BAB II LANDASAN TEORI
A.
Pemerosesan Informasi
1.
Atkinson-Shiffrin Model Memori/Ingatan adalah cara-cara yang dengannya kita mempertahankan
dan menarik pengalaman dari masa lalu untuk digunakan saat ini (Tulving & Craik,2000). Dalam Matlin (2005) dijelaskan bahwa Atkinson-Shiffrin model (1968) mengutarakan bahwa memori bisa dipahami sebagai suatu rangkaian tahap yang berlainan, dimana informasi ditransfer dari satu tahapan area ketahapan area lainnya. Atkinson-Shiffrin model merupakan pendekatan pemerosesan informasi yang dijadikan model terbaik dalam menjelaskan proses informasi, dimana adanya tiga tingkatan sistem memori. External Input Lost from sensory memory
Sensory memory
Lost from Short-term memory ‘
Short-term memory (Working memory)
Lost from Long-term memory
Long-term memory
1.1
Atkinson-Shiffrin’s Model of Memory (1986)
14
15
Gambar
1.1
menunjukkan
bahwa
Atkinson-Shiffrin
model,
menggambarkan bagaimana informasi diproses. Stimulus eksternal dari lingkungan pertama kali masuk ke sensory memory, kemudian beberapa materi dari sensory memory disampaikan ke short-term memory atau dikenal juga sebagai working memory. Dan terakhir materi tersebut dilatih lagi dan disampaikan dari short term-memory ke long-term memory. Berikut Penjelasan mengenai pemerosesan informasi pada Atkinson-Shiffrin model: a.
Sensory Memory Merupakan sistem penyimpanan yang besar, merekam informasi yang diterima dari setiap indera. Sensory memory menyimpan informasi yang asli hanya untuk waktu yang singkat. Ada dua bentuk sensory memory, yakni iconic memory (penglihatan), dan echonic memory (pendengaran). Model ini menjelaskan bahwa informasi yang berada pada sensory memory bisa bertahan 2 detik atau kurang, dan kemudian lebih dari itu informasi akan dilupakan.
b.
Short Term Memory (Working Memory) Short-term memory merupakan merupakan tahapan memori yang berisi sedikit informasi yang kita gunakan. Memori dalam short-term memory
mudah pecah walaupun tak semudah pada tahap sensory
memory , memori ini bisa hilang sekitar 30 detik kecuali jika informasi tersebut dilulang-ulang kembali. Short-term memory dijelaskan juga sebagai kemampuan memori menyimpan informasi persepsi untuk jumlah waktu yang lebih lama namun dengan kapasitas yang relatif
16
terbatas (Richard-Klevehn & Bjork,2003). Memori ini menahan data memori selama beberapa beberapa detik dan terkadang bisa juga sampai beberapa menit. Menurut model Atkinson-Shiffrin, simpanan jangka pendek hanya bisa mengingat beberapa hal saja. Biasanya materi masih bisa bertahan di dalam memori jangka pendek kira-kira 30 detik saja, kecuali ia dilatih untuk mempertahankannya lagi (Sternberg,2008). c.
Long Term Memory Long-term memory, dimana memori ini memiliki kapasitas yang besar karena memori ini berisi memori-memori lama, dan
juga
penambahan dari memori yang diperoleh beberapa menit lalu. AtkinsonShiffrin mengemukakan bahwa informasi yang tersimpan dalam longterm memory akan relatif permanen dan tidak mudah hilang. Dalam Sternberg (2008) juga diungkapkan bahwa memori jangka panjang merupakan kapasitas memori yang sangat besar dalam kemampuannya menyimpan berbagai informasi pengalaman untuk priode yang sangat panjang, bahkan mungkin untuk waktu yang tak terbatas (RichardKlevehn & Bjork,2003). Kemudian terdapat tiga proses pengolahan informasi yang dilakukan di dalam memori menurut Sternberg (2008), yaitu: a.
Pengodean (encoding) Tahap pertama dalam pemrosesan informasi adalah encoding.
Encoding merupakan proses yang bertujuan untuk mengubah informasi sehingga individu dapat menempatkannya di dalam memori. Individu
17
mengubah informasi ke dalam bentuk psikologis yang dapat diterima mental. Biasanya kode yang digunakan adalah kode semantik, visual, dan akustik. Kode semantik didasarkan pada makna dan merupakan kode yang dominan di dalam memori jangka panjang (long term memory). Kode akustik didasarkan pada bahasa dan merupakan kode memori yang dominan dalam memori jangka pendek (short term memory). Materi yang ada di dalam kode akustik biasanya terdiri dari urutan huruf, angka, ataupun kata-kata yang tidak bermakna. Sedangkan kode visual diwakili oleh gambar. b.
Penyimpanan (storage) Pemerosesan yang kedua adalah penyimpanan yang berfungsi untuk
mempertahankan informasi. c.
Pemanggilan (retrieval) Pemerosesan yang ketiga adalah pemanggilan. Pemanggilan adalah
proses mengakses kembali informasi yang telah disimpan. Menurut Hunt & Ellis (2004) proses pemanggilan ada dua, yaitu: recall dan recognition. Recall merupakan proses pemanggilan dimana individu diminta untuk memproduksi aitem-aitem yang telah dipelajari sebelumnya sedangkan recognation merupakan proses pemanggilan dimana individu diminta untuk mengidentifikasi aitem-aitem yang dipresentasikan atau dihadirkan sebelumnya (Matlin,2005).
18
2.
Tingkat Pemerosesan Informasi (Level of Processing Theory) Teori tingkat pemerosesan informasi (level of processing) merupakan
teori yang menjelaskan bagaimana kita bisa menganalisis stimulus dan menjelaskan apa hasil memory code yang diperoleh dari berbagai tingkatan analisis. Tidak seperti teori Atkinson-Shiffrin (1968), yang hanya memperhatikan komponen struktur atau tingkatan memori, akan tetapi teori keduanya saling berdampingan. Craik (dalam Reed,2004) menyatakan bahwa inti dalam kebanyakan studi tingkat pemerosesan informasi adalah untuk memperoleh pemahaman yang lebih luas mengenai memory code yang beroperasi dalam LTM, dan bukan menyangkal perbedaan antara STM dan LTM. Ketika memperhatikan perspektif ini, cara kerja tingkat pemerosesan informasi memberikan penjelasan lebih dari sekedar penjelasan mengenai memindahkan suatu tingkatan analisis dengan menunjukkan bagaimana proses kontrol bisa mempengaruhi kemampuan penyimpanan individu terhadap suatu materi. Tingkat pemerosesan informasi juga didefinisikan sebagai teori yang menyetujui mengenai adanya tingkat dalam (deep), pemerosesan informasi yang bermakna lebih bertahan lama dibandingkan tingkat dangkal (shallow), teori ini disebut juga sebagai pendekatan tingkat pemerosesan dalam (depth-of-processing approach). Tingkat pemerosesan informasi memprediksi bahwa kita akan mampu mengingat banyak kata ketika kita menggunakan tingkat pemeorosesan dalam (deep). Sebaliknya tingkat pemerosesan memprediksi bahwa kemampuan mengingat kita akan semakin sedikit ketika kita menggunakan tingkat pemerosesan dangkal (shallow). Misalnya, kita akan mampu mengingat sedikit
19
kata ketika kita hanya memperhatikan bentuk (physical appereance) dari kata tersebut (misalnya huruf kapital dalam kata tersebut) atau suara dari kata tersebut (misalnya rhyme atau suara dari kata tersebut) (Matlin,2009).Teori tingkat pemerosesan informasi (level of processing) memiliki tujuan yang menjelaskan bahwa ada perbedaan cara untuk mengodekan suatu materi dan ada berbagai memory code yang lebih baik daripada yang lain. Tingkat pemerosesan informasi merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa tingkat proses terdalam (semantik) lebih bisa bertahan lama pada memori. Kesuksesan mengingat kembali sebuah kata bergantung kepada berbagai operasi yang dibentuk untuk memasukkan informasi kata (Reed,2004). Secara umum manusia akan menerima tingkat pemerosesan informasi yang dalam ketika mengambil makna dari suatu stimulus yang diberikan. Ketika kita menganalisa suatu makna maka kemudian kita akan menghubungkannya dengan hal yang lain seperti gambar, pengalaman yang lalu dan berbagai hal yang berhubungan
dengan
stimulus.
Stimulus
yang dianalisa
dalam
tingkat
pemerosesan dalam (deep) akan semakin mampu diingat (Roediger, Gallo, & Geraci, dalam Matlin 2009). Berikut penjelasan mengenai dua tingkat pemerosesan: 1.
Pemerosesan informasi tingkat dalam (deep) Teori Tingkat pemerosesan informasi dalam (deep) merupakan tingkat
pemerosesan informasi yang memfokuskan dan melibatkan informasi terhadap makna (meaning). Tingkat pemerosesan dalam memprediksi bahwa kita bisa melakukan recall terhadap beberapa kata dengan menggunakan tingkat
20
pemerosesan informasi yang dalam (deep). Ketika suatu stimulus diidentifikasi dan diberikan suatu nama, maka memory code lebih kuat dan bisa direpersentasikan oleh adanya tingkatan kerusakan stimulus yang lebih lama. Memori akan menjadi bagus ketika individu mampu mengelaborasikan makna dari stimulus-stimulus tersebut (Reed,2004). 2.
Pemerosesan informasi tingkat dangkal (shallow) Tingkat pemerosesan informasi dangkal difokuskan dengan melakukan
analisis terhadap ciri-ciri fisik seperti bentuk, sudut, keterangan, pitch dan kerasnya suara. Untuk
melakukan pemerosesan informasi individu dapat
melakuakn berbagai cara baik dengan cara mengidentifikasi huruf E/G dalam suatu kata tersebut, kemudian suara dari huruf dalam suatu kata tersebut dan juga dengan cara menghitung jumlah huruf dalam kata tersebut.
Setelah stimulus
dikenali, maka stimulus tersebut berlanjut untuk diuraikan kepada pengalamanpengalaman (elaborasi), baik itu huruf, tanda, bauan yang berhubungan dengan suatu hal, gambar, ataupun hal-hal yang berdasarkan pengalaman lalu individu tersebut dengan berbagai stimulus. Setiap tingkatan menghasilkan memory code yang berbeda akan tetapi suatu memory code akan bervariasi dalam hal tingkatan kerusakannya. Ketika hanya menganalisis bentuk fisik suatu stimulus, memory code mudah hilang dan gampang rusak. (Reed,2004). 3.
Eksperimen Hyde-Jenkin Pengaruh
dari
tingkat
pemerosesan
informasi
terhadap
ingatan
didomenstarasi dalam hasil penelitian yang dilakukan oleh Hyde dan Jenkin (1973) Hasil penelitian tersebut dipublikasikan sebelum teori yang dikemukakan
21
Craik dan Lockhart. Kebanyakan studi menggunakan tes tingkat pemerosesan informasi, Hyde dan Jenkin melakukan studi dengan menggunakan paradigma metode belajar insidental dan juga metode belajar intensional. Studi eksperimen yang dilakukan adalah membandingkan tujuh kelompok subjek. Salah satu dari keempat kelompok diberikan metode insidnetal dan diminta untuk mengingatk 24 kosakata. 20 dari kosakata tersebut saling memiliki hubungan (primary associates). Misalnya kata merah berhubungan dengan kata hijau, kata meja berhubungan dengan bangku dan sebagainya. Kemudian kelompok insidenal diminta untuk mendengar 24 kosakata tanpa diberitaukan adanya pemberian tes sedangkan kelompok intensional diminta mendengarkan kata dan mengingatnya karana nantinya akan diberikan tes oleh peneliti. Salah satu kelompok lainnya diminta untuk menghubungkan 24 kosakata yang diberikan dengan hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan dan tidak hanya sekedar mendengar kata. Kemudian kelompok lainnya diminta untuk mengidentifikasi adanya huruf E atau G dalam kata tersebut. Dan hasil yang diperoleh memiliki kesesuaian dengan teori tingkat pemerosesan informasi, dimana pemerosesan semantik memiliki hasil yang lebih baik daripada pemerosesan dengan nonsemantik. Kelompok yang menghubungkan kata dengan hal yang menyenangkan dan tidak menyenangkan akan mampu mengingat dari pada kelompok yang hanya diminta mengeja huruf. Dan juga diperoleh hasil bahwa kelompok dengan insidental bisa sama efektifnya dengan kelompok intensional ketika subjek penelitian juga sama-sama diminta menghubungkan kosakata dengan hal yang menyenangkan. Kumpulan kata secara semantik
22
berhubungan dengan adanya sebuah clue. Mengingat sebuah kata yang berhubungan dengan makna akan semakin mudah diingat (Reed,2004).
3.
Metode Belajar dalam Tingkat Pemerosesan Informasi Dalam studi yang dilakukan Hyde dan Jenkins (dalam Reed,2004)
mengemukakan sebuah paradigma belajar insidental dan intensional dalam konsep tingkat pemerosesan informasi. Pada kondisi belajar insidental orang-orang diberikan beberapa materi akan tetapi mereka tidak mengetahui bahwa akan diadakan tes untuk mengingat stimulus atau materi yang diberikan sebelumnya. Sedangkan belajar intensional merupakan kebalikannya, dimana subjek secara langsung diberitaukan adanya pemberian tes setelah materi. Berikut penjelasan mengenai dua kondisi belajar yang digunakan dalam beberapa penelitian eksperimen yang menggunakan teori
tingkat pemerosesan informasi, berikut
penejelasan mengenai metode insidental dan intensional: a.
Belajar insidental (incidental learning) Cara kontrol proses informasi dapat dilakukan melalui prosedur metode
belajar insidental, dimana pada metode ini subjek tidak menyadari dan tidak mencoba untuk mempelajari informasi terlebih dahulu informasi yang diberikan kemudian dites kembali. Subjek hanya menyadari proses material seperti yang diperintahkan oleh ekperimenter. Belajar insidental (incidental learning) merupakan konsep belajar yang bertentangan dengan pendapat yang mengatakan bahwa belajar itu selalu berarah tujuan (intentional). Sebab dalam belajar incidental pada individu tidak ada sama sekali kehendak untuk belajar. Belajar
23
disebut insidental bila tidak ada instruksi atau petunjuk yang diberikan pada individu mengenai materi belajar yang akan diujikan kelak. Dalam kehidupan sehari-hari, belajar insidental ini merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, diantara para ahli belajar insidental ini merupakan bahan pembicaraan yang menarik, khususnya sebagai bentuk belajar yang bertentangan dengan belajar intensional (Slameto,2010). Metode belajar insidental dan intensional juga dikenal sebagai dua konsep instruksi pembelajaran (instruction leaarning) dalam tingkat pemerosesan informasi. Karena itu, sebuah penelitian eksperimen dijelaskan seharusnya menggunakan prosedur metode belajar insidental. Dalam prosedur ini, subjek penelitian secara tidak sadar dan tidak mengetahui bahwa materi yang diberikan akan diuji. Subjek melakukan cra untuk melakukan
pemeroesan
informasi
atau
materi
sesuai
dengan
arahan
eksperimenter. Instruksi pada kondisi belajar ini mengharuskan subjek fokus terhadap beberapa tujuan dalam memproses informasi (information-process-goal) dari pada sekedar mengingat (Neath& Surprenant,2003). Kondisi belajar insidental bisa mendorong kita lebih secara sembarangan dalam memproses objek yang kita lihat. Konskeuensinya, kita bisa memanggil objek yang lebih banyak dan akurat menandingi harapan kita (Matlin,2005 hal,278). Hal ini didukung berdasarkan sebuah studi eksperimen yang dilakukan Brewer dan Treyens (1981). Studi tersebut menjelaskan mengenai pemberian kondisi belajar insidental dalam sebuah penelitian eksperimen, dimana para partisipan pada penelitian tersebut diberikan sebuah instruksi untuk melihat gambar yang berisi “office schema”, kemudian setelah 35 menit kemudian para
24
peserta diberikan test memori yang tidak diberitaukan sebelumnya, hasilnya para partisipan menunjukkan hasil yang tinggi dalam mengingat segala objek yang konsisten dengan “office schema”. Para partisipan secara akurat mampu melakukan recall informasi yang berkaitan dengan bagaimana skema kantor tersebut. Walaupun para partisipan tidak mengetahui bahwa mereka akan ditanya untuk mengingat item-item ataupun benda-benda yang ada dalam skema kantor tersebut, mereka mampu melakukan recall informasi yang baik. Hasil penelitian ini merupakan salah satu studi yang membuktikan bahwa metode belajar insidental mampu memberikan kondisi belajar yang dapat membantu individu mengingat informasi lebih baik. Jadi berdasarkan pemaparan mengenai definisi metode belajar insidental, maka dapat kita simpulkan bahwa metode belajar insidental merupakan suatu kondisi belajar dimana partisipan tidak mengetahui bahwa nantinya akan diberikan tes atau ujian mengenai informasi atau materi yang diberikan sebelumnya. b.
Belajar Intensional (Intentional Learning) Belajar Intensional (intentional learning) adalah belajar dengan arah
tujuan, merupakan lawan dari belajar insidental (Slameto,2010). Craik dan Lockhart (1978) mengemukakan bahwa ketika subjek dengan sengaja belajar yaitu metode belajar intensional maka subjek akan menggunakan pemerosesan yang dianggap sesuai dan yang belum tentu diinginkan oleh eksperimenter. Prosedur belajar intensional merupakan prosedur belajar dengan tujuan tertentu. Dengan mencoba mempelajari informasi :
25
1. Informasi yang telah dipelajari subjek sebelumnya akan memberikan ide abstrak dan memudahkan subjek untuk memahaminya kemudian memudahkan proses recall. 2. Informasi yang telah dipelajari subjek sebelumnya juga akan membedakan penekanan subjek terhadap informasi dan menyediakan frame-work untuk me-recall informasi. 3. Subjek akan memiliki pengetahuan mengenai informasi tersebut. Belajar insidental ini merupakan kondisi belajar dimana partisipan secara sadar mengetahui adanya pemberian tes memori sehingga partisipan penelitian akan mencoba untuk menghapal informasi yang diberikan. Pada saat tes diberikan, subjek secara sadar bisa mengingat beberapa bagian yang sudah dipelajari sebelumnya (Neath& Surprenant,2003). Dimana kebanyakan studi meta analisis terlihat membutuhkan kondisi belajar intensional (intentional learning), dimana pada kondisi ini partisiapan mengetahui bahwa mereka akan ditanyakan mengenai item atau objek apa saja yang mereka ingat. Jadi, berdasarkan pemaparan mengenai metode belajar intensional, maka dapat kita simpulkan bahwa metode belajar intensional merupakan suatu kondisi belajar yang berkebalikan dari metode belajar insidental, dimana pada kondisi ini para partisipan penelitian diberikan instruksi mengenai adanya pemberian tes atau ujian setelah pemberian materi sehingga partisipan mengetahui bahwa nantinya akan ditanyakan mengenai informasi atau materi yang diberikan sebelumnya.
26
4.
Asumsi-asumsi mengenai Tingkat Pemerosesan Informasi Craik dan Lockhart (dalam
Neath& Surprenant,2003) adalah tokoh-
tokoh yang pertama menyatakan bahwa jenis pemerosesan informasi lebih penting daripada struktur teori yang mendasarinya. Mereka mengajukan empat asumsi,antara lain: a. Pertama, memori
merupakan hasil dari serangkaian analisis sejumlah
informasi dalam proses yang lebih dalam dari informasi yang tadinya akan diproses. Tingkat pemrosesan informasi harus dipandang sebagai suatu saat/titik dalam suatu kontinum. Kontinum ini bergerak dari pemrosesan yang dangkal (shallow) yang memfokuskan pada ciri-ciri perceptual, hingga ke pemerosesan lebih dalam dimana melibatkan meaning. b. Kedua, Craik dan Lockhart menyatakan bahwa semakin dalam levelnya, semakin panjang ingatan yang dihasilkan. Jika manusia ingin mengingat sesuatu untuk waktu yang lama, lebih baik memakai tingkat pemerosesan dalam misalnya dengan memfokuskan pada makna daripada hanya mengingat bagaimana item itu disuarakan. c. Ketiga, pandangan tingkat pemerosesan informasi menganggap rehearsal relative tidak terlalu penting. Memori meningkat ditentukan oleh tingkat pemerosesan yang semakin dalam, bukan karena mengulang item berkalikali. d. Keempat berkaitan dengan bagaimana seharusnya memori dipelajari bukan berkaitan dengan teori memori secara spesifik, karena penekanannya lebih pada pemerosesannya daripada struktur teorinya. Craik dan Lockhart
27
menyatakan bahwa penelitian akan bermanfaat apabila peneliti dapat mengontrol pemerosesan informasinya. Ketika subjek dengan sengaja mencoba belajar, mereka akan menggunakan pemerosesan yang dianggap sesuai, yang belum tentu diinginkan oleh eksperimenter. Oleh karena itu, peneliti harus menggunakan prosedur belajar insidental. Dalam prosedur belajar insidental (insidental learning) subjek tidak menyadari bahwa materi yang dipelajari akan dites kemudian, yang subjek sadari hanyalah memproses material seperti yang diperintahkan oleh eksperimenter.
5.
Pemerosesan Informasi secara Struktur, Phonem dan Semantik Tes teori tingkatan pemerosesan informasi secara umum memiliki tiga
tingkatan, dimana pemeroesan tingkat dalam (deep) akan semakin meningkat dari struktural, kemudian phonem dan kemudian secara semantik : a. Pengodean struktur (structural coding) Pengodean struktur adalah memiliki pertanyaan yang mana subjek diminta untuk mengidentifikasi huruf kapital dalam sebuah kata. b. Pengodean phonem Pengodean phonem (phonemic coding) memiliki pertanyaan yang mana subjek diminta menghubungkan suara (rhyme) suatu kata dengan kata yang lain dan menekankan pada pronouncation. c. Pengodean semantik Pengodean semantik (semantic coding) merupakan jenis tes yang mana subjek diminta untuk mengevaluasi makna dari suatu kata.
28
6.
Faktor yang mempengaruhi Tingkat Pemerosesan Informasi Hipotesis umum yang dikemukakan (Craik dan Lockhart dalam Neath&
Surprenant,2003) bahwa tingkat pemerosesan informasi yang dalam seharusnya memberikan kemampuan recall yang lebih baik. Memory code berbeda dan tergantung kepada bagaimana kita mengeleborasi informasi tersebut, dan banyak kode elaborasi maka kemampuan memori semakin baik. Beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa tingkat pemerosesan informasi yang dalam pada materi verbal lebih memberikan kemampuan recall yang baik dari pada menggunakan tingkat pemerosesan informasi yang dangkal. Berikut faktor yang dapat mempengaruhi proses mengingat pada pemerosesan informasi tingkat mendalam antara lain: 1.
Distinctiveness Didefinisikan sebagai sebuah stimulus yang berbeda dari sebagian memori
lainnya. Distinctive item merupakan suatu aitem yang berbeda secara tampilan dan makna (Reed,2004). Jika anda bertemu dengan seseorang yang namanya ingin anda ingat, maka anda akan melakukan tingkat pemerosesan informasi yang dalam untuk menggambarkan sesuatu yang tidak biasanya mengeni nama tersebut yang akhirnya membuat nama tersebut berbeda dengan nama lain yang pernah anda pelajari. Menurut Schmidt (dalam Reed,2004) Terdapat empat jenis distinctiveness: a.
Primary distictiveness Primary distictiveness merupakan sebuah aitem dari aitem dalam konteks.
29
b.
Secondary distinctiveness Secondary distinctiveness merupakan sebuah aitem yang berbeda dari aitem-aitem yang disimpan didalam LTM.
c.
Emotional distinctiveness Emotional distinctiveness merupakan sebuah aitem yang meminta adanya sebuah respon emosi yang kuat.
2.
Elaboration Merupakan faktor kedua yang mengoperasikan tingkat pemerosesan
informasi yang dalam. Elaboration mengharuskan adanya proses yang kaya dalam bentuk makna dan adanya konsep yang saling berhubungan (Craik,1999; Matlin,2005). Individu akan mampu mengelaborasi suatu konten yang semantik karena ini akan menjadi hal yang berguna daripada mengelaborasi konten secara nonsemantik (Reed,2004). Misalnya, jika kita diminta untuk memperoses kata “bebek”, maka kita akan menghubungkan kata “bebek” tersebut dengan faktafakta mengenai “bebek”. Pengodean secara semantik akan mendorong pemerosesan yang kaya. Dan sebaliknya jika kita hanya diminta untuk mengidentifikasi huruf kapital dalam kata “bebek” dan diminta untuk menjawab ada atau tidak, maka konsep elaborasi tidak akan mungkin terjadi.
7.
Faktor-faktor yang mempengaruhi Memori Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi kemampuan mengingat
individu, antara lain:
30
1.
Emosi dan Mood (suasana hati) Emosi dikenal memainkan peran yang penting dalam memori,
kadang-kadang dapat menghambat memori dan kadang-kadang dapat mengubahnya. Selain emosi, mood atau suasana hati juga dapat mempengaruhi proses kognitif individu (Matlin, 2005). Ada 3 cara baik emosi dan mood dapat mempengaruhi memori individu, yakni: a.
Individu lebih menyenangi stimulus yang menyenangkan.
b.
Individu
merecall
material
jika
sesuai
dengan
emosi
yang
dirasakannya pada saat itu. c.
Individu lebih efisien dan lebih akurat dalam mengulang aitem-aitem yang menyenangkan. Matlin (2209) juga mengemukakan suatu konsep yang disebut Pollyanna
Priciple. Pollyana principle menjelaskan bahwa aitem-aitem yang menyenangkan biasanya diproses lebih efisien dan lebih akurat daripada aitem yang kurang menyenangkan. Dan prinsip ini sering terjadi dalam berbagai fenomena seperti persepsi, bahasa dan pengambilan keputusan. Terdapat beberapa cara dimana stimulus emosional bisa mempengaruhi memori: a.
Informasi akan mudah diingat jika stimulus yang diberikan menyenangkan. Hasil suatu penelitian yang menyatakan bahwa jika subjek yang diberikan kata menyenangkan, netral dan tidak menyenangkan. Kemudian diuji dalam beberapa menit kemudian dan
31
ditemukan bahwa aitem-aitem tes yang menyenangkan lebih mudah diingat daripada aitem-aitem negatif. b.
Informasi akan lebih akurat jika stimulus netral dihubungkan dengan hal yang menyenangkan. Hasil penelitian membuktikan bahwa kemampuan recall akan berkurang jika informasi yang diberikan selama program televisi mengenai kekerasan.
c.
Proses mengingat lebih cepat pada stimulus yang menyenangkan.
d.
Memori-memori yang tidak menyangkan akan lebih cepat memudar daripada memori-memori yang menyenangkan.
2.
Inteligensi (IQ) Studi sejak tahun 1920 menyatakan bahwa IQ dan proses belajar
materi baru sangat berhubungan. Seorang anak dengan IQ di atas 130 akan memperlajari dan mempertahankan lebih banyak informasi daripada anak dengan IQ hanya 100 (Sprinthall & Sprinthall, 1990). 3.
Faktor kebudayaan Kebudayaan membuat anggotanya sensisitif terhadap objek, kejadian,
dan strategi tertentu yang dapat mempengaruhi kemampuan memori terhadap hal tersebut (Mystry & Rogoff dalam Santrock, 2004). Studi terhadap kebudayaan khususnya menemukan perbedaan kebudayaan dalam penggunaan strategi organisasional (Schneider & Bjorklund dalam Santrock, 2004). Kesalahan dalam penggunaan strategi organisasi yang
32
sesuai untuk mengingat informasi sering berhubungan dengan kurangnya pendidikan di sekolah yang tepat (Cole & Scribner dalam Santrock, 2004). 4.
Jenis kelamin Aspek jenis kelamin adalah aspek perbedaan sosiokultural yang
kurang diperhatikan dalam penelitian memori. Penelitian telah menemukan perbedaan jenis kelamin dalam memori, yakni wanita lebih baik daripada pria dalam hal episodic memory, yaitu memori tentang kejadian yang dialami sendiri yang meliputi waktu dan tempat kejadian tersebut berlangsung (Anderson; Halpern dalam Santrock, 2004). Wanita juga lebih bai k daripada pria dalam hal memori yang berhubungan dengan emosi (Cahill dalam Santrock, 2004), sedangkan pria lebih baik daripada wanita dalam hal tugas yang membutuhkan transformasi dari memori spasial (Halpern dalam Santrock, 2004). Tugas-tugas ini meliputi rotasi mental, yang meliputi pergerakan objek dalam bayangan (misalnya bentuk apa yang akan tampak jika objek ini diputar dalam ruang ini).
B.
Bahasa
1.
Definisi Bahasa Bahasa (language), menurut para psikolog kognitif, adalah suatu sistem
komunikasi yang di dalamnya pikiran-pikiran dikirimkan (transmitted) dengan perantaraan suara (sebagaimana dalam percakapan) atau simbol baik dalam katakata tertulis atau isyarat-isyarat fisik (Solso & Maclin,2008). Para ahli psikologi
33
kognitif menjelaskan bahwa terdapat beberapa opini umum yang terdiri dari enam hal yang menjelaskan definisi bahasa, antara lain (Matlin,2009): a.
Bahasa
sebagai
komunikasi;
bahasa
dapat
membantu
kita
berkomunikasi dengan orang lain yang memiliki bahasa yang sama dengan kita. b.
Bahasa sebagai simbol yang acak; bahasa menciptakan sebuah rangkaian yang acak dan memiliki hubungan dengan simbol dan beberapa hal seperti ide, sebuah benda, sebuah proses, sebuah hubungan atau sebuah tulisan.
c.
Bahasa sebagai suatu hal yang terstruktur secara tetap; bahasa memiliki struktur, hanya sebagian dibentuk oleh susunan simbol yang memiliki makna, dan ada juga susunan simbol yang memiliki makna yang berbeda.
d.
Bahasa sebagai suatu yang terstruktur berdasarkan beberapa tingkatan; dimana struktur bahasa bisa dianalisis lebih dari beberapa tingkatan (misalnya dari bentuk suara, makna, kata dan juga fase).
e.
Bahasa sebagai hal yang generatif dan produktif; dengan adanya batasan pada struktur bahasa, pengguna bahasa bisa menciptakan kumpulan ungkapan yang kemungkinan dapat menciptakan sebuah ungkapan yang tak terbatas.
f.
Bahasa sebagai suatu hal yang dinamis; bahasa secara terus menerus berkembang.
34
2.
Struktur Bahasa Struktur bahasa adalah suatu sistem dimana unsur-unsur bahasa diatur
dan dihubungkan satu dengan yang lain (Bloom dan Lahey,1978). Terdapat dua aspek dasar bahasa yang pertama adalah pemahaman reseptif dan pengkodean input kemudian yang kedua adalah pengkodean eskpresif dan produksi bahasa. Dalam Sternberg (2008) dikemukakan bahwa bahasa bisa dipecah-pecah menjadi banyak unit yang lebih kecil, antara lain : a.
Phoneme Phoneme merupakan unit terkecil bunyi ujaran yang bisa digunakan untuk menekan sebuah ucapan dari ucapan lainnya di sebuah bahasa Phoneme merupakan unit dasar dari komponen berbahasa, seperti suara a, k dan th. Bahasa Inggris biasanya memiliki 40 phoneme (Groome,1999).
b.
Morphem Morphem merupakan unit terkecil yang menunjukkan makna dalam bahasa tertentu. Morfem memperkenalkan dua bentuk morfem. Pertama morfem-isi (content morphemes) adalah kata-kata yang mengandung kumpulan makna sebuah bahasa. Kedua Morfem-fungsi (function morphemes) menambahkan detail dan nuansa bagi makna morfem-isi atau membantu morfem isi agar cocok dengan konteks gramatisnya.
35
c.
Lexicon Lexicon atau kosakata merupakan perangkat menyeluruh morfemmorefem dalam bahasa tertentu atau dalam daftar linguistik individu tertentu.
d.
Semantic Semantic atau semantika merupakan studi tentang makna sebuah bahasa. Semantic merupakan area psikolinguistik yang menjelaskan makna kata dan kalimat (Carroll,2004). Hal ini berhubungan dengan semantic memory yang merupakan hal yang membahas bagaimana kita mengorganisasikan pengetahuan yang kita miliki terhadap dunia.
e.
Syntax Syntax atau sintaksis mengacu kepada cara pemakai bahasa tertentu meletakkan kata-kata bersama-sama untuk membentuk kalimat. Sintaks berperan penting dalam pemahaman kita tentang bahasa (Sternberg,2008). Syntax merupakan konsep yang berhubungan dengan peraturan gramatikal yang mengontrol bagaimana kita mengorganisasi kata-kata terhadap kalimat (Owens,2001).
f.
Discursus Diskursus merupakan tatanan bahasa yang memandu penggunaan bahasa dalam tataran kalimat seperti di dalam percakapan, paragraf, cerita dan seluruh isi buku (Sternberg,2008).
36
g.
Pragmatic Pragmatic merupakan bentuk pengetahuan kita mengenai peraturan sosial yang menjadi dasar kita menggunakan bahasa (Carroll,2004).
3.
Manfaat Belajar Bahasa Asing Tujuan mempelajari bahasa asing selain mengenal bahasa ibu/bahasa asli,
kita mendapatan banyak manfaat dengan belajar bahasa asing. Pelajaran bahasa asing harus dimulai sedini mungkin. Berikut beberapa alasan-asalan perlunya belajar bahasa asing pada usia dini (Sausa,2011) : a.
Memperkaya dan meningkatkan perkembangan mental anak
b.
Menjadikan siswa lebih fleksibel dan dalam berpikir, memiliki kepekaan terhadap bahasa, dan memiliki pendengaran yang lebih baik. (otak belajar bagaimana merespon fonem yang berbeda dengan fonem bahasa ibunya).
c.
Meningkatkan pemahaman terhadap bahasa ibu (terkecuali anak memiliki masalah pendengaran atau masalah berbahasa lainnya, riset tidak mendukung pendapat-pendapat yang mengatakan mempelajari bahasa asing akan menghambat penguasaan bahasa ibu).
d.
Memberikan siswa kesempatan berkomunikasi dengan orang-orang yang asalanya tidak mungkin mereka kenali.
e.
Membuka wawasan terhadap budaya lain dan membantu siswa memahami dan menghargai orang-orang dari negara lain.
37
f.
Merupakan awal untuk memenuhi kemampuan berbahasa yang disyaratkan di universitas.
g.
Meningkatkan kesempatan kerja khususnya untuk berbagai karier yang memerlukan bahasa asing.
4.
Kosakata dalam Bahasa Inggris Kosakata (Inggris: vocabulary) adalah himpunan kata yang diketahui
oleh seseorang atau entitas lain, atau merupakan bagian dari suatu bahasa tertentu. Kosakata seseorang didefinisikan sebagai himpunan semua kata-kata yang dimengerti oleh orang tersebut atau semua kata-kata yang kemungkinan akan digunakan oleh orang tersebut untuk menyusun kalimat baru. Kekayaan kosakata seseorang secara umum dianggap merupakan gambaran dari intelejensia atau tingkat pendidikannya (Harmer,2003). Menurut Elsjelyn (2010) dalam bukunya “English Made Easy” mengungkapakan bahwa komponen bahasa Inggris yang sangat penting dalam pengembangan keterampilan bahasa adalah kosakata. Dengan perbendaharaan kata yang luas seseorang dapat mengerti dengan mudah apa yang didengar atau dibaca serta dapat berkomunikasi dengan jelas dan efektif. Dalam buku KBBI Edisi Ketiga (2006) Depdiknas juga dikemukakan bahwa hal yang paling mendasar dalam mempelajari bahasa Inggris adalah tentang penguasaan kosakata. Untuk menguasai keterampilan reseptif dan produktif siswa harus didukung oleh penguasaan kosakata bahasa Inggris. Sebagai standar kompetensi yang harus
38
dikuasai
siswa
dalam
pembelajaran
bahasa
Inggris
maka
penguasaan
perbendaharaan kosakata merupakan hal penting.
5.
Manfaat Kosakata dalam Bahasa Inggris Menurut El-faris dan Maulana (2010) dalam buku berjudul “English
Words in Contex” mengemukakan bahwa memiliki perbendaharaan kosakata yang luas akan mempermudah pemahaman siswa dalam kemampuan berbahasa Inggris, antara lain: a.
Dalam hal reading terutama dalam memahami konteks cerita dalam suatu buku bacaan berbahasa Inggris.
b.
Siswa juga mampu menyimak lebih mudah dalam listening.
c.
Siswa juga bisa berkomunikasi lebih mudah baik itu dalam speaking dan juga writing.
6.
Faktor Penunjang Keberhasilan dalam m
empelajari Bahasa Asing
Dalam Chaer (2003) dan Elsjelyn (2010) dijelaskan bahwa terdapat berbagai faktor, variabel dan kendala menentukan berhasil tidaknya pembelajaran bahasa asing, antara lain : a.
Faktor Bakat (Aptitude) Ada banyak orang yang sukses dalam pekerjaan atau berhasil
dalam studi mereka, tetapi gagal dalam mempelajari bahasa asing. Mereka telah mencoba berkali-kali dan menghabiskan banyak waktu tetapi tetap mengalami banyak kesulitan. Sementara itu ada sebagian
39
orang yang dengan mudah dapat menyerap kata-kata asing, memahami grammar dan berbicara dalam bahasa asing dengan lancar. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa faktor yang membedakan keduanya, dalam menguasai bahasa asing adalah adanya bakat bahasa. Carroll (2004) dalam “Language develompent in Children” mengungkapkan bahwa bakat bahasa adalah hasil pembawaan lahir yang sulit diubah. b.
Faktor Motivasi Motivasi diperlukan dalam mempelajari bahasa asing. Banyak
pengajar yang sependapat bahwa siswa yang ingin benar-benar belajar, biasanya akan berhasil, terlepas dari buku pelajaran yang digunakan, guru yang mengajar atau metode yang diterapkan kepadanya. Gardner & Lambert
(dalam
Elsjelyn,2010)
mengemukakan
bahwa
dalam
penguasaan bahasa terdapat dua motivasi, yaitu motivasi integratif dan motivasi instrumental. Dimana motivasi intergatif adalah motivasi yang didorong oleh keinginan siswa untuk berintegrasi dengan budaya dan bahasa yang dipelajarinya. Biasanya motivasi ini dimiliki oleh siswa yang berkeinginan kuat untuk mempelajari bahasa itu secara mendalam. Sedangkan motivasi instrumental adalah motivasi yang didasarkan pada harapan bahwa dengan menguasai bahsa asing, sesorang dapat mencapai sesuatu, misalnya posisi atau pekerjaan yang lebih baik. Jadi dalam hal ini bahasa adalah alat untuk mencapai tujuan tertentu. Motivasi integratif lebih menjamin keberhasilan. Hal ini disebabkan karena individu yang memiliki motivasi integratif mempunyai sikap yang positif terhadap
40
bahasa yang mereka pelajari, sehingga dia bersedia melakukan apa saja untuk dapat menguasai bahasa itu. Mereka aktif dan tidak bergantung hanya pada buku atau guru. Mereka selalu mencari kesempatan untuk dapat mendengarkan bahasa itu melalui siaran-siaran di radio atau televisi, dan tidak segan atau malu mencoba menggunakan bahasa itu dalam percakapan. Bagi mereka, mempelajari bahasa asing bukan merupakan hal yang sulit karena mereka menyukainya. c.
Faktor Usia Ada anggapan bahwa pembelajaran bahasa kedua pada anak-anak
lebih baik dan lebih berhasil dalam pembelajaran bahasa kedua dibandingkan dengan orang dewasa. Anak-anak tampaknya lebih mudah dalam memperoleh bahasa baru, sedangakan orang dewasa tampaknya mendapat kesulitan dalam memperoleh tingkat kemahiran bahasa kedua. Anggapan ini telah mengarahkan pada adanya hipotesis mengenai usia kritis atau prode kritis untuk belajar bahasa kedua. Berbagai hasil penelitian mengenai faktor usia dalam pembelajaran bahasa kedua (Chaer,2003). Fathman, Dulay, Burt dan Krashen (dalam Chaer,2003) mengemukakan bahwa dalam hal urutan pemerolehan tampaknya faktor usia tidak terlalu berperan sebab urutan pemerolehan oleh kanak-kanak dan orang dewasa tampaknya sama saja. Kemudian dijelaskan bahwa dalam hal kecepatan dan keberhasilan belajar bahasa kedua, dapat disimpulkan bahwa anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa dalam pemerolehan sistem fonologi atau pelafalan, bahkan banyak
41
diantara mereka yang mencapai pelafalan seperti penutur asli sedangkan orang dewasa tampaknya maju lebih cepat daripada anak-anak dalam bidang morfologi dan sintaksis paling tidak pada permulaan masa belajar. Anak-anak lebih berhasil daripada orang dewasa, tetapi tidak selalu lebih cepat perbedaan umum mempengaruhi kecepatan keberhasilan belajar bahasa kedua pada aspek fonologi, morfologi dan sintaksis tetapi tidak berpengaruh dalam pemerolehan urutannya. d.
Faktor Kesempatan (opportunity) Kesempatan (opportunity) yang dimaksud adalah mencakup
bagaimana semua kegiatan belajar baik di dalam maupun di luar kelas, dimana siswa secara aktif berlatih menggunakan bahasa yang sedang dipelajarinya (Elsjelyn,2010). e. Faktor Bahasa Pertama Para pakar pembelajaran bahasa kedua pada umumnya percaya bahwa bahasa pertama (bahasa ibu atau bahasa yang lebih dahulu diperoleh) mempunyai pengaruh terhadap proses penguasaan bahasa kedua pemebelajr (Ellis,1986). Bahasa pertama yang telah lama dianggap menjadi pengganggu dalam mempelajari bahasa kedua. Hal ini karena bisa seorang pembelajar secara sadar atau tidak melakukan transfer unsur-unsur bahasa pertamanya, ketika menggunakan bahasa kedua (Dulay dalam Chaer,2003). Klein (dalam Chaer,2003) mengemukakan bahwa menurut teori ontrasif keberhasilan belajar bahasa kedua sedikit banyaknya ditentukan oleh keadaan lingustik bahasa yang telah dikuasai
42
sebelumnya oleh si pembelajar. Berbahasa kedua adalah suatu proses tranferisasi. Maka jika struktur bahasa yang sudah dikuasai (bahasa pertama)
banyak
mempunyai
kesamaan
dengan
bahasa
yang
dipelajarinya akan terjadilah semacam pemudahaan dalam proses transferisasinya. Sebaliknya, jika struktur keduanya memiliki perbedaan, maka akan terjadi kesulitan bagi pembelajar untuk menguasai bahasa kedua itu. f. Faktor Penyajian Formal Ada duatipe pembelajaran bahasa kedua yaitu naturalistik dan formal. Tiper pertama, yaitu tipe naturalistik berlangsung secara alamiah dalam lingkungan keluarga (tempat tinggal) sehari-hari tanpa guru dan tanpa kesengajaan. Sedangkan tipe formal berlangsung secara formal dalam pendidikan di sekolah dengan guru, dengan kesengajaan dan dengan berbagai perangkat formal pembelajarannya seperti kurikulum, metode, guru, media belajar , materi pembelajaran dan sebagainya.
7.
Karakteristik Pembelajar Bahasa Inggris Usia Dini Kelompok pembelajar ini dikenal dengan young learner. Dalam Harmer
(2003) dijelaskan pembelajar pemula merupakan anak-anak yang memiliki usia 6 hingga 10 tahun. Dimana pada masa ini pembelajar memiliki beberapa ciri yang berbeda dari pada masa anak-anak akhir, masa remaja dan usia dewasa, antara lain:
43
a.
Mereka mampu merespon makna walaupun mereka tidak memahami perkataan individu tersebut.
b.
Mereka sering kali belajar secara tidak langsung dari pada secara langsung, mereka belajar dari sekitar mereka.
c.
Mereka memahami materi pelajaran bukan hanya sekedar dari penjelasan, akan tetapi dari apa yang mereka lihat dan dengar, kemudian apa yang mereka rasakan dan mereka sentuh.
d.
Mereka biasanya sangat antusias untuk mempelajari apa yang ada disekitar mereka.
e.
Mereka membutuhkan perhatian yang individual dari guru.
f.
Mereka sering kali berbicara mengenai diri mereka sendiri merespon materi pelajaran yang diberikan dan menggunakannya di kehidupan sehari-hari.
g.
Mereka memiliki keterbatasan perhatian (attention), terlalu banyak melakukan aktifitas juga membuat mereka lebih cenderung merasa letih dan bosan.
Dikarenakan adanya keunikan yang dimiliki pembelajar pemula ini menjadikan adanya pola dan gaya pembelajaran berbeda yang diterapkan dalam mata pelajaran bahasa Inggris. Selain adanya ciri-ciri yang dimiliki pembelajar pemula ini, terdapat pula penjelasan mengenai beberapa kemampuan yang dimiliki siswa SD dalam mempelajari bahasa Inggris, antara lain: 1.
Mereka mampu menginterpretasikan arti dari suatu kalimat bahasa Inggris tanpa harus mengetahui maknanya dan mereka bisa menebak
44
arti suatu ucapan atau ujaran bahasa Inggris melalui intonasi dan isyarat. 2.
Mereka bisa dengan cepat diajak berkomunikasi dalam bahasa Inggris sederhana tidak merasa malu dan takut salah.
3.
Mereka memiliki kemampuan terbatas untuk menggunakan komponen bahasa secara kreatif. Karena
itu umunya mereka senang belajar
sambil bermain, contohnya main tebak kata bahasa Inggris dan silahkan kata. 4.
Mereka
acap
kali
belajar
secara
tidak
langsung
misalnya
mendengarkan cerita/dongeng. Artinya anak tidak perlu belajar grammar secara khusus. 5.
Mereka sangat suka terhadap sesuatu yang bersifat fun. Misalnya guessing, scrabel dan permainan lainnya.
6.
Mereka dapat dengan cepat merespon suatu kata (vocabulary/single word).Mereka mudah mengerti konsep yang bersifat konkrit.
7.
Rasa ingin tahu yang sangat besar.
8.
Mereka aktif berbicara dengan bergarak tetapi memilki daya konsentrasi yang singkat (short attention span).
Keunikan karakter yang dimiliki usia dini ini yang membedakan pembelajar bahasa Inggris usia dini di sekolah dasar. Karena itu, kegiatan pembelajaran Bahasa Inggris untuk kelompok ini sebaiknya disesuaikan dengan karakter-karakter tersebut agar hasil belajar dapat berjalan dengan optimal.
45
C.
Siswa Sekolah Dasar Sekolah dasar (disingkat SD) adalah jenjang paling dasar pada
pendidikan formal di Indonesia. Sekolah dasar ditempuh daam waktu 6 tahun, mulai dari kelas 1 sampai kelas 6. Lulusan sekolah dasar dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah menengah pertama (atau sederajat). Pelajar sekolah dasar umumnya berusia 7-12 tahun (Kurikulum, 2010). Dalam Papalia (2008) dikemukakan bahwa usia 6 sampai sekitar 11 tahun merupakan masa kanak-kanak pertengahan, dan juga sering kali disebut sebagai masa sekolah.
1.
Masa Anak-Anak Pertengahan Pada masa kanak-kanak pertengahan, anak memiliki kemajuan besar
dalam proses berpikir, dalam ingatan dan dalam literasi. Pada usia 7 tahun, seorang anak memasuki tahap operasional konkret. Dimana pada saat ini anak dapat menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah konkret atau aktual (Papalia,2008)
2.
Perkembangan Kognitif Masa Anak-Anak Pertengahan Berikut tahap perkembangan kognitif masa anak-anak pertengahan berada pada fase operasional konkrit, berikut definisi dari fase operasional konkret (Papalia,2008): 1.
Operasional Konkret Mengacu kepada Piaget, pada usia 7 tahun, seorang anak memasuki
tahap operasional konkret. Dinamakan demikian karena pada saat ini anak
46
dapat menggunakan operasi mental untuk memecahkan masalah konkret (aktual). Anak dapat berpikir lebih logis ketimbang sebelumnya karena pada saat ini mereka dapat mengambil berbagai aspek dari situasi tersebut ke dalam pertimbangan. Walaupun demikian, mereka masih dibatasi untuk berpikir tentang situasi yang sebenarnya pada saat itu saja. Anak yang berada di tahap operasional dapat melakukan banyak tugas pada tingkat yang lebih tinggi daripada yang dapat mereka lakukan pada tahap praoperasional. Mereka memiliki pemahaman yang lebih baik dalam beberapa aspek, antara lain: 1.
Ruang dan Kausalitas. Anak-anak yang berada pada tahap operasional kongkret dapat memahami hubungan spasial dengan lebih baik. Mereka memiliki ide yang lebih jernih tentang seberapa jauh satu tempat ke tempat yang lain dan berapa waktu yang dibutuhkan untuk mencapainya dan mereka juga dapat dengan mudah mengingat rute dan
tanda-tanda
sepanjang
jalan.
Kemudian,
kemampuan
mengategorisasi membantu anak untuk berpikir secara logis. 2.
Kategorisasi. Pada saat ini kategorisasi mencakup kemampuan rumit seperti pengurutan, transitive inference, dan class inclusion. Anakanak
menunjukkan
pemahaman
mereka
terhadap
pengurutan
(seration) ketika mereka dapat mengatur objek dalam rangkaian yang sesuai dengan satu atau beberapa dimensi seperti berat (dari ringan ke yang berat) atau warna (dari yang paling pucat sampai yang paling gelap). Pada usia 7 atau 8 tahun, seorang anak dapat menyerap
47
hubungan yang terdapat dalam sekumpulan tingkat dan menyusun mereka berdasarkan ukuran. 3.
Kemudian penalaran induktif dan deduktif. Merujuk kepada piaget. Seorang anak yang berada dalam level operasi konkret menggunakan penalaran induktif. Memulai dengan observasi terhadap beberapa anggota kelas manusia, binatang, objek atau peristiwa kemudian menarik kesimpulan umum tentang kelas tersebut sebagai suatu kesatuan. Kesimpulan induktif pasti bersifat tentatif ada kemungkinan untuk menemukan informasi baru yang tidak mendukung kesimpulan tersebut.
4.
Konservasi. Dalam memecahkan berbagai masalah konservasi, anakanak yang berada dalam tahap operasi konkret dapat mencari jawabannya dalam kepala mereka; mereka tidak harus mengukur atau menimbang objek tersebut. Piaget bersikeras bahwa penguasaan keterampilan seperti konservasi tergantung kepada kematangan neurologis dan adaptasi terhadap lingkungan dan karenanya tidak terikat kepada pengalaman kultural. Dukungan terhadap basis neurologis konservasi volume datang dari pengukuran aktivitas otak sepanjang tugas konservasi. Anak yang sudah menguasai konservasi volume
menunjukkan
pola
gelombang
otak
yang
berbeda
dibandingkan mereka yang belum menguasainya, dan hal tersebut mengisyaratkan mereka yang telah menguasainya menggunakan bagian otak yang berbeda untuk melakukan tugas.
48
D.
Perbedaan Kemampuan Mengingat Kosakata Bahasa Inggris dengan Metode Belajar Insidental dan Intesional dalam Tingkat Pemerosesan Informasi Bahasa Inggris merupakan salah satu mata pelajaran yang diajarkan
kepada siswa sejak jenjang sekolah dasar. Dalam buku KBBI Edisi Ketiga (2006), Depdiknas mengemukakan bahwa hal yang paling mendasar dalam mempelajari bahasa Inggris adalah tentang penguasaan kosakata. Untuk menguasai keterampilan reseptif dan produktif siswa harus didukung oleh penguasaan kosakata bahasa Inggris. Kemampuan reseptif yaitu kemampuan melakukan listening dan reading yang baik sedangkan kemampuan produktif merupakan kemampuan siswa dalam hal speaking dan writing yang baik. Banyaknya kosakata bahasa Inggris yang harus dikuasai siswa sejak dini, menuntut siswa untuk memiliki kemampuan mengingat kosakata yang lebih baik. Memiliki perbendaharaan kosakata mengharuskan individu mengingat dan menghapal
perbendaharaan kosakata setiap hari (Martinus,2011). Solso dan
Machlin (2008) menyatakan memori sangat diperlukan dalam proses belajar, dimana dengan adanya memori dapat membantu pembelajar untuk memproses informasi, mengelola informasi dan mengingat kembali informasi tersebut. Dempster (Neath & Suprenant,2003) mengemukakan bahwa kemampuan memori anak-anak secara bertahap akan terus meningkat dimana pada usia 2 tahun anak akan mampu memanggil 2 kata dan pada usia 9 tahun maka anak telah mampu memamnggil 9 kata. Hasil penelitian Hulme,Thomson,Muir dan Lawrence (Neath & Suprenant,2003) juga menemukan bahwa semakin tinggi usia anak maka
49
semakin banyak kosakata yang mampu mereka ingat. Beberapa hasil penelitian ini menjelaskan bahwa strategi memori dan kemampuan mengingat akan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya usia anak. Memori merupakan cara-cara yang dengannya kita mempertahankan dan menarik pengalaman dari masa lalu untuk digunakan saat ini (Tulving & Craik, dalam Sternberg,2008). Reed (2004) menjelaskan bahwa terdapat banyak praktisi psikolog tertarik mengulas bagaimana individu mengingat kembali informasi yang tersimpan dalam waktu jangka panjang. Hal ini menarik bahwa individu tidak hanya dituntut untuk mampu mengingat unit informasi, tetapi juga harus mengingat konteks inti informasi tersebut dengan tepat. Craik dan Lokhart (dalam Neath& Surprenant,2003) mengemukakan suatu teori yang menjelaskan mengenai pemerosesan informasi dalam memori individu yang disebut sebagai teori tingkat pemerosesan informasi. Teori tingkat pemerosesan informasi memiliki tujuan yang menjelaskan bahwa ada perbedaan cara untuk mengkodekan suatu materi dan ada berbagai memory code yang lebih baik daripada yang lain. Tingkat pemerosesan informasi merupakan sebuah teori yang menjelaskan bahwa tingkatan proses terdalam (semantik) lebih bisa bertahan lama pada memori. Craik dan Lokhart dalam (Neath& Surprenant,2003) mengemukakan bahwa tingkat pemerosesan informasi yang dalam seharusnya memberikan kemampuan recall yang lebih baik. Beberapa hasil penelitian mengemukakan bahwa tingkat pemerosesan informasi yang dalam pada materi verbal lebih memberikan kemampuan mengingat yang baik dari pada menggunakan tingkat pemerosesan informasi yang dangkal. Tingkat pemerosesan informasi merupakan sebuah teori
50
yang menjelaskan bahwa tingkatan proses terdalam (semantik) lebih bisa bertahan lama pada memori (Reed,2004). Dalam konsep tingkat pemerosesan informasi juga dikenal dua suatu konsep kondisi belajar
yaitu metode belajar insidental dan metode belajar
intensional. Metode belajar insidental dijelaskan dapat membantu kemampuan mengingat informasi individu yang lebih baik. Dikarenakan kondisi belajar ini bisa mendorong kita lebih secara sembarangan dalam memproses objek yang kita lihat. Konskeuensinya, kita bisa memanggil objek yang lebih banyak dan akurat menandingi harapan kita (Matlin,2005 hal,278). Akan tetapi dijelaskan bahwa dalam hasil penelitian Eagle dan Leiter (dalam Neath & Suprenant,2003) yang menjelaskan bahwa metode intensional juga diketahui dapat memberikan manfaat terhadap proses recall dikarenakan instruksi ini memudahkan subjek untuk mempelajari informasi sebelumnya dan memberikan ide abstrak pada subjek untuk memahami sehingga memudahkan untuk melakukan recall, kemudian subjek akan menghubungkan strategi untuk mengorganisir materi yang diberikan dan hasil organisasi tersebut memberikan manfaat yang besar terhadap peroses pemanggilan recall. Hyde dan dan Jenkin(1973) menjelaskan bahwa sebenarnya tidak ada perbedaan kemampuan mengingat yang cukup signifikan dengan menggunakan kedua metode belajar tersebut. Hasil penelitian yang dilakukan Hyde dan Jenkin menemukan bahwa tidak ada perbedaan yang cukup signifikan pada hasil recall subjek yang diberikan instruksi belajar insidental dan intensional. Subjek yang memiliki orientasi tingkatan pemerosesan informasi yang sama walaupun
51
diberikan instruksi belajar yang berbeda memiliki hasil jumlah kosakata yang tidak jauh berbeda. Misalnya pada kedua kelompok yang diberikan orientasi yang sama yaitu
diminta untuk mengidentifikasi bagian atau
part
suatu
percakapan, diperoleh hasil bahwa kedua kelompok mampu melakukan recall jumlah kosakata yang sama walupun salah satu kelompok diberitukan adanya pengadaan tes mengingat (memory) dan satu kelompok lainnya tidak diberitaukan. Begitu juga dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Alemi dan Tayebi (2011), dimana berdasarkan penelelitian tersebut diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang cukup signifikan dalam mempelajari kosakata bahasa Inggris dengan metode belajar insidental dan intensional pada siswa menengah pertama di Iran. Namun, berdasarkan beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa metode insidental dapat membantu meningkatkan kosakata bahasa Inggris siswa. Dari hasil penelitian Jamel (2011) menemukan bahwa performansi siswa mempelajari kosakata dengan metode belajar insidental akan lebih baik daripada secara intensional. Hasil penelitian Rashidi dan Adivi (2008) juga mengemukakan bahwa reading short story dengan metode belajar insidental menunjukkan hasil yang lebih baik dimana siswa yang diterapkan metode belajar insidental lebih banyak menambah dan memperluas kosakata baru bahasa Inggris sebagai bahasa kedua mereka.
52
Gambar.2 Kerangka Berpikir Metode Belajar Intentional
Insidental
Shallow
Tingkat Pemerosesan
-
Identifikasi huruf
-
Suara huruf
-
Jumlah huruf
Deep Makna (Meaning)
STM Short Term Memory
LTM Long Term Memory
Insidental :
Deep dan Shallow :
Intensional : E.
Hipotesa Penelitian Berdasarkan uraian teoritik di atas, maka hipotesis penelitian ini dapat
dirumuskan sebagai berikut : 1. Ada perbedaan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris pada kelompok yang diberikan metode belajar insidental dan kelompok yang diberikan metode intensional. 2. Ada perbedaan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris pada kelompok yang diberikan tingkat pemerosesan informasi dangkal (shallow) dan kelompok yang diberikan tingkat pemerosesan informasi dalam (deep).
53
3. Ada perbedaan kemampuan mengingat kosakata bahasa Inggris pada kelompok yang diberikan metode belajar insidental dan tingkat pemerosesan informasi dangkal (shallow), kelompok yang diberikan metode intensional dan tingkat pemerosesan informasi dangkal (shallow), kelompok yang diberikan metode insidental dan tingkat pemerosesan informasi dalam (deep), serta kelompok yang diberikan metode intensional dan tingkat pemerosesan informasi dalam (deep).