INDONESIA ADALAH KITA

INDONESIA ADALAH KITA USULAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA UNTUK RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL (RPJMN) 2015-2019

TIM PENYUSUN: Ahmad Faisol Alvon Kurnia Palma Bagus Takwin Diana Gultom Hamong Santono Ilham Saenong Iwan Nurdin Sugeng Bahagijo Victoria Fanggidae

2014

INDONESIA ADALAH KITA USULAN MASYARAKAT SIPIL INDONESIA UNTUK RENCANA PEMBANGUNAN JANGKA MENENGAH NASIONAL (RPJMN) 2015-2019

TIM PENYUSUN: Ahmad Faisol Alvon Kurnia Palma Bagus Takwin Diana Gultom Hamong Santono Ilham Saenong Iwan Nurdin Sugeng Bahagijo Victoria Fanggidae

Didukung oleh:

i

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI GLOSSARY RINGKASAN I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang I.2. Metode dan Proses Penyusunan RPJMN

II. TANTANGAN PEMBANGUNAN II.1. Tantangan 1 : Kualitas Pemerintah Dan Pemberantasan Korupsi II.2. Tantangan 2 : Pemenuhan Kebutuhan Dasar Masyarakat (Energi, Air, Pangan dan Kesehatan) II.3. Tantangan 3 : Mengurangi Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan serta Kesempatan II.4. Tantangan 4 : Pembaruan Agraria, Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam yang Adil dan Lestari II.5. Tantangan 5 : Penguatan Sistem Hukum, Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Perempuan dan Kelompok Rentan Lainnya II.6. Tantangan 6 : Negara Lemah dan Pendanaan Pembangunan untuk Pembangunan Yang Inklusif

III. PRIORITAS, SASARAN DAN INDIKATOR III.1. Prioritas 1 : Tata Kelola Pemerintah dan Pemberantasan Korupsi III.2. Prioritas 2 : Pemenuhan Kebutuhan Dasar Warga akan Energi, Air, Pangan dan Kesehatan III.3. Prioritas 3 : Peningkatan Kapasitas Sumber Daya Manusia III.4. Prioritas 4 : Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kelompok Rentan III.5. Prioritas 5 : Pembaruan Agraria, Perlindungan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam III.6. Prioritas 6 : Kemandirian Fiskal dan Pendanaan Pembangunan

IV. PENUTUP DOKUMEN YANG DIGUNAKAN

ii

ii iii 1 10 10 18 19 24 28 35 38 41 49 54 57 62 65 66 70 72 73 75

GLOSSARY AKI

– Angka Kematian Ibu

ASEAN

– Association of Southeast Asian Nations

CSO

– Civil Society Organization (Organisasi Masyarakat Sipil)

Gini Rasio

– Ukuran untuk melihat ketimpangan pendapatan pada sebuah negara. Diukur dalam skala 0-1, semakin mendekati angka 1 artinya ketimpangan pendapatan semakin besar

HAM

– Hak Asasi Manusia

INFID

– International NGO Forum on Indonesian Development

OGP

– Open Government Partnership

PPID

– Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi

SDA

– Sumberdaya Alam

SDM

– Sumberdaya Manusia

UU BPJS

– Undang-Undang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial

UU KIP

– Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik

UU SJSN

– Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional

WHO

– World Health Organization

YLBHI

– Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia

iii

INDONESIA ADALAH KITA

RINGKASAN Pokok-pokok Tantangan

Uraian

6 Tantangan

1. 2. 3. 4. 5. 6. Prioritas

Kualitas pemerintahan dan pemberantasan korupsi. Pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat Penurunanan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan Penurunan kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam Perlindungan Hak Asasi Manusia Pendanaan Pembangunan

6 Prioritas

1. Tata kelola pemerintah dan memangkas korupsi 2. Pemenuhan kebutuhan dasar warga akan energi, air, pangan dan kesehatan. 3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia. 4. Perlindungan Hak Asasi Manusia 5. Pembaharuan agraria, perlindungan lingkungan hidup dan sumberdaya alam 6. Kemandirian fiskal dan pendanaan pembangunan Indikator

207 indikator

Meskipun Indonesia telah masuk sebagai negara kelas menengah, Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, seperti (a) rentannya kemandirian ekonomi akibat masih tingginya impor barang-barang; (b) masih rendahnya kualitas demokrasi (low quality of

democracy) yang ditengarai dengan maraknya politik kartel, serta (c) masih terbatasnya kualitas pelayanan publik dan jaminan sosial, sehingga perwujudan sistem jaminan sosial yang memadai belum dapat tercapai. Kendala-kendala ini perlu diatasi segera. Kemandirian ekonomi, peningkatan kualitas demokrasi, dan percepatan perwujudan sistem jaminan sosial menjadi sangat urgen dalam kurun lima tahun ke depan. Indonesia hari ini juga sudah memiliki lebih dari 50 juta penduduk yang dapat digolongkan sebagai “kelas menengah” yang memiliki daya beli tinggi dan lebih dari 5.000 orang superkaya, namun dari dua indikator pembangunan sosial Indonesia yang kiranya dapat mewakili seluruh hasil pembangunan selama 15 tahun terakhir menunjukkan kondisi kesejahteraan warganegara yang masih sangat memprihatinkan dan mengancam Indonesia. Dua indikator itu: 1. Angka Kematian Ibu (AKI) yang tinggi (359/100.000 kelahiran hidup); dan 2. Gini ratio yang tinggi 0,41 (2012). Ini menunjukkan bahwa pembangunan yang berjalan di 1 www.infid.org


Indonesia masih bersifat eksklusif. Belum lagi jika kita menghitung dan mempertimbangkan laju kerusakan hutan dan lingkungan hidup Indonesia yang terus menerus terjadi dalam skala luas. Metode Penulisan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 ini berpijak pada beberapa sumber: (a) Dokumen hasil berbagai pertemuan yang dilakukan INFID bersama mitra dan jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia; (b) Kertas kerja CSO dalam berbagai bidang antara lain soal ketimpangan pendapatan, kebijakan pajak, akses keadilan dan Hak Asasi Manusia (HAM) dalam rangka penyusunan substansi agenda pembangunan Pasca-2015; (c) Usulan dan gagasan yang disampaikan dalam Konferensi INFID 2013; serta (d) Dokumen analisis INFID untuk mempengaruhi kebijakan para capres ketika pemilu sedang berlangsung, antara perihal Pajak dan Ketimpangan. Pada bulan Agustus-September 2014, INFID membentuk tim penulis untuk menyusun dan merangkum berbagai temuan dan rekomendasi. Rancangan awal tulisan ini telah melalui

peer review pada bulan November 2014 untuk menajamkan temuan dan rekomendasi, termasuk juga indikator atas sasaran-sasaran yang perlu dicapai. Tantangan Dokumen ini mengidentifikasi setidaknya-tidaknya ada enam tantangan yang perlu diperhatikan agar terjadi pembangunan inklusif, yaitu: 1. Kualitas pemerintahan dan pemberantasan korupsi. Ketidaktransparanan dan rendahnya akuntabilitas tata pemerintahan ternyata menjadi ladang subur bagi timbulnya korupsi. Kondisi ini juga berimbas di tingkat pemerintahan daerah yang

seharusnya mampu

untuk mendorong terjadinya demokratisasi di tingkat local / daerah. 2. Pelayanan kebutuhan dasar masyarakat, yaitu akses kepada listrik dan bahan bakar modern, akses air bersih, perubahan paradigma ketahanan pangan menuju kedaulatan pangan, termasuk didalamnya perlindungan bagi petani, serta akses kesehatan. 3. Penurunan kemiskinan dan pengurangan ketimpangan pendapatan dan kesempatan. Rasio gini di Indonesia terus meningkat dari 0,32 pada tahun 2003 menjadi 0,41 di tahun 2012. Sebesar 20% kelompok terkaya menikmati 49% pendapatan nasional, (naik dari level 40% pada tahun 2002). Sementara 40% kelompok termiskin menikmati 16% pendapatan nasional (turun dari 20% pada tahun 2002).

2 www.infid.org


4. Penurunan kerusakan lingkungan hidup dan pemanfaatan sumber daya alam yang adil dan lestari. Ada dalam masalah keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi sumber daya alam yang mengakibatkan pencemaran dan konflik tata guna lahan. 5. Perlindungan Hak Asasi Manusia mencakup pengakuan dan perlindungan perempuan serta kelompok rentan. Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender masih terus terjadi di berbagai bidang yang pada akhirnya tidak menguntungkan bagi kelompok perempuan. Demikian pula bagi kelompok penyandang disabilitas, stigma dan berbagai bentuk diskriminasi menyebabkan hampir 60 persen penyandang disabilitas hidup di bawah garis kemiskinan. 6. Penguatan kemandirian fiskal dan pendanaan pembangunan. Untuk menjadi mandiri, sebuah negara wajib mandiri dalam hal keuangan dan pendanaan. Indonesia sebagai negara menengah kini bergantung sepenuhnya pada pajak, tidak lagi bergantung kepada bantuan internasional. Namun demikian, pendapatan pajak jauh lebih rendah dari potensinya, baik karena kelemahan manajemen dan adminsitrasi maupun karena kebijakan Pajak menjadi tumpuan dan andalan. Untuk bisa sejajar dengan negara menengah lainnya, Indonesia perlu mengatasi berbagai kendala dan tantangan. Prioritas Terhadap tantangan-tantangan tersebut, direkomendasikan untuk melakukan prioritas pembangunan di enam bidang dalam kurun waktu lima tahun mendatang. 1. Tata kelola pemerintah dan memangkas korupsi. Pemerintah yang berkualitas akan menyelesaikan banyak hal, dan tidak menjadi sumber masalah. Pelayanan publik akan makin baik dan kepercayaan kepada pemerintah akan meningkat jika dan hanya jika kualitas pemerintah mengingkat. Penyelenggaraan Negara harus dilakukan dengan bersih, efisien dan minim korupsi, sehingga pelayanan kepada warga semakin meningkat dan capaian pembangunan yang terjadi akan semakin optimum. 2. Pemenuhan kebutuhan dasar warga akan energi, air, pangan dan kesehatan. Jaminan pemenuhan kebutuhan dasar warga menjadi penting, agar warga dapat menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan bermartabat, dan pada akhirnya akan menyumbang kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia. 3. Peningkatan kualitas sumberdaya manusia. Indonesia masih menderita kekurangan besar dalam berbagai keahlian dan profesi, seperti dokter, bidan, ahli perminyakan dan gas, ahli teknologi listrik dan manajer dan sebagainya. Indonesia harus melakukan dua hal

3 www.infid.org


sekaligus jika hendak menjadi bangsa mandiri. Memperkuat mutu pendidikan dan sekaligus memperluas akses pendidikan. 4. Perlindungan Hak Asasi Manusia dan kelompok rentan. Pembangunan tidak boleh meninggalkan satu atau beberapa kelompok lain dalam masyarakat. Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang tidak boleh ditunda dan ditunda lagi. Pelanggaran HAM masa lalu harus diselesaikan. Bersamaan itu pula, kebijakan dan strategi perlindungan kelompok rentan dan strategi penanggulangan kemiskinan perlu dibangun. 5. Pembaruan agraria, perlindungan lingkungan hidup dan sumberdaya alam. Lingkungan hidup dan sumber daya alam merupakan aset semua dan menjamin keberlanjutan sebuah negara, termasuk menjamin hak-hak generasi seanjutnya. Sifat lingkungan dan sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-renewable) serta fungsinya sebagai penyumbang terbesar perekonomian perlu diselaraskan dalam rencana aksi yang terukur, sehingga bencana alam akibat ulah manusia dapat diminimalkan, sementara kemaslahatannya dapatdimaksimalkan. Tanah adalah aset yang sangat penting, oleh karena itu pembaruan agraria diperlukan untuk menjamin agar warga memiliki aset yang sangat penting ini. 6. Penguatan kemandirian fiskal dan pendanaan pembangunan. Untuk menjadi mandiri, sebuah negara wajib mandiri dalam hal keuangan dan pendanaan. Indonesia sebagai negara menengah kini bergantung sepenuhnya pada pajak, tidak lagi bergantung kepada bantuan internasional. Namun demikian, pendapatan pajak jauh lebih rendah dari potensinya, baik karena kelemahan manajemen dan adminsitrasi maupun karena kebijakan Pajak menjadi tumpuan dan andalan. Untuk bisa sejajar dengan negara menengah lainnya, Indonesia perlu mengatasi berbagai kendala dan tantangan.

4 www.infid.org


Indikator-Indikator Indikator-indikator keberhasilan program di antaranya: Prioritas 1 

Terlaksananya 100% pengisian jabatan strategis aparat penegak hukum melalui standar kinerja, kualifikasi dan screening ketat, serta rekrutmen terbuka, terkomputerisasi dan bersih mulai tahun 2015/2016.



Terbentuknya tata organisasi dari lembaga-lembaga penyidik dan penegak keadilan yang berintegritas yang berbasiskan pada fungsi, bukan struktur pada tahun 2016.



Meningkatnya remunerasi berbasis kinerja bagi aparat penegak hukum, khususnya Polisi, Kejaksaan dan Lapas secara bertahap mulai tahun 2015.



100% pegawai pemerintah lulus uji kompetensi sesuai standar oleh lembaga yang berwenang pada tahun 2017.



Tercapainya indeks kepuasan pelayanan publik sebesar 5 dari skala 6 pada seluruh instansi pemerintah nasional dan daerah yang memiliki pelayanan publik pada tahun 2019.



Tersedianya Bank Data Hukum di Kementerian Hukum & HAM pada tahun 2016 yang berisi permasalahan hukum yang dihadapi oleh berbagai para pihak hukum dan masyarakat untuk dapat direspon oleh pemerintah yang dimutakhirkan secara berkelanjutan.



Peningkatan jumlah penerima anggaran bantuan hukum dan fasilitas biaya perkara cuma-cuma per tahun pada tahun 2018.



Tidak adanya (0%) tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas mulai tahun 2015.



Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah diusulkan oleh DPR pada tahun 2016.



Implementasi penerapan kebijakan publikasi informasi proaktif melalui kebijakan data terbuka di level Pemerintah Pusat tahun 2016 dan seluruh pemerintah daerah 2019.



Adanya jaminan integritas data pemerintah yang dipublikasikan pemerintah pusat tahun 2016 dan seluruh pemerintah daerah 2019.



Revisi terhadap UU ITE untuk menjamin hak masyarakat memperoleh informasi melalui medium internet pada tahun 2016.

5 www.infid.org


Prioritas 2 

Pembangunan infrastruktur pengisian dan distribusi elpiji di seluruh propinsi di Indonesia untuk menjamin ketersediaan dan distribusi elpiji yang efektif.



Penyediaan dan pendistribusian teknologi improved cook-stoves (ICS) kepada rumah tangga miskin, khususnya yang berada di perdesaan, dan teknologi alternatif lainnya seperti bio-digester/biogas yang diintegrasikan dengan peternakan terpadu.



Pendanaan sebesar $3-4 milyar per tahun atau 30 hingga 40 triliun per tahun untuk percepatan akses listrik di perdesaan Indonesia.



Pembebasan biaya pemasangan/sambungan listrik untuk rumah tangga miskin pada tahun 2016; pembebasan biaya listrik untuk konsumsi minimal (20 atau 30 kWh pertama) untuk menjamin rumah tangga miskin mendapatkan kebutuhan listrik dasar untuk penerangan dan memperoleh informasi pada tahun 2016.



Jaminan akses air bersih bagi seluruh warga baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan sampai 85% di tahun 2019.



Investasi publik yang lebih besar dengan mematok alokasi anggaran untuk air bersih dan sanitasi sebesar 0,5-2,6% dari PDB per tahun mulai tahun 2015.



Meningkatkan kepemilikan lahan bagi petani tuna-tanah menjadi rata-rata 1 hektar lahan per tahun 2018.



Meningkatkan luasan sawah sebanyak 20 persen di tahun 2018.



Pengembangan produksi pangan lokal non-beras/gandum yang disinergikan dengan pengembangan jaringan pemasaran dan penyimpanan serta pemrosesan pasca panen untuk meningkatkan nilai tambah petani produsen.



Petani dibebaskan untuk dalam pengembangan benih.



Peningkatan jumlah, cakupan dan jangkauan tenaga kesehatan promotif di daerah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pencegahan penyakit menular dan tidak menular terutama di kalangan miskin dan berpendidikan rendah.

Prioritas 3 

Akses pendidikan bagi semua tanpa melihat suku, agama, keyakinan jenis kelamin dan keterbatasan fisik.



Aksi afirmasi untuk kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses, seperti beasiswa, mendekatkan jarak sekolah dengan domisili.

6 www.infid.org




Pengurangan kesenjangan kualitas antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain. Sekolah-sekolah di Indonesia semestinya memenuhi standar yang baik.



Peningkatan anggaran riset di pendidikan tinggi dan kewajiban untuk memperbaiki indikator-indikator dalam pemeringkatan universitas di dunia (riset, publikasi dsb).



Perlindungan HAKI atas hasil riset-rsiet yang dilakukan baik oleh pengajar maupun murid/mahasiswa yang dibarengi edukasi di sekolah menengah dan perguruan tinggi mengenai kejujuran akademis.

Prioritas 4 

Penghapusan semua UU dan peraturan yang diskriminatif.



Peningkatan jumlah anak yang memiliki akta kelahiran menjadi 100% pada tahun 2017.



Tidak adanya (0%) tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas mulai tahun 2015.



Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah diusulkan oleh DPR pada tahun 2015.



Menurunnya jumlah 30-50% perkara terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak mulai tahun 2015.



Tersusunnya mekanisme untuk memastikan rehabilitasi dan kompensasi bagi korban kekerasan seksual pada tahun 2015.



Tersusunnya mekanisme untuk menjamin kesetaraan hak perempuan untuk memiliki harta dan menerima warisan pada tahun 2015.



Pembubaran seluruh organisasi yang berkarakter paramiliter pada tahun 2019.



Peningkatan jumlah karya cipta yang dipatenkan/terdaftar HAKI minimum 10% setiap tahunnya mulai tahun 2016.



Terlestarikannya dan terevitalisasikannya 100% (dari baseline) cagar budaya di seluruh kabupaten/kota pada tahun 2019.



Penyederhanaan proses naturalisasi penduduk bagi warga yang kawin campur untuk menjamin hak anak dan hak kaum perempuan Indonesia.



Pembentukan unit kerja pemerintah untuk memajukan kerelawanan dan partisipasi masyarakat dalam memecahkan masalah lingkungan hidup, antikorupsi, hak asasi manusia dan pembangunan berkadilan.



Penyediaan akses pangan tinggi calcium dan zat besi secara mudah dan murah bagi perempuan, terutama perempuan di umur produktif.

7 www.infid.org




Penerapan Standar Penanganan Minimal (SPM) bagi perempuan korban agar terlayani penyelesaian kasusnya di seluruh kabupaten di Indonesia per tahun 2018.



Penurunan gini rasio sebesar 5% pada tahun 2019, dari 0,41 saat ini menjadi 0,36 pada tahun 2019.



Tersedianya peta jalan bagi redistribusi aset terutama untuk masyarakat miskin pada tahun 2015.

Prioritas 5 

Adanya Road Map pelaksanaan reforma agraria pada 2015-2019.



Adanya PP Pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan UUPA 1960 dan Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA.



Redistribusi tanah seluas 9 juta hektar hingga 2019.



Penyiapan dan pelembagaan Pengadilan Pertanahan 2019.



Pembentukan Bank Petani dan Nelayan 2015.



Mengeluarkan 33 ribu desa dari dalam kawasan hutan.



Peningkatan program HTR, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan hingga 5 juta hektar.



Penataan kelembagaan produksi dan usaha kehutanan dikembalikan ke dalam nomenklatur kementerian pertanian dan kedaulatan pangan.



Adanya penyatuan kelembagaan Dirjen Planologi Kehutanan BIG dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada 2019.



Peta konsesi yang terintegrasi (one map policy).



Penegakan hukum lingkungan terhadap para pencemar dan perusak lingkungan.



Penerapan pajak lingkungan.

Prioritas 6 

Terlaksananya pemeriksaan ketaatan pembayaran pajak terhadap seluruh terpidana kasus-kasus terkait keuangan dan perekonomian negara, lingkungan hidup dan sumber daya alam, narkoba serta kasus-kasus besar lain.



Peningkatan rasio pajak sebesar 1-2% PDB per tahun sejak tahun 2015.



Penaikan alokasi anggaran untuk kesehatan sampai level 5-8% dari APBN selama 5 tahun.



Penempatan Atase Perpajakan di LN untuk mengurangi dan menghentikan penghindaran pajak dan pelarian pajak.

8 www.infid.org




Peningkatan perolehan pajak (tax ratio) hingga level 16-21% PDB selama 5 tahun, naik dari 12-13% PDB.

9 www.infid.org


BAGIAN I PENDAHULUAN “We always hear about the rights of democracy, but the major responsibility of it is participation.”

--Wynton Marsalis

I.1. Latar Belakang RPJMN merupakan dokumen penting yang mengatur dan mengarahkan proses dan hasil pembangunan dalam jangka menengah 5 tahun ke depan. RPJMN akan (a) mematok dan mengunci prioritas pembagunan dan alokasi anggaran tahunan (RKP) dan APBN selama 5 tahun; (b) memproritaskan atau tidak memprioritaskan masalah-masalah utama pembangunan yang dampaknya langsung dirasakan masyarakat (pendidikan, kesehatan, pendapatan, jaminan sosial, lapangan kerja, aset dan tanah); dan (c) menetapkan ukuran

keberhasilan dan capaian pembangunan dalam 5 tahun. RPJMN merupakan upaya resmi untuk mengatasi masalah yang sistemik dan melibatkan berbagai proses dan kelembagaan yang luas. Fungsinya adalah menjaga dan memastikan proses dan hasil pembangunan dalam 5 tahun ke depan dapat mengatasi tantangan dan menyelesaikan masalah genting yang dihadapi Indonesia. Dalam hal kelangkaan jaminan sosial di Indonesia dimana lebih dari 100 juta penduduk tidak memiliki jaminan kesehatan, misalnya, diharapkan dapat dijalankan program-program yang dari tahun ke tahun dapat mengurangi jumlah penduduk yang tidak memiiliki jaminan kesehatan, sehingga di akhir tahun ke-5 semua penduduk sudah memiliki jaminan kesehatan. Hal ini kiranya menuntut perubahan skala luas pada arah kebijakan, pendanaan, kelembagaan dan operasi kelembagaan pemerintah, sesuai yang dimandatkan UU SJSN 2004 dan UU BPJS 2012. Bagi masyarakat sipil, RPJMN pada dasarnya merupakan rencana perubahan ekonomi dan masyarakat. Namun, ini bukan perubahan rutin belaka. RPJMN tidak lain mengarah kepada Perubahan Skala Luas (PSL; Large scale changes). Yang hendak diatasi dan dipecahkan bukan saja kasus-kasus atau gejala-gejala, tetapi sistem dan struktur: kebijakan, proses dan hasil-hasil pembangunan yang dirasakan oleh warga. Dua contoh dalam perubahan PSL dalam sejarah adalah (i) penghapusan perbudakan, sehingga manusia memiliki hak yang setara, lepas apakah dia berkulit hitam atau lainnya; dan (ii) semua warga

10 www.infid.org


sepenuhnya memiliki hak memilih dan dipilih (universal suffrage), lepas apakah dia perempuan atau laki-laki, miskin atau kaya, dan sebagainya. Ciri utama PSL adalah (a) tema atau isunya terus menerus menjadi bahan perdebatan dan perbincangan di masyarakat termasuk oleh media masa dan kaum intelektual (high-

leverage key themes); (b) model kepemimpinan yang berubah dari kepemimpinan terpusat dan monopoli menjadi model yang terbagi-menyebar (a shift in power and a more distributed

leadership); (c) partisipasi yang luas dan massif dari warga negara dan para pemangku kepentingan (massive and active engagement of stakeholders; serta (d) perubahan-perubahan dalam berbagai sistem dan proses-proses yang saling memperkuat (mutually reinforcing

changes in multiple systems and processes). Pada RPJMN kita meletakkan harapan bahwa perubahan-perubahan skala luas akan dimulai dan dijalankan oleh pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla setidaknya dalam hal (i) pembenahan salah urus struktur, korupsi sistemik akan semakin menurun dan membuat pelayanan publik akan semakin bermutu, terjangkau luas ke seluruh wilayah Indonesia; (ii) ekonomi menjadi lebih mandiri; (iii) ketimpangan dan kemiskinan akan semakin berkurang dan menurun; (iv) kemajuan ekonomi akan diimbangi dengan meluasnya sistem jaminan sosial; dan (v) perlindungan HAM akan makin kuat dan tegas, termasuk melindungi hak minoritas dan kebebasan semua penduduk dan warganegara dalam menjalankan agama dan kepercayaannya. Pada sisi lain, RPJMN juga merupakan pilihan dan keputusan mengenai prioritasprioritas kebijakan. Tekanan kepada pendekatan atau prinsip “negara hadir” oleh Joko Widodo-Jusuf Kalla memberi sinyal bahwa peran negara akan lebih kuat dan seimbang, berhadapan dengan pasar. Peran negara yang lebih aktif juga memberi pembeda kepada pendekatan pendekatan masa lalu yang abai terhadap berbagai pelanggaran HAM dan intoleransi dan berbagai proses yang memecah-belah kebhinekaan Indonesia. Dengan kata lain, RPJMN sebagai wujud kebijakan pemerintah merupakan kombinasi antara analisis dan diagnosa masalah (arguing) yang secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan, hasil dari kontestasi politik dan kompromi politik yang diwujudkan dalam terpilihnya pemerintah baru, komposisi parlemen dan berbagai jabatan publik penting seperti Wakil Presiden, Menteri dan Pejabat Ekonomi (negotiating). Dengan kata lain, tidak benar bahwa kebijakan pemerintah selalu merupakan “karya ilmiah” belaka yang dimenangi oleh teknokrat karena argumen ilmiah dan ilmu pengetahuan, tetapi juga merupakan “karya sosial” yang dihela oleh berbagai kekuatan sosial di luar teknokrat (pengusaha, investor, politisi, relawan, media massa, dan lain-lain). Hal ini terutama 11 www.infid.org


benar dalam konteks Indonesia sebagai negara demokrasi dimana setiap warga dan setiap orang adalah subyek yang memiliki hak asasi manusia, yang aktif berpartisipasi dan memiliki martabat yang harus dihormati dan dilindungi, sepanjang tidak melakukan perbuatan pidana dan melakukan kekerasan. RPJMN juga merupakan dokumen yang memiliki daya dan kuasa relatif ketika negara nasional tidak memiliki otonomi mutlak dalam era internasionalisasi ekonomi dan ekonomi terbuka pasca krisis ekonomi 1998. Kehendak “negara hadir” merupakan niat yang dimulai untuk “melindungi tumpah darah Indonesia”. Namun demikian, niat itu terbukti akan memiliki keterbatasan dan kendala-kendala. Kehendak politisi dan pemerintah untuk melakukan “steering” atau pengendalian pada akhirnya akan menjadi upaya “rowing” atau mendayung, seperti yang pernah disampaikan Bung Hatta 60 tahun yang lalu, karena berbagai dilema dan keterbatasan. Keterbatasan bisa muncul dari kendala internal (kapasitas dan sofisitikasi manajemen birokrasi pemerintah) dan kendala eksternal (insentif alamiah yang terlalu besar atas pasar dan sumberdaya alam Indonesia). Sebagai contoh, jika investor merupakan satu pemangku kepentingan pembangunan di Indonesia, maka yang menjadi masalah adalah investor yang mana yang sungguh-sungguh harus diperhatikan dan dipertimbangkan karena ada (a) investor jangka pendek/portofolio yang bermain di pasar saham dan pasar uang; dan (b) investor jangka panjang yang menanam modal, membangun pabrik, merekrut tenaga kerja, membayar pajak dan membagi teknologi dan skill tingkat tinggi. Jika kata kunci dari Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla adalah kemandirian dan keunggulan ekonomi nasional, sebagaimana kata kunci banyak pemimpin pemerintah lainnya, sesungguhnya apa maknanya, apa yang akan diunggulkan, siapa yang akan dimenangkan, superkaya atau kelas menengah? Implikasinya adalah, dalam postur “mendayung” dan kapasitas “otonomi relatif” itu, yang terbaik dan paling optimum dapat dilakukan oleh Negara adalah upaya-upaya melindungi warganegara agar nasib warga tidak menjadi ‘tawanan” dari pasang surut pasar dan investor. Itulah mengapa terbukti ekonomi yang lebih terbuka selalu disertai peran negara yang lebih besar (rasio belanja pemerinta/PDB) seperti yang ditemukan oleh Dani Rodrik (Why Do More Open Economies Have a Bigger Governments, 1998). Dengan kata lain, dalam konteks ekonomi terbuka dan globalisasi, legitimasi pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo-Jusuf Kalla akan ditentukan oleh seberapa besar peran negara dalam pembangunan manusia dan jaminan sosial yang diterima warga negaranya. Dengan kata lain, dukungan dan kesejahteraan warganegara menjadi sekutu terpercaya untuk memutuskan mana yang baik dan mana kurang baik. Partisipasi warga menjadi tumpuan 12 www.infid.org


bagaimana pemerintah “mendayung” di antara berbagai karang dan ombak ekonomi, politik dan sebagainya. Akhirnya, belajar dari masa lalu merupakan alasan mengapa masyarakat sipi perlu mempengaruhi RPJMN. Pengalaman sebelum pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla menunjukkan bahwa RPJMN penuh dengan retorika baik dan bahkan rencana yang besar namun, jika kita membaca dengan seksama, tidak semua retorika itu didukung oleh rencana yang terukur, apalagi kinerja yang baik. Contohnya adalah soal ketimpangan. RPJMN pada masa itu tidak menganalisis dan tidak menjadikan penurunan ketimpangan sebagai salah satu tujuan atau indikator keberhailan pembangunan. Yang disebut dengan terang dan jelas adalah (i) penurunan kemiskinan; (ii) penurunan angka pengangguran; dan (iii) pertumbuhan ekonomi. Kini ketimpangan menjadi isu publik dan menjadi bahan perdebatan, bukan saja di indonesia tetapi juga di dunia internasional. Sementara itu, RPJMN era Reformasi atau era Susilo Bambang Yudhoyono 10 tahun terakhir, sama sekali tidak menyebutnya. Dengan menggunakan 10 kriteria kebijakan, matriks berikut ini disusun untuk memperlihatkan kesamaan, perbedaan dan titik berat tentang arah kebijakan dan prioritas kebijakan pembangunan selama periode tersebut: Tabel 1 Matrik Perbandingan Kebijakan Era Orde Baru, Reformasi dan Pemerintah Baru Kriteria

Era Orde Baru (Pelita/GBHN)

Era Reformasi (RPJMN)

RPJMN- Joko WidodoJusuf Kalla

1. Peran Negara

Otoriter

Minimal

Optimal

2. Hak Asasi Manusia 3. Anti Korupsi, Kualitas pemerintah, Partisipasi 4. Pertumbuhan ekonomi 5. Kebijakan LH

Tidak. Tidak Anti-partisipasi Musrenbang hanya formalitas Ya

Ya. Diakui tetapi tidak ada penyelseian Ya Partisipasi sudah dimulai tetapi belum terlembaga dan sistemik Ya

Ya. Diakui dan harus diselesaikan. Ya Partisipasi perlu pelembagaan Ya

Tidak

Ya

Tidak ada

6. Kebijakan Pajak 7. Kebijakan Penurunan Ketimpangan

Tidak

Tidak.Diakui tetapi tidak Ya ada sasaran Tidak ada Tidak jelas

Ya, trologi pembangunan, termasuk pemerataan

13 www.infid.org


Kriteria

Era Orde Baru (Pelita/GBHN)

Era Reformasi (RPJMN) Pengurangan, pengalihan, Kompensasi

RPJMN- Joko WidodoJusuf Kalla

8. Subsidi BBM

Ya

Pengalihan subsidi BBM

dana

9. Jaminan Sosial

Tidak ada Ada Jaminan Sosial Presiden Megawati Bismarkian. melansir UU SJSN 2004 SBY melansir UU BPJS (Terlambat)

Ada tetapi bersifat selektif dan trageting, bukan universal untuk semua. Hanya utk yang miskin/prasejehtera

10. Tipologi rejim ekonomi

Produktivis, Produktivis mengejar pertumbuhan Beanja sosial minimal

Produktivis, diimbangi dengan belanja sosial yang luas untuk prasejahtera

Belajar dari masa lalu, setidak-tidaknya 5 kebijakan yang wajib disuarakan oleh Kelompok Masyarakat Sipil. Pertama, bagaimana kualitas dan akuntabilitas pemerintah dengan seluruh birokrasinya dapat berubah dan lebih baik. Kedua, kebijakan hak asasi manusia dan penguatan demokrasi harus terus menjadi prioritas, termasuk di dalamnya kebijakan melindungi hak dan kebebasan beragama, kebebasan pers. Ketiga, kebijakan perlindungan lingkungan hidup dan bahkan ekonomi hijau-berkelanjutan perlu diprioritaskan.

Kempat, kebijakan pembangunan untuk semua, yang artinya memastikan keberhasilan pembangunan akan diukur dari sejauh mana pemerintah memperluas kesempatan dan penurunan ketimpangan pendapatan dan kekayaan selama 5 tahun. Kelima, peran negara, sejauh mana kebijakan fiskal semakin mandiri dan kuat untuk memastikan jaminan sosial dan pelayanan publik dapat diterima oleh semua lapisan warganegara di manapun berada. Karena itu, sebagai ringkasan, INFID dan masyarakat sipil Indonesia mengajukan usulan dokumen RPJMN ini dengan maksud dan tujuan sebagai berikut. 1. Mempengaruhi dokumen dan arah kebijakan pemerintah Joko Widodo – Jusuf Kalla agar

perubahan skala luas yang positif terjadi, dan bukan sebaliknya. Perubahan itu akan terjadi pada bidang-bidang prioritas seperti pada kualitas pemerintah dan pemberantasan korupsi, pengurangan ketimpangan dan perlindungan hak asasi manusia. 2. Mewujudkan partisipasi warga sebagai kelompok non-teknokrat dan nonpolitisi agar proses dan hasil pembangunan bukan saja layak (feasible) secara ekonomi, tetapi juga

layak-etis secara sosial (ethically desirable).

14 www.infid.org


3. Mempengaruhi dokumen dan arah kebijakan pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla agar kata kunci “negara hadir” lebih menjadi dan berwujud kepada pembangunan untuk

semua, dan tidak hanya memberikan manfaat kepada kelompok super-kaya yang mengorbankan lingkungan hidup dan keberlanjutan hutan dan nasib warga. 4. Mengusulkan patokan-indikator hasil pembangunan yang lebih ambisius-transformational sebagai sasaran dan hasil pembangunan dalam 5 tahun ke depan, dengan berbasis pada pembangunan berbasis hak asasi manusia dan keberlanjutan ekologi dan keadilan antargenerasi. ****** Tahun 2015 merupakan tahun awal memasuki Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) untuk Periode 2015–2019. Ini adalah RPJMN Tahap III sebagai bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2005–2025 dengan visi: “Indonesia yang mandiri, maju dan adil makmur” yang dicanangkan dalam masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Dalam RPJMN 2010–2014 Buku I Bab V Kerangka Ekonomi Makro, pemerintah telah secara eksplisit menyebutkan pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Pembangunan yang menyertakan semua kelompok masyarakat dan golongan serta masyarakat yang berada di wilayah-wilayah terpencil dan terisolasi. Pembangunan yang inklusif

dan

berkeadilan

juga

dicerminkan

dari

segi

perumusan

kebijakan

dan

implementasinya, yaitu harus melibatkan para pemangku kepentingan untuk dapat berperan aktif dan bekerja sama dengan membangun konsensus pemihakan kepada masyarakat yang tertinggal. Kebijakan afirmatif harus dijalankan untuk mengatasi kesenjangan, ketertinggalan, maupun kemiskinan yang masih mewarnai kehidupan sebagian besar bangsa Indonesia. RPJMN Tahap III ini menekankan pada upaya pemantapan pembangunan yang telah dirintis sejak sepuluh tahun lalu, yaitu “memantapkan pembangunan secara menyeluruh dengan menekankan pembangunan keunggulan kompetitif perekonomian yang berbasis sumber daya alam yang tersedia, sumber daya manusia yang berkualitas, serta kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi.”1 Tahun 2015 juga merupakan awal bagi masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla yang menawarkan visi: “terwujudnya Indonesia yang

1

Buku I-24, Perpres 5/2010 tentang RPJMN 2010 – 2014

15 www.infid.org


berdaulat, mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong” dan Sembilan Agenda Aksi (Nawa Cita), yaitu: 1. Kami akan menghadirkan

kembali Negara untuk melindungi segenap bangsa dan

memberikan rasa aman pada seluruh warga; 2. Kami akan membuat pemerintah selalu hadir dengan membangun tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya; 3. Kami akan membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam Negara kesatuan; 4. Kami akan memperkuat kehadiran Negara dalam melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya; 5. Kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia; 6. Kami akan meningkatkan produktivitas rakyat dan daya saing di pasar internasional sehingga bangsa Indonesia bisa maju dan bangkit bersama bangsa Asia lainnya; 7. Kami akan mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategi ekonomi domestik; 8. Kami akan melakukan revolusi karakter bangsa; 9. Kami akan memperteguh kebhinekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.2 Dalam konteks arah perencanaan pembangunan Negara-bangsa Indonesia ini, masyarakat sipil merasa berkepentingan untuk turut berpendapat soal bagaimana arah ke depan pembangunan Indonesia, khususnya dalam RPJMN 2015–2019. Melalui serangkaian konsultasi nasional, kami melihat perlunya perubahan paradigma pembangunan yang telah dilakukan selama ini. “Pertumbuhan ekonomi yang sering kali dibanggakan sebagai tolok ukur keberhasilan pembangunan oleh Pemerintah Indonesia, belum bisamenggambarkan situasi nyata di masyarakat”3, demikian temuan dari hasil konsultasi masyarakat sipil awal Januari 2013 lalu. Indonesia kini menjelma menjadi Negara berpendapatan menengah dengan pendapatan per kapita sebesar USD 3.580. Pertumbuhan ekonomi yang relatif stabil dengan rata-rata 5-6% per tahun selama 10 tahun terakhir telah melahirkan tambahan kelas menengah terutama di kota-kota besar. Di sisi lain, Indonesia juga dinyatakan sebagai negara demokrasi dengan status “bebas” oleh Freedom House. Desentralisasi dan otonomi daerah telah membuka desentralisasi kekuasaan dan melahirkan para pemimpin daerah. Lebih dari 2

http://kpu.go.id/koleksigambar/VISI_MISI_Jokowi-JK.pdf Prosiding Konsultasi Masyarakat Sipil untuk Agenda Pembangunan Paska 2015: Pembangunan Berkelanjutan yang Inklusif, Adil dan Bermartabat Paska 2015: Suara Rakyat”, Jakarta 22 -23 Januari 2013, hal. 1 3

16 www.infid.org


itu, susunan penduduk Indonesia juga akan sangat diwarnai oleh lapisan penduduk muda yang akan sangat mempengaruhi perkembangan sosial (media sosial), ekonomi (konsumsi) dan politik (pilihan pada Pemilu). Namun demikian, di samping berbagai pencapaian tersebut, Indonesia juga menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan. Tantangan tersebut di antaranya (a) rentannya kemandirian ekonomi berupa kemandirian modal finansial, teknologi, dan kemandirian pasar akibat masih tingginya impor barang-barang yang sebenarnya dapat dikerjakan sendiri atau diproduksi sendiri di dalam negeri; (b) masih rendahnya kualitas demokrasi (low quality of democracy) yang ditengarai dengan maraknya politik kartel yang tidak memiliki kemauan untuk mengatasi berbagai masalah penting, seperti penegakan hak asasi manusia dan korupsi; serta (c) masih terbatasnya ragam dan kualitas pelayanan pemerintah terhadap warga negara, khususnya dalam perlindungan hak asasi dan penyediaan jaminan sosial. Masih kentalnya praktek korupsi, menguatnya kasus-kasus intoleransi berbasis agama yang gagal diredam oleh negara, maupun berlanjutnya diskriminasi terhadap kelompok marjinal, seperti penyandang disabilitas, dalam perolehan kesempatan kerja menunjukkan bahwa pembangunan yang berjalan di Indonesia masih bersifat eksklusif. Hal ini diperkuat dengan semakin tingginya ketimpangan atau kesenjangan pendapatan dengan gini rasio sebesar 0,33 pada tahun 1999 menjadi 0,42 pada tahun 2012, yang lahir seiring pertumbuhan ekonomi selama 10 tahun terakhir. Singkatnya, tantangan Indonesia ke depan adalah mendorong transformasi dari tataran “low quality of government” menuju ke “high quality government” dan merombak pola pembangunan yang eksklusif menjadi inklusif bagi semua warga negara. Dalam konteks tersebut, agenda global pembangunan paska 2015 menjadi acuan yang penting bagi upaya transformasi tersebut. Seiring dengan berakhirnya Millenium Development Goals (MDGs) pada tahun 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sejak tahun 2010 telah mempersiapkan agenda pembangunan global baru untuk menggantikan MDGs. Agenda pembangunan baru tersebut diharapkan dapat lebih baik dibandingkan MDGs baik dari proses maupun subtansi. Terlebih lagi, dengan menengok pengalaman dengan MDGs, Indonesia hanya tergolong sebagai salah satu negara dengan capaian menengah.4

4

Prosiding Konferensi INFID 2013 “Pembangunan untuk Semua”, Jakarta 26 – 27 November 2013, hal. 1

17 www.infid.org


I.2. Metode Dan Proses Penyusunan Rpjmn Penulisan dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 versi masyarakat sipil ini berpijak pada beberapa sumber: (a) dokumen hasil berbagai pertemuan yang dilakukan INFID bersama mitra dan jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia; (b) kertas kerja CSO dalam berbagai bidang antara lain soal Ketimpangan pendapatan, kebijakan Pajak, Akses Keadilan dan Hak Asasi Manusia dalam rangka penyusunan substansi agenda pembangunan Post 2015; (c) usulan dan gagasan yang disampaikan dalam Konferensi INFD 2013; serta (d) dokumen analisis INFID untuk mempengaruhi kebijakan para capres ketika pemilu sedang berlangsung, antara perihal Pajak dan Ketimpangan. Sepanjang 2013-2014, ada beberapa pertemuan penting yang melibatkan para pemangku kepentingan,tidak hanya masyarakat sipil, melainkan juga pemerintah dan media massa yang secara intensif dilakukan sepanjang tahun 2013. Pertemuan tersebut antara lain:

Konsultasi Masyarakat Sipil untuk Agenda Pembangunan Pasca 2015, Jakarta, 22–23 Januari 2013; Pertemuan Masyarakat Sipil Indonesia untuk Agenda Pembangunan Paska 2015, Bali, 23–25 Maret 2013; serta Konferensi INFID 2013 Jakarta 26–27 November 2013. Ditambah dengan beberapa penelitian yang dilakukan terhadap masalah-masalah pembangunan di Indonesia. Pada bulan Agustus-September, INFID kemudian membentuk tim penulis untuk menyusun dan merangkum berbagai temuan dan rekomendasi dari serangkaian konsultasi di atas. Terhadap rancangan awal tulisan ini telah dilakukan peer review untuk menajamkan temuan dan rekomendasi, termasuk juga indikator atas sasaran-sasaran yang perlu dicapai. Proses peer review dilakukan bersama dengan dalam bulan Nopember 2014. Para penyusun terdiri dari: Diana Gultom, Hamong Santono, Alvon Kurnia Palma, Ilham Saenong, Ahmad Faisol, Sugeng Bahagijo, Iwan Nurdin, Victoria Fanggidae dan Bagus Takwin. Para Penyumbang Bahan berupa power point dan background paper antara lain: Mickael B. Hoelman, Nur Iman Subono, Panca Pramudya, dan Fabby Tumiwa

18 www.infid.org


BAGIAN II TANTANGAN PEMBANGUNAN Perumusan tantangan pembangunan Indonesia tidak lepas dari setidaknya 4 faktor besar yaitu (a) ragam naratif atau pendekatan pembangunan; (ii) peristiwa besar seperti krisis ekonomi 2008; (iii) pengalaman pembangunan negara-negara itu sendiri, yaitu capaian dan tantangan pembangunan di masing-masing negara; dan (iv) pengalaman nyata dari berbagai aktor dan pelaku pembangunan, termasuk pengalaman CSO. Ada tiga naratif besar yang sedang berkembang. Masing-masing naratif itu memiliki kekhasan masing-masing dan juga sudah tentu memiliki implikasi sosial dan ekologi yang berbeda-beda. Ketiga naratif ini tidak saja tercermin dalam pergulatan kebijakan dan politik di masing-masing negara, termasuk indonesia tetapi juga tampak pada perundinganperundingan ekonomi dan pembangunan di tingkat internasional, antara lain dalam perundingan dan perumusan agenda pembangunan Pasca-2015. Secara sederhana, tiga naratif itu kiranya dapat digambarkan sebagai berikut: (i)

Model Pertumbuhan ekonomi; (ii) Model Pemerataan; dan (iii) Model Ekologi. Perdebatan kata kunci antara MDGs dan SDGs mencerminkan pilihan dan kebijakan yang sekarang sedang menjadi bahan perdebatan. Beberapa kata kunci berikut ini mencerminkan pergulatan dan kontestasi arah dan tujuan pembangunan, untuk mengambil beberapa contoh saja. 

Jebakan Negara Menengah (middle income traps)



Pembangunan Inklusif



Ketimpangan



Pembangunan berkelanjutan



No one left behind, Extreme Poverty



Illicits Flows, Transfer pricing, Tax evasion



Universal social minimum, Stakeholders Grant



Negara Hadir



Perubahan Iklim, Deforestasi Peristiwa besar yang memiliki dampak besar seperti krisis ekonomi tahun 2008 yang

membelit AS dan negara-negara maju juga memberi pengaruh kepada yang kebijakan pembangunan. Kebijakan Pengetatan (austerity) yang diberlakukan di banyak negara maju 19 www.infid.org


telah menimbulkan perdebatan luas, termasuk di dalamnya pemotongan berbagai jaminan sosial dan belanja sosial untuk warga. Krisis ekonomi menimbulkan perdebatan tentang penyebab dari krisis ekonomi dan juga tentang bagaimana mengobati menyehatkan ekonomi. Dengan singkat, krisis ekonomi besar 2008 di negara-negara kaya dan maju telah menjadi momentum peninjauan dan pemikiran ulang tentang kebijakan pembangunan. Pengalaman Indonesia selama 10 atau 15 tahun terakhir kiranya sangat beragam dan kompleks, akan tetapi dapat diwakili oleh (a) lahirnya super-kaya Indonesia yang sebagai akibat bisnis komoditi dan sumberdaya alam seperti batubara dan sawit; (b) lahirnya berbagai pemimpin di daerah yang lebih terbuka dan melayani warga; (c) pengakuan secara perlahan oleh pemerintah bahwa jaminan sosial dan belanja sosial penting, dan bahwa investasi kesehatan publik penting sebagaimana dapat dilhat dalam lahirnya UU BPJS dan alokasi anggaran APBN untuk kesehatan yang meningkat meski masih jauh di bawah standar negara menengah. Pengalaman atau capaian pembangunan Indonesia juga dapat diwakili oleh berbagai peristiwa pada tahun 2013, yang memperlihatakan derajat dan hasil pembangunan utamanya yang dialami oleh warga negara, sebagaimana dicatat dalam Buku Pintar Kompas 2013 (2014). 

Derita Kaum Papa-Nur Anggraini, bayi berusia enam di jakarta tahun meninggal karena rumah sakit tidak merawatnya dengan baik, meski keluarganya sudah memiliki SKTM(16/Februari 2013)



Jeritan Produsen Tahu Tempe – (September 2013)



Mafia Pajak, Daftar Hitam Kian Panjang –Pegawai Pajak yang tercela di tangkap KPKApril 2013



Harga Pangan naik, dikacaukan ulah spekulan – Juli 2013



Suap akil Moktar, Ketua MK menerima suap Pilkada – Nopember 2013



Upah Minimum- Buruh melakukan demo di berbagai kota menuntut perbaikan upah minimum- Oktober 2013



Korupsi kepala daerah – Desember 2013 Pengalaman CSO Indonesia selama 10 tahun terakhir dapat dibagi ke dalam dua

kategori besar, yaitu CSO yang melakukan advokasi kebijakan dengan tema-tema yang sistemik seperti tata pemerintahan yang baik dan antikorupsi, perlindungan lingkungan hidup dan kesetaraan gender, hak dan kesejahteraan buruh, reforma agraria, akses keuangan dan sebagainya. Kategori lain adalah advokasi yang bersifat emerging yang setidaknya muncul 20 www.infid.org


dan menjadi intensif dalam 10 tahun terakhir. Hal ini mencakup advokasi kebijakan seperti hak-hak minoritas/kebebasan beragama, hak disabilitas, hak-hak anak, hak masyarakat adat, anggaran dan perpajakan, hak-hak kaum muda dan sebagainya. Keprihatinan dan tema yang diangkat oleh CSO Indonesia antara lain: 

Korupsi yang masih meluas dan sistemik



Pemerintah yang belum terbuka



Sisim hukum masih bobrok. Hakim menerima suap



Diskriminasi dan ketimpangan kesempatan sebagaimana dialami oleh komunitas diifable



Hak Asasi manusia masih belum terlindungi dan terselseikan



Ketimpangan aset tanah dan lahan, sebagaimana disuarakan oleh KPA



Meluasnya tindak intoleransi dan kekerasan kepada minoritas dan intoleransi



Kendala struktural yang dialami oleh kaum perempuan baik dala bidang politik, sosial dan budaya, termasuk yang dialami oleh buruh migran, pekerja rumah tangga



Kemiskinan di kalangan perempuan



Bekerja tetapi tetap miskin, karena upah dan pendapatan dan Jaminan sosial publik yang tidak ada

******** Pembangunan sejatinya merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia, dengan cara-cara yang tidak menimbulkan kerusakan, baik dalam kehidupan sosial dan lingkungan alam. Pembangunan sejatinya juga harus dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia yaitu keamanan, kebebasan, kesejahteraan dan kehidupan budaya dengan mengadopsi nilai inklusif, setara dan adil untuk semua kelompok, terutama memastikan perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas dan kelompok minoritas terlibat dalam proses pembangunan. Pembangunan di Indonesia belum sepenuhnya mengadopsi hal-hal tersebut di atas. Kemiskinan dan ketimpangan masih menjadi masalah pembangunan di Indonesia. Kerusakan sumber daya alam, tingginya kematian ibu, masih banyak kelompok yang terpinggirkan: petani nelayan, perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas, dan masyarakat adat. Permasalahan ditambah lagi oleh birokrasi yang buruk dan tingginya korupsi, serta keterbatasan pembiayaan pembangunan. Itu semua merupakan sebagian dari beragam persoalan yang dihadapi Indonesia dalam pembangunan. 21 www.infid.org


Kerusakan

sumber

daya

alam

akibat

eksploitasi

yang

berlebihan

menjadi

permasalahan besar di Indonesia saat ini. Tumpang-tindih kebijakan dan kewenangan yang sangat besar dari Negara yang tidak diimbangi dengan mekanisme kontrol dari rakyat menjadi penyebab utama permasalahan dalam pengelolaan sumber daya alam. Degradasi lahan dan hutan, alih fungsi lahan subur, krisis sumber daya air dan sebagainya menjadi bukti adanya persoalan besar dalam pengelolaan hidup di Indonesia. Ironisnya, wilayahwilayah yang mengalami kerusakan hidup merupakan wilayah miskin dengan mata pencaharian penduduk adalah petani atau nelayan. Indonesia juga menghadapi persoalan tingginya angka kematian ibu. Hingga tahun 2012 angka kematian ibu (AKI) adalah 359 per 100 ribu kelahiran hidup, masih jauh dari sasaran MDGs yaitu 1025 di tahun 2015 nanti. Ketiadaan komitmen dari pemerintah untuk memastikan anggaran yang cukup, belum meratanya fasilitas dan tenaga kesehatan yang tersedia di area terpencil, keterlibatan masyarakat yang masih rendah dalam upaya menurunkan angka kematian ibu, merupakan beberapa hal yang menjadi tantangan Indonesia ke depan. Tingginya angka kematian ibu, juga menjadi salah satu bukti di mana kelompok perempuan menjadi

kelompok

yang selama ini

terabaikan dalam

pembangunan.

Keterbatasan akses perempuan terhadap pendidikan, misalnya, mengakibatkan jumlah perempuan yang buta huruf tiga kali lebih besar dibandingkan laki-laki, yang pada akhirnya menyebabkan akses perempuan untuk memperoleh informasi dan pengetahuan juga menjadi lebih kecil. Akses perempuan terhadap sumber daya juga sangat terbatas, yang juga diikuti oleh kurang bisanya menentukan segala hal yang terkait dengan tubuhnya, seperti cara berpakaian, menentukan kelahiran atau tidak, dan seterusnya.6 Kesemua itu merupakan bukti “negara tidak hadir” dalam permasalahan yang dihadapi warganya. Warga dibiarkan berjuang sendirian menghadapi masalah untuk penghidupan mereka yang lebih layak. Perlindungan negara terhadap akses warga kepada pelayanan dasar, pekerjaan, pendidikan, lingkungan hidup, dan pangan seperti yang diamanatkan konstitusi belum memadai. Demikian juga dengan perlakuan diskriminasi yang masih dihadapi, terutama oleh kelompok rentan seperti perempuan, anak-anak, penyandang disabilitas dan masyarakat adat. Pemenuhan hak-hak warga perlu menjadi prioritas pembangunan ke depan, dengan kata lain paradigma pembangunan yang akan dijalankan bukan hanya pembangunan inklusif, tetapi juga harus berlandaskan perlindungan hak warga. 5 Irawan Saptono (peny), Laporan Penelitian INFID No. 1/2013, Jalan Terjal Menurunkan Angka Kematian Ibu, INFID dan ISAI, Jakarta, 2013, hal. V. 6 Op cit, catatan kaki 3, hal. 6.

22 www.infid.org


Asian Development Bank (ADB) mencanangkan pentingnya kemajuan ekonomi yang dirasakan oleh semua komponen dalam masyarakat, dan melibatkan mereka juga dalam proses pencapaiannya. Oleh sebab itu ADB menganggap pentingnya pertumbuhan inkusif, dengan berpegang pada dimensi: (i) mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan yang akan menciptakan dan memperluas peluang ekonomi; dan (ii) menjamin akses yang lebih luas terhadap kesempatan ini sehingga anggota masyarakat dapat berpartisipasi dan memperoleh manfaat dari pertumbuhan (ADB, 2010). ADB melalui riset yang dilakukannya di tahun 2010, menemukan capaian skor Indonesia untuk itu hanya 4,40 dari kemungkinan skor 10 dengan predikat “which is only marginally satisfactory”. Keadaan tersebut menjadi catatan penting bagi para pengambil kebijakan pembangunan. Bila tidak, dalam era pasar bersama ASEAN 2015, Indonesia hanya akan berposisi sebagai pasar bagi produk barang dan jasa negara tetangga kita. Sangat sulit pengusaha lokal kita bersaing dengan pengusaha negara jiran dengan berbagai kelebihan fasilitas usaha yang disediakan melalui kebijakan pemerintah dan perbankannya, serta dukungan riset kelompok cendekia yang memadai.7 Mencermati kondisi di atas, maka kami meyakini bahwa Indonesia menghadapi tantangan pembangunan sebagai berikut: 1. Kualitas pemerintahan dan mengatasi korupsi. 2. Pemenuhan pelayanan kebutuhan dasar masyarakat 3. Penurunanan kemiskinan dan mengatasi ketimpangan 4. Penurunan Kerusakan lingkungan hidup dan sumber daya alam 5. Perlindungan Hak asasi manusia 6. Pendanaan Pembangunan

7

http://beritadaerah.com/2013/12/19/atasi-kesenjangan-ekonomi-dengan-pembangunan-inklusif/

23 www.infid.org


II.1. Tantangan 1 Kualitas Pemerintahan dan Pemberantasan Korupsi Korupsi.

Maraknya korupsi di pemerintahan membuat Indonesia hanya mampu

mencapai skor 32 dari nilai penuh 100 (0 sangat korup, 100 sangat bersih) dalam Corruption

Perception Index 2013. Indonesia menduduki peringkat 114 dari 177 negara yang disurvey. Korupsi juga telah membebani warga di Indonesia di mana 1 dari 3 warga (36%) yang disurvei oleh Global Corruption Barometer pada 20138 mengaku harus membayar suap untuk memperoleh layanan di 8 instansi publik utama. Suap terbesar dialami saat berhubungan dengan layanan di kepolisian (75%), peradilan (66%), catatan sipil (37), pertanahan (32%), pendidikan (21%), medis dan kesehatan (12%), pajak (6%), serta listrik, air dan telepon (4%). Indonesia lebih buruk dari rata-rata negara di Asia Tenggara dan rata-rata global di mana 1 dari 4 warga membayar uang lebih ilegal. Kondisi ini hanya sedikit lebih baik rata-rata suap di negara-negara berkembang/tidak berkembang, yakni dari 1 dari 2 orang membayar lebih untuk memperoleh layanan publik. Sementara itu, biaya korupsi di Indonesia antara 2001-2009 telah mencapai Rp. 73 triliun. Penasihat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abdullah Hehamahua, pernah menyatakan bahwa korupsi terbesar di Indonesia terjadi pada pengadaan barang, sekitar 30%. Pengadaan barang oleh pemerintah tahun 2012 sekitar Rp. 400 T. Jadi dana yang raib akibat korupsi masih di atas Rp 100 trilyun. Informasi dan Partisipasi. Indonesia memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang berpotensi menghambat kebebasan memperoleh informasi memanfaatkan medium berbasis internet. Undang-undang tersebut cenderung dimanfaatkan untuk mengkriminalisasi pengguna internet melalui tuduhan pencemaran nama baik. Selain itu, terbitnya UU No 17 Tahun 2013 tentang Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) mulai menghambat masyarakat mengakses informasi publik karena membatasi kategori lembaga atau badan hukum yang dapat menjadi legal standing pemohon atau peminta informasi. Bahkan lembaga yang memiliki badan hukum sebagaimana diatur dalam undang-undang, baik yayasan maupun perkumpulan sudah sulit memperoleh layanan informasi, apalagi permintaan individu. Penerapan UU Ormas akan mengurangi akses informasi masyarakat terhadap lembaga-lembaga publik. Pemerintah berkualitas terkait erat dengan akses masyarakat terhadap informasi. Ekonom dunia Joseph Stiglitz9 menjelaskan hubungan dari ketiga hal tersebut adalah 8

Transparency International, Global Corruption Barometer 2013. http://www.transparency.org/gcb2013/results.

9

Joseph Stiglitz, ‘On Liberty, the Right to Know, and Public Discourse: The Role of Transparency in Public Life,’ Oxford Amnesty Lecture, Oxford University, United Kingdom, January 27, 1999.

24 www.infid.org


pemerintah berkualitas mensyaratkan adanya kualitas partisipasi dari masyarakat. Partisipasi berkualitas membutuhkan prasyarat masyarakat yang memiliki informasi cukup dan memadai terkait dengan pengelolaan pemerintahan. Akses informasi publik yang memadai memungkinkan masyarakat berpartisipasi secara maksimal terhadap pengawasan pelayanan publik, perencanaan alokasi anggaran dan sebagainya. Lambannya Implementasi Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Implementasi UU KIP di lembaga publik negara seluruh level pemerintahan sejak 2010 masih lamban dengan hanya sekitar 54% badan publik menunjuk pejabat khusus yang mengelola informasi dan dokumentasi (PPID).10 Padahal PPID baru taraf minimal dengan tujuan akhir UU KIP untuk memfasilitasi pemerintahan yang transparan. Sementara itu Komisi Informasi di level provinsi masih berjumlah 20 dari 34 provinsi yang ada di Indonesia. Pembentukan Komisi Informasi Provinsi cukup penting karena mendekatkan dan memudahkan publik yang melakukan sengketa atas proses pemberian layanan informasi. Impementasi UU KIP belum banyak membantu bagaimana warga dapat mengakses secara cepat, mudah, dan tidak berbiaya tinggi karena publikasi proaktif (tanpa diminta) masih sangat minimal. Ketimpangan Infrastruktur Teknologi Informasi dan Komunikasi. Program open data membutuhkan adanya akses dan literasi terhadap medium berbasis internet yang memadai. Hanya saja, Indonesia masih menghadapi masalah ketimpangan akses dan literasi terhadap medium tersebut11. Jumlah pengguna internet di Indonesia memang naik secara signifikan, di mana pada tahun 2000 masih sebatas 1% dari jumlah populasi penduduk, melonjak menjadi 12,3% dari jumlah populasi pada tahun 2010, dan 16,1% dari jumlah populasi pada tahun 2011. Tapi, perlu dilihat fakta bahwa layanan internet di Indonesia masih sebatas ada di Pulau Jawa. Data Kementerian Komunikasi dan Informatika menunjukkan hingga tahun 2010, 62.5% layanan kabel fiber optic terkonsentrasi di Pulau Jawa, 20,31% di Sumatera dan 6,13% di Kalimantan. Wilayah Timur Indonesia, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua belum terlayani oleh jaringan fiber optic. Program Kemenkominfo lainnya yang ditujukan untuk memperluas jaringan akses internet, Program Layanan Internet Kecamatan (PLIK dan M-PLIK) juga dipertanyakan keberhasilannya karena hanya menyebarkan seperangkat alat untuk mengakses internet, tanpa asistensi. Studi IDS dari 84 riset dari 107 negara tentang orang miskin dan marjinal diperoleh fakta bahwa Governance yang buruk juga memperkuat kemiskinan bagi mereka yang miskin 10 11

Kemenkominfo, Evaluasi Kementerian Komunikasi dan Informatika tahun 2013. Kemenkominfo, Buku Putih Komunikasi dan Informatika Indonesia. 2012.

25 www.infid.org


dan marjinal. Pembangunan seringkali tidak menjangkau mereka yang miskin dan marjinal salah satunya karena kurangnya informasi mengenai adanya program pembangunan tersebut dan bagaimana mengakses program itu. Ketidaktahuan atas informasi pembangunan yang dapat membantu mereka seringkali karena mereka yang menjadi target bahkan tidak tahu bahwa program itu untuk mereka. Sebanyak 37 studi dari 84 studi tersebut juga menunjukkan keterkaitan langsung antara kemiskinan, buruknya tata kelola dan eksklusi. Orang miskin dan marjinal memiliki hambatan dalam mengakses fasilitas pembangunan yang dapat membantu mereka. Hal ini diperkuat dengan beberapa contoh ilustratif dari inisiatif Open Government Partnership (OGP) dimana akses informasi dan partisipasi menghasilkan perbedaan nyata bagaimana pembangunan berdampak pada kualitas hidup masyarakat.12 Studi Transparency International di lebih 48 negara juga menunjukkan bagaimana menurunnya kematian ibu positif berkaitan dengan kinerja penegakan hukum yang baik, bahkan dengan mengalihkan cadangan keuangan negara dan menggunakannya untuk anggaran

kesehatan13.

Sebaliknya

beberapa

praktik

baik

menunjukkan

bagaimana

mekanisme anti korupsi di beberapa negara seperti Bangladesh, Colombia, Georgia, Ghana, Liberia and Mexico telah membantu pencapaian MDGs.14 Masih rendahnya kualitas demokrasi (low quality of democracy) yang ditengarai dengan maraknya politik kartel yang tidak memiliki kemauan untuk mengatasi berbagai masalah penting, seperti penegakan hak asasi manusia dan korupsi di berbagai tingkat penyelenggara negara, serta menghindari terbentuknya tata kelola pemerintahan yang transparan dan akuntabel baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Tata kelola pemerintahan diwujudkan melalui upaya peningkatan pengelolaan dan pelayanan informasi di pemerintah pusat dan daerah, implementasi UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik yang mewajibkan seluruh lembaga pemerintah untuk membuka akses informasi publik. Upaya reformasi birokrasi, peningkatan kualitas layanan publik, penguatan kode etik dan kompetensi aparatur, serta memperkuat monitoring dan supervisi kinerja pelayanan publik. Kualitas demokrasi di tingkat lokal masih mencemaskan dengan adanya rentetan peristiwa sengketa politik dalam arena pemilihan kepala daerah (Pilkada), konflik dan kekerasan yang menyeruak dengan balutan isu politik identitas, serta ragam gejolak berakar

12 13 14

http://www.scribd.com/doc/1 57622801/OGP-Letter-to-UN-Secretary-General Transparency International, Looking Beyond 2015: A Role for Governance. Transparency International, 2015 And Beyond: The Governance Solution For Development.

26 www.infid.org


problem struktural yang terus mengiringi dinamika lokal. Namun, tidak bisa pungkiri desentralisasi menghasilkan fakta positif terkait arus deras partisipasi warga, gairah politik kompetisi kuasa dalam rotasi pemimpin daerah, serta tumbuhnya agen-agen pembaharu dalam sistem pemerintahan lokal adalah kenyataan perubahan penting yang layak dicatat sebagai gejala detak nadi demokrasi. Kisah menggembirakan yang menghasilkan pelopor-pelopor pendongkrak emansipasi lokal juga menjadi bagian cerita pengalaman yang hanya bisa hadir dalam rezim demokrasi. Ini sekaligus menjadi argumen bahwa sekalipun konsolidasi dan pelembagaan demokratisasi lokal hingga saat ini masih dihantui kerentanan, akan tetapi jika dibandingkan era Orde Baru dimana pola kekuasaan korporatis-represif, jelas reformasi memberikan harapan kebaikan politik.15 Ke depan hal-hal krusial di bawah ini perlu terus dibangun dan dikuatkan, sehingga tata pemerintahan yang solid, transparan dan akuntabel akan terjadi, dan pada akhirnya akan mengecilkan ruang gerak praktik korupsi, 1. Mewajibkan ketersediaan informasi tentang kegiatan pemerintah sebagai penghasil dan pengelola informasi atas nama masyarakat. 2. Menjamin dan mempromosikan hak akses warga terhadap informasi publik di setiap jenjang (level) pemerintahan. 3. Mengupayakan agar data yang dimiliki pemerintah bisa dikumpulkan, dikelola dan dipublikasikan secara sistematis, terutama data tentang belanja anggaran serta kinerja dalam penyelenggaraan pelayanan dasar. 4. Secara proaktif menyediakan dan membangun standar data terbuka (open data) terkait informasi yang bernilai tinggi (high-value). 5. Memfasilitasi integrasi sistem informasi pemerintahan serta berkomitmen memfasilitasi dan menghargai feedback dari masyarakat untuk mengidentifikasi informasi yang dibutuhkan masyarakat. 6. Mendorong adanya partisipasi publik yang lebih luas dan berarti dalam sistem tata kelola pemerintahan. Prinsip ini akan mengedepankan kerja sama aktif antara masyarakat dan pemerintah dalam mengidentifikasi dan menanggulangi isu-isu yang menjadi perhatian publik. Tingkat partisipasi dari publik harus ditingkatkan hingga ke tingkat pembuatan keputusan dan monitoring hasilnya.

15 Arie Sujito, Gagasan Transformasi Demokratisasi Lokal: Refleksi ringkas, Makalah pada Disampaikan pada Konfrensi INFID 2013 bertema: “Pembangunan untuk Semua: memperjuangkan kualitas Pemerintah, HAM, dan Inklusi dalam RPJMN 2014‐1019, Jakarta 26‐27 November 2013

27 www.infid.org


II.2. Tantangan 2 Pemenuhan Pelayanan Kebutuhan Dasar Masyarakat (Energi, Air, Pangan dan Kesehatan) Energi. Energy services seperti penerangan, panas (untuk memasak) merupakan kebutuhan dasar bagi masyarakat modern. Sejumlah kajian menekankan pentingnya energi dalam pencapaian sasaran Millenium Development Goals (MDGs). Untuk mendapatkan pelayanan energi yang memadai, diperlukan akses energi. Kualitas akses terhadap energi ditentukan oleh dua variabel dasar: (1) akses terhadap listrik; dan (2) akses terhadap bahan bakar modern untuk memasak. Akses listrik dapat dilihat dari rasio elektrifikasi. Pada 2013, menurut data PLN dan KESDM, rasio elektrifikasi Indonesia mencapai 78%.16 Diperkirakan masih terdapat 12-14 juta rumah tangga di Indonesia yang belum mendapatkan listrik, atau setara dengan 70 juta orang.

17

Dibandingkan dengan negara-negara yang setara tingkat ekonominya, konsumsi

listrik Indonesia berkisar antara 700 kWh/per capita, dapat dikategorikan relatif rendah. Akses terhadap bahan bakar modern dapat dilihat dari jumlah akses rumah tangga terhadap bahan bakar modern dalam bentuk liquid (misalnya: minyak tanah), dan gas (misalnya: elpiji). Hingga 2011, sekitar 55% penduduk Indonesia atau setara dengan 130-an juta yang masih bergantung kepada bahan bakar padat (solid fuel) dalam bentuk kayu bakar. Menurut WHO, penggunaan kayu bakar untuk memasak merupakan salah satu penyebab polusi dalam ruangan yang menyebabkan infeksi saluran pernapasan, pneumonia dan kematian prematur yang menimpa perempuan dan anak-anak. Sekitar 70% dari penggunaan bahan bakar padat terjadi pada masyarakat perdesaan. Indonesia perlu melakukan akselerasi akses listrik di Indonesia sehingga dapat mencapai rasio elektrifikasi 95% pada 2020 dan 100% pada tahun 2025, yang diikuti dengan tingkat reliabilitas yang lebih tinggi. Untuk sistem wilayah di luar Jawa-Bali, reliabilitas pasokan listrik perlu dinaikkan menjadi minimum 18 jam per hari, dan mempertahankan pasokan 24 jam per hari untuk sistem Jawa-Bali. Diversifikasi sumber energi pembangkit tenaga listrik sangat penting, termasuk transisi dari sumber-sumber berbahan bakar fosil 16 Beberapa catatan: (1) Angka Rasio Elektrifikasi tidak hanya rumah tangga yang mendapatkan sambungan listrik dari jaringan listrik (grid), tetapi juga proyek-proyek kelistrikan lainnya, misalnya: Solar Home System (SHS) atau mikro-hydro. Berbagai proyek SHS yang dilaksanakan pemerintah memiliki tingkat keberlanjutan yang rendah. Oleh karena itu, angka rasio elektrifikasi yang resmi dikeluarkan pemerintah kemungkinan memiliki tingkat toleransi antara 3-5%. D;(2) rasio elektrifikasi tidak memberikan penjelasan tentang kualitas listrik yang diterima. Sebagian besar pelanggan listrik PLN di luar Jawa-Bali tidak menikmati listrik 24 jam per hari, tetapi bervarias antara 6-18 jam/hari. Perbedaan kualitas listrik yang diterima menyebabkan berbedanya dampak atau hasil dari pemanfaatan tenaga listrik. 17 Data dari International Energy Agency (IEA, 2012) menyatakan rasio elektrifikasi Indonesia baru mencapai 64.5%, atau sektiar 81 juta masyarakat belum memiliki akses terhadap listrik.

28 www.infid.org


seperti batu bara dan minyak bumi ke pembangkit listrik dengan sumber energi terbarukan. Sasaran untuk mencapai 15 persen sumber terbarukan pada tahun 2025. Data ESDM menunjukkan bahwa mayoritas pembangkit listrik bagi masyarakat di Indonesia masih tergantung pada minyak bumi (29 persen) dan batubara (40 persen), gas (21 persen), dan hanya kurang lebih 10 persen untuk sumber terbarukan. Padahal berbagai potensi energy terbarukan seperti panas bumi, tenaga angin maupun matahari, semuanya memiliki potensi yang baru dimanfaatkan kurang dari 5 persen. Untuk mencapai sasaran ini, dibutuhkan pembangunan infrastruktur listrik antara lain pembangkit, transmisi dan distribusi. Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 6% dibutuhkan tambahan 9% kapasitas pembangkit atau setara dengan 4500 MW per tahun, atau 45 GW dalam 10 tahun mendatang. Akselerasi peningkatan akses membutuhkan total tambahan pembangkit listrik sehingga mencapai 5000-5500 MW per tahun atau 55 GW dalam waktu 10 tahun. Pembangunan pembangkit perlu diikuti dengan pengembangan jaringan transmisi dan distribusi baik yang terintegrasi, maupun yang terdesentralisasi. Kebutuhan investasi dalam 10 tahun mendatang diperkirakan mencapai $100-120 milyar atau $10-12 milyar per tahun. Kemampuan investasi PLN setiap tahun berkisar sektar $4-5 milyar, adapun pendanaan dari swasta sebesar $2-3 milyar belum dapat menutupi sisa kebutuhan pembiayaan, sebesar $4-5 milyar per tahun. Pemerintah memiliki kapasitas fiskal untuk memberikan dukungan pendanaan sebesar $3-4 milyar per tahun, bahkan lebih, khususnya untuk mendukung listrik perdesaan yang membutuhkan sekitar $1.5-2 milyar per tahun. Saat ini subsidi listrik telah dilakukan oleh pemerintah kepada sejumlah golongan pelanggan rumah tangga, bisnis dan industri. Dalam 5 tahun terakhir, subsidi listrik di APBN mencapai Rp. 400 triliun. Per tahunnya, berkisar antara Rp. 80-10 Triliun. Pengurangan dan pencabutan subsidi untuk kelompok pelanggan rumah tangga besar (R2 > 6600 VA dan R3), bisnis, dan industri telah dilakukan pemerintah sejak 2011. Rasionalisasi subsidi listrik, dapat mengurangi subsidi hingga mencapai 50% dari tingkat subsidi saat ini. Rasionalisasi subsidi dapat dilakukan dengan melakukan pembatasan konsumsi listrik yang disubsidi, dan untuk rumah tangga miskin bahkan listrik gratis untuk tingkat konsumsi energi listrik minimal untuk memenuhi kebutuhan dasar.

Akses Air Bersih. Air bersih juga menjadi salah satu sasaran yang harus dicapai dalam MDGs yang akan berakhir pada tahun 2015 dan bahkan menjadi salah satu tujuan

29 www.infid.org


dalam agenda pembangunan Pasca-201518. Dengan demikian, meskipun penyediaan air bersih merupakan kegiatan ekonomi yang melibatkan modal dan tenaga kerja, namun pengakuan air sebagai hak asasi manusia dan salah satu sasaran MDGs mengindikasikan bahwa perkembangan penyediaan layanan air bersih juga dikendalikan oleh tujuan-tujuan politik bagi tercapainya pembangunan sosial dan ekonomi. Ketersediaan air bersih sangat vital karena mempengaruhi berbagai outcome kesehatan. Berbagai penyakit menular bisa diberantas secara preventif dengan ketersediaan air bersih. Diare yang merupakan penyebab kematian bayi dan balita keempat terbesar di Indonesia (WHO, 2014) misalnya, dapat ditangani dengan ketersediaan air bersih dan fasilitas sanitasi yang layak. Air bersih dan sanitasi memiliki multiplier effect yang signifikan bagi peningkatan kualitas kesehatan. Berdasarkan data Riskesdas tahun 2013, baru 66.8% rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap air bersih yang layak. Padahal, Indonesia memiliki 6 persen dari total sumber air di dunia dan 21 persen dari total sumber air di Asia Pasifik (WEPA, 2014). Ini menunjukkan bahwa upaya eksplorasi dan pengelolaan, termasuk distribusi layanan air bersih masih belum optimal. Belum ada upaya yang serius untuk melibatkan riset dan inovasi misalnya dari pihak universitas maupun industri untuk pengembangan metode pengadaan, penyediaan dan distribusi air bersih yang efektif dan efisien, serta ramah lingkungan. Upaya untuk meningkatkan akses terhadap air bersih menjadi sebesar 85 persen pada tahun 2019, sebagaimana yang diamanatkan dalam RPJP merupakan tantangan besar bagi Indonesia.

Tantangan-tantangan

tersebut.

antara

lain:

1)

bagaimana

memastikan

ketersediaan sumberdaya air, 2) bagaimana merawat infrastrukur yang ada dan meningkatkan ketersediaan infrastruktur khususnya air bersih dan sanitasi, 3) bagaimana menjamin akses air bersih dan sanitasi dalam kuantitas dan kualitas yang layak bagi seluruh warga termasuk kelompok-kelompok rentan. Selain tantangan-tantangan tersebut di atas, kompetisi antara sektor pertanian, industri dan domestik (air bersih bagi rumah tangga), serta kesenjangan akses antara daerah dan kelompok pendapatan juga merupakan tantangan tersendiri. Data Riskesdas 2013 menunjukkan bahwa provinsi dengan akses rumah tangga yang paling tinggi ke air bersih yang layak seperti Bali dan DIY adalah sekitar 80 persen, namun provinsi terendah seperti Kepri hanya sekitar 25 persen. Pada tahun 2012, 84% kelompok masyarakat kuantil terkaya mempunyai akses terhadap air bersih, sementara hanya 48% kelompok masyarakat kuantil

18

Lihat laporan HLPEP dan Outcome Document Open Working Group on Sustainable Development Goals

30 www.infid.org


termiskin mempunyai akses. Kesenjangan akses ini cenderung melebar selama 5 tahun terakhir (http://keberpihakan.org/page/articles/4). Secara institusional, koordinasi antar Kementerian/Lembaga yang menangani persoalan sumber daya air –pun masih buruk, begitu juga rendahnya kapasitas institusi teknis penyedia layanan air bersih utama bagi rakyat seperti PDAM dalam menyediakan air bersih yang aman bagi masyarakat, makin memperparah persoalan penyediaan layanan air bersih. Contohnya, dari 384 PDAM yang ada di seluruh provinsi di Indonesia, hanya 23 PDAM yang memenuhi syarat dari hasil pemeriksaan kualitas mikrobiologi air minum pada jalur distribusi mereka (Kemenkes RI, 2014).

Lahan Pertanian dan Petani. Laju penyusutan lahan pertanian mencapai angka 1.935 juta ha selama 15 tahun, atau 129.000 ha/tahun. Setiap hari lebih dari 353 hektar lahan pertanian (14,7 ha perjam, 0,25 ha per menit) berubah menjadi non-pertanian. Selain itu, setiap hari, sekitar 1.408 rumah tangga tani (59 rumah tangga tani per jam, atau 1 rumah tangga tani per menit) terpaksa meninggalkan posisi kelas dan pekerjaannya. Data Sensus Pertanian 2013 menunjukkan rumah tangga tani di Indonesia mencapai 26,13 juta, yang berarti selama sepuluh tahun telah terjadi penurunan sebesar 5,07 juta rumah tangga pertanian, dibanding dengan hasil Sensus Pertanian 2003. Luas lahan pertanian untuk pertanian keluarga semakin menyempit, dan arus alih profesi/migrasi petani ke sektor lain, seperti sektor informal, buruh lepas, TKI dan lain-lain, semakin membesar tanpa disertai dengan meningkatnya luasan lahan yang digarap oleh rumah tangga petani miskin. Tidak heran, bila petani merupakan kelompok dengan pendapatan terendah di Indonesia yaitu rata-rata hanya Rp 1,03 juta per bulan (BPS 2014). Perhatian kita secara khusus, harus diberikan pada nasib wilayah-wilayah adat yang jumlahnya jutaan hektar dalam berbagai ekosistem yang berbeda-beda, termasuk hutan adat di hulu-hulu sungai, wana tani, padang rumput penggembalaan, pesisir pantai dan laut, dan lain sebagainya. Reforma agraria mutlak untuk dijalankan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla, untuk melindungi petani dan lahan pertanian rakyat.

Situasi Pangan Indonesia. Walaupun sudah lebih dari enam dekade Indonesia menyatakan kemerdekaannya, namun sampai sekarang masalah pangan impor masih menduduki angka yang fantastis. Indonesia mengalami krisis pangan hebat pada tahun 1998 yang menyebabkan kita harus mengimpor beras hingga 6,077 juta ton, yang tertinggi dalam sejarah. Krisis pangan tersebut menjadi pemicu terjadinya kerusuhan besar dan pergantian

31 www.infid.org


rezim di tahun 1998.19 Petani yang berjumlah 91.91 juta jiwa (BPS, 2012) atau 26.13 juta rumah tangga (BPS 2013) sebagai komponen terbesar rakyat Indonesia masih hidup miskin karena produksi dan harga yang diluar kontrol mereka. Selain beras, berbagai produk pangan masih diimpor, bahkan untuk produk seperti garam. Kebutuhan garam dalam negeri adalah 3 juta ton per tahun, dan 1,8 juta ton di antaranya harus diimpor, sementara kebutuhan industri dan konsumsi rumah tangga akan garam rata-rata meningkat dua persen per tahun.20 Kondisi ini ironis, karena Indonesia adalah negara kepulauan dengan panjang pantai 5,8 kilometer, salah satu negara yang memiliki garis pantai terpanjang di dunia, dan laut sekitar 81.000 km persegi. Hampir seluruh kebutuhan garam untuk industri masih diimpor, menunjukkan lemahnya perhatian untuk pengembangan industri pemrosesan garam.di Indonesia. Begitu juga biji-bijian lainnya. Impor serealia (gandum, beras, kedelai dan jagung) meningkat 61 persen pada periode 2011-2013 dibandingkan dengan periode 2007-2009 (Food

Outlook, FAO 2010-2013). Peningkatan impor, selain melemahkan produsen dalam negeri, juga minim regulasi dan pengawasan sehingga merugikan perani dan industri rumah tangga. Impor kedelai misalnya, karena dipermainkan oleh importir dan sangat tergantung dari tingkat produksi negara produsen seperti Amerika Serikat, harga kedelai di pasaran sangat fluktuatif, kadang naik dratis, turun sedikit, kemudian naik lagi. Ini mengakibatkan industri rumah tangga berbasis kedelai (seperti tahu dan tempe) tidak dapat menentukan harga jualnya. Tidak hanya bahan pangan pokok, ketergantungan impor kita terhadap belasan jenis pangan lainnya dari bawang hingga daging sapi perlahan-lahan juga mulai meningkat. Indonesia telah masuk fase jebakan impor pangan yang sangat mengkhawatirkan. 21 Ketahanan pangan dan perangkat-perangkatnya telah menjadikan penguasaan benih dan sarana produksi serta perdagangan pangan internasional mengerucut ke hanya beberapa perusahaan raksasa yang nir-nilai budaya pangan dan pertanian. Hanya dalam waktu kurang dari 20 tahun, 10 perusahaan transnasional (TNC, transnational corporation) saat ini menguasai 89 persen input pertanian terutama pestisida dan pupuk. Sekitar 67% pasar benih dikuasasi 10 TNC dan 99,9% benih transgenik dikuasai oleh 6 TNC dengan Monsanto menguasai sekitar 90 persennya. Lima TNC saat ini menguasai 90% perdagangan pangan dunia (ETC group, 2008 dan sumber lain). Pangan telah direduksi hanya menjadi sekadar 19

Dwi Andreas Santosa, Membumikan Kedaulatan Pangan, makalah, 23 September 2013 Kemandirian Bangsa: Garam Saja Impor, Kompas, 14 Februari 2011 21 L. Diana (peny), Sebulir Gandum, Segudang Derita: Jeratan utang dalam tata niaga pengadaan gandum di Indonesia, debtWATCH Indonesia, Jakarta, 2012 20

32 www.infid.org


komoditas. Perubahan konsep dan tata nilai tentang pangan dan pertanian tersebut dampaknya luar biasa bagi negara berkembang. Banyak jenis pangan dan budaya pangan lokal musnah, banyak praktik pertanian yang mengandalkan keselarasan alam dan harmoni kehidupan menjadi rusak tergantikan praktik pertanian “modern” padat energi dan bahan beracun. Dampak lanjut dari model ketahanan pangan adalah pergeseran negara berkembang yang semula pada tahun 1960-an merupakan eksportir pangan utama dengan surplus sekitar $7 milyar per tahun menjadi importir pangan utama. Ironisnya pergeseran tersebut terjadi justru setelah kesepakatan pertanian (AoA) mulai diberlakukan pada tahun 1980-1990-an dan WTO serta perdagangan pangan internasional mulai berjalan. Saat ini 70% negara berkembang merupakan importir netto pangan dan negara maju menguasai produksi dan perdagangan pangan dunia. Dampak lanjutannya adalah kerugian negara berkembang sekitar $50 milyar per tahun akibat hilangnya potensi ekspor produk pertanian mereka (Brown 2012). Saat ini merupakan periode emas untuk merubah paradigma dan melaksanakan kedaulatan pangan (food sovereignty). Bila periode emas ini terlewatkan maka Indonesia akan semakin dalam terperosok dalam jebakan impor pangan yang akut dan sulit bangkit kembali. Kesehatan. Tingginya Angka Kematian Ibu (AKI) terakhir mencapai 359 per 100.000 kelahiran hidup. Ini jauh dari sasaran MDG 5 yang harus dicapai sebesar 102 per 100.000 kelahiran hidup membuktikan bahwa terjadi kemunduran dalam upaya penurunan kematian ibu hamil dan melahirkan. Dibandingkan dengan hasil SDKI 2012 yang mencapai 228 kematian per 100.000 KH, hasil SDKI 2012 menunjukkan kenaikan yang signifikan menjadi 359 kematian per 100.000 KH. Walaupun dengan alasan ada perbedaan metodologi survey, kenaikan ini tetap merupakan pukulan bagi berbagai upaya penurunan AKI di Indonesia. Selain itu, masalah kesehatan lainnya di Indonesia seperti malnutrisi dan kurang gizi cenderung stagnan bahkan meningkat. Proporsi balita malnutrisi meningkat dari 4,9% (Riskesdas 2010) menjadi sebesar 5,7% (Riskesdas 2013), sedangkan proporsi balita kurang gizi meningkat dari 13% menjadi 13,9% pada periode yang sama. Belum lagi proporsi balita pendek yang meningkat dari 17,1% pada 2010 menjadi 19,2% pada 2013. Ini merupakan prediktor kualitas SDM Indonesia dimasa depan. Penyakit menular, sementara belum benar-benar ditangani, penyakit tidak menular pun mulai menjadi tantangan besar di Indonesia. Indonesia misalnya, masih menjadi negara nomor empat sebagai penderita Tuberkolosis (TB) dan juga diabetes di dunia, dan mengalami

33 www.infid.org


peningkatan jumlah kematian akibat HIV/AIDS sebanyak 427 persen selama tahun 2005-2013 (UN AIDS, 2013). Disparitas pembangunan kesehatan antar wilayah, masih sangat terlihat. Data Risfaskes 2011 (Riset Fasilitas Kesehatan) menunjukkan bahwa kisaran ketersediaan tenaga medis di Puskesmas seperti dokter dan perawat sangat lebar. Untuk dokter misalnya, kisarannya adalah 0-27, yang artinya ada Puskesmas memiliki 27 dokter, dan ada yang sama sekali tidak memiliki dokter. Untuk perawat, kisarannya lebih lebar lagi, yaitu 0-97. Untuk tenaga bidan, sementara di seluruh provinsi lain hampir tidak ada Puskesmas yang tidak memiliki bidan, di Papua masih ada seperlima dari seluruh Puskesmas yang sama sekali tidak memiliki bidan. Dari segi pendanaan, walaupun telah diundangkan dalam UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), dan berdasarkan UU tersebut telah dibentuk Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) melalui UU No. 24 tahun 2011, dalam implementasinya ditemukan setidaknya tiga masalah utama yang memerlukan pembenahan segera, sebagaimana yang ditengarai oleh Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Hasbullah Thabrany, yaitu: 1. Keluarnya Perpres (Peraturan Presiden nomor 12/2013). Perpres ini berisi tentang Jaminan Kesehatan tanpa ada iuran. Padahal mestinya, perpres tersebut menentukan besaran iuran. Menteri Keuangan semula hanya mau mengalokasikan Rp 10.000 per orang per bulan akhirnya naik menjadi Rp 15.500 dan akhirnya kini disepakati menjadi Rp 19.225 setelah kenaikan BBM.

Dengan

iuran sebesar itu, tetap saja tenaga

kesehatan harus bekerja rodi. Dampak buruknya adalah bahwa pengusaha ingin juga menurunkan kualitas jaminan kesehatan untuk pekerjanya dengan iuran tidak naik seperti untuk JPK (Jaminan Pemeliharaan Kesehatan) Jamsostek dan dengan batas upah (ceiling) hanya dua kali PTKP (Penghasilan tidak kena pajak) untuk keluarga dengan satu anak. 2. Besaran kapitasi dan CBG belum selesai. Keputusan Menteri Keuangan tentang asoasiasi fasilitas kesehatan, besaran kapitasi (metode pembayaran untuk pelayanan kesehatan ketika penyedia layanan dibayar dalam jumlah tetap per pasien tanpa memerhatikan jumlah atau sifat layanan yang diberikan) dan besaran INACBG's (sistem tarif yang mencakup seluruh jenis perawatan pasien) yang belum sesuai dengan harapan para tenaga kesehatan. Bayaran kapitasi puskesmas yang bervariasi antara Rp 3.000-Rp6.000 sudah lebih baik, tetapi belum mampu meningkatkan

34 www.infid.org


kualitas. Sementara bayaran kapitasi dokter atau klinik sebesar Rp 8.000-Rp 10.000 masih jauh di bawah harga keekonomian yang akan menimbulkan kualitas layanan JKN inferior. Pada akhirnya, dikhawatirkan bahwa nanti hanya dokter dan klinik swasta yang kurang laku atau kurang berkualitas yang akan bergabung dengan JKN. 3. Terbitnya kartu BPJS Kesehatan. Hal lain yang telah diselesaikan tapi tidak sesuai dengan rancangan awal undang-undang SJSN dan undang-undang BPJS adalah akan terbitnya kartu BPJS kesehatan. Ini menunjukkan masih tingginya ego sektoral. Seharusnya kartu peserta bertuliskan 'Republik Indonesia-Kartu Jaminan Kesehatan'. Istilah dan fokus sosialisasi juga tidak seragam. Kemenkes mengiklankan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang paling konsisten, dengan istilah JKN, istilah yang dianggap paling pas, mudah dipahami dan paling lazim sedunia. Sementara PT. Askes mengiklankan dirinya sendiri sebagai BPJS kesehatan, PT. Jamsostek mengiklankan BPJS Ketenagakerjaan dan DJSN (Dewan Jaminan Sosial Nasional) yaitu SJSN. Berbagai istilah ini yang akhirnya membuat tanda tanya bagi publik umum.22

II.3. Tantangan 3 Melindungi Hak Asasi Manusia, Mengurangi Kemiskinan dan Ketimpangan Pendapatan dan Kesempatan Ketimpangan (inequality) menjadi persoalan yang dihadapi banyak negara baik negara maju maupun berkembang termasuk Indonesia. Rasio gini di Indonesia terus meningkat dari 0,32 pada tahun 2003 menjadi 0,41 pada tahun 2012. Pada tahun 2012, 20% kelompok terkaya menikmati 49% pendapatan nasional, (naik dari level 40% pada tahun 2002). Sementara 40% kelompok termiskin menikmati 16% pendapatan nasional (turun dari 20% pada tahun 2002). Tidak hanya itu, 10% penduduk terkaya mengalami peningkatan pendapatan 12 kali lipat dibandingkan dengan 10% termiskin (naik dari level 9.6 kali pada tahun 2007). Ketimpangan pendapatan yang semakin besar, kemudian juga diperparah dengan persoalan ketimpangan kesempatan dimana angka kematian ibu (AKI) yang masih tinggi, terbatasnya akses masyarakat terhadap sanitasi, masih rendahnya kualitas sumberdaya manusia Indonesia dan sebagainya. Beberapa sebab semakin buruknya persoalan ketimpangan di Indonesia antara lain, (i) lemahnya peranan pajak dan kebijakan fiskal dalam membuat perbedaan atau perbaikan 22

http://health.liputan6.com/read/785102/6-masalah-kesehatan-yang-jadi-pr-pada-2014#sthash.xjpy0TmM.dpuf

35 www.infid.org


pada pendapatan warga; (ii) lemahnya peran pemerintah dalam memediasi kepentingan antara pengusaha dan pekerja; (iii) masih terbatasnya keterwakilan kaum perempuan; (iv) lemahnya pemerintah dalam mengatur dan menentukan kualitas dan capaian pelayanan publik khususnya berkenaan dengan kualitas, dan akses pelayanan publik dasar seperti air minum, kesehatan dan pendidikan23. Selain itu, ketimpangan pendapatan ini tidak dapat dilepaskan dari fakta bahwa terjadi terjadi ketimpangan akses pengelolaan tanah dan sumber daya alam khususnya pertanian, perkebunan, kehutanan yang sangat tidak berpihak kepada masyarakat. Badan Pertanahan Nasional (BPN) mengungkapkan bahwa 0.2 persen penduduk menguasai 56 persen kekayaan nasional, 86 persen kekayaan tersebut berupa tanah dan sumber daya alam. Ketimpangan pengelolaan sumber daya alam disebabkan oleh: kebijakan yang memprioritaskan pengelolaan SDA kepada pengusaha skala besar (land lord bias), lemahnya perlindungan hak kepemilikan rakyat khususnya petani dan masyarakat adat. Kementerian Agraria harus difungsikan untuk menjalankan reforma agraria yang pada intinya berupa redistribusi tanah untuk petani miskin, dan pemberdayaan petani agar produktivitas tanah pertaniannya meningkat, dan penatagunaan tanahnya menjamin layanan alam yang berkelanjutan. Reforma agraria adalah juga resep jitu untuk mengatasi kesenjangan sosial ekonomi yang saat ini sudah sangat tajam. Indeks rasio gini yang merupakan alat ukur kesenjangan pendapatan meningkat tajam, hanya dalam waktu 5 tahun yaitu dari 0,35 (2008) menjadi 0,41 (2013). Umum dipercayai oleh para perencana pembangunan bahwa apabila Indeks Gini sudah mencapai 0,45 maka rakyat miskin akan sangat rentan dan mudah sekali tersulut untuk melakukan protes sosial hingga pemberontakan. Meski pertumbuhan ekonomi semakin membaik dan positif, namun pertumbuhan tersebut ternyata belum mampu menyerap tenaga kerja. Angka pengangguran senantiasa bergerak antara 9% hingga 10%. Paska krisis 1998 telah terjadi paradoks pertumbuhan– pengangguran. Laju pertumbuhan ekonomi meningkat, namun laju pengangguran juga turut meningkat.24

23

Analisis INFID No.2 Tahun 2014 tentang Ketimpangan Mickael B. Hoelman, Menuju Jaminan Pendapatan Dasar bagi Setiap Warga Negara Republik Indonesia: Berbuat Lebih Banyak untuk Melindungi Kesejahteraan dan Pertumbuhan Indonesia, Makalah pada Konferensi INFID “Pembangunan untuk Semua: Memperjuangkan Kualitas Pemerintah, Hak Asasi Manusia, dan Inklusi dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015–2019”, Jakarta 26–27 November 2013. 24

36 www.infid.org


Sementara itu, alokasi anggaran penurunan kemiskinan semakin meningkat, namun kinerja penurunan kemiskinan hanya menunjukkan penurunan yang tipis dengan angka yang masih relatif besar. Peningkatan alokasi anggaran nyatanya baru membuat ongkos untuk menurunkan kemiskinan di Indonesia semakin mahal (bila tidak ingin disebut boros). Kinerja pengurangan kemiskinan menghadapi tantangan berat pada efektifitas dan upaya kesinambungannya. Paradoks antara pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan kemiskinan menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang masih semu atau belum berkualitas. Tantangan terus–menerus itu kini mesti dihadapi dengan beban baru melebarnya ketimpangan. Dengan pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi dan stabil, maka keadaan ketimpangan merupakan tanda ketidakberesan, lebih–lebih mengingat selalu meningkatnya anggaran nasional dari tahun ke tahun. Dalam jangka panjang, melebarnya jurang ketimpangan dapat memantik kemarahan sosial yang menuntut lebih banyak kepastian, jaminan keamanan, dan perlindungan bagi semua warga negara tanpa kecuali. Keadaan ini sesungguhnya dapat dimitigasi apabila kebijakan dan kelembagaan yang dibutuhkan dapat dirancang untuk mengurangi ketidakadilan, kerentanan dan ketimpangan.

37 www.infid.org


II.4.Tantangan 4 Pembaruan Agraria, Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam yang Adil dan Lestari Tantangan Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA dan LH yang adil dan lestari dihadapi Indonesi karena terdapat 3 masalah pokok yaitu ketimpangan pemilikan, penguasaan dan pengusahaan tanah dan sumber daya alam yang tinggi. Konflik agraria terus meningkat dan tidak terselesaikan sepanjang tahun serta kerusakan lingkungan hidup yang disebabkan oleh salah pengelolaan SDA menjadi tantangan berat bagi Indonesia. Kebijakan yang tumpang tindih dan masalah ego-sektoral kelembagaan menjadi pemicu utama dari realitas ketimpangan, konflik agraria, dan kerusakan lingkungan hidup yang terjadi. Hal ini tercermin dari kenyataan dan temuan-temuan penting di semua sektor yang terkait agraria dan pengelolaan sumberdaya alam. Dalam bidang kehutanan misalnya, melalui UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, pemerintah telah menunjuk secara sepihak luas kawasan hutan seluas 136,94 juta hektar atau 69 persen wilayah daratan Indonesia. Dari sisi pengusahaan kawasan hutan, terjadi ketimpangan yang sangat besar. Menurut data Kemenhut, luas Hutan Tanaman Industri (HTI) hingga kini mencapai 9,39 juta hektar dan dikelola oleh 262 unit perusahaan dengan izin hingga 100 tahun. Selain itu, luas HPH di Indonesia mencapai 21,49 juta hektar yang dikelola oleh 303 perusahaan HPH saja. Bandingkan dengan izin Hutan Tanaman Rakyat (HTR) yang sampai sekarang hanya seluas 631.628 hektar. Di bidang perkebunan hal yang sama pun terjadi, sedikitnya 9,4 juta hektar tanah telah diberikan kepada 600 perusahaan perkebunan sawit saja. Tidak berhenti disitu saja, pengadaan tanah bagi perusahaan pangan juga terus terjadi, baru-baru ini pemerintah mengeluarkan izin 2 juta hektar tanah di Merauke kepada hanya 41 perusahaan saja melalui proyek Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE). Hal serupa terjadi di sektor pertambangan, dimana sebanyak 64,2 juta hektar tanah (33,7 persen daratan) telah diberikan izin eksplorasi dan eksploitasiya kepada perusahaan pertambangan mineral dan batubara. Angka ini belum termasuk luas konsesi pertambangan minyak dan gas. Luasan total lahan untuk Izin Usaha Pertambangan (IUP) mencapai 41.750.107 Ha, untuk Kontrak Karya (KK) total luasan 22.764.619,07 Ha dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) seluas 7.908.807,80 Ha. Padahal, sedikitnya terdapat 28 juta rumah tangga petani (RTP) yang ada di Indonesia, 6,1 juta RTP di Pulau Jawa yang tidak memiliki lahan pertanian sama sekali dan 5 juta RTP tak 38 www.infid.org


bertanah di luar Jawa. Sedangkan bagi mereka yang memiliki, rata-rata pemilikan lahannya hanya 0,36 hektar (kategori petani gurem). Jadi dengan kata lain saat ini terdapat sekitar 32 juta jiwa petani Indonesia adalah buruh tani dan 90 juta jiwa adalah petani subsisten. Penguasaan tanah dan sumber daya alam yang semakin terkonsentrasi di dalam genggaman elite kepentingan pengusaha dan penguasa kelompok tertentu telah mengakibatkan konflik agraria yang terus meluas dan memakan korban tak sedikit. Menurut laporan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dalam sepuluh tahun masa Pemerintahan SBY (2004-2014) setidaknya telah terjadi 1.391 konflik agraria di seluruh wilayah Republik Indonesia, dengan areal konflik seluas 5.711.396 hektar dan lebih dari 926.700 kepala keluarga (KK) harus menghadapi ketidakadilan agraria dan konflik berkepanjangan. Dari 1.391 kasus konflik agraria, konflik yang terjadi di sektor perkebunan sebanyak 536 konflik, sektor pembangunan infrastruktur 515 konflik, sektor kehutanan 140 konflik, sektor tambang 90 konflik, sektor pertanian 23 konflik, pesisir-kelautan 6 konflik dan sektor lainnya. Data ini menunjukkan bahwa masalah sektoralisme kebijakan dan kelembagaan dalam pengelolaan sumber-sumber agraria menjadi penyumbang utama konflik-konflik yang terjadi. Selanjutnya konflik agraria selalu disertai dengan perseteruan fisik dan tekanan psikis berupa tindak kekerasan, intimidasi/ancaman dan cara-cara represif lainnya oleh aparat keolisian/TNI maupun pihak keamanan/preman perusahaan, yang melibatkan kelompok masyarakat petani dan komunitas adat. Tidak sedikit pula seringkali disusul dengan kriminalisasi orang-orang atau kelompok masyarakat yang berusaha mempertahankan dan/atau mengambil kembali hak-haknya. Selama periode 2004–2014, konflik agraria telah mengakibatkan 1.354 orang petani dan aktivis agraria ditahan, 553 mengalami luka-luka, 110 tertembak peluru aparat, serta tewasnya 70 orang di wilayah konflik (Data KPA, 2014). Masalah keseimbangan antara eksploitasi dan konservasi lingkungan dan sumber daya alam

masih menjadi kendala dalam pembangunan Indonesia. Eksploitasi yang

berlebihan tanpa konservasi di berbagai sektor, seperti pertambangan, kehutanan, perkebunan maupun perikanan mengakibatkan fungsi lingkungan terganggu, menimbulkan pencemaran dan konflik tata guna lahan dengan masyarakat. Sektor kehutanan dan perkebunan merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Kondisinya pada saat ini ialah sektor kehutanan dalam kondisi kolaps: produksi dan ekspor kayu turun drastis, kondisi hutan yang memprihatinkan dari dampak banyaknya pembalakan hutan illegal (illegal logging), ijin HPH banyak yang tidak terealisasi, dan banyaknya lulusan baru fakultas kehutanan, akhirnya terpaksa bekerja di sektor lain terutama 39 www.infid.org


perkebunan dan pertambangan. Sektor hilirnya sedang mengalami krisis didera kelangkaan bahan baku dan isu legalitas kayu. Sektor perkebunan, terutama sawit, berkembang dengan pesat. Namun demikian ekspor masih didominasi dengan bahan primer, pengolahan produk turunan masih minim, penguasaan pasar akhir oleh merk-merk multinasional ternama, dan serapan konsumsi domestik yang lemah. Tanaman rakyat tidak banyak memperoleh dukungan baik pendanaan dan kebijakan. Pengolahan produksi mereka sangat tergantung oleh keberadaan industri besar. Pada saat ini juga dibebani masalah besar tentang kewajiban melakukan sertifikasi baik itu melalui skema internasional seperti FSC dan RSPO yang penting untuk menembus pasar internasional, maupun skema nasional yang sifatnya wajib seperti SVLK dan ISPO (untuk ISPO sementara masih berfokus pada perusahaan besar tapi akan juga mencakup para produsen kecil). Manajemen produsen oleh rakyat kecil juga lemah, terutama karena kelemahan fundamental dari koperasi dan pengelolaannya. Langkah-langkah

untuk

meningkatkan

peran

koperasi

melalui

penguatan

perkoperasian maupun peraturan yang mewajibkan perusahaan bekerjasama dengan koperasi pada saat ini tidak terlalu efektif karena melupakan realita soal tidak sehatnya keanggotaan koperasi pada umumnya, profesionalitas dari para pengurus, minimnya tenaga pendamping yang berorientasi pada manajemen modern (lebih banyak berorientasi pada proyek), dan pengawasan dan pembinaan dari Kementrian Koperasi serta organisasi jaringan perkoperasian lemah. Masalah kronis lainnya ialah soal lahan. Ijin lahan menjadi kacau dengan saratnya permainan di tingkat pemerintah kabupaten soal pemberian ijin, terkadang luasan izin di suatu kabupaten melebihi dari jumlah lahan yang boleh diolah. Keprihatinan utama ialah mengurangi praktek pemberian ijin lahan yang sarat korupsi. Pada sektor kehutanan ada upaya untuk membuka akses ekspor log sementara pada sektor perkebunan inisiatif untuk melakukan hilirisasi terus berkembang. Keduanya harus dikaji secara seksama dengan memperhatikan strategi penguatan posisi Indonesia dalam persaingan global. Selama ini kebijakannya parsial yang cenderung memperlemah yang sudah kuat sementara ini. Upaya untuk memperkuat dan mendalami rantai komoditas harus melibatkan pertimbangan untuk penguatan strategi bisnis produksi dan pemasaran produk Indonesia di tingkat global. Sektor kehutanan dan perkebunan memerlukan mekanisme pembiayaan yang sesuai. Selama ini pembiayaan cenderung disamakan dengan pembiayaan komersial pada umumnya 40 www.infid.org


sementara industri keuangan pun cenderung bergerak menjauhi sektor real yang lebih berisiko di tengah lesunya perekonomian dunia dan kurang menguntungkan dibandingkan dengan investasi portofolio di pasar modal. Kelemahan yang sangat mengganggu pada saat ini ialah tidak terkoordinasinya data secara nasional yang dapat digunakan untuk perencanaan pembangunan secara baik. Adanya otonomi daerah mengakibatkan dinas-dinas kehutanan dan perkebunan ditempatkan di bawah pemerintah kabupaten yang tidak terlalu baik koordinasinya dengan pemerintah provinsi dan pemerintah pusat. Kedua sektor memperoleh tekanan di tingkat internasional untuk membenahi dampak lingkungan dan sosial yang ditimbulkan: kerusakan hutan karena penggundulan dan kebakaran, peminggiran masyarakat asli, perampasan tanah, konversi hutan oleh pertanian secara monokultur yang mengubah tata guna air, kehilangan keanekaragaman hayati, dan pembukaan hutan di lahan gambut yang menempatkan Indonesia sebagai salah satu emiter karbon terbesar. Tekanan internasional untuk lebih berkelanjutan harus disikapi dengan arif, diambil perspektif untuk pembenahan di tingkat nasional misalnya untuk tata ruang, pemerataan bagi masyarakat kecil, serta perbaikan kondisi hutan dan konservasi alam. Di sisi dalam negeri, perlu dipikirkan mengenai keberlanjutan yang tidak hanya mencakup sisi lingkungan dan sosial saja. Keberlanjutan juga berlaku untuk perekonomian nasional. Perekonomian nasional yang berlanjut harus berorientasi untuk: (i) Penciptaan daya saing di tingkat global―tidak hanya dengan memperhatikan perdagangan tapi pada penguatan produksi, teknologi dan inovasi; (ii) Peningkatan nilai tambah secara strategis dengan memperhatikan posisi Indonesia dibandingkan dengan para pesaingnya. NIlai tambah ditingkatkan dengan melakukan investasi baik itu dalam sumber daya manusia maupun faktor produksi yang secara strategis memperkuat daya saing Indonesia dalam jangka waktu 5-10 tahun ke depan dalam perdagangan dan rantai produksi global.

II.5. Tantangan 5 Penguatan Sistem Hukum, Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Perlindungan Perempuan serta Kelompok Rentan Lainnya Sistem Hukum. Indeks ILR menemukan bahwa 60% dari masyarakat memandang hakim di Indonesia tidak bersih dari praktik suap dan 48% masyarakat memandang bahwa rekruitmen para hakim itu sendiri tidaklah bebas dari praktik-praktik KKN. Hal ini berarti bahwa integritas para pejabat kehakiman tersebut memang sudah buruk sejak awal dari 41 www.infid.org


proses perekruitannya.

Di samping kualitas kehakiman yang sangat buruk, kualitas

penegakkan hukum di Indonesia semakin diperparah dengan kinerja para penegak hukum, termasuk di dalamnya kejaksaan dan kepolisian, yang tidak lebih baik dibandingkan dengan kehakiman. Di dalam indeks Rule of Law yang dibuat oleh World Justice Project tahun 2014, kinerja penegak hukum di dalam menjalankan penyelidikan/penyidikan yang efektif sangatlah buruk (0.31), sementara penegakkan due process of law di dalam proses hukum pidana juga sama buruknya (0.35). Indeks tersebut juga menunjukkan bahwa korupsi di kepolisian tinggi (0.37), begitu juga tingkat korupsi di dalam sistem hukum pidana secara keseluruhan (0.38). Khusus bagi kepolisian, menurut sebuah laporan yang diluncurkan oleh Crisis Group International pada tahun 2012, korupsi di dalam institusi kepolisian sangatlah masif menjalar di setiap tingkatan dan lingkup kerjanya, laporan tersebut menyatakan bahwa laporan tersebut menyatakan bahwa:

"[P]raktik-praktik korupsi di dalam Kepolisian Republik Indonesia dan ketergantungannya terhadap sumber-sumber pendanaan eksternal untuk institusi dan para anggotanya telah menghambat banyak reformasi… Kenaikan jabatan, penempatan wilayah dinas, penugasanpenugasan, penyelidikan/penyidikan, pekerjaan dokumen, penangkapan, penggeledahan dan jadwal kerja seluruhnya dijadikan sumber korupsi. Dalam lingkungan yang seperti ini, keputusan-keputusan kerja cenderung dibuat berdasarkan pertimbangan finansial dan bukan berdasarkan komitmen tugas." Hal ini menjelaskan mengapa kinerja Kepolisian di dalam melakukan tugas-tugas utamanya yang terkait dengan penegakkan sistem hukum pidana yang sesuai dengan prinsipprinsip due process of law sangatlah buruk. Bobroknya institusi peneggakan hukum seperti yang disebutkan di atas telah membuat Indonesia terpuruk ke dalam peringkat 80 dari 99 negara yang disurvei terkait dengan Indeks Penegakkan Negara Hukum dan bahkan skor Indonesia lebih rendah dibandingkan Etopia secara keseluruhan. Kualitas Perlindungan HAM. Kualitas peneggakan hukum yang buruk juga sangat mempegaruhi kualitas perlindungan HAM di Indonesia. YLBHI sendiri menerima setidaktidaknya 1.145 kasus pelanggaran HAM di tahun 2013 yang lalu. Kasus-kasus pelanggaran atas hak-hak sipil dan politik yang dilaporkan kepada YLBHI terdiri dari pelanggaran atas hak persamaan bagi laki-laki dan perempuan (113 kasus); hak untuk diadili oleh peradilan yang independen, berwenang, dan tidak berpihak dengan (57 kasus); pelanggaran atas hak untuk bebas dari penyiksaan, perlakuan keji, dan merendahkan martabat dengan (27 kasus); pelanggaran atas hak untuk bebas berpikir, berkeyakinan dan beragama (20 kasus); dan hak 42 www.infid.org


untuk mendapat perlakuan yang sama di depan hukum dengan (14 kasus). Sementara itu, terkait dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob), YLBHI menerima setidak-tidaknya 845 kasus di mana kasus-kasus pelanggaran hak atas pekerjaan yang menjadi peringkat pertama dengan jumlah sebesar 401 kasus. Kemudian, selain pelanggaran hak atas tanah, pelanggaran hak atas tanah juga merupakan kasus yang cukup tinggi dilaporkan (196 kasus) dan pelanggaran hak-hak ekosob lainnya seperti hak atas layanan kesehatan, hak atas pendidikan dan hak atas lingkungan dilaporkan sebanyak 53 kasus. Kasus-kasus pelanggaran hak atas tanah yang dilaporkan kepada YLBHI secara umum terkait dengan pembebasan tanah untuk kepentingan industri-industri pengolahan sumber daya alam sebagai konsekuensi dari penerapan MP3EI, sebagai acuan pembangunan ekonomi pemerintah Indonesia, yang telah kami uraikan di bagian sebelumnya. Hal yang sama juga ditemukan oleh Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasiskan Masyarakat dan Ekologis (HuMa) yang menemukan ada sekitar 231 konflik yang terkait dengan pengolahan sumber daya alam (konflik SDA) dan konflik agraria yang meluas di 22 propinsi di Indonesia yang pada umumnya melibatkan persengketaan antara komunitas lokal dan petani dengan Perhutani, sebuah badan usaha milik negara yang bertanggungjawab atas pengusahaan dan perlindungan hutan Indonesia. Selain itu, di bidang hak-hak sipil dan politik, Human Rights Watch juga mencatat di dalam laporannya bahwa Indonesia memiliki permasalahan hak asasi manusia yang cukup besar khususnya di dalam hal penuntasan pelanggaran berat Ham yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan militer (impunitas), khususnya di wilayah-wilayah rentan konflik seperti di Papua. Impunitas juga diterapkan pada kelompok-kelompok intoleran yang melakukan kekerasan atas dasar agama terhadap kelompok-kelompok agama minoritas. Impunitas di Indonesia turut juga disuburkan oleh rendahnya pemahaman masyarakat tentang hak-hak hukum mereka. Di dalam indeks yang dibuat ILR yang telah disebutkan sebelumnya, ada 70% responden yang mengaku tidak mengetahui tentang peraturan-peraturan hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa, selain institusi hukumnya yang buruk, masyarakat Indonesia juga tidak memahami hak-hak dan jaminanjaminan perlindungan hukum yang mereka miliki, sehingga sangat rentan menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia, diskriminasi dan kesewenang-wenangan penegakkan hukum.

43 www.infid.org


Tingginya jumlah pelanggaran hak asasi manusia, meluasnya impunitas terhadap para aktor utama pelaku pelanggaran HAM, dan rendahnya pemahaman masyarakat tentang perlindungan hukum, takhirnya membuat Indonesia menempati posisi sebagai sebagai salah satu negara dengan kondisi perlindungan HAM yang terburuk dengan tingkat resiko yang ekstrim berdasarkan laporan Atlas Resiko Ekstrim 2014 yang diluncurkan oleh sebuah perusahaan analisis global, Maplecroft. Hak-Hak kaum Perempuan. Pembangunan yang tidak memajukan hak dan kesejehteraan kaum perempuan akan menjadi tidak adil dan tanpa makna. Indonesia sudah memiliki payung konstitusi, undang-undang dan peraturan yang menangani masalah Ketidaksetaraan dan Ketidakadilan Gender. Di bawah ini ada beberapa landsan hukum: •

UUD 1945, Ayat (1) dan (2): Persamaan hak dan pendekatan non-diskriminasi dalam hukum, pemerintahan, dan akses terhadap lapangan kerja

•

UUD 1945, Ayat (3) Pasal 28D: Setiap warga negara berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam pemerintahan

•

UU no. 7 1984 : Ratifikasi CEDAW

•

UU no. 39 1999: Hak Asasi Manusia

•

UU no. 23 2004: PKDRT

•

UU no. 12 2006 : Kewarganegaraan RI

•

UU no. 21 2007 : Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO).

•

Instruksi Presiden no. 9 200 : Pengarusutamaaan Gender dalam Pembangunan Nasional

•

Keputusan

Menteri

Dalam

negeri

no.

132

2003

(Pedoman

Pelaksanaan

Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Daerah). Namun dalam prakteknya ada “kesenjangan” antara apa yang sudah tertulis dalam berbagai regulasi, dengan prakteknya di lapangan, dan ini kemudian melahirkan pertanyaan, Mengapa substansi regulasi saja tidak cukup berdaya mengubah keadaan? Ada beberapa kendala atau hambatan yang segera perlu ditangani: (i) Komponen sistem hukum, kurang berjalannya keterkaitan antara substansi (isi), struktur (tatanan), dan budaya hukum; (ii) Pembaharuan hukum harus diikuti dengan pembaharuan tatanan pelaksanaan dan pembiasaan implementasinya supaya tujuan pembaharuan dapat tercapai; (iii) Kenyataan institusi dan aparat pemerintah tampak gagap dalam menjadikan Keadilan dan Kesetaraan Gender (KKG) sebagai pegangan kerja pembangunan; (iii) Kurang ada pranata pelaksananya, bahklan tidak ada sanksi jika program tersebut tidak dijalankan (Edriana et all, 2011)

44 www.infid.org


Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender harus dipahami dalam empat asumsi utama sebagai berikut: (i) Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender pada dasarnya bukan merupakan pertempuran antara laki-laki versus perempuan; (ii) Ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender pada dasarnya bukan merupakan aspirasi, ide, tuntutan atau gerakan anti-laki-laki; (iii) Dalam ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender, laki-laki juga merupakan korban meskipun perempuan yang lebih banyak menjadi korban. Atas dasar itu, upaya-upaya untuk mengatasi ketidakadilan dan ketidaksetaraan gender harus merupakan pekerjaan rumah laki-laki maupun perempuan. Ketidakadilan Gender di Bidang Hukum mencakup hal-hal berikut ini. 1. Materi Hukum: Banyak peraturan perundangan yang masih bias gender yang tersebar dalam pasal-pasal dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan Perdata, dan khususnya setelah Reformasi 1998, hadirnya berbagai macam Perda Syariah atau Perda yang esensinya sangat diskriminatif terhadap perempuan dan anak-anak seperti di Aceh, Sumatera Barat dan propinsi lainnya. 2. Struktur Hukum: Timpangnya jumlah perempuan yang menjadi aparat penegak hukum seperti jaksa, hakim, polisi dan aparat hukum lainnya, dan bahkan pada lembaga seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Belum lagi masih banyaknya aparat penegak hukum yang tidak responsif gender dan diskriminatif. 3.

Budaya Hukum:

Akses perempuan ke pusat-pusat pelayanan hukum masih sangat

rendah, dan ini berkaitan dengan pengetahuan dan informasi mengenai hukum yang sangat rendah terhadap perempuan. Ini juga berkaitan dengan tingkat pendidikan perempuan yang masih rendah khususnya di wilayah-wilayah pedesaan dan wilayahwilayah luar Jawa di Indonesia Bagian Timur. Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menemukan sebanyak 282 peraturan daerah (perda) di 100 kabupaten dan kota di 28 provinsi yang mendiskreditkan kaum perempuan. Dari 282 perda yang dipantau sejak 2008 itu, sekitar 207 di antaranya secara langsung diskriminatif terhadap perempuan, seperti memaksakan cara berbusana dan ekspresi keagamaan, mengkriminalkan perempuan lewat pengaturan prostitusi, dan membatasi ruang gerak perempuan lewat aturan jam malam dengan mewajibkan perempuan didampingi bila bepergian. Komnas Perempuan mencatat, Provinsi Sumbar merupakan daerah pertama yang mengeluarkan kebijakan diskriminatif. Hingga Agustus 2012, terdapat sebanyak 33 kebijakan yang mendiskreditkan wanita yang tersebar di 15 daerah. 45 www.infid.org


Dalam bidang Ketenagakerjaan, tantangan pokok pembangunan Indonesia mencakup hal berikut ini. a

Kapasitas: rendahnya kapasitas dan kualitas tenaga kerja perempuan, khususnya mereka yang bekerja di sektor informal dan sektor rumah tangga (home industry). Lain daripada itu, mereka yang berada di sektor ini juga sangat rentan terhadap kekerasan, diskrimininasi, dan pengabaian mengingat negara seringkali tidak hadir karena sifatnya yang informal.

b

Perlindungan: Tidak ada atau sedikit sekali regulasi yang merupakan sistem perlindungan bagai mereka yang bekerja di sektor informal (mayoritas diisi perempuan) seperti pekerja rumah tangga (PRT).

c

Keterbatasan Akses: Oleh karena sifatnya yang informal, mereka memiliki keterbatasan akses dalam soal informasi, peraturan dan juga hukum apabila mereka mengalami masalah.

Ketidakadilan gender dalam bidang Bidang Politik mencakup hal-hal berikut ini. a

Partisipasi: rendahnya partisipasi perempuan dalam pembangunan politik, dan ini berkiaitan dengan keyakinan gender bahwa dunia politik adalah “dunia laki-laki”. Padahal, perempuan memiliki kepentingan dan pengalaman tersendiri yang tidak bisa diwakili oleh laki-laki.

b

Keterwakilan: rendahnya keterwakilan perempuan sebagai pejabat publik yang duduk sebagai pengambil kebijakan dan keputusan baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif.

Di dalam bidang Kesehatan ketidakadilan gender mencakup hal-hal berikut. a

Angka Kematian Ibu, dan ini mayoritas berkaitan dengan Ibu melahirkan. Indonesia masuk sebagai negara dengan salah satu AKI yang tinggi. Angka Kematian Ibu di Indonesia melaju 359/100.000 (Data SDKI Tahun 2012 diterbitkan 2013). Berdasarkan Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia(SDKI), AKI per 100.000 kelahiran hidup menurun secara bertahap, dari 390 (1991): 334 (1997), 307 (2003), dan 228 (2007). Tapi

tahun 2012 melonjak menjadi 359 , dan ini tidak jauh berbeda dengan keadaan 22 tahun yang lalu.

46 www.infid.org


b

Budget:

masih rendahnya anggaran negara, khususnya untuk kesehatan reproduksi

perempuan, dan ini sangat berkaitan dengan rendahnya sarana dan prasarana kesehatan reproduksi perempuan. c

Tenaga Medis: rendah atau tidak meratanya tenaga medias (dokter maupun bidan) yang menangani kesehatan ibu dan anak, dan ini mengakibatkan perempuan miskin dan di daerah terpencil tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan;

d

Sarana Komunikasi, Informasi dan Edukasi: rendahnya ketiga sarana tersebut sehingga perempuan miskin dan di daerah terpencil tidak bisa mengakses pelayanan kesehatan.

Ketidakadilan Gender di Bidang Ekonomi mencakup hal-hal berikut ini. a

Akses Modal dan Kredit: rendahnya akses perempuan terhadap kredit usaha atau modal kerja, dan sumber daya ekonomi lainnya. Ini berkaitan dengan berbagai persyaratan yang tidak bisa dipenuhi oleh perempuan seperti agunan dan lainnya.

b

Ketrampilan: rendahnya ketrampilan (skill) perempuan dalam berusaha karena keterbatasan akses.

c

Pembangunan yang tidak sensitif Gender: berbagai program dan proyek pembangunan dengan sasaran kepada pengusaha kecil dan mikro, koperasi, petani dan nelayan, seringkali tidak melibatkan atau memberikan perhatian kepada kebutuhan, kepentingan dan usaha perempuan. Ini artinya tidak ada sama sekali kebijakan afirmasi terhadap perempuan

Kekerasan terhadap Perempuan. Masih tingginya kekerasan terhadap perempuan, baik dalam jumlah maupun jenis atau bentuk kekerasan yang semakin beragam, baik di ranah privat (rumah tangga) maupun di ranah publik seperti di pabrik, kantor maupun lembaga negara, dan juga kekerasan mental di samping yang utama fisik. Komisi Nasional Perempuan menemukan peningkatan korban kekerasan pada perempuan. Sebanyak 279.760 kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi sepanjang 2013, lebih besar dibandingkan tahun sebelumnya, yaitu 216.156 kasus. Jumlah itu merupakan laporan yang masuk ke Komnas. Selain itu, kaum perempuan Indonesia juga menjadi korban Perdagangan manusia (trakfiking). Semakin tingginya kasus-kasus perdagangan perempuan dan anak, baik sebagai pekerja seks komersial (PSK) maupun untuk pekerja (baca: budak) ekonomi merupakan persoalan genting yang perlu ditangani segera. Ketimpangan dan kemiskinan juga tercermin pada nasib TKW Indonesia di berbagai negara yang sangat memprihatinkan dan perlu kebijakan dan tindakan pemerintah yang

47 www.infid.org


revolusioner. Berdasarkan data LSM Migrant Care, sepanjang tahun 2010, situasi buruh migran Indonesia, terutama PRT migran, berada pada tingkat yang sangat memprihatinkan. Tercatat, 89.544 buruh migran menghadapi berbagai bentuk persoalan di 42 negara tujuan. Sebanyak 1.075 di antara mereka meninggal dunia di berbagai negara dengan beraneka ragam sebabnya.

Hak-Hak Difabel (disebut juga ’Penyandang Disabilitas’), Di Indonesia, jumlah Difabel mencapai 10% dari total populasi (TNP2K, 2012). Mengacu ‘World Report on Disability” (WHO, 2012), di Negara berkembang seperti Indonesia, jumlah tersebut mencapai 15% bahkan lebih. Sayangnya, gambaran data mengenai difabel di Indonesia tidak seragam di tiap kementerian. Dengan terminologi dan definisi yang berbeda-beda, BPS, Kementerian Pendidikan,

Kementerian

Kesehatan,

serta

Kementerian

Sosial

masing-masing

mempresentasikan data yang tidak seragam yang menimbulkan kesulitan bahan acuan untuk formulasi kebijakan yang tepat sasaran. Sekitar 60% Difabel di Indonesia hidup di bawah garis kemiskinan (PPLS, 2011). Di samping isu ketersediaan lapangan kerja, stigma serta berbagai bentuk diskriminasi kultural maupun struktural masih menjadi hambatan atas akses lapangan kerja bagi Difabel. Begitu pula yang terjadi dengan dunia pendidikan. Sistem pendidikan inklusi yang belum sepenuhnya diberlakukan di sekolah-sekolah serta pendidikan tinggi secara menyeluruh baru bisa menampung sekitar 10% anak-anak Difabel usia pendidikan. Di tambah lagi, masih belum tegasnya payung hukum pendidikan yang menjadikan masih terjadinya berbagai bentuk penolakan. SIGAB (2013) memperoleh pengaduan sedikitnya 12 anak Difabel usia sekolah yang ditolak mendaftar ke sekolah umum karena difabilitas mereka. Di bidang kesehatan, kaitan erat antara Difabel (untuk jenis tertentu) dengan kebutuhan medis ternyata belum terjawab dengan layanan serta jaminan kesehatan yang memadai. Mayoritas Difabel yang rentan secara ekonomi dan sosial tak diikuti dengan kepesertaan JKN yang kini mulai berlaku, karena kriteria kepesertaan berdasarkan UndangUndang SJSN dan turunannya. Negara hanya menjamin mereka yang miskin secara ekonomi. Temuan SIGAB (2013) mengkonfirmasi dengan adanya sekitar 1083 Difabel dan keluarganya yang tak memperoleh jaminan sementara kondisi sosial ekonomi mereka pun sangat rentan. Dalam konteks yang lebih luas, partisipasi sosial, politik dan publik masyarakat Difabel di negeri ini juga masih terhambat dengan berbagai hambatan di level lingkungan (baik fisik

48 www.infid.org


maupun non fisik) perlakuan, serta kebijjakan yang masih banyak yang belum berperspektif Difabel.25

II.6. Tantangan 6: Negara Lemah dan Pendanaan Pembangunan untuk Pembangunan yang Inklusif Pajak dan Pendananan Pembangunan. Kualitas pemerintah juga akan sangat ditentukan oleh kemampuan pemerintah Indonesia memperbaiki kebijakan dan tata kelola perpajakan. Perolehan pajak Indonesia selama ini sangat jauh dari potensinya. Sebagai negara menengah, rerata Indonesia semestinya telah mencapai 19%–24% PDB. Namun selama ini perolehan pajak hanya berkuat di angka sekitar 13%–15% PDB. Salah satu sebab adalah karena tarif pajak tertinggi untuk pajak penghasilan pribadi (Pph) di Indonesia hanya 30%, bagi pendapatan di atas Rp500 juta per tahun. Artinya, kebijakan pajak Indonesia tidak membedakan antara Si Kaya dan Si Superkaya, antara mereka yang berpendapatan Rp500 juta dengan mereka yang berpendapatan di atas Rp5 milyar -Rp10 milyar per tahun, bahkan lebih dari itu. Kontribusi penerimaan pajak dalam APBN sekitar 75% atau Rp1.100 triliun. Berdasarkan data yang ada dan pengalaman sejauh ini, diketahui bahwa Tax Gap (selisih antara potensi pajak dengan pajak yang dapat dipungut) masih tinggi, berkisar Rp350-450 triliun per tahun. Rasio pajak Indonesia (perbandingan total penerimaan pajak terhadap Produk Domestik Bruto) masih berkisar 12%. Rerata rasio pajak negara sebaya (low middle-

income countries) adalah 19%-24%. Dengan jumlah penduduk 240 juta, jumlah wajib pajak masih sekitar 25 juta, jauh dari jumlah optimal sekitar 64 juta. Wajib pajak juga masih didominasi orang pribadi karyawan. Administrasi perpajakan yang belum sederhana dan mudah. Pemenuhan dan perlindungan hak wajib pajak yang belum baik dan konsisten. Reformasi Perpajakan menyeluruh perlu dilakukan (mencakup Tax Policy, Tax Law, dan Tax Administration), dan meliputi langkah-langkah: (1) menyusun Cetak Biru Kebijakan Pajak yang berkeadilan, yang mencakup prinsip dasar perpajakan, akomodasi hak-hak warganegara sebagai pembayar pajak, dan penataan kelembagaan; (2) melakukan amandemen menyeluruh Undang-Undang Perpajakan yang mengakomodasi prinsip-prinsip kebijakan pajak berkeadilan; serta (3) membangun sistem administrasi perpajakan yang baik, yang tercermin dari efisiensi (cost of collection) dan efektivitas (cost of compliance).

25

Policy Brief Kebijakan Pemenuhan Hak Difabel di Indonesia, Konas Difabel, 2013

49 www.infid.org


Tantangan lain adalah melakukan amandemen Undang-undang Perpajakan, yang dilandasi prinsip: (i) harmonisasi jenis pajak dan pengaturan-pengaturan normatif dan teknis; (ii) perluasan basis pemajakan (tax base) baik sektoral maupun geografis; (iii) optimalisasi peran Pajak Penghasilan (PPh) sebagai jenis pajak yang menjadi sumber penerimaan negara, yang memperhatikan unsur: apa yang akan dikenai (what), siapa yang dipajaki (who), berapa beban pajak (how much), bagaimana cara memungut (how); (iv) harmonisasi tarif pajak yang mengakomodasi keadilan vertikal dan horisontal; (v) redefinisi konsep penghasilan dan biaya fiskal; (vi) akomodasi hak-hak wajib pajak, termasuk kemudahan administrasi, mendapat layanan publik yang baik, dan akses pada fasilitas; (vii) optimalisasi tax expenditure (fasilitas berupa pengurangan, pembebasan, pengecualian pajak) yang mencerminkan prinsip keadilan. Strategi ke depan lain adalah: a

melakukan desain ulang arsitektur fiskal Indonesia;

b

meningkatkan kepercayaan publik untuk berpartisipasi dalam pembayaran pajak;

c

penataan kelembagaan (pemisahan Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai dari Kementerian Keuangan);

d

membangun sistem administrasi yang mudah;

e

membentuk Gugus Tugas Anti-Penghindaran Pajak khususnya Pajak Internasional.

Penerimaan Pendapatan bukan Pajak (PNPB). Kapasitas dan kualitas pemerintah juga akan diukur sejauh mana kemampuan mengelola penerimaan negara bukan pajak dan mengoptimalkan penerimaan negara selain pajak (PNPB). Dalam struktur penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sumbangan sektor Migas (196 triliun Rupiah) merupakan bagian terbesar dari total penerimaan PNBP Sumber Daya Alam (226 triliun Rupiah). Dalam APBN 2014, sektor Migas diharapkan menyumbang sekitar 87% total dari total PNBP SDA, sementara sektor Non-migas sebesar 13% di mana 80% dari pangsa penerimaan ini disumbangkan oleh PNBP mineral dan batubara. (Tabel 2). Tabel 2. Anggaran Penerimaan dari PNBP dalam APBN 2014 Komponen PNBP

Penerimaan (dalam Milyar Rupiah)

Total PNBP SDA PNBP Migas Minyak bumi Gas alam

225.954,7 196.508,3 142.943,1 53.565,2 50 www.infid.org

% Total SDA

86,97 62,26 23,71

% SDA Nonmigas


PNBP Nonmigas Mineral dan batubara Kehutanan Perikanan Panas bumi

29.446,4 23.599,7 5,017,0 250,0 579,7

13,03 10,44 2,22 0,11 0,26

80,14 17,04 0,85 1,97

PNBP Migas. PNBP Migas merupakan penyumbang PNBP SDA terbesar kita (sekitar 80% PNBP total). PNBP Minyak dipungut dari revenue yang menjadi bagian kontraktor (setelah dikurangi kewajiban Domestic Market Obligation/DMO untuk kebutuhan dalam negeri) dan bagian pemerintah (setelah dikurangi pajak, pungutan dan fee kegiatan hulu Migas), sementara PNBP Gas dipungut dari revenue yang menjadi bagian pemerintah (setelah dikurangi pajak, pungutan dan fee). Potensi lebih dari PNBP Migas tidak digali; Sejauh ini tidak ada upaya sistematis untuk meningkatkan DMO. Pada saat ini, kecenderungan peningkatan PNBP Migas lebih disebabkan oleh peningkatan harga minyak dan bukan oleh peningkatan hasil lifting minyak bumi. Kenaikan 1% harga minyak dunia menyebabkan kenaikan 1,8% PNBP, sementara kenaikan 1% jumlah ekspor minyak karena kenaikan produksi dalam negeri 1% menyebabkan 15,5% kenaikan PNBP.26

PNBP Pertambangan (Mineral dan Batubara). Sumbangan PNBP Pertambangan terbilang tidak optimal, baik bila dibandingkan dengan sumbangan yang diberikan pajak maupun yang diberikan PNBP SDA Migas. Kendati sekitar 3 dari 10 orang superkaya di Indonesia (versi Majalah Forbes) menjadi kaya karena batubara dan mineral, sumbangan PNBP mineral dan batubara tergolong kecil, hanya sekitar 10 persen dari total penerimaan PNBP Sumber Daya Alam dalam APBN 2014 (pada tahun-tahun sebelumnya, proporsi ini lebih kecil lagi). Potensi kehilangan penerimaan negara dari batubara antara tahun 2010 sampai 2012 total sebesar $1,2 milyar (atau rata-rata $400 milyar per tahun) atau setara dengan sekitar Rp13,5 triliun (atau rata-rata Rp4,5 triliun saban tahun).27 Adapun potensi kerugian atau kehilangan penerimaan negara dari royalty mineral lain (nikel, bijih besi/pasir besi, timbal, bauksit dan mangan) adalah sebesar $24,6 juta pada tahun 2011 atau setara dengan Rp271,3 milyar.

26

Angka-angka taksiran ini diperoleh dengan estimasi Structural Vector Autoregressive (SVAR) menggunakan empat variabel: harga minyak dunia, nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar, jumlah ekspor minyak domestik, dan pendapatan negara dari minyak. 27 Angka ini dihasilkan dari perbandingan antara data ekspor batubara di Kementerian Perdagangan (volume dan nilai Free on Board/FOB) dan data penerimaan negara di Ditjen Minerba Kementerian ESDM.

51 www.infid.org


Problem administrasi PNBP Minerba bersumber dari (1) tata laksana PNBP yang mencakup penetapan jenis dan tarif, penghitungan kewajiban, penagihan, penyetoran, pengelolaan dan alokasi PNBP, di mana hal-hal ini tersangkut persoalan data pendukung dan database; (2) regulasi termasuk tidak sinkronnya substansi aturan UU tentang PNBP dengan aturan perundang-undangan yang lain; (3) organisasi dan SDM (4) hilangnya potensi PNBP dari tidak dilaksanakannya kewajiban PNBP.

PNBP Kehutanan. PNBP Kehutanan datang dari obyek penerimaan kayu dan nonkayu. PNBP terbesar berasal dari Dana Reboisasi/DR dan Provisi Sumber Daya Hutan/PSDH (masing-masing sebesar 56% dan 27%, pada tahun 2011). Realisasi penerimaan dari dua objek PNBP ini tidak mencerminkan potensinya. Sebagai contoh, realisasi PNBP dari PSDH hanya separuh (51%, rata-rata tertimbang) dari potensi penerimaanya pada tahun 2008 sampai 2011.28 Problem dari belum optimalnya PNBP kehutanan, baik dari rendahnya realisasi maupun rendahnya potensi penerimaan, datang dari semua penjuru aliran penerimaan (revenue flow) dan aliran informasi (information flow) dalam sistem administrasi PNBP kehutanan. Persoalan dalam sistem administrasi PNBP kehutanan mencakup antara lain persoalan data pungutan penerimaan, harga dan tarif, serta pengawasan dan kepatuhan pembayaran.

PNBP Perikanan. Penerimaan sektor perikanan tidak mencerminkan potensinya. Revenue loss sektor perikanan sangat tinggi: dalam pungutan hasil perikanan, realisasi PNBP di tingkat daerah hanya 16,5 persen dari potensinya, sementara di tingkat pusat realisasi PNBP tak sampai separuh potensinya (42%).29 Kendati jumlah kapal penangkap ikan meningkat setiap tahun (sekitar 1,6 persen per tahun), PNBP SDA Perikanan menunjukan kecenderungan penurunan. Selang waktu 2005-2009, PNBP SDA perikanan tidak pernah mencapai sasaran dan terus mengalami penurunan sekitar 19% per tahun. (Untuk PNBP perikanan non-SDA, mengalami peningkatan). Penyebab penurunan PNBP ini antara lain karena menurunnya fishing effort, deplesi SD perikanan (karena kontaminasi air laut dan overfishing), rendahnya produkfitifas nelayan (waktu melaut yang singkat karena menggunakan kapal ukuran kecil, di bawah 3 GT),

28 Angka ini dihasilkan dari simulasi yang membandingkan nilai PSDH perkiraan dan realisasi dengan nilai PSDH potensi. Data yang digunakan adalah data produksi kayu hutan alam dengan definisi, penggolongan, harga dan tarif kayu yang berlaku sesuai ketentuan perundang-undangan (bukan harga pasar). 29 Angka ini diperoleh dari simulasi yang membandingkan realisasi penerimaan Pungutan Hasil Perikanan (PHP) dengan produksi ikan tangkap, tarif PNBP dan skema bagi hasil pusat dan daerah.

52 www.infid.org


kenaikan harga BBM dan kekurangan pasokan BBM, illegal fishing dan problem tata kelola kelautan. Ke depan, pemerintah perlu mengatasi kelemahan-kelemahan di atas pada dua hal berikut. Pertama, meningkatkan potensi penerimaan yang secara konseptual dapat dicapai dengan jalan: (i) menaikkan tarif PNBP yang belum optimal mencerminkan biaya kegiatan ekstraksi dan pangsa rente yang sepatutnya menjadi milik pemerintah, misalnya meningkatkan tarif batubara; (ii) meluaskan cakupan potensi dari objek PNBP, misalnya memperluas Domestic Market Obligation dalam bagian pemerintah di sektor migas; (iii) mengenakan pungutan PNBP pada sektor-sektor atau objek-objek yang penting dan membawa keuntungan besar namun selama ini belum dikenakan PNBP, misalnya PNBP hasil perkebunan kelapa sawit. Kedua, meningkatkan realisasi penerimaan yang secara konseptual dapat dicapai dengan jalan membenahi dan menyempurnakan sistem administrasi PNBP. Antara lain dengan membenahi regulasi dan kelembagaan (mensinkronkan substansi aturan tentang PNBP dengan aturan perundang-undangan yang lain, mengatasi keterbatasan kelembagaan dalam pengelolaan PNBP di pusat dan daerah, dan menutup potensi kehilangan/kerugian negara dari PNBP).

53 www.infid.org


BAGIAN III PRIORITAS, SASARAN DAN INDIKATOR Prioritas pembangunan haruslah inklusif yang melibatkan semua unsur warga tanpa kecuali serta berbasis hak asasi warga negara. Oleh karena itu, pembangunan Indonesia haruslah bertumpu kepada peningkatan peran negara (pemerintah) untuk mencapai tujuan pembangunan yang dicita-citakan bersama, yaitu kesejahteraan bagi seluruh warga tanpa diskriminasi. Modalitas: Tata Kelola pemerintahan dan Kualitas pemerintah Adanya kerangka hukum terciptanya kelembagaan yang efektif dan akuntabel. Sejak tahun 2011, Pemerintah Indonesia telah berupaya untuk mengimplementasikan tata kelola pemerintahan terbuka, di mana Indonesia sudah memiliki seluruh kerangka hukum yang memayunginya. Kerangka hukum tersebut adalah: 

Undang-Undang Nomor 14 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP);



Undang-Undang Nomor 25 2009 tentang Pelayanan Publik (UU Pelayanan Publik), dan paket Undang-Undang Keuangan Negara (UU Keuangan Negara);



Perpres Nomor 26 Tahun 2010 tentang Transparansi Pendapatan Negara dan Pendapatan Daerah yang diperoleh Dari Industri Ekstraktif; dan



UU Nomor 37 Tahun 2007 tentang Ombudsman Republik Indonesia. Selain kerangka hukum di atas, strategi pemerintah Indonesia dalam mewujudkan

prinsip-prinsip pemerintahan terbuka juga diwujudkan dalam tiga upaya. Pertama, melalui Strategi Nasional Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi (Stranas PPK). Kedua, Grand Design Reformasi Birokrasi (GDRB). Ketiga, Open Government Indonesia (OGI). Ketiga upaya tersebut sama-sama mengusahakan perbaikan tatakelola guna mewujudkan pemerintahan yang terbuka, responsif dan akuntabel dalam melayani kebutuhan masyarakat. Peran

aktif

Indonesia

dalam

berbagai

inisiatif

global

sektor

transparansi

pemerintahan. Indonesia telah menjadi advokator utama untuk tata kelola pemerintahan yang baik dan anti-korupsi. Pemerintah Indonesia merupakan pemimpin gerakan Open Government Partnership (OGP), sebuah platform internasional untuk mendukung reformasi dalam negeri

mewujudkan pemerintah lebih terbuka, akuntabel, dan responsif terhadap

warga. Sejak 2009 Pemerintah Indonesia juga merupakan bagian dari para pemimpin G20 54 www.infid.org


yang berkomitmen untuk mengintensifkan perang melawan korupsi dalam berbagai bentuk strategi dan kerjasama. Indonesia juga telah pula menjadi anggota EITI atau Extractive Industry Tranparency

Initiative (Prakarsa Keterbukaan Industri Ekstraktif) bersama 40 negara dan 80 perusahaan yang mengelola dana minyak, gas dan pertambangan sejumlah 119 triliun dolar (www.eiti.org) di seluruh dunia.30 Pada tahun 2012 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi ketua bersama Panel Tingkat Tinggi (High-Level Panel of Eminent Persons; HLPEP) untuk memberikan saran tentang kerangka pembangunan global Post 2015, kepada Sekjen PBB. Kepemimpinan politik dan inisiatif yang kuat pemerintah Indonesia kembali dibutuhkan untuk melanjutkan capaian-capaian sebelumnya. Terakhir, Pemerintah Indonesia periode SBY telah mewariskan Bali Democracy Forum (BDF) yang antara lain telah menjadi alat diplomasi bagi gagasan pemerintahan yang terbuka dan partisipatoris ke negara-negara sahabat Indonesia. Keanggotaan Inisiatif Global Pemerintahan Terbuka (OGP). Di antara peran aktif Idonesia dalam berbagai inisiatif global transparansi pemerintahan, keanggotaan Indonesia dalam OGP perlu menjadi catatan khusus. Sebagai chair OGP, Indonesia menjadi salah satu penandatangan pentingnya

surat kepada Sekjen PBB, Juli 2013, menegaskan sikap OGP tentang

aspek

partisipasi,

transparansi

dan

akuntabilitas

dalam

pelaksanaan

pembangunan. OGP juga mendukung rumusan HLPEP tentang revolusi data karena dapat mendorong terciptanya partisipasi melalui publikasi informasi lembaga pemerintah. Prioritas Berdasarkan uraian mengenai tantangan dan modalitas yang diperlukan Indonesia, ada lima isu prioritas yang harus diperhatikan, yaitu: 1. tata kelola pemerintah dan memangkas korupsi; 2. pemenuhan kebutuhan dasar warga akan energi, air, pangan dan kesehatan; 3. peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia; 4. perlindungan Hak Asasi Manusia; 5. pembaruan agraria, perlindungan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam; 6. kemandirian fiskal dan pendanaan pembangunan.

30

Menjadi anggota EITI adalah sukarela. Jika menjadi anggota, maka perusahaan perusahaan wajib membuka pembayaran yang dilakukan kepada pemerintah saban tahun. Sebaliknya negara anggota wajib membuka pendapatan yang diperoleh dari berbagai perusahaan tersebut. Hasilnya adalah,meningginya keterbukaan dari pemerintah dan perusahaan dalam hal pembayaran dan pendapatan.

55 www.infid.org


Tantangan ke-tujuh, yaitu kerja sama internasional untuk memajukan pembangunan yang adil dan inklusif, dapat dihadapi belakangan dengan lebih mudah jika tantangan 1-5 dapat diatasi terlebih dahulu. Negosiasi di tingkat global akan lebih meyakinkan dan berdasar jika masalah-masalah dalam negeri diatasi secara serius oleh Pemerintah Indonesia. Dengan dasar ini, enam prioritas tersebut ditentukan. Berikut ini penjelasan lebih rinci dari setiap isu prioritas. 1. Tata kelola pemerintah dan memangkas korupsi. Pemerintah yang berkualitas akan menyelesaikan banyak hal, dan tidak menjadi sumber masalah. Pelayanan publik akan makin baik dan kepercayaan kepada pemerintah akan meningkat jika dan hanya jika kualitas pemerintah mengingkat. Penyelenggaraan Negara harus dilakukan dengan bersih, efisien dan minim korupsi, sehingga pelayanan kepada warga semakin meningkat dan capaian pembangunan yang terjadi akan semakin optimum. 2. Pemenuhan kebutuhan dasar warga akan energi, air, pangan dan kesehatan. Jaminan pemenuhan kebutuhan dasar warga menjadi penting, agar warga dapat menjalankan kehidupan sehari-harinya dengan bermartabat, dan pada akhirnya akan menyumbang kepada peningkatan kualitas sumber daya manusia. 3. Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia. Indonesia masih menderita kekurangan besar dalam berbagai keahlian dan profesi, seperti dokter, bidan, ahli perminyakan dan gas, ahli teknologi listrik dan manajer dan sebagainya. Indonesia harus melakukan dua hal sekaligus jika hendak menjadi bangsa mandiri. Memperkuat mutu pendidikan dan sekaligus memperluas akses pendidikan. 4. Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kelompok Rentan. Pembangunan tidak boleh meninggalkan satu atau beberapa kelompok lain dalam masyarakat. Indonesia memiliki pekerjaan rumah yang tidak boleh ditunda dan ditunda lagi. Pelanggaran HAM masa lalu harus diselesaikan. Bersamaan itu pula, kebijakan dan strategi perlindungan kelompok rentan dan strategi penanggulangan kemiskinan perlu dibangun. 5. Pembaruan agraria, Perlindungan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam. Lingkungan hidup dan sumber daya alam merupakan aset semua dan menjamin keberlanjutan sebuah negara, termasuk menjamin hak-hak generasi seanjutnya. Sifat lingkungan dan sumber daya alam yang tidak terbarukan (non-renewable) serta fungsinya sebagai penyumbang terbesar perekonomian perlu diselaraskan dalam rencana aksi yang terukur, sehingga bencana alam akibat ulah manusia dapat diminimalkan, sementara kemaslahatannya dapatdimaksimalkan. Tanah adalah aset yang sangat penting, oleh 56 www.infid.org


karena itu pembaruan agraria diperlukan untuk menjamin agar warga memiliki aset yang sangat penting ini. 6. Penguatan kemandirian Fiskal dan pendanaan pembangunan. Untuk menjadi mandiri, sebuah negara wajib mandiri dalam hal keuangan dan pendanaan. Indonesia sebagai negara menengah kini bergantung sepenuhnya pada pajak, tidak lagi bergantung kepada bantuan internasional. Namun demikian, pendapatan pajak jauh lebih rendah dari potensinya, baik karena kelemahan manajemen dan adminsitrasi maupun karena kebijakan Pajak menjadi tumpuan dan andalan. Untuk bisa sejajar dengan negara menengah lainnya, Indonesia perlu mengatasi berbagai kendala dan tantangan.

III.1. Prioritas 1 Tata Kelola Pemerintah dan Pemberantasan Korupsi Sasaran: Prioritas pertama ditujukan untuk (i) meciptakan pemerintahan yang terbuka, bersih, dan partisipatif; (ii) meperkuat dan melanjutkan reformasi briokrasi; (iii) memperkuat akuntabilitas dan integritas aparat penegak hukum dan sistem hukum; (iv) mengurangi korupsi; dan (v) memperkuat mutu dan akses pelayanan publik. Indikator 1. Diterbitkannya UU terkait instansi penegak hukum, pengadilan dan instansi pendukung (seperti lembaga pemasyarakatan dan rumah penyimpanan barang sitaan) yang baru pada tahun 2017, yang didasarkan pada kajian komprehensif terkait tugas dan kewenangan serta pola hubungan yang ideal antar-instansi tersebut. 2. Diundangkannya Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang baru yang menjamin pola hubungan yang terintegrasi antar-instansi penegak hukum guna memastikan koordinasi yang efektif serta menjamin sistem checks and balances yang memadai dalam proses penegakan hukum (termasuk melalui pembentukan hakim pemeriksa pendahuluan) pada tahun 2017. 3. Terlaksananya 100% pengisian jabatan strategis aparat penegak hukum melalui standar kinerja, kualifikasi dan screening ketat, serta rekrutmen terbuka, terkomputerisasi dan bersih mulai tahun 2015/2016. 4. 10% aparat penegak hukum yang baru direkrut melalui proses seleksi yang ketat dan terbuka dan bersih, dengan melibatkan pihak ketiga pada tahun 2015, lalu disusul penambahan di tahun berikutnya dengan prosentase yang sama hingga 2019.

57 www.infid.org


5. 100% jabatan di instansi penegak hukum yang membutuhkan keahlian teknis nonhukum diisi oleh pegawai yang memiliki keahlian sesuai kualifikasi jabatan struktural dan fungsionalnya pada tahun 2016 melalui rekrutmen terbuka. 6. Terlaksananya kajian oleh ahli terkait jumlah SDM riil yang dibutuhkan instansi penegak hukum dan terlaksananya rightsizing sesuai hasil kajian pada tahun 2015. 7. Terlaksananya proses mutasi dan promosi berbasis kinerja dan kompetensi, bercorak regionalisasi dan mengedepankan spesialisasi pada tahun 2016. 8. Terbentuknya komposisi kepangkatan dan golongan SDM dengan model piramida pada tahun 2016. 9. Terbentuknya tata organisasi dari lembaga-lembaga penyidik dan penegak keadilan yang berintegritas yang berbasiskan pada fungsi, bukan struktur pada tahun 2016. 10. 100% penegak hukum dan hakim yang memiliki tugas dan fungsi terkait tindak pidana tertentu seperti korupsi, lingkungan hidup, dan HAM telah memiliki sertifikasi di bidangbidang keahlian tersebut pada tahun 2017. 11. Teralokasikannya 100% anggaran bagi instansi penegak hukum untuk menjalankan fungsi pelayanan dan administratif secara maksimal guna menyelesaikan perkara dan menjalankan fungsi pengawasan internal pada tahun 2016. 12. Status WTP dan bebas indikasi KKN bagi pengelolaan anggaran instansi penegak hukum pada tahun 2016. 13. Meningkatnya remunerasi berbasis kinerja bagi aparat penegak hukum, khususnya Polisi, Kejaksaan dan Lapas secara bertahap mulai tahun 2015. 14. Terkoneksinya seluruh basis data (database) nasional dan daerah terkait dengan pengelolaan dan penanganan perkara antar-instansi penegak hukum pada tahun 2018. 15. Terciptanya sistem dan prosedur peradilan yang cepat melalui pengembangan proses beracara secara sederhana dan perkara yang dapat diajukan ke MA tahun 2015. 16. Terciptanya konsistensi penuntutan dan putusan pengadilan untuk kasus pidana, antara lain melalui pengembangan pedoman penuntutan dan pengambilan putusan pengadilan (prosecuting and sentencing guideline) serta case tracking system pada tahun 2016. 17. Terbangunnya budaya kerja berintegritas dan akuntabel/bertanggung-gugat, antara lain melalui penghapusan acara serah terima jabatan serta pelarangan jamuan dan pemberian hadiah/pelayanan saat kunjungan ke daerah mulai tahun 2015. 18. Meningkatnya jumlah perkara yang berhasil ditangani oleh PPNS dan lembaga penyidik non-Polri sebesar 100% pada tahun 2019.

58 www.infid.org


19. Penguatan penegakan hukum administrasi lingkungan hidup dan sumber daya alam (perbaikan mekanisme mutasi, rekruitmen, promosi pejabat pengawas) pada tahun 2019. 20. Meningkatnya kinerja Komisi Pengawas Persaingan Usaha nasional dan daerah secara terpadu dan menyeluruh (termasuk anggaran, SDM, dsb). 21. Meningkatnya kinerja dan efisiensi pelaksanaan tugas dan fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi dan Pengadilan TIPIKOR. 22. Terintegrasikannya lembaga pengawas eksternal instansi penegak hukum menjadi satu lembaga pengawas yang memiliki kewenangan memadai, anggota yang profesional dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal pada tahun 2016. 23. Meningkatnya jumlah perlindungan yang diberikan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menjadi 100 kasus pada tahun 2019. 24. Pengaturan

ulang

dan

penguatan

lembaga/komisi

terkait

pelaksanaan

fungsi

perlindungan hak asasi manusia untuk tercapai pada tahun 2018. 25. 100% Kementerian, Lembaga, dan Daerah (K/L/D) menerapkan sistem rasionalisasi struktural, mutasi, rotasi, promosi pegawai pemerintah secara terbuka berbasis kinerja pada tahun 2016. 26. Tersusunnya dan terlaksananya aturan rekrutmen pegawai pemerintah baru berbasis

multi level entry secara terbuka dan berdasarkan asas meritokrasi di semua tingkat, baik di Pusat maupun Daerah, pada tahun 2017. 27. 100% pegawai pemerintah lulus uji kompetensi sesuai standar oleh lembaga yang berwenang pada tahun 2017. 28. Tercapainya indeks kepuasan pelayanan publik sebesar 5 dari skala 6 pada seluruh instansi pemerintah nasional dan daerah yang memiliki pelayanan publik pada tahun 2019. 29. 100% pelaksanaan Standar Pelayanan Prima (SPP) secara terbuka oleh seluruh instansi pemerintah nasional dan daerah pada tahun 2019. 30. Efektivitas penerapan sanksi dan pendisiplinan aparatur sipil Negara berkinerja buruk, melanggarprinsip-prinsip integritas dan terbukti terlibat dalam kasus korupsi di tahun 2017. 31. Transparansi informasi penyimpangan hukum yang dilakukan oleh pegawai pemerintah dan pengunaan informasi tersebut dalam pengambilan keputusan di urusan kepegawaian pada Januari 2016. 32. Adanya standarisasi gaji, tunjangan dan fasilitas bagi pejabat negara dan pejabat di posisi penting. 59 www.infid.org


33. Terselesaikannya seluruh penyesuaian struktural-fungsional birokrasi nasional dan daerah sesuai dengan UUASN dan peraturan-peraturan pelaksanaannya pada akhir tahun 2015. 34. Terselenggaranya seluruh dukungan kebijakan dan infrastruktur bagi Komisi ASN untuk mendukung efektivitas dan akuntabilitas kinerjanya pada 2015. 35. Eksekusi atas putusan kasus kejahatan (tindak pidana berat) serius yang merugikan negara dan perekonomian, merusak lingkungan dan sumber daya alam (SDA), dan melanggar hak asasi manusia dilaksanakan pada tahun 2019. 36. 75% aset hasil kejahatan dapat dikembalikan ke negara/korban pada tahun 2016. 37. Terlaksananya penerapan multidoor dalam penegakan hukum pada tahun 2015, terutama dalam bidang lingkungan hidup dan SDA. 38. Terlaksananya pendekatan restorative justice dalam penanganan perkara yang terkait kelompok tertentu, misal: anak, orang miskin, dll. 39. 100% pengguna dan pengedar narkoba diproses secara hukum dijatuhi hukuman rehabilitasi medik dan sosial. 40. 100% peraturan perundang-undangan bermasalah di 5 sektor pembangunan yang telah direview dan diharmonisasikan sehingga terciptanya kepastian hukum antarsektor dan antar pusat-daerah. 41. 100% peraturan perundang-undangan telah melalui proses Participatory Regulatory

Impact Assessment (PRIA). 42. 100% penerbitan peraturan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan tepat waktu. 43. 100% peraturan perundang-undangan pusat dan daerah dapat diakses dengan mudah dalam satu situs pemerintah yang antara lain: a. Lengkap: memuat seluruh peraturan perundang-undangan (termasuk putusan Mahkamah Konstitusi/MK dan Perda) dan rancangan peraturan. b. Mudah diakses/dicari: memuat indeks peraturan sesuai isu tertentu, jenis dan tahun, menyediakan file yang mengintegrasikan perubahan UU dan Pembatalan UU. c. Memuat warning system: sistem pemberitahuan ke K/L terkait kapan suatu peraturan pelaksana harus sudah mulai disusun hingga diundangkan. d. Memiliki bahasa yang sederhana: setiap peraturan mengandung rangkuman dari esensi peraturan yang bahasanya mudah dimengerti oleh seluruh lapisan masyarakat agar mudah menelusuri/memahami seluruh halaman peraturan

60 www.infid.org


44. 100% tenaga perancang peraturan di tingkat pusat dan daerah telah tersertifikasi pada tahun 2019. 45. Berkurangnya UU yang dibatalkan oleh MK mulai tahun 2016. 46. Tersedianya Bank Data Hukum di Kementerian Hukum & HAM pada tahun 2016 yang berisi permasalahan hukum yang dihadapi oleh berbagai para pihak hukum dan masyarakat untuk dapat direspon oleh pemerintah yang dimutakhirkan secara berkelanjutan. 47. Adanya

pedoman

partisipasi

masyarakat

dalam

penyusunan

peraturan

perundangundangan pada tahun 2016. 48. Meningkatnya jumlah anak yang memiliki akta kelahiran menjadi 100% pada tahun 2017. 49. Meningkatnya jumlah pernikahan yang tercatat di catatan sipil/Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi 100% pencatatan pada tahun 2018. 50. Meningkatnya frekuensi pelaksanaan pengadilan keliling menjadi 4 kali per bulan di 100% Kabupaten/Kota pada tahun 2019. 51. Meningkatnya jumlah penerima anggaran bantuan hukum dan fasilitas biaya perkara cuma-cuma per tahun pada tahun 2018. 52. Meningkatnya jumlah sengketa yang selesai melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) di lembaga yang memiliki fungsi melakukan ADR terselesaikan pada tahun 2016. 53. Tersusunnya dan terlaksananya aturan yang memastikan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat dalam eksploitasi sumber-sumber kekayaan alam dimana masyarakat adat tersebut hidup, pada tahun 2015. 54. 100% Persetujuan Atas Dasar Informasi Awal Tanpa Paksaan (PADIATAPA) dalam pemanfaatan lahan oleh konsesi kebun dan tambang yang dimiliki oleh masyarakat lokal dan masyarakat hukum adat pada tahun 2016. 55. Tersusunnya dan tercapainya 100% sasaran-sasaran rencana aksi HAM nasional yang mencakup pelaksanaan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan dan penegakan HAM di tahun 2015-2019. 56. Harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan dan peraturan perundangundangan berdasarkan nilai-nilai HAM. 57. Tidak adanya (0%) tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas mulai tahun 2015. 58. Penghapusan tindakan kekerasan dalam proses penegakan hukum (mendorong penghapusan kekerasan dalam proses penegakan hukum, meningkatkan pengawasan dalam rangka penghapusan kekerasan dalam proses penegakan hukum).

61 www.infid.org


59. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah diusulkan oleh DPR pada tahun 2016. 60. Seluruh pemerintah pusat dan daerah sudah memenuhi standar pelayanan informasi publik yang diatur dalam UU Nomor 14 Tahun 2008 tahun 2016 61. Implementasi penerapan kebijakan publikasi informasi proaktif melalui kebijakan data terbuka di level Pemerintah Pusat tahun 2016 dan seluruh pemerintah daerah 2019 62. Adanya jaminan integritas data pemerintah yang dipublikasikan pemerintah pusat tahun 2016 dan seluruh pemerintah daerah 2019 63. Pemerataan akses terhadap internet jalur cepat 3G di seluruh kabupaten di Indonesia tahun 2018 64. Jaminan penggunaan frekuensi sebagai ranah publik untuk pemenuhan hak publik atas informasi melalui revisi UU Telekomunikasi dan Penyiaran pada tahun 2016. 65. Revisi terhadap UU ITE untuk menjamin hak masyarakat memperoleh informasi melalui medium internet pada tahun 2016. 66. Revisi terhadap UU Ormas pada tahun 2016 67. Penerapan prinsip-prinsip Open Government Partnership (OGP) di semua level pemerintahan pada tahun 2019.

III.2. Prioritas 2 Pemenuhan Kebutuhan Dasar Warga akan Energi, Air, Pangan dan Kesehatan. Sasaran: Prioritas ini ditujukan agar Indonesia dapat (i) memenuhi kebutuhan energi listrik waktu 5-10 tahun ke depan; (ii) perluasan sistem jaminan kesehatan, (iii) pengembangan aset tanah bagi petani; (iv) memandirikan pangan; dan (v) memperluas akses atas air minum dan sanitasi Indikator 1. Pembangunan infrastruktur pengisian dan distribusi elpiji di seluruh propinsi di Indonesia untuk menjamin ketersediaan dan distribusi elpiji yang efektif. 2. Dipastikannya pasokan kayu bakar secara berkelanjutan, khususnya dalam pemanfaatan sumber kayu yang berasal dari kawasan hutan. 3. Penyediaan dan pendistribusian teknologi improved cook-stoves (ICS) kepada rumah tangga miskin, khususnya yang berada di perdesaan, dan teknologi alternatif lainnya seperti bio-digester/biogas yang diintegrasikan dengan peternakan terpadu.

62 www.infid.org


4. Pembangunan institusi atau kerjasama kelembagaan yang bertanggung jawab untuk produksi kayu bakar secara yang berkelanjutan dan untuk memfasilitasi penggantian bahan bakar (fuel switching). 5. Pendanaan sebesar $3-4 milyar per tahun atau 30 hingga 40 Triliun per tahun untuk percepatan akses listrik di perdesaan Indonesia. 6. Perbaikan kelayakan finansial PLN melalui penyesuaian tarif listrik, dan pemberian margin yang lebih lebih tinggi untuk yang mencerminkan ‘rate of return’ berdasarkan praktik-praktik terbaik untuk ‘public utility’. 7. Penyusunan dan implementasi skema subsidi khusus dan insentif lainnya untuk listrik yang dibangkitkan oleh energi terbarukan yang dibeli oleh PLN. 8. Pembebasan biaya pemasangan/sambungan listrik untuk rumah tangga miskin pada tahun 2016; pembebasan biaya listrik untuk konsumsi minimal (20 atau 30 kWh pertama) untuk menjamin rumah tangga miskin mendapatkan kebutuhan listrik dasar untuk penerangan dan memperoleh informasi pada tahun 2016. 9. Adanya jaminan kualitas dan durasi aliran listrik yang dialirkan PLN ke rumah-rumah tangga dan usaha kecil dan menengah dengan mekanisme reward and punishment yang jelas bagi penyedia. 10. Jaminan akses air bersih bagi seluruh warga baik mereka yang tinggal di perkotaan maupun pedesaan sampai 85% di tahun 2019. 11. Adanya unit khusus (berada di bawah Presiden) yang secara spesifik bertugas untuk mengelola sumberdaya air di Indonesia dan tersedianya pedoman pengelolaan sumberdaya air terpadu (Integrated Water Resources Management) pada tahun 2016 12. Investasi publik yang lebih besar dengan mematok alokasi anggaran untuk air bersih dan sanitasi sebesar 0,5-2,6% dari PDB per tahun mulai tahun 2015. 13. Penyedia layanan air bersih (PDAM maupun pihak swasta) di Indonesia berada dalam kondisi sehat pada tahun 2017 14. Adanya kerangka kebijakan layanan air bersih dan sanitasi yang mampu memastikan kelompok masyarakat miskin memperoleh layanan air dan sanitasi melalui subsidi pajak dan subsidi silang antar layanan publik. 15. Adanya safeguard Public-Private Partnership (PPP) dalam penyediaan layanan air bersih. 16. Mendorong dan memperkuat pendekatan Public-Public Partnerships (PuP) untuk meningkatkan dan memperluas layanan air bersih. 17. Patokan alokasi anggaran untuk penyediaan layanan air bersih sebesar 1,5% dari PDB per tahun pada tahun 2015. 63 www.infid.org


18. Adanya kerangka kebijakan layanan air bersih yang mampu memastikan kelompok masyarakat miskin memperoleh layanan air melalui subsidi pajak dan subsidi silang antar layanan publik. 19. Adanya mekanisme untuk membuat layanan air bersih menjadi lebih partisipatif hingga mampu mendorong akuntabilitas dan transparansi layanan air bersih. 20. Meningkatkan kepemilikan lahan bagi petani tuna-tanah menjadi rata-rata 1 hektar lahan per tahun 2018. 21. Pengurangan impor komoditas pangan utama (serealia dan lain-lain) secara bertahap. 22. Meningkatkan luasan sawah sebanyak 20 persen di tahun 2018. 23. Moratorium kepemilikan lahan untuk perkebunan besar per 2017, dan meningkatkan industri hilir bagi produk perkebunan besar per tahun 2019. 24. Pengembangan lahan untuk kebutuhan pangan nasional di luar kawasan hutan seluas 5 juta hektar per tahun 2019. 25. Pengembangan produksi pangan lokal non-beras/gandum yang disinergikan dengan pengembangan jaringan pemasaran dan penyimpanan serta pemrosesan pasca panen untuk meningkatkan nilai tambah petani produsen. 26. Petani dibebaskan untuk dalam pengembangan benih. Tidak boleh ada kriminalisasi ataupun upaya hukum menentang aktivitas pemuliaan benih oleh petani. Tidak ada kasus kriminalisasi petani sejak tahun 2015. 27. Subsidi langsung ke petani untuk berproduksi bukan kepada pengusaha pupuk dan benih. Berikan subsidi langsung ke petani. Selain itu petani perlu diberi hak dan akses untuk menetapkan kebijakan pertanian pada semua tingkatan. 28. Pengurangan kesenjangan ketersediaan tenaga medis baik dokter, perawat maupun bidan antara daerah-daerah dengan IPM tertinggi dan terendah di Indonesia. 29. Peningkatan jumlah, cakupan dan jangkauan tenaga kesehatan promotif di daerah untuk meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai pencegahan penyakit menular dan tidak menular terutama di kalangan miskin dan berpendidikan rendah. 30. Menghidupkan kembali program pemberian asupan gizi (terutama asupan protein) bagi ibu hamil, bayi, balita dan anak usia sekolah dasar sebagai bentuk kehadiran negara dalam peningkatan kualitas SDM. 31. Peningkatan iuran Jaminan Kesehatan menjadi Rp. 50.000 per orang per bulan di tahun 2016. Meningkatkan besaran kapitasi menjadi Rp. 20.000 di tahun 2016.

64 www.infid.org


III.3. Prioritas 3 Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia Sasaran: Prioritas ini mencakup (i) menyelenggarakan sistem pendidikan nasional yang baik untuk semua warga Negara; (ii) mengusahakan kesetaraan pendidikan nasional dalam arti mengusahakan mutu sekolah yang baik untuk sekolah mana pun di Indonesia; (iii) mencegah terjadinya kesenjangan mutu antara sekolah-sekolah yang ada di Indonesia sesuai dengan tingkatannya masing-masing (SD, SMP, SMA/SMK dan Perguruan Tinggi). Indikator 1. Akses pendidikan bagi semua tanpa melihat suku, agama, keyakinan jenis kelamin dan keterbatasan fisik. 2. Aksi afirmasi untuk kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan akses, seperti beasiswa, mendekatkan jarak sekolah dengan domisili. 3. Pengurangan kesenjangan kualitas antara sekolah yang satu dengan sekolah yang lain. Sekolah-sekolah di Indonesia semestinya memenuhi standar yang baik. 4. Peningkatan monitoring dan pengawasan sistem sertifikasi sebagai upaya peningkatan kualitas guru. 5. Pendidikan dan pola asuh yang memfasilitasi anak berpikir kritis dan terbuka, toleran dan berorientasi pada penyelesaian masalah menjadi agenda penting dan mendesak bagi Indonesia. Lewat pendidikan dan pola asuh yang memadai, mentalitas sosial dapat dikembangkan. 6. Peningkatan porsi dan peranan guru, khususnya BP/BK di tingkat sekolah menengah dalam pembentukan karakter dan dalam mengarahkan pilihan siswa serta melakukan pengelolaan-diri/pengendalian

diri

serta

faktor-faktor

yang

berperan

untuk

keberhasilannya. 7. Membuka kesempatan luas bagi lulusan siswa sekolah menengah untuk mengikuti program pelatihan dan magang dan sampai pada tahap menjadi tenaga kerja trampil yang bersertifikat. 8. Meningkatkan subsidi bagi sekolah-sekolah vokasional seperti SMK dan politeknik/D3 sehingga makin terjangkau oleh anak-anak dari keluarga berpendapatan menengah ke bawah. 9. Riset-riset mengenai pengelolaan-diri memberikan banyak penjelasan mengenai bagaimana orang bisa mengendalikan diri dan faktor-faktor yang berperan dalam keberhasilannya. 65 www.infid.org


10. Peningkatan anggaran riset di pendidikan tinggi dan kewajiban untuk memperbaiki indikator-indikator dalam pemeringkatan universitas di dunia (riset, publikasi dsb). 11. Perlindungan HAKI atas hasil riset-rsiet yang dilakukan baik oleh pengajar maupun murid/mahasiswa yang dibarengi edukasi di sekolah menengah dan perguruan tinggi mengenai kejujuran akademis. 12. Peningkatan perhatian dan proritas pada pembangunan sosial dengan meningkatkan belanja untuk pendidikan dan kesehatan di kalangan pemerintah daerah, perusahaan.

III.4. Prioritas 4 Perlindungan Hak Asasi Manusia dan Kelompok Rentan Sasaran. Prioritas ini ditujukan untuk (i) memperkuat perlindungan HAM; (ii) menyelesaikan pelanggaran ham masa lalu; (iii) memperkuat hak-hak sipil warga seperti akte kelahiran dan KTP; (iv) menurunkan Angka Kematian Ibu dari 359 per 100.000 kelahiran (2012) menjadi 109 per 100.000 kelahiran di tahun 2019. Indikator 1. Penghapusan semua UU dan peraturan yang diskriminatif. 2. Peningkatan jumlah anak yang memiliki akta kelahiran menjadi 100% pada tahun 2017. 3. Peningkatan jumlah pernikahan yang tercatat di catatan sipil/Kantor Urusan Agama (KUA) menjadi total 108 juta pencatatan pada tahun 2007, dengan pencatatan pada tahun tersebut sebanyak 1,5 juta pencatatan31. 4. Tersusunnya dan terlaksananya aturan yang memastikan perlindungan atas hak-hak masyarakat adat dalam eksploitasi sumber-sumber kekayaaan alam dimana masyarakat adat tersebut hidup, pada tahun 2015. 5. Tersusunnya dan tercapainya 100% sasaran-sasaran rencana aksi HAM nasional yang mencakup pelaksanaan penghormatan, pemajuan, pemenuhan, perlindungan dan penegakan HAM di tahun 2015-2019. 6. Harmonisasi rancangan peraturan perundang-undangan dan peraturan perundangundangan berdasarkan nilai-nilai HAM. 7. Tidak adanya (0%) tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas mulai tahun 2015. 31

Sensus penduduk BPS tahun 2000 menyatakan 91 juta dari 210 juta penduduk Indonesia berstatus kawin (dengan pencatatan per tahun sekitar 1,3 juta). Estimasi penduduk tahun 2017 adalah sekitar 250 juta. Jadi diusulkan target jumlah total pencatatan adalah 108 juta pencatatan, dengan pencatatan pada tahun berjalan 1,5 juta.

66 www.infid.org


8. Penghapusan tindakan kekerasan dalam proses penegakan hukum (mendorong penghapusan kekerasan dalam proses penegakan hukum, meningkatkan pengawasan dalam rangka penghapusan kekerasan dalam proses penegakan hukum). 9. Pembentukan Pengadilan HAM ad hoc untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat yang telah diusulkan oleh DPR pada tahun 2015. 10. Menurunnya jumlah 30-50% perkara terkait kekerasan terhadap perempuan dan anak mulai tahun 2015. 11. Terbit dan terlaksananya peraturan untuk memastikan pencegahan dan penghapusan seluruh bentuk kekerasan dan diskriminasi terhadap perempuan dan anak, termasuk hak reproduksi perempuan, pada tahun 2015. 12. Tersusunnya mekanisme untuk memastikan rehabilitasi dan kompensasi bagi korban kekerasan seksual pada tahun 2015. 13. Tersusunnya mekanisme untuk menjamin kesetaraan hak perempuan untuk memiliki harta dan menerima warisan pada tahun 2015. 14. Penyusunan dan pelaksanaan Ranham 2015-2019. 15. Penerbitan dan penegakan aturan hukum mengenai perlindungan atas keragaman suku, agama, ras, keyakinan, ideologi, orientasi politik, orientasi seksual, keterbatasan fisik, dan perbedaan lainnya pada tahun 2015. 16. Tersusun dan berlakunya aturan terhadap media baik cetak, elektronik, maupun media baru dan media sosial berbasis internet yang menjamin terlindunginya konten mengenai keragaman suku, agama, ras, keyakinan, ideologi, orientasi politik, orientasi seksual, keterbatasan fisik, dan perbedaan lainnya pada tahun 2015. 17. Pembubaran seluruh organisasi yang berkarakter paramiliter pada tahun 2019. 18. Tersusunnya mekanisme untuk memastikan rehabilitasi dan kompensasi bagi korban kekerasan fisik yang dilakukan oleh pihak manapun, termasuk oleh negara. 19. Tersusunnya cetak biru revitalisasi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) pada tahun 2015, termasuk di antaranya rebranding LPP, penguatan kapasitas dan profesionalitas. 20. Penyelesaian pelaksanaan cetak biru revitalisasi Lembaga Penyiaran Publik (LPP) pada tahun 2019. 21. Revitalisasi lembaga pendidikan untuk industri penyiaran yang kuat dan berkualitas pada tahun 2015. 22. Terauditnya konten siaran Lembaga Penyiaran Publik (LPP) setiap tahun dan hasil dipublikasikan.

67 www.infid.org


23. Peningkatan jumlah karya cipta yang dipatenkan/terdaftar HAKI minimum 10% setiap tahunnya mulai tahun 2016. 24. Tahun 2016 tersusun aturan dan terlaksana proses pendaftaran dan publikasi hak cipta dan paten yang lebih mudah dan cepat yakni jangka waktu dari pemeriksaan formalitas ke publikasi awal maksimal 18 bulan untuk setiap hak paten dan maksimal 9 bulan untuk setiap hak cipta. 25. Terlestarikannya dan terevitalisasikannya 100% (dari baseline) cagar budaya di seluruh kabupaten/kota pada tahun 2019. 26. Meningkatnya jumlah warisan budaya yang diakui UNESCO menjadi 2 per tahun mulai tahun 201632. 27. Tersedia dan berjalannya sistem lelang internasional untuk pemasaran bidang budaya, seni, pariwisata, dan ekonomi kreatif pada tahun 2016. 28. 100% Kabupaten/Kota melakukan pelestarian dan pendataan cagar budaya di daerahnya pada tahun 2019. 29. Penegakan peran Komisi Penyiaran Indonesia dalam menjaga keragaman dan kualitas konten pada Lembaga Penyiaran Publik (LPP) dan Lembaga Penyiaran Swasta (LPS) pada tahun 2015. 30. Penegakan peran Dewan Pers Indonesia dalam menjaga keragaman dan kualitas konten pada media cetak pada tahun 2015. 31. Revisi UU terkait kepemilikan media untuk mengatur kepemilikan perusahaan media agar bebas dari afiliasi maupun tekanan politis pada tahun 2016. 32. Penguatan kapasitas dan dukungan pendanaan untuk Komnas Ham, Komnas Perempuan dan Komnas Anak 33. Dipastikannya dan dijaminnya semua anak Indonesia memiliki akte kelahiran dalam waktu 3 tahun. Memastikan semua penduduk memiliki single identity number dan KTP 3 tahun 34. 100% kota dan kab memiliki dan melaksanakan Perda Perlindungan disabilitas 35. Dilakukannya rekonsiliasi dan permaafan nasional atas pelanggaran ham di masa lalu untuk menyongsong hari depan Indonesia yang rukun dan gotong royong. 36. Penguatan peran kaum perempuan dalam berbagai kebijakan dan regulasi pemerintah 37. Penguatan kelembagaan yang melindungi hak-hak kaum perempuan. Memperkuat pendanaan, personalia dan kapasita kementrian pemberdayaan perempuan 32

Jumlah maksimal pengakuan UNESCO adalah 2 s.d. 3 warisan budaya per tahun.

68 www.infid.org


38. Penyederhanaan proses naturalisasi penduduk bagi warga yang kawin campur untuk menjamin hak anak dan hak kaum perempuan Indonesia. 39. Penetapan dan pelakanaan Kuota perempuan 30 persen untuk jabatan publik seperti jabatan BUMN, Dubes, wakil menteri dan sebagainya. 40. Pembentukan unit kerja pemerintah untuk memajukan kerelawanan dan partisipasi masyarakat dalam memecahkan masalah lingkungan hidup, antikorupsi, hak asasi manusia dan pembangunan berkadilan. 41. Dukungan kebijakan dan dana kepada berbagai lembaga sosial kemasyarakat untuk memperkuat lembaga pendidikan, kesehatan dan panti asuhan (Pesantren, gereja, dll). 42. Perubahan sistem kewarganegaraan dari sistem tunggal ke dwikewarnegaraan untuk menggalang potensi diaspora Indonesia dalam menudkung pembangunan Indonesia 43. Bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menghidupkan kembali Pos Pelayan Terpadu (Posyandu) di tingkat Kelurahan/ Desa seluruh Indonesia untuk melayani kebutuhan gizi ibu hamil dan sosialisasi pengetahuan kesehatan reproduksi dimulai sejak tahun 2015 di 1000 desa, dan diseluruh desa di tahun 2019 (159.404 desa BPS 2012). 44. Dukungan terhadap pekerjaan kader-kader Posyandu dengan tunjangan kerja dan hidup yang layak. Sekurang-kurangnya satu desa satu kader sampai tahun 2019. 45. Penyediaan akses pangan tinggi calcium dan zat besi secara mudah dan murah bagi perempuan, terutama perempuan di umur produktif. 46. PenyediaanRumah Tunggu (yang memiliki peralatan medis yang cukup dan dikelola tenaga ahli untuk mengantisipasi kelahiran) bagi ibu-ibu hamil terutama di daerah yang memiliki keterbatasan geografis sebagai penyebab kematian ibu. 47. Dukungan penyediaan alat medis per kecamatan. 48. Pendokumentasian bentuk dan pola kekerasan terhadap perempuan dari kasus-kasus yang ditangani menunjukkan penyelesaian kasus menghadapi kendala, baik kendala hukum maupun budaya. Karena itu, upaya pencegahan juga penyelesaian kasus perlu dikembangkan untuk mengurangi jumlah kekerasan terhadap perempuan. 49. Penerapan Standar Penanganan Minimal (SPM) bagi perempuan korban agar terlayani penyelesaian kasusnya di seluruh kabupaten di Indonesia per tahun 2018. 50. Pembangunan Pakta Integritas yang berperspektif gender di setiap kantor publik dan sekolah, untuk mencegah kekerasan terhadap perempuan di tempat kerja dan sekolah. 51. Dimasukkannya pendidikan adil gender di sekolah formal sejak usia dini. 52. Penghapusan semua Perda diskriminatif terhadap perempuan (282 peraturan daerah (perda) di 100 kabupaten dan kota di 28 provinsi yang diskriminatif terhadap perempuan. 69 www.infid.org


53. Departemen Dalam Negeri lebih berperan untuk melakukan terhadap lahirnya peraturanperaturan daerah yang diskriminatif. 54. Penyelesaian kasus buruh migran disertai dengan pembentukan satuan tugas khusus. 55. Penerapan program transfer tunai (cash transfer) yang adil, berkepastian, praktis, bukan dalam jumlah yang kecil atau terbatas nilainya, serta disukai atau mudah diterima oleh banyak kalangan. 56. Jaminan pendapatan dasar merupakan tunjangan pendapatan yang diberikan tanpa syarat (unconditional) bagi semua individu warga negara (universal). 57. Adanya kemudahan perbankan dalam pemberian kredit ke UMKM melalui pemberian jaminan pemerintah kepada UMKM, memberikan insentif kepada perbankan yang memberikan kredit ke UMKM, 58. Penurunan gini rasio sebesar 5% pada tahun 2019, dari 0,41 saat ini menjadi 0,36 pada tahun 2019. 59. Besaran belanja sosial sebesar 5-10% GDP per tahun. 60. Semakin luasnya inklusi sosial dan memastikan adanya kebijakan perlindungan sosial untuk seluruh warga, kebijakan pemerintah yang imparsial dan non-diskriminasi, memastikan akses terhadap layanan dasar yang inklusif. 61. Penyeimbangan kebijakan Bank Sentral untuk juga mengurangi pengangguran. 62. Tersedianya peta jalan bagi redistribusi aset terutama untuk masyarakat miskin pada tahun 2015.

III.5. Prioritas 5 Pembaruan Agraria, Perlindungan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Sasaran: Prioritas ini mencakup (i) keberlanjutan penggunaan lingkungan dan sumber daya alam dari aspek konservasi, sosial dan perekonomian nasional; (ii) perubahan kebijakan investasi; (iii) investasi yang tidak hanya didasarkan pada value for money tapi juga mempertimbangkan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Indikator 1. Adanya roadmap pelaksanaan reforma agraria pada 2015-2019. 2. Adanya kelembagaan pelaksana reforma agraria yang dipimpin oleh presiden dengan mengkoordinasikan

sekurang-kurangnya

Kementerian

Agraria

dan

Tata

Ruang,

Kementerian LH dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, PDT dan

70 www.infid.org


Transmigrasi, serta Kementerian Koperasi, Pemerintah Daerah, Organisasi Masyarakat Sipil dan Pakar. 3. Adanya PP Pelaksanaan Reforma Agraria berdasarkan UUPA 1960 dan Tap MPR IX/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA. 4. Redistribusi tanah seluas 9 juta hektar hingga 2019. 5. Penyelesaian konflik agraria yang terjadi dengan membentuk badan adhoc Komite Nasional untuk Penyelesaian Konflik Agraria. 6. Penyiapan dan pelembagaan Pengadilan Pertanahan 2019. 7.

Pembentukan Bank Petani dan Nelayan 2015.

8.

Mengeluarkan 33 ribu desa dari dalam kawasan hutan.

9.

Moratorium izin HTI dan HPH.

10. Peningkatan program HTR, Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan hingga 5 juta hektar. 11. Reformasi kelembagaan pertanian dan pangan dengan menyatukannya menjadi Kementerian Pertanian dan Kedaulatan Pangan pada 2019. 12. Penataan kelembagaan produksi dan usaha kehutanan dikembalikan ke dalam nomenklatur kementerian pertanian dan kedaulatan pangan. 13. Adanya penyatuan kelembagaan Dirjen Planologi Kehutanan BIG dan Kementerian Agraria dan Tata Ruang pada 2019. 14. Peningkatan kepemilikan lahan bagi petani gurem dan tuna-tanah menjadi rata-rata 1 hektar lahan per tahun 2018. 15. Peningkatan luasan sawah sebanyak 20 persen di tahun 2018 (dari data sawah irigasi atau campuran). 16. Moratorium izin usaha kepemilikan lahan untuk perkebunan besar per 2017, dan meningkatkan industri hilir bagi produk perkebunan besar per tahun 2019. 17. Pembuatan kebijakan kewajiban PIR 60 persen pada perkebunan yang akan diperpanjang HGUnya. 18. Adanya peta potensi sumber daya alam mencakup kehutanan, lahan gambut, keanekaan hayati, perikanan, pertambangan dan potensi kelautan lainnya. 19. Peta konsesi yang terintegrasi (one map policy). 20. Meningkatkan riset dan produksi energi terbarukan seperti geothermal, PLTA (pembangkit listrik tenaga air) dan energi surya. 21. Adanya perlindungan, pencegahan pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta rehabilitasi lingkungan. 22. Memberi nilai tambah kepada produk-produk berbasis sumber daya alam. 71 www.infid.org


23. Penataan dan harmonisasi perizinan untuk pengelolaan lingkungan dan sumber daya alam (sejak tahap perencanaan sampai eksploitasi). 24. Penegakan hukum lingkungan terhadap para pencemar dan perusak lingkungan. 25. Penerapan pajak lingkungan. 26. Ada koordinasi setingkat menteri untuk isu perlindungan lingkungan hidup dan SDA.

III.6. Prioritas 6 Kemandirian Fiskal dan Pendanaan Pembangunan Sasaran: Prioritas ini ditujukan untuk (i) perubahan dan peningkatan kebijakan pajak dan nonpajak;

(ii)

perubahan

alokasi

anggaran

kesehatan;

(iii)

rasionalisasi

dan

realokasi/pengalihan dana subsidi BBM; (iv) penguatan belanja sosial untuk memperkuat jaminan sosial memenuhi amanat UU SJSN dan UU BPJS 2012. Indikator 1. Terlaksananya pemeriksaan ketaatan pembayaran pajak terhadap seluruh terpidana kasus-kasus terkait keuangan dan perekonomian negara, lingkungan hidup dan sumber daya alam, narkoba serta kasus-kasus besar lain. 2. Peningkatan perolehan pajak (tax ratio) hingga level 16-21% PDB selama 5 tahun, naik dari 12-13% PDB. 3. Peningkatan rasio pajak sebesar 1-2% PDB per tahun sejak tahun 2015. 4. Peningkatan 100% cukai rokok dari level Rp. 375/batang menjadi Rp. 750/batang. 5. Penguatan bank Data, pajak dan PPATK pada tahun 2016. Terpetakannya semua potensi penerimaan dan pendapatan negara secara lebih akurat pada tahun 2015. 6. Peningkatan volume APBN hingga level Rp2.500 triyun-Rp 3000 trilyun selama periode 5 tahun. 7. Realokasi subsidi BBB/energi secara bertahap dan dialihkan untuk dana pembangunan infratruktur, serta jaminan sosial dan subsidi pertanian. 8. Penaikan alokasi anggaran untuk kesehatan sampai level 5-8% dari APBN selama 5 tahun. 9. Penempatan Atase Perpajakan di LN untuk mengurangi dan menghentikan penghindaran pajak dan pelarian pajak.

72 www.infid.org


BAGIAN IV PENUTUP Perjalanan bangsa Indonesia sejak kemerdekaannya hampir tujuh dekade lalu telah melalui berbagai macam tantangan baik dari dalam negeri maupun luar negeri. Sampai saat ini, Negara Indonesia masih berdiri dan berhasil menempatkan diri sebagai salah satu Negara yang aman dan stabil di dunia. Di dalamnya pasti ada kekuatan yang membuat negara ini tetap bertahan dan berfungsi. Kekuatan itu perlu diperbesar dan diperluas. Naskah usulan Rencana pembangunan jangka menengah ini diajukan sebagai dari usaha untuk memperbesar dan memperluas kekuatan itu. Sebagai salah satu komponen bangsa, maka kami masyarakat sipil menyumbangkan buah pikiran sebagai bagian dari perencanaan strategis arah-langkah Negara Indonesia ke depan. Pandangan kami didasarkan kepada pengalaman empiris dan analisis selama kami bekerja di lapangan dan berinteraksi dengan berbagai kelompok masyarakat. Partisipasi kami dalam aktivitas perencanaan program pemerintah dan penyelenggaraan negara didasari oleh kehendak untuk ikut menghasilkan kualitas demokrasi yang baik sekaligus memberikan pengaruh positif pembangunan yang langsung dapat dirasakan seluruh warga. Naskah usulan Masyarakat sipil untuk RPJM ini berisi identifikasi permasalahan Negara, dan rekomendasi prioritas pembangunan ke depan. Dilengkapi dengan sasaran dan indikator, sehingga capaian dari sebuah perencanaan dapat terukur dan diverifikasi oleh publik. Dalam harapan kami, naskah ini dapat memberikan usulan program dari perspektif organisasi masyarakat sipil (CSO) yang sehari-seharinya menangani masalah-masalah konkret yang dihadapi oleh para warga, khususnya masalah-masalah yang terkait dengan keadilan sosial. Kami berupaya untuk mengusulkan program-program yang dapat mengatasi ketidaksetaraan dan ketimpangan dalam masyarakat Indonesia. Dengan menyatukan pemahaman dan niat bersama untuk menghasilkan Indonesia yang sejahtera tanpa diskriminasi, kami berbagi pikiran dan pengalaman yang dituangkan dalam naskah usulan RPJM ini. Apa yang kami kemukakan dalam naskah ini dapat dimaknai sebagai upaya kami ikut memberi kontribusi kepada Indonesia. Tetapi, lebih dari itu, yang kami tuangkan adalah harapan bahwa pemerintahan Joko-JK akan dapat mengupayakan kesejahteraan bagi seluruh warga Indonesia tanpa diskrimasi. Kami juga diinspirasi oleh gagasan bahwa pemerintah yang baik hanya akan terjadi ketika warganya turut berpartisipasi dalam upaya mengelola 73 www.infid.org


negara. Naskah ini adalah salah satu bentuk partisipasi kami. Semoga apa yang dimuat di dalamnya membantu memberikan arah yang tepat bagi upaya peningkatan kekuatan Negara Indonesia.

74 www.infid.org


Dokumen Yang Digunakan 

“A New Global Partnership: Eradicate Poverty and Transform Economies through Sustainable Development,

HLP-EP

Report

2013,

http://www.post2015hlp.org/wp-

content/uploads/2013/05/UN-Report.pdf 

Outcome Document Open Working Group on Sustainable Development Goals (OWG on SDGs),2014, http://sustainabledevelopment.un.org/content/documents/1579SDGs%20Proposal.pdf



Ahmad Faisol, dkk, “Tata Kelola Yang Adil Dalam Pembangunan Pasca-2015”, Kertas Kerja INFID 2014



Alvon Kurnia P, dkk, “Penegakan Negara Hukum dan Akses Terhadap Keadilan Hukum Sebagai Tujuan Pembangunan Pasca-2015”, Kertas Kerja INFID 2014.



Arie Sujito, “Gagasan Transformasi Demokratisasi Lokal: Refleksi Ringkas”, Makalah Disampaikan pada Konferensi INFID 2013, Jakarta 26‐27 November 2013



Bagus Takwin “Catatan dan Usulan Kebijakan Pemerintah 2014-2019” disampaikan dalam Diskusi Terbatas di INFID, Mei 2013



Buku I-24, Perpres 5/2010 tentang RPJMN 2010 – 2014



Crisbiantoro dkk, “Agenda Pemajuan HAM; Usulan Masyarakat Sipil untuk Presiden Mendatang”, Analisis INFID No. 3 Tahun 2014



Dwi

Andreas

Santosa,

Membumikan

Kedaulatan

Pangan,

http://doa-

bagirajatega.blogspot.com/2013/12/membumikan-kedaulatan-pangan-dwi.html 

Fabby Tumiwa, “Tantangan

Sektor Energi dalam Pembangunan Nasional”, disampaikan

dalam Diskusi Terbatas di INFID, Mei 2013 

Hamong Santono dkk, Rekomendasi Masyarakat Sipil untuk Pemerintah Indonesia Dalam Kerangka Penyusunan Laporan Open Working Group on Sustainable Development Goals (OWG on SDGs), Jakarta, 2014.



Irawan Saptono (peny), Laporan Penelitian INFID No. 1/2013, Jalan Terjal Menurunkan Angka Kematian Ibu, INFID dan ISAI, Jakarta, 2013, hal. V.



Justinus

Prastowo, “Optimalisasi

Penerimaan

Pajak

untuk

Kesejahteraan

Rakyat”,

disampaikan dalam Diskusi Terbatas di INFID, Mei 2013 

Khoirun Nimah dan Justinus Prastowo, Kertas Posisi Masyarakat Sipil Indonesia, G20 dan Menjawab Masalah Ketimpangan, Pengangguran dan Pendanaan: Berbagai Usulan Masyarakat Sipil Indonesia, 2014 75 www.infid.org

Rangkuman dari




L. Diana (peny), Sebulir Gandum, Segudang Derita: Jeratan utang dalam tata niaga pengadaan gandum di Indonesia, debtWATCH Indonesia, Jakarta, 2012



Mickael B. Hoelman, “Menuju Jaminan Pendapatan Dasar bagi Setiap Warga Negara Republik

Indonesia:

Berbuat

Lebih

Banyak

untuk

Melindungi

Kesejahteraan

dan

Pertumbuhan Indonesia”, Makalah pada Konferensi INFID 2013, Jakarta 26–27 November 2013. 

Nur Iman Subono, “Isu-isu di balik Ketidakadilan dan Ketidaksetaraan Gender di Indonesia”, disampaikan dalam Diskusi Terbatas di INFID, Mei 2013



Panca Pramudya, “Menguatkan Sektor Perkebunan dan Kehutanan Yang Berkelanjutan”, disampaikan dalam Diskusi Terbatas di INFID, Mei 2013



Policy Brief Kebijakan Pemenuhan Hak Difabel di Indonesia, Konas Difabel, 2013



Prosiding Konferensi INFID 2013 “Pembangunan untuk Semua”, Jakarta 26 – 27 November 2013



Prosiding

Konsultasi

Masyarakat

Sipil

untuk

Agenda

Pembangunan

Paska

2015:

“Pembangunan Berkelanjutan yang Inklusif, Adil dan Bermartabat Paska 2015: Suara Rakyat”, Jakarta 22 -23 Januari 2013 

Sugeng Bahagijo dkk, “Pajak Super Kepada Superkaya di Perancis dan Pemilu 2014”. Analisis INFID No.1 Tahun 2014



Sugeng Bahagijo dkk, “Walikota New York, Ketimpangan dan Pemilu 2014” Analisis INFID No.2 Tahun 2014



Transparency

International,

Global

Corruption

Barometer

2013.

http://www.transparency.org/gcb2013/results 

“Voices from Bali: Global Call for Better Development”, Proceedings on CSOs Preparatory Meeting and Roundtable Consultation at 4th Meeting of HLPEP on Post-2015 Development Agenda, Bali 23 – 25 Maret 2013

76 www.infid.org

Diterbitkan oleh:

================================= International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) Jl. Jatipadang Raya Kav.3 No.105 Pasar Minggu Jakarta Selatan, 12540 Phone : 021 7819734, 7819735 Fax : 021 78844703 e-mail : [email protected] website : www.infid.org =================================

INDONESIA ADALAH KITA

Recommend Documents