Inhibisi Replikasi Virus Rabies Melalui RNA Interference (RNAi) Vidya Irawan, DVM, M.Sc1 1
Post Graduate Student of Veterinary Science, Faculty of Veterinary Medicine, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Indonesia
.
Pendahuluan
Rabies merupakan penyakit zoonosis yang berbahaya dikarenakan dapat menyebabkan kematian pada hewan dan manusia. Rabies disebabkan oleh virus rabies yang tergolong dalam famili Rhabdoviridae dan genus Lyssavirus. Virus ini bersifat neutrotrofik dimana neuron merupakan target seluler utamanya dan infeksi virus ini bersifat fatal pada hewan berdarah panas (Kristensson et al., 1996). Di Indonesia, penyakit rabies dilaporkan pertama kali terjadi pada kuda di bekasi oleh Schorl tahun1884. Tahun 1889 Esser melaporkan kejadian rabies pada kerbau. Tahun 1980 Penning melaporkan kasus rabies pada anjing di Tangerang. Kemudian kasus pada manusia di Cirebon oleh de Haan tahun 1894 (Hadjosworo, 1984). Pada tahun 2000-2004, beberapa provinsi di Indonesia masih dinyatakan tertular rabies, yaitu Sumatra Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam (Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah I, 2000), Sumatera Barat, Riau, Jambi (Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah II, 2000); Bengkulu, Lampung, dan Sumatera Selatan (Marfiatiningsih dan Hassan, 2000), Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur (Hadi et al., 2003), Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara (Faizal et al., 2004), serta di Bali (Central for Disease Control, 2008). 1
Prevalensi rabies di Indonesia yang terus meningkat dan bersifat sebagai re-emerging disease diperlukan perhatian yang lebih baik dari segi penanganan dan kontrolnya. Kejadian rabies dimana hewan dan manusia terlambat untuk dilakukan post eksposure vaksinasi ataupun pemberian serum anti rabies dapat menyebabkan kematian. Hal ini memacu untuk ditemukan antiviral yang dapat mengatasi kejadian rabies post eksposur yaitu dengan cara menghambat replikasi virus yang tentunya didukung dengan pencegahan apoptosis sel neuronal untuk mengatasi disfungsi neuronal itu sendiri. Salah satu cara untuk menghambat replikasi virus adalah dengan teknik RNA interference (RNAi) dimana terjadi proses ikatan molekul efektor pasangan yang mRNA yang komplemen, menyebabkan degenerasi gene target atau mencegah translasi sehingga tidak terjadi sintesis protein.
Virus Rabies Virus rabies merupakan virus single-stranded RNA negatif, linear, berukuran 75 x 180 nm, ukuran genome RNA yaitu 11 kb (van del Pol, 2006). Virus rabies memiliki virion beramplop, berbentuk batang dan memiliki lima protein yaitu nukleoprotein N (50 kDa) yang menyelubungi RNA yang berbentuk heliks berfungsi sebagai nukleocapsid dan berasosiasi dengan large protein yaitu RNA-dependent RNA polymerase L (220 kDa) dan co-faktor phosphoprotein P (33kDa). Diantara nukleocapsid dan amplop yang berupa membran lipoprotein terdapat matrix protein M (22 kDa) dan di amplop terdapat glycoprotein G (62
2
kDa) yang membentuk spike (gambar 1) (Gaudin, 2000; Carter dan Saunders, 2007).
Gambar 1. Komponen virion rabies. Virus berbentuk batang, memiliki amplop, dengan genome RNA berbentuk simentris heliks, dan memiliki komponen virion yang mengandung lima protein yaitu nukleoprotein (N), phosphoprotein (P), large protein (L), matrix protein (M), dan glycoprotein (G) (Carter dan Saunders, 2007). Tabel 1. Strain pada virus rabies berdasarkan sequence genome (Wunner, 2007).
3
Patogenesis Rabies
Infeksi rabies dapat terjadi akibat gigitan hewan seperti anjing, kucing, kelelawar dan lain-lain yang salivanya mengandung virus rabies. Setelah terinfeksi virus rabies, hewan akan meperlihatkan gejala klinisnya yang dapat dibagi menjadi tiga stadium, yaitu prodromal, eksitasi, dan paralisis. Pada stadium prodromal, hewan mulai mencari tempat yang dingin, gelap, menyendiri, refleks kornea berkurang, pupil melebar, dan hewan terlihat acuh dengan tuannya. Pada stadium eksitasi, hewan mulai agresif, menyerang hewan lainnya atau manusia yang dijumpainya, dan hipersalivasi. Pada stadium paralisis, hewan mengalami kesulitan menelan, sempoyongan, lumpuh,dan akhirnya mati (Sidharta dan Serosa, 1995). Melalui gigitan hewan yang terinfeksi rabies, virus memiliki akses untuk masuk dari saliva ke dalam muskulus ditempat gigitan. Virus akan mengalami replikasi di sel otot sampai dapat memenuhi konsentrasi yang cukup untuk mencapai ujung saraf motoris terdekat (Lewis et al., 2000). Protein G pada virus berikatan dengan reseptor nikotinik asetilkolin, neural cell adhesion molecule (NCAM) reseptor, dan p75 neurotrophin reseptor pada neuromuscular junction dan menginfeksi sistem nervus (Jackson, 2007). Menurut Etessami et al. (2000) glycoprotein virus rabies berperan penting dalam infeksi virus ke neuron. Saat menginfeksi sistem nervus, pergerakan virus terjadi secara ascending dan descending. Infeksi neuronal secara ascending terjadi saat virus bergerak ke sistem saraf pusat yaitu menuju medula spinalis kemudian ke otak (Jackson, 4
2007). Penyebaran virus dari sistem saraf perifer ke sistem saraf pusat melalui transport akson yang cepat dengan kecepatan 12-100 mm per hari (Tsiang et al., 1991) melalui ikatan protein P virus rabies dengan transport neuron yang bersifat retrograde yaitu LC8 Dynein light chain (Raux et al., 2000).
A
B
-
+ dynein
C
Gambar 2. Gambaran transport axonal virus rabies secara retrograde melalui LC8 Dynein di dalam neuron. (A) secara normal transport LC8 Dynein melalui mikrotubulus berperan mengangkut mitokondria (Cai dan Sheng, 2009), (B) bentuk Dynein dan bagian LC8 (Hirokawa et al., 2010) dan (C) transport virus rabies secara retrograde dengan LC8 Dynein (Sodeik, 2000).
Saat virus mencapai sistem limbik di otak, virus mengalami replikasi secara ekstensif dan menyebabkan timbulnya gejala klinis berupa perilaku yang ganas. Virus menyebar dari sistem limbik secara descending dari sistem saraf pusat ke nervus perifer menuju beberapa organ seperti korteks adrenal, pankreas, dan pada sel mukosa glandula saliva. Saat virus telah menyebar dan berreplikasi di neokorteks menyebabkan terjadi perubahan perilaku menjadi depresi, koma, dan mati biasanya akibat gangguan respirasi. Dari neokorteks kemudian virus 5
akan mengalami pergerakan secara descending ke glandula saliva dan bila hewan yang terkena rabies menggigit manusia atau hewan lain maka manusia atau hewan tersebut terinfeksi rabies (Murphy et al., 1999)
Gambar 3. Gambaran singkat patogenesis rabies. Anjing yang menderita rabies dapat menualarkan ke manusia taua hewan lain melalui gigitan (Jackson, 2007).
Gejala klinis yang muncul pada penderita rabies diduga akibat adanya down-regulasi maupun up-regulasi dari ekpresi protein pada hospes akibat aktivitas virus rabies di neuron baik bersifat menguntungkan bagi virus maupun sebagai mekanisme pertahanan dari sel itu sendiri dalam menghadapi virus (Prosniak et al., 2000). Melalui gambaran patohistologi, infeksi rabies menyebabkan perivasculer cuff, terdapat inclution bodies,
apoptosis maupun
6
degenerasi neuronal (Jackson dan Rossiter, 1997; Theerasurakarn dan Ubol, 1998; Li et al., 2005).
Tabel 3. Gene CNS hospes yang terinduksi virus rabies (Prosniak et al., 2000).
Siklus Replikasi Virus Rabies
Virion akan berikatan dengan reseptor di permukaan sel dan masuk ke dalam sel melalui clathrin-mediated secara endositosis. Protein G atau spike pada virus berperan penting dalam ikatan terhadap reseptor dan fusi pada membran. Setelah endositosis, nucleocapsid dibebaskan ke sitoplasma melalui fusi antara membran dan endosom (Finke dan Conzelmann, 2005). 7
Gambar 4. Perlekatan dan masuknya virion rabies ke dalam sel. Virus rabies masuk ke dalam sel melalui clathrin-mediated secara endositosis, kemudian RNA yang berasosiasi dengan nukleocapsis, phosphoprotein dan large protein dibebaskan ke sitoplasma setelah terjadi fusi antara membran virus dan endosom (Carter dan Saunders, 2007).
Genome virus mulai ditranskripsi setelah RNA yang berasosiasi dengan nukleocapsis (N), phosphoprotein (P) dan large protein (L) bebas di sitoplasma. Kompleks RNA-dependent RNA polymerase protein L dan P bergerak pada template RNA virus rabies strand negatif dari 3’ menuju 5’ dan mensintesis molekul RNA baru yaitu mRNAs. Setiap mRNA akan dipoliadedenilasi dengan poly(A) polymerase dan di capping dengan enzim-enzim yang berasal dari nukleus sel hospes. Polimerase dan enzim lainnya (tabel 1) akan berasosiasi dengan protein L dan hanya aktif bila kompleks protein L dan P memiliki rasio 1L:3P (Carter dan Saunders, 2007).
8
L
Gambar 5. Organisasi genome dan transkripsi RNA. Genome RNA negatif ditrasnkripsi menjadi enam RNA strand positif yang terdiri dari satu leader RNA dan lima mRNAs. Transkriptase merupakan komplek protein L dan P (Carter dan Saunders, 2007).
Tabel 2. aktivitas enzim yang berasosiasi dengan protein L virus rabies (Carter dan Saunders, 2007). Enzim Fungsi RNA-dependent RNA polymerase Methyl transferase Guanylyl transferase Poly(A) polymerase Kinase
Transkripsi dan Replikasi RNA Capping mRNAs Capping mRNAs Poliadenilasi mRNAs Fosforilasi P
Genome dengan strand negatif juga akan direplikasi dengan kompleks enzim protein L dan P dan tersintesis komplemennya yang berupa RNA positif. Saat replikasi, enzim berasosiasi dengan template dan memproduksi genome positif sehingga sel-sel yang terinfeksi dapat terdeteksi sebagai virus strand positif. Inisisasi sintesis RNA ini tidak memerlukan primer. RNA positif yang baru disintesis akan secara cepat terselubungi oleh protein N sehingga diproteksi dari aktivitas ribonuklease, berbeda dengan mRNA yang tidak terselubungi dengan protein N. Kemudian akan direplikasi lagi sehingga terbentuk template
9
RNA negatif. Beberapa kopi RNA negatif ini akan digunakan sebagai template untuk transkripsi tahap kedua (Carter dan Saunders, 2007).
Gambar 6. Replikasi genome dan transkripsi tahap kedua (Carter dan Saunders, 2007).
Protein virus akan ditranslasi di ribosom bebas kecuali protein G yang ditranslasi di retikulum endoplasma kasar. Protein P dan G akan mengalami modifikasi post-translasi. Protein P akan mengalami fosforilasi oleh aktivitas enzim kinase dan protein G akan mengalami penambahan monosakarida dan menjadi komplit di kompleks golgi (Carter dan Saunders, 2007).
10
Gambar 7. Translasi dan modifikasi protein post translasi. Hasil translasi berupa protein N, P,M, L, dan G. Pada protein P dan G terjadi modifikasi Carter dan Saunders, 2007). Genome RNA strand negatif yang disintesis akan langsung diselubungi oleh protein N. RNA dengan protein N dan telah memiliki kompleks protein L dan P akan mendapat menambahan protein M dan menyelubungi nucleocapsid. Perlekatan protein M pada protein membran sel hospes berperan penting dalam proses keluarnya virion dari membran plasma sel. Bagian tempat virion menempel dan akan keluar juga telah mengalami modifikasi dengan adanya penyisipan protein G di membran sel (Carter dan Saunders, 2007).
Gambar 8. Perakitan virus rabies yang terdiri dari genome hasil replikasi berupa ss RNA (-) dan protein N, P,L dengan diselubungi protein M dan saat keluar medapatkan amplop dari lipoprotein membran serta protein G yang telah terekpresi di permukaan membran sel (Carter dan Saunders, 2007).
11
Gambar 9. Gambaran singkat proses masuk, replikasi dan keluarnya virus rabies di dalam neuron dan bergerak secara retrograde dari perifer ke sistem syaraf pusat (van den Pol, 2006). RNA Interference (RNAi)
RNA interference merupakan suatu mekanisme yang terjadi secara alami dan normal di dalam tubuh yang berhubungan terhadap suatu proses proteksi secara genomik dengan menghambat sintesis suatu protein. Mekanisme ini dikenal dengan post-transcriptional gene silencing dan dikembangkan menjadi suatu metode terapi gene yang potensial, selain itu juga digunakan untuk mempelajari fungsi dan regulasi gene (David et al., 2010).
12
RNAi pathway
Jalur RNAi berlokasi di sitoplasma sel dan dapat dibagi menjadi 2 tahap yaitu: tahap inisiasi (pembentukan molekul efektor) dan tahap subsequence efektor (mekanisme RNAi yang sebenarnya). Molekul efektor pada RNAi terbagi menjadi 2 grup yaitu small interfering RNA (siRNA) yang terdiri dari 21-23 segmen nukleotida dsRNA dengan 3 nukleotida yang overhang, dan micro RNA (miRNA) yang terdiri dari 22 segmen nukleotida dsRNA (Bartel, 2004; Meister dan Tuschl, 2004; Tang, 2005; Aiger, 2007; Lu dan Woodle, 2008) Pembentukan siRNA dimulai disitoplasma yang membelah menjadi dsRNA yang panjang oleh Dicer (multidomain enzim dari family RNase III). Sedangkan pembentukan miRNA dimulai di nucleus dimana secara endogenous dikode primer transkripsi awal miRNA (pre-miRNA) yang kemudian ditransport ke sitoplasma dan dipecah oleh Dicer. Pada tahap efektor, siRNA atau miRNA akan dirakit menjadi RNA-inducing silencing complexes (RICS). Aktivasi RICS mengandung satu single-standed (antisense) siRNA atau miRNA, yang memacu RISC ke mRNA target yang komplemen dengannya dan menginduksi pembelahan pada sisi spesifik pada mRNA. Sedangkan miRNA tidak menyebabkan degradasi pada gene komplemennya namun menyebabkan translation repression. Namun baik siRNA mauapun miRNA menghambat sintesis protein (Bartel, 2004; Meister dan Tuschl, 2004; Tang, 2005; Aiger, 2007; Lu dan Woodle, 2008) Tabel 3. Perbedaan antara siRNA dan miRNA (Love et al., 2008).
13
Gambar 10. Biosynthetic pathway short hairpinRNA dan microRNA. Dalam proses ini dibantu oleh enzim seperti Drosha (RNAseIII family), Exportin 5–Ran-GTP, dan Dicer (RNAseIII family). miRNA dan shRNA ditrankripsi di nucleus. miRNA diproduksi dari pri-pre-miRNA dan diproses oleh RNaseIII Drosha menjadi pre-miRNA. Kemudian premiRNA mapun shRNA akan diekpor ke luar menuju sitoplasma melalui pori nucleus melalui kompleks exportin 5-Ran-GTP. Setelah bebas ke sitoplasma, akan diproses lagi oleh RNase III lain yaitu Dicer. Dicer menyebabkan terbaginya bentukan double stranded menjadi single dalam bentuk miRNA atau siRNA. Kemudian miRNA atau siRNA yang berikatan dengan sequencenya sebagai RNA-inducing silencing complexes (RICS) (Pekarik, 2005).
14
Gambar 11. Endogenous dan exogenous RNAi. Endogeous diperankan oleh pri- miRNA yang disintesis genome pol II yang akhirnya menjadi miRNA, sedangkan eksogenous oleh shRNAmiR atau shRNA yang diintesis pol II arau pol III, yang mimic dengan primiRNA dan pre-miRNA yang akhirnya menjadi siRNA. Keduanya bersifat silencing (Lee dan Kumar, 2009).
Gambar 12. Cara kerja RNAi sebagai silencing. (A) siRNA yang awalnya double stranded (ds) akan menjadi single stranded (ss) dan menempel pada komplemennya dan menyebabkan mRNA yang ditembelin terpecah sehingga sinteisis protein tidak terjadi. siRNA memiliki kemampuan endonucleolytic cleavage. (B) miRNA juga bersifat silencing dengan berikatan pada mRNA yang komplemen sehingga tidak dapat ditranslasi dan tidak terjadi sintesis protein (Love et al., 2008).
15
Strategi untuk aplikasi RNAi Terdapat beberapa cara untuk aplikasi RNAi yaitu (1) tranfeksi RNAi ke sel,
dan RNAi yang ditranfeksi diharapkan akan menjadi RISC yang dapat
mendegradasi mRNA target, (2)
melalui vektor plasmid,
pada nukleus
diharapkan terjadi trankripsi shRNA atau pre-miRNA dan akan diproses dan diekpor ke sitoplasma menjadi RISC, (3) dengan vektor viral DNA (Davidson dan Paulson, 2004).
Gambar 13. Strategi aplikasi RNAi melalui tranfeksi ke sel, vektor plamid, dan vektor viral (Davidson dan Paulson, 2004).
Dalam sistem aplikasi RNAi baik melalui siRNA maupun miRNA terdapat faktor-faktor yang harus diperhatikan yaitu dari ukuran RNAi, ukuran vektor, vektor yang digunakan, cara aplikasi, sistem proteksi agar siRNA yang dibawa tidak di degradasi, eliminasi, distribusi yang tidak spesifik, serta internalisasi (David et al., 2010).
16
Gambar 14. Gambaran umum aplikasi RNAi melalui vektor virus yang dimasukkan secara intra parentral melalui darah menuju ke organ target, virus mengalami internalisasi, ditrankripsi siRNA di inti, ditranfer ke sitoplama, kemudian menjdai RISC yang komplemen dengan mRNA targetnya, sehingga terjadi silencing (David et al., 2010).
Penghambatan replikasi virus rabies dengan RNAi
Penghambatan replikasi virus rabies dengan RNAi merupakan suatu strategi terapi yang sangat potensial terutama akibat kegagalan tindakan vaksinasi rabies post ekposure. Namun dengan otak sebagai targetnya, faktor seperti blood barrier brain (BBB) harus diperhatikan. Aplikasi dsRNA tidak dapat melewati BBB, sehingga dikembangkan metode baru dengan artificial miRNA (amiRNA) yang ukurannya lebih kecil (Israsena et al., 2009).
17
Gambar 15. Gambaran ideal aplikasi RNAi dengan organ target otak. Melalui miRNA diharapkan dapat menghambat sintesis suatu protein dari mRNA (Boudreaua dan Davidson, 2010).
Penghambatan Replikasi melalui artificial miRNA secara in vitro Protein N merupakan protein yang penting dalam melindungi genome virus saat replikasi agar tidak didegradasi oleh RNase. Dengan menghambat sintesis protein N diharapkan replikasi dapat terhambat. Oleh karena itu, mRNA protein N dapat meruapakan target yang potensial dapat aplikasi artificial miRNA. Berikut adalah metode penelitian tentang penghambatan replikasi virus rabies melalui artificial miRNA secara invitro oleh Israsena et al. (2009). Dengan metode ini masih terus dapat dikembangkan misalnya dengan pemilihan vektor yang tepat yang sesuai bagi hospes dan mampu menembus BBB melalui penelitian secara in vivo.
Materi dan metode (oleh Israsena et al., 2009) 1. Sel dan virus Sel yang digunakan untuk kultur yaitu sel Neuro2A (ATCC cat no. CCL131), dengan media HyQ MEM/EBSS (Hyclone) yang ditambahkan 10% fetal 18
bovine serum, 2mM L-glutamine, 1,5 g/l NaHCO3, 1 Mm Sodium Pyruvate, 1 x Non-Essential Amino acid (NEAA), 100 U penicillin/ ml, dan 100 μg strptomycin/ml , yang diinkubasi pada suhu 37°C, 5% CO2. Virus rabies yang digunakan adalah RV challenge virus strandard (CVS)11, HEP flurry GFP fixed strain, dan street virus. Tissue Culture Infeksi Dose 50 (TICID50) yaitu 105, dalam penelitian digunakan 10 atau 100 TCID50.
2. Plasmid Sequence gene target virus rabies dapat didesain menggunakan miRNA design algorithm (http://rnaidesigner.invitrogen.com/rnaiexpress/).
Gambar 16. desain miRNA virus rabies. Lokasi artificial miRNA yang akan berasosiasi dengan mRNA virus yang akan dikode (Israsena et al., 2009).
Komplementari ssDNA oligo yang mengkode pre-miRNA disintesis, anneling, dan diklon menjadi pcDNA6.2-GW/EmGFP-miR (Invitrogen). Pol II miR RNAi diekpresikan oleh vektor yang mengandung spesifik miR-155 flanking sequence. Agar menghasilkan rantai miRNA dalam satu transkripsi awal, miRNA cassettes dari plasmid donor dieksisi dengan enzim restriksi, BamH1 dan Xho1.
19
Gambar 17. Gigram skema tentang strategi kloning untuk kombinasi miRNA cassettes menjadi satu pre-miRNA transkripsi (Israsena et al., 2009).
3. Transfeksi miRNA dengan plasmid ekpresi Sebelum ditranfeksi, kultur Neuro2A ditumbuhkan selama 24 jam. Kemudian baru ditranfer miRNA plasmid. Plasmid DNAs dicampurkan dengan lipofectamine 2000 (Invitrogen) dengan rasio 1:1 (1μl lipofectamine 2000 per 1μg DNA) dalam opti-MEM medium (Invitrogen). Campuran ini dirambahkan ke dalam kultur Neuro2A (plated 1 x 105 sel per sumuran dalam 24 sumuran plate).
4. Viral challenges assay 12 jam setelah transfeksi, 10 atau 100 TCID50 dari stok virus ditambahkan ke sel pada tiap sumuran. Perubahan pada media terlihat 6 jam inkubasi pada 37°C. RNA diisolasi 24, 48, dan 72 jam setelah ditantang dengan virus.
20
5. Isolasi RNA Total RNA diisolasi dari sel setelah 24, 48, dan 72 jam setelah infeksi dengan menggunakan RNeasy mini kit (Qiagen). Supernatan kultur di panen setelah 48 jam, dan RNA dari cairan supernatan dipurifikasi menggunakan QIAamp viral RNA mini kit (Qiagen) berdasarkan petunjuk manufaktur.
6. Kuantifikasi genome virus dan trankrip a. RT Reverse transkripsi dilakukan menggunakan M-MLV reverse transcriptase (Promega) dengan 4μl dari toral RNA yang diisolasi dari sel/ supernatan yang diinfeksi (20ng/μl). Oligo dT digunakan sebagai primer RT untuk deteksi mRNA. Primer
RT
yang
digunakan
untuk
deteksi
genome
viral
yaitu
5’-AGAAGGATCGTGGAGCACCATACTCTCA-3'
b. Real-time PCR 4μl cDNA ditambahkan ke dalam 10μl QuantiTect SYBR green PCR master mix (Qiagen), 0.5 μl dari 20μM forward primer, 0.5μl dari 20 μM reverse primer, 5μl RNase-free water. Profil thermal cycling yang digunakan yaitu 95°C 1 menit, diikuti 40 siklus amplisikasi (95°C 15 menit, 55°C 20 detik, dan 72°C selama
30
detik).
Untuk
CVS
gene
5’CTGGCAGACGACGGAACC-3’ CATGATTCGAGTATAGACAGCC-3’.
dan
N
digunakan reverse
forward
primer
primer
5’-
Untuk HEP-flurry gene N digunakan
forward primer 5’-CTGGCAGATGACGGAACT -3’ dan dan reverse primer 5’21
CATGATTCGAGTATAGAC-AGCT-3’. Untuk deteksi genome viral digunakan forward primer 5’-AGAAGGATCGTGGAGCACCATACTCTCA-3’ dan reverse primer 5’-TACCAGCCCTGAACAGTCTTCA-3’.
7. Kuantifikasi mature miRNA a. Stem-loop RT-PCR 5μl sampel RNA (2ng/μl) dicampurkan dengan 7μl RT master mix dari Taq man Micro RNA Reverse Transcription kit (ABI) (1.5μl 10 x RT buffer, 0.15 μl 100 mM dNTPs, 0.19μl dari 20U/μl RNase Inhibitor, 1.0 μl dari 50U/μl Multiscribe RT enzyme, 4.16 μl RNase-free water), 3μl spesifik loop-RT primer (N1:
CGACTCATGCTGACGAATTTTGAGTCGCAAA)
ditambahkan
ke
campuran. Reaksi RT dibiarkan pada suhu 16°C 30 menit kemudian 42°C 30 menit sebelum inkubasi terminal pada suhu 85°C selama 15 menit. 5μl cDNA dari reaksi PCR dicampurkan dengan 4.0μl LightCycler Taqman master mix (Roche), 0.4μl dari 10μM forward primer, 0.4 μl dari 10μM reverse primer, o0.2μl dari 10μM Pprobe, 10μl RNase-free water. Sequence dari PCR primer dan probe adalah NP1 forward primer: CCGCCCTACATCATCCG, NP2 reverse
forward primer:
primer:
CCCCTAAAGATGCATGTTCAG,
GCGACTCATGCTGACGAA,
TTTGAG+TCGCAAAC+T+TGATCC-BBQ,
NP2
NP1
probe probe:
6FAM6FAM-
TTTGAG+TCGCG+TC+TCTG-BBQ. Thermal cycling PCR yaitu 95°C 5 detik, 55°C 5 detik, dan 60°C 5 detik.
22
8. Immunoflourescence Untuk melihat keberadaan protein N virus rabies dapat dilakukan dengan pewarnaan imunoflourescence menggunakan antibodi terhadap protein N virus rabies yang telah dilabel dengan FITC (hijau). 48 jam setelah diinfeksi, sel difiksasi dengan 80% acetone dan diwarnai dengan FITC-labeled virus rabies N protein-spesifik antibodi. Berdasarkan hasil penelitian Israsena et al. (2009) terlihat penurunan jumlah genome virus dan mRNA protein N virus rabies secara spesifik pada sel kultur yang ditranfeksi dengan miRNA (dengan vektor plasmid) dan ditantang dengan virus rabies. A
B
Diagram 1. (A) level mRNA dari protein N virus rabies. Terlihat penurunan level mRNA protein N pada sel yang ditransfeksi artificial miRNA (amirRNA) dibanding kontrol (postitif rabies, tanpa amiRNA). (B) level genome virus. Terlihat Terlihat penurunan level genome virus rabies pada sel yang ditransfeksi artificial miRNA dibanding kontrol (postitif rabies, tanpa amiRNA) (Israsena et al., 2009).
Gambar 18. Hasil imunofluoresecence dengan antibodi terhadap protein N virus rabies. (A) kontrol positif (postitif rabies, tanpa amiRNA), terlihat ekpresi protein dengan intensitas yang tinggi. (B) sel yang ditransfeksi artificial miRNA (amirRNA), bila dibanding kontrol, ekpresi protein N lemah atau tidak ada. Hal ini menunjukkan ekpresi protein N pada rabies dapat dihambat oleh amiRNA. (Israsena et al., 2009). 23
Kesimpulan
Replikasi virus rabies dapat dihambat melalui pengembangan RNA interference melalui artificial microRNA (amiRNA) terhadap protein N virus rabies secara in vitro. Melalui dasar penelitian ini dapat dikembangkan lagi dalam hal pemilihan vektor yang baik yang dapat diterima host secara baik, ramah lingkungan (vektor yang digunakan tidak mengkontaminasi lingkungan akibat eksresi maupun sekresi hospes) dan mampu menembus blood brain barrier untuk menghambat replikasi virus rabies di otak secara in vivo. Selain itu dapat dikembangkan dengan penggunaan strain virus rabies lapangan yang ada di Indonesia.
Daftar Pustaka
Aigner A. 2007. Applications Of Rna Interference: Current State And Prospects For Sirna-Based Strategies In Vivo. Appl Microbiol Biotechnol, 76:9–21. Bartel, D.P., 2004.Micrornas: Genomics, Biogenesis, Mechanism, And Function. Cell. 116:281–97. Boudreaua, R.L., dan Davidson, B.L., 2010. Rnai Therapeutics For CNS Disorders . Brain research. 1338:112-121 Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah I. 2000. Hasil pemeriksaan laboratorium penyakit rabies Propinsi Sumatera Utara dan DI Aceh. Bulletin Veteriner BPPH Wilayah I Medan 2: 1-4. Balai Penelitian Penyakit Hewan Wilayah II. 2000. Program kerja surveilens, monitoring, investigasi pelayanan aktif dan diagnosa penyakit hewan. Bulletin Informasi Kesehatan Hewan. BPPH Wilayah II Bukit Tinggi 2(59): 1-5.
24
Cai, Q., dan Sheng Z-H., 2009. Mitochondrial Transport And Docking In Axons. Experimental Neurology 218 (2009) 257–267. Carter, J.B., dan Saunders, V.A. 2007. Rhabdoviruses (and other minus-strand RNA viruses) dalam Virology Principles and Applications. John Wiley and Sons. England. Central for Disease Control, 2008. Outbreak Notice, Rabies in Bali, Indonesia This information is current as of today, December 27, 2010 http://wwwnc.cdc.gov/travel/content/outbreak-notice/rabies-bali-indonesia Davidson, B.L., dan Paulson, H.L., 2004. Molecular Medicine For The Brain: Silencing Of Disease Genes With Rna Interference. Lancet Neurol , 3: 145– 149 David, S., Pitard, B., Benoît, J-P., Passirani, C., 2010. Non-Viral Nanosystems For Systemic Sirna Delivery. Pharmacological Research. 62: 100–114 Etessami, R., Conzelmann, K.K., Fadai-Ghotbi, B., Natelson, B., Tsiang, H., Ceccalsi, P.E. 2000. Spread and pathogenic characteristics of a G-deficient rabies virus recombinant: an in vitro and in vivo study. J Gen Viirol. 81:2147-2153 Faizal, M., K. Benyamin, dan S. Ratna. 2004. Survei dan monitoring rabies di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Utara. Diag. Vet. Bulletin Informasi Kesehatan Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner BPPH Regional VII Maros 2 (1): 1 6. Finke, S., dan Conzelmann, K-K., 2005. Replication strategies of rabies virus. Virus Research 111 (2005) 120–131 Gaudin, Y., 2000. Reversibility in fusion protein conformational changes. The intriguing case of rhabdovirus-induced membrane fusion. Subcell. Biochem. 34, 379–408. Hadi, S. , D.M.N. Dharma, A. Supriyadi, dan J.S. Kalianda. 2003. Pengkajian ulang pembebasan Kalimantan dari rabies. Dilavet. BPPV Regional V Banjarbaru 13(2): 9-22. Hardjosworo, S. 1984. Epidemiologi rabies di Indonesia. Kumpulan Makalah Symposium Nasional Rabies. Persatuan Dokter Hewan Indonesia Cabang Bali, Denpasar. hlm. 13-28.
25
Hirokawa,N., Niwa,S., dan Tanaka1, Y., 2010. Molecular Motors In Neurons: Transport Mechanisms And Roles In Brain Function, Development, And Disease Neuron 68: 610-638 Israsena, M., Supavomwong, P., Ratanasetyuth, N., Khawplod, P., dan Hemachuda, T., 2009. Inbihition of rabies virus replication by multiple artificial microRNAs. Antiviral Research. 84:76-83. Jackson, A.C., Rossiter, J.P., 1997. Apoptosis plays an important role in experimental rabies virus infection. J. Virol. 71, 5603–5607. Jackson, A., 2007. Pathogenesis, dalam Rabies, second edition. Edited by Alan C. Jackson and William H. Wunner. Elsevier Inc. Kristensson, K., Dastur, D.K., Manghani, D.K., Tsiang, H., dan Bentivoglio, M. 1996. Rabies: interactions between neurons and viruses. A review of the history of negri inclusion bodies. Neuropathol. Appl. Neurobiol. 22:179-187 Lee, S-K., Dan Kumar, P., 2009. Conditional Rnai: Towards A Silent Gene Therapy. Advanced Drug Delivery Reviews. 61:650–664 Love, T.M., Moffett, H.F., Dan Novine, C.D., 2008. Not Mir-Ly Small Rnas: Big Potential For Micrornas In Therapy. J Allergy Clin Immunol. 121( 2 ): 309319 Lu, PY., dan Woodle, MC., 2008. Delivering Small Interfering Rna For Novel Therapeutics. Methods Mol Biol. 437:93–107. Li, X-Q., Sarmento, L., dan Fu, Z.F., 2005. Degeneration of neuronal processes after infection with pathogenic, but not attenuated, rabies viruses. Journal of virology. 79(15): 10063-10068. Lewis,P., Fu,Y., Lentz T.L.,2000. Rabies Virus Entry At The Neuromuscular Junction In Nerve–Muscle Cocultures. Mucle and Nerve. John Wiley & Sons, Inc. Murphy, F.A., Gibbs, E.P.J., Horzinek, M.C., Studdert, M.J. 1999. Veterinary Virology 3rd eds. Academic Press. USA. Marfiatiningsih, S. dan Z. Hassan. 2000. Tinjauan epidemiologi kasus rabies di wilayah pelayanan BPPH III Tanjung Karang. Bulletin Laboratorium Veteriner BPPH Wilayah III Tanjung Karang XV(1): 1-15. Meister, G., dan Tuschl T., 2004. Mechanisms Of Gene Silencing By DoubleStranded Rna. Nature. 431:343–9. 26
Prosniak, M., Hooper, D.C., Dietzschold, B., dan Hoprowski, H., 2000. Effect of rabies virus infection on gene expresiion in mouse. PNAS. 98(5): 27582763. Pekarik, V, 2005. Design Of Shrnas For Rnai—A Lesson From Pre-Mirna Processing: Possible Clinical Applications. Brain Research Bulletin 68:115– 120 Raux, H., Flamand, A., Blondel, D., 2000. Interaction of the rabies virus P protein with the LC8 dynein light chain. J. Virol. 74, 10212–10216. Sodeik, B., 2000. Mechanisms Of Viral Transport In The Cytoplasm. Trends In Microbiology. 8(10):465-472 Sidharta, T., dan Sarosa, A. 1995. Petunjuk Teknis Penyakit Hewan. Balai Penelitian Bogor. hlm. 126-131. Tang G. Sirna dan Mirna, 2005, An Insight Into RICSs. Trends Biochem Sci. 30:106–14. Tsiang, H., Ceccaldi, P.E., dan Lycke, E. 1991. Rabies virus infection and transport in human sensory dorsal root ganglia neuron. J Gen Virol. 61:1191-1194. Theerasurakarn, S., dan Ubol, S., 1998. Apoptosis induction in brain during the fixed strain of rabies virus infection correlates with onset and secerity illness. Journal of Neurovirology, 4:407-414. van den Pol, A.N., 2006. Viral infections in the developing and mature brain. Trends in neurosciences. 29(7):398-406 Wunner, W.H., 2007. Rabies Virus, dalam Rabies, second edition. Edited by Alan C. Jackson and William H. Wunner. Elsevier Inc.
27