Telaah Buku Judul Buku Pengarang Penerjemah Tebal Ukuran Buku Penerbit
: : : : : :
Barthes Dan Imperium Tanda Peter Pericles Trifonas Sigit Djatmiko viii + 70 halaman 12 x 18 cm Jendela, Yogyakarta 2003
Kehidupan manusia tidak lepas dari tanda-tanda. Baik berupa peristiwa, benda-benda, huruf, warna, situasi, letak, maupun sikap, perilaku, dan ekspresi individu. Dalam kehidupan, tanda-tanda ini bisa berdiri sendiri-sendiri atau saling kait-mengkait membentuk sebuah konfigurasi tekstual atau pun visual yang mengandung pesan atau makna bagi setiap individu. Makna atau pesan yang terkandung dalam tandatanda itu sangat mempengaruhi setiap individu. Mempengaruhi dalam arti bisa begitu menggerakkan, menyemangati bahkan menindas orang lain. Dari sinilah kemudian lahir semiotika––ilmu tentang tanda-tanda. Semiotika mempelajari berbagai arti dari tanda-tanda, bagaimana arti tandatanda itu mengalami perkembangan, macam-macam tanda yang dipakai untuk mengkomunikasikan makna-makna tertentu, hubungan antar tandatanda yang dipakai untuk menyampaikan makna atau pesan dan pengaruhnya bagi perilaku manusia. Semiotika inilah yang digeluti kemudian dikembangkan oleh Ronald Barthes dalam karya-karyanya, khususnya dalam bukunya yang berjudul Imperium Tanda (L’empire Des Signes 1970). Lalu bagaimana Ronald Barthes menggeluti dan mengembangkan Semiotika tersebut? Peter Pericles Trifonas dalam bukunya Barthes dan Imperium Tanda membantu kita untuk mengenal posisi Ronald Barthes dalam dunia filsafat sekaIigus mengetahui gagasan-gagasan filosofisnya. Barthes dikenal sebagai tokoh terkemuka strukturalisme Perancis. Ia merupakan bagian dari generasi kritisi dan teoritisi Perancis yang tertarik dan menggeluti semiotika. Hal ini nampak dalam karya-karyanya yang berjudul Writing Degree Zero, Elements of Semiology, dan Mythologies. Namun dengan karya yang berjudul Empire of Signs, Barthes mengembangkan metode semiotikanya sehingga membuahkan kedudukan yang bergengsi dalam bidang semiotika sastra. Dan karyanya itu juga membuka datangnya era kritik sastra ‘post struktural’. Mythologies kiranya mewakili pemikiran Barthes tentang semiotika pada periode strukturalisme. Mythologies menyajikan penjelasan teoritis atas 100
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 1, Maret 2006
metode yang digunakannya untuk membaca sistem-sistem tanda dan produksi tekstualnya dalam media. Dalam periode ini, salah satu subyek yang dibahas Barthes adalah Man. Tujuannya adalah mengupas secara kritis wilayah produk-produk dan praktik-praktik budaya dan melancarkan suatu kritik ideologi terhadap apa yang disebut budaya massa serta menganalisis secara semiotik cara bekerjanya bahasa tersebut. Barthes mengambil contoh Man Panzini. Merk Panzini mengambil obyek-obyek visual seperti spaghetti, saus tomat, parutan keju, bawang, merica, dan tas dari tall. Apa yang ditampilkan secara visual dalam Man tersebut sebenarnya tidak berkaitan dengan kelompok etnis tertentu, namun dalam lingkup kuliner, bahan-bahan hidangan ‘spaghetti yang lengkap’ seperti yang nampak dalam iklan itu direpresentasikan sebagai sesuatu yang khas Itali dan memiliki kualitas unggul sehingga iklan itu sarat dengan anggapan-anggapan stereotipe yang laten. Pesan atau makna dari iklan tersebut menjadi konotatif karena unsur leksikal dan visualnya langsung berkaitan dengan etnis tertentu, Itali. Makna konotatif inilah yang oleh Barthes disebut ideologi. Dengan contoh ini, Barthes mau menunjukkan adanya kesalingtergantungan ideologis antara sistem leksikal, Panzini dengan tanda-tanda visual, spaghetti, saus tomat, parutan keju, bawang, merica dan tas dari tall, yang berada dalam teks yang sama, yakni iklan. ‘Ke-itali-an produk itu terletak pada hubungan dekat antara kata Panzini dan unsur visual yang ditampilkan untuk menciptakan pergeseran konotasi dari unsur leksikal menuju unsur visual. Dan hal ini menghasilkan penjangkaran dan pemancaran pesan. Konsep penjangkaran dan pemancaran pesan ini dipakai oleh Barthes untuk menganalisis kesalingtergantungan unsur leksikal dan unsur visual untuk menciptakan makna secara semiotis. Terhadap mitos, Barthes juga mempunyai pemikiran yang sepadan dengan iklan Panzini. Barthes menunjukkan bahwa mitos seringkali dijadikan sebagai norma-norma sosial melalui pesona-pesona retorisnya. Mythologies sebagai ‘kritik ideologi’ berupaya mengungkapkan dilema etis yang muncul karena mengabaikan mitos yang tidak terkaji sebagai substratum budaya dari apa yang dianggap alami dan nyata dalam kehidupan. Dan logika budaya yang dikembangkan melalui mitos itu berupaya mereduksi pelbagai perbedaan tafsir dan membatasi kelimpahan makna. Bahaya yang ditunjukkan oleh Barthes dalam mitos adalah penyalahgunaan ideologi. Menurut Barthes, mitos melahirkan ideologi karena mentransformasikan makna menjadi bentuk. Dimensi-dimensi ideoligis mitos itu menstrukturkan atau membingkai kerangka tanggapan kita terhadap tanda, teks clan representasi media dan terhadap sejarah. Namun Barthes juga menggagas dua tingkat tafsir terhadap mitos agar kita memperoleh pemahaman dan pemetaan makna yang mendorong kita untuk mengambil keputusan-keputusan nilai yang mengandung implikasi etis sehingga tidak mengulang-ulang tafsir yang sudah lazim. Dua tingkat tafsir terhadap mitos Telaah Buku
101
ini pertama untuk menerangi realitas dan kemudian untuk mempertajam realitas. Pada tingkat primer berisi sistem representasi faktual yang obyekobyeknya diacu oleh tanda. Barthes menyebutnya sebagai ‘wilayah penandaan’. Hal ini dimaksudkan untuk menjaga agar bentuk representasi tetap terpisah dari isi representasi. Sedangkan pada tingkat sekunder berisi sistem simbolik untuk menciptakan makna. Barthes menyebutnya sebagai ‘petanda kosong’ yang dimaksudkan untuk melahirkan makna di luar obyek-obyek atau praktik-praktik budaya. Dengan demikian, fakta-fakta empiris mendapatkan unsur metaforis atau simbolik. Sedangkan Empire of Sign mewakili pemikiran Barthes tentang semiotika pada periode post struktural. Dalam buku inilah Barthes mengembangkan semiotika berdasarkan apa yang diamatinya tentang Jepang. Jika pada periode struktural Barthes tertarik untuk mengungkap sistem-sistem tanda, pada periode post strukturalis ini Barthes berupaya untuk meruntuhkan dan menggusur sistem-sistem tanda itu. Karyanya ini ditandai oleh adanya pergeseran dari pemanfaatan unsur-unsur semiotika formal menuju kajian tentang fenomena praktik-praktik budaya dunia sebagai teks visual dan teks leksikal yang bisa dibaca. Pada periode ini, kuncinya adalah pembacaan baru yakni pembacaan demi pembacaan itu sendiri, bukan makna. Menurut Barthes, membaca adalah jalan untuk menyingkirkan kekuasaan makna teks atas si pembaca. Dengan kata lain, Barthes ingin menentang ideologi bentuk-bentuk representasional yang dipaksakan kepada pembaca yang terjerat di dalam struktur-struktur semiotik teks. Maka Barthes sampai pada kesimpulan bahwa yang bisa diharapkan oleh pembaca yang kritis hanyalah ‘kilasan-kilasan’ yang menerangi teks visual atau teks feksikal, namun tidak mengungkapkan apa-apa. Menarik bahwa mitos masih menempati posisi penting dalam pemikiran Barthes pada periode post struktural ini yang memungkinkan kita membaca serpihan-serpihan atau ‘kilasan-kilasan’ representasi budaya dan representasi atas budaya. Citra tentang Jepang yang ditampilkan Barthes dalam Empire of Signs diuraikan dengan gaya ekspresif, puitis dan reflektif. Tidak ada penerapan metode semiotika. Ia menghindari ideologi, mitos tentang Jepang. Ia tidak berusaha menerangi pembaca Empire of Signs dengan ‘kebenaran’ tentang kebudayaan Jepang. Maka bagi Barthes, tanda-tanda tentang Jepang adalah kosong belaka, tanpa makna referensial, sehingga yang ada hanyalah bentuk-bentuk representasi yang tidak sepenuhnya ia pahami. Tanda-tanda tentang Jepang hanyalah tanda-tanda dari sebuah imperium atau suatu imperium tanda-tanda. Dalam mengamati Jepang, Barthes harus menempatkan diri di dalam etnosentrisme dan kebutaan kultural dari lingkup makna yang diciptakan oleh citra Jepang di dalam bacaan Barat tentang Jepang. Apa yang diketahuinya tentang Jepang terbatas pada buku sejarah dan arsip Barat yang disebut ‘Jepang’. Pendeknya, Citra Jepangmitosnya-pada akhirnya adalah ciptaan Barat. Karena itu tak ada sesuatu 102
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 1, Maret 2006
pun di balik imperium tanda yang disebutnya sebagai Jepang sehingga Jepang dalam Empire of Signs harus disebut sebagai imperium tanda-tanda kosong. Pertanyaannya adalah mungkinkah menuliskan sejarah tentang budaya Jepang dengan mengabaikan mitologi Barat tentang Jepang? Barthes mengatakan bahwa pada akhirnya semua sejarah tak lain hanyalah sejarah makna, yakni sejarah rasio pada umumnya. Dengan pernyataan ini, Barthes mau mengatakan bahwa sejarah adalah teks, permukaan yang dipertajam, sekumpulan tanda. Sejarah tidak lagi mendokumentasikan ‘yang nyata’ melainkan menciptakan ‘yang bisa dipahami’. Sejarah sarat dengan perspektif budaya sang sejarahwan di dalam proses menafsir dan menuliskan sejarah. Teks dan citra sejarah, seperti halnya mitos, sepenuhnya disusupi oleh ideologi dan tehnik-tehnik retorik sang sejarahwan. Sejarah dijembatani oleh bahasa, karena itu memproduksi teks, namun tidak memungkinkan terjadinya representasi fakta. Seperti halnya mitos, masalah utama penulisan sejarah adalah masalah ideologi. Salah satu ide kunci dari Empire of Signs adalah pertautan erat antara ideologi dan makna. Ia mengakui bahwa dirinya tak bisa melepaskan diri dari pendidikan dan warisan Baratnya. Karena itu jawaban dan pertanyaan dia atas adalah sepertinya tidak mungkin. Namun Barthes mencoba dengan gagasan visualisasi budaya, misalnya memetakan ruang kota Tokyo, menunjukkan bentuk-bentuk tulisan, menggambarkan sikap orang-orang melalui sikap hormat dengan membungkuk akan memberikan kepada pembaca sejumlah gambaran singkat tentang kehidupan kultural Jepang. Orang mungkin mengatakan, ideologi ditelanjangi, makna denotasinya tidak tersembunyi karena bahasa visual menjangkarkan pesan atau maknyanya. Citra visual berbicara demi dirinya sendiri meski tidak secara lengkap. Cara ini dapat menciptakan rekaman spasial dan temporal tentang subyek yang digambarkan, foto menjadi bukti empiris dari eksistensi historis dan sekaligus artefak dari suatu momen yang telah lewat dan lenyap selamanya. Foto dan citra visual mengkontekstualisasikan perbedaan antara mitos Barat tentang Jepang dan Jepang sebagai lanskap bagi tanda-tanda kosong. Dalam hal ini Barthes menonjolkan apa yang dijelaskannya secara visual, memberi citra visual itu indeks pragmatis, dan menunjukkan bagaimana citra visual itu mengakar dalam realitas pelbagai bentuk, ruang dan praktik kultural. Namun hal itu tidaklah menciptakan gambaran tentang kebenaran. Bagaimanapun, pada akhirnya, proses tafsir atau penciptaan makna diserahkan kepada pembaca. Ideologi, seperti halnya kebudayaan dan subyektivitas mudah berubah-ubah. Dimensi-dimensinya berubah seiring dengan pengalaman. Selain mengulas budaya, Barthes dalam Empire of Signs juga membahas metode sejarah. Bagaimana bahasa, hukum logika, fakta dan tafsir berperan dalam metodologi sejarah, mengapa terdapat perbedaan mendasar antara disiplin sejarah dan praktiknya untuk menyejarahkan realitas. Barthes Telaah Buku
103
menunjukkan bahwa pada dasarnya wacana sejarah sepadan dengan wacana tiksi yang representasi clan penstrukturan eksposisinya merupakan ciri khas dari suatu realitas oneirik dari pada realitas aktual. Karena itu ia berani menulis tentang Jepang yang fiktif. Ia membeberkan kekosongan tanda-tanda dalam kaitannya dengan hakikat Jepang sebagai suatu kebudayaan. Baginya, subyek kehidupan ternyata adalah suatu obyek novelistic yang mengarahkan penyelidikannya secara langsung dalam proses pembacaan dan penulisan sermons atas kebudayaan Jepang. Barthes dengan Empire of Sign-nya menggugah kita untuk membaca, menggeluti secara kritis apa yang dekat dengan kehidupan kita, sejarah, budaya, simbol-simbol, kata, bahasa, sikap, perilaku kita dalam kehidupan. Memahami gagasan Barthes dalam Empire of Signs kiranya sangat relevan dengan situasi hidup kita. Bagaimana sejarah kita? Bagaimana budaya kita termasuk dengan mitos-mitos yang banyak dikonsumsi masyarakat kita? Bagaimana hukum kita? Jangan-jangan kita sudah terstuktur dalam bingkai ideologi yang ternyata menciptakan kesadaraan palsu atas realitas kita?
Dadang Ardianto Alumnus STFT Widya Sasana Malang Tahun 2004
104
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 1, Maret 2006