Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
KAJIAN PENETAPAN BATAS MINIMUM PEMILIKKAN DAN PENGUASAAN TANAH PERTANIAN Oleh Sariman BS Dosen Fakultas Hukum Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai ABSTRACT Lampung Province has an area of 35.288,35 Km2 including the islands located at the far southeast side of Sumatera. Lampung is bordered by : The province of South Sumatera and Bengkulu to the North, the Sunda Strait to the South, the Java sea to the East, the Indonesian Ocean to the West. Lampung Province with Bandar Lampung as capital Municipality which was originally a merge of twin cities, i.e. Tanjungkarang and Telukbetung, owns relatively large area as well as a potential marine resources. The main port are Panjang and Bakauheni followed by other smaller ports used by fishhermen such as Pasar Ikan (Telukbetung). Tarahan and Kalianda located at Teluk Lampung and Kota Agung at Teluk Semangka. There are fishing ports on the Java sea including Labuhan Maringgai and Ketapang, in addition to Kota Menggala which is also visited by fishing boats passing on the way of Tulang Bawang. The Port of Krui is on the Indonesian ocean. The main airport is Radin Intan II which was used to be called Branti, 28 km from the capital and located on the way to Kotabumi, while the Air Force base is at Menggala (Astra Ksetra) Geographically Lampung Province is located on Hilly and mountains, rolling hills. _______________________________________________ Keywords : Redistribution, Land Reform and Reformation
PENDAHULUAN Jumlah penduduk Indonesia sudah mencapai ± 250 juta jiwa sehingga perlu mendapat perhatian secara seksama dan langkah antisipasi agar dapat meminimalisir hal-hal yang tidak diinginkan salah satu akibat pemerataan keadilan. Jumlah penduduk yang menghuni tanah air Indonesia ini masih belum dapat memenuhi hajadnya yaitu memiliki tanah secara permanen dengan hak yang melekat. Situasi pertanahan di Indonesia belum pernah membuat orang bisa tidur nyenyak, kepastian hukum masih sering dilanggar dengan tidak memandang kelas sosial di tengah masyarakat. Penyerobotan, penggusuran dan penelantaran tanah yang produktif untuk tujuan spekulatif masih sering terjadi. Pada
tatanan makro, hukum yang berlaku masih memihak kepada para pemodal besar. Kondisi seperti ini sampai sekarang masih tumbuh dan cenderung berkembang seiring pertumbuhan penduduk dan terbatasnya tanah pertanian. Tanah pada umumnya dan tanah pertanian pada khususnya merupakan bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupan manusia. Selain tempat berpijak tanah juga menjadi lahan untuk berusaha karena tanah, orangpun bisa berkelahi serta dapat berujung pada kematian. Kondisi riil di masyarakat seperti ini harus diantisipasi dan perlu tindakan yang tegas. Di samping itu masyarakat perlu kepastian hukum serta ketenangan secara psikologis karena sebagian besar masyarakat Indonesia hidup di bawah kemiskinan. 51
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
Kemiskinan ini ada karena setiap keluarga tidak lagi mempunyai lahan atau tanah untuk tempat tinggal apalagi untuk mata pencaharian. Kondisi ini tersebar di seluruh wilayah Indonesia dengan beragam status tanah dan luas tanah ini merupakan keinginan dan harapan semua warga yang belum mempunyai tanah atau lahan sehingga untuk memperoleh kedua hal tersebut sangat sulit dengan kondisi seperti sekarang ini. Akhirakhir ini konflik tanah mengalami eskalasi dan memiliki dimensi baru. Situasi seperti ini harus dicermati dan hati-hati dalam penanganannya. Setiap warga menginginkan ada kepastian hukum dan hak dalam hidupnya sehingga penetapan luas dan kepemilikan merupakan harga mati yang harus diperoleh setiap warga negara. Hak ini logis dan wajar apabila dikaitkan dengan Pasal 33 UUD 1945. Indonesia diwarisi administrasi yang sangat lemah selama dijajah Belanda, namun tak lama kemudian dijajah Inggris yang ada warisan dari Inggris yang melakukan administrasi tanah dimana hal ini tidak pernah dilakukan oleh Belanda. Belanda yang menjajah selama 3,5 abad juga menerapkan politik tanam paksa, dimana tanah-tanah rakyat dirampas untuk dijadikan perkebunan. Setelah merdeka tanah-tanah itu tetap dikuasai negara, akhirnya daerah di sekitar perkebunan selalu memperlihatkan wajah kemiskinan karena rakyat tidak memiliki tanah untuk penghidupan. Keprihatinan ini terus berlangsung hingga kini salah satunya ditandai sebagian besar petani ”Gurem” semakin banyak
yang tidak memiliki tanah apalagi tanah dengan luas minimum pun semakin jauh dari harapan. Tanah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan manusia, selain sebagai tempat berpijak, tanah (pertanian) juga menjadi lahan untuk berusaha dan bercocok tanam. Tanah pertanian di Indonesia menjadi salah satu lahan untuk mata pencaharian bertani. Bertani masih menjadi salah satu primadona untuk mendatangkan penghasilan sehingga wajar kalau setiap warga menuntut adanya hak untuk memperoleh pemilikan dan penguasaan tanah yang proporsional sesuai ketentuan yang berlaku di wilayah kesatuan Republik Indonesia. Saat ini pembagian tanah atau lahan baik itu untuk pertanian maupun tanah-tanah non pertanian dengan tingkat kepadatan penduduk tidak lagi sesuai, bahkan cenderung dimonopoli oleh sekelompok orang yang mempunyai status sosial yang tinggi dan mempunyai ”power” di lembaga pemerintahan maupun swasta. Kaum fakir miskin yang selama ini hanya bermimpi untuk memiliki tanah masih jauh dari harapan. Harapan kaum dengan status sosial di bawah standar minimal ini masih menunggu dari penentu kebijakan agar cepat terealisir sesuai UUD 1945 dan UUPA No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Beberapa gambaran tentang kondisi rakyat pada umumnya, para petani yang sampai saat ini hanya bisa gelisah, kecewa, berduka dan pada akhirnya pasrah yang tidak pernah dikehendaki oleh masyarakat 52
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
tersebut di atas, maka ada satu masalah yang perlu diangkat dan dicarikan jalan ke luar yaitu : bagaimana pembagian tanah pertanian berdasarkan Pasal 8 Undang-Undang No. 56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian ?. Hal ini menarik untuk diteliti mengingat perjalanan Undang-Undang Pokok Agraria sudah mendekati setengan abad. Penelitian ini dilakukan mempunyai tujuan yang mulia, mengingat berdasarkan pengamatan masih banyak rakyat Indonesia yang belum mendapat pembagian tanah yang sesuai peraturan perundangundangan, apalagi dikaitkan kondisi riil saat ini. Adapun tujuan penelitian ini dilakukan kalau dikaitkan dengan masalah ada ini adalah : 1. Untuk menentukan berapa warga/rakyat memperoleh pembagian tanah pertanian dengan kondisi riil saat ini. 2. Untuk menentukan pola yang tepat dengan tingkat kepadatan penduduk, luas lahan dan hak yang melekat pada rakyat. 3. Untuk memberikan kontribusi positif kepada pemerintah daerah atau instansi terkait. Berpijak pada tujuan penelitian yang dilaksanakan maka ada beberapa manfaat penelitian ini adalah : 1. untuk memberikan rasa aman secara lahir, bathin dan spikologis bagi rakyat yang belum memiliki tanah pertanian baik rakyat yang berada di kota, maupun yang berada di desa dengan penduduk padat dan tidak padat. 2. untuk memberikan kepastian hukum bagi para petani yang sudah memiliki tanah
garapan/sawah produktif yang dijamin oleh kepemilikannya tanah garapannya.
agar tanah dimiliki tetap hukum atas maupun luas
Tujuan Tata Guna menurut Peraturan Pemerintah Penatagunaan Tanah Peraturan Pemerintah No. 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, tidak menggunakan istilah tata guna tanah, namun menggunakan istilah penatagunaan tanah. Tujuan Penatagunaan Tanah adalah untuk : a. mengatur penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah bagi berbagai kebutuhan kegiatan pembangunan yang sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah; b. mewujudkan penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah agar sesuai dengan arahan fungsi kawasan dalam Rencana Tatah Ruang Wilayah; c. mewujudkan tertib pertanahan yang meliputi penguasaan, penggunaan dan pemanfaatan tanah termasuk pemeliharaan tanah serta pengendalian pemanfaatan tanah; d. menjamin kepastian hukum untuk menguasai, menggunakan dan memanfaatkan tanah bagi masyarakat yang mempunyai hubungan hukum dengan tanah sesuai dengan Rencana Tata Ruang Wilayah yang telah ditetapkan. (F.X.Sumarjo, 2008:32) Dalam literatur hukum agraria, asas tata guna tanah biasanya dibedakan dalam 2 kelompok yaitu asas guna tanah untuk daerah pedesaan (rural land use planning) dan daerah perkotaan (urban land 53
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
use planning). Adanya perbedaan asas antara daerah pedesaan dan perkotaan disebabkan adanya perbedaan mengenai titik berat penggunaan tanah antara keduanya. Penggunaan tanah di daerah pedesaan lebih dititikberatkan pada usaha pertanian. Akan tetapi jika dilihat dari tingkat kepadatan penduduknya, maka kota lebih padat dibanding desa. Atas dasar faktor-faktor diatas, maka asas tata guna tanah untuk daerah pedesaan adalah lestari, optimal, serasi dan aman, tertib, lancar dan sehat (ATLAS).(Sri Sayekti :2004). Asas Tata Guna Tanah Asas tata guna tanah pedesaan yang pertama adalah lestari, yang dimaksud asas lestari bahwa tanah harus dimanfaatkan dan digunakan untuk jangka waktu yang lama, dengan tetap terpeliharanya tatanan fisik tanah dan kesuburan tanahnya. Dengan memperhatikan asas ini, maka dampak positif yang akan diperoleh adalah: penghematan dalam penggunaan tanah, dan pewarisan sumber daya tanah dalam keadaan baik kepada generasi mendatang Karena tanah adalah Karunia maka tanah tidak hanya milik masyarakat sekarang saja, tetapi tanah milik dari masyarakat dulu, masyarakat sekarang dan masyarakat yang masih akan lahir. The land belongs to agreat family of which many members are dead, some are living and the larger number still to be born. Asas optimal pemanfaatan tanah harus mendatangkan hasil atau
keuntungan ekonomis yang setinggitingginya. Faktor penting dalam asas optimal adalah kesesuaian antara kemampuan fisik tanah dengan jenis kegiatan yang akan dilaksanakan. Asas serasi dan seimbang adalah suatu ruang atas tanah harus dapat menampung berbagai macam kepentingan baik perseorangan, masyarakat maupun negara, sehingga dapat dihindari adanya pertentangan atau konflik dalam penggunaan tanah. Asas Tata Guna Tanah Menurut Undang-Undang Penataan Ruang Asas penataan ruang (yang di dalamnya memuat asas tata guna tanah) yang diatur di dalam Pasal 2 Undang-Undang Penataan Ruang. Pasal 2 Undang-Undang tersebut mengatur secara tegas bahwa yang menjadi asas penataan ruang adalah : 1. pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu, berdaya guna, dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan;dan 2. keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Semua kepentingan dimaksudkan bahwa penataan ruang dapat menjamin seluruh kepentingan, yakni kepentingan pemerintah dan masyarakat secara adil dengan memperhatikan golongan masyarakat lemah. (penjelasan Pasal 2 UUPR). Asas Tata Guna Tanah Menurut Peraturan Pemerintah Penatagunaan Tanah Menurut Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2004 tentang Penatagunaan Tanah, bahwa 54
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
asas penatagunaan tanah adalah keterpaduan, berdayaguna dan berhasilguna, serasi selaras, seimbang, berkelanjutan, keterbukaan, persamaan, keadilan dan perlindungan hukum. Jika diperhatikan secara seksama maka antara asas tata guna tanah baik menurut literatur, undangundang penataan ruang maupun peraturan pemerintah tentang penatagunaan tanah adalah sejalan dan tidak ada yang saling bertentangan, meskipun tidak sama. Saat ini kecenderungan ini sudah banyak muncul problematika tanahtanah pertanian yang produktif dialihfungsikan (dikeringkan) untuk fungsi yang bukan sebenarnya peruntukannya.
berdasarkan luas tanah dan harga tanah. Teori tersebut di atas ternyata diadopsi dan telah dituangkan dalam Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, khususnya dalam Pasal 7 yang mengatur bahwa pada dasarnya pembiayaan kondolidasi tanah ditanggung para peserta konsolidasi tanah, melalui sumbangan berupa tanah dan atau berupa uang maupun dalam bentuk-bentuk sumbangan lainnya. Besarnya sumbangan tersebut ditetapkan berdasar-kan kesepakatan seluruh peserta konsolidasi tanah (Sumarja,2004).
Bentuk Peran Serta Masyarakat dalam Konsolidasi
Selain bentuk peran serta masyarakat dalam konsolidasi tanah, dalam teori konsolidasi tanah terdapat dua macam konsolidasi tanah dilihat dari sifatnya yaitu: Konsolidasi tanah secara sukarela. Konsolidasi semacam ini dapat dilaksanakan jika ada persetujuan dari seluruh atau sebagian besar pemilik tanah di wilayah yang akan di konsolidasikan. Konsolidasi tanah secara wajib. Cara ini dilaksanakan dengan dasar ikatan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk itu (Direktorat Landreform Dirjen Agraria Depdagri, 1985).
Teori pelaksanaan konsolidasi tanah cara penghitungan iuran peran serta (partisipasi) dari pemilik tanah ada tiga bentuk : 1. Iuran peran serta masyarakat berdasarkan penghitungan luas tanah. Maksudnyabahwa konsoliadasi ini iuran peran serta rakyat untuk prasarana umum maupun biaya pelaksanaan konsolidasi ditanggung oleh rakyat secara proporsional (berdasarkan persentase tertentu dari luas pemilikan tanah yang bersangkutan).SuratIzin Menggunakan Tanah (SIMT) sebagai tanda bukti hak sebelum diterbitkan sertifikat. 2. Iuran peran serta masyarakat berdasarkan perhitungan luas tanah dan harga tanah. Maksudnya iuran peran serta rakyat campuran, boleh
Sifat Konsolidasi Tanah
Tujuan dan Sasaran Konsolidasi Tanah Buku konsolidasi tanah perkotaan yang diterbitkan Direktorat Landreform Dirjen Agraria Depdagri tahun 1985, tujuan konsolidasi tanah adalah :
55 Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
1. memenuhi kebutuhan akan adanya lingkungan pemukiman yang teratur 2. mempercepat pembangunan pemukiman 3. menghemat pengeluaran dana pemerintah untuk kepentingan biaya pembangunan lingkungan pemukiman yang ditata, seperti biaya ganti rugi tanah, biaya pembangunan prasarana, biaya operasional dan sebagainya. 4. Mengobati penyakit karena adanya pembnagunan secara konvensional (misalnya pembangunan pemukiman secara alami yang dilaksanakan rakyat tanpa suatu perencanaan, pengadaan sarana/prasarana umum dengan pembebasan tanah) 5. Mengusahakan dan meningkatkan adanya pemerataan penikmatan dan keuntungan, agar keuntungan sebagai akibat pembangunan wilayah pemukiman dapat dinikmati langsung oleh pemilik tanah. Menurut Peraturan Kepala BPN No.4 Tahun 1991 tentang Konsolidasi Tanah, tujuan konsolidasi tanah adalah untuk mencapai pemanfaatan tanah secara optimal melalui peningkatan efesiensi dan produktifitas penggunaan tanah. Konsolidasi Tanah Perkotaan terbitan Direktorat Landreform Dirjen Agraria Depdagri Tahun1985. Arti Penting Reform
Gerakan
Land
Menyadari pentingnya gerakan land reform bagi perbaikan
kehidupan petani, maka PBB menganjurkan agar di negara-negara agraris land reform dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Berdasarkan uraian singkat di atas, maka jelas bahwa land reform memang sangat perlu bahkan mutlak dilaksanakan di Indonesia. Dengan demikian, upaya menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dapat direalisasikan secara wajar. (AP.Parlindungan: 1996) Tujuan Land Reform Secara umum land reform bertujuan untuk mempertinggi taraf hidup dan pengahsilan petani penggarap, serta sebagai landasan pembangunan ekonomi menuju masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila. Secara khusus land reform di Indonesia diarahkan agar dapat menggapai tiga aspek sekaligus, yaitu : (1) Tujuan sosial ekonomi a. Memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik serta memberi isi, fungsi pada hak milik. b. Memperbaiki produksi nasional khususnya sektor pertanian guna mempertinggi penghasilan dan taraf hidup rakyat (2) Tujuan sosial politik a. Mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas b. Mengadakan pembagian tanah yang adil sebagai sumber penghidupan rakyat petani agar ada pembagian hasil yang adil pula
56 Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
(3) Tujuan mental psikologis a. Meningkatkan gairah petani penggarap dengan cara memberikan kepastian hak kepemilikan tanah. b. Memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan penggarapnya. Sumber pengaturan soal keagrariaan (sumber UUPA). Dalam UUPA sendiri dimuat asas-asas dan ketentuan-ketentuan pokok land reform. untuk memudahkan pemahaman, tujuan dinyatakan dalam bentuk tabel sebagai berikut : Tujuan Land Reform
ketentuannya demikian, pasal ini dinamakan pasal ”anti tuan tanah”.(AP. Parlindungan : 1996) Pada mulanya undang-undang ini berbentuk Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) yang dikeluarkan oleh pemerintah pada tanggal 29 Desember 1960, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 1961. undang-undang ini memuat tiga hal, yaitu : 1. Penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian. 2. Penetapan luas minimum pemilikan tanah pertanian dan larangan melakukan perbuatan yang mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah itu menjadi bagian-bagian yang terlampau kecil. 3. Pengembalian dan penebusan tanah-tanah pertanian yang digadaikan. 2. Rincian Isi Pembatasan Tanah
Larangan Penguasaan Melampaui Batas
Tanah
1. Penetapan Batas Maksimum dan Minimum Program pertama dari seperangkat program land reform di Indonesia adalah larangan memiliki dan menguasai tanah pertanian yang melampaui batas. Dalam konsep land reform di Indonesia, larangan itu merupakan salah satu asas sebagaimana ketentuan yang tercantum dalam Pasal 7 UUPA : ”Untuk tidak merugikan kepentingan umum, maka pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan”. Karena
Dengan memperhatikan ketentuan dalam Pasal 7 dan Pasal 17 UUPA, Undang-Undang No. 56 Tahun 1960, maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut ini : 1. Agar tidak merugikan kepentingan umum 2. Larangan melampaui batas untuk semua hal yang dilarang itu bukan hanya pemilikan, melainkan juga penguasaan. 3. Ukuran batas maksimum adalah keluarga/badan hukum 4. Pengambilan tanah kelebihan dengan ganti kerugian 5. Tanah kelebihan dibagikan kepada petani
57 Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
6. Pembatasan tanah pertanian dan tanah bangunan 3. Pembedaan Tanah Pertanian dan Tanah Bangunan Untuk membedakan antara tanah pertanian dan tanah bangunan (perumahan) biasanya tidak sulit. Tanah pertanian adalah semua tanah yang dihaki orang selain untuk bangunan (perumahan). Termasuk tanah pertanian adalah semua tanah perkebunan, tambak untuk perikanan, tanah pengembalaan ternak, tanah belukar, ladang dan hutan. Batas Maksimum Pemilikan dan Penggunaan Tanah
2. Batas Minimum yang Ditetapkan Berdasarkan ketentuan Pasal 8 Undang-Undang No.56 Tahun 1960, penetapan batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian seluas 2 (dua) hektar untuk tanah sawah atau tanah pertanian kering. Apabila dihubungkan dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta jumlah penduduk hingga sekarang ini, batas minimum 2 (dua) hektar itu sudah tidak sesuai lagi. Banyak ahli yang mengusulkan melalui berbagai seminar agar batas minimum itu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata, misalnya untuk pulau Jawa cukup 0,5 hektar saja. (Sri Sayekti: 2000) METODE PENELITIAN
Batas Minimum Pemilikan Tanah Pertanian 1. Maksud Pembatasan Dalam Pasal 17 UUPA ditentukan bahwa dalam rangka mewujudkan cita-cita sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA, selain ditentukan penetapan luas maksimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian, juga dikehendaki agar ada pengaturan luas minimum penguasaan tanah pertanian oleh seseorang atau keluarga.
Penelitian ini merupakan jenis penelitian normatif dan penelitian empiris. penelitian pada dasarnya ialah suatu usaha mencari data yang akan dipergunakan untuk memecahkan suatu masalah tertentu, mengkaji hipotesis, atau hanya sekedar ingin mengetahui apakah ada masalah atau tidak (Rianto Adi, 2004 : 50). Adapun data yang dicari, menurut sifatnya adalah data kuantitatif dan data kualitatif. Data kuantitatif merupakan data yang berbentuk angka, sebaliknya data kualitatif merupakan data yang tidak berbentuk angka tapi berupa deskripsi yang menggambarkan kualitas dari aktivitas, sistem maupun motivasi. Sumber data, dalam penelitian ini akan dibagi dua yaitu sumber data internal dan sumber data eksternal. Setelah data sudah dianggap lengkap, maka langkah selanjutnya 58
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
menentukan cara memperoleh data akan dibedakan dalam data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh langsung dari objek penelitian, sedang data sekunder merupakan data yang sudah dalam bentuk jadi (dokumen dan publikasi). Penelitian empiris perlu dilakukan agar didapat data berupa fakta dan kenyataan di masyarakat. Pendekatan secara filosofis perlu dilakukan dengan hatihati karena peneliti tidak boleh mengikuti arus pemikiran dan penafsiran emosional subjektif, tetapi harus benar-benar objektif. Lokasi penelitian ini dapat dibagi dalam 2(dua) lokasi utama masing-masing: Di kantor Badan Pertanahan Nasional Provinsi Lampung Dibeberapa kabupaten sebagai sampel, diantaranya Kota Bandar Lampung Kabupaten Lampung Selatan, Kabupaten Pesawaran, Kota Metro, Kabupaten Pringsewu. Kelima Kota/Kabupaten ini sebagai gambaran betapa cepatnya pengurangan lahan/sawah produktif yang satu dekade mengalami penyusutan yang cukup cepat. Gambaran kelima lokasi tersebut ada indikasi bahwa penguasaan dan pemilikan tanah sudah dikuasai oleh yang berpaham neoliberalisme atau paling tidak orang yang mampu secara ekonomi. Tahap berikutnya setelah data yang diperoleh lalu diinventarisir menurut klasifikasi dengan sistematik, setelah tahap ini dilaksanakan kemudian mengolah data atau analisis data dengan logika, interprestasi serta merumuskan preskripsi sehingga pada akhirnya sampai pada tahap pembahasan
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Wilayah Negara Kesatuan Indonesia (NKRI) dari Sabang sampai Merauke merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Hal ini juga ditunjukkan adanya bermacam-ragam penduduk/warga negara dengan karakter dan sosial ekonomi. Keadaan sosial ekonomi ini juga turut menentukan status sosial yang melekat pada masyarakat/penduduk Indonesia. Penduduk Indonesia sampai dengan Oktober 2009/Pasca Pemilihan Presiden) berjumlah ± 250 juta jiwa dengan status sosial yang berlainan. Kondisi riil masyarakat ini tidak lepas dari pertambahan penduduk yang tidak terkendali sehingga mengakibatkan angka ketergantungan juga semakin meningkat. Meningkatnya angka ketergantungan ini karena beban setiap kepala keluarga juga bertambah dengan tidak diimbangi lapangan kerja yang semakin berkurang. Berkurangnya lapangan kerja ini juga ditandai dengan semakin sempit dan berkurangnya lahan pertanian yang produktif. Secara umum berkurangnya tanah pertanian yang produktif hampir dialami di semua provinsi. Khusus di Propinsi Lampung berkurangnya tanah pertanian yang produktif ini sudah terjadi di beberapa Kabupaten/Kota. Kabupaten/ Kota yang sudah berkurang tanah produktif ini terdapat di : 1. Kota Bandar Lampung 2. Kabupaten Lampung Selatan 3. Kota Metro 59
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
4. Kabupaten Pesawaran 5. Kabupaten Tanggamus 6. Kabupaten Pringsewu Secara geografis Provinsi Lampung terletak pada 103 derajad 40’ sampai 105 Derajad 50’ Bujur Timur dan 6 derajad 45’ sampai 3 derajad 45’ Lintang Selatan dengan batas wilayah sebagai berikut : Disebelah Utara dengan Provinsi Sumatera Selatan dan Bengkulu/ Disebelah Selatan dengan Selat Sunda. Disebelah Timur dengan Laut Jawa. Disebelah Barat dengan Samudera Indonesia Secara demografi semestinya tidak terjadi lebih awal, karena luas wilayah di Propinsi Lampung cukup luas. Luas tanah di Provinsi Lampung secara statistik masih mempunyai lahan tidur 1.500 ha yang tersebar di seluruh Lampung. Pada tanggal 13 April 1998 Komandan (KOREM 043) Garuda Hitam Lampung telah membuka 100 ha lahan tidur di Padang Cermin, Lampung Selatan untuk dijadikan areal pertanian. Pembukaan lahan tidur ini mempunyai misi yang mulia, yaitu untuk mempekerjakan karyawan yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) melalui program padat karya. Kondisi yang menggembirakan tersebut di atas kontraproduktif dengan kondisi riil kehidupan para petani yang berada di 6 (enam) kota/kabupaten di atas. Kondisi tanah pertanian mengalami penurunan dari sisi kepemilikan dan dari sisi luas lahannya (tanah pertanian). Selama satu dekade terakhir sudah terasa hampir diseluruh wilayah yang berpenduduk padat, berkurangnya kepemilikan luas tanah
pertanian mengakibatkan penghasilan berkurang, tuntutan keluarga semakin meningkat. Realita ini terkadang menimbulkan banyak konflik antar keluarga, bahkan dapat berkembang yang lebih luas. Tanah pertanian merupakan tumpuan sebagian besar penduduk Indonesia termasuk pemerintah Indonesia yang masih mempunyai status penduduk yang agraris. Status ini tidak dapat dilepaskan dengan pepatah lama namun sakral ”Sadumuk Bathuk Sanyari Bumi”. Begitu sakralnya orang menempatkan posisi tanah dalam kehidupannya. Tanah merupakan harga diri yang akan dibela mati-matian dengan seluruh jiwa raga. Kesakralan itu kini hampir tak ada artinya ketika rakyat berhadapan dengan penguasa dan pengusaha, ketika memerlukan lahan, bahkan yang produktif untuk investasi, rakyat/warga harus minggir dan merelakan tanahnya dibeli/dikeringkan dan dialihfungsikan sehingga warga tidak lagi mempunyai tanah garapan ada juga yang berkurang pemilikan tanahnya. Berdasarkan sumber dari Lampung Dalam Angka, Biro Pusat Statistik (BPS) Provinsi Lampung, Tahun 2006 tuntutan masyarakat untuk mengembangkan strategis Provinsi Lampung serta dengan diundangkannya Undang-Undang No. 12 Tahun 1999 dimekarkan menjadi 14 Kabupaten/Kota. Luas Provinsi Lampung 3.528.835 Ha. Ke empat belas Kabupaten/Kota ini adalah : 1. Kabupaten Lampung Barat 2. Kabupaten Tanggamus 3. Kabupaten Lampung Selatan 4. Kabupaten Lampung Timur 5. Kabupaten Lampung Tengah 60
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
6. Kabupaten Lampung Utara 7. Kabupaten Way Kanan 8. Kabupaten Tulang Bawang 9. Kota Bandar Lampung 10. Kota Metro 11. Kabupaten Pesawaran 12. Kabupaten Pringsewu Penelitian yang dilakukan secara acak ini menunjukkan, bahwa Kabupaten Lampung Selatan dengan luas lahan/sawah 58,141 Ha, sekarang sudah dimekarkan menjadi Kabupaten Tanggamus dan Kabupaten Pringsewu, praktis luas lahan/sawah produktif semakin berkurang termasuk luas area tiap kepala keluarga. Berdasarkan penelitian dan dikonfirmasikan dengan data BPS Provinsi Lampung dapat dirinci luas sawah/lahan produktif antara lain sebagai berikut : 1. Kabupaten Lampung Tengah luas lahan/sawah produktif mencapai 65,756 ha 2. Kota Metro hasil pemekaran dari Lampung Tengah dengan luas sawah/lahan produktif mencapai 2.795 ha secara empiris sudah berkurang dari tahun ke tahun. 3. Kota Bandar Lampunghanya memiliki luas sawah/lahan 1,021 ha yang tersebar di daerah pinggirin kota 4. Kabupaten Lampung Selatan luas lahan/sawah 58,141 ha, inipun sudah dimekarkan menjadi Pesawaran dan Kabupaten Pringsewu. Beberapa alasan yang muncul dan kalayak sudah mengetahui, bahwa terkikisnya, berkurangnya sawah/lahan ini disebabkan tuntutan kebutuhan keluarga. Berdasarkan pengamatan non partisipan ada sebab lain yang dapat dikemukakan, bahwa
sawah/lahan produktif banyak dialihfungsikan karena ; 1. Tenaga kerja banyak beralih ke lapangan industri/pabrik/perusahaan 2. Ingin meningkatkan status sosial (derajad sosial), anggapan sementara bertani tidak lagi menjajikan. 3. Diinvestasikan untuk masa depan/jangka panjang. 4. Tidak /belum memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang jelas Pencegahan Kepemilikan Tanah di Lahan Pertanian Jumlah penduduk Provinsi Lampung sudah mencapai lebih kurang 7,8 juta jiwa penguasaan tanah pertanian oleh masyarakat perkotaan di daerah Lampung banyak terjadi di masa orde baru maupun era reformasi. Pemerintah akan menghentikan dan mencegah arus penguasaan tanah dengan hak milik oleh orang-oranag yang bertempat tinggal di luar kecamatan.Hal ini harus disikapi dengan cepat agar di Provinsi Lampung tetap menjadi salah satu lumbung padi nasional. Kepala BPN/Menteri Negara Agraria pada tanggal 14 Mei 1999 pasca reformasi mengatakan ”Sekarang arus penguasaan tanah pertanian oleh orang-orang kota terjadi dengan deras”. Orang-orang ini bukan petani jelas bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan. Statement dan langkah ini harus ditindaklanjuti dengan menghentikan dan mencegah segera mungkin penguasaan tanah pertanian oleh orang yang tidak bertempat tinggal di kecamatan itu. 61
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
Langkah-langkah yang dapat diambil oleh pemerintah, khususnya pemerintah Provinsi Lampung adalah: a. membuat program b. .membentuk tim agar peraturan perundang-undangan segera disusun c. memasyarakatkan UUPA d. perlu adanya lembaga kajian keagrariaan Langkah-langkah lain untuk mencegah terjadinya pengeringan tanah pertanian (sebutan kaum petani) maupun pengurangan hak milik tanah pertanian yaitu dengan jalan ”mengagendakan pembaharuan agraria ”atau” agrarian reform”. Provinsi Lampung secara umum masih mempunyai beban untuk menyelesaikan 232 lebih kasus tanah yang belum selesai. Diakui bahwa penyelesaian berbagai kasus tanah memang membutuhkan kerja keras, diantaranya : Pertama, diatasi dulu sumber masalahnya. Selama ini permasalahan yang sudah terjadi dibetulkan. Semula ada 260 kasus tanah yang telah berhasil diselesaikan sebanyak 28 kasus. Kedua, menyerukan seluruh jajaran BPN baik pusat maupun daerah untuk memperbaharui sikap dan komitmen demi suksesnya implementasi peraturan dan kebijakan. Kasus-kasus disebagian Kabupaten Lampung Selatan (Natar), Kota Bandar Lampung, Pesawaran (Wates, Gedong Tataan), Kota Metro (Sumber Waringin) dan Pringsewu lebih didominasi karena tuntutan
kebutuhan keluarga yang semakin besar. Berkurangnya pemilikan atas tanah-tanah produktif perlu penanganan secara serius dan ekstra hati-hati. Keberpihakan Petani (K3P)
Kepada
Kaum
Sudah 49 tahun tahun usia Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 tepatnya 24 September 1960, namun selama kurun waktu itu pula persoalan sengketa, alihfungsi/pengeringan, tanah pertanian khususnya tidak kunjung reda. Dalam catatan statistik, kasus-kasus sengketa, pengeringan pertanahan dipengadilan formal menempati urutan pertama, bila dibandingkan dengan kasuskasus lainnya. Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadi konflik, alihfungsi tanah produktif antara lain keterbatasan persediaan tanah, Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang tidak jelas, ketimpangan struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi dan tidak sinkronnya antara unit terkait, kondisi ini terjadi secara vertikal dan horizontal peraturan perundangundangan yang ada kaitannya dengan tanah. Berdasarkan pengamatan dan penilitian secara sample terdapat beberapa sudut pandang untuk menyikapi K3P ini yaitu ? Penegakkan Hukum Adat Satu gambaran di Kabupaten Pesawaran, Pringsewu dan Kota 62
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
Metro dari konteks peraturan perundang-undangan yang menyangkut masalah pertanahan yang produktif adalah dinegasikannya posisi hukum adat dalam tata hukum Indonesia Tata hukum Indonesia, hukum adat kurang mendapat tempat, kondisi ini telah menyebabkan terjadinya kontrakdiksi antara hukum agraria nasional yang lahir secara formal dengan hukum tanah adat yang masih dijalankan oleh suatu masyarakat adat tertentu. Hal ini dapat dilihat dalam konflik pertanahan yang muncul dewasa ini. Di satu sisi masyarakat masih tetap menggunakan hukum adat sebagai sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, akan tetapi dilain pihak hukum agraria nasional belum sepenuhnya mengakui validitas hukum adat tersebut. Bagaimana kebijakan hukum agararia nasional sehingga seolaholah terdapat kontradiktif antara sistem hukum tanah yang didasarkan pada hukum adat dengan sistem hukum tanah yang didasarkan pada UUPA (Republika 26 September 2002, hal 9). Keduanya dapat dijembatani melalui pendekatan yang didasarkan pada konsep-konsep hukum adat itu sendiri yang secara tegas bersumber pada nilai-nilai filosofis bangsa. Seharusnya strategis pembangunan hukum agraria nasional dapat menampung aspirasi masyarakat hukum adat, lahirnya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 merupakan suatu pertanda baik.(AP. Parlindungan 1991 : 5253).
Hukum Agraria adalah Hukum Adat Perlu dikemukakan bahwa jiwa dari UUPA ini benar-benar perlu digarisbawahi karena yang menentukan pada tingkat akhir kemana arah tujuan pengaturan permasalahan agraria, dari segi lain bahwa dengan didasarkan UUPA kepada hukum adat, maka satu sama lain akan kait-mengkait. Hukum adat memberikan jiwa kepada UUPA sedang UUPA memberikan hak legitimasi kepada hukum adat (Pasal 3) sebagaimana diisyaratkan Pasal 5 UUPA. Pasal 5 berbunyi : Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangaan dengan kepentingan nasional dan negara, yang berdasarkan atas persatuana bangsa dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturanperaturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama. Restraining factor ini instrinsik ada dalam hukum adat sendiri, hanya saja bedanya dalam negara kesatuan sekarang ini dimana hukum adat juga harus berorientasi kepada kepentingan nasional dan negara, hukum adat juga harus tunduk kepada hukum-hukum negara yang berlaku. Konsepsi hukum adat adalah komunilistis dalam artian memungkinkan penguasaan tanah oleh perorangan yang bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan (Sadji Suryanto,1996 : 3). Komunalistis menunjukkan adanya hak bersama atas tanah yang dalam 63
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
hukum adat dikenal dengan hak ulayat masyarakat hukum adat. Penertiban Tanah Absentee Penelitian ini dilakukan dibeberapa lokasi di samping sebagai pembanding juga merupakan sarana untuk mencari benang merah struktur pertanahan di Provinsi Lampung yang selama satu dekade terakhir sudah semakin berkurang lahan pertanian yang produktif. Tanahtanah produktif ini sebagian besar merupakan tanah absentee, artinya tanah pertanian yang terletak di luar kecamatan tempat tinggal pemiliknya. Pemilikan tanah secara absentee ini dilarang (Sri Sayekti, 2000 : 93). Larangan ini berkaitan dengan berlakunya asas tanah pertanian harus dikerjakan sendiri secara aktif oleh pemiliknya. Di masa revolusi atau pergantian kekuasaan, setelah masalah pengaturan tentang pemilikan adalah hal kedua yang menonjol. pola pemilikan kelompok dominan yang lama dipertanyakan, dan penguasa baru didorong untuk merumuskan kembali menurut pikiran-pikiran yang sedang populer. Landreform, adalah pengaturan kembali hak pemilikan di ”sektor masyarakat” yang sering diucapkan oleh pemerintah baru. Penelitian ini diharapkan dapat mengetahui model pengambilalihan tanah rakyat yang terjadi tanpa ketentuan hukum yang jelas. Kasuskasus di Jawa maupun di luar Jawa dibandingkan untuk mendapat pemahaman, bahwa bentuk pelanggaran dalam proses pengambilan tanah rakyat ”disesuaikan” menurut kondisi sosial masyarakat setempat.
Namun, keragaman kasus ini juga untuk menjelaskan, bahwa masalah pemilikan tanah harus dipikirkan kembali terutama oleh pemerintah di pusat. Pengambilalihan lahan di luar Jawa umumnya menggunakan argumen legalistik formal terhadap tanah yang sudah dimanfaatkan secara turun-temurun oleh komunitas lokal. Contoh di atas jelas menunjukkan bahwa RTRW pemerintah daerah tidak jelas dan tidak tegas sehingga kondisi tersebut tetap dibiarkan walaupun menorbankan masyarakat yang tidak mampu segala-galanya. Berhadapan dengan penduduk yang lebih sadar pasar dan politik, kesewenangan yang diterapkan pada penduduk di Jawa lebih luas sifatnya. Usaha mematikan resistensi rakyat menggunakan argumen legal, ideologis dan ancaman. Penduduk desa Mlangi, Boyolali, Jawa Tengah umumnya dipaksa menerima ganti rugi yang ditetapkan sepihak bagi tanah yang diambil untuk pembangunan waduk. Ini berarti bahwa kondisi petani dalam membuat perjanjian sangat lemah. Kasus pengambilalihan tanah di luar Jawa menunjukkan bahwa pengaturan tradisional kalah oleh pengaturan hak milik yang berdasarkan hukum formal. Hukum formal ini dikuasai oleh ”orang luar” dan segelintir aparat lokal di daerah. Lepas dari persoalan hukum formal itu sempurna atau tidak, adil atau tidak adil, masyarakat asli tidak siap dengan logika maupun struktur kelembagaannya. Meskipun dalam UUPA, hak tradisional diakui, di lapangan tidak 64
Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
banyak membantu. Jadi persoalan tidak selesai dengan keluarnya undang-undang, kalau tidak didukung oleh perpaduan institusi yang ada dalam masyarakat. Dalam pandangan masyarakat asli, konsep hak milik bukanlah perorangan, di mana ada tindakan exelusionary orang lain dalam pemanfaatannya. Dalam pandangan semacam itu tidaklah heran kalau tindakan untuk mendapatkan secarik kertas pemilikan pribadi dirasakan asing. Politik pemerintah yang mengendalikan dinamika politik di daerah telah mengurangi peran organisasi sosial yang tumbuh secara swadaya sebagai satu cara mencapai tujuan, baik itu formal atau informal. Akibatnya, penyaluran kepentingan rakyat tidak efektif. Penyuaraan kepentingan mereka sangat tergantung dari pihak ketiga yang memperhatikan nasib mereka, seperti DPRD, pres, organisasi sosial, intelektual, atau organisasi swadaya lainnya. Sedangkan ruang politik yang tersedia bagi pihak ketiga ini tidak jarang sempit. Dalam kondisi semacam ini, persoalan rakyat di daerah menjadi potensial sekali tertutupi, menyuburkan terjadinya patronase dalam ekonomi. Kalau pelanggaran ekonomi di kota besar cepat mendapat tanggapan, tidak demikian keadaannya di daearhdaerah. Sangat dikhawatirkan di daerah-daerah akan menjadi ”kantung terakhir” pembiayaan pembangunan masyarakat kota-kota di Jawa dan perambahan penguasaan ekonomi. Hak pemilikan mendefinisikan dimana kedudukan si pemilik atau pengguna dalam kegiatan ekonomi, atau bahkan dalam tujuan
berdasarkan gagasan keadilan yang ingin ditampilkan. Oleh karena itu perumusannya adalah bagian dari kesepakatan kita tentang ”kemakmuran untuk semua”. Pelaksanaannya dengan melihat kondisi masyarakat di mana rumusan itu ditetapkan. Jika tidak, kekuasaanlah yang bermain (power game). Pemerintah bersama DPRD atau lainnya harus merumuskan persoalan mendasar ini untuk mencegah proses pemiskinan. (Kompas, 10 Maret 1994) Sudah saatnya Pemerintah Provinsi Lampung harus mengambil tindakan tegas sehingga petani berdasi di Lampung tidak merajalela untuk menguasai dan memiliki tanah absentee yang produktif. Secara teoritis Pasal 10 UUPA sudah cukup tegas, bahwa tanah pertanian harus dikerjakan sendiri, walaupun dengan melibatkan tenaga buruh tani sehingga pendapatan juga bertambah SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Provinsi Lampung sebagai Indonesia mini dan dilintasan yang strategis sangat kompleks problem yang dihadapi, baik secara politis maupun ekonomis, kompleksnya masalah yang dihadapi termasuk di dalamnya di bidang tanah pertanian dengan kondisi yang tidak terstruktur lagi. Penelitian ini berusaha mengungkap banyaknya luas lahan pertanian yang produktif sudah mulai terkikis oleh sebagian kecil personil yang mempunyai berbagai macam kemampuan diantaranya kemampuan ekonomi.
65 Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
Berdasarkan masalah yang diangkat, yaitu bagaimana pembagian tanah pertanian apabila dikaitkan dengan Pasal 8 UndangUndang No.56 Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian dan berdasarkan penelusuran dibeberapa lokasi penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
Gambar di atas menunjukkan bahwa pemilikan tanah basah/sawah dan tanah kering tidak sesuai lagi dengan kondisi riil di tengah-tengah masyarakat, khususnya di Provinsi Lampung khususnya masyarakat Indonesia apalagi di Pulau Jawa pada umumnya. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dan masalah yang diangkat, maka: 1. Penetapan batas minimum pemilikan dan penguasaan tanah pertanian tidak lagi sesuai dengan realitas di masyarakat. 2. Hasil pengamatan baik di Provinsi Lampung dan di Provinsi lain di luar Provinsi Lampung seorang kepala keluarga tidak lagi memiliki 2 ha untuk tanah sawah atau tanah pertanian kering, sehingga batas minimum 2 ha itu tidak sesuai lagi dengan perkembangan penduduk hingga sekarang ini. 3. Batas-batas minimum pemilikan tanah tersebut di atas perlu ditinjau kembali dan disesuaikan dengan kebutuhan nyata, misal
untuk pulau Jawa cukup 0,5 ha sedang di luar pulau Jawa 1,00 ha atau disesuaikan dengan kepadatan penduduk, Saran Sebagai rangkaian dari penelitian ini akan disajikan beberapa saran, baik kepada dinas terkait maupun kepada Universitas Sang Bumi Ruwa Jurai sebagai pemangku kepentingan, yaitu : 1. Agar disiapkan rancangan undang-undang pembatasan pemilikan dan larangan penelantaran tanah. 2. Agar pemerintah pusat dan daerah menertibkan tanah-tanah absentee. 3. Agar pemerintah pusat dan daerah mengembalikan lahan frekuensi ke publik 4. Agar pemerintah daerah, mempersiapkan peraturan tentang tata ruang yang jelas. 5. Agar Pemerintah Provinsi Lampung mengadakan reformasi pelayanan BPN. 6. Agar Pemerintah Provinsi Lampung dalam hal ini BPN harus berani menegakkan ”Law enforcement”. DAFTAR PUSTAKA Harsono, Boedi, 2000, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan. Muhammad Farouk, dkk, 2005, Metodologi Penelitian Sosial (Edisi Revisi), PTIK Press Jakarta.
66 Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012
Sariman BS: Kajian Penetapan Batas Minimum Pemilikkan Dan Penguasaan Tanah Pertanian
Parlindungan A.P. 1990, Landreform Di Indonesia, Alumni Bandung. Rianti Adi, 2004, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum, Granit, Jakarta. Sri Sayekti, 2000, Hukum Agraria Nasional, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Sumarja F.X., 2008, Hukum Tata Guna Tanah Di Indonesia, Universitas Lampung, Bandar Lampung. Wantjik Saleh K, Cetakan Keempat, Hak Anda Atas Tanah, Ghalia Indonesia. Wiranatha, I Gede A.B, 2009, Revitalisasi dan Reorientasi Nilai-Nilai Atas Tanah sebagai Objek Investasi Dalam Pembangunan Hukum Ekonomi Di Era Global, Orasi Ilmiah Pengukuhan Guru Besar Tetap pada Fakultas Hukum Universitas Lampung, 10 Mei 2009, Unila 2009.
Undang-Undang Agraria dan Peraturan Lain Yang Berkaitan dengan Pertanian, September 1997, Sinar Grafika. Ketentuan Petunjuk Pelaksanaan Peraturan Pemerintah tentang Pendaftaran Tanah, CV Laksana Mandiri, Jakarta, 1998. Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1997 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 1997 (Pendaftaran Tanah), BPN, Jakarta 1997. Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI), 2006, Kedudukan Hak Ulayat Dalam System Hukum Tanah Nasional, Varia Peradilan Tahun ke XXI No.245 Lampung Dalam Angka, 2006, Biro Pusat Statistik Lampung. Surat Kabar Harian Kompas, 2002 Surat Kabar Harian Republika, 2006 Surat Kabar Harian Lampung Post, 2002
67 Jurnal Ilmu Hukum, Vol.1, No.1, (51-67), Januari 2012