Sumber: Public Administration Review; November/December 2002, 62, 6; ABI/INFORM Global Page 712 Penulis: Carolyn J. Heinrich Universitas North Carolina-Chapel Hill Manajemen Kinerja Berbasis Outcome di Sektor Publik: Implikasi terhadap Akuntabilitas dan Efektivitas Pemerintah Kebutuhan manajemen kinerja berbasis outcome adalah untuk meningkatkan aktivitas evaluasi kinerja di semua level pemerintahan. Penelitian tentang manajemen kinerja sektor publik menunjukkan adanya permasalahan di dalam disain dan manajemen sistem dan pertanyaan-pertanyaan tentang keefektifannya sebagai alat kebijaksanaan untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah. Dalam artikel ini, saya menganalisa data eksperimen dan pengalaman manajemen kinerja dari program pelatihan kerja federal untuk mengestimasi pengaruh manajemen publik dan faktor disain-system terhadap outcome dan dampak program. Saya menilai apakah menggantungkan pada data administratif untuk mengukur outcome program (dari pada dampak) akan menghasilkan informasi yang bisa menyesatkan bagi manajer program dalam aktivitas manajemen kinerjanya. Sementara hasil-hasil analisis empiris menegaskan bahwa penggunaan data administratif dalam manajemen kinerja sepertinya tidak akan menghasilkan estimasi dampak program yang akurat, hasil ini juga menyarankan bahwa data ini dapat menghasilkan informasi yang berguna bagi manajer publik tentang tingkat kebijaksanaan yang dapat dimanipulasi untuk meningkatkan kinerja organisasi.
Pendahuluan Banyaknya idiom dan akronym untuk istilah manajemen kinerja yaitu – perencanaan, programming dan anggaran, anggaran berbasis kinerja, gaji untuk kinerja, perencanaan kinerja, sistem kinerja organisasi total, manajemen obyektif, dan lebih banyak lagi – menghambat pemahaman tentang bagaimana dan mengapa kita mengukur kinerja sektor publik. Namun konsep, disain, dan metodologi pengukuran kinerja adalah untuk mengembangkan tujuan tunggal utama dari gagasan ini tidak berubah: yaitu meningkatkan manajemen publik dan outcome program. Alat-alat manajemen kinerja – dan harapan publik akan manfaatnya – telah tumbuh menjadi sesuatu yang kompleks. Usaha-usaha awal pengukuran kinerja, yang meliputi perencanaan, programming, dan anggaran tahun 1960-an, manajemen administrasi Nixon dengan obyektif, dan anggaran berbasis zero pada tahun 1970-an adalah lebih internal dan memfokuskan pada proses. Romzek (1998) mendeskripsikan pendekatan pengukuran awal ini seperti akuntabilitas hirarki untuk input (peraturan administratif yang membimbing tugas-tugas rutin dan alokasi anggaran) dan akuntabilitas proses untuk proses (audit, kunjungan tempat, dan tugas-tugas monitoring lain). Penilaian kinerja pemerintah utamanya dihubungkan dengan penilaian hubungan input dengan cost dan nilai aktivitas pengurangan cost di dalam sistem ini, menyesuaikan teknik-teknik bidang ilmu manajemen. Hollings (1996, 15) menganggap jenis aktivitas ini sebagai ‘auditing kinerja’, yang bertujuan menunjukkan pembagian kontrol operasi dan implementasi tanggung jawab fungsional dan bidang-bidang pengurangan cost dan perbaikan operasional.
Hal.
Ekspansi program block grant pada akhir tahun 1970an, diikuti dengan Federalisme baru administrasi oleh Reagan pada awal tahun 1980-an, meningkatkan tanggung jawab dan kewenangan yang cukup besar pada manajemen program publik ke level pemerintahan negara dan lokal. Yang termasuk di dalam program-program ini adalah program Job Training Partnership Act (JTPA), program pelatihan dan pekerjaan federal sebesar 5 milyar dolar yang dikembangkan pada tahun 1982, dengan struktur administratif yang sangat didesentralisasi dan partisipasi formal perwakilan sektor swasta dalam administrasi program lokal. Pada waktu yang sama, perhatian tentang bagaimana pejabat lokal, yang jauh dari auditor federal melaksanakan keleluasaan di dalam distribusi dan manajemen program memberikan dorongan terhadap pengenalan mekanisme-mekanisme baru akuntabilitas kinerja. Seperti yang dijelaskan DeNisi (2000,131), semu usaha manajemen kinerja pada akhirnya bertujuan mempengaruhi kinerja pada level organisasi yang tertinggi; namun, karena jarak dari level individu ke level tertinggi meningkat, maka hubungan antara tingkah laku dan kinerja individu dan organisasi tumbuh semakin komplek. Sistem standar kinerja JTPA, dideskripsikan oleh Barnow (2000, 119) sebagai salah satu ‘pelopor dalam manajemen kinerja’ adalah contoh akuntabilitas kinerja yang menonjol di era desentralisasi baru ini. Sistem ini berbeda dari sistem sebelumnya dalam hal (1) pengukuran kinerja terpusat pada outcome program (misalnya, jumlah orang yang dilatih); (2) pengukuran terpadu kinerja program pada level-level pemerintahan berbeda; dan (3) insentif (anggaran) keuangan bagi para manajer program berdasarkan evaluasi outcome organisasi. Lebih umum, sistem ini dirancang untuk memfokuskan perhatian manajemen (pada semua level) pada sasaran-sasaran organisasi pusat (atau outcome program) dan memperkecil kebutuhan pemerintah untuk proses dan
1
monitoring dengan cost yang tinggi. Romzek (1998, 204) mendeskripsikan jenis pendekatan ini sebagai satu pendekatan yang menggantungkan pada akuntabilitas profesional, mengurangi keleluasaan manajer ‘ketika mereka bekerja dalam parameter yang luas, dari pada penelitian tertutup untuk menjamin pemenuhan peraturan dan arah organisasi secara mendetail. Manajemen kinerja juga diubah pada tahun 1980an dengan kemajuan-kemajuan dalam teknik-teknik statistik untuk mengukur kinerja program. Negara melakukan eksperimen dengan reformasi kesejahteraan, evaluasi eksperimen dan non eksperimen studi JTPA nasional, dan evaluasi program pemerintah lain meningkat jumlahnya karena data eksperimen dan administratif terkumpul atau tersedia untuk menganalisa outcome dan dampak program publik. Misalnya, studi JTPA nasional membandingkan kelompok kontrol untuk mengidentifikasi nilai tambah dengan program tersebut – yaitu, perbedaan antara apa yang diperoleh peserta dan apa yang akan mereka alami tanpa program tersebut. Temuan dampak program mengidentifikasi kekurangan pengukuran outcome yang digunakan dalam sistem manajemen kinerja JTPA dan perlunnya diskusi tambahan tentang bagaimana pengukuran kinerja program publik seharusnya ditingkatkan. Laporan The National Performance Review, dengan janji awal administrasi Clinton untuk menemukan ‘apa yang berjalan dan apa yang tidak berjalan’ di antara berbagai program-program federal dengan sasaran dan populasi target yang tumpang tindih, mendorong pendekatan evaluatif untuk manajemen kinerja. The Government Performance and Result Act tahun 1993 membuat evaluasi kinerja berbasis outcome, formal yang bersifat perintah bagi program federal. Evaluasi meneruskan dan memperluas usaha-usaha pemerintah federal untuk menyusun kembali fokus akuntabilitas pemerintah dan analisis kinerja dari aktivitas-aktivitas dan proses-proses dan menuju hasil-hasil dan outcomeoutcome. Secara khusus, kegiatan ini meminta agensi federal untuk mengembangkan (1) rencana strategis yang menjelaskan tujuan-tujuan agensi dan bagaimana tujuan ini bisa dicapai; (2) rencana kinerja tahunan yang menjelaskan tujuan yang bisa diukur secara kuantitatif dan indikatorindikator kinerja, begitu pula level kinerja yang akan dicapai; dan (3) laporan kinerja program tahunan yang membandingkan kinerja nyata dengan tujuan kinerja. Persyaratan laporan kinerja program dimaksudkan untuk memberikan akuntabilitas politis hasil-hasl dan kesempatan untuk peningkatan responsif ke pemegang saham dan pendukung program. Pertanyaan penting yang muncul bagi para manajer dan peneliti adalah sistem manajemen kinerja berbasis outcome yang lebih efektif dari pada pendekatan tradisional kontrol birokratis (yaitu akuntabilitas input dan proses)? Dengan kata lain, apakah evaluasi kuantitatif outcome program meminta agensi-agensi untuk mengubah prioritas program dan proses kerja dengan cara-cara yang dapat meningkatkan atau mempengaruhi secara positif
hasil-hasil program? Evaluasi ini menyatakan bahwa informasi yang diperoleh melalui pengukuran kinerja digunakan untuk menginformasikan kepada manajer program di level-level organisasi yang beragam (dari administras federal sampai tempat pekerjaan). Seperti yang dungkapkan DeNisi (2000, 131), ‘apapun level yang kita ingin pengaruhi kinerjanya, kita harus melakukan dengan mempengaruhi tingkah laku individu’. Sementara terlalu dini untuk mengambil keputusan mengenai keefektifan Government Performance and Results Act sebagai alat kebijaksanaan untuk akuntabilitas publik, beberapa telah mengkritik disain dan pelaksanaannya. Misalnya, Radin (2000, 133) membantah bahwa penggunaan retorika administratif telah menyebabkan tubrukan dengan kelembagaan, fungsional, dan hambatan kebijaksanaan/politik menjadi bagian dari sistem pembuatan keputusan di Amerika. Tubrukan ini telah memperluas sikap sinisme dan sikap tunduk di dalam pemerintah federal. Analisis Radin tentang pelaksanaan kegiatan ini menyatakan bahwa persyaratan untuk tujuan, rencana, dan hasil-hasil kinerja khusus telah meningkatkan hambatan administratif, meningkatkan konflik di antara berbagai tingkatan manajemen program, dan mengabaikan kompleksitas politik yang memperrumit pelaksanaan kegiatan. Mintzberg (1996) mengidentifikasi beberapa hambatan yang sama untuk reformasi administratif melalui manajemen kinerja berbasis outcome, menyebutkan tidak adanya kepemimpinan atau koalisi yang kuat yang mendukung orientasi hasil-hasil, pengukuran yang menghambat fleksibilitas dan tidak terkait dengan tujuan dan konsekuensi, saling tidak percaya antara agensi-agensi dan legislator tentang pengukuran, perhatian pekerja bahwa tanggungjawab tidak sepadan dengan otoritasnya. Dalam diskusinya tentang alat-alat kebijaksanaan dan manajemen publik, Peters (2000, 35) menyatakan bahwa instrumen kebijaksanaan (seperti misalnya sistem manajemen kinerja) adalah jarang mampu efektif dalam melaksanakan kebijaksanaan tanpa manajemen yang memadai. Hal ini memotivasi pertanyaan penelitian kedua tentang pelaksanaan sistem manajemen kinerja dalam sektor publik: karena informasi yang tidak sempurna dan kompleksitas politik tidak terhindarkan lagi di dalam sistem manajemen kinerja berbasis outcome, dengan manajemen yang memadai bisakah memberikan petunjuk yang efektif dan alat kontrol birokrasi yang bisa meningkatkan hasil-hasil program? Sementara penelitian tentang manajemen kinerja sektor publik menjelaskan adanya kelemahan baik dalam disain maupun manajemen sistem ini (Courty dan Marschke; GAO 1997a, 1997b, 1999; Barnow 2000; Heckman, Heinrich, dan Smith 1999; Heinrich 1999; Radin 2000), pemahaman terpenting dari masalah ini lebih komlek dengan fakta bahwa keleluasaan administratif di berbagai level pekerjaan organisasi karangkadang mengaburkan perbedaan antara disain sistem dan tanggung jawab manajemen. Dalam artikel ini, saya membahas pertanyaan tentang disain dan manajemen sistem manajemen kinerja sektor publik dan keefektifannya sebagai alat kebijaksanaan untuk meningkatkan akuntabilitas pemerintah, mengambil dari pengalaman program job training federal (secara khusus
Hal. 2
program JTPA). Pertama, saya mendiskusikan beberapa tantangan dan pertukaran yang dihadapi pembuat kebijaksanaan dan administrator program dalam mengembangkan pengukuran kinerja yang akurat yang merefleksikan legislatif, agensi, dan tujuan pemegang saham yang lain. Selanjutnya, saya menyajikan analisis data, dengan menggunakan data dari evaluasi eksperimen studi National JTPA, yang mengestimasi pengaruh disain dan manajemen sistem standar kinerja dan faktor-faktor kontekstual terhadap outcome dan dampak program. Dalam analisis empiris ini, saya menilai apakah menggantungkan pada data administratif untuk mengukur level-level outcome (dari pada dampak program) akan memberikan informasi yang kelihatan menyesatkan bagi para manajer program JTPA yang jauh dari tujuan menghasilkan hasil pendapatan yang terus-menerus bagi partisipan. Saya menemukan adanya manfaat dan pentingnya menilai pengaruh struktur organisasi, pilihan-pilihan dan hambatan-hambatan kebijaksanaan, dan praktik pemberian layanan terhadap kinerja program publik. Hubungan yang bisa diobservasi di antara organisasi-organisasi ini dan variabel-variabel level tempat dan outcme program adalah konsisten dengan yang diestimasi dengan menggunakan data eksperimental dalam model dampak program. Bagian kesimpulan dari artikel ini mempertimbangkan implikasi temuan-temuan studi untuk sistem manajemen kinerja terbaru dan disain sistem pemerintahan mendatang. Sistem Manajemen Kinerja Berbasis Outcome di Sektor Publik Penelitian tentang manajemen kinerja menyarankan bahwa dalam merespon persyaratan Government Performance and Result Act, agensi federal harus memilih pengukuran kinerja yang (1) dekat dengan tujuan yang dinyatakan; (2) mendekati kinerja nyata sedekat mungkin; (3) relatif sederhana dan tidak mahal untuk mengadministrasi; dan (4) membuatnya sulit bagi manajer untuk meningkatkan kinerjanya dengan cara selain dari pada peningkatan kinerja nyatanya (Baker 1992; Gao 1997b, 1999; Hart 1988; Holmstrom dan Milgrom 1991: McAfee dan McMilan 1988). Akan tetapi, pengalaman program JTPA menunjukkan bagamana sulitnya mengembangkan dan melaksanakan sistem manajemen kinerja dengan kualitas ini. ketika tujuan multi dan mengandung konflik memotivas pekerja, ketika tujuan-tujuan organisasi dan pengukuran kinerja adalah berbeda, atau ketika usaha-usaha birokratis pada tingkat pemerintah tidak siap diobservasi, maka masalah-masalah dalam sistem manajemen kinerja sepertinya akan muncul. (Kravchuk dan Schack 1996). Menurutnya, Murphy dan Cleveland (1995) menyatakan bahwa sebagai tambahan untuk menjelaskan pengukuran kinerja yang akurat, para manajer harus memberikan perhatian yang lebih besar pada faktor-faktor kontekstual yang mempengaruhi atau mencampuri pengukuran kinerja dan bisa menurunkan sasaran untuk memperbaiki akuntabilitas dan kinerja organisasional.
Faktor-faktor kontekstual yang mereka identifikasi dalam studi organisasi sektor swasta meliputi kompleksitas organisasi dan koordinasi yaitu: iklim atau kultur dan nilainilai organisasi: kompetisi di antara unit-unit fungsional atau di dalam sektor-sektor; dan ekonomi umum dan kondisikondisi politik. Pentingnya faktor-faktor ini bisa dibesarkan dalam organisasi publik dengan sering mengubah prioritas politik dan administrasi, konflik profesional dan partisipan di dalam birokrasi, dan kadang-kadang hubungan yang sulit pada tingkat pemerintah dan antara kekuasaan formal dan informal di dalam pelaksanaan program. Oleh karena itu, setiap organisasi publik pasti memiliki pengalaman unik di dalam melaksanakan sistem manajemen kinerja, kedudukan sistem manajemen kinerja yang lama dalam program job-training federal dan aktivitas pengumpulan data yang berhubungan dengan studi JTPA nasional telah membangkitkan beberapa data empiris yang sangat baik untuk mempertimbangkan implikasi manajemen kinerja dalam program publik. Saya mulai dengan menjelaskan secara ringkas program JTPA dan sistem standar kinerja dan mengikuti diskusi tentang beberapa masalah utama dan tantangan-tantangan yang dihadapi dalam mengembangkan sistem manajemen kinerja berbasis outcome dalam program pelatihan kerja federal. Akuntabilitas Pemerintah dalam Program Pelatihan Kerja Federal Program JTPA dan penggantinya, Workforce Investment Act, dilakukan oleh departemen tenaga kerja Amerika, yang mengkombinasikan pendanaan federal dan tinjauan luas dengan memberikan delegasi tanggung jawab sebagian besar operasional dan monitoring program pelatihan kerja kepada agensi lokal dan negara bagian. Pencarian kerja dan bantuan penempatan kerja, konseling, aktivitas siap kerja, manajemen kasus dan layanan pendukung, dan layanan lain yang lebih intensif seperti misalnya training kejuruan, on the job training, dan pendidikan dasar diberikan untuk meningkatkan pendapatan dan mengurangi ketergantungan di antara individu berpenghasilan rendah. Dana federal dialokasikan ke negara bagian dengan melihat proporsi ukuran populasi penduduk yang kurang beruntung secara ekonomi dan tidak bekerja. Sistem standar kinerja bagi program training dan pekerjaan yang didanai oleh federal (program JTPA dan program baru Workforce Investment Act) membagi tanggung jawab operasional di antara tingkat federal, negara bagian, dan lokal. Ini merupakan sistem multilevel yang memungkinkan keleluasaan bagi negara bagian dan lokal untuk membentuk kebijaksanaan insentif kinerja dan strategi-strategi layanan pelatihan untuk mencapai tujuan-tujuan kinerja (gambar 1). Pada tingkat federal, departemen tenaga kerja menentukan sejumlah pengukuran kinerja yang mengembangkan parameter luas tentang harapan publik terhadap kinerja pemerintah. Negara-negara bagian diperbolehkan untuk memodifikasi dan menambah standar kinerja federal dan mengembangkan sistemnya sendiri untuk memonitor dan memberi penghargaan (atau sangsi) kepada agensi-agensi pelatihan kerja lokal setelah mengkaji kinerja tahunan. Persentase tetap proporsi
Hal. 3
pemerintah federal dengan negara bagian dirancang untuk memperoleh bonus dan anggaran, dan negara menentukan bagaimana pengukuran kinerja menterjemahkan ke dalam peningkatan anggaran bagi agensi pelatihan kerja lokal. Courty dan Masrchke menganalisa dengan rinci berbagai insentif kinerja dan rencana-rencana penghargaan yang dikembangkan oleh negara-negara bagian untuk memelihara akuntabilitas kinerja agensi lokal. Penelitian mereka menyarankan strategi-strategi yang berbeda yang memiliki dampak yang penting terhadap insentif marginal yang diberikan untuk meningkatkan kinerja di atas standar dan sejauh mana administrator program dapat menentukan keuntungan berhubungan dengan pencapaian tingkat kinerja tertentu. Pengukuran kinerja yang dimandatkan oleh Workforce Investment Act adalah sama dengan yang digunakan dalam program JTPA dan meliputi (1) tingkat penyelesaian program partisipan (2) tingkat penempatan kerja partisipan (pekerjaan yang tidak disubsidi); (3) upah partisipan pada penempatan kerja; (4) tingkat retensi pada enam bulan setelah penempatan kerja (5) upah yang diterima pada enam bulan setelah penempatan kerja; (6) lisensi atau sertifikasi, pencapaian gelar akademis, dan pengukuran pemerolehan ketrampilan lain; dan (7) pengukuran cost program partisipan. Perbedaan penting standar kinerja yang digunakan adalah Workforce Investment Act yang memfokuskan pada outcome partisipan yang diukur enam bulan setelah penempatan, dimana sistem standar kinerja JTPA hanya memfokuskan pada outcome jangka pendek (diukur pada berakhirnya atau 90 hari setelah penyelesaian program). Pada level lokal, manajer program memelihara keadaan untuk membangkitkan data kinerja berdasarkan standar kinerja yang dideskripsikan di atas. Data ini dilaporkan ke agensi negara bagian dengan implementasi program. Negara bagian bisa menyesuaikan level kinerja yang dilaporkan secara lokal untuk melihat kondisikondisi ekonomi dan karakteristik klien. Negara bagian selanjutnya melaporkan informasi kinerja ke pemerintah federal (departemen tenaga kerja), tetapi negara bagian bertanggung jawab untuk menentukan bomus dan sangsi kinerja bagi agensi lokal berdasarkan kinerjannya. Heinrich (1999) mendeskripsikan bagaimana beberapa bidang pemberian layanan lokal juga mengembangkan sistem akuntabilitas kinerjanya sendiri bagi penyedia yang dikontrak dan menggunakan informasi manajemen kinerja dalam keputusan kontraknya. Pendapat Contrary to Kravchuk and Schack (1996, 353) bahwa pengukuran kinerja dalam bentuk sistem intergoverment, multi lapisan ini ‘berbeda banyak’, dia menemukan bahwa standar kinerja dasar program JTPA adalah cukup konsisten pada tingkatan pemerintahan. Akan tetapi, seperti yang diobservasi oleh Courty dan Marchke dan Heckman, Heinrich, dan Smith (1997), ini merupakan insentif marginal untuk meningkatkan kinerja, yang dibuat oleh keputusan administrator tentang bagaimana menggunakan informasi kinerja dalam manajemen program (mengarahkan, memberi penghargaan, atau
memberi sangsi agensi-agensi dan penyedia-penyedia) yang secara substansial berbeda d tingkatan negara bagian dan lokal. Problem dalam Melaksanakan Manajemen Kinerja Berbasis Outcome dalam program job training federal Dalam kajian terbaru tentang perencanaan kinerja agensi federal, General Accounting Office (1999, 6) menyatakan bahwa ‘pembagian misi’ adalah luas di pemerintahan federal, dan sulit untuk mengharap pemegang saham untuk berpikir di luar operasional programnya sendiri tentang bagaimana aktivitas-aktivitas yang berbeda memiliki kaitan dengan outcome umum. Seperti dalam program JTPA, kadang-kadang berbagai ragam atau konflik dan pembagian tujuan adalah melekat di dalam legislasi asli. Misalnya, legislasi JTPA tahun 1982 menyatakan bahwa program tersebut harus melayani mereka yang bisa mendapatkan keuntungan darinya, dan yang paling diperlukan dari pelayanan training dan pekerjaan, menyatakan beberapa tujuan yang berbeda (Job Training Partnership Act. P.L. 97300. Bagian 141 (c), 1982). Satu tujuan pemerintah adalah memaksimalkan dampak atau keuntungan bersih total dari program tersebut, yang menyangkut bagian legislatif ‘mereka yang bisa mendapatkan keuntungan dari …’ Tujuan lain adalah mentargetkan mereka yang paling membutuhkan pelayanan untuk mencapai kesamaan, dimana pemerintah akan mentargetkan mereka yang memiliki pendapatan ratarata rendah tanpa adanya program partisipasi. Dalam interpretasi sederhana terhadap tujuan-tujuan yang diinginkan, jelas bahwa konflik dalam melaksanakan legislatif adalah mungkin terjadi, khususnya jika mereka yang memiliki pendapatan rata-rata rendah tanpa program sepertinya tidak bisa mencapai penghasilan yang lebih tinggi. Dalam kenyataannya, Heckman dan Smith (1995) menegaskan pertukaran antara tujuan persamaan dan efisiensi di dalam program JTPA. Mereka menemukan bahwa target adalah sangat mengecewakan (20 persen di bagian bawah dari distribusi ketrampilan) secara substansial menurunkan efisiensi sosial program tersebut (pencapaian hasil nilai tambah yang lebih besar melalui partisipasi program). Selanjutnya, agensi-agensi negara bagian dan lokal tertarik dalam mengejar beberapa kombinasi tujuan ini dan tujuan lain, yang meliputi sasaran-sasaran yang berhubungan dengan jumlah total yang dilayani, mentargetkan layanan kepada kelompok-kelompok khusus, distribusi geografis pelayanan, dan memenuhi kewajiban politik (Dickinson dan kawan-kawan, 1988; Kravchuk dan Schack 1996). Tujuan sistem standar kinerja berbasis outcome tentu saja adalah memfokuskan perhatian manajemen dan staf terhadap tujuan yang paling penting – misalnya, menekankan dampak penghasilan, pada tujuan output, seperti misalnya jumlah total yang dilayani, atau tujuan tambahan, seperti misalnya memenuhi komitmen politik. Setelah menentukan tujuan kinerja utama, tantangan berikutnya adalah mengidentifikasi pengukuran kinerja yang tepat. Manajer federal yang diwawancarai tentang proses ini melaporkan bahwa ini adalah satu tugas yang secara konsep dan praktik paling sulit di dalam mengembangkan sistem
Hal. 4
manajemen kinerja berbasis outcome. Dalam program JTPA, menggunakan pengukuran hasil pendapatan ratarata atau dampak partisipasi akan memerlukan informasi tentang apa yang akan terjadi kepada partisipan yang tidak mendapatkan pelatihan, seperti yang dibuat dalam studi JTPA nasional. Dalam kenyataan, sedikitnya ada satu laporan General Accounting Office yang menyarankan untuk melengkapi data kinerjanya dengan studi-studi evaluasi dampak untuk menghasilkan pengaruh eksternal yang lebih baik pada hasil-hasil program dan mendapatkan gambaran dampak program yang lebih akurat. Cost evaluasi eksperimen ini melarang pengumpulan jenis data dengan basis reguler. Ditambahkan, penting bahwa sistem standar kinerja harus bisa memberikan umpan balik kepada manajer program negara bagian dan lokal – seperti misalnya laporan kinerja program tahunan di bawah Government Performance and Result Act – untuk memungkinkan penyesuaian (dalam aplikasi anggaran, kontrak layanan, praktik-praktik manajemen, strategistrategi training, dan sebagainya) untuk meningkatkan kinerja. Untuk alasan ini, sistem standart kinerja pada umumnya menggantungkan pada pengukuran jangka pendek dari pada jangka panjang. Agensi federal yang dimanfaatkan dalam manajemen kinerja menemukan sangat sulit untuk menterjemahkan misi jangka panjang atau tujuan strategis ke dalam tujuan kinerja tahunan dan memprediksi level hasil yang mungkin dicapai selama jangka pendek (GAO, 1997a). Dalam program JTPA dan Workforce Investment Act, pengukuran kinerja mencapai levelnya pada setahun setelah partisipasi, dibuat dari data administrasi yang dikumpulkan secara kolektif, dari pada outcome atau dampak setelah masa yang panjang. Heckman dan Smith (1995) menunjukkan bahwa agar efektif, pengukuran kinerja harus berhubungan erat dengan tujuan program agar memberikan insentif marginal yang benar kepada manajer program dan staf. Dalam penelitian JTPA, Heckman dan Smith (1995) dan Barnow (2000) menunjukkan bahwa pengukuran kinerja menurut standar jangka pendek yang digunakan dalam JTPA (tingkat pekerjaan partisipan dan level pendapatan 13 minggu setelah keluar dari program), adalah lemah berhubungan dengan dampak pendapatan dan pekerjaan jangka panjang yang diestimasi bagi partisipan yang menggunakan data eksperimental. Penyelidikan selanjutnya tentang hubungan antara beberapa pengukuran alternatif yang ditujukan untuk memperkuat hubungan antara kinerja dan dampak program yang diukur, yang meliputi level pendapatan yang diukur enam bulan setelah partisipasi program, menyarankan bahwa perbaikan tidak nampak, sepanjang pengukuran kinerja empiris didasarkan pada level pendapatan partisipan dari pada pemerolehan pendapatan (gay dan Borus 1980; Heckman, Heinrick, dan Smith, 1999). Heckman, Heinrick, dan Smith,1977) menyatakan adanya perbedaan antara pengukuran kinerja empiris dan dampak program pada JTPA bisa mendorong fokus yang mengurangi kemajuan menuju ke membangkitkan pendapatan yang terus bagi partisipan dan
mengurangi ketergantungan kesejahtaraan yang diinginkan secara sosial. County dan Marchke (1977) memberikan bukti empiris yang menunjukkan bagaimana beberapa manajer program lokal memilih untuk ‘bermain’ sistem standar kinerja untuk meningkatkan kinerja pengukuran agensinya dengan cara yang independen dari kinerja nyatanya. Karena standar kinerja JTPA mengukur pekerjaan dan pendapatan setelah selesainya partisipan dari program tersebut, dengan pengaturan tanggal selesainya dari program tersebut dicatat, para manajer program akan bisa meningkatkan jumlah total penempatan kerja. Pengarang mengestimasi bahwa dengan mengelola penyelesaian partisipan dengan cara ini, agensi JTPA mampu memperbaiki pengukuran kinerjanya sebanyak 11 persen: akan tetapi, mereka juga menemukan adanya dampak training yang kecil bagi partisipan yang menerima training selama akhir tahun ketika aktivitas ini terjadi. Keinginan manajer program untuk membangkitkan insentif atau memanipulasi sejumlah pengukuran kinerja dengan cara yang akan meningkatkan kinerja yang diukur adalah bisa diterima, walaupun tidak logis, dengan pengaruh pemerintah yang terbatas atau tidak langsung dalam menentukan hasil-hasil program. Hal ini sangat problematis bagi program yang berusaha mempengaruhi sistem yang sangat komplek atau fenomena sosial, seperti misalnya jalan menuju pekerjaan bagi penerima kesejahteraan dan orang dewasa yang tidak beruntung secara ekonomi, yang kebanyakan di luar kontrol pemerintah. Ditambahkan, masalah ini dibesarkan dengan tantangan-tantangan memisahkan usaha dan dampak lapisan multi atau level hirarki kebijaksanaan pemerintah, khususnya dalam program seperti misalnya JTPA, dimana keputusan manajemen negara bagian dan lokal membentuk kebijaksanaan manajemen kinerja dan praktik pemberian layanan. Terkait dengan keterbatasan ini, umpan balik yang sangat berguna yang mana manajer program ingin menerima dari sistem manajemen kinerja adalah meningkatkan pemahaman tentang bagaimana kebijaksanaannya sendiri dan keputusan programatis dipadukan dengan outcome program. Selanjutnya menyajikan diskusi dan analisis empiris tentang potensi untuk menggunakan informasi manajemen kinerja khusus untuk tujuan ini. Pemerintahan dan Manajemen Kinerja dengan Informasi Terbatas. Selama hampir dua dekade operasional, perbedaan yang cukup besar di dalam pemerintahan dan manajemen program pelatihan kerja federal telah berkembang pada level lokal, yang merefleksikan faktor-faktor seperti misalnya kebijaksanaan administratif tingkat negara bagian, ukuran daerah pemberian layanan lokal atau jurisdiksi, ukuran dan komposisi populasi, lokasi perkotaan dan pedesaan, dan preferensi politik lokal. Heinrich dan Lynn (2000) mempelajari struktur manajemen yang berbeda dan kebijaksanaan insentif kinerja dalam bidang pemberian layanan yang berpartisipasi dalam studi JTPA nasional, yang memfokuskan pada bagaimana struktur dan bentuk administrasi program JTPA berhubungan dengan pilihan
Hal. 5
manajemen tentang penggunaan kebijaksanaan insentif kinerja. Beberapa bidang utama administratif (tabel 1) meliputi persyaratan kinerja minimal dan skema penghargaan bonus kinerja, beban disesuaikan dengan tujuan kinerja yang berbeda, dan strategi pemberian layanan dan praktik kontrak. Heinrich dan Lynn menemukan hubungan yang kuat antara pilihan struktur administrasi dalam bidang pemberian layanan dan bentuk-bentuk kebijaksanaan dan insentif yang diadopsi pada level negara bagian dan lokal untuk memotivasi kinerja. Misalnya, ketika perwakilan sektor swasta berasumsi bahwa kekuasaan yang lebih formal melalui peran badan industri swasta sebagai kesatuan administratif dan penerima dana pelatihan kerja federal, mereka muncul untuk menekankan kinerja dan praktik-praktik administrasi yang diadopsi seperti misalnya kontrak berbasis kinerja dan kontrak dengan organisasi non profit yang juga menuntut akuntabilitas hasil-hasil. Ditambahkan, bidang pemberian layanan dengan peran administratif yang lebih besar bagi ofisial lokal dan sedikit kontrol oleh perwakilan sektor swasta mengirimkan layanan program JTPA yang lebih banyak secara langsung dan kurang menggunakan kontrak berbasis kinerja. Kesatuan administratif ini juga memiliki insentif yang lebih eksplisit untuk memfokuskan pada kelompok yang ‘sulit untuk melayani’ dan kurang kompetisi dengan agensi lain mengenai bonus kinerja. Studi kasus program JTPA juga menjelaskan bagaimana pendekatan-pendekatan manajerial yang berbeda telah mempengaruhi pelaksanaan dan pengaruh kebijaksanaan insentif-kinerja. Heckman, Heinrich, dan Smith (1997), membandingkan temuannya dari dua studi bidang pemberian layanan JTPA yang mengadopsi pendekatan administratif yang berbeda. Dalam satu agensi, tujuan memperluas standar kinerja ditekankan pada semua aspek operasional program, yang meliputi kontrak, seleksi partisipan, dan pemberian layanan. Yang lain, standar kinerja diberi perhatian yang kecil dan norma layanan sosial pekerja memberi petunjuk pembuatan keputusan dalam proses program utama. Meskipun data yang cukup tidak tersedia dari kedua tempat tersebut untuk mengembangkan hubungan antara praktik-praktik dan outcome manajemen kinerja, agensi dengan penekanan kuat pada standar kinerja secara konsisten memperluas persyaratan kinerja, sementara di tempat lain gagal memenuhi persyaratan kinerja minimal pada beberapa tahun dan merupakan resiko bagi reorganisasi federal (hukuman yang sangat kat bagi kinerja yang buruk). Model-model Empiris Outcome dan Dampak Program JTPA Karena keputusan administratif dan aktivitas manajemen pada level organisasi yang berbeda memiliki potensi untuk mempengaruhi tidak hanya outcome program, tetapi juga bentuk kebijaksanaan manajemen kinerja khusus yang diadopsi yang melepaskan dampak kebijaksanaan khusus atau insentif kinerja adalah tantangan analitis. Ditambahkan, pemahaman terhadap
dampak kebijaksanaan manajemen kinerja tentang outcome program (level pendapatan partisipan JTPA setelah partisipasi) bisa kurang bermanfaat jika, dalam usaha memaksimalkan kinerja yang diukur, manajer program memiliki pengaruh negatif pada dampak pendapatan partisipan. Bagian ini membawa bukti empiris untuk menjawab pertanyaan apakah evaluasi kinerja yang didasarkan pada data terbatas, seperti yang ada melalui catatan administratif pemerintah, secara perlahan dapat membangkitkan informasi yang cukup untuk membimbing secara efektif administrator program dan keputusan kebijaksanaan. Saya menggunakan informasi tentang struktur administratif dan kebijaksanaan standar kinerja (tabel 1) bersama dengan data eksperimen JTPA, untuk menguji hubungan antara administrasi program kebijaksanaan manajemen kinerja dan outcme dan dampak program JTPA. Ditambahkan, saya menyelidiki bagaimana dampak program dalam manajemen kinerja mempengaruhi apa yang dipelajari oleh para manajer program dan pembuat kebijaksanaan dari sistem manajemen kinerja. Dengan kata lain, dengan menggantungkan pada data administrasi untuk menilai level-level outcome dari pada dampak, apakah sistem manajemen kinerja JTPA menghasilkan informasi yang bisa menyesatkan bagi para manajer program, atau mengarahkan mereka jauh dari tujuan membangkitkan pendapatan partisipan yang terus-menerus. Karena manajemen kinerja meliputi aktivitasactivitas dan informasi yang mencakup berbagai level organisasi dan struktur sistemis, saya menggunakan modeling multilevel di dalam analisis empiris. Modeling multilevel memungkinkan seseorang untuk menguji hipothesis tentang bagaimana faktor-faktor atau variabel yang diukur pada satu level hirarki administrasi (agensi pelatihan kerja lokal atau negara bagian) berinteraksi dengan variabel-variabel pada level yang lain (klien individual). Data tersebut meliputi data level individual (kira-kira 20.000 sampel total observasi) pada perlakuan JTPA dan karakteristik demografis anggota kelompok kontrol dan data sejarah pendapatan, dan data level tempat yang menjelaskan struktur administrasi, kebijaksanaan insentif kinerja, strategi pemberian layanan dan kontrak, dan tingkat pengangguran dan indikator regional dalam 16 bidang pemberian layanan pada tiga tahun penelitian. (data dan sumber data selanjutnya dideskripsikan dalam lampiran A). Meskipun hanya ada 16 tempat dari 16 negara bagian dalam studi JTPA nasional (NJS), ada variasi tahun per tahun yang signifikan variabel level tempat dan negara bagian, yang meliputi kebijaksanaan insentif kinerja, hasil perubahan kebijaksanaan utama selama tahun studi 1987-89. Variasi ini memfasilitasi analisis tempat dan tahun dan triple jumlah observasi pada level ini (n=48). Meskipun kurang dari 5 persen variasi total outcome dan dampak pendapatan satu tahun adalah antara variasi tempat-tempat NJS, model outcome dan dampak program JTPA yang tidak kondisional menegaskan bahwa variasi ini adalah substantif dan signifikan secara statistik. Model yang mengontrol karakteristik perlakuan individual dan anggota kelompok kontrol (tanpa kontrol level tempat) juga
Hal. 6
menegaskan dampak perlakuan rata-rata, secara statistik signifikan 1.465 dolar. Dalam model multilevel outcome dan dampak pendapatan individual pada tahun pertama pasca program, masing-masing level pada struktur data hirarkis disajikan secara formal oleh modelnya sendiri, dan masing-masing sub model menjelaskan hubungan struktural yang terjadi pada level itu. Model outcome (ditunjukkan dalam persamaan 1 dan 2) diestimasi dengan menggunakan data hanya bagi mereka yang menerima layanan program JTPA (kelompok perlakuan NJS), yaitu, data yang secara khusus tersedia bagi manajer program. (1) Yij = βoj + βijXij + … + βnjXnj + rij (sub model level 1) (2) βoj = γoo + γoiWij + … + γouWnj + λoiΨij + … +λ Ψnj + uj (sub model level 2)
Yij mengukur pendapatan dalam satu tahun pasca program; βoj adalah outcome pendapatan rata-rata, disesuaikan untuk perbedaan karakteristik individual yang bisa diobservasi (Xij sampai Xnj): βij sampai βnj adalah dampak rata-rata karakteristik individu pada pendapatan; Wj adalah variable level tempat yang menjelaskan struktur administrative, kebijaksanaan insentif kinerja, dan praktikpraktik kontrak; control Ψij sampai Ψnj untuk kondisi ekonomi dan regional pada tempat tersebut; γoo adalah outcome rata-rata yang disesuaikan pada tempat dan tahun); dan γ01 sampai γon dan λo1 sampai λon adalah dampak variable level tempat pada outcome pendapatan rata-rata yang disesuaikan. Meskipun seseorang bisa mungkin dengan dampak karakteristik individual beragam tempat dan tahun, dalam spesifikasi ini, dampak ini diasumsikan tetap pada tempat dan tahun, βij = γ10 … βnj = γn0, Submodel diestimasi secara simultan dengan menggunakan metode maksimum. (Lampiran B meliputi diskusi tambahan metodologi dan model). Dalam modeling dampak program JTPA terhadap pendapatan pada tahun pertama pasca program, baik data pada perlakuan NJS dan anggota kelompok control digunakan dan ada beberapa perbedaan penting dalam spesifikasi sub model ini dari model multilevel (persamaan 3 dan 4). Yij = oj + ij Dij + kjX2j + … + nj Xnj + kjXjDij + … + njXnjDij + r ij Sub model level 1 (3) oj = oo + o1j + … + onnj + uj Intercept random (4) 1j = 1o + 11W1j + … + 1n Wnj + voj Koefisien random Sub model level 1 meliputi variabel indikator, Dij, yang sama dengan 1 jika individu adalah anggota kelompok perlakuan; koefisien pada indikator ini, ij, adalah dampak perlakuan kondisional di tempat j untuk anggota kelompok perlakuan rata-rata, karena randominasi dirusak dalam evaluasi eksperimental NJS, kumpulan kovariat tambahan berinteraksi dengan indikator kelompok perlakuan, Xj Dij sampai X nj Dij, disertakan untuk
mengukur dampak karakteristik individual yang berbeda NJS (kj sampai nj) pada dampak kelompok perlakuan. Pada level 2, model intercept random mengukur dampak kondisi regional dan ekonomi (01 sampai on) pada outcome ratarata yang disesuaikan di tempat j, dan model koefisien random mengukur dampak struktur administratif, kebijaksanaan insentif kinerja, dan praktik-praktik kontrak (11 sampai 1nj) pada dampak perlakuan kondisional. Seperti dalam model outcome, hubungan antara kovariat level 1 lain dan variabel penjelas level tempat diasumsikan tetap. Temuan Model dan Implikasi untuk Manajemen Kinerja Hasil model multilevel dampak dan outcome pendapatan partisipan program JTPA ditunjukkan dalam tabel 2. Arah dampak prediktor level individual dari model ini semua adalah konsisten dengan penelitian JTPA sebelumnya (Orr dan kawan-kawan, 1994, 1997). Misalnya, temuan yang sejenis di dalam literatur adalah bahwa mereka yang memiliki gelar kurang dari sekolah tinggi memiliki pengalaman pasar tenaga kerja pasca program yang buruk. Hubungan ini ditegaskan di kedua model tersebut, yang menunjukkan bahwa mereka yang memiliki gelar kurang dari sekolah tinggi mendapatkan lebih dari 1.700 dolar dalam tahun pertama pasca program, dan dampak perlakuan adalah lebih dari 1.100 dolar untuk sub kelompok ini. Dalam model dampak, hanya dampak karakteristik individual yang berbeda (bukan ratarata) pada dampak kelompok perlakuan yang ditunjukkan. (lihat lampiran B untuk diskusi selanjutnya tentang interpretasi dan perbandingan koefisien model level 1). Perbandingan dampak estimasi faktor-faktor struktural, kebijaksanaan, dan manajemen pada outcome dan dampak pendapatan 12 bulan pasca program (juga ditunjukkan dalam tabel 2) adalah hal yang terpenting dalam studi ini. Kontrol level tempat (meliputi tempat untuk kondisi regional dan ekonomi) menjelaskan lebih 90 persen (95 persen dan 91 persen, berturut-turut) dari variasi level tempat dalam outcome dan dampak. Dampak perlakuan rata-rata yang disesuaikan berkurang sampai 673 dolar dengan inclusi kontrol level tempat. Akan tetapi, yang paling menonjol, adalah signifikansi statistik dan ukuran yang relatif konsisten dari koefisien variabel-variabel ini dalam model outcome dan dampak. Misalnya, dari sejumlah hasil yang ada, pembuatan kebijaksanaan memperoleh kesimpulan bahwa bila perwakilan sektor swasta berasumsi bahwa kekuasaan akan lebih formal melalui peran badan industri swasta sebagai kesatuan administratif dana pelatihan kerja federal, maka level dan dampak pendapatan yang secara signifikan lebih besar bisa direalisasikan oleh partisipan. Mereka juga mendapatkan lebih banyak ketika badan industri swasta tidak berbagi tanggung jawab sebagai partner sama dengan pejabat terpilih lokal. Ditambahkan, beban yang diberikan untuk standar pekerjaan yang dimasuki – salah satu standar kinerja yang paling menonjol dalam program JTPA – secara positif dan signifikan berhubungan dengan outcome maupun dampak pendapatan partisipan (1 persen lebih banyak beban pada tujuan ini akan meningkatkan pendapatan rata-rata yang disesuaikan sekitar 94 dolar per tahun). Begitu pula, Bloom, Hill, dan Riccio
Hal. 7
(2001) menemukan bahwa penekanan yang lebih besar pada entri pekerjaan cepat dalam program kesejehtaraan kerja memiliki dampak yang secara statistik signifikan pada dampak pendapatan program. Pengarahan kebijaksanaan yang memerlukan kesatuan administratif, dan proporsi kotrak berbasis kinerja yang lebih tinggi adalah berhubungan secara negatif dengan outcome dan dampak pendapatan rata-rata yang disesuaikan. Secara umum, temuan ini menyarankan bahwa meskipun ada beberapa perbedaan dalam estimasi dampak struktural, kebijaksanaan, dan manajemen terhadap pendapatan partisipan berdasarkan jenis data yang digunakan – administratif (outcome) versus eksperimen (dampak) – menggantungkan pada data administratif untuk membangkitkan informasi tentang bagaimana memperbaiki kinerja program tidak akan menyalahkan manajer dari tujuan meningkatkan dampak program. Uji statistik menunjukkan bahwa tidak ada variasi yang secara statistik signifikan pada outcome atau dampak antara tempat dan tahun masih harus dijelaskan dalam model ini. Hal ini menyarankan bahwa pembuat kebijaksanaan bisa menggunakan temuan model ini tanpa perhatian yang serius bahwa beberapa variabel mediasi, level tempat bisa mengarahkan kembali pengaruh kebijaksanaan yang dikembangkan dengan melihat hasl-hasilnya. Akan tetapi, juga penting untuk menyatakan kembali bahwa lebih 95 persen dari variasi total outcome dan dampak pendapatan adalah levekl tempat (pada level individu), dan proporsi variasi dalam outcome dan dampak pendapatan partisipan JTPA yang dijelaskan pada level ini adalah rendah (14 persen dan 6 persen, berturut-turut). Karena banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan pasar tenaga kerja individu yang berpartisipasi dalam program training pekerjaan (khususnya selama setahun setelah penghentian program) – hubungan buruh dan majikan, pemerolehan pendidikan tambahan dan ketrampilan kerja, dan pengaruh lingkungan yang lain – tidaklah mengejutkan bahwa banyak variasi yang terjadi pada level individu dan kurang dijelaskan dengan karakteristik yang diobservasi. Studi-studi tentang dampak program kesejahtaraan kerja terhadap pendapatan mendapatkan proporsi variasi yang sejenis pada level individual (Blom, Hill, dan Riccio 2001; Jennings dan Ewalt 2000), Hill (2001, 4) menyatakan secara meyakinkan pentingnya temuan kebijaksanaan dari modelmodel ini, organisasi tidak dapat merubah latar belakang klien, tetapi mereka miliki kontrol terhadap ‘level dasar untuk mempengaruhi outcome klien’, seperti tersedianya layanan, struktur administratif yang membentuk proses pemberian layanan, dan kebijaksanaan manajemen kinerja lain yang mempengaruhi outcome program. Diskusi dan Kesimpulan Hasil empiris substansial dari studi ini menggambarkan pentingnya pengukuran pengaruh struktur organisasi dan kompleksitas, pilihan kebijaksanaan dan hambatan, praktik pemberian layanan dalam menilai kinerja program. Salah satu hasil model multilevel yang
lebih kuat menyarankan bahwa sentralisasi otoritas formal dan kontrol yang lebih kuat oleh badan industri swasta dalam perannya sebagai kesatuan administratif tidak hanya mendorong penekanan yang lebih besar terhadap kinerja yang diukur, tetapi juga peningkatan outcome dan dampak pendapatan. Dipertimbangkan dalam konteks teori insentifkompatibilitas, hasil ini seharusnya tidaklah mengejutkan, dengan adanya kecenderungan badan industri swasta terhadap orientasi pasar yang lebih besar – interpretasi yang kurang politis dari tujuan program, yang konsisten dengan sistem di mana insentif kinerja terkait dengan outcome pasar tenaga kerja (Holmstrom dan Milgrom 1991; Miller 1992). Model multilevel juga memfasilitasi penilaian struktur dan dampak manajemen yang lebih tepat, membedakan, misalnya antara dampak struktur administratif yang lebih tersentral dan ketetapan layanan yang lebih tersentral (atau langsung). Temuan model ini menyarankan mungkin lebih penting bahwa kesatuan administratif yang menerima dana pelatihan juga memiliki kontrol utama terhadap seleksi penyedia layanan (administrasi kontrak) dari pada penetapan layanan secara langsung. Yang lebih umum, eksekutif publik dan manajer level menengah yang dipakai dalam aktivitas manajemen kinerja harus melihat bahwa temuan empiris studi ini dapat mendorong usaha untuk mendapatkan dan menggunakan informasi tentang kinerja organisasinya. Koefisien pada variabel struktur dan manajemen dalam model kinerja program adalah hampir sama dalam hal ukuran dan tanda baik model dampak dan outcome pendapatan. Dalam penelitian tentang hubungan antara administrasi program dan praktik pemberian layanan dan outcome dan dampak program dalam program kesejehtaraan kerja, Bloom, Hill, dan Riccio (2001) dan Hill (2001, 6) juga menemukan bahwa tidak penting mengukur kinerja dengan menggunakan dampak eksperimental’ untuk memahami ‘bagaimana faktor-faktor garis depan, manajerial, organisasi, atau kelembagaan dihubungkan dengan kinerja tempat.’ Pentingnya hasil-hasil ini ditingkatkan dalam konteks temuan tahun 1999 oleh General Accounting Office bahwa kurangnya keyakinan yang terus-menerus dalam kredibilitas informasi kinerja adalah perhatian utama bagi agensi-agensi yang melaksanakan pekerjaan Government Performance and Results Act. Dengan kata lain, ada berita bagus bahwa data yang kurang sempurna masih dapat membangkitkan informasi yang mungkin efektif dalam membimbing para manajer program untuk meningkatkan kinerja agensi. Akan tetapi, untuk merealisasikan keuntungan ini, manajer federal dan administrator program lokal harus mengubah bagaimana mereka menggunakan informasi manajemen kinerja setelah dikumpulkan. Kritik Radin (2000, 123 tentang fokus Government Performance and Result Act pada utcome kinerja ‘ke eksklusi proses dan output’ adalah valid, mengakui bahwa bekerja dengan data terbatas tidak bisa dihindarkan lagi, dan bahwa pengukuran kinerja akan menjadi indikator, dan kurang akurat dalam mengukur kinerja nyata, kelihatan kurang memfokuskan laporan kinerja program tahunan utamanya pada perbandingan kinerja (indikator kinerja empiris
Hal. 8
dibandingkan dengan tujuan kinerja dijelaskan relatif dengan pengukuran atau standar kinerja abstrak). Kravchuk dam Schack (1996, 357) memberikan perhatian analogi tentang munculnya bentuk ‘keputusan-sibernetik’, dimana para manajer menjadi tidak sensitif terhadap informasi kecuali kalau informasi ini datang melalui chanel yang sangat terstruktur dari sistem manajemen kinerja, mereka mengkritisi manajer karena menggunakan pengukuran sebagai pengganti terhadap pengetahuan ahli, atau manajemen langsung program’. Dalam bentuk ini, manajer bisa menggunakan sistem ini untuk ‘menopang mereka sendiri dari banyaknya kompleksitas lingkungan internal dan eskternal’, khususnya ketika level dimana kinerja dievaluasi adalah jauh dari level kerja utama. Dalam studi ini, saya membantah bahwa dengan monitoring terus-menerus proses program dan mendokumentasikan manajemen dan perubahan program dalam setting yang berbeda dan level pemerintahan yang multiple, para manajer federal bisa menggunakan data kinerja yang lebih efektif untuk mengevaluasi dampak kebijaksanaan dan pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk mengelola dan memberikan layanan pemerintahan. Secara empiris, ini bisa diselesaikan dengan cara yang sama dimana program pelatihan kerja federal sudah menggunakan metodologi statistik (seperti regresi multi) untuk mengontrol karakteristik populasi lokal dan kondisikondisi ekonomi dalam modelnya untuk struktur, kebijaksanaan dan praktik manajemen negara bagian dan lokal. Kajian pengalaman program JTPA dalam studi ini juga menyoroti beberapa tantangan tentang kinerja organisasi dan menghubungkannya dengan level-level manajemen publik yang bertanggung jawab (atau faktor eksternal di luar kontrol manajer). Misalnya, bagaimana sistem tersebut seharusnya mengidentifikasi dan menghasilkan pengaruh priotitas administratif yang berbeda dan tujuan-tujuan pada level pemerintan atau aktivitas ‘permainan’ kinerja yang kadang-kadang muncul dalam merespon kepada insentif yang berbeda? Haruskah sistem memungkinkan tujuan-tujuan multi (kesamaan dan efisiensi), atau haruskah memfokuskan perhatian manajer kepada indikator dampak tunggal? Seperti yang disampaikan Kravchuk dan Schack (1996), dalam sistem manajemen kinerja yang bertujuan untuk menghasilkan kompleksitas eksternal dan internal, para manajer publik harus berkonfrontasi dengan tegangan yang melekat antara tujuan sederhana, variable dan pengukuran kinerja yang lebih komplek, dan antara kapasitas dan adaptabilitas sistem pengukuran. Radin (2000, 117) membantah bahwa Government Performance and Results Act sudah menjadi lapisan kontrol manajemen internal lain secara khusus; dari pada sistem yang didasarkan pada akuntabilitas profesional seperti yang diinginkan. Jika Radin tidak menyatakan masalah ini, mengapa tidak menggantungkan pada sistem akuntabilitas yang lebih tradisional: akuntabilitas hirarki input (peraturan administratif yang membimbing tugas-tugas rutin dan alokasi anggaran) dan akuntabilitas proses (audit,
kunjungan tempat, dan tugas monitoring lain)? Jawaban yang sederhana adalah bahwa sebagai publik, kita belum puas dengan status quo, yang secara internal memfokuskan pendekatan pada akuntabilitas pemerintah. Seperti yang dinyatakan oleh Lynn (1987,6), studi dan praktik manajemen publik telah terhambat oleh kurangnya standar yang telah dikenal secara luas untuk menilai kinerja eksekutif publik dalam posisi pembuatan keputusan. Sering kali ‘sukses’ berarti lebih banyak persetujuan kelompok referensi elit dimana penunjukkan dibuat, penanaman kesan yang baik atau reputasi dengan pers atau legislator kunci, atau memelihara keadaan yang baik dengan staf eksekutif kepala karena ‘permainan tim’. Hal yang sama berlaku bagi manajer level menengah, yang dalam praktiknya akuntable hanya kepada mereka yang ada dalam organisasinya sendiri atau organisasi pemerintahan lain (seperti misalnya General Accounting Office) yang melakukan monitoring dan tugas-tugas pengawasan. Meskipun tantangan manajemen dan pengukuran pelaksanaan sistem manajemen kinerja berbasis outcome yang efektif dalam program pemerintah cukup banyak, namun kurang umum untuk reformasi administratif yang berusaha untuk mengubah tidak hanya tingkah laku individual, tetapi juga hubungan organisasi, jaringan kerja atau penyedia layanan, dan insentif organisasi yang mendukungnya (Weiss 1981). Dengan kata lain tantangan awal ini dan setback yang dikonfrontasikan dalam melaksanakan manajemen kinerja berbasis outcome dalam program pemerintah seharusnya tidak menghambat usaha untuk memperbaiki kinerja pemerintah dan untuk membuat evaluasi kinerja proses yang lebih umum. Seperti yang dinyatakan oleh laporan General Accounting Office (1999, 8), ‘Konggres memahami bahwa perubahan manajemen yang dilaksanakan dengan efektif dari yang diinginkan di bawah piagam memerlukan waktu beberapa tahun. Sistem standar kinerja dalam program pelatihan kerja federal telah beroperasi selama hampir dua dekade, dan ini terus berkembang dengan piagam dan amendeman legislatif selanjutnya. Manajer publik harus menggunakan pengetahuan yang telah diperoleh melalui pengalaman standar kinerja JTPA, begitu pula informasi yang diperoleh dari penelitian dan kajian internal, untuk membantu sistem manajemen kinerja yang dilembagakan di bawah Government Performance and Results Act yang berkembang menjadi alat kebijaksanaan yang lebih efektif untuk membimbing fungsi organisasi dan manajemen program, dengan kurang memberi penekanan pada sasaran mengukur kinerja pemerintah secara tepat.
Hal. 9