45 London: Department of Employment. Mincer, J. and Polachek, S. (1974) ‘Family investments in human capital: Earnings of women’, Journal of Political Economy 82(2):76–108. Molyneux, M. (1979) ‘Beyond the domestic labour debate’, New Left Review 116:3–27. Somerville, P. (1982) ‘Women: a reserve army of labour?’, m/f 7:35–60. Szyszczak, E. (1985) ‘Pay inequalities and equal value claims’, Modern Law Review 48:139–157. Westwood, S. (1988) ‘Workers and wives: continuities and discontinuities in the lives of Gujarati women’, in S.Westwood and P.Bhachu (eds) Enterprising Women, London: Routledge. Abu-Lughod, J. (1990) ‘The romance of resistance: tracing transformations of power through Bedouin women’, American Ethnologist 17, 1: 41–55. Callard, F.J. (1998) ‘The body in theory’, Environment and Planning D: Society and Space 16:387–400. Das, D.K. (ed.) (1996) Emerging Growth Pole: The Asia-Pacific Economy, Singapore: PrenticeHall. de Certeau, M. (1984) The Practice of Everyday Life, Berkeley: University of California Press.
Perempuan Buruh Dalam Pasar Internasional: Cinta Ibu, Agensi dan Keragaman Politik Aktivisme Foucault, M. (1980) ‘The politics of health in the eighteenth century’, in C. Gordon (ed.) Michel Foucault: Power/Knowledge, Selected Interviews and Other Writings, 1972–1977,Brighton: Harvester Press. Harvey, D. (2000) Spaces of University Press.
Hope, Edinburgh: Edinburgh
Hays-Mitchell, M. (1995) ‘Voices and visions from the streets – gender interests and political-participation among women informal traders in Latin-America’, Environment and Planning D: Society and Space 13, 4: 445–69. hooks, b. (1990) Yearning: Race, Gender, and Cultural Politics, Boston: South End Press. Keith, M. and Pile, S. (1993) ‘Introduction: the politics of place’, in M. Keith and S. Pile (eds) Place and the Politics of Identity, London and New York: Routledge. Lefebvre, H. (1991) The Production of Space, translated by Donald Nicholson-Smith, Oxford: Basil Blackwell. Love, N.S. (1991) ‘Politics and voice(s): an empowerment/knowledge regime’, Differences: A Journal of Feminist Cultural Studies 3, 1: 86–103. Randall, V. (1998) ‘Gender and power: women engage the state’, in V. Randall and G. Waylen (eds) Gender, Politics and the State, London and New York: Routledge. Squires, J. (1999) Gender in Political Theory, Malden, MA: Blackwell. Waylen, G. (1998) ‘Gender, feminism and the state: an overview’, in V. Randall and G. Waylen (eds) Gender, Politics and the State, London and New York: Routledge.
147
Jurnal Perempuan, Vol. 20 No. 2, Mei 2015
148
Ucapan Terima Kasih pada Mitra Bestari •
Prof. Mayling Oey-Gardiner
•
Prof. Rachmi Diyah Larasati •
•
Prof. Merlyna Lim
•
Dr. Kristi Poerwandari
•
Dr. Ida Ruwaida Noor
•
Dr. Arianti Ina Restiani
•
Dr. Phil. Ratna Noviani Tracy Wright Webster, PhD.
ix
ETIKA & PEDOMAN PUBLIKASI BERKALA ILMIAH JURNAL PEREMPUAN http://www.jurnalperempuan.org/jurnal-perempuan.html Jurnal Perempuan (JP) merupakan jurnal publikasi ilmiah yang terbit setiap tiga bulan dengan menggunakan sistem peer review (mitra bestari) untuk seleksi artikel utama, kemudian disebut sebagai Topik Empu. Jurnal Perempuan mengurai persoalan perempuan dengan telaah teoritis hasil penelitian dengan analisis mendalam dan menghasilkan pengetahuan baru. Perspektif JP mengutamakan analisis gender dan metodologi feminis dengan irisan kajian lain seperti filsafat, ilmu budaya, seni, sastra, bahasa, psikologi, antropologi, politik dan ekonomi. Isu-isu marjinal seperti perdagangan manusia, LGBT, kekerasan seksual, pernikahan dini, kerusakan ekologi, dan lain-lain merupakan ciri khas keberpihakan JP. Anda dapat berpartisipasi menulis di JP dengan pedoman penulisan sebagai berikut: 1. Artikel merupakan hasil kajian dan riset yang orisinil, otentik, asli dan bukan merupakan plagiasi atas karya orang atau institusi lain. Karya belum pernah diterbitkan sebelumnya. 2. Artikel merupakan hasil penelitian, kajian, gagasan konseptual, aplikasi teori, ide tentang perempuan, LGBT, dan gender sebagai subjek kajian. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia, sejumlah 10-15 halaman (5000-7000 kata), diketik dengan tipe huruf Calibri ukuran 12, Justify, spasi 1, pada kertas ukuran kwarto dan atau layar Word Document dan dikumpulkan melalui alamat email pada (
[email protected]). 4. Sistematika penulisan artikel disusun dengan urutan sebagai berikut: Judul komprehensif dan jelas dengan mengandung kata-kata kunci. Judul dan sub bagian dicetak tebal dan tidak boleh lebih dari 15 kata. Nama ditulis tanpa gelar, institusi, dan alamat email dicantumkan di bawah judul. Abstrak ditulis dalam dua bahasa: Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia secara berurutan dan tidak boleh lebih dari 100-150 kata, disertai 3-5 kata kunci. Pendahuluan bersifat uraian tanpa sub bab yang memuat: latar belakang, rumusan masalah, landasan konseptual, dan metode penelitian. Metode Penelitian berisi cara pengumpulan data, metode analisis data, serta waktu dan tempat jika diperlukan. Pembahasan disajikan dalam sub bab-sub bab dengan penjudulan sesuai dalam kajian teori feminisme dan atau kajian gender seperti menjadi ciri utama JP. Penutup bersifat reflektif atas permasalahan yang dijadikan fokus penelitian/kajian/temuan dan mengandung nilai perubahan. Daftar Pustaka yang diacu harus tertera di akhir artikel. 5. Catatan-catatan berupa referensi ditulis secara lengkap sebagai catatan tubuh (body note), sedangkan keterangan yang dirasa penting dan informatif yang tidak dapat disederhanakan ditulis sebagai Catatan Belakang (endnote). 6. Penulisan Daftar Pustaka adalah secara alfabetis dan mengacu pada sistem Harvard Style, misalnya (Arivia, 2003) untuk satu pengarang, (Arivia & Candraningrum, 2003) untuk dua pengarang, dan (Arivia et al., 2003) untuk lebih dari dua pengarang. Contoh: Arivia, Gadis. 2003. Filsafat Berperspektif Feminis. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Amnesty International. 2010. Left Without a Choice: Barriers to Reproductive Health in Indonesia. Diakses pada 5 Maret, jam 21.10 WIB dari: http://www2.ohchr.org/english/bodies/cedaw/docs/ngos/AmnestyInternational_for_PSWG_en_Indonesia.pdf Candraningrum, Dewi (Ed). 2014. Body Memories: Goddesses of Nusantara, Rings of Fire and Narrative of Myth. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan. Dhewy, Anita. 2014. “Faces of Female Parliament Candidates in 2014 General Election” dalam Indonesian Feminist Journal Vol.2 No.2 August 2014. Jakarta: Yayasan Jurnal Perempuan Press. (pp: 130-147). KOMPAS. “Sukinah Melawan Dunia”. 18 Desember 2014:14:02 WIB. http://nasional.kompas.com/read/2014/12/18/14020061/Sukinah.Melawan.Dunia 7. Kepastian pemuatan diberitahukan oleh Pemimpin Redaksi dan atau Sekretaris Redaksi kepada penulis. Artikel yang tidak dimuat akan dibalas via email dan tidak akan dikembalikan. Penulis yang dimuat kemudian akan mendapatkan dua eksemplar JP cetak. 8. Penulis wajib melakukan revisi artikel sesuai anjuran dan review dari Dewan Redaksi dan Mitra Bestari. 9. Hak Cipta (Copyright): seluruh materi baik narasi visual dan verbal (tertulis) yang diterbitkan JP merupakan milik JP. Pandangan dalam artikel merupakan perspektif masing-masing penulis. Apabila anda hendak menggunakan materi dalam JP, hubungi
[email protected] untuk mendapatkan petunjuk.
Vol. 20 No. 2, Mei 2015
Catatan Jurnal Perempuan: Apa Kabar Hak Asasi Manusia Perempuan?.......................................................................... Artikel / Articles • Membumikan Instrumen HAM Internasional: Kajian Kebijakan Hukum yang Melanggar Hak Perempuan / Disseminating International Human Rights Instruments: a Study of Legal Policies that Violates Women’s Human Rights.......................................................................................................................................................................... R. Valentina Sagala • Apakah ACWC (Komisi ASEAN untuk Pemajuan dan Perlindungan Hak Perempuan dan Anak)? Kajian Instrumen Kebijakan Internasional / What is ACWC (ASEAN Commission on the Promotion and Protection of the Rights of Women and Children)? A Study on the International Policy Instruments............................................... Yuyun Wahyuningrum • Status Anak Perempuan dalam Kovenan Internasional: Kajian Advokasi Perkawinan Anak / Status of Girls under International Covenants: a Study of Advocacy of Child-Marriage....................................................................... Maria Ulfah Anshor • Perempuan Membongkar Diplomasi Senyap Beijing+20 & CSW59 New York: Kajian Diplomasi Internasional Ramah Perempuan / Women Disassembling Silent Diplomacy of Beijing+20 & New York CSW59: a Study of Woman-Friendly International Diplomacy....................................................................................................... Dwi Ruby Kholifah • Kriminalisasi Pekerja Seks Komersial: Kajian Kovenan Internasional atas Perdagangan Perempuan / Criminalization of Sexual Workers: a Study of International Covenants on Women’s Trafficking............................. Lorensia Brahmana • Perdagangan Perempuan dalam Migrasi Internasional: Kajian Diplomasi Indonesia dan Malaysia / Trafficking of Women in International Migration: a Study of Indonesia and Malaysia Diplomacy........................... Masthuriyah Sa’dan • Memperkuat Instrumen Gender dan Agensi Perempuan: Studi Kasus Resiko Bencana di Indonesia, Filipina, dan Korea Selatan / Strengthening Gender Instrument and Women’s Agency: a Study of Disaster Risks in Indonesia, Philippine, and South Korea............................................................................................................................... Dian Lestariningsih • Perempuan Buruh Dalam Pasar Internasional: Cinta Ibu, Agensi dan Keragaman Politik Aktivisme / Women’s Labors in International Market: Mother’s Love, Agency and Plurality of Activism Politics......................... Dewi Candraningrum Wawancara / Interview • Patrick Ziegenhain: “Perlu Peningkatan Ekonomi, Perubahan Administratif dan Pola Pikir Sosial Untuk Memperbaiki Status Perempuan di Asia Tenggara” / Patrick Ziegenhain: “The need to increase economy, administrative reformation, and changes of mindset to improve the status of South East Asian women”............. Anita Dhewy Kata dan Makna / Words and Meanings................................................................................................................................... Profil / Profile • Retno Marsudi: “Diplomasi All-Out Untuk Lindungi Buruh Migran Perempuan” / Retno Marsudi: “All-out diplomacy to protect Indonesian female migrant workers”............................................................................................. Anita Dhewy Resensi Buku/ Book Review • Pentingnya Memahami Instrumen Gender / Importance of Understanding International Gender Instruments. Lola Loveita
www.jurnalperempuan.org
iii-iv
81-89
91-98
99-105
107-114
105-121
123-131
133-138
139-147
149-152 153-154
155-159
161-164