I. PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Secara tradisional masyarakat Minang hidup berkelompok dalam suatu
ikatan genealogis dan teritorial yang otonom dengan pemerintahan kolektif berdasarkan hukum adat dalam sebuah sistem pemerintahan yang disebut nagari. Keberadaan pemerintahan nagari praktis hilang secara de jure dari Sumatera Barat sejak di berlakukannya UU No.5 tahun 1979 mengenai bentuk pemerintahan terendah yaitu desa. Pelaksanaan UU No.5 tahun 1979 ini efektif diberlakukan di Sumatera Barat pada tahun 1983. Pada saat itu 543 nagari dihapuskan dan jorong/dusun ditingkatkan statusnya menjadi desa sehingga jumlahnya menjadi 3516 desa. Melalui SK Gubernur No 347/GSB/1984 maka nagari kemudian hanya menjadi kesatuan masyarakat hukum adat setelah sebelumnya juga merupakan kesatuan pemerintahan terendah. Pengaturan mengenai urusan adat diserahkan kepada Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang merupakan kumpulan niniak mamak, cadiak pandai dan alim ulama (tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan) dalam nagari tersebut. Jadi, walaupun selama pemerintahan desa, nagari seolah-olah tidak ada, namun secara de facto, pemerintahan nagari masih berjalan, namun hanya mengurusi masalah yang berkaitan dengan kegiatan adat-istiadat. Ini disebabkan pemerintahan desa tidak bisa menggantikan fungsi informal dari pemerintahan nagari. Dengan demikian, pada masa tersebut terjadi pemisahan yang tajam antara unsur adat dengan unsur administrasi pemerintahan. Banyak diantara desa-desa tersebut yang sebenarnya tidak memenuhi kriteria sebagai sebuah pemerintahan desa, diantaranya adalah jumlah penduduk yang terlalu sedikit yaitu kurang dari 1000 jiwa, bahkan terdapat desa yang penduduknya hanya sekitar 500 jiwa. Keadaan ini membuat pemerintahan desa tidak berjalan efektif. Hal ini terjadi karena desa itu hanyalah berawal dari sebuah jorong/dusun (Syahmunir, 2006). Selanjutnya untuk meningkatkan fungsi dan peranan Pemerintah Desa, maka Pemda Sumatera Barat mengeluarkan Instruksi Gubernur No.11 tahun 1988 (mengikuti Permendagri No. 4 tahun 1981) tentang petunjuk penataan kembali wilayah administrasi desa. Sehubungan dengan Penataan Wilayah Desa (PWD)
ini (yang dilaksanakan secara bertahap) diperoleh data bahwa sampai tahap III jumlah desa telah berkurang menjadi 2059 desa dan bahkan pada tahap IV tahun 1993, bahkan terdapat 93 desa yang kembali ke wilayah nagari lama. Meskipun telah dilakukan upaya penataan pemerintahan desa, namun itu belum mampu menjawab permasalahan atau memenuhi tuntutan masyarakat. Persoalannya bukan hanya pada luas wilayah dan jumlah penduduk, akan tetapi terletak pada sistem pemerintahan yang tidak berakar pada sistem sosial budaya masyarakat (Syahmunir, 2006). Jatuhnya rezim pemerintahan orde baru telah membawa perubahan dari sistem pemerintah sentralistik menjadi desentralistik. Pemerintah kemudian mengeluarkan UU No. 22 tahun 1999 yang memberikan peluang bagi dihidupkannya kembali bentuk pemerintahan terendah asli jika masyarakat setempat menginginkannya. UU No. 22/1999 ini selanjutnya disempurnakan oleh UU No. 32/2004, menurut Dharmawan (2008) secara eksplisit dan implisit hendak mengedepankan cita-cita penegakan prinsi-prinsip demokratisme (kesetaraan, kesejajaran, etika-egalitarian), keunggulan lokal komitmen pada rule of the game yang telah disepakati, apresiasi terhadap keberagaman, prinsip buttom up, desentralisme administratif yang elegan dan berwibawa di tingkat lokal serta berkemampuan mengatasi persoalan riil di lapangan. Salah satu dari good governance principle, yaitu control of power yang diwujudkan secara operasional dalam prinsip transparansi ketata-pemerintahan dan akuntabilitas (pengelolaan keuangan) publik juga menjadi salah satu ciri utama UU tersebut. Desentralisasi, yang diimplementasikan dengan pemberian otonomi kepada daerah, memungkinkan adanya proses pemberdayaan masyarakat karena tersedianya ruang untuk
berpartisipasi
dan
menentukan sendiri
model
pembangunan bedasarkan kebutuhan lokal. Menerapan desentralisasi tentu saja menuntut adanya reorganisasi dari struktur pemerintahan lokal. Hal ini direspon oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Barat dengan mengelurkan Perda No. 9/2000 yang kemudian disempurnakan dengan Perda No. 2/2007. Proses kembali ke nagari ini dilaksanakan secara bertahap, hingga tahun 2006 telah terbentuk 519 pemerintahan nagari (Tabel 1).
Tabel 1. Jumlah nagari di Sumatera Barat No
Kabupaten/kota
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17
Agam 50 Kota Tanah Datar Solok (Kota) Solok (kabupaten) Solok Selatan Padang panjang Bukittinggi Padang Pesisir Selatan Padang Pariaman Sawah Lunto Sijunjung Darmas Raya Sawah Lunto Payakumbuh Pasaman Pasaman barat Total
Jumlah Nagari*
Jumlah Nagari**
73 70 75 1 82 4 5 13 36 65 58 5 7 49 543
81 76 75 74 12 37 46 46 21 32 19 519
Sumber: di olah dari arsip pemerintah daerah Sumatera Barat 2007 * nagari sebelum UU No 5/1979, ** nagari setelah UU No 22/1999
Dari data yang ada tampak bahwa dibeberapa kabupaten terdapat beberapa nagari baru. Ini mengindikasikan bahwa ketika nagari terpecah-pecah ke dalam bentuk pemerintahan desa, terdapat beberapa desa yang kemudian setelah diterapkan kebijakan kembali ke nagari tidak bergabung kembali dengan nagari asalnya. Untuk wilayah kota, saat ini tidak lagi terdapat nagari karena pemerintahan terendah telah berbentuk kelurahan. Dari keterangan di atas, dapat dibuat tipologi perubahan nagari sebagai berikut:
Desa
Nagari
Desa
Desa
Nagari
Gambar 1. Perubahan nagari Tipe 1 Tipe 1 menggambarkan perubahan sebuah nagari yang terpecah menjadi Desa beberapa desa (sesuai dengan jumlah jorongnya) akibat diberlakukannya UU No 5/1979, dengan diterapkannya PWD tahun 1993, desa-desa tersebut bergabung menjadi satu desa dan selanjutnya setelah diterapkan UU No 22/1999, kembali ke nagari semula. Perubahan ini relatif tidak ada masalah. Untuk Tipe 1 terdapat 93 kasus. Desa Nagari
Desa
Desa
Nagari
Gambar 2. Perubahan nagari Tipe 2 Tipe 2 menggambarkan perubahan sebuah nagari yang terpecah menjadi beberapa desa (sesuai dengan jumlah jorongnya) akibat diberlakukannya UU no 5/1979, dan selanjutnya setelah diterapkan UU no 22/1999, kembali ke nagari semula. Prosesnya lebih sulit dari tipe satu karena menyatukan daerah-daerah yang sebelumnya telah terpecah-pecah. Untuk Tipe 2 terdapat 366 kasus Desa Nagari Nagari
Desa
Nagari
Desa
Gambar 3. Perubahan nagari Tipe 3 Tipe 3 menggambarkan sebuah nagari yang pecah menjadi beberapa desa dan selanjutnya setelah UU No 22/1999 beberapa desa kembali ke nagari awal dan desa lainnya membentuk nagari sendiri.
Proses kembali ke nagari
menimbulkan konflik karena terdapat sebagian kelompok/wilayah yang tidak mau bergabung dengan nagari asal. Untuk Tipe 3 terdapat 30 kasus Setelah desa-desa bertansformasi menjadi nagari, maka permasalahan yang timbul kemudian, bentuk nagari seperti apa yang akan diterapkan kembali, apakah nagari asli dengan bentuk kepemimpinan kolektif ataukah nagari sebelum diterapkannya UU No.5 Tahun 1979, nagari berada di bawah pimpinan wali nagari.
Simarmata
(2006)
menyatakan
bahwa
pada
sebagian
orang
membayangkan bahwa kembali ke nagari berarti kembali ke pemerintahan adat atau mengembalikan nilai-nilai budaya dan adat Minangkabau. Pikiran ini tumbuh subur di kalangan rakyat dan pemangku adat serta sebagian akademisi dan aktivis Ornop.
Sementara
dari
kalangan
legislator
dan
pemerintahan
daerah
mengembangkan cara pandang yang lain. Pemerintahan nagari yang akan dihidupkan adalah yang bisa menjawab tantangan sekaligus modern. Sebuah nagari yang merupakan perpaduan antara kelembagaan tradisional dan organisasi modern. Nagari yang sejak tahun 1984 hanyalah sebuah kesatuan wilayah adat dan hanya mengurusi persoalan yang berkaitan dengan adat sekarang harus dimodernkan, karena ia juga mengurusi persoalan administrasi. Oleh sebab itu birokrasi modern harus diterapkan ke dalam struktur pemerintahan nagari. Castle L (1986) mengutip apa yang dikemukakan oleh Webber, bahwa birokrasi modern, bersifat rasional dan impersonal bagaikan mesin, falsafah dasar organisasinya untuk mencapai efisiensi dan efektifitas yang tinggi. 1.2. Perumusan Masalah Keberadaan nagari di Sumatera Barat seolah timbul tenggelam seiring dengan intervensi pemerintah mengenai kebijakan pemerintahan terendah. Perubahan dari nagari ke desa berdampak cukup besar bagi struktur masyarakatnya. Nagari dan desa sesungguhnya merupakan dua bentuk yang saling bertolak belakang. Pemerintahan nagari bercirikan egaliter, mandiri dan berorientasi pada masyarakat. Sementara desa adalah cermin dari pemerintahan yang feodalistis, sentralistis dan top down. Perubahan pemerintahan dari nagari ke desa tidak saja hanya sekedar perubahan nama, tetapi juga sistem, orientasi dan filosofinya. Sementara itu perubahan dari desa kembali ke nagari masih menemui kendala dalam mencari bentuk tepat. UU No. 22/1999, yang mengakhiri penyeragaman bentuk pemerintahan desa telah mendorong munculnya kebijakan untuk menghidupkan kembali bentuk-bentuk asli pemerintahan terendah di beberapa wlayah di Indonesia. Pemerintah Daerah Sumatera Barat sendiri mencoba untuk mensinergikan unsur adat dan birokrasi modern dalam satu kelembagaan formal yaitu pemerintahan nagari. Seperti yang diutarakan oleh Eko S (2005) nagari yang sekarang diharapkan mampu memadukan self-governing community (otonomi asli yang berbasis adat) dan local-self government (desentralisasi dari pemerintah). UU No. 32/2004 yang mengamanatkan diselenggarakannya desentralisasi, diwujudkan dengan pembagian kewenangan dan keuangan dari pemerintah supra-
nagari kepada nagari, yang kemudian nagari bertanggung jawab menggunakan kewenangan dan keuangan itu untuk meningkatkan pelayanan publik, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat, yang hasil akhirnya adalah kesejahteraan dan kemandirian anak-anak nagari. Ternyata di lapangan konsep tersebut tidak mudah untuk diimplementasikan. Peralihan dari desa ke nagari telah membuat masyarakat dalam nagari seolah berada dalam fase transisi. Proses penanaman pemahaman akan wewenang dan tanggung jawab diantara lembagalembaga dalam nagari berjalan lambat, karena disaat yang sama sebagian elite lokal masih berpikiran akan model nagari yang lama sementara sebagian yang lain berpatokan pada pembagian kewenangan berdasarkan peraturan formal. Seperti pendapat yang diutarakan oleh Dharmawan (2008), sekalipun UU No. 32/2004 mengapresiasi keberadaan tata aturan adat (pasal 203 dan pasal 216), namun
otoritas
adat
dengan
sistem
tata-pemerintahan
asli,
sulit
beradaptasi/menyelaraskan dengan keberadaan sistem pemerintahan formal dalam konsep desa. Alhasil dalam merespon peluang desentralisasi atau otonomi lokalitas (desa/nagari) yang ditawarkan oleh negara melalu platform UU No. 32/2004, otoritas adat seringkali berbenturan secara kelembagaan dengan otoritas formal (pemerintahan desa/nagari) yang legitimate menurut hukum positif kenegaraan. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Nurrochmat dan Purwandari (2006), mereka menemukan bahwa tata pemerintahan asli ternyata dapat berdampingan dengan dengan sistem pemerintahan formal. Ini seperti yang terjadi di Bali pemerintahan
terendah
memiliki
dua
kelembagaan
formal
yang
dapat
berkoordinasi secara efektif yaitu desa adat yang bernama “pakraman” (mengurusi masalah adat) dan desa dinas atau “perbekel” (mengurusi masalah pemerintahan). Bentuk lain seperti yang terdapat di Aceh dan Papua, dalam pemerintahan terendahnya memiliki dua kelembagaan yaitu formal dan informal. Di Aceh, kelembagaan desa mengurusi masalah pemerintahan dan kelembagaan mukim mengurusi masalah sosial budaya. Sementara, di Papua terdapat kelembagaan kampung yang mengurusi masalah pemerintahan dan kelembagaan ondoafi yang mengurusi masalah adat. Di Sumatera Barat sendiri hanya terdapat
satu kelembagaan formal yaitu nagari yang mengurusi dua urusan yaitu kedinasan dan adat. Di sinilah letak permasalahannya, karena hanya terdapat satu kelembagaan formal saja yaitu nagari yang mengurusi masalah kedinasan dan adat, maka pemerintah harus merestrukturisasi pemerintahan nagari agar dapat menjalankan kedua fungsi tersebut. Unsur tradisional tetap dipertahankan agar dapat mengurusi urusan adat dan disisi lain birokrasi modern juga harus dikembangkan agar dapat menangani urusan kedinasan. Masuknya birokrasi modern ke dalam pemerintahan nagari, pada akhirnya menjadi salah satu sumber konflik.
Seperti yang ditulis oleh Sjofjan Thalib
(2006) (dalam Abna, 2008), kendala yang ditemui setelah kembali ke dalam pemerintahan nagari antara lain: terjadinya kesalahpahaman dalam memandang nagari sebagai masyarakat hukum adat teritorial saja, pada hal nagari adalah persekutuan hukum adat genealogis matrilineal teritorial; banyaknya lembaga kenagarian yang ditetapkan dalam perda-perda yang menyimpang dari struktur asli, sehingga diperlukan banyak dana dan tenaga untuk menjalankan tugas mereka; terjadinya kebingungan masyarakat nagari karena nagari sekarang yang ditata secara rinci melalui perda kabupaten dengan menerapkan prinsip trias politica yang tidak dikenal mereka sebagai nagari baru bentukan pemerintah atasan; serta telihat ekses adanya keberatan dari KAN untuk menyerahkan aset nagari kepada pemerintah nagari karena dianggap mendominasi kekuasaan mereka. Tumpang tindih peran dan tidak jelasnya fungsi masing-masing komponen dalam pemerintahan nagari, sebenarnya berpangkal dari Perda Sumatera Barat No. 9/2000 yang mengatur pembentukan lembaga-lembaga dalam nagari, yaitu: yang pertama terdapat lembaga Wali Nagari dan perangkatnya sebagai eksekutif yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan dalam nagari, selanjutnya lembaga Badan Perwakilan Anak Nagari (BPAN) yang menjalankan fungsi legislasi yaitu mengawasi pelaksanaan dari pelaksanaan peraturan-peraturan nagari dan lembaga Badan Musyawarah Adat dan Syarak Nagari (BMASN) yang tugasnya menyangkut urusan adat. Sementara itu juga terdapat lembaga nonstruktural yaitu Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang fungsinya tidak secara jelas diatur dalam
perda No. 9/2009 tapi secara tradisional mempunyai fungsi menyelesaikan sengketa “sako-pusako” (gelar dan harta warisan) dan hal-hal yang menyangkut urusan adat istiadat. Menurut Sayuti Dt Rajo Pangkulo (dalam Simarmata, 2006) ketiga lembaga ini anggotanya beririsan dan mempunyai tugas dan fungsi yang hampir mirip. Untuk membenahi tumpang tindih tugas dan fungsi lembaga – lembaga dalam pemerintahan nagari, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Barat mengeluarkan Perda No. 2/2007, dalam perda ini lembaga BPAN dan BMASN dihilangkan dan diganti dengan Badan Musyawarah Nagari (Bamus Nagari). Disebutkan bahwa tugas, wewenang, kewajiban dan hak Bamus Nagari diatur lebih lanjut dalam Peraturan Daerah Kabupaten/Kota (pasal 13). Sementara lembaga KAN tetap merupakan lembaga nonstruktural yang diakui yang fungsinya memelihara kelestarian adat serta menyelesaian perselisihan sako dan pusako (pasal 1 nomor 13). Ketika Perda No. 2/2007 ini diberlakukan secara otomatis Perda No. 9/2000 tidak berlaku lagi, hal ini membuat struktur pemerintahan dalam nagari kembali mengalami perombakan. Dari penjelasan tersebut dapat diduga bahwa perubahan-perubahan yang terjadi dalam pemerintahan nagari saat ini, selain berbentuk perubahan yang direncanakan atau disengaja (intended change) namun juga menimbulkan perubahan yang tidak direncanakan atau tidak disengaja (unintended change). Perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam nagari akibat implementasi kebijakan pemerintah sesungguhnya meliputi semua aspek sosial dan budaya dalam masyarakat, karena luasnya cakupan tersebut maka penelitian ini lebih difokuskan pada perubahan yang terjadi dalam struktur pemerintahan akibat perubahan sistem pemerintahan dari desa ke nagari. Dari uraian di atas, maka pertanyaan yang kemudian timbul dan dijawab melalui penelitian ini adalah bagaimana pemerintahan nagari saat ini dijalankan, apa yang membedakannya dengan bentuk pemerintahan desa, bagaimana peran yang dimainkan oleh masing-masing komponen dalam struktur pemerintahan nagari serta bagaimana konflik/potensi konflik yang berkembang akibat transformasi sistem pemerintahan dari desa ke nagari. 1.3.
Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka secara spesifik tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan dan menganalisa dinamika perubahan pemerintahan nagari ke pemerintahan desa dan kembali ke pemerintahan nagari dengan melihat peran yang dimainkan oleh masing-masing komponen dalam struktur pemerintahan nagari. 2. Menganalisa potensi konflik akibat transformasi sistem pemerintahan dari desa kembali ke nagari. 3. Memberikan masukan bagi pengaturan tata pemerintahan lokal di Provinsi Sumatera Barat. 1.4.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini dalam tataran teoritis diharapkan dapat memberikan
sumbangan bagi pengembangan ilmu pengetahuan terutama yang berkaitan dengan tata pemerintahan lokal. Pada tataran praktis, penelitian ini dimaksudkan sebagai wujud kritik terhadap kebijakan pemerintah. Selanjutnya informasi yang disajikan dalam penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai masukan bagi tata pemerintahaan lokal yang lebih baik di masa datang.