Ino Susanti : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)
MEMBANGUN BUDAYA HUKUM MASYARAKAT PENEGAK HUKUM DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI DENGAN PENDEKATAN HUKUM HERMENEUTIK (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi) Ino Susanti Dosen Tetap Pada Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRAK Salah satu upaya pemerintah dalam memberantas TindakPidana Korupsi (Tipikor) adalah dengan membentuk sebuah lembaga Penegak Hukum Komisi Pemberantasan Korupsi KPK berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 karena lembaga-lembaga penegak hukum yang telah ada, oleh pemerintah dianggap tidak efektif dan efisien dalam menangani korupsi. Lembaga tersebut memiliki kekuatan “Superbody” dalam tugas dan kewenangan melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan perkara korupsi. Namun apakah tindakan pemerintah tersebut merupakan langkah yang benar-benar efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pemberantasan korupsi, mengingat masalah penegkan hukum tidak hanya berpusat pada “Legal Substance”, akan tetapi juga dari aspek “Legal Structure” dan yang tidak kalah pentingnya adalah ”Legal Culture” dalam suatu masyarakat hukum. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui mengapa penanganan perkara korupsi memerlukan lembaga khusus selain Kepolisian dan Kejaksaan sebagaimana ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi. Metode penelitian yang digunakan adalah pendekatan Sosio-Legal (SocioLegal Research) berparadigmakan Konstruktivisme yang memaknai hukum secara Hermeneutik dan Dialektis dengan pendekatan Kualitatif. Pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka, observasi, in-depth interview dan focus group disscusion (FGD).Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberantasan Tipikor yang dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang telah ada (Kepolisian dan Kejaksaan) tidak berjalan efektif dan efisien karena tidak dilakukan secara terpadu (integrated) melainkan secara “fragmented”, hal ini disebabkan karena terdapat perbedaan pendapat dan kepentingan masing-masing lembaga. Faktor-faktor yang menjadi penyebabnya adalah aspek aparat penegak hukum ( Legal Structure) yang belum memenuhi kriteria yang baik serta budaya hukum (Legal Culture) yang terdapat pada masyarakat penegak hukum yang belum memadai untuk dapat berhasil memberantas korupsi sebagaimana yang dicitacitakan oleh Negara.
______________________________ Kata Kunci: Korupsi, KPK, Budaya Hukum
PENDAHULUAN Bangsa Indonesia gencar memerangi korupsi kendatipun tetap saja dinobatkan sebagai salah satu Negara terkorup walau tidak diketahui siapa koruptornya. Korupsi sudah menjadi masalah serius yangtelah ada sejak manusia bermasyarakat, yang menjadi masalah adalah
meningkatnya korupsi itu seiring dengan kemajuan, kemakmuran dan teknologi. Sehingga semakin maju pembangunan suatu daerah maka semakin meningkat pula kebutuhan yang mendorong orang untuk melakukan korupsi. Dalam upaya pemberantasa korupsi di Indonesia sudah terlalu jauh merasuk kedalam kehidupan masyarakat dan Negara. 34
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (34-41), Januari 2012
Ino Susanti : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)
Berbagai macam usul, diskusi, seminar hingga pembuatan regulasi yang makin keras bahkan cenderung melebihi takaran tetap tidak dapat membuat koruptor menjadi jera. Yang menjadi kendala besar dalam pemberantasan korupsi di Indonesia adalah terlalu banyaknya orang yang akan terkena ancaman pidana jika undang-undang dijalankan dengan sungguh-sungguh. Akibatnya tidak sedikit dijumpai kasus-kasus korupsi yang bisa menghilang begitu saja dengan alasan yang dicari-cari oleh pihak aparat dan oleh pelaku sendiri dengan menjalankan aksi berpurapura sakit bahkan melarikan diri yang pada akhirnya kasus itu menghilang dengan sendirinya. Penyelesaian kasus korupsi dengan cara refresif bukan satusatunya penyelesaian yang ampuh, hal ini terbukti dengan maraknya kasus korupsi yang terus bermunculan. Oleh karenanya perlu dilakukan cara preventif seperti “reformulasi” dari suatu regulasi, “restrukturisasi” seperti pembongkaran system manajeme Negara yang dibarengi dengan perubahan system yang rawan korupsi, seperti dalam hal rekrutmen pegawai polisi, jaksa,hakim, pajak, bea-cukai, imigrasi, dinas pendapatan daerah, dan sebagainya. Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalah “rekonstruksi budaya hukum dari masyarakat penegak hukum secara khusus dan masyarakat bangsa Indonesia umumnya dalam menyikapi persoalan korupsi yang telah membuat keropos Negara ini. Langkah pemerintah membentuk lembaga penegak hukum baru dalam memberantas korupsi boleh jadi merupakan langkah yang tepat,
namun hal tersebut menjadi tidak berarti, manakala tidak ditindaklanjuti pada penindaian ulang terhadap hal-hal sebagaimana disebutkan diatas. Dari sisi “reformulasi” peraturan Tipikor dapat dikatakan sudah memadai dengan telah dilakukan beberapa kali perubahan, pergantian bahkan penambahan lembaga penegak hukum lainnya (KPK) dalam pemberantas korupsi. Dari aspek structural, dengan ditambahnya aparat penegak hukum baru (KPK) sebagai sumber daya manusia yang diharapkan dapat melakukan pemberantasan korupsi secara efektif dan efisien. Akan tetapi apakah seluruh langkah tersebut dapat mewujudkan cita-cita Negara ini agar terbebas dari korupsi jika upaya itu tidak didukung pula dengan adanya penataan kembali budaya hukum dari masyarakat penegak hukum (legal actor). Hal ini perlu diperhatikan, mengingat aparat penegak hukum merupakan unsur yang menentukan untuk patuh atau tidaknya masyarakat dalam menjalankan peraturan. Sebagaimana dikatakan oleh Satjipto Rahardjo: “dalam usaha untuk membenahi hukum di Indonesia kita perlu menaruh perhatian yang seksama terhadap masalah perilaku bangsa, kehidupan hukum tidak hanya menyangkut urusan hukum teknis, seperti pendidikan hukum tetapi menyangkut soal pendidikan dan pembinaan perilaku individu dan social yang luas”.(2008:5) Aspek Penegakan Hukum Pidana Penegakan hukum pidana pemberantasan korupsi dapat bersifat yuridis-dogmatis dengan 35
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (34-41), Januari 2012
Ino Susanti : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)
menggunakan upaya penal maupun dengan cara fungsional menggunakan upaya non-penal (Hoefnagels,1976:5). Upaya penegakan hukum penal dilakukan oleh aparat penegak hukum Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Lembaga Pemasyarakatan dan KPK. Pemberantasa Tipikor harus dilakukan melalui penegakan hukum yang terkait dalam 3 (tiga) factor dari system hukum (L.M Friedman, 1984:2) yaitu: sisi perundangundangan (Legal Substance), sisi lembaga penegak hukum (Legal Structure) dan sisi budaya hukum (Legal Culture). Dalam hal ini budaya hukum dari aparat KPK harus jujur, berdidikasi, loyal, cakap serta memiliki integritas yang tinggi sebagai penegak hukum dalam pemberantasan korupsi. KPK sebagai elemen yang dilibatkan dalam hal pemberantasan korupsi mempunyai tugas dan wewenang yang khusus dalam hal melakukan tindakan-tindakan penyelidikan dan penuntutan diluar dari ketentuan sebagaimana di atur dalam KUHAP (Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981). Keberadaan lembaga baru (KPK) sudah barang tentu secara operasional berada dalam lingkup system hukum pidana yang berlaku.oleh karenanya untuk memperkuat operasionalisasi lembaga tersebut maka pembaharuan (revisi) KUHAP perlu dilakukan mengingat belum diaturnya lembaga KPK sebagai lembaga yang mempunyai untuk melakukan tugas dan wewenang yang khusus (superbody) dalam memberantas Tipikor.
Aspek Budaya Hukum Dibentuknya KPK dengan tujuan dapat membawa Indonesia menjadi salah satu Negara yang dapat menekan dan paling kecil korupsinya adalah merupakan suatu tekad yang sangat berat untuk ditempuh. Oleh karenanya adalah sangat penting untuk memusatkan perhatian pada aspek budaya setelah mengatasi kedua aspek lainnya. Aspek perilaku (budaya hukum) aparat penegak hukum pada lembaga KPK perlu dilakukan penataan ulang dari perilaku budaya hukum yang selama ini dilakukan oleh aparat penegak hukum pemberantas korupsi sebelumnya karena seseorang menggunakan hukum atau tidak menggunakan hukum sangat tergantung pada kultur (budaya)hukumnya (E.Warassih,2005:82). Telah terbukti bahwa akibat perilaku hukum aparat penegak hukum yang tidak baik, tidak resisten terhadap suap, konspirasi, dan KKN, menyebabkan banyak perkara korupsi yang tidak dapat dijerat oleh hukum. Budaya Hukum merupakan elemen dari system hukum yang merupakan nilai-nilai dan sikap yang mengikat system itu secara bersamaan atau menentukan tempat dari system hukum itu dalam budaya masyarakat sebagai suatu keseluruhan. Kebiasaan, pelatihanpelatihan apa yang dipunyai oleh penegak hukum, apa yang diartikan hukum oleh masyarakat, apakah suatu kelompok atau individu mau ke pengadilan (beperkara), untuk apa orang pergi kepengacara, dan sebagainya merupakan aspek budaya hukum yang mempengaruhi system huku dan merupakan bagian khusus 36
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (34-41), Januari 2012
Ino Susanti : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)
yang penting sebagai suatu sumber dari kebutuhan akan suatu system hukum. Budaya hukum ini adalah suatu jaringan nilai-nilai dan sikap yang berhubungan dengan hukum, sehingga menentukan kapan dan mengapa, atau orang berpaling kepada hukum atau kepada pemerintah, atau meninggalkannya sama sekali (L.M Friedman, ibid). Sejalan dengan pemikiran tersebut diatas, Barda Nawawi Arief (2001:130) mengatakan: upaya penanggulangan dan pencegahan korupsi dengan pendekatan/strategi internal diperlukan karena kausa dan kondisi yang dapat jadi peluang timbulnya korupsi sangat kompleks sehingga masalah korupsi sarat dengan berbagai kompleksitas masalah antara lain sikapmental/moral, masalah pola/sikap hidup dan budaya social, masalah lingkungan social dan kesenjangan ekonomi social masalah kebutuhan/tuntutan ekonomi, masalah system/budaya politik, masalah lemahnya birokrasi/prosedur administrasi (termasuk system pengawasan) di bidang keuangan dan pelayanan public, jadi kausa dan kondisi yang bersifat kriminogen untuk timbulnya korupsi yang dapat terjadi di bidang moral, social, ekonomi, politik, budaya, birokrasi, administrasi dan sebagainya. Dalam konteks ini KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi yang independent harus dapat membuktikan dirinya sebagai institusi yang telah melakukan pembaharuan (re-form) terhadap ketiga factor system hukum tersebut diatas,terutama dalam aspek budaya hukum. KPK harus mampu mengedepankan budaya kerja(hukum
yang bersih dan bebas dari praktikpraktik KKN yang selama ini dilakukan oleh aparat (masyarakat) penegak hukum khususnya dalam pemberantasan Tipikor. Apabila semua hal tersebut dapat dijalankan dengan sempurna oleh KPK maka tentunya negara yang bebas dari korupsi akan tercapai sebagaimana yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia, dengan demikian penegakan hukum pidana dalam memberantas korupsi dapat berjalan sesuai pula dengan apa yang menjadi tujuan dari sistem hukum nasional Indonesia. Hubungan kausal dalam uraian tersebut diatas dapat dilihat sebagaimana dalam kerangka konseptual.
Skema:
Penegakan hukum pemberantasan korupsi.
37 Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (34-41), Januari 2012
Ino Susanti : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)
METODE PENELITIAN Penelitian ini bertujuan untuk menelaah secara mendalam sehingga mendapatkan gambaran sinkronisasi (efektivitas) baik vertikal maupun horizontal pengaturan lahirnya lembaga baru pemberantas korupsi (KPK) serta untuk mengetahui faktor-faktor apa yang dapat mempengaruhi keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi, maka penelitian ini menggunakan pendekatan sosio-legal (socio-legal research). Dengan pendekatan ini, objek hukum akan dimaknai sebagai bagian dari sub-sistem diantara subsistem-sub-sistem lainnya. Pemahaman bahwa hukum adalah sebatas perangkat norma yang terlepas dari kesatuan sosial hanya akan meniadakan keterkaitan hukum sebagai norma dari basis sosial tempat lahirnya hukum dan tempat bekerjanya hukum. Karena itu melalui pendekatan ini kajiannya akan dilakukan dengan mendeskripsikan substansi normanorma hukum dan realitas sosial serta keterkaitan diantara kedua objek kajian tersebut. Penelitian juga menggunakan penelitian hukum secara normatif (normative-legal research) yang dilakukan untuk mendapatkan bahan-bahan berupa teori-teori, konsep-konsep asas hukum serta peraturan hukum yang ada hubungannya dengan pokok bahasan. Disamping itu kajian hukum bertumpu pada paradigma/pendekatan hukum Hermeneutik untuk dapat membantu memahami objek (perilaku manusia yang berinteraksi atau berkomunikasi antar sesamanya), dari sudut pelaku aksi-
interaksi (aktor) itu sendiri. Pendekatan ini berasumsi secara pragmatis bahwa setiap bentuk dan produk perilaku antar manusia yang juga merupakan produk hukum akan selalu ditentukan oleh interpretasi yang dibuat dan disepakati para pelaku yang tengah terlibat dalam proses itu , yang tentu saja akan memberikan keragaman maknawi pada fakta yang sedang dikaji sebagai objek. Penelitian ini memfokuskan diri pada perkembangan peraturan pemberantasan Tipikor dan upaya efektivitas pemberantasannya dengan menekankan pada budaya hukum (budaya kerja) aparat penegak hukum lembaga KPK. Karena itu unit analisisnya adalah terutama perilaku para penegak hukum di lembaga KPK dan juga elemenelemen di luar lembaga tersebut yang mempunyai keterkaitan yang tinggi terhadap lembaga tersebut. Pengumpulan data dilakukan dengan cara studi pustaka untuk memperoleh dokumen hukum, baik yang berupa peraturan perundangundangan mengenai pemberantasan korupsi maupun dokumen-dokumen lain yang terkait. Terhadap data yang diperlukan menyangkut budaya hukum (budaya kerja) digunakan metode observasi, wawancara mendalam (in-depth interview) yang dilakukan pada informan yang ditetapkan secara purposive sampling dan pada focus group disscusion (FGD) dalam hal pengembangan informan yang diperoleh dengan teknik snowball sampling. Dengan observasi diharapkan memperoleh orientasi umum tentang lokasi dan fokus penelitian dan dapat memperoleh gambaran tentang 38
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (34-41), Januari 2012
Ino Susanti : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)
fenomena situasi dan perilaku yang mampu memberi gambaran tentang fokus penelitian yang hendak dikaji (Lexy.J.Moloeng,2007:174). Wawancara digunakan untuk mengungkap lebih jauh tentang data yang diperoleh melalui pengamatan dari bahan-bahan hukum yang telah diperoleh dari studi pustaka. Sedangkan wawancara secara mendalam (In-depth interview) dengan informan diharapkan untuk dapat mengungkap makna/simbolik yang lebih memperjelas permasalahan dalam fokus penelitian dan pengumpulan data melalui FGD untuk mempertajam pemahaman terhadap berbagai persoalan yang terungkap diforum diskusi. Metode analis data yang digunakan adalah analisis kualitatif dengan langkah-langkah yaitu: Pengumpulan Data, Reduksi Data, Penyajian Data, Verifikasi Data. Validasi Data digunakan untuk menetapkan keabsahan data berdasarkan pada derajat kepercayaan (credibility), keteralihan (transferability), kebergantungan (dependability) dan kepastian (confermability) yang dilakukan dengan teknik triangulasi melalui cara-cara: melakukan pembandingan antara data yang diperoleh dari hasil observasi dengan data yang diperoleh dari hasil in-depth interview, melakukan perbandingan antara persepsi dan pendapat umum dengan persepsi dan pendapat peneliti, melakukan pembandingan antara data hasil wawancara dengan dokumen-dokumen hasil kajian pustaka.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Upaya-upaya pembaharuan hukum (pidana) dalam pencegahan dan pemberantasan Tipikor perlu terus ditingkatkan, mengingat korupsi merupakan extra ordinary crime dengan menggunakan penegakan hukum pidana (penal), melainkan juga harus diintegrasikan (integrated) dengan penggunaan sarana-sarana diluar hukum pidana (non-penal). Pemberantasan korupsi dengan penggunaan sarana penal dilaksanakan oleh aparat penegak hukum pidana (Kepolisian, Kejaksaan, Kehakiman, Lembaga Pemasyarakatan) serta lembaga terkait namun hasilnya belum efektif karena masih dilakukan secara terpisah (fragmented). Oleh karena itu pemerintah melalui kebijakannya membentuk sebuah lembaga baru yang diharapkan dapat mencapai tujuan pemberantasan korupsi yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Berdasarkan penelitian, ditemukan adanya beberapakali pergantian peraturan Tipikor yang disebabkan perubahan maupun pengaturan baru. Setidaknya ada 6 (enam) fase pengaturan, yaitu: (1) fase Ketidakmampuan tindak pidana jabatan (ambtsdelicten) dalam KUHP untuk menanggulangi korupsi; (2) fase Keputusan Presiden No.40 jo Regeling op de Staat van Oorlog en van Bleg (stb.39 582 jo 4079 Tahun 1939) tentang Keadaan Darurat Perang; (3) fase Keputusan Presiden No.225 Tahun 1957 jo Undangundang No.74 Tahun 1957 jo Undang-undang No.79 Tahun 1957 Tentang Keadaan Bahaya; (4) fase 39
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (34-41), Januari 2012
Ino Susanti : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No.24/Prp/1960 tentang pengusutan Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi; (5) fase Undang-Undang No.3 Tahun 1971 (LNRI 1971 No.19 TLNRI No.2958) tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dan (6) fase Undang-undang No.31 Tahun 1999 (LNRI 1999 No.40 TLNRI No.387) Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang diperbaharui dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001. Meskipun demikian hingga kini aparat penegak hukum belum dapat menunjukkan kinerjanya dalam menekan Tipikor. Diberbagai tempat dan daerah Tipikor semakin marak dan mengalami peningkatan. Jika dilihat dari sisi perundangan, dapat dikatakan ketentuan hukum yang mengatur tentang Tipikor telah memadai, akan tetapi tetap saja korupsi merebak dimana-mana. Oleh karena itu pemerintah membentuk lembaga baru yang independen untuk melakukan tindakan yang lebih jitu lagi dalam memberantas korupsi. KPK lahir sebagai lembaga yang diharapkan dapat melakukan pemberantasan korupsi karena lembaga penegak hukum yang ada sebelumnya dinilai tidak efektif dan efisien. Sebagai paradigma baru penegakan hukum, keberadaan lembaga KPK sebagai lembaga yang memiliki fungsi dan wewenang yang bersifat “superbody”harus didukung keberadaannya dengan regulasi yang jelas. Terbentuknya KPK sebagai upaya politik pemerintah dalam hal pencegahan dan pemberantasan korupsi berupa kebijakan kriminal yang merupakan bagian dari
kebijakan sosial yang dapat dilakukan baik dengan menggunakan sarana penal dalam lingkup hukum pidana, maupun di luar lingkup hukum pidana (non-penal). Keberhasilan KPK sebagai lembaga pemberantas korupsi memerlukan pula dukungan dari komponen lain yaitu: struktur hukumnya (Legal Structure). Suatu lembaga tidak akan bekerja secara efektif apabila tidak didukung oleh struktur/aparat hukum yang handal. Hal ini telah terbukti pada kinerja yang telah dilakukan oleh aparat penegak hukum yang ada. Khususnya dalam menangani korupsi aparat penegak hukum dianggap tidak berhasil memberantas kejahatan tersebut dan faktanya memang kasus korupsi berkembang kian marak. Komponen yang berpengaruh lainnya adalah budaya hukum (legal culture) baik yang terdapat pada aparat penegak hukum maupun masyarakat pencari keadilan. Budaya hukum (budaya kerja) KPK harus mampu melepaskan diri dari budaya aparat hukum yang ada selama ini, peningkatan sumber daya manusia, manajemen yang lebih baik menjadi aset untuk dapat menjalani tugas KPK yang ideal. Disamping itu budaya hukum masyarakat pencari keadilan harus pula mengimbanginya, tidak lagi melakukan praktik-praktik KKN merupakan sikap yang sangat positif untuk mencapai berhasilnya memberantas korupsi. Harus ada tekad bersama pada masyarakat Indonesia untuk serius dalam memberantas korupsi, hal ini sebaiknya diteladani dahulu oleh penegak hukum (KPK) yang 40
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (34-41), Januari 2012
Ino Susanti : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)
berdedikasi, loyal, konsisten dan konsekuen dalam menangani Tipikor. Budaya hukum (budaya kerja) dari aparat penegak hukum yang baik akan menghasilkan penegakan hukum yang efektif dan efisien, akibatnya masyarakat (pencari keadilan) tidak akan berani melakukan KKN. SIMPULAN DAN SARAN Dari uraian tersebut diatas dapat di ambil kesimpulan dan saran sebagai berikut: 1. KPK lahir sebagai solusi untuk memberantas korupsi karena lembaga penegak hukum yang ada sebelumnya dinilai tidak efektif dan efisien. Untuk memantapkan kedudukannya dalam sistem penegakan hukum pidana di Indonesia, harus dijelaskan fungsinya. Dalam aturan hukum acara pidana yang telah ada (KUHAP) perlu dilakukan revisi agar menyesuaikan pula kedudukan lembaga KPK sebagai lembaga yang berwenang untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan Tipikor. 2. Faktor-faktor yang menjadi pendukung keberhasilan KPK dalam memberantas korupsi yaitu aparat penegak hukum (struktur hukum) yang loyal, berdedikasi, konsekuen dan konsisten serta manajemen yang baik dari lembaga tersebut. Disamping itu budaya hukum (budaya kerja) yang baik, berbeda dari budaya hukum aparat lainnya sangat menentukan keberhasilan lembaga KPK dalam memberantas korupsi. oleh karenanya perlu di dukung oleh peran serta masyarakat,
institusi, media massa, lembaga swadaya masyarakat dalam keikutsertaan melakukan langkah positif untuk memberantas korupsi dimulai dengan tidak melakukan praktik KKN. DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi, 2001.Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan. PT Citra Aditya Bakti, Bandung. ____________,1996.Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana.PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Atmasasmita, Romli, 2004. Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Internasional. Penerbit Mandar Maju, Bandung. Friedman, Lawrence M,1984.”What is a Legal System” dalam American Law,W.W.Norton and Company, New York. Hoefnagels,G Peter,1976.The Other Side of Criminology.Kluewer Deventer, Holland. Moloeng, Lexy J,2007.Metode Penelitian Kualitatif.RemajaRosdakarya,Bandung. Rahardjo, Satjipto, 2008.Membedah Hukum Progresif.Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Warassih, Esmi.2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Surya Alam Utama.Semarang. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi. FH Undip, 1976.Laporan Seminar Kriminologi ke-3, Semarang
41 Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (34-41), Januari 2012
Ino Susanti : Membangun Budaya Hukum Masyarakat Penegak Hukum Dalam Pemberantasan Korupsi Dengan Pendekatan Hukum Hermeneutik (Studi Lahirnya Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi)
34 Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (34-41), Januari 2012