Infant sensory problems Hardiono Pusponegoro Tujuan
1. Memperkenalkan masalah gangguan modulasi sensoris pada bayi. 2. Memperkenalkan teknik pemeriksaan, asesmen dan rujukan. 3. Memperkenalkan teknik terapi.
Pendahuluan Berikut ini akan disajikan beberapa ilustrasi kasus. “Bayi Zac mendengar suara bel. Ia segera menoleh ke arah suara bel tersebut sambil tersenyum. Suara bel diperdengarkan lagi oleh ibu sambil tersenyum kepadanya. Ia menunjukkan wajah lebih gembira, mengeluarkan suara-suara dan mencoba meraih bel tersebut.” “Bayi Rafi mendengar suara bel. Ia merasakannya sebagai sesuatu yang mengganggu. Rafi terlihat wajahnya menjadi tegang. Bila bel dibunyikan kembali oleh ibu tanpa senyuman, ia menjadi menangis dan mengamuk tidak terkontrol.” Contoh ketiga adalah Bayi Dhanin. “Bayi Dhanin mendengar suara bel tetapi tidak bereaksi sama sekali. Walaupun suara bel diulang dengan keras, ibunya memanggil namanya dan menepuknya, ia tetap tidak bereaksi.” Ketiga anak pada ilustraksi kasus di atas berumur kurang dari satu tahun. Pada ilustrasi tersebut, dapat dilihat bahwa ketiganya memberi respons perilaku yang berbeda terhadap stimulus suara. Sehari-hari, stimulus yang ada bukanlah stimulus tunggal, tetapi anak mampu mengorganisasi stimulus multipel dan memperlihatkan respons perilaku adekuat untuk berinteraksi dengan lingkungan.1 Secara medis, bayi Rafi dapat diduga sebagai anak yang cengeng, atau bahkan hiperaktif dan impulsif yang merupakan gejala attention deficit/hyperactivity disorder. Bayi Dhanin dapat diduga sebagai mengalami gangguan pendengaran, autisme atau disabilitas intelektual. Tetapi, umur mereka masih kurang dari satu tahun sehingga sulit sekali membuat diagnosis tersebut. Bagaimana menerangkan hal tersebut? Ilmu okupasi dipelopori Ayres pada tahun 1972 mulai menggunakan istilah sensory integration dan berbagai gangguan modulasi sensoris yang mungkin dapat menerangkan hal tersebut, sedangkan dokter menggunakan istilah regulatory disorder.2,3
117
Hardiono Pusponegoro
Harus diingat bahwa teori integrasi sensoris masih merupakan kontroversi di dunia medis dan dasar hipotesisnya banyak. Penelitian ilmiah untuk membuktikan hal tersebut masih sangat sedikit. Suatu policy statement dari American Academy of Pediatrics menganjurkan agar dokter tidak menggunakan diagnosis sensory processing disorder, namun masih mengizinkan penggunaan terapi berdasar sensoris sebagai komplemen terapi lain.4 Istilah hiper atau hiporeaktif terhadap input sensoris dan minat yang tidak biasa terhadap aspek sensoris lingkungan mulai digunakan sebagai salah satu kriteria diagnosis spektrum gangguan autisme dalam Diagnostic Statistical Manual – V (DSM-V).5 Secara pribadi, saya berpendapat bahwa memang terdapat gejala pada bayi yang sulit diterangkan dengan diagnosis formal misalnya menurut Diagnostic Statistical Manual – V dan “terpaksa” menggunakan diagnosis sesuai teori integrasi sensoris atau gangguan regulasi untuk dapat melakukan intervensi atau memberi nasihat kepada orang tua. Dalam makalah ini, berbagai masalah sensoris pada bayi tersebut akan dibahas secara sederhana agar dapat dimengerti.
Organ sensoris Anak menerima stimulus atau input dari lingkungan melalui 5 reseptor sensoris yaitu; penglihatan, pendengaran, sentuhan atau taktil, pengecap dan penghidu. Dalam teori integrasi sensoris, terdapat 2 reseptor lain yang digolongkan sebagai reseptor somatosensasi yang menerima input dari dalam tubuh sendiri yaitu reseptor proprioseptif dan vestibular.2,6 Reseptor proprioseptif adalah sensasi dari sendi dan otot yang timbul karena gerakan tubuh. Stimulus proprioseptif menimbulkan sikap kewaspadaan dan pengertian terhadap gerak sehingga terbentuk memori yang penting untuk gerakan yang awalnya harus dipelajari, kemudian selanjutnya dapat berlangsung secara otomatis, misalnya naik tangga atau bermain bola. Reseptor vestibular di dalam telinga memberi respons terhadap gerakan kepala dan tubuh dalam hubungannya dengan gravitasi sehingga tercapai keseimbangan dalam gerak tubuh dalam ruang.
Proses integrasi sensoris Integrasi sensoris adalah proses yang meliputi pengorganisasian stimulus sensoris dari tubuh dan lingkungan untuk digunakan berupa munculnya suatu perilaku yang adekuat.2 Hasil akhir dari proses integrasi sensoris adalah kemampuan anak untuk berkonsentrasi, mengorganisasi, regulasi diri, belajar, berinteraksi secara sosial, menimbulkan rasa percaya diri, dan lain-lain.7 Proses integrasi sensoris merupakan kombinasi dari proses neurofisiologis di dalam otak dengan perilaku yang terlihat sebagai respons.8 Proses di dalam otak dimulai dengan penerimaan dan pengenalan stimulus sensoris dilanjutkan dengat
118
What l Why l How
in Child Neurology
Infant sensory problems
proses sintesis. Berbagai stimulus sensoris yang masuk, melalui sintesis, berinteraksi dengan berbagai proses lain di dalam otak untuk mempersiapkan respons perilaku yang adaptif. Di dalam otak terjadi pula proses modulasi neurologis berupa kombinasi eksitasi dan inhibisi stimulus eksternal dan internal agar terjadi keseimbangan dan mempersiapkan munculnya perilaku yang menggambarkan keseimbangan tersebut.8 Arousal adalah tingkat kewaspadaan (alertness) dengan pusat di batang otak. Kemampuan mempertahankan arousal penting agar anak dapat memperlihatkan respons adaptif untuk waktu yang cukup lama. Gangguan arousal seringkali merupakan ciri pertama adanya gangguan integrasi sensoris dan merupakan proses yang dapat menunjukkan perbaikan lebih awal. 6,9 Proses deteksi, sintesis dan modulasi neurologis dipengaruhi oleh ambang neurologis yang merupakan derajat stimulus yang diperlukan agar anak dapat memberi respons.6,9 Anak dengan ambang yang tinggi memerlukan stimulus yang kuat dan berulang-ulang, sedangkan di sisi sebaliknya, anak dengan ambang yang rendah sangat mudah terangsang. Contoh ambang tinggi misalnya anak yang cuek saja bila dipanggil. Panggilan pada anak tersebut harus kuat, berulang-ulang, bahkan disertai tepukan pada bahu sebelum ia menoleh. Contoh ambang rendah misalnya anak yang sangat mudah marah oleh hal sepele, misalnya ada kotoran sedikit melekat pada tangannya dapat membuat ia marah besar.
Neurologis Tidak dapat diobservasi
Pemrosesan sensoris (Sensory processing)
Sintesis Penerimaan (Reception) Deteksi
Perilaku Dapat diobservasi
Modulasi (neurologis)
Integrasi sensoris (Sensory integration)
Modulasi (perilaku)
Praksis
8 8 Gambar otak (neurologis) (neurologis)dan danperilaku. perilaku. Gambar1.1.Proses Prosesintegrasi integrasisensoris sensoris di otak
What l Why l How
in Child Neurology
119
Hardiono Pusponegoro
Proses di dalam otak tidak dapat dilihat. Yang dapat diobservasi secara klinis adalah hasil akhir proses modulasi di tingkat perilaku yang tidak hanya mengukur reaksi sesaat, tetapi merupakan suatu proses yang mengkoordinasi semua stimulus sensoris dalam waktu dan ruang.8 Hasil akhir proses tersebut adalah kemampuan anak untuk bereaksi terhadap stimulus sensoris secara berjenjang dan adaptif.6,9 Di tingkat perilaku, selain modulasi juga terjadi proses praksis (praxis). Praksis adalah kemampuan anak menggunakan stimulus sensoris untuk merencanakan dan melakukan gerak secara berurutan.6,9 Pada awalnya, praksis merupakan respons gerak yang harus dipelajari, namun lama kelamaan akan menjadi suatu proses yang otomatis. Misalnya, anak belajar menangkap bola dengan susah payah, lama kelamaan hal tersebut menjadi mudah dan otomatis.
Proses integrasi sensoris yang adekuat Hasil dari proses integrasi sensoris yang adekuat adalah partisipasi di semua lingkungan, termasuk partisipasi di sekolah dan pekerjaan secara adaptif berjenjang. Dasar dari partisipasi tersebut adalah:7 1. Kemampuan untuk melakukan sintesis dan modulasi terhadap stimulus sensoris baik dari lingkungan atau dari dalam tubuh sendiri. 2. Kemampuan self-regulation dan mempertahankan derajat arousal dan/ atau aktivitas yang diperlukan untuk melakukan tugas atau aktivitas. 3. Mempertahankan kontrol postural termasuk tonus otot, kekuatan, keseimbangan, kontrol okular, koordinasi bilateral dan lateral. 4. Praksis yang baik. 5. Kemampuan mengorganisasi perilaku yang dibutuhkan sesuai umur perkembangan.
Gangguan integrasi sensoris Kita curiga adanya kemungkinan suatu gangguan proses integrasi sesoris adalah apabila anak menunjukkan berbagai perilaku ekstrim yang berulang kali dalam waktu yang cukup lama sehingga menyulitkan anak beradaptasi dan berpartisipasi dalam kehidupan sosial.6-8 Gangguan integrasi sensoris belum ada di dalam sistem klasifikasi baku misalnya Diagnostic Statistical Manual – V. Miller menganjurkan klasifikasi sensory processing disorder sebagai berikut;7 1. Sensory modulation disorder a. Sensory over-responsivity (Tabel 1) b. Sensory under-responsivity (Tabel 2) c. Sensory seeking (Tabel 3)
120
What l Why l How
in Child Neurology
Infant sensory problems
2. Sensory based motor disorder a. Dyspraxia b. Posture disorder 3. Sensory discrimination disorder Penglihatan, auditorik, taktil, pengecapan/penciuman, postur/gerakan Tabel 1. Sensory over-responsivity Taktil
Auditori Visual Proprioseptif Vestibular Penciuman Pengecapan
Terganggu oleh sentuhan saat melakukan aktivitas sehari-hari Terganggu oleh pakaian dengan tekstur tertentu Terganggu oleh benda atau materi dengan tekstur tertentu Terganggu oleh suara di lingkungan misalnya suara vacuum cleaner Menghindari tempat ramai misalnya pesta, pergi ke mall Terganggu oleh pola atau kecerahan suatu material Terganggu oleh situasi berantakan dari berbagai material Tidak menyukai aktivitas memanjat Tidak menyukai bergantungan Menghindari ayunan, peluncuran, memanjat Terganggu oleh bau makanan tertentu atau materi tertentu Menghindari lingkungan tertentu karena baunya Tidak menyukai makanan lembek atau lunak Menghindari makanan pedas atau asin
Tabel 2. Sensory under-responsivity Sentuhan
Auditori
Visual Proprioseptif Vestibular Penciuman Pengecapan
Tidak mengetahui bila disentuh Tidak bereaksi terhadap nyeri misalnya jatuh atau terluka Tidak mengetahui basah atau kotor, dingin atau panas Tidak menyadari mengiler atau makanan di wajah Tidak bereaksi bila dipanggil namanya Tidak beraksi terhadap suara keras Anak cenderung diam, pasif, menarik diri Tidak memperhatikan aktivitas lingkungan Tidak memperhatikan peringatan visual di kelas atau papan tulis Bergerak perlahan Genggaman kurang kuat Tidak menunjukkan kegembiraan atau ketakutan terhadap gerakan Tidak memperhatikan bau yang keras Tidak mencari makan walaupun lapar Menelan makanan pedas tanpa bereaksi
What l Why l How
in Child Neurology
121
Hardiono Pusponegoro
Tabel 3. Sensory seeking Sentuhan
Auditori
Visual
Proprioseptif
Vestibular
Penciuman Pengecapan
Menyentuh orang lain di tempat yang tidak wajar Sangat ingin dipeluk Mencubit, menggigit, menggaruk Mencari sentuhan, rasa getar Berbicara keras Membuat suara-suara hanya untuk sekedar bersuara Senang suara TV, radio yang keras Sulit bicara bergantian Senang adegan yang berubah dengan cepat di TV Senang cahaya berkedip-kedip atau mati hidup Senang memperhatikan benda berputar Jatuh atau menabrak sesuatu dengan sengaja Jatuh dari kursi Bergerak, bergoyang, tak bisa diam sepanjang hari Bergerak terus, sulit duduk diam Bergerak tanpa kenal takut Senang berputar-puar Hanya mau makanan dengan bau yang kuat Mencium benda atau orang Menjilat, menghisap, mengunyah benda bukan makanan Memasukkan benda bukan makanan ke mulut Menyukai makanan yang harus dikunyah keras
Klasifikasi lain Gangguan modulasi sensoris Sekelompok peneliti lain menggunakan klasifikasi berdasarkan Diagnostic Classification 0-3 (DC 0-3). Dalam klasifikasi DC 0-3, gangguan yang sangat mirip dengan gangguan modulasi sensoris disebut sebagai regulation disorder atau gangguan regulasi.
Regulatory disorder (Gangguan regulasi) Keadaan ini ditandai oleh kesulitan mengatur perilaku dan proses fisiologis, sensoris, atensi, gerak dan afek untuk mencapai keadaan tenang, waspada dan afek yang positif.3 Anak dengan gangguan regulasi memperlihatkan pola perilaku yang khas disertai gangguan sensoris, sensori-motor, atau modulasi yang mempengaruhi adaptasi dan interaksi sosial. Gangguan regulasi dipengaruhi selain dipengaruhi tingkat kematangan perkembangan anak dan konstitusi, juga dipengaruhi pola asuh. Gangguan regulasi dapat menyebabkan anak mengalami kesulitan misalnya gangguan makan atau tidur, pengaturan perilaku yang adaptif, ketakutan atau ansietas, keterlambatan perkembangan bicara dan gangguan bahasa, serta kesulitan bermain dengan anak lain.
122
What l Why l How
in Child Neurology
Infant sensory problems
Gejala yang terlihat pada anak yang mengalami ganguan regulasi misalnya: 1. Reaksi berlebihan atau kurang terhadap suara keras atau suara dengan nada tinggi atau rendah. 2. Reaksi berlebihan atau kurang terhadap cahaya atau melihat benda tertentu. 3. Tactile defensiveness berupa reaksi berlebihan terhadap pakaian, sentuhan saat mandi, atau tidak mau menyentuh benda kotor. 4. Reaksi oral berlebihan misalnya tidak menyukai makanan dengan tekstur tertentu karena gangguan tonus otot, gangguan perencanaan motor, dan/ atau reaksi taktil berlebihan terhadap makanan tertentu. 5. Kurang bereaksi terhadap sentuhan atau nyeri. 6. Gravitational insecurity. Reaksi kurang atau berlebihan terhadap sensasi gerak horisontal atau vertikal. 7. Reaksi kurang atau berlebihan terhadap bau atau suhu tertentu. 8. Gangguan tonus otot dan kestabilan, misalnya hipotonia, hipertonia, postur abnormal, atau gerakan kurang lancar. 9. Gangguan perencanaan, aktivitas gerak kasar, dan gerak halus. 10. Gangguan artikulasi bicara. 11. Ganggguan pemrosesan stimulus visual-spatial misalnya mengenal bentuk wajah orang lain, arah yang harus ditempuh, mengenal berbagai bentuk. 12. Kesulitan atensi dan fokus. Berdasarkan gangguan-gangguan tersebut, ditemukan 4 subtipe gangguan regulasi:
Tipe 1. Hipersensitif. a. Ketakutan dan curiga Pola perilaku menunjukkan anak sangat berhati-hati, atau ketakutan. Bayi kecil kurang menunjukkan kemauan mengeksplorasi, tidak menyukai perubahan rutinitas, mudah takut, dan melekat pada ibu terutama pada situasi baru. Anak terlihat kuatir, takut, atau malu bila bertemu anak lain atau orang lain. Anak mudah terangsang dan marah bila terpapar dengan suatu stimulus dan bila terangsang sulit menenangkan diri sendiri. Pola motor dan sensoris ditandai reaksi berlebihan sentuhan, suara keras, cahaya terang, atau gerak berlebihan. Pola asuh yang tidak konsisten, menghukum, memaksa anak melakukan sesuatu, atau memproteksi anak berlebihan dapat memperburuk keadaan. Orang tua yang sabar, mengintroduksi sesuatu stimulus perlahan-lahan, menunjukkan empati terhadap kesulitan anak akan sangat membantu. b. Negatif dan melawan Pola perilaku memperlihatkan anak yang keras kepala, negativistik, berusaha
What l Why l How
in Child Neurology
123
Hardiono Pusponegoro
mengontrol orang lain, dan melawan (defiant). Ia mengerjakan hal yang berlawanan dengan yang diminta. Sulit sekali melakukan transisi dari satu aktivitas ke aktivitas lainnya dan cenderung repetitif. Pola motor dan sensoris menunjukkan kecenderungan reaksi berlebihan terhadap sentuhan, atau tekstur, reaksi berlebihan terhadap suara. Pola asuh yang meminta standar tinggi, stimulasi berlebihan, atau menghukum akan memperburuk situasi. Orang tua harus tetap tenang, sabar dan hangat walaupun anak menunjukkan perilaku negatif.
Tipe 2. Under-reactive a. Menarik diri dan sulit untuk bergaul Anak tidak berminat untuk mengeksplorasi lingkungan, benda, atau permainan. Anak terlihat sebagai anak yang diam saja. Anak pra-sekolah tidak begitu suka berbicara. Pola motor dan sensoris memperlihatkan anak kurang reaktif terhadap stimulus suara dan gerak, namun dapat kurang reaktif atau reaksi berlebihan terhadap sentuhan. Perencanaan gerak dan gerakan kurang lancar. Pada anak dengan tipe tersebut, pola asuh orang tua harus memberi stimulus yang kuat dan interaktif. Orang tua yang cenderung diam dan depresif akan memperburuk keadaan. b. Self-absorbed Pola perilaku anak menunjukkan bahwa ia dapat melakukan hal kreatif dan imajinatif tanpa perlu berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang lain. Pola motor dan sensoris anak tersebut menunjukkan kurangnya modulasi terhadap stimulus verbal, tetapi mempunyai kemampuan untuk mengkreasi gagasan sendiri. Pola asuh yang baik bagi anak dengan tipe tersebut adalah langsung ikut terjun dalam aktivitas anak baik verbal maupun non-verbal sehingga membantu anak berkomunikasi dua arah. Orang tua harus seimbang dalam mengintroduksi fantasi dan realitas.
Tipe 3. Gangguan gerak, impulsif Pola perilaku anak dengan gangguan gerak dan impulsif, terlihat sangat aktif dan memerlukan stimulus yang kuat terus menerus. Ia tidak menunjukkan rasa takut. Ia cenderung mendekati orang lain secara fisik, mencari stimulus proprioseptif dengan memeluk kuat-kuat, kadang memukul tanpa sebab atau destruktif. Anakanak ini sering dianggap sebagai anak yang agresif. Ia menyukai musik keras atau suara yang kuat. Pola sensorimotor anak tersebut terlihat sebagai anak yang sangat mencari stimulus sensoris dan melakukan banyak gerak. Ia memerlukan sentuhan yang kuat, dan suara yang kuat. Perencanaan dan modulasi gerak kurang baik. 124
What l Why l How
in Child Neurology
Infant sensory problems
Pola asuh memerlukan orang tua yang hangat dan empati, sekaligus dengan pembatasan yang jelas. Anak boleh mendapat stuimulus yang diperlukannya tetapi orang tua membantu dalam proses modulasi dan regulasi. Orang tua yang cenderung menghukum tanpa batasan yang jelas akan memperburuk situasi.
Tipe 4. Campuran Kategori ini ditujukan untuk anak dengan gangguan pemrosesan sensoris, namun pola perilakunya tidak jelas termasuk dalam ketiga tipe terdahulu. Sebenarnya, diagnosis gangguan modulasi sensoris hampir identik dengan gangguan regulasi. Klasifikasi gangguan modulasi sensoris dikembangan oleh grup terapis okupasi sedangkan klasifikasi gangguan regulasi dikembangkan oleh grup dokter pada waktu yang hampir sama, dan mereka saling tidak mengetahui sampai setelah publikasi.10
Asesmen Biasanya orang tua mencari pertolongan karena anak berperilaku berbeda dibandingkan dengan anak seumurnya, dan perilaku tersebut sangat mengganggu kehidupan keluarga. Hal yang dapat dikerjakan dokter adalah: 1. Memastikan apakah gejala tersebut merupakan gejala suatu penyakit sistemik. 2. Memastikan apakah gejala tersebut merupakan bagian dari diagnosis spesifik sesuai kriteria DSM-V.4 Apakah gejala tersebut dapat merupakan gejala autisme, attention deficit/ hyperactivity disorder, developmental coordination disorder, dan lainlain.4 3. Apabila diagnosis spesifik tersebut tidak dapat ditegakkan, anak dapat dirujuk ke dokter yang berpengalaman, baik dokter saraf anak, psikiatri anak, rehabilitasi medis anak, atau terapis okupasi. Mereka akan melakukan hal berikut: a. Menggunakan kriteria gangguan modulasi sensoris atau gangguan regulasi untuk melengkapi gejala. b. Melakukan pemeriksaan formal dengan instrumen khusus dan pemeriksaan informal dengan anamnesis dan observasi yang teliti. c. Menetapkan latar belakang kemungkinan adanya gangguan modulasi sensoris. d. Melakukan pemerksaan terhadap faktor lingkungan dan pola asuh. e. Menentukan intervensi yang diperlukan dan tujuan dari intervensi. Instrumen yang dapat digunakan pada anak berumur 4-18 bulan misalnya Test of Sensory Functions in Infants (TSFI).11 Pada tes tersebut dilakukan penilaian terhadap fungsi proprioseptif, praksis, integrasi visual-taktil, kontrol okulomotor dan reaksi terhadap stimulus vestibular dengan melakukan 24 macam uji. Dalam pemeriksaan ini yang diuji adalah respons sesaat terhadap berbagai stimulus sensoris yang diberikan dengan sengaja oleh pemeriksa.
What l Why l How
in Child Neurology
125
Hardiono Pusponegoro
Kemampuan modulasi sensoris merupakan suatu proses yang dinamis dan berubah-ubah, sehingga proses penilaian harus dilakukan dalam kurun waktu yang cukup lama. Untuk menilai perilaku adaptif anak dalam kehidupan sehari-hari, orang tua diminta untuk mengisi kuesioner Infant/Toddler Sensory Profile.9 Instrumen ini dapat digunakan untuk anak sejak lahir sampai berumur 3 tahun. Instrumen tersebut terdiri atas 81 pertanyaan untuk anak umur 7-36 bulan. Bayi berumur 0-6 bulan cukup mengisi 36 pertanyaan. Hal yang ditanyakan meliputi kemampuan umum, auditori, visual, taktil, vestibular dan oral sensori. Ayres sendiri menerbitkan Sensory Integration Praxis Test (SIPT), namun saya tidak mempunyai pengalaman dengan instrumen ini.
Intervensi terhadap gangguan modulasi sensoris Intervensi gangguan modulasi sensoris meliputi kerjasama dengan orang tua, modifikasi lingkungan, dan intervensi terhadap anak. Pada anak kecil, pendekatan Developmental, Individual-difference, Relationship-based (DIR) dengan menggunakan teknik Floor-Time dapat menjadi pilihan.12 Orang tua mendapat pelatihan untuk memperbaiki cara mereka berinteraksi dengan anak. Bagi anak yang agak besar, dapat dilakukan terapi integrasi sensoris.7 Walaupun terapi integrasi sensoris telah sangat berkembang, namun penelitian ilmiahnya masih tetap kurang. Terapi integrasi sensoris biasanya diberikan oleh terapis okupasi. Kekurangan yang saya lihat adalah bahwa teknik tersebut tampaknya mudah dilakukan, namun tidak akan memberi hasil bermakna apabila tidak dilakukan secara benar. Intervensi integrasi sensoris sangat berbeda dengan stimulasi pasif. Anak harus terlibat secara aktif untuk menggunakan stimulus sensoris bagi perkembangannya. Kegiatan hanya di ayun-ayun tidak cukup karena kegiatan tersebut tidak memerlukan integrasi sensoris, dibandingkan anak aktif yang mencoba menangkap bola saat diayun. Terapi ini juga meliputi modifikasi lingkungan agar anak mendapat stimulus yang tepat.
Simpulan 1. Diagnosis gangguan modulasi sensoris atau gangguan regulasi belum merupakan diagnosis baku. Namun hal tersebut sering ditemukan pada bayi dan anak serta sangat mengganggu kehidupan sehari-hari. 2. Bagi anak yang menunjukkan gejala gangguan modulasi sensoris harus ditetapkan apakah gejala tersebut merupakan bagian dari penyakit sistemik atau gangguan spesifik misalnya autisme atau ADHD. 3. Bila anak tidak memenuhi kriteria diagnosis formal, dapat dirujuk kepada dokter yang berpengalaman atau terapis okupasi untuk menentukan gangguan dan intervensi yang diperlukan. 126
What l Why l How
in Child Neurology
Infant sensory problems
Daftar pustaka 1.
Miller LJ, Nielsen DM, Schoen SA, Brett-Green BA. Perspectives on sensory processing disorder: A call for translational research. Front Integr Neurosci. 2009;3:22. 2. Ayres AJ. Sensory integration and the child. Los Angeles, CA: Western Psychological Services; 1979. 3. Greenspan SI, Wieder S. Diagnostic classification of mental health and deveopmental disorders of infancy and early childhood (Diagnostic Classification 0:3). Arlington, VA: National Center for Clinical Infant Program; 1994. 4. Zimmer M, Desch L. Sensory integration therapies for children with developmental and behavioral disorders. Pediatrics. 2012;129:1186-9. 5. American Psychiatric Association. Diagnostic and statistical manual of mental disorders: DSM-V. Washington, DC: Amer Psychiatric Publishing; 2013. 6. Williamson GG, Anzalone ME. Sensory integration and self-reguation in infants and toddler: Helping very young children interact with their environtment. Edisi pertama. Washington, DC: Zero to Three; 2001. 7. Schaaf RC, Schoen SA, Roley SS, Lane SJ, Koomar J, May-Benson TA. A frame of reference for sensory integration. Dalam: Kramer P, Hinojosa J, penyunting. Frames of reference for pediatric occupational therapy. Philadelphia: Wolters Kluwer; 2010. 8. Lane SJ, Lane J. Sensory modulation. Dalam: Bundy AC, Murray EA, penyunting. Sensory integration theory and practice. Philadelphia: F.A. Davis Company; 2002. h. 101-22. 9. Dunn W. Infant/toddler sensory profile. User manual. San Antonio, TX: The Psychological Corporation; 2002. 10. Miller LJ, Robinson J, Moulton D. Sensory modulation dysfunction. Dalam: DelCarmenWiggins R, Carter A, penyunting. Handbook of infant, toddler, and preschool health assessment. New York, NY: Oxford University Press; 2004. h. 247-70. 11. DeGangi GA, Greenspan SI. Test of sensory functions in infants (TSFI) manual. Los Angeles, CA: Western Psychological Services; 1989. 12. Utama DK. Workshop developmental, individual-difference, relationship-based (DIR). Jakarta; 2014.
What l Why l How
in Child Neurology
127
CABANG DKI JAKARTA
UKK NEUROLOGI IDAI IDAI CABANG DKI JAKARTA
What l Why l How in Child Neurology
Penyunting: Hardiono D. Pusponegoro Dwi Putro Widodo Irawan Mangunatmadja Setyo Handryastuti Amanda Soebadi
Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta 2014
Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang memperbanyak, mencetak dan menerbitkan sebagian atau seluruh buku dengan cara dan dalam bentuk apapun juga tanpa seizin penulis dan penerbit
Diterbitkan oleh: Ikatan Dokter Anak Indonesia Cabang DKI Jakarta Tahun 2014
ISBN 978-602-98137-9-1
Daftar Penulis
Dr. Amanda Soebadi, SpA IDAI Cabang DKI Jakarta Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta DR. Dr. Dwi Putro Widodo, SpA(K), MMed(ClinNeuroscie) IDAI Cabang DKI Jakarta Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta DR. Dr. Setyo Handryastuti, SpA(K) IDAI Cabang DKI Jakarta Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta DR. Dr. Erny, SpA(K) IDAI Cabang Jawa Timur Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Wijaya Kusuma Surabaya DR. Dr. Irawan Mangunatmadja, SpA(K) IDAI Cabang DKI Jakarta Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta DR. Dr. Hardiono D. Pusponegoro,Sp.A(K) IDAI Cabang DKI Jakarta Divisi Neurologi - Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia - RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta What l Why l How
in Child Neurology
ix
Daftar Isi
Kata Sambutan Ketua IDAI Cabang DKI Jakarta.......................................... iii Kata Sambutan Ketua Panitia Pelaksana ....................................................... v Kata Pengantar............................................................................................. vii Susunan Panitia.......................................................................................... viii Daftar Penulis............................................................................................... ix
Brain development: A natural journey with challenges along the way................ 1 Amanda Soebadi Diagnosis dan tata laksana ensefalopati hipoksik-iskemik pada neonatus..... 15 Dwi Putro Widodo Prematurity: It doesn’t end when the baby is discharged.................................. 23 Setyo Handryastuti Neonatal seizures: When to suspect epilepsy................................................... 37 Setyo Handryastuti Febrile seizure trilogy: Not always as easy as it seems..................................... 48 Erny First unprovoked seizure dan epilepsi anak yang mudah diobati..................... 56 Irawan Mangunatmadja What to do when you find a child with speech and language delay.................. 70 Hardiono D. Pusponegoro Nutrition in golden period: Focus on micronutrients........................................ 80 Aryono Hendarto
What l Why l How
in Child Neurology
xi
Vision: An often neglected window into the child’s brain ................................ 87 Rita S Sitorus Masalah neurologi pada leukemia anak ....................................................... 93 Elisabeth Siti Herini, Eddy Supriyadi Ensefalopati uremik dan ensefalopati hipertensif........................................ 102 Partini Pudjiastuti Trihono Ensefalopati sepsis................................................................................ 110 Msy Rita Dewi A Infant sensory problems............................................................................... 117 Hardiono Pusponegoro How to recognize dyslexia and writing problems .......................................... 128 Purboyo Solek
xii
What l Why l How
in Child Neurology