“Kita adalah perenang”
Penulis: Angki Purbandono
Pada berita acara kepolisian, saya dan 2 teman lainnya tertangkap karena mempunyai atau menyimpan marijuana pada tanggal 12 Desember 2012! Saya tidak panic, saya sudah tahu resiko sebagai pemakai yang sudah saya lakukan sejak 20 tahun yang lalu. Sampai pada bulan ke 3 yaitu tanggal 9 April 2013 akhirnya hakim memutuskan 1 tahun penjara.
(Cuplikan surat buat Dian Ariyani setelah vonis, 9 April 2013: “Yang penting aku istirahat di tahun ini, total! Laboratorium adalah otakku, merubah dari berguna di luar menjadi berguna di dalam. Aku sudah merencanakan satu serial drama yang punya makna dengan cara baca dari berbagai ruang ilmu pengetahuan-antropologi, filsafat, politik, seni rupa dan fotografi. Cara kerjaku mungkin tidak berbeda dengan biasanya, yaitu memahami dengan seksama dimana aku tinggal”)
Adaptasi Ini bukan persoalan baru buat saya untuk bisa beradaptasi dengan kehidupan baru dimanapun saya berada tapi kenyataannya adaptasi hidup di dalam penjara harus punya lebih banyak energy untuk memahaminya. Pasrah, depresi dan putus asa adalah ungkapan yang hampir menghiasi perkenalan-perkenalan saya dengan para narapidana. Sebetulnya saya malu untuk mengakui di depan mereka bahwa semua itu juga saya rasakan pada saat itu tapi alangkah tidak bijak kalau saya menjadi pengikut sebagian dari mereka untuk hanya pasrah dan mematuhi aturan-aturan penjara yang sebenarnya tidak semuanya saya anggap tepat dan masih bisa dikembangkan sebagai sebuah kritik yang mengarah ke hasil yang positif. Pada waktu yang bersamaan saya juga beradaptasi dengan segala material yang saya temui di dalam Lapas yang sebetulnya secara bentuk dan fungsinya tidak ada bedanya dengan material di luar penjara. Tapi saya mengalami beberapa peristiwa baru yang sangat berhubungan kuat dengan temuan material-material tersebut sebagai penanda baru untuk membuka cerita apa itu seni penjara.
(Karet-karet gelang tersebut adalah adaptasi material pertama saya untuk menilainya sebagai sebuah object yang mewakili keindahan elastisitas yang bisa mewakili sebuah sikap untuk bisa hidup pada situasi tertentu)
(Cuplikan surat buat Dian Ariyani, 19 Maret 2013: “Aku masih sibuk mengumpulkan sobekan-sobekan bungkus plastic yang masih tersebar disekitar blok-ku. Keindahan sobekan-sobekan tersebut belum sepenuhnya terungkap. Aku hanya baru menemukan warna, text, sudut dan brand yang ketika dijadikan satu akan membentuk komposisi segitiga aneh! Sangat ideal untuk discan.”)
Pendekatan & Presentasi Setelah melewati beberapa minggu di dalam Lapas, keinginan untuk bekerja sudah tidak bisa ditahan lagi! Kedekatan saya dengan beberapa teman narapidana yang punya posisi penting untuk dipercaya bekerjadalam dan luar ruang-membantu para petugas Lapas sangat menguntungkan saya untuk bertemu langsung beberapa petugas yang punya pengaruh penting di Lapas.
(Sebetulnya setiap petugas di Lapas punya posisi yang penting tapi tidak semua bisa memberi keputusan mutlak dan bijak sebagai peluang untuk bisa membawa alat kerja sayakomputer dan mesin scan-ke dalam Lapas)
Saya merasa terhormat bisa menyebut teman-teman narapidana seperti Agung Rusmawan, Berli Doni, Fatoni, Gunawan Wirdana dan Atok Moelyono sebagai teman-teman yang punya pengaruh diawal proses adaptasi untuk membuka gerak saya selanjutnya di dalam Lapas. Sampai pada akhirnya saya bisa duduk satu meja dengan Pak Yhoga Aditya Rusmawan-Kepala Keamanan Lapas pada saat itu-untuk memperkenalkan diri dan mempresentasikan hasil karya-karya saya sebagai pandangan kedepan apa yang akan saya kerjakan di dalam Lapas selama masa tahanan saya. Ternyata beliau adalah salah satu petugas yang berani membaca kemampuan alat yang akan saya pergunakan sebagai sebuah fasilitas personal yang layak untuk dicoba kemampuannya di dalam Lapas karena peluang kerjanya kita sepakat tidak akan berlawanan dengan aturan resmi Lapas tentang batasan fasilitas bagi para narapidana asalkan selama kesempatan tersebut tidak disalah gunakan untuk kepentingan yang melawan aturan resmi Lapas. Pada hari itu pula kita bersalaman sebagai tanda sepakat untuk memulai aktivitas saya yang tentunya dibawah pengawasan ketat Lapas.
(Saat berdiskusi dengan Pak Yhoga tentang progress PAPs) (Ket. foto kiri-kanan: Angki, Pak Yhoga, Doni, Komeng, Malaikat, Amir dan fatonibertopi dan fotografer: Kriyip)
Proses Kerja Hawa positif di dalam Lapas berlanjut ketika saya mendapat kepercayaan untuk menggunakan salah satu ruang kantor Lapas sebagai tempat kerja pribadi saya. Dengan dibantu beberapa teman jadilah ruangan tersebut layak sebagai ruang kerja, ada komputer, ada mesin scan, rapi dan lengkap! Mulai hari itu-awal Mei 2013-saya dan Kriyip-teman kerja-menyiapkan beberapa object yang sudah saya temukan dan tersusun sebelum ada perangkat komputer untuk segera ditata di atas scan. Jalas saya merasa gugup dan canggung mendapatkan perangkat kerja saya ada pada waktu dan tempat yang tidak pernah saya bayangkan sebelumnya! Tiap hari proses kerja saya diawasi sangat ketat dan bijak oleh para petugas Lapas karena saya tahu ada tanggung jawab besar bagi mereka untuk bersikap tegas untuk setiap aktifitas yang mereka berikan kepada saya dan teman-teman yang lain. Saya bisa bekerja setiap hari pada jam kerja yaitu kerja dari jam 8 pagi sampai jam 2 siang.
(Ruangan saya yang dulunya adalah ruang pasif teryata berubah menjadi sebuah ruang aktif bagi para petugas Lapas dan teman-teman untuk melihat dan bertanya secara langsung tentang proses kerja seni saya)
Hampir setiap weekend saya berkunjung ke beberapa kamar para narapidana di lokasi blok tahanan yang berbeda-beda. Pertemuan dengan mereka saya manfaatkan untuk melihat langsung apa yang mereka kerjakan dan apa yang saya temui untuk menjadi inspirasi apa yang seharusnya saya lakukan nantinya. Akhirnya saya juga dipercaya untuk menggunakan secara terbatas beberapa fasilitas penting dari Lapas seperti kamera digital yang banyak saya gunakan untuk mendokumentasikan beberapa hasil karya 3D seperti lukisan, patung, mainan boneka kertas dan proses kerja PAPs nantinya.
(salah satu hasil fotografi yang terinspirasi dari mainan buatan Giatno yang saya buat diluar ruangan untuk mendapatkan drama yang sesuai dengan karakter bonekanya) (Lokasi: studio batako Bimker-Bimbingan Kerja Lapas Grasia)
Penemuan Saya merasa lebih nyaman ketika bisa melewati masa adaptasi di dalam Lapas dengan banyak menjumpai beberapa pemikiran atau hasil kreatif seni yang menurutku sangat otentik dan organic prosesnya.
Kedekatan proses kerja saya dengan teman-teman menjadikan alasan yang kuat untuk kita sering berkumpul dan berpikir tentang sebuah project seni yang bisa memanfaatkan hasil kreatif dari para narapidana. (Cuplikan surat buat Dian Ariyani, 14 April 2013: ”Hari ini aku ketemu beberapa teman dan kami asyik membicarakan tentang sebuah program seni yang pantas untuk direalisasikan di dalam Lapas”: pertama, sebuah usulan program yang antusiasnya adalah menata ruang-ruang kosong di Lapas sebagai tempat memajang karya-karya seni dari para narapidana. Kedua, aku tertarik utntuk memanfaatkan karya-karya seni para napi sebagai souvenir Lapas. Hasil dari penjualan mungkin bisa menjadi pendapatan untuk mendukung aktifitas seni selanjutnya. Ketiga, adanya ide untuk mengundang para seniman yang bisa memberikan ilmunya dalam bentuk workshop seni. “Dari ketiga ide tersebut aku harap ada peluang untuk para napi menunjukkan energy mereka dalam berkarya seni sebagai inspirasi para narapidana lain untuk tetap hidup dan semangat dalam menjalani masa tahanannya.”)
Catatan-catatan tersebut akhirnya menjadi formula untuk menjadikannya sebuah program yang kita beri nama Prison Art Programs atau PAPs, yaitu sebuah pernyataan bahwa dalam masa pembinaan, para narapidana bisa memanfaatkan ruang gerak dan hak kemerdekaan penuh untuk bekerja sama membantu menguatkan misi Lapas dengan cara berkesenian.
Program (Cuplikan surat buat Dian Ariyani, 15 Mei 2013: “anyway this is about the concept what we thinking: Prison Art Programs – PAPs - Dari Kita untuk Kita”)
“Prison Art Programs – PAPs – Dari Kita Untuk Kita” Adalah sebuah usulan program yang digagas oleh para narapidana yang masih menjalani tahanan di Lapas Narkotika Klas IIA Yogyakarta yang bekerja sama dengan para pembina Lapas untuk bisa menjadi salah satu program resmi Lapas Grasia sebagai salah satu pendukung program pembinaannya. Saya punya pendapat kalau letak daya tarik program bukan hanya pada hasil jadi karyanya tapi lebih pada rasa hormat untuk sebuah latar belakang dari proses kerjanya dalam menyusun energi baru untuk sebuah tanggung jawab, martabat dan perubahan hidup kedepan melalui media seni. Program yang kita rencanakan adalah: 1. Interior & Exterior Art Movement 2. Merchandises 3. Workshop
(Interior Art Movement: Uji coba display tembok ruang kunjungan dengan karya yang bertema arsitektur di dalam Lapas)
(Eksterior Art Movement: Menggambar gerobak sampah dan gerobak makanan oleh para narapidana)
(Postcard-Merchandise)
(Notebook-Merchandise)
(Poster-Merchandise)
Terakhir Berdasarkan teori alam, saya yakin bahwa mimpi adalah tanda atau mungkin sebuah harapan yang bisa saja menjadi kenyataan pada siapa saja.
(Kunjungan bebas setelah hari raya Idul Fitri-14 Agustus 2013-di ruang kerjaku; Mizuma san, Mas Hermanto, Ryo san, Pak Yhoga, Fredi, Berli Doni, Ridwan Kriyip, Fatoni, Komeng, Malaikat dan Istriku; dian)
(Sebelum masa tahanan saya berakhir, saya dan teman-teman mempersiapkan semacam presentasi kecil untuk memperlihatkan beberapa hasil karya yang sudah kita realisasikan sebagai contoh ilustrasi poster yang sudah siap sebagai prodak seni penajara)
(Interview dengan Anang Zakaria dari Koran tempo sebagai liputan positif tentang seni penjara di dalam penjara, didampingi oleh Pak Yhoga, Dian-istri saya dan Ika-adik kandung saya )
(Pertemuan dengan PAPs member sehari sebelum saya bebas tanggal 7 Oktober 2013)
Atas nama teman-teman dari Lapas Narkotika Jogja, dengan tulus hati saya ucapkan terima kasih kepada semuanya yang telah memahami kerja kami selama ini. “Kita adalah para perenang yang mencari daratan untuk tetap hidup”