Pratama INOVASI PEMANFAATAN BRINE UNTUK PENGERINGAN HASIL PERTANIAN PT Pertamina Geothermal Energi Area Lahendong Penerima Penghargaan Energi Pratama Tahun 2011 SARI PT. Pertamina Geothermal Energi adalah salah satu Penerima Penghargaan Energi Pratama Tahun 2011 yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 2231 K/74/MEM/2011 Tanggal 27 September 2011 tentang Penerima Penghargaan Energi Pratama tahun 2011. PT. Pertamina Geothermal Energi Area Lahendong berjasa luar biasa, berkomitmen tinggi, berpartisipasi aktif mewujudkan pengelolaan energi yang berkelanjutan, efisien, dan berhasil mengembangkan di luar bisnis utamanya sebagai pelopor penerapan inovasi teknologi energi di Sulawesi Utara, memanfaatkan brine sebagai pengering berbagai jenis hasil pertanian dan perkebunan, yang berdampak besar terhadap pembangunan Sektor Energi dan Sumber Daya Mineral secara luas kepada Masyarakat, Bangsa , dan Negara. Potensi panas bumi Indonesia selain untuk pembangkitan energi listrik juga dapat dioptimalkan dalam bentuk pemanfaatan langsung, antara lain dengan cara memanfaatkan uap sisa panas bumi dari PLTP, atau yang biasa disebut brine, untuk mengolah hasil pertanian dan perkebunan disekitar PLTP. Langkah inovatif ini telah dilakukan oleh PT. Pertamina Geothermal Energi (PGE) di area Lahendong. Hasilnya adalah petani tidak lagi menebang hutan untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar untuk produksinya. Pemanfaatan brine juga mempunyai daya pengeringan yang lebih baik, sehingga menarik Yayasan Masarang untuk meniru teknologi tersebut dalam produksi gula aren. Hal ini didukung oleh PGE yang kemudian bersedia memasok 40 ton uap panas bumi per jam secara cuma-cuma. Dampak ekonomi dari inovasi tesebut adalah menaikkan pendapatan petani dari Rp 300.000,00 per bulan menjadi lebih dari Rp 2 juta per bulan, akibat gula aren layak ekspor berharga Rp 110.000,00/kg dibandingkan dengan harga domestik Rp 28.000,00/kg.
1. PEMANFAATAN PANASBUMI ENTALPI RENDAH Salah satu potensi panas bumi yang telah dimanfaatkan untuk tenaga listrik adalah panas bumi Lahedong berkapasitas 60 MW yang dikelola oleh PT Pertamina Geothermal Energi (PGE). Lapangan panas bumi Lahedong merupakan satu dari 15 Wilayah Kerja Perusahaan (WKP) geothermal yang dikuasai PGE dengan total potensi 8.400 MW, atau setara dengan 4.350 MMBOE. Dari 15 WKP tersebut,
58
10 WKP dikelola sendiri oleh PGE, antara lain Kamojang (200 MW), Sibayak (12 MW), Ulubelu, Lumutbalai, Hululais, Kotamubagu, Sungai Penuh, Iyang Argopuro, Karahabodas, dan termasuk Lahendong (60 MW). Peran PGE di masa depan semakin diharapkan mengingat PGE akan mengelola 60% dari 4.733 MW pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) baru di crash program 10.000 MW tahap II. Dalam pengelolaan WKP Lahendong, PGE bekerjasama dengan PLN yang memiliki PLTP
M&E, Vol. 9, No. 4, Desember 2011
Pratama Lahendong (LHD) dalam memasok kebutuhan energi panas bumi. PLTP LHD 20 MWe unit 1 mulai beroperasi tahun 2001 dengan suplai steam panas bumi 217 ton/jam dari 4 sumur di kluster 4. Pada 2007, kelebihan steam dari kluster 4 kemudian dialirkan ke PLTP LHD unit 2 (20 MWe) dengan tambahan steam dari 7 sumur di kluster 5 dan 13, serta 2 sumur di kluster 13. Sementara, PLTP LHD unit 3 (20 MWe) mendapat pasokan steam dari 4 sumur produksi di kluster 5. (Nugroho, 2007). Potensi panas bumi Indonesia tidak terbatas hanya untuk listrik saja mengingat banyaknya panas bumi dengan entalpi rendah yang tidak dapat dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik, tetapi dapat dimanfaatkan untuk energi nonlistrik, misalnya sebagai sumber energi pengering hasil pertanian. Menyadari hal tersebut, PGE melakukan inovasi memanfaatkan kembali gas buang sisa produksi listrik yang telah mengalami penurunan entalpi sebagai sumber energi pengeringan hasil pertanian dan proses produksi pabrik gula aren. Secara umum, proses pembangkitan listrik dan kemudian inovasi pengeringan dari energi panas bumi ditunjukkan pada Gambar 1 dan 2. Pada Gambar 1, uap yang keluar dari tanah dibersihkan dari brine yang bersifat korosif
sebelum akhirnya dialirkan ke turbin uap. Setelah melalui proses produksi listrik, uap sisa yang telah mengalami penurunan temperatur biasanya didinginkan menjadi air kondesat yang akan diinjeksi kembali ke dalam batuan panas sebagai fluida PLTP. PGE melihat pada proses kondensasi adanya potensi untuk memanfaatkan uap sisa untuk keperluan lain yang lebih bermanfaat. Untuk itu, PGE telah memodifikasi sistem PLTP yang lama (Gambar 1) menjadi sistem PLTP baru sebagaimana terlihat pada Gambar 2. Inovasi yang dilakukan pada sistem PLTP adalah mengalirkan sebagian uap sisa ke mesin pengering hasil pertanian serta pabrik gula aren yang dimiliki Yayasan Masarang. Setelah dimanfaatkan oleh masyarakat dan pabrik gula untuk pengeringan, uap sisa tersebut kemudian dikembalikan ke kolam pendingin, dan bersamasama dengan sisa uap lainnya dari PLTP diinjeksi kembali ke dalam batuan panas (Gambar 2). Pemanfaatan uap sisa oleh masyarakat menyebabkan temperatur uap sisa yang masuk ke kolam pendingin sudah lebih rendah dibandingkan uap sisa yang langsung dari PLTP. Dengan kata lain, teknologi ini membantu PGE dan PLN dalam mempercepat proses pendinginan fluida kerja.
Gambar 1. Pembangkitan listrik panasbumi konvensional
M&E, Vol. 9, No. 4, Desember 2011
59
Pratama
Gambar 2. Pembangkitan listrik panasbumi dan inovasi untuk pengering
2. PEMANFAATAN BRINE UNTUK PENGERINGAN HASIL PERTANIAN PLTP Lahendong terletak di Sulawesi Utara, yaitu sekitar 30 km dari kota Manado. Lokasi ini dikelilingi berbagai areal perkebunan dan pertanian seperti jagung, kelapa, cabe, dan cengkeh, serta industri pengolahannya. Salah satu industri berskala rumah tangga tersebut adalah industri gula aren yang jumlah petaninya mencapai 6.285 orang. Dalam memproduksi gula aren secara tradisional, setiap petani membutuhkan 14 m 3 kayu bakar per hari sehingga jumlah kayu bakar yang dibutuhkan di areal tersebut sekitar 7 ton kayu bakar per hari. Hal ini jelas mengancam keberadaan hutan di areal tersebut. Melihat hal tersebut, pada tahun 2001 PGE berinisiatif membuat mesin pengering yang mampu memanfaatkan uap sisa produksi PLTP. Lokasi bangunan pengering seluas 3 x 5 meter (Gambar 3) berada di kluster 13 yang merupakan salah satu kluster untuk suplai uap ke PLTP unit 1 dan 2. Mesin pengering terdiri atas pipa untuk mengalirkan brine, blower sebagai heat exchanger dan tray untuk tempat pengeringan. Berdasarkan hasil penelitian dari perguruan tinggi, percobaan masyarakat lokal
60
dan pihak PGE, produk pertanian yang telah dikeringkan bisa bertahan dalam waktu yang sangat lama ketika dipasarkan. Teknologi pengeringan ini pun telah mampu meningkatkan efisiensi biaya dan pemanfaatan bahan bakar serta menjaga lingkungan baik dari pencegahan penggunaan pohon untuk kayu bakar, juga pengurangan emisi dari energi fosil.
Gambar 3. Mesin pengering hasil pertanian Kisah sukses PGE tersebut ditiru oleh Yayasan Masarang untuk produksi gula aren kristal sejak tahun 2004. Sebagai bentuk kerjasama, PGE
M&E, Vol. 9, No. 4, Desember 2011
Pratama memasok uap panas bumi sebesar 4 ton per jam secara cuma-cuma ke pabrik gula aren yang dikelola Yayasan Masarang untuk dimanfaatkan sebagai pengganti bahan bakar dalam proses pembuatan gula aren. Kehadiran pabrik gula aren tersebut mampu membuat pola produksi gula aren dari tingkat yang semula dilakukan di perumahan menjadi terpusat di pabrik gula aren. Saat ini sudah 6.000 petani menjadi pemasok nira aren dengan pasokan sebanyak 25.000 liter nira per hari ke Pabrik Gula Aren Masarang yang kapasitas produksinya sebesar 3 ton dan mampu memberdayakan tenaga kerja 35 orang. Suasana dari pabrik gula aren Masarang ditunjukkan pada Gambar 4. 3. PENINGKATAN PENDAPATAN PETANI DAN KONSERVASI ALAM Kehadiran pabrik gula aren Masarang telah mengubah pola operasi petani aren dari memasak sendiri nira yang didapat menjadi dijual ke pabrik gula dengan harga Rp.1.000,00 per liter. Hal ini meningkatkan pendapatan petani dari semula sekitar Rp. 300.000,00 per bulan menjadi lebih dari Rp. 2 juta sebulan mengingat petani mampu menghasilkan sekitar 50 hingga 300 liter nira per hari. Pengemasan dan kualitas gula aren yang dihasilkan pun lebih baik (Gambar 5), sehingga gula aren dapat diekspor ke Belanda, Korea, dan sejumlah negara lain
dengan harga Rp.110.000,00 per kilogram, sementara harga gula aren di pasar lokal hanya Rp.28.000,00 per kilogram. Dari sisi lingkungan, pemanfaatan panas bumi untuk produksi gula aren telah mengkonservasi 360.000 batang pohon setiap tahunnya. Hal ini didasarkan pada fakta sebelumnya, yaitu kebutuhan kayu bakar dari 6.285 petani konvensional sebesar 87,9 ribu m3 kayu per tahun untuk memasak nira. Keberadaan pabrik gula juga dapat mengelola limbah produksi lebih baik sehingga dapat diterapkan zero waste management. Beberapa keuntungan yang diperoleh dari teknologi ini, antara lain waktu pengeringan cepat, tidak terpengaruh oleh cuaca, tidak terkontaminasi oleh udara luar, tidak mencemari lingkungan sekitar, dan tidak merusak sumber daya hutan. Dengan adanya teknologi pemanfaatan brine, PGE area Lahendong telah berperan dalam meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam memanfaatkan energi yang ramah lingkungan secara efektif. Teknologi pemanfaatan brine milik PGE area Lahendong menunjukkan peran energi panas bumi tidak hanya digunakan sebagai sumber pembangkit listrik, tetapi juga mampu memberdayakan masyarakat dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Gambar 4. Pabrik Gula Aren Maharang Lahendong (Sumber : Surya Darma, 2011)
M&E, Vol. 9, No. 4, Desember 2011
61
Pratama
Gambar 5. Gula Aren Maharang
3. TANTANGAN DAN HARAPAN Pemanfaatan brine panas bumi untuk pengeringan hasil pertanian telah berjalan lebih dari 10 tahun hingga saat ini. PGE optimis keberlanjutan teknologi ini akan selalu tersedia selama operasional suplai uap ke PLTP berjalan. Berdasarkan pengalaman PGE area Kamojang, suplai uap ke PLTP terus optimal selama 30 tahun terakhir ini. Tantangan dan kendala yang dihadapi adalah perlunya regenerasi sumber daya manusia dan transfer teknologi kepada pihak ketiga dalam pengoperasian teknologi ini, mengingat teknologi pemanfaatan brine bukan merupakan bisnis utama PGE area Lahendong. Permasalahan di masyarakat adalah jarak yang jauh untuk menyetorkan nira ke pabrik. Para petani tersebut menyadap nira pada pukul 06.00 hingga pukul
62
09.00, sementara pabrik menginginkan nira sudah sampai ke pabrik pada pukul 08.00. PGE area Lahendong berharap teknologi pengeringan hasil pertanian dan perkebunan yang dikembangkan dapat menjadi contoh penerapan teknologi yang ramah lingkungan untuk diterapkan di daerah lain, terutama daerah yang memiliki prospek panas bumi. Teknologi ini mempunyai dampak yang besar dan positif terhadap pemberdayaan ekonomi masyarakat perdesaan yang berbasis pada hasil pertanian dan perkebunan. Selain itu, teknologi ini mampu mengurangi pemakaian bahan bakar dan mengurangi pencemaran lingkungan.
*
Disusun oleh Indra al Irsyad, Puslitbang Teknologi Ketenagalistrikan EBT dan Konservasi Energi
M&E, Vol. 9, No. 4, Desember 2011