EDISI 01 - 2015
made in indonesia Dirgantara Indonesia Info Global Pudak Scientific Ninda Pratama Citra Shipyard Propan Marine Caputra Mitra Sejati Javanese Boat Great Asia Link ED Aluminium Satnusa Persada DSBC Indonesia Mega Andalan Kalasan Rick Hanes Cybreed Wisanka Tiga Fasa Internasional Bintang Toedjoe Fania Food
teknologi
Alat Deteksi dan Terapi Kanker Jogja Digital Valley
opini
Sri Martono
APA & SIAPA
Petrus Tedja Hapsoro
Unjuk Kemampuan
Industri Dalam Negeri Show Off The Local Industry’s Capability
KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
www.kemenperin.go.id
dari meja redaksi
Daftar Isi
Upaya memacu pertumbuhan industri dan ekonomi nasional tidak hanya dilakukan dengan mengandalkan kegiatan eskpor saja. Penguasaan pasar dalam negeri juga memegang peranan penting bagi peningkatan pertumbuhan industri dan ekonomi nasional.
Aktualita
Potensi pasar dalam negeri Indonesia sangat besar. Dengan jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 240 juta jiwa dan kegiatan pembangunan yang terus meningkat, tentunya akan banyak dibutuhkan berbagai macam produk. Agar produk nasional bisa menguasai pasar dalam negeri, pemerintah telah mendorong kementerian/ lembaga dan BUMN/BUMD untuk menggunakan produk dalam negeri, terutama dalam mengerjakan proyek-proyek yang didanai dari APBN. Kebijakan pemerintah mendorong pengunaan produk dalam negeri itu tertuang dalam Program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Program P3DN diharapkan dapat melindungi dan memberikan prioritas kepada industri nasional untuk bersaing secara efektif di dalam pasar negeri sendiri dari serbuan barang impor pada era perdagangan bebas. Pasar dalam negeri Indonesia yang besar diyakini dapat menjadi katup penyelamat bagi industri dalam negeri dengan berkonsentrasi pada pemenuhan pasar domestik Upaya pemerintah untuk mendorong peningkatan penguasaan pasar dalam negeri oleh industri nasional melalui penerapan program P3DN ini kami angkat dalam rubrik aktualita KINA Edisi 01-2015. Dalam edisi ini, juga ditampilkan sejumlah produk karya anak bangsa yang mampu merambah pasar internasional dan juga banyak diminati di pasar dalam negeri. Produk-produk tersebut mampu memberikan warna baru dalam khasanah produk nasional. Tidak lupa juga di KINA edisi ini, ditampilkan beberapa temuan dan kreasi anak bangsa di bidang teknologi untuk menunjukkan kepada pembaca kalau Indonesia juga mampu berbicara dalam bidang teknologi. Apa yang tampilkan dalam KINA Edisi 01-2015 ini diharapkan dapat menambah wawasan pembaca serta menjadi bahan dan masukan bagi instansi-instansi terkait untuk terus mendorong peningkatan pertumbuhan industri nasional. The efforts to stimulate the industry growth and the national economy can not only rely on export activities solely. The domination on domestic market has also played an important role for the industry growth and the national economy. The domestic market potential is huge. With the population of over 240 million people along with the development activities continuing to increase, a large number and variety of products are needed. To ensure the national products are able to dominate in domestic market, the government has encouraged the ministries/institutions, and state/local government enterprises to prioritize the use of domestic products, especially for the projects financed by the state/local government budget. The government policies to promote the use of domestic products has been stipulated in the Program of Increased Use of Domestic Product (P3DN). By the P3DN program, it is expected to protect and give priority to the national industries to be able to compete effectively in domestic market from the invasion of imported products in the era of free trade. The huge domestic market is believed to be a safety valve for the domestic industries by concentrating on fulfilling the domestic market The government efforts to increase the domestic market domination by the national industries through the implementation of P3DN program is explored in our Aktualita rubric in the first edition of KINA 2015.
Contents
Unjuk Kemampuan Industri Dalam Negeri
made in indonesia Dirgantara Indonesia 8 Info Global 10 Pudak Scientific 12 Ninda Pratama 14 Citra Shipyard 16 Propan Marine 18 Caputra Mitra Sejati 20 Javanese Boat 22 Great Asia Link 24 Dirgantara Indonesia 26 ED Aluminium 28 Satnusa Persada 30 DSBC Indonesia 32 Mega Andalan Kalasan 34 Rick Hanes 36 Cybreed 38 Wisanka 40 Tiga Fasa Internasional 42 Bintang Toedjoe 44 Fania Food 46
teknologi Alat Deteksi dan Terapi Kanker
48
Jogja Digital Valley
52
opini Sri Martono Petrus Tedja Hapsoro
Not forgetting, this edition of KINA also demonstrates some findings and creations of the Indonesian in the field of technology to show to the reader that Indonesia is also able to take a role in terms of technology. What have been displayed in the first edition of KINA 2015 is expected to be able to broaden the reader’s insight as well as to be inputs for relevant parties to continuously promote the growth of the national industries.
MADE IN INDONESIA Dirgantara Indonesia Info Global Pudak Scientific Ninda Pratama Citra Shipyard Propan Marine Caputra Mitra Sejati Javanese Boat Great Asia Link ED Aluminium Satnusa Persada DSBC Indonesia Mega Andalan Kalasan Rick Hanes Cybreed Wisanka Tiga Fasa Internasional Bintang Toedjoe Fania Food
TEKNOLOGI
Alat Deteksi dan Terapi Kanker Jogja Digital Valley
OPINI
Sri Martono
APA & SIAPA
Petrus Tedja Hapsoro
Unjuk Kemampuan
Industri Dalam Negeri Show Off The Local Industry’s Capability
54
APA & SIAPA
In this edition, a number of products made of Indonesian people that are able to compete globally, as well as much in demand by the domestic market are also displayed. These products are able to provide a new color in the repertoire of the national products.
EDISI 01 - 2015
4
REDAKSI Pemimpin Umum: Syarif Hidayat | Pemimpin Redaksi: Hartono | Wakil Pemimpin Redaksi : Siti Maryam | Redaktur Pelaksana: Habibi Yusuf Sarjono | Editor: Ni Nyoman Ambareny, Feby Setyo Hariyono | Photografer: J. Awandi | Anggota Redaksi: Intan Maria, Manangi Manalu, Titin Fauziyah Rochmawati, Djuwansyah, Krisna Sulistiyani Alamat Redaksi Pusat Komunikasi Publik, Gedung Kementerian Perindustrian, Lt 6, Jl. Gatot Subroto Kav. 52-53, Jakarta Telp: (021) 5255609, 5255509, Pes. 4074, 2648. Redaksi menerima artikel, opini, surat pembaca. Setiap tulisan hendaknya diketik dengan spasi rangkap dengan panjang naskah 3.000-6.000 karakter, disertai identitas penulis. Naskah dikirim ke redaksi Majalah KINA Kementerian Perindustrian. Majalah ini dapat diakses melalui: www.kemenperin.go.id
58
AKTUALITA
Unjuk Kemampuan
Industri Dalam Negeri Sektor industri masih menjadi penggerak utama pertumbuhan ekonomi nasional. Hal ini tidak terlepas dari kemampuan industri nasional dalam menghasilkan produk-produk berkualitas.
S
elain menembus pasar ekspor, saat ini banyak industri dalam negeri yang telah mampu memproduksi barang-barang yang diperlukan di dalam negeri. Meskipun demikian, di dalam negeri masih ditemukan adanya produk-produk impor yang sebenarnya sudah bisa bisa diproduksi oleh industri dalam negeri. Serbuan produk-produk impor itu tentu saja akan memberikan dampak negatif kepada perekonomian nasional. Selain memicu timbulnya defisit neraca perdagangan, banyaknya produk impor juga dapat menggerus peran sektor industri sebagai penggerak pertumbuhan ekonomi nasional. Untuk mencegah dampak negatif tersebut, Kementerian Perindustrian telah menyiapkan dan menjalankan sejumlah terobosan dan kebijakan untuk mendorong penggunaan produk dalam negeri. Menteri Perindustrian Saleh Husin mengatakan, perangkat aturan yang mengatur penggunaan produk dalam negeri sebenarnya secara komprehensif telah diimplementasikan, namun memang dirasa belum
4
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
berjalan sesuai dengan harapan. “Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Perindustrian beserta peraturan turunannya secara tegas telah menyatakan kewajiban penggunaan produk dalam negeri,” ujarnya. Secara detail, hal tersebut juga telah diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah. Agar aturan itu bisa diimplementasikan dengan baik, ujar Menperin, dalam jangka pendek, akan dibangun nota kesepahaman antara Kementerian Perindustrian dengan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk melakukan audit penggunaan barang atau jasa dalam negeri dalam setiap pengadaan barang/jasa yang menggunakan APBN. “Hal tersebut sejalan dengan Peraturan Menteri Perindustrian Nomor 2 tahun 2014 tentang Pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,” papar
Menperin Saleh Husin. Tidak hanya penggunaan anggaran di lingkungan pemerintah, ungkapnya, pemerintah juga akan monitor belanja barang atau jasa yang tidak menggunakan APBN/APBD sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Menteri Perindustrian nomor 3 tahun 2014 tentang Pedoman Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri Dalam Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah Yang Tidak Dibiayai Dari Anggaran Pendapatan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah. Selain itu, sejalan dengan penegakan peraturan terkait penggunaan produk dalam negeri, monitoring pemberian rekomendasi impor juga akan terus dilakukan dengan koordinasi lintas instansi terkait berikut penegakan hukum yang tegas bagi pelanggaran yang dilakukan. Menperin juga melontarkan sanksi yang diberikan bagi pejabat pengadaan di lingkungan instansi pemerintah yang masih belum menerapkan P3DN, sesuai UU nomor 3 tahun 2014 pasal 86 ayat (2). “Kepada mereka yang belum menerapkan P3DN
AKTUALITA akan diberikan sanksi mulai dari peringatan tertulis, denda administratif, sampai dengan pemberhentian dari jabatan pengadaan barang/jasa,” jelasnya.
Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) Terkait sektor industri yang telah memenuhi persyaratan untuk program P3DN, Menperin Saleh Husin mengatakan bahwa Kemenperin telah melakukan verifikasi terhadap sektor-sektor industri yang ada di Indonesia. Dari hasil verifikasi tersebut, industri yang lebih banyak menggunakan bahan baku luar dengan nilai tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) di atas 40 persen, antara lain sebagai berikut: Pertama, industri peralatan elektronika dengan TKDN sebesar 41 persen, sehingga kandungan luar mencapai 59 persen. Kedua, industri mesin dan peralatan pertambangan dengan TKDN sebesar 42,72 persen, sehingga kandungan luar mencapai 57,28 persen. Ketiga, industri alat berat, konstruksi dan material handling dengan TKDN sebesar 45,57 persen, sehingga kandungan luar mencapai 54,43 persen. Keempat, industri alat transportasi dengan TKDN sebesar 47,80 persen, sehingga kandungan luar mencapai 52,20 persen. Kelima, industri sarana pertahanan dengan TKDN sebesar 48 persen, sehingga kandungan luar mencapai 52 persen. Keenam, industri logam dan barang logam dengan TKDN sebesar 49,62 persen, sehingga kandungan luar mencapai 50,38 persen. Ketujuh, industri mesin dan peralatan pabrik dengan TKDN sebesar 53,11 persen, sehingga kandungan luar mencapai 46,89 persen. Dan kedelapan, industri bahan bangunan dan konstruksi dengan TKDN sebesar 61,61 persen, sehingga kandungan luar mencapai 38,39 persen.
Kebangkitan Industri Nasional Dengan adanya ketentuan persyaratan TKDN dalam implementasi program P3DN, diharapkan
dapat menjadi momentum kebangkitan industri nasional. Kemampuan yang dimiliki industri dalam negeri dalam memproduksi produk-produk tertentu hendaknya dimanfaatkan secara optimal yang dimulai dari pengadaan barang/jasa pemerintah. Salah satu industri yang memiliki potensi besar menyuplai pengadaan barang/jasa pemerintah secara value adalah industri penunjang migas. Industri ini membutuhkan banyak jenis produk pendukung produksi dan operasi. “Target investasi industri ini pada tahun 2015 adalah sebesar US$22,2 milyar. Paling tidak, sekitar 40-60 persen harus mampu ditopang oleh industri pendukung di dalam negeri,” jelas Saleh Husin. Selain itu, ada juga industri tekstil, semen, keramik dan industri penunjang infrastruktur lainnya yang juga berpotensi mendongkrak penggunaan produk dalam negeri. Agar semakin banyak produk yang bisa masuk dalam program P3DN, Kemenperin juga terus berusaha meningkatkan jumlah produk dan sektor industri yang memiliki TKDN tinggi dengan melakukan sosialisasi kepada industri akan pentingnya TKDN dalam pengembangan industri. “Selain itu, dengan perangkat aturan yang mensyaratkan TKDN sebagai salah satu syarat utama dalam pengadaannya, pelaku industri akan didorong melakukan verifikasi TKDN baik melalui jalur mandiri, maupun memanfaatkan fasilitas yang disediakan oleh Kementerian Perindustrian,” lanjut Menperin. Dijelaskan juga bahwa Kemenperin telah berusaha untuk meningkatkan dan mengoptimalkan penggunaan produk dalam negeri pada sektor ketenagalistrikan. Menurut Menperin, peningkatan penggunaan produk dalam negeri telah dimulai sejak Program Pembangunan Ketenagalistrikan 10.000 MW Tahap I dan Tahap II. Namun, pada kedua program tersebut capaian penggunaan produk dalam negeri masih jauh dari yang diharapkan, yaitu di bawah 20 persen. Pada program ketenagalistrikan 35.000 MW, saat ini, Kementerian Perindustrian kembali
mendorong para pihak untuk memberikan dukungan kepada industri dalam negeri untuk mengambil peran serta secara aktif, dengan mengacu pada Peraturan Menteri Perindustrian No. 54 Tahun 2012 tentang Pedoman Penggunaan Produk Dalam Negeri untuk Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Adapun beberapa kebijakan yang ditetapkan oleh Kementerian Perindustrian saat ini antara lain adalah membentuk konsorsium industri mesin/peralatan pendukung dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan 35.000 MW “Selain itu, kami juga melakukan sertifikasi TKDN industri mesin/peralatan pendukung dalam pembangunan infrastruktur ketenagalistrikan 35.000 MW,” jelas Saleh Husin. Lebih lanjut, kemampuan industri dalam negeri tersebut diharapkan dapat dimanfaatkan lebih luas dalam pengadaan barang/jasa di luar instansi pemerintah maupun masyarakat umum. Dengan demikian, industri nasional diharapkan dapat bangkit menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Kemenperin Prioritaskan Sejumlah Sektor Industri Hingga saat ini, peran sektor industri terhadap perekonomian nasional cukup besar. Hal ini dapat dilihat dari kontribusi sektor industri terhadap pertumbuhan ekonomi nasional yang terus meningkat setiap tahunnya. Agar peran sektor industri dalam perekonomian bisa meningkat lagi, Kementerian Perindustrian terus berusaha memacu kinerja sektor-sektor industri di dalam negeri. Sejumlah sektor industri pun telah diprioritaskan Kemenperin untuk ditingkatkan kinerjanya sehingga dapat memberikan kontribusi yang lebih besar lagi bagi perekonomian nasional. Menurut Menperin Saleh Husin, sejalan dengan PP nomor 14 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035, industri yang akan diprioritaskan dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni industri andalan, industri pendukung, dan industri hulu. Industri andalan meliputi: (1) industri pangan, (2) industri farmasi, kosmetik, dan alat kesehatan, (3) industri tekstil, kulit, alas kaki, dan aneka, (4) industri alat transportasi, (5) industri elektronika dan telematika, serta (6) industri pembangkit energi. Sementara itu, yang termasuk dalam kelompok industri pendukung yaitu industri barang modal, komponen, bahan penolong, dan jasa industri. Sedangkan industri yang masuk dalam industri hulu adalah: (1) industri hulu agro, (2) industri logam dasar dan bahan galian bukan logam, serta (3) industri kimia dasar berbasis migas dan batubara. Adapun langkah yang akan dilakukan Kemenperin untuk memacu pertumbuhan industri-industri yang diprioritaskan tersebut antara lain menyediakan infrastruktur industri di dalam dan di luar kawasan industri dan atau di dalam kawasan peruntukkan industri. “Kami juga menetapkan kebijakan dan regulasi yang mendukung iklim usaha yang kondusif bagi sektor industri dan menyediakan alokasi dan kemudahan pembiayaan yang kompetitif untuk pembangunan industri,” pungkas Saleh Husin.
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
5
AKTUALITA
Show off
The Local Industry’s Capability The industrial sector has become a major driving force of the national economic growth. It is inseparable from the capability of national industries to produce high quality products.
I
n addition to producing the required goods to meet the domestic demand, many domestic industries have been able to penetrate the export markets. Nevertheless, in the country there are many imported products that actually can be produced by the domestic industry. The invasion of imported products, of course, will cause a negative impact to the national
6
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
economy. Besides triggering the onset of trade deficit, a large number of imported products can erode the role of the industrial sector as a driving force of the national economic growth. To prevent the negative impact, the Ministry of Industry has set up and carried out a number of breakthroughs and policies to encourage the use of domestic products. The Minister of Industry Saleh Husin said, the
regulation governing the use of domestic products in fact have been comprehensively implemented, but has not run as expected. “The Law Number 3, 2014 regarding Industry and its derivatives regulation has expressly stated the obligation to the use of domestic products,” he said. In detail, it has also been stipulated in Presidential Decree No. 4 of 2015 about the Fourth Amendment to Presidential Regulation No. 54 Year 2010 regarding the Government Procurement of Goods/Services. In order to implement the regulation properly, Minister of Industry explained, in the short term, there will be established the memorandum of understanding between the Ministry of Industry with the Financial and Development Supervisory Agency (BPKP) to audit the use of domestic goods or services in any procurement of goods/services using the state budget. “This is in line with the Minister of Industry Decree No. 2, 2014 regarding The Guidelines for the Increased Use of Domestic Products in the Government Procurement of Goods/Services,” said Ministry of Industry Saleh Husin. Not only the use of the budget in the internal government, he explained, the government will also control the spending on goods or services that use non state budget funds as stipulated in the
AKTUALITA Ministry of Industry Decree No. 3, 2014 regarding the Guidelines for the Increased Use of Domestic Products in Government Procurement of Goods/ Services that Do Not financed by the state budget or the local government budget. Moreover, in line with the enforcement of regulations related to the use of domestic products, monitoring the provision of recommendation of import will continue to be carried out by coordination across relevant agencies including the strict law enforcement for offenders. The minister will also impose sanctioned to the proqurement officials within internal government agencies still that do not implement P3DN, according to Law No. 3, 2014 Article 86 paragraph (2). “To those who have not implemented P3DN will be given sanctions ranging from a written warning, administrative fines, up to dismissal from the post of procurement of goods/services,” he explained. The Level of Local Content (LCL/TKDN) Related to the industry sectors which has met the requirements for P3DN program, The Minister of Industry Saleh Husin said that the Ministry of Industry has carried out verification to industry sectors in Indonesia. From the verification process, the industries using raw materials with local content level (LCL) above 40 percent, are as follows: First, electronic equipment industry with LCL more than 41 percent Second, machinery and mining equipment industry with LCL of 42.72 percent Third, heavy equipment industry, construction and material handling industry with LCL of 45.57 percent. Fourth, transports industry with LCL of 47.80 percent. Fifth, defense facility industry with LCL of 48 percent. Sixth, metals and metal goods industry with DCL of 49.62. Seventh, machinery and manufacturer equipments industry with LCL of 53.11 percent. And eighth, building materials and construction industry with DCL of 61.61 percent.
supporting industries which has the potential to boost the use of domestic products. In order more products can join the P3DN program, the Ministry of Industry has also continued to increase the number of products and industry sectors which have high LCL, by carrying out campaign to the industries regarding the importance of LCL in the industry development. “Moreover, with the regulation that requires LCL one of the primary requirements in procurement, industry players will be encouraged to carry out verification of LCL either through independent ways, as well as utilize the facilities provided by the Ministry of Industry,” explained Minister of Industry. He also explained that the Ministry of Industry has tried to improve and optimize the use of domestic products in electricity sector. According to him, the increased use of domestic products has been started since the Electrification Development Program of 10.000 MW Stage I and Stage II. However, of the both programs the achievement of the use of domestic product is still far from expected, which is less than 20 percent. On the electrification program of 35,000 MW, currently, the Ministry of Industry has continued to strongly encourage to the parties to support the domestic industry to take an active role, by referring to the Minister of Industry Decree No. 54, 2012 regarding the Guidelines for the Use of Domestic Product to the Development of Electricity Infrastructure. As for many policies stipulated by the Ministry of Industry today, among others, is by establishing the consortium of machinery industry/supporting equipments in the development of electricity infrastructure of 35,000 MW. “Moreover, we also carry out LCL certification for machinery industry/supporting equipment in the development of electricity infrastructure of 35,000 MW,” explained Saleh Husin. Furthermore, the capability of domestic industries is expected to be widely used in the procurement of goods/services outside of government agencies and the general public. Therefore, the national industry is expected to rise up and to host in their own country.
The Ministry of Industry Prioritizes a Number of Industry Sectors Until now, the role of the industry sector to the national economy is quite significant. It can be seen from the steady increase of the contribution of industry sector to national economic growth every year. In order the role of industry sector in the economy can be further increased, the Ministry of Industry has continued to strive the performance of industry sectors in the country. A number of industry sectors have also been prioritized by the Ministry of Industry to be enhanced their performance so that they can give greater contribution to the national economy. According to Minister of Industry, Saleh Husin, in line with the Government Regulation Number 14, 2015 regarding the Master Plan of National Industry Development (RIPIN) Year 2015-2035, the prioritized industries will be grouped into three groups, namely industry mainstay, supporting industry and the upstream industry. The mainstay industries include: (1) food industry, (2) pharmaceutical industry, cosmetics, and medical equipments, (3) textiles, leather, footwear, and miscellaneous, (4) transportation industry, (5) electronics and telematics industry and (6) energy generator industry. Meanwhile, the industries grouped in supporting industries consist of: capital goods industry, components industry, auxiliary materials industry , and services industry. While the upstream industries consist of: (1) upstream agro industry, (2) basic metal and nonmetallic mining materials industry, and (3) basic chemical based on oil, gas and coal industry. The steps to be taken by the Ministry of Industry to spur the growth prioritized industries, among others, by providing the industry infrastructure within and outside the industrial estates or in the industrial allotments. “We also impose the policies and regulations to create the conducive business climate in industry sectors and provide the allocation and the easiness of competitive financing to the industry development,” explained Saleh Husin.
Revitalization of National Industry With the provision of local content requirements in the implementation P3DN program, it is expected to be the momentum of the revival of national industry. The capability of domestic industry in producing certain products should be used optimally starting from the government procurement of goods/services. One of the industries having huge potential to supply the goods/services through the government procurement in terms of value is the supporting industry of oil and gas. This industry requires many types of products to support the production and operation. “Investment target of this industry in 2015 reachs US $ 22.2 billion. At least, about 40-60 percent must be able to be supported by the supporting industry in the country, “said Saleh Husin. In addition, there are also the textile industry, cement, ceramics and other infrastructure
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
7
Made in Indonesia
Lepas Landas
Kebangkitan Industri Dirgantara Walaupun sempat mengalami jatuh bangun akibat terpaaan krisis ekonomi nasional dan global, perusahaan perakitan pesawat terbang satu-satunya di tanah air PT Dirgantara Indonesia (DI) dapat tetap eksis di dunia industri pesawat terbang dewasa ini.
H
al itu terjadi karena perusahaan pelat merah ini memiliki keunggulan dalam melakukan rancang bangun, tidak hanya di bidang pesawat terbang tapi juga di bidang lainnya, termasuk peralatan pendukung penerbangan, persenjataan, kendaraan militer, dan lain-lain. Dengan kemampuan melakukan rancang bangun itulah perusahaan mampu melakukan berbagai terobosan produk dalam rangka memecahkan berbagai persoalan ataupun memenuhi kebutuhan atau permintaan yang ada, tidak hanya di bidang penerbangan tapi juga di bidang lainnya. Demikian disampaikan Direktur Teknologi dan Pengembangan PT DI, Andi Alisjahbana kepada majalah KINA di kantornya belum lama ini. Dengan kemampuan rancang bangun itu pula, sejak tahun 2000 PT DI mampu melakukan ekspor komponen berbagai jenis pesawat secara reguler ke mancanegara. Beberapa komponen pesawat itu dipasok kepada perusahaan perakitan pesawat terkemuka di dunia seperti Airbus Industrie yang bermarkas di Tolouse, Prancis untuk pesawat A-320 dan A-321, bahkan untuk pesawat jumbo jet terbesar saat ini A-380, dan Airbus Helicopters yang memproduksi berbagai jenis helikopter. Andi mengatakan, perusahaan kini juga sedang mengembangkan pesawat kecil berpenumpang 19 orang yang diberi nama N219. Pesawat hasil
8
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
rancangan 100% para ahli penerbangan Indonesia ini prototipenya akan segera selesai dalam waktu dekat ini dan pada sekitar akhir tahun akan dilakukan penerbangan perdana. Setelah itu, pesawat akan segera memasuki serangkaian uji kelaikan terbang pada tahun 2016-2017. Jika sertifikat kelaikan terbang dari Kementerian Perhubungan sudah diperoleh, PT DI akan segera melakukan produksi komersial untuk memenuhi pesanan pembeli. Sejauh ini sudah ada sejumlah perusahaan penerbangan domestik yang tertarik untuk membeli N219, antara lain Avia Star, TSE (Trans Surya Express), NBA, Trigana, dan lain-lain. Mereka sudah menandatangani Memory of Understanding (MoU) – keinginan untuk membeli – sebanyak 200 unit. “Kami telah menyelesaikan desainnya dan sekarang sedang dikerjakan pembuatan 5.000 jenis komponen struktur pesawat dimana 3.000 komponen di antaranya sudah selesai dikerjakan. Sejumlah komponen dibuat sendiri oleh PT DI, sejumlah lainnya disubkontrakkan kepada perusahaan lain di dalam negeri,” tutur Andi sambil menambahkan komponen yang masih diimpor terdiri dari komponen avionik, mesin dan bahan baku logam berupa alumunium alloy. Pesawat kecil ini sengaja dirancang untuk memenuhi kebutuhan negara kepulauan seperti
Indonesia sebagai jembatan udara yang dapat menghubungkan satu pulau dengan pulau lainnya, khususnya di wilayah terpencil yang tidak membutuhkan landasan yang panjang dan bagus. Karena itu, pesawat ini sangat cocok untuk melayani rute-rute penerbangan perintis dari dan ke berbagai daerah di pelosok tanah air. Pesawat N219 memiliki beberapa keunggulan yang tidak dimiliki pesawat lain yang sejenis. Pertama, pesawat ini harganya lebih murah dibandingkan pesawat sejenis lainnya dan merupakan pesawat buatan dalam negeri hasil rancang bangun putra putri terbaik bangsa Indonesia. Perkiraannya, pesawat ini akan dijual pada harga US$5-6 juta per unit. Kedua, N219 yang digerakkan dua mesin turboprop buatan pabrik mesin pesawat asal Kanada, Pratt & Whitney PT6 memiliki kapasitas angkut beban yang lebih besar, yaitu 2,5 ton atau 500 kg lebih berat dibandingkan dengan daya angkut beban pesawat sejenis lainnya. Ketiga, tingkat kandungan komponen lokal (local content) mencapai 60% bahkan bisa sampai 80% jika unsur hak kekayaan intelektual (HAKI) dimasukan dalam perhitungan kandungan lokal tersebut. Dengan tingkat kandungan lokal yang relatif tinggi tersebut, maka kegiatan layanan purna jual (after sales service) pun dapat dilakukan sepenuhnya di dalam negeri. Hal ini pun membuka peluang bisnis baru bagi para pelaku usaha yang terkait dengan penerbangan. Menurut Andi, dalam hal pemasaran N219, PT DI untuk sementara hanya akan fokus di pasar dalam negeri terlebih dahulu. Setelah ketangguhan pesawat dapat dibuktikan oleh para operator penerbangan di dalam negeri, maka perusahaan berencana untuk mulai mengekspor N219 ke pasar mancanegara, khususnya Afrika. “Kalau proyek N219 sukses, PT DI ingin kembali menggarap proyek pesawat dengan 50 penumpang ke atas dengan tetap menggunakan mesin turboprop. Selain itu, PT DI juga sudah menandatangani kesepakatan dengan PT Regio Aviasi Indonesia (RAI) milik Ilham Habibie untuk memproduksi pesawat R-80 hasil rancangan PT RAI,” tutur Andi.
Made in Indonesia
I
t happened since PT DI (the state-owned company) has the competitive advantage for design competence, not only in aircraft industry but also in other fields, including flight support equipment, weapons, military vehicles, and others. With its design competence the company has been able to conduct a variety of breakthrough products in order to solve the problems or meet the existing needs or demand, not only in aviation but also in other fields. This was reported by the Director of Technology and Development of PT DI, Andi Alisjahbana to Kina Magazine in his office recently. Also, with its design competence, since the year 2000 PT DI has been able to export components of different types of aircraft to foreign countries regularly. Some aircraft components have been supplied to the world’s leading aircraft assembly companies such as the Airbus Industry, based in Tolouse, France for aircraft A-320 and A-321, even for the currrent largest jumbo jet A-380, and Airbus Helicopters producing various kinds of helicopter. Andi said that the company is now also developing small aircraft with 19 passengers named N219. The prototype of aircraft 100% fully designed by Indonesian aircraft experts will no longer be completed and at around the end of the year will performed inaugural flight. Afterwards, the aircraft will immediately enter a series of airworthiness test in 2016-2017. As the certificate of airworthiness from the Ministry of Transportation has been obtained, PT DI will soon undertake commercial production to meet customer orders. So far there are a number of domestic airlines interested in buying N219, among others Avia Star, TSE (Trans Surya Express), NBA, Trigana, and others. They had signed a Memory of Understanding (MoU) –the desire to buy – for about 200 units. “We have completed the design and now we have been manufacturing 5,000 kinds of aircraft structural components in which 3,000 of them had been completed. Some components are made by PT DI itself, and others are subcontracted to other domestic companies, “explained Andi while adding that components that are still imported consist of avionics components, engine and metal raw materials that is aluminum alloy. This small aircratf was intentionally designed to meet the needs of an archipelago countries like Indonesia as an air bridge to connect between islands, especially in remote areas that do not
Take Off
The Revival of Aerospace Industry Although experiencing ups and downs due to the blow of national and global economic crisis, PT Dirgantara Indonesia (DI), the only domestic assembling aircraft company can still survive in the world aircraft industry today.
require a long and good runway. Therefore, this aircraft is suitable to serve the aviation pioneer routes from and to various areas in the corners of the country. The Aircraft N219 has some advantages compared to other similar aircrafts. First, this aircraft is cheaper than other similar aircrafts and is a domestically made aircraft which is designed by the best domestic experts. It is estimated that the selling price of it is about US$5-6 million per unit. Secondly, N219 powered by two turboprop engines manufactured by aircraft engines company of Canada, Pratt & Whitney has a greater load carrying capacity that is 2.5 tons or 500 kg heavier than the load carrying capacity of other similar aircrafts.
Third, the level of local content has reached 60% even up to 80% if an element of intellectual property rights (IPR) is included in the calculation of the local content. With relatively high local content level, then the after-sales service activities can be entirely carried out in the country. It also opens new business opportunities for the businesses associated with aviation business. According to Andi, in terms of marketing of N219, currently PT DI will be focusing on domestic market. After aircratf toughness and performance can be proved by the domestic airline operators, the company will start exporting the N219 to overseas markets, especially Africa. “If the project of N219 is successful, PT DI will go back to work on a project with 50 passengers and up by keep using turboprop engines. In addition, PT DI has already signed an agreement with PT Regio Aviation Indonesia (RAI) owned by Ilham Habibie to produce R-80 aircraft designed by PT RAI, “explained Andi.
informasi | information » PT Dirgantara Indonesia
Jl. Pajajaran No. 154 Bandung 40174, Indonesia Phone: +6222-6002572 Fax: +6222-6031903 Website: www.indonesian-aerospace.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
9
Made in Indonesia
Avionik Pesawat Tempur Cita Rasa Global Keberadaan alat utama sistem pertahanan (alutsista), seperti pesawat tempur canggih, belum menjamin suatu negara bisa mengamankan wilayahnya dengan baik. Diperlukan juga industri pendukungnya.
B
erangkat dari pengalaman embargo yang dilakukan negara produsen yang membuat Indonesia kesulitan mendapatkan suku cadang untuk sejumlah pesawat tempurnya, PT Infoglobal Teknologi Semesta memberikan solusi melalui produksi perangkat avionik untuk pesawat tempur. Avionik merupakan peralatan di sebuah pesawat tempur yang berhubungan dengan sistem navigasi, komunikasi, dan persenjataan. “Kami telah mampu memproduksi perangkat avionik pesawat tempur yang sudah tidak diproduksi lagi oleh vendor utama walaupun pesawat masih laik terbang,” ujar Ahmad Fauzi, General Manager PT Infoglobal Teknologi Semesta. Adapun peralatan avionik yang sudah diproduksi Infoglobal dan digunakan oleh pihak Tentara Nasional Indonesia (TNI) antara lain Control Display Unit (CDU). Alat ini merupakan perangkat avionik digital yang berfungsi menampilkan data navigasi pada pesawat tempur F-5 E/F Tiger secara real time, mengontrol Inertial Navigation Unit (INU) untuk melakukan aligment serta menentukan waypoint yang akan dituju. “Kami juga memasok Radar Display Unit atau RDU untuk pesawat tempur TNI,” lanjut Ahmad Fauzi. Alat ini berfungsi menampilkan hasil tangkapan radar pada pesawat tempur Hawk 200. Selain itu,
10
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
perangkat ini juga dapat menampilkan informasi pelacakan target dan intercept, data kemiringan, dan ketinggian pesawat tempur. Produk perusahaan yang kini menjadi tren adalah glass cockpit, yaitu perangkat avionik digital yang berfungsi menampilkan berbagai informasi penting kepada pilot pesawat tempur F-5 F/F Tiger seperti navigasi, route map, countour map, posisi, dan sebagainya. Dengan menggunakan glass cockpit, pilot bisa menjadi lebih fokus dalam menerbangkan pesawatnya. Selain ketiga produk tersebut, perusahaan yang berlokasi di Surabaya, Jawa Timur ini juga memproduksi alat avionik lainnya, seperti Multi Purpose Display (MPD) yang berfungsi menampilkan berbagai informasi penting kepada pilot pesawat tempur Hawk 100/200, Digital Voice Recorder (DVR) untuk merekam video, radar dan audio, dan lain sebagainya. Peralatan avionik buatan Infoglobal yang telah digunakan pihak militer ini telah lulus sertifikasi kelaikan udara oleh lembaga sertifikasi Indonesian Military Airworthiness Authority (MAA) dari Kementerian Pertahanan Republik Indonesia. Menurut Ahmad Fauzi, produk avionik Infoglobal juga telah mendapatkan pengakuan dari vendor utama pesawat tempur internasional. “Pernah ada vendor yang memeriksa pesawat tempur yang dibeli
Indonesia. Mereka berterima kasih dengan adanya pihak yang mau memproduksi peralatan yang tidak lagi mereka pasok,” katanya. Pengakuan dari vendor utama ini membuat sejumlah negara, seperti Malaysia dan Uni Emirat Arab tertarik untuk membeli produk Infoglobal. Produk avionik yang dikeluarkan Infoglobal dihasilkan murni dari tenaga-tenaga ahli Indonesia. “Semua dikerjakan oleh anak bangsa, mulai dari riset, desain hingga produksi barang jadi,” papar Achmad Fauzi. Untuk riset, perusahaan bisa melakukan riset selama 6 bulan, 1 tahun atau 2 tahun untuk menghasilkan produksi. Lamanya riset tergantung pada kerumitan produk yang akan dihasilkan. Perusahaan juga melakukan uji coba sesuai standar militer internasional, baik soal ketahanan terhadap suhu panas maupun dingin serta getaran terhadap peralatan avionik yang akan dipasarkan “Bahan baku juga sebagian berasal dari dalam negeri. Hanya bahan-bahan yang belum diproduksi di dalam negeri saja yang harus diimpor ,” pungkas Achmad. Saat ini, Infoglobal juga telah melebarkan sayap usahanya dengan memproduksi flight simulator untuk pesawat N-219 buatan PT Dirgantara Indonesia (DI).
Made in Indonesia
The existence of the main equipment of defense system, such as advanced fighter aircraft has not ensured a state can be able to preserve its territory well. The supporting industries is also needed.
B
ased on the experience of embargo conducted by producer countries causing Indonesia in trouble to procure spareparts for a number of fighter aircrafts, PT Infoglobal Teknologi Semesta has given solutions through the production of avionics equipments for the fighter. Avionics is the equipment of fighter aircraft corresponding with navigation, communications, and arming system. “We have been able to manufacture avionics equipment of fighter aircraft that is no longer manufactured by major vendors although the aircraft is still fit to fly,” explained Ahmad Fauzi, General Manager of PT Infoglobal Teknologi Semesta. The avionics equipment already manufactured by Infoglobal and used by the Indonesian National Army (TNI), among others, is the Control Display Unit (CDU). This device is a digital avionics instrument that functions to display navigation data on fighter aircraft F-5 E/F Tiger in real time, to control Inertial Navigation Unit (INU) to exercise alignment and also to determine the destination waypoint. “We have also supplied Radar Display Unit (RDU) for military fighter aircrafts,” Ahmad Fauzi added. This instrument functions to display the catches of radar at fighter aircraft Hawk 200. In addition, this instrument can also display information about the target tracking and intercept, the data of slope, and
High Quality Avionic Equipments for Combat Aircraft the altitude of aircraft. The company’s products that are now becoming a trend is a glass cockpit, the digital avionics instrument functioning to display a variety of important information to the pilots of fighter aircraft F-5 F/F Tiger such as navigation, route maps, countour map, position, and so on. By using a glass cockpit, the pilot can be more focused on flying the plane. In addition to these three products, the company located in Surabaya, East Java has also produced other avionics equipment, such as the Multi-Purpose Display (MPD) functioning to display a variety of important information to a the pilot of fighter aircraft Hawk 100/200, Digital Voice Recorder (DVR) to record video, radar and audio, and so forth. The avionics equipment made of Infoglobal that has been used by military puposes has passed the airworthy certification by certification agency of Indonesian Military Airworthiness Authority (MAA) from the Ministry of Defence of the Republic of Indonesia. According to Ahmad Fauzi, the avionics product of Infoglobal has also gained the recognition from major vendors of International fighter aircraft. “Once there was a vendor who checked the fighter
purchased by Indonesia. They are grateful to the company producing the equipments that they no longer supply, “ he explained. The recognition from major vendors has led a number of countries, such as Malaysia and Uni Emirates are interested to buy the products of Infoglobal. The products of Infoglobal are manufactured purely by Indonesian experts. “All have been done by the Indonesian people, ranging from research, product design to production process of finished goods,” explained Achmad Fauzi. In terms of research, the company can conduct research for 6 months, 1 year or 2 years to manufacture a product. The duration of doing research depends on the complexity of the product to be manufactured. The company also carries out testing according to the standards of international military, as for the resistance to hot and cold temperatures and the vibration of avionics equipment which will be marketed “The raw material used is largely obtained from domestic market. Only materials that are not produced in the country still to be imported, “ Achmad Fauzi further explained. Currently, Infoglobal has also expanded its business by producing flight simulators for aircraft N-219 made by PT Dirgantara Indonesia (DI).
informasi | information » Info Global Jl. Sriwijaya No. 36 Surabaya 60265, Indonesia Phone: +6231-5661802-3 Fax: +6231-5661990 Website: www.infoglobal.co.id E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
11
Made in Indonesia
Komponen Pesawat Presisi Tinggi Indonesia ternyata memiliki begitu banyak potensi terpendam yang belum terungkap ke ruang publik yang dapat terus dikembangkan demi kemajuan pembangunan bangsa.
S
udah bukan rahasia lagi apabila Indonesia dikenal sebagai negara yang memiliki potensi yang sangat besar di bidang industri berbasis sumber daya alam. Namun belum banyak orang tahu kalau di bidang industri berbasis teknologi tinggi pun Indonesia sudah banyak berkiprah. Salah satunya adalah industri pembuatan komponen pesawat terbang PT Pudak Scientific yang berlokasi di Gedebage, Bandung. Perusahaan yang berdiri pada tahun 1979 ini pada awalnya hanya bergerak di industri pembuatan alat peraga pendidikan untuk SD, sekolah menengah dan sekolah kejuruan, serta peralatan laboratorium. Beberapa produk alat peraga pendidikan yang diproduksi di PT Pudak Scientific di antaranya peralatan mekanika, kit listrik dan magnet, serta automotive training system. Perusahaan ini terus berkembang seiring dengan perkembangan pasar dan semakin meningkatnya tuntutan kualitas dan kompleksitas alat peraga pendidikan, yang semakin membutuhkan kemampuan dari berbagai disiplin ilmu dan teknik dengan melibatkan bahan dasar berupa logam, plastik, kayu, dan gelas. Selama 25 tahun perusahaan mampu melayani pasar, baik di dalam maupun luar negeri dan mampu menghasilkan produk alat peraga pendidikan yang berkualitas. Perusahaan pun terus meningkatkan kemampuannya dengan didukung peralatan permesinan yang semakin canggih dan handal. Untuk meningkatkan kualitas produk yang
12
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
dihasilkan agar semakin prima dengan produktivitas yang makin baik, maka pada tahun 2000 perusahaan membentuk CNC Division sebagai bagian dari Engineering Department. Perusahaan pun mulai gencar mendatang mesin-mesin CNC berpresisi tinggi untuk memperkuat divisi baru tersebut, dimulai dengan satu unit Cincom B20 (Autolathe) untuk pembuatan molds, dies, dan jigs. Hasilnya, kemampuan perusahaan untuk memproduksi komponen-komponen berpresisi tinggi semakin meningkat secara signifikan. Bahkan, sampai-sampai perusahaan memiliki tim engineering yang kelewat ‘mumpuni’ untuk sebuah perusahaan produsen alat peraga pendidikan dan peralatan laboratorium. Hal ini justru memungkinkan perusahaan untuk masuk ke area produksi lain, yaitu permesinan komponen presisi (precision part machining). Selang beberapa bulan kemudian, perusahaan kembali mendatangkan mesin baru Swiss-Type CNC Auto Lathe Machine sehubungan dengan adanya pesanan pembuatan komponen elektrikal berdimensi kecil. Dengan mesin tersebut, perusahaan mampu memproduksi komponen dengan toleransi keakuratan yang tinggi dan volume produksi yang banyak dan kurun waktu yang relatif singkat sehingga tingkat efisiensi produksi meningkat drastis. Karena itu, pada tahun 2004 perusahaan mulai aktif mencari pelanggan baru di bidang produksi komponen berpresisi tinggi. Pada tahun 2004 itu pula
PT Pudak Scientific mulai memproduksi komponen aerospace parts, berupa komponen actuation system part/mechanical part pesawat terbang seperti penggerak/pengungkit sayap, atas pesanan Good Rich Bandung yang merupakan kepanjangan tangan dari Good Rich yang berpusat di Inggris. Setiap bulannya, PT Pudak Scientific memasok 30.000 pieces aerospace parts yang terdiri dari 70 jenis item parts. Mulai tahun 2014, PT Pudak Scientific juga mulai memasok aerospace parts kepada United Technology Company (UTC) yang berkedudukan di Inggris. Pasokan langsung ke Inggris ini dimulai dengan pengiriman sampel produk komponen sebanyak 150 item untuk dilakukan pengecekan First Article Inspection di Inggris. Dari jumlah itu, sudah diterbitkan purchase order (PO) sebanyak 2.000 item untuk 74 jenis item. Komponen-komponen tersebut rencananya akan dipergunakan untuk memproduksi pesawat-pesawat baru seperti Airbus A-350 dan A-320 Neo, Mitsubishi Regional Jet (MRJ) dan C-series. Ada juga beberapa komponen PT Pudak Scientific yang digunakan untuk produksi pesawat yang kini sudah beroperasi seperti Boeing B-787. Perusahaan yang kini mempekerjakan 1.000 orang pekerja dengan 259 orang di antaranya khusus mengerjakan pembuatan aerospace parts, memiliki 62 unit mesin CNC berbagai jenis, termasuk diantaranya 5-axis Machining Center (5-axis milling type dan 5-axis turning type), electrical discharge machining, cylindrical grinder, multi-axis turning center, horizontal machining center, vertical machining center, dan lainlain. Kemampuan dalam memproduksi komponen aerospace parts PT Pudak Scientific sudah diakui dunia dengan diraihnya sertifikasi Quality Management System ISO 9001:2000 untuk lingkup the manufacture of precision metal parts pada tahun 2008; sertifikasi National Aerospace and Defense Accreditation Program (NADCAP) untuk aerospace quality system (AQS Ac7004) pada tahun 2012; dan sertifikasi AS9100 Rev. C yang merupakan standar Quality Management System untuk industri aerospace dunia.
Made in Indonesia
High Precision
Aircraft Components It turns out that Indonesia has so much hidden potential which has not been revealed to public and it can be economically exploited for the progress of nation development.
I
t is no secret that Indonesia is considered as a country having a huge potential in terms of natural resource-based industries. But not many people know that in the field of high technologybased industry, Indonesia has already taken apart. One is PT. Pudak Scientific, a company producing aircraft components that is located in Gedebage, Bandung. The company established in 1979 is initially running the business in producing props for elementary school, secondary schools and vocational schools, as well as laboratory equipment. Some products of educational props produced by PT. Pudak Scientific among others are mechanical equipment, electricity and magnetism kits, and also automotive training system. The company has continued to grow in line with the market developments and the increasing demand for quality and complexity of educational
props by using the basic materials such as metal, plastic, wood, and glass. Within 25 years the company has been able to serve the market needs, both at domestic market and abroad and also able to produce the high quality products of educational props. The company has continued to improve its capability, supported by the use of more sophisticated reliable machinery equipments. To improve the productivity and quality of the products, in 2000 the company set up the CNC Division as a part of Engineering Department. The Company aggressively began to buy the high precision of CNC machines to strengthen the new division, starting with one unit CNC Cincom B20 (Autolathe) for making molds, dies and jigs. As a result, the company’s capability to produce high-precision of components has increased significantly. Even, the company has the engineering team considered to be much more advanced in technology if only for a company producing educational props and laboratory equipments. This condition allowing the company to enter into other production area, that is in the area of precision parts machining. A few months later, the company brought another new machine from Switzerland, Type CNC Auto Lathe Machine due to the order to make electrical component in small dimension. With this new machine, the company was able to produce the components with high accuracy and with high volume of products within a relatively short period of time so that the level of production efficiency increased dramatically. Therefore, in 2004 the company began to actively seek new customers in the production of high-precision components. In that year PT Pudak Scientific also started producing aerospace parts, namely actuation system parts/mechanical parts of aircraft such as aircraft propulsion/lever wings, based on the order of Good Rich Bandung, the representative of Good Rich with the headquarter in the UK. Each month, PT. Pudak Scientific has supplied about 30,000 pieces aerospace parts consisting of 70 parts item. In 2014, PT Pudak Scientific has also started supplying aerospace parts to the United Technology Company (UTC) domiciled in the UK. The direct supply to the UK was started with the delivery of samples of product components for 150 items to be checked in First Article Inspection in the UK. Of that amount, the purchasing order (PO) of 2,000 items
for 74 types has been already issued. Those components are planned to be used to manufacture the new aircraft such as the Airbus A-350 and A-320 Neo, Mitsubishi Regional Jet (MRJ) and the C-series. There are also several components produced by PT Pudak Scientific that is used for aircraft product which now have been operationalized such as the Boeing B-787. The company is now employing 1,000 workers with 259 people of them specifically working on producing aerospace parts, has 62 units of CNC machines of various types, including 5-axis Machining Center (5-axis milling type and 5-axis turning type), electrical discharge machining, cylindrical grinder, multi-axis turning centers, horizontal machining centers, vertical machining centers, and others. The capability of PT Pudak Scientific to produce aerospace parts has been recognized globally by receiving the Quality Management System ISO 9001: 2000 certificate for the scope of the manufacture of precision metal parts in 2008; National Aerospace and Defense Certification Accreditation Program (NADCAP) for aerospace quality system (AQS Ac7004) in 2012; and certification of AS9100 Rev. C for the standard of Quality Management System for the world aerospace industry.
informasi | information » PT. Pudak Scientific Jl. Pudak No. 4 Bandung 40113, Indonesia Phone: +6222-7231046 Fax: +6222-7207252 Website: www.pudak-scientific.com
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
13
Made in Indonesia
TKDN Tinggi Proyek Migas Nasional Tidak banyak yang mengetahui keberadaan PT Ninda Pratama Vriesindo. Perusahaan ini bergerak di bidang fabrikasi, instalasi proyek-proyek migas, termasuk pengerjaan fasilitas offshore (bangunan di atas laut dengan kedalaman tertentu).
A
ria Odman, CEO dan sekaligus Direktur Pemasaran PT Ninda, mengisahkan bagaimana perusahaannya yang sudah berkecimpung selama 14 tahun ini tetap eksis di kala perusahaan lain yang sejenis harus berpindah tangan ke pihak asing karena tidak mampu lagi mempertahankan daya saingnya. “Boleh dibilang perusahaan ini adalah perusahaan keluarga, di mana Odman sebagai Komisaris Utama menggerakkan perusahaan bersama istrinya, Heri Diana, dan juga putrinya Ninke Julistya,” Saat ini, Ninda memiliki 800 orang pekerja dengan dua shift waktu kerja. Selain itu, ada tenaga pendamping dari Skotlandia yang bertindak sebagai supervisor. Perusahaan ini lebih banyak bermitra dengan perusahaan asing, terutama yang bergerak dalam eksplorasi minyak dan gas bumi. Lokasi proyeknya antara lain di Australia, negara-negara Asia, dan juga ke Afrika. Banyaknya proyek di luar Indonesia menjadikan perusahaan memiliki performa dan pengalaman kerja yang lebih intensif sesuai standar internasional. Sejumlah akreditasi sudah dikantongi oleh perusahaan ini, seperti ISO 9001 : 2008 Quality Management System; OHSAS 18001 : 2007 HSE Management System; ISO 14001 : 2004 Environmental Management System; serta sejumlah ISPS certification) Odman mengatakan bahwa Ninda merupakan satu-satunya perusahaan fabrikasi migas dan instalasi pipa yang murni anak bangsa, Proyek yang pernah digarap, antara lain pengadaan pipa gas bawah laut di Tangguh, Papua. Proyek tersebut diperoleh Ninda melalui kerjasama subkontraktor dengan perusahaan Italia,. Dia menambahkan, tidak mudah memperoleh tender secara langsung pengerjaan proyek-proyek infrastruktur di dalam negeri, sehingga perusahaan harus memperolehnya melalui subkontrak dari perusahaan lain seperti Saipem Indonesia. Hal tersebut dikarenakan pekerjaan di bidang ini membutuhkan tingkat keahlian yang sangat tinggi, terutama dalam hal pengelasan (welding).
14
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
Untuk menguasai teknologinya, Odman menyekolahkan 60 orang stafnya (tenaga pengelas) ke Belanda selama delapan bulan. Biaya sekolah mereka mencapai €450 ribu per orang, dengan harapan, ketika kembali ke Indonesia, mereka bisa mengajari rekan-rekannya yang ada di tanah air. Kewajiban Kandungan Lokal dalam Proyek Infrastruktur dan Pengadaan Migas Ketentuan pemerintah untuk memprioritaskan pengadaan proyek infastruktur dan proyek migas dengan kandungan lokal setinggi mungkin, sebagai angin segar bagi perusahan ini. Adanya ketentuan TKDN sangat membantu perusahaan lokal yang memiliki kapabilitas. Saat pemerintah menetapkan TKDN sampai 36 persen, maka perusahaan sudah menghitung TKDN untuk mengikuti tender pengadaan Floating Production Unit (FPU) fasilitas kapal LNG terapung, Saat ini, dengan perusahaan Jepang Inpex Corporation Ninda sedang menggarap pengelolaan lapangan gas di Blok Masela, Laut Arafuru, Maluku. Melalui konsorsium dengan perusahaan besar, maka dapat menggenjot TKDN sampai mencapai 60 persen, sementara yang dipersyaratkan hanya 36 persen. Sedangkan untuk pengerjaan proyek yang selama ini ditangani Ninda, TKDN-nya mampu meraih 95 persen. Perhitungan tersebut diperoleh melalui penggunaan fasilitas dan peralatan dari dalam negeri, tenaga kerja, produk yang dikonsumsi selama pengerjaan proyek, dan juga material yang hampir seluruhnya
berasal dari dalam negeri Satu-satunya Perusahaan yang Adaptasi Teknologi Gulung Pipa dari Skotlandia Tahun 2019-2020, Ninda mengerjakan sekitar empat proyek pemasangan pipa bawah laut dengan panjang kurang lebih 700 kilometer. Sudah ratusan proyek yang digarap Ninda, antara lain dengan Nippon Steel & Sukimin Eng Pte Ltd, McDermott Indonesia, Heerema Marine Contractor, Bumi Armada Sdn Bhd, World Wide Equipment, Van Oord BV, Eni Saipem Group, Clough, TL Offshore, WPC Petrosea Project, Global Petro Projects, dan Servises AG. Ninda memiliki dua kawasan fabrikasi dengan luas total mencapai 48 hektar, masih kecil dibandingkan McDermott yang luasnya mencapai 100 hektar. Di setiap kawasan fabrikasi (Kabil 1 dan Kabil 2), masing-masing dilengkapi fasilitas overhead crane, dan rolling machine, termasuk perlengkapan untuk menggulung pipa. Karena pipa yang harus dibawa ke laut terlalu panjang, maka untuk yard yang ada di Kabil 2, menggunakan teknologi dari Skotlandia. Dua kawasan fabrikas tersebut, sudah dilengkapi dengan dermaga, kawasan pergudangan terbuka (open storage area), serta crawler crane dan mobile crane. Ninda adalah satu-satunya perusahaan Asia yang mampu menggulung pipa sepanjang 20-30 kilometer. Pipa tersebut bentuk dan sifatnya spesifik, karena meskipun terbuat dari besi baja, namun bagian dalamnya stainless steel, sehingga harus dilas secara spesifik.
Made in Indonesia
Not many people have already known the existence of PT Ninda Pratama Vriesindo. The company is engaged in fabrication, installation of oil and gas projects, including the construction of offshore facilities (buildings on the sea with a certain depth).
A
ria Odman, the CEO who is also in charge as Marketing Director of PT Ninda, explained how the company with 14 years working experiences has continued to exist when other companies in the same business should be taken over by foreigners as no longer able to maintain their competitiveness. “Our company is a purely family-owned company. Together with my wife Heri Diana, and my daughter Ninke Julistya we run the business together,” said Odman as the Chief Commissioner of the company. The company has employed 800 workers with two working shifts. It has also employed some experts from Scotland as supervisors. The company has largely partnered with foreign companies, especially those engaged in oil and gas exploration. Some projects undertaken by the company are, among others, in Australia, Asia, and also Africa. The variety of projects has led the company to acquire intense experiences as well as internationally recognition in terms of performance. A number of accreditations have been obtained, such as ISO 9001: 2008 Quality Management System; OHSAS 18001: 2007 HSE Management System; ISO 14001: 2004 Environmental Management System; as well as a number of ISPS certifications. The company is the only domestic company, purely owned by Indonesian people engaged in the business of oil and gas fabrication and pipelines
High Local Contents
in National Oil and Gas Projects instalation. One of the projects in the country undertaken by PT. Ninda is the procurement of subsea gas pipeline in Tangguh, Papua. He explained that it is not easy to win the tender of infrastructure projects in the country, therefore the company has to become subcontractor of the winning bidder such as Saipem Indonesia. This is because the project requires high level of expertise, particularly in welding work. To acquire the technology, Odman sent his 60 welders to be trained in Netherlands for eight months. Hopefully, when returned to Indonesia, they could share their skills and knowledge to other colleagues in the homeland. The Requirement of LCL in Infrastructure Project and Oil & Gas Procurement As mandated by President Jokowi, the government regulations to prioritize the high LCL on the procurement of infrastructure as well as oil and gas projects has brought a fresh breeze to the company. The provision of LCL in government procurement will greatly encourages the competent local companies to grow. When the government requires LCL at 36 percent, the company has calculated its local content to participate the tender of procurement of Floating Production Unit (FPU) for LNG floating vessel facilities. Currently, with the Japanese company, Inpex Corporation, they have been carrying out the exploitation of the gas deposits in the Masela, Arafuru Sea, Maluku. Through a consortium with large companies, the company could boost its LCL up to 60 percent, while the required LCL is only 36 percent. As for the projects being handled by PT. Ninda, its DCL has been able to reach 95 percent. The calculation is obtained through the use of facilities and equipment from local market, workforce, the
product consumed during the completion of project, and also raw materials that are largerly obtained in the country. The Only Company Adapting the Pipeline Roll Technology of Scotland Until 2019-2020, PT Ninda will undertake four projects of the instalation of subsea pipeline for about 700 kilometers. In addition there have been hundreds of projects executed by PT Ninda, among others with Nippon Steel & Sukimin Eng Pte Ltd, McDermott Indonesia, Heerema Marine Contractor, Bumi Armada Sdn Bhd, World Wide Equipment, Van Oord BV, Eni Saipem Group, Clough, TL Offshore, WPC Petrosea Project, Global Petro Projects, and AG Services. Ninda has two fabrication area with the total area of 48 hectares, eventhough it is quite small compared to McDermott with the area of 100 hectares. Each area (Kabil 1 and Kabil 2) is equipped with the facility of overhead cranes, and rolling machine, as well as the equipment to roll the pipeline. Since the pipeline to be brought into the subsea is too long, for the yard in Kabil 2, the Scotland’s technology is adopted. Both fabrication areas has been fasilitated with docks, open storage area, as well as crawler cranes and mobile cranes Currently, Ninda is the only Asian company that is able to roll the pipeline with the length of 20-30 kilometers. The shape and characteristic of the pipeline is very specific. Because though made of steel, its inner part is coated with stainless steel, so it must be welded in particular technique.
informasi | information » PT. Ninda Pratama Vriesindo Kawasan Industri Kabil-Nongsa, Jl. Raya Pelabuhan CPO Kabil, Batam, Indonesia Phone: +62778-711804 Fax: +62778-711802 Website: pt-nindapratama.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
15
Made in Indonesia
Bertekad Menjadi
Perusahaan Maritim Terintegrasi Didirikan tahun 2006, PT Citra Shipyard adalah sebuah galangan kapal yang bergerak di bidang industri pembangunan kapal baru dan reparasi (perbaikan) kapal, pengedok kapal baja dan aluminium.
P
erusahaan yang berlokasi di Batam ini bertekad menjadi perusahaan Indonesia yang menyediakan jasa maritim terintegrasi, dengan dua galangan kapal masing-masing berlokasi di wilayah Kabil dan Tanjung Uncang. Seperti dikemukakan Sahat P. Simamora selaku Manajer Human Resources Development (HRD) PT Citra Shipyard kepada majalah KINA, saat ini perusahaan tengah menggarap sejumlah pembangunan kapal baru. Kapal yang sedang dibangun antara lain jenis Landing Craft Tank (LCT) yaitu kapal serbu amphibi untuk pendaratan tank di pantai, kapal tanker minyak (oil tanker), deck cargo barge, kapal tunda (tug boat), kapal patroli (patrol boat), dan platform barge. Sementara untuk reparasi, ada jenis kapal tanker minyak, deck cargo barge, dan tug boat yang sedang digarap. Selain pesanan dalam negeri baik dari perusahaan swasta maupun pemerintah, pesanan bangunan kapal baru dan reparasi juga berasal dari negeri tetangga, yaitu Singapura. Terkait teknologi, Sahat mengemukakan, “Dalam pengerjaan kapal, kami mengacu teknologi
16
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
dari sejumlah negara yang cukup maju dalam hal ini, seperti Jepang, Amerika Serikat, sejumlah negara Eropa, dan juga Korea Selatan.” Referensi teknologi yang diadopsi tergantung perlengkapan yang digunakan, seperti navigasi mengacu pada Jepang, sementara untuk dynamic positioning mengacu pada Perancis. Selain itu, perusahaan juga mengembangkan dan menerapkan sistem manajemen mutu, kesehatan, keselamatan kerja dan lingkungan, yang telah diakui oleh TUV Nord dengan sertifikasi ISO 9001 : 2008, ISO 14001 : 2004, dan OHSAS 18001 : 2007. “Untuk membuat ataupun mereparasi kapal, sampai kini masih ada sejumlah komponen yang harus didatangkan melalui impor, karena belum tersedia di dalam negeri dengan spesifikasi khusus yang dibutuhkan,” lanjut Sahat. Yang masih diimpor seperti mesin utama (main engine), generator, dan alat navigasi, yang berasal dari Jepang, Amerika Serikat, Korsel, dan Eropa. Untuk mendatangkannya diperlukan waktu tiga sampai enam bulan. Namun demikian, perusahaan baja dalam negeri PT Krakatau Posco Steel telah mampu memproduksi baja berkualifikasi khusus guna memenuhi kebutuhan produksi kapal PT Citra Shipyard, sehingga bahan baku baja tidak perlu diimpor dari luar. Jumlah seluruh karyawan PT Citra Shipyard kurang lebih 2.000 orang, termasuk karyawan subkontraktor. Dari jumlah tersebut, sekitar 20 persennya mengerjakan perbaikan (reparasi) kapal. Di luar itu, masih ada satu orang tenaga asing, yaitu warganegara Singapura. Sahat mengakui, persaingan di bidang industri perkapalan cukup tinggi. Di wilayah Batam saja, persaingan di bidang industri galangan kapal bisa terlihat secara kasat mata, mengingat banyaknya jumlah industri yang ada.
“Namun bagi kami, persaingan yang sesungguhnya justru dengan negara lain seperti Malaysia, Filipina, Tiongkok, dan Vietnam. Dalam hal teknologi, sebenarnya perusahaan sudah mampu bersaing, namun dengan masih dikenakannya pajak membuat harga jual produk kapal kami menjadi kurang kompetitif,” jelasnya. Sebagai perbandingan, Tiongkok memberi kompensasi pajak sebesar 7% kepada perusahaan galangan kapal yang ada di sana, sehingga perusahaan tersebut berani menjual kapalnya dengan ‘harga modal’ kepada mitra pembelinya, karena masih ada keuntungan dalam bentuk kompensasi keringanan pajak tersebut. “Itu sebabnya kami berharap Pemerintah Indonesia juga dapat memberi kompensasi serupa, khususnya kepada perusahaan galangan kapal, sehingga dapat bersaing baik dengan perusahaan sejenis dari Tiongkok ataupun dari negara lainnya,” imbuhnya. Selain itu, pemerintah juga diminta memberi kesempatan perusahaan galangan kapal nasional untuk mengerjakan proyek-proyek kapal negara dan proyek BUMN, sesuai dengan persyaratan yang ditetapkan. Dalam penilaian kelayakan suatu perusahaan galangan kapal nasional, diharapkan tidak didasarkan atas pengalaman mengerjakan kapal sejenis yang ditenderkan oleh pemerintah ataupun BUMN, melainkan atas dasar fasilitas dan kemampuan yang dimiliki perusahaan bersangkutan. “Harapannya, seluruh perusahaan galangan kapal nasional akan mampu berkembang pesat dan bersaing secara adil dengan perusahaan galangan kapal di negara maju lainnya,” jelas Sahat menutup percakapan. Seperti diketahui, PT Citra Shipyard mengoperasikan dua lahan di daerah Tanjung Uncang seluas 24 ha dan Kabil seluas 42 ha. Masing-masing
Made in Indonesia lahan dilengkapi berbagai fasilitas pendukung seperti alat berat, bangunan workshop, pelabuhan khusus, dan dok kapal. Perusahaan memiliki pelabuhan yang dikhususkan memuat barang berukuran besar dan untuk berlabuhnya kapal-kapal berbobot besar. Dermaga yang ada sengaja didesain khusus dengan kekuatan 20 ton/m2 guna melayani segala pengerjaan lepas pantai (offshore). Kedalaman dermaga pada saat air surut mencapai 8 meter, sehingga cocok untuk berlabuhnya kapal berbobot besar. Sedangkan untuk pengedokan kapal, bisa dilakukan dengan balon pengapung yang diterapkan agar mampu mengedok kapal tunda, kapal tongkang s/d 365 feet, serta kapal tanker dengan bobot 5.000 DWT. Untuk pengedokan kapal dengan bobot lebih besar seperti kapal lepas pantai dan tanker besar, bisa menggunakan dok kolam (dry dock).
T
Determined to be
The Integrated Maritime Company Established in 2006, PT Citra Shipyard is engaged in building a new ship and ship repair, docking process of steel and aluminum vessels.
he company located in Batam Indonesia is intended to be the company providing an integrated maritime services, with two shipyards located in Kabil and Tanjung
Uncang. As explained by Sahat P. Simamora as HRD Manager of PT. Citra Shipyard to Kina magazine, the company has been building a number of new ships. The type of ships being built among others are Landing Craft Tank (LCT) that is the amphibious assault vessel for landing of tanks at the beach, oil tankers, deck cargo barge, tug boat, patrol boats, and platform barge. Meanwhile, some ships being repaired are oil tankers, deck cargo barge and tug boat. In addition to domestic orders from the government and private companies, the orders of building new ships and reparations also come from neighboring country, Singapore. In terms of technology, Sahat argued, “we have adopted the ship builder technology from a number of countries that are quite advanced in this field, such as Japan, the United States, European countries, and also South Korea.” References technologies adopted depend on the equipment used, such as we refer to Japan technology for navigation, and for dynamic positioning we refer to France. In addition, the company has already implemented and developed quality management system, health system, safety and the environmental system, which have been recognized by TUV Nord through ISO 9001: 2008, ISO 14001: 2004, and OHSAS 18001: 2007. “To build or repair the ship, a number of components still must be imported, since there are no available in the country with special specifications as required,” Sahat further explained. The imported components include main engines, generator, and navigation tools. They are imported from Japan, USA, South Korea, and Europe, and take about three to six months to deliver. However, domestic company such as PT Krakatau Posco Steel has already been able to produce qualified steel to meet the production needs of PT. Citra Shipyard, so that steel raw materials do not need to be imported. The total number of employees of PT Citra
Shipyard are about 2,000 people, including employees of subcontractors. About 20 percent of employees deals with ship raparations. There is also one expatriate from Singapore. Sahat admitted that competition in hipping industry is quite intense. In Batam itself, tight competition in shipbuilding industry is highly visible, since there are many shipbuilder companies in Batam. “But for us, the real competitors actually come from other countries such as Malaysia, Philippines, China, and Vietnam. In terms of technology, we have been quite competitive, but due to the taxes the selling price of our vessels becomes less competitive, “he explained. In comparison, China gives tax incentive 7% to shipbuilder companies, so they can reduce their selling price. “That is why we expect the Indonesian government can also provide similar incentive, especially to shipbuilder companies, so that the shipbuilder company can compete with both domestic and foreign competitors.. In addition, the government also gives the opportunity to domestic shipbuilder companies to carry out government projects as well as stateowned enterprise projects. In feasibility assessment of domestic shipbuilder company, it is expected that the assessment is not based on the experience of building similar vessels that are being procured by the government or state-owned, but on the basis of its facilities and capabilities. “Hopefully, all domestic shipbuilder companies
will be able to grow rapidly and to successfully compete with the shipbuilder companies from other developed countries,” explained Sahat ended his interview. PT. Citra Shipyard has operationalized the business in two locations, Tanjung Uncang with the area of 24 ha and Kabil with the area of 42 ha. Each area is equipped by various facilities such as heavy equipment, building workshops, specialized port, and boat docks. The Company has a special port used to load bulky items and to harbour large size of ships. The existing dock is deliberately and specifically designed with the strength of 20 tons/m2 in order to serve offshore work activities. The depth dock at low tide reaches 8 meters, so is suitable for berthing the large weighing ships. Meanwhile, for docking the vessel, it can be carried out with floating balloons technique to dock tug boats, barges up to 365 feet, as well as oil tankers with a weight of 5,000 DWT. For docking ships with larger weights such as offshore ships and large tankers, it can be done by using dry dock.
informasi | information » PT Citra Shipyard Kavling 20 Sei Lekop, Kampung Becek, Batam -29453, Indonesia Phone: +62778-7367019/12 Fax: +62778-7367018 Website: www.citrashipyard.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
17
Made in Indonesia
D
itemui di ajang pameran InaMarine 2015 lalu, Product and Market Manager Propan Marine, Marcel Boediono mengemukakan, perusahaannya mulai menjajaki pasar dan berencana mengembangkan divisi pengecatan kapal berbahan kayu dan kapal berbahan baja. Kendati baru dua tahun, namun berbekal pengalaman sebagai perusahaan cat nasional selama lebih dari 35 tahun membuatnya cukup percaya diri. “Khusus untuk jenis kapal kayu, kami memfokuskan pada jenis kapal yang bobot ukurannya di bawah 30 DWT,” lanjut Marcel. Untuk itu, sesuai spesifikasi produksi yang ditujukan bagi kapal-kapal yang lalu lintasnya di perairan Indonesia, maka pada tahap pertama ditetapkan target pangsa pasar sekitar 20 persen. “Selanjutnya, secara bertahap akan dilipatgandakan sampai setara dengan penguasaan Propan Raya yang kini diperkirakan mencapai 30-50 persen pangsa pasar cat kayu dan dekoratif,” papar Marcel yang didampingi Hendri Wijaya selaku Sales Engineer Propan Raya. Pada awal penjajakan pasar, kendati produksi Propan Marine baru sekitar 10 ton per bulan, tetapi kualitasnya sudah mengikuti regulasi International Marine Organization (IMO), khususnya untuk produk anti fouling, ballast tank, dan anti corrosion coating. Bahkan untuk produk anti fouling sudah teruji dan memiliki sertifikat Tin Free (bebas kandungan tin) dari Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) Nomor 13.0006 MA. Produk marine coating juga termasuk produk ramah lingkungan yang diproduksi dengan standar ISO 9001 dan 14001. Selama ini sekitar 70 persen pengecatan kapalkapal nasional dikuasai oleh pemain cat internasional yang memang sudah mendunia, antara lain dari Amerika Serikat, Jepang, Denmark, Norwegia, serta negara Eropa lainnya, dengan nama brand seperti Akzo Nobel, Chugoku Marine Paint, Hempel, dan Jotun. “Bidang ini juga sedang dirambah oleh Tiongkok. Namun, pasar masih belum percaya kehandalan produk dari Tiongkok, sehingga peluang ini harus mampu direbut oleh pemain lokal seperti Propan,” ujarnya. Berdasarkan data yang berhasil dikumpulkan, kebutuhan cat untuk sekitar 52 ribu kapal dari berbagai jenis ukuran bisa dikatakan sangat tinggi, yaitu setiap kapal harus dicat ulang setiap dua atau tiga tahun sekali, yang diperkirakan nilainya mencapai Rp1,8 triliun setiap tahun. Produk cat untuk kapal yang digunakan adalah Penetrating Sealer (PUSS – 744 – 1K), yakni pelapis dasar dengan daya penetrasi yang melindungi sampai ke dalam permukaan kayu, sehingga tidak mudah lapuk dengan kelembaban dan mencegah tumbuhnya jamur. Produk lainnya adalah 1K Urathene Top (PUC – 775 - 1K), yaitu lapisan top coat dengan warna cerah, memiliki sifat water repeallant, tidak mengandung logam berat, mudah diaplikasikan, cepat kering, tahan
18
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
Produk Cat Terbaik Untuk Mendukung Program Maritim Dengan tujuan mendukung program pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai ‘poros maritim dunia’ dan menggalakkan pembuatan kapal di dalam negeri, PT Propan Raya ICC yang selama ini dikenal sebagai produsen cat kayu dan dekoratif selama dua tahun terakhir ini mengembangkan unit bisnis (divisi) terbarunya, yakni Propan Marine yang bergerak dalam pengembangan produk marine offshore dan protective coating. gores, tahan cuaca, dan lingkungan air laut. Selain itu, juga ada Antifouling (AFC – 13000 Red), lapisan anti fouling untuk bagian yang terendam air, yang bertujuan menghambat pertumbuhan organisme laut seperti lumut dan kerang. Ada sejumlah hal yang membedakan cat untuk marine coating dengan cat jenis lain seperti untuk keperluan dekoratif dan arsitektur, industri, otomotif, serta cat kayu. Pertama, dilihat dari materialnya, marine coating lebih tebal dibanding jenis cat lainnya karena pelapisan kapal harus lebih tahan karat. Kedua, dengan lebih tingginya kandungan unsur anti korosi pada cat kapal dan material lainnya, menyebabkan harga jualnya 30 persen lebih tinggi dibandingkan jenis cat lainnya. Sekitar 60 persen bahan baku cat Propan Marine sudah berasal dari dalam negeri. Namun 40 persen sisanya masih harus diimpor, seperti bahan baku cat yang disebut binder (pengikat) yakni bahan pelapis yang merekatkan partikel-partikel berwarna dan
additive (bahan penolong) yang masih diperlukan untuk mengatasi kekurangan atau kelemahan pada industri cat. “Bahan baku cat lainnya seperti pigment dan extender (pewarna dan pengisi) serta solvent (zat pelarut) sudah dapat diperoleh dari dalam negeri,” jelas Marcel. Sesuai visi dan misi perusahaan yang terus berinovasi, Propan Marine bersama dengan Asosiasi Cat Indonesia mendukung disusunnya Standar Nasional Indonesia (SNI) bagi produk cat kapal, lepas pantai, dan pelapis (perlindungan). Sampai saat ini, tim yang ada masih berupaya memperkuat kesiapan pemberlakuan SNI ini, yang bertujuan menjaga produsen cat dalam negeri agar siap menghadapi persaingan dengan produk sejenis dari luar negeri. Salah satu upayanya adalah dengan menyiapkan fasilitas laboratorium uji teknis di Balai Besar Bahan dan Barang Teknik yang berlokasi di Bandung, Jawa Barat.
Made in Indonesia
The Best Paint Products
to Support Maritime Program
With the aim of supporting the government’s program to bring Indonesia to be the ‘axis of the world maritime’ and to promote the shipbuilding in the country, PT Propan Raya ICC, which is known as a manufacturer of wood paints and decorative during the last two years has been developing its newest business unit (division) namely Propan Marine engaged in the development of offshore marine products and protective coatings.
E
ncountered at InaMarine exhibition in 2015 recently, the Product and Market Manager of Propane Marine, Marcel Boediono expressed that the company has begun to explore the market and planned to develop a painting division for wooden boats and ships made of steel. Although just running for two years, but equipped with experience as a national paint company for over 35 years, the company feels quite confident. “Especially for wooden ships, we are focusing on the ship with the weighs under 30 DWT,” explained Marcel. For that reason, in accordance with the specifications required for ships operating in Indonesian waters, in the first stage the targetted market share is of about 20 percent. “Hereafter, gradually the target of market share will be doubled until equivalent to current market share of Propan Raya which is estimated at 30-50 percent for wood paints and decorative,” explained Marcel, accompanied by Hendri Wijaya as Sales Engineer of Propan Raya.
At the beginning of market exploration, despite the Propane Marine production was just about 10 tons per month, but the quality has met the regulations of International Marine Organization (IMO), in particular for anti-fouling products, ballast tanks, and anti-corrosion coatings. Even for antifouling products, they have been tested and certified for Tin Free from the Bureau of Classification Indonesia (BKI) Number 13.0006 MA. The marine coating product has also been environmentally friendly manufactured with the standard of ISO 9001 and 14001. So far, about 70 percent of national ships painting has been dominated by international paints player who have been globally, among others from the United States, Japan, Denmark, Norway, and other European countries, with the brand names such as Akzo Nobel, Chugoku Marine Paint, Hempel, and Jotun. “This field has also been encroached upon by the Chinese. However, the market still have not proved with the product quality offered by them, so that this opportunity must be seized by local players such as Propan, “he argued. Based on the data collected, the needs paint for about 52 thousand vessels of various types of sizes can be considered to be very high, in which each vessel must be repainted for every two or three years, with the estimated values of IDR 1.8 trillion every year.
The paint product for ship is Penetrating Sealer (Puss - 744 - 1K), that is basic coating with the penetration power to protect the wood surface, so it is not easily rotten by moisture and prevents from mold growth. Another product is 1K Urathene Top (PUC 775 - 1K), that is the layer of top coat with bright colors, having caracteristic of repeallant water, do not contain heavy metals, easy to apply, fast drying, scratch resistance, weather resistance, and seawater environment resistance. In addition, there is also Antifouling (AFC - 13000 Red), anti-fouling coating for submerged parts of water, aimed to inhibit the growth of marine organisms such as algae and mussels. There are a number of aspects that distinguish paints for marine coating with other types of paint as for decorative and architectural, industry, automotive, and wood paints. First, in terms of material used, marine coatings tends to be thicker than other paints because ship coating should be more resistant to corrosion. Secondly, with a higher content of anti-corrosion element at ship paint and other materials, it leads the selling price will be 30 percent higher than other types of paint. About 60 percent of the raw materials of Propan Marine paints comes from home country. But the remaining 40 percent remains to be imported, such as paint raw materials called binder that is the coating material glueing the colored particles and additive that is still required to overcome the weakness or limitation of the paint industry. “Other paint raw materials such as pigment and extender (dyes and fillers) and solvent can now be obtained domestically,” explained Marcel. In accordance with the vision and mission of the company that continues to innovate, Propan Marine together with Indonesian Paint Association supports the formulation of the Indonesian National Standard (SNI) for ship paint products, offshore products, and coatings. Until now, the team is still working to strengthen the readiness of enactment of SNI, aiming to keep the domestic paint manufacturers to be ready to compete with similar products from abroad. One of the efforts is preparing laboratory facilities for technical tests in the Center for Material and Technical Products, located in Bandung, West Java.
informasi | information » PT. Propan Raya ICC Jl. Gatot Subroto KM.8, Tangerang -15810, Indonesia Phone: +6221-59303333/36910333 Fax: +6221-5904694 Website: www.propanraya.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
19
Made in Indonesia
Kapal Aluminium 42 Meter Pertama di Indonesia
Memulai bisnisnya sebagai perusahaan konstruksi sipil dan penyuplai bahan baku untuk perusahaan lain, saat ini PT. Caputra Mitra Sejati telah menjadi produsen kapal aluminium dalam negeri yang patut diperhitungkan.
C
apaian terbesar Caputra adalah pembuatan kapal aluminium sepanjang 42 meter dengan kecepatan 30 knot pertama di Indonesia. Kapal tersebut diluncurkan pada Desember 2014 lalu dengan nama ‘Quicksilver 9’, yang seratus persen dibuat oleh anak Indonesia. Berdiri sejak 1971, Caputra bergerak sebagai kontraktor, terutama menyuplai besi H-Beam untuk perusahaan baja di dalam grup yang sama. Caputra kemudian mulai menjalankan aktivitas shipyard sejak 1990. Namun, galangan kapalnya baru benar-benar beroperasi pada tahun 2000. Berlokasi di Bojanegara, Suralaya (Banten), shipyard yang dimiliki Ciputra berkapasitas hingga 6 space untuk new building atau pembangunan kapal baru. Caputra juga memiliki fasilitas reparasi dengan area docking yang dapat menampung sampai 30 vessels tiap bulan. Kapal-kapal yang mengangkut bahan bakar untuk PLTU Suralaya juga bersandar di dock milik Caputra. “Kebanyakan aktivitas kami adalah mereparasi kapal milik perusahaan oil & gas dan batubara,” papar Rosy Mahendra Aribowo, manajer marketing Caputra saat ditemui Kina di pameran INAMARINE, Mei lalu. Pria yang akrab dipanggil Arie ini juga menyebutkan beberapa instansi pemerintah dan BUMN yang memesan kapal baru di Caputra. Umumnya, kapal-kapal pesanan yang dibuat oleh Caputra berjenis crew boat, testing barge, snubbing barge dan LNG petro boat. Caputra juga sedang membangun kapal patroli cepat untuk TNI Angkatan Laut.
20
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
Perusahaan lain dalam grup yang sama saat ini mengoperasikan kapal pesiar Quicksilver yang diproduksi Caputra. Semula, Quicksilver dioperasikan oleh sebuah perusahaan dari Australia. Sekarang, sudah ada tiga kapal Quicksilver yang dikelola, dua kapal melayani rute di Bali dan satu kapal di Marina Ancol. Sementara ini, produksi Caputra lebih banyak untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Namun, produksi terbaru Caputra berupa speedboat yang diluncurkan pada bulan Juni ini merupakan pesanan sebuah perusahaan Perancis. Desain dan spesifikasi kapal buatan Caputra dibuat sesuai dengan kebutuhan pemesan. Di luar itu, Caputra dapat melakukan modifikasi dan konversi jenis kapal apabila diminta. Caputra berfokus memproduksi kapal dengan bahan dasar aluminium dan baja. Kebutuhan bahan baku baja saat ini dapat dipenuhi dari dalam negeri. Persentase bahan baku dari dalam negeri mencapai 50 persen. Arie menyebutkan bahwa bahan baku aluminium masih harus diimpor dari Singapura. Sedangkan untuk mesin dan alat navigasi, impor dilakukan karena disesuaikan dengan spesifikasi produk yang diberikan oleh pemesan. Langkah ke Depan: Poros Maritim dan Kondisi Ekonomi Visi Indonesia menjadi Poros Maritim Dunia tentunya merupakan angin segar yang lama ditunggu oleh penggiat industri perkapalan, seperti halnya Caputra, untuk berperan lebih besar dalam
pertumbuhan industri nasional. Namun, kondisi ironis dihadapi oleh cabang industri itu karena kondisi ekonomi yang melemah, serta ditambah lesunya sektor migas sebagai salah satu pengguna utama perkapalan. Akibatnya, operator-operator yang bergerak di bidang shipping menurun aktivitasnya. Arie berpendapat bahwa tren ekonomi tersebut adalah kendala terbesar yang dihadapi saat ini. Sedangkan aturan-aturan di bidang industri perkapalan justru membantu dalam mewujudkan persaingan yang sehat. Dicontohkan olehnya, sebelumnya tidak ada standardisasi untuk perkapalan, namun saat ini sudah ada standar-standar yang dapat mendukung dari aspek keselamatan dan kualitas produk kapal. Caputra juga merasa didukung oleh Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) yang berfungsi sebagai surveyor dan bertugas melakukan uji coba kelas dan kondisi kapal serta dapat menentukan jadwal docking kapal. Ke depan, Caputra akan terus mengembangkan industri perkapalan yang dijalaninya, terlebih dengan keahliannya memproduksi kapal aluminium dengan pesaing yang masih jarang di Indonesia. Caputra juga mengandalkan galangan kapalnya yang memiliki kelebihan dibanding perusahaan lain, seperti fasilitas transfer car, slip way, dan air bags. Caputra berharap bahwa rencana pemberian fasilitas bebas Bea Masuk untuk impor komponen kapal bagi galangan kapal di luar Batam dapat direalisasikan agar dapat lebih mudah bagi perusahaan tersebut untuk menjalankan aktivitas usahanya.
Made in Indonesia
The First
42 Meter Aluminum Boat in Indonesia Started the business in construction engineering and suppliers of raw materials to other companies, now PT. Caputra Mitra Sejati has become a succcessfull shipbuilder of aluminum boats in the country.
T
he biggest achievemengt of Caputra is to be the first in Indonesia as the shipbuilder of 42 meters aluminum boat with the speed of 30 knots. The ship was launched in December 2014 called ‘Quicksilver 9’, one hundred percent made in the Indonesian worforce. Established in 1971, Caputra running its business as a contractor, primarily supplying the H-Beam metal to the steel company in the same group. Caputra then started engaging the shipyard since 1990. However, its shipyard has really operated since 2000. Located in Bojanegara, Suralaya (Banten), the shipyard of Caputra has the capacity up to 6 spaces for the new shipbuilding. Caputra has also owned repair facilities with the docking area which can accomodate up to 30 vessels per month. The vessels transporting fuel to Suralaya Steam Power Plant (PLTU Suralaya) has also anchored on the dockyard of Caputra. “Most of our activities are to repair the ships owned by oil & gas and coal companies,” explained Rosy Mahendra Aribowo, marketing manager of Caputra when met by Kina Magazine at INAMARINE exhibition, on May recently. The man called Arie as his nicknamed also mentioned that several government agencies and state-owned companies has ordered the new ships to Caputra. Generally, the types of ships orders produced by Caputra are crew boat, testing barge, snubbing barge and LNG petro boat. Caputra is also building the fast patrol boats for the Navy.
Another company in the same group has currently operated Quicksilver yacht made of Caputra. Initially, Quicksilver was operated by a company from Australia. Now, there are three Quicksilver vessels to manage, two vessels serving routes in Bali and one vessel at Marina Ancol. In the meantime, the product of Caputra are largerly to meet the domestic needs. However, the latest product of Caputra in the form of speedboat launched in this month is the order of a French company. The design and specifications of Caputra products is made according to the needs of the customers. Beyond that, Caputra can carry out modifications and conversion the type of ship as requested. Caputra has focused building vessels with the basic materials from aluminum and steel. The needs for steel raw materials can now be fullfiled domestically. The percentage of domestic raw materials has reached about 50 percent. Arie explained that the aluminum raw material has to be imported from Singapore. As for the engines and navigation equipments, they are still to be imported in order to meet the specifications given by the customer. The Step Forward: Maritime Axis and Economic Condition The Vision of Indonesia to become an Axis of World Maritime has certainly been a fresh wind that has long been awaited by the shipbuilding industry actors, such as Caputra that wants to play a bigger role in the growth of national industry.
However, the ironic condition has been faced by the shipping industry due to the weakening of the economic conditions, as well as the sluggish of oil and gas business as one of the major customers of shipping. As a result, many shipping companies have experienced the slowing down activities. Arie argued that the economic trends are to be the biggest obstacles faced today. While the existing regulation in the shipping industry has helped in creating the fairly competition. As an example, he mentioned that previously there was no standardization for shipping, but nowadays there are standards related to the aspect of safety and quality improvements of the products of vessels. Caputra has also been supported by the Bureau of Classification of Indonesia (BKI), which serves as surveyors and undertakes tests in terms of class and vessel’s condition and also can determine the ship docking schedule. Looking ahead, Caputra will continue to develop its shipbuilding business, especially with the expertise in building aluminum boats along with the competitors that are still few in Indonesia. Caputra can also rely on its shipyard which has some advantages over competitors, such as the availability of facilities of car transfer, slip way, and water bags. Caputra expects that the government’s plan to give the incentive facility of import duty-free to importing vessel components for the shipyard outside Batam can be realized in order to ease the company to run its business.
informasi | information » PT Caputra Mitra Sejati Jl. KH. Hasyim Ashari No. 2 Jakarta Pusat-10130 Phone: +6221-6343913 Fax: +6221-5343782 Website: www.caputra.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
21
Made in Indonesia
Indonesia Produksi Kapal Fiberglass Sebagai negara maritim, Indonesia tentunya membutuhkan banyak pasokan kapal laut untuk beragam keperluan. Potensi ini ditangkap PT Javanese Boat dengan memproduksi kapal dari bahan fiberglass dan aluminium.
M
enurut Presiden Direktur Javanese Boat, Arie Surjono, tujuan perusahaannya membuat kapal dari fiberglass dan aluminium adalah untuk mengisi kekurangan pasokan kapal jenis ini di dalam negeri. “Selain itu, kami juga ingin membuktikan kepada dunia kalau Indonesia juga mampu memproduksi kapal-kapal tersebut dengan kualitas yang tidak kalah dengan produksi asing,” tegasnya. Javanese Boat mulai memasarkan produksinya pada tahun 2007. Kapal yang pertama kali dibuat adalah kapal dengan ukuran 10 meter x 3 meter pesanan perusahaan lokal. “Kapal itu dibuat dengan jangka waktu selama enam bulan,” ujarnya. Hingga kini, perusahaan banyak memasok kapal fiberglass dengan berbagai jenis dan ukuran, serta berbagai bentuk hull, mulai dari monohull, catamaran, trimaran hingga pentamaran. Kapal-kapal itu juga banyak digunakan untuk keperluan wisata, Puskesmas terapung, kapal patroli, kapal untuk kru tambang, kapal penangkap ikan, dan sebagainya. Arie menjelaskan, produk Javanese Boat banyak diminati konsumen karena memiliki sejumlah
22
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
keunggulan, misalnya desain yang dirancang secara khusus. “Selain itu, dalam merancang dan memproduksi kapal, kami juga melibatkan si pemesan atau pembeli. Dengan begitu, mereka juga bisa mengungkapkan apa yang diinginkannya,” lanjutnya. Keunggulan kapal boat Javanese Boat juga terletak dalam pemakaian bahan baku. Semua bahan baku yang digunakan adalah yang up to date atau berkualitas terbaik. Bahan baku juga banyak yang didatangkan dari dalam negeri. Hanya bahan-bahan yang belum bisa diproduksi di dalam negeri saja yang terpaksa diimpor. Dalam hal pembuatan, kapal-kapal Javanese Boat dirancang dan diproduksi oleh tenaga-tenaga ahli dari dalam negeri yang memiliki pengalaman dan kemampuan yang mumpuni. “Tenaga-tenaga yang terlibat dalam pembuatan kapal boat ini sudah terbukti keandalannya, dan sampai sekarang belum ada komplain dari pihak pemesan,” papar Arie Surjono. Dijelaskan, keunggulan kualitas kapal boat yang diproduksinya antara lain dibuktikan dengan tidak
adanya gangguan di body maupun mesin ketika kapal itu berlayar secara non stop dari Surabaya menuju Sorong, Papua belum lama ini. Kondisi ini, ungkapnya, dikarenakan kapal tersebut sudah memenuhi semua persyaratan atau regulsi yang dikeluarkan instansi-instansi terkait soal produksi dan pengopersian kapal laut. Untuk menjaga kualitas produk, Javanese Boat tidak ingin membuat produk secara massal. Produksi hanya dilakukan jika ada permintaan dari pembeli. Dalam setahun, ujar Arie, pihaknya mampu memproduksi kapal boat dari fiberglass dan aluminium sebanyak 5 (lima) buah. Keputusan perusahaan untuk tidak memproduksi secara massal antara lain guna menjaga kualitas produk. “Kami tidak ingin terjebak pada persaingan harga bawah/harga murah, yang pada akhirnya akan bermuara pada penurunan kualitas. Begitu juga masalah waktu, dalam hal ini kami mencantumkan waktu pembangunan yang ideal sesuai pengalaman kami selama ini,” pungkasnya.
Made in Indonesia
Indonesia Produce
Fiberglass Boat As a maritime country, Indonesia needs lots of supply of ships for various purposes. This potency was captured by PT Javanese Boat by producing fiberglass and aluminum boats
A
ccording to the President of Javanese Boat, Arie Surjono, the purpose of his company to make boats made of fiberglass and aluminum is to fill the supply shortage of vessels of these types in the country. “Besides, we also want to prove to the world that Indonesia is also capable of building boats with the quality is not inferior compared to the foreign products,” he said. Javanese Boat began to market its production in 2007. The vessel firstly made is a boat with a size of 10 x 3 meters, an order of local company. “This boat was completed within six months,” he said.
So far, the company has largerly supplied the fiberglass boat with various types and sizes, as well as a variety of hull shapes, ranging from monohull, catamaran, trimaran to pentamaran. These boats are used for the purposes of tourism, floating health center, patrol boats, crew boats for mining, fishing vessels, and so on. Arie explained that the product of Javanese Boat has attracted many consumers because it has a number of advantages, such as the design of which is designed specifically. “Moreover, in designing and producing boats, we also involve the buyer. By doing so, they also can express what they want. “he further explained. The advantage of Javanese Boat also lies in the use of raw materials. All the raw materials used are up to date as well as the best quality. The raw materials are mostly obtained domestically. Only materials that can not be provided in the country that have to be imported. In terms of manufacturing process, the Javanese Boat products are designed and built by domestic experts having the qualified experience and capability. “The workers involved in shipbuiding are very skilfull and competent, and until now there is no
complaint from the buyer,” explained Arie Surjono. According to him, the superior quality of boat he builds, among others, is proven by the absence of disturbances in the body or the machine when the boat sailed non-stop from Surabaya to Sorong, Papua recently. “It could happen since the boat has already met all of the requirements and regulation issued by the related institutions regarding the production process and operations,” he explained. To maintain the product quality, Javanese Boat does not want to make the product en masse. The production is only done based on incoming orders from the buyer. Within a year, Arie explained, his company only produces the fiberglass and aluminum boats for five units. The company’s decision not to produce en masse, among others, is to maintain the quality of the product. “We do not want to be stuck at the bottom price competition/low prices, which will ultimately lead to a decrease in the quality of product. So is the matter of time, we always set up the ideal time for completing the product based on our experience to produce the best quality, “he concluded.
informasi | information » CV Javanese Indonesia Kawasan Pergudangan Industri, Safe N Lock Blok S 1869-Lingkar Timur KM 5,5, Sidoarjo, Indonesia Phone: +6281-703337505/+6281-333337303 Website: www.javaneseboat.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
23
Made in Indonesia
Mobil Listrik Nasional Andalan Masa Depan
Energi menupakan salah satu kebutuhan pokok yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Dalam hal ini, kebutuhan akan energi terus meningkat seiring dengan perkembangan jumlah penduduk. Semakin bertambah jumlah penduduknya, maka semakin banyak pula kebutuhan akan energi yang harus dipenuhi.
A
gar sumber energi, khususnya dari bahan bakar minyak bisa terus dinikmati generasi mendatang, diperlukan upaya untuk menghemat pemakaian energi. Terkait penghematan energi, PT Great Asia Link (GRAIN) telah memberikan kontribusinya dengan memproduksi mobil listrik. “Ketertarikan perseroan memproduksi mobil listrik karena di Indonesia dan negara lain belum banyak dikembangkan. Ini juga sebagai upaya kami membantu program pemerintah mengurangi anggaran subsidi BBM,” kata Presiden Direktur PT GRAIN, Martinus H. Koentjoro. Menurutnya, mobil listrik yang diproduksinya memiliki sejumlah keunggulan, seperti konsumsi energi yang lebih irit dibandingkan mobil yang menggunakan BBM. Berdasarkan perhitungan, untuk jarak sekitar 120 km, hanya membutuhkan biaya sekitar Rp 8.500,- untuk melakukan pengisian listrik. Sementara jika menggunakan BBM dengan jarak yang sama menghabiskan biaya 4 kali lipat. “Mobil listrik kami juga lebih hemat energi dibandingkan mobil menggunakan BBM pada saat kendaraan melaju. Penggunaan energi lebih irit saat terjadi kemacetan,” katanya. Selain itu, dengan mobil listrik, emisi karbon menjadi lebih rendah dan mengurangi polusi dibandingkan penggunaan BBM. Keunggulan lainnnya adalah hanya kendaraan listrik yag memiliki
24
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
Intelligent Transport System (ITS). Maksudnya, kendaraan bisa melakukan pengereman sendiri jika terjadi tabrakan. “Perawatan mobil listrik juga mudah, karena tidak memerlukan pergantian oli dan hanya perlu perawatan batere,” ucapnya seraya menambahkan bahwa untuk bisa menempuh jarak 120 km, batere mobil cukup di-charge selama 7 jam. PT. GRAIN telah memasarkan produk mobil listriknya sejak awal tahun 2014 setelah melalui riset selama dua tahun dengan merek Elvi yang merupakan akronim dari Electric Vehicle. Hingga saat ini, empat merek Elvi yang sudah dipasarkan, diantaranya yaitu Elvi Ravi untuk jenis APV, Elvi Hevi untuk jenis pick up, serta Elvi Hivi dan Elvi Suvi untuk jenis city car. Martinus menegaskan kalau teknologi pembuatan mobil ini murni berasal dari tenaga lokal dan bekerjasama dengan para pakar dari perguruan tinggi di dalam negeri.
Dalam hal produksi, perusahaan juga berusaha untuk menggunakan bahan baku dari dalam negeri. Hingga saat ini, Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN)-nya sudah mencapai 40% dan ditargetkan mencapai 80% dalam waktu lima tahun ke depan. Untuk meningkatkan TKDN-nya, perusahaan terus berusaha menjalin kerja asama dengan para produsen komponen mobil listrik di dalam negeri. “Saat ini kami tengah menjalin kerja asama dengan PT Nippres untuk membuat baterai,” ujarnya. PT GRAIN juga menjalin kerja sama dengan produsen chasis di dalam negeri untuk memasok chasis mobil listrik. Martinus optimis dengan semakin sadarnya masyarakat akan penghematan energi, penggunaan mobil listrik akan terus berkembang. Untuk mengantisipasi permintaan pasar tersebut, perusahaan telah memiliki pabrik dengan kapasitas produksi sebanyak 20.000 unit per tahun.
Made in Indonesia
The National Electric Car
The Mainstay of The Future
Energy is one of the primary needs that must be met by every human being. In this case, demand for energy continues to increase along with the population growth. The more number of the population, the more energy needs to be provided.
I
n order to preserve the energy sources frorm the excessive consumption so that it can still be enjoyed by the next generation, the efforts to save energy consumption is required. Related to energy savings, PT Great Asia Link (GRAIN) has given its contribution by producing electric cars. “The interest of the company to produce electric cars since this kind of cars has not been developed either in Indonesia or in other countries. It also represents our efforts to help the government program in reducing the budget of fuel subsidies, “said the President Director of PT GRAIN, Martin H. Koentjoro. According to him, the product of electric car has a number of advantages, such as the more efficient
in energy consumption than the car that uses fuel. Based on the calculation, for a distance of about 120 km, it only costs about Rp 8,500, - just to conduct electrical charging. Meanwhile, if using fuel with the same distance it needs 4 times as much. “Our electric cars are also more energy-savings than those using fuel when the cars are moving. The use of energy is more efficient when in congestion, “he said. In addition, with electric cars the carbon emissions will decrease and reduce the pollution compared to the use of fuel. Another advantage is that electric car is the only vehicle equipped with the Intelligent Transport System (ITS). It means that the vehicle could automatically do the braking if the
collision occurred. “The maintenance of electric car is also simple, because it does not require replacement of oil and only requires the maintenance of batteries,” he explained, while saying that to drive the distance of 120 km, the car batteries need to be charged only for 7 hours. PT. GRAIN has marketed its product of electric cars since the beginning of 2014 after conducting two years. The car is given Elvi brand constituting the acronym of Electric Vehicle. Until now, four Elvi brands has been marketed, they are Elvi Ravi for APV type, Elvi Hevi for Pick up type, as well as Elvi Hivi and Elvi Suvi for city car type. Martinus confirmed that this car-making technology is purely derived from local employees and supported by experts from domestic universities through collaboration agreement. In terms of production, the company also attempts to use the domestic raw materials. Today, the local content level (LCL) has reached about 40% and is expected to rise up to 80% within the next five years. To increase its local content, the company continues to establish the partnership with the electric car components manufacturers in the country. “Currently we have established a collaboration with PT Nippres to produce batteries,” he said. PT GRAIN has also cooperated with the domestic chassis manufacturers to supply the electric car chassis. Martinus is optimistic with the increase of the public awareness towards energy savings, the use of electric cars will continue to increase. To anticipate the market demands, the company has a factory with the production capacity of about 20,000 units per year.
informasi | information » PT Great Asia Link (Grain) Jl. Panjang Jiwo 58, Surabaya-60299, Indonesia Phone: +6231-8433166/8418288 Fax: +6231-8411371 Website: www.grain.co.id
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
25
Made in Indonesia
KOLABORASI BERBUAH
JIP KHUSUS TEMPUR Jip Kendaraan Khusus (Ransus) Indonesian Light Strike Vehicle (ILSV) ini merupakan hasil produksi bersama PT Dirgantara Indonesia (PT DI) dan PT Jala Berikat Nusantara Perkasa (PT Jala), baik dalam hal konsep desain maupun detail engineering.
K
erja sama pengerjaan ini sudah dilakukan sejak tahun 2012, seperti yang dikemukakan oleh tim pelaksana teknik manufaktur PT DI, Udjang Hasan Subekti. Karena belum memiliki pabrik perakitan kendaraan dengan spesifikasi sesuai kebutuhan angkatan (TNI, red.), maka dilakukan kolaborasi produksi PT Jala dengan PT DI. “Kami melakukan pembagian teknologi (sharing technology), karena PT DI merupakan satu-satunya industri yang teknologinya paling high tech di Indonesia di bidang teknologi aeronautika. ILSV sendiri merupakan kendaraan taktis multifungsi yang unggul di segala medan, serta jip ini dapat digunakan baik sebagai kendaraan taktis ataupun sebagai kendaraan khusus. “Kami juga ingin menjadikan ILSV sebagai kendaraan yang unik dan berbeda sesuai kebutuhan TNI. Kendaraan yang rangkanya dibuat dari aluminium alloy ini termasuk ringan, karena beratnya hanya berkisar 2,4 sampai 2,5 ton. Sebagai perbandingan, kendaraan tempur (ranpur) produksi PT PINDAD beratnya sekitar hampir 5 ton, karena dibuat dari besi baja,” jelasnya. Selain dengan PT DI, PT Jala juga bekerja sama dengan vendor lain untuk pengadaan suku cadangnya. PT DI juga dipandang paling mumpuni menguasai analisa engineering, karena sampai saat ini hampir tidak ada pesawat produksi PT DI yang ‘gagal’ atau jatuh dari udara.
26
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
Didampingi oleh Perdana Kantya Nugroho dari PT Jala, Udjang menjelaskan selain ringan, kendaraan ini juga lincah digunakan di lapangan, namun menampilkan “postur” yang tebal sehingga memiliki ketahanan yang cukup apabila ditembak dengan senjata. Selain itu, ILSV juga menggunakan bahan bakar solar dan chassis-nya monocoque (bersatu dengan bodi kendaraan). Sekitar 70 persen komponennya sudah diproduksi dalam negeri. Mesin utamanya masih impor, dan Jepang menjadi pilihan karena negara tersebut menawarkan perlengkapan jasa purna jual (after sales) yang lebih mudah, dibandingkan impor mesin dari Eropa. Mesin yang masih diimpor tersebut, bukan karena bangsa Indonesia tidak mampu memproduksinya di dalam negeri, tetapi karena fasilitas permesinan (otomotive machining)-nya mahal sekali. Tidak hanya mampu menghasilkan semua jenis komponen dan mesin, para insiyur Indonesia juga sebetulnya sudah menguasai metalurginya. Namun untuk menghasilkan satu unit ILSV, diperlukan waktu sekitar dua bulan. Karenanya dalam setahun produksi kendaraan ini sekitar 10 unit saja. “Sesuai persyaratan yang ditetapkan oleh Kementerian Pertahanan, kami bekerja mengikuti prosedur TNI,” lanjut Udjang. Dalam bidang perlengkapan militer, biasanya TNI membutuhkan kendaraan yang mampu menarik kendaraan lain yang
beratnya bervariasi, apakah 2,5 ton, 5 ton, ataupun 10 ton. Maka, mereka akan mencari siapa produsen yang mampu menghasilkan kendaraan sejenis itu. Untuk itu, ILSV juga menawarkan konsep kendaraan yang bisa membawa senjata menengah, senjata ringan, roket, maupun membawa penumpang. Kendati kendaraan ini dikonsep untuk memenuhi kebutuhan militer, tetapi tidak menutup kemungkinan dipakai juga bagi masyarakat sipil. Udjang menambahkan, “mengapa produksi kami menjadi pilihan, karena rata-rata pabrikan otomotif sudah tidak memproduksi jip lagi, yang dulu dikenal dengan CJ 7 dan Land Rover. Mereka lebih cenderung memilih untuk produksi kendaraan jenis Sport Utility Vehicle (SUV), karena menurut mereka kendaraan jip sifatnya lebih ekskusif.” Apabila dihitung berdasarkan kebutuhan TNI baik di darat, laut, dan udara, setiap tahun seharusnya mereka membutuhkan jip seperti ILSV sekitar 4 ribu unit. Tetapi kenyataannya, dalam setahun yang diajukan hanya sekitar 200 unit kendaraan. Produk jip ILSV ini sangat kompetitif dalam harga, dimana produk kolaborasi PT DI dan PT Jala ini “hanya” dijual Rp 4 miliar per unit. Sementara kalau dibeli dari Amerika Serikat ataupun Australia, harganya sekitar Rp 12 miliar. Padahal, Australia juga mengadopsi teknologi dari luar negaranya, lalu mereka rakit kendaraan tersebut di dalam negeri.
Made in Indonesia
Special Jeep Vehicles (Ransus) Indonesian Light Strike Vehicle (ILSV) is the outcome of joint production between PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI) and PT. Jala Berikat Nusantara Perkasa (PT. Jala), both in terms of design concept and detail engineering.
Collaboration Resulting
Special Jeep Military Vehicle
J
oint production has been carried out since 2012, as explained by the execution team of manufacturing techniques PT. DI, Udjang Hasan Subekti. Since there is no a vehicle assembly factory with the specification as required by Indonesian National Army (TNI), then was set the collaboration scheme of production between PT. Jala and PT. DI. “We have conducted sharing technology, as PT DI is the only industry having the most advance high-tech in Indonesia in the field of aeronautics technology. ILSV itself is a multifunctional tactical vehicle that excels in all fields, and this jeep can be used both as a tactical vehicle, or special vehicle. “We also want to make ILSV as a unique and different vehicle and suitable for military purposes. This vehicle with its frame made of aluminum alloy is relatively light, because it weighs only about 2.4 to 2.5 tons. As comparison, the combat vehicle produced by PT. PINDAD weighs almost double, about 5 tons since it is made of steel, “he explained. Besides with PT. DI, PT Jala has also collaborated
with other vendors for the procurement of spare parts. PT. DI is also considered to be the most qualified in terms of engineering analysis, as until now there is almost no aircraft product of PT. DI considered to be ‘failed’ or crashed from the air. Accompanied by Perdana Kantya Nugroho from PT. Jala, Udjang explained that in addition to light, this vehicle is also agile in the field, but it displays thick “posture” so that it possesses sufficient resilience from shot of guns. In addition, ILSV also uses diesel fuel and has monocoque chassis (fused with the vehicle body). About 70 percent of the components has been produced in the country. The main engine has still to be imported, and Japan has become the first choice since it offers better after sales services, compared to that from Europe. The engine is still imported, not because it can not be produced domestically, but due to the automotive machining facility that is very expensive. Not only able to produce all kinds of components and engines, the local engineers actually have already
mastered metallurgy. To produce one unit of ILSV, it takes about two months. Therefore, in one year can be produced about 10 units of vehicles. “In accordance with the requirements set by the Ministry of Defence, we work by following the military procedure,” Udjang further explained. In terms of military equipments, Indonesian army usually requires vehicles that are able to pull other vehicles with various weighs, wether 2.5 tons, 5 tons, or 10 tons. Then, they will find out the manufacturer that are able to produce the kind of vehicles. For that reason, ILSV also offers the concept of vehicle that could carry medium weapons, light weapons, rockets, or passengers. Despite this vehicle is conceptualized to meet the military puposes, but it is also possible to fulfill the public needs. Udjang added, “why our products has become the option, because other automotive manufacturers have no longer produced jeeps, formerly known as CJ 7 and Land Rover. They are more likely to choose the type of product categorized as Sport Utility Vehicle (SUV), because they consider that jeep vehicle is more exclusive. “ By calculating based on the needs of Indonesian Army (TNI), both on land, sea, and air, every year they need jeep like ILSV about 4 thousand units. But in fact, in one year they only propose about 200 units of the vehicle. The product of ILSV jeep is very competitive in price, since the product of collaboration between PT. DI and PT Jala is “only” sold for IDR 4 billion per unit. Meanwhile, if purchased from the United States or Australia, it costs about IDR 12 billion per unit. Though, Australia has also adopted the technology from abroad, then they assemble the vehicles in the country.
informasi | information » PT Dirgantara Indonesia Jl. Pajajaran No. 154 Bandung 40174, Indonesia Phone: +6222-6002572 Fax: +6222-6031903 Website: www.indonesian-aerospace.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
27
Made in Indonesia
Siap Bersaing
Dengan Produk-Produk Impor Meski berhadapan dengan produk sejenis asal industri besar maupun barang impor, namun produk alat rumah tangga berbahan baku alumunium buatan ED Alumunium, mampu bersaing di pasar lokal.
D
emikian pengakuan Bambang Cahyono, pimpinan ED Alumunium, ketika ditemui Majalah Kina di ruang kerjanya di Yogyakarta, belum lama ini. Dia menuturkan bahwa usaha yang ditekuninya saat ini merupakan usaha turun-temurun sejak tahun 1960-an lalu. Kini, ED Alumunium mampu menghasilkan lebih dari 50 jenis produk alat rumah tangga berbahan baku alumunium yang dipasarkan ke seluruh wilayah tanah air, terutama di Indonesia bagian Barat. Bahkan, tambahnya, selain bisnis inti berupa alat rumah tangga, ED Alumunium juga sudah memproduksi sepeda berbahan baku alumunium. “Sepeda buatan kami baru diproduksi apabila ada pesanan, minimal 50 unit. Berbagai instansi pernah memesan sepeda dari ED Alumunium, meski dalam jumlah yang tidak terlalu besar,” ujarnya penuh bangga. Ia mengaku, bisnis alat rumah tangga di pasar dalam negeri persaingannya cukup ketat. Persaingan itu, tambahnya, tidak saja datang dari produsen
28
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
sejenis dari dalam negeri, tetapi juga produk impor seperti dari Tiongkok, Korea, Jepang, dan lainnya. “Sebetulnya persaingan dengan produk impor itu tidak terlalu berat, apabila suku bunga bank tidak kelewat tinggi, yang sekarang mencapai 14% per tahun,” lanjut Bambang. Selain persoalan suku bunga bank yang tinggi, persoalan pajak juga dirasakan ikut memberatkan. Kedua hal tadi menjadi hambatan dalam merebut persaingan pasar di dalam negeri. Dalam kondisi persaingan pasar yang semakin ketat itu, nilai produksi juga sulit untuk dinaikkan. Dia menyebutkan, nilai produksi per tahun hanya sebesar Rp12 milyar (2013) dan Rp14,4 milyar (2014). “Nilai produksi sebesar itu masih belum optimal. Sebab, target produksi ED Alumunium adalah Rp50100 milyar per tahun,” tegas Bambang Cahyono. Ia menambahkan, kemampuan produksi alat rumah tangga perusahaannya masih bisa lebih besar lagi. Pasalnya, ED Alumunium memiliki kemampuan dalam penguasaan teknologi yang ditandai dengan
penggunaan mesin/peralatan yang cukup modern. Selain itu, juga ketersediaan tenaga terampil yang cukup dan manajemen produksi yang sudah memperoleh ISO 9001-2000/SNI 19-9001-2001. Bersamaan dengan itu, ED Alumunium juga berhasil meraih sertifikat Manufacturing of Aluminum Cookware and Accessories dari Balai Besar Bahan dan Barang Teknik (B4T), Bandung, pada tahun 2009. Di samping itu, penghargaan juga diraih dari Menteri Riset dan Teknolgi dalam bidang Anugerah Apresiasi Inovasi BD Alloy Casting Production C-Maxi, kota Yogyakarta, untuk kategori Technopreneur UMKM. Untuk menghadapi persiangan pasar yang semakin ketat di masa mendatang, ia menyarankan kepada pemerintah agar bisa turun langsung ke lapangan melalui pendampingan teknis serta memfasilitasi industri-industri yang diunggulkan. Selain itu jua perlu dipertimbangkan adanya perlindungan bagi produk IKM dalam persaingan di pasar lokal terhadap produk sejenis yang berasal dari impor.
Made in Indonesia
Ready to Compete
With the Imported Products Although competing with the similar products of large companies and imported products, the household appliance products of ED Aluminum with the raw material of aluminum is still survive in local market.
T
hat is what Bambang Cahyono, the owner of ED aluminium, explained when met by Kina Magazine at his office in Yogyakarta, recently. He added that the business he has been running is a hereditary business that has operated since the year 1960. Currently, ED Aluminium is able to produce more than 50 types of household appliance products made of aluminum that are marketed throughout the country, especially in the western part of Indonesia. Even, he explained, besides his core business in household appliances, ED Aluminum has also produced bicycles made of aluminum. “We only produce the bicycle when there is an order for at least 50 units. Various agencies has ever ordered the bicycles made of aluminum to ED aluminum, although still for the quite limited number, “he explained with pride. He argued that running the business in household appliance products faces tight competition in domestic market. Competition, he added, is not only with domestic producers but also with imported products such as from China, Korea, and Japan. “Actually, competition with imported products is not worriying, provided that the interest rates is not too high, which now reaches 14% per year,” said Bambang. Besides the problem of high interest rates, the taxes is also another burden. Both of them become obstacle to win the competition in domestic market. Under the increasingly fierce competition, the production value is also difficult to be increased. He said that the production value per year amounted only about Rp 12 billion in 2013 and Rp 14.4 billion in 2014.
“This amount of production value is obviously still under performed since the production value targetted by ED aluminum is around Rp 50 - 100 billion per year,” he further explained. He added that the production capacity of ED Aluminum could be much greater. Because ED Aluminum has the capacity in aquiring technology shown by the use of modern machineries/ equipments. In addition, ED Aluminum has also employed skillful workers as well as implemented the production management process that is ISO 9001-2000/SNI 19-9001-2001. Along with it, the ED Aluminum has successfully earned the certificate of Manufacturing of Aluminum Cookware and Accessories by the Center for Material and Technical Goods (B4T), Bandung, in 2009. Besides, the award was also received from the Minister of Research and Technologically in the field
of innovation BD Alloy Casting Production C-Maxi, Yogyakarta, for the SMEs Technopreneur category. To face the increasingly fierce market competition in the future, he suggested to the government to directly take action in the field through providing technical assistance and to facilitate the development of mainstay industries. Lastly, it needs to be considered that the government could provide protection for the products of SMEs in local market competition against similar products from imports.
informasi | information » ED Aluminium Jl. Ki Guno Mrico No. 414 Giwangan, Yogyakarta-55163, Indonesia Phone: +62274-7486689 Website: www.alloycasted.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
29
Made in Indonesia
PRODUSEN PONSEL LOKAL TINGKATKAN TKDN BERTAHAP
Sebagai salah satu pabrik yang bergerak dalam perakitan manufaktur elektronik, PT Sat Nusapersada, Tbk (PTSN) berencana meningkatkan kandungan lokalnya secara bertahap setiap tahun.
D
engan demikian, dapat memenuhi kewajiban Tingkat Kandungan Dalam Negeri (TKDN) produksi telepon selular pintar (smartphone) yang direncanakan pemerintah pada tahun 2017 sebesar 30 persen, dan secara bertahap akan terus dilakukan sampai 100 persen. “Memang butuh waktu agak lama untuk melakukan pemenuhan TKDN di dalam negeri. Tetapi kita punya kesempatan luas, yang dilakukan sambil mengundang industri pendukung secara bertahap masuk ke Indonesia,” papar Abidin, Presiden Direktur PT Sat Nusapersada Tbk, yang ditemui Kina di Batam belum lama ini. Sekarang ini, Indonesia masih lemah dalam supporting industries, sehingga komponen seperti IC (Integrated Circuit), chip, resistor, PCBA, dan komponen lainnya masih harus diimpor dari Tiongkok. Selain menjadi salah satu produsen terbesar dunia untuk komponen elektronik, produk dari Tiongkok juga dikenal murah meriah. “Ini dapat menjadi kelemahan kita dalam local manufacturing, karena kita masih banyak tergantung impor,” lanjut Abidin. PTSN adalah perusahaan yang menyediakan jasa perakitan produk elektronik yang didirikan tahun 1990 dan berlokasi di Batam, Kepulauan Riau. PTSN memiliki beberapa fasilitas mulai dari proses surface mount technology (SMT), metal stamping, plastic injection, auto spray painting, sampai perakitan final (final assembly). Hal ini dapat meningkatkan kualitas layanannya secara terintegrasi, yang dapat merampingkan proses rantai pasokan, mengurangi lead time, persediaan produksi, dan menghemat biaya cukup besar. Secara bertahap PTSN akan mulai memproduksi ponsel dari komponen setengah terurai (Semi Knocked Down), sampai pengerjaan komponen yang terurai seluruhnya (Completely Knocked Down) dengan manajemen rantai suplai. Namun saat ini, pihaknya juga menggarap sejumlah pesanan dari banyak perusahaan elektronika lainnya, baik untuk pengerjaan PCB ataupun komponen yang diperlukan sesuai spesifikasi yang diinginkan. Untuk mendukung perakitannya, PTSN bekerjasama dengan rumah desain TSM Technologies. Selain sejumlah perusahaan elektronika yang berlokasi di Batam, klien atau mitra PTSN adalah perusahaan yang berasal dari Singapura, Malaysia, Jepang, dan negara-negara Eropa. “Ada produk yang kami ekspor, seperti baterai,
30
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
PCBA, network hub computer, dan juga power supply. Semuanya dirakit di PTSN di mana sebagian komponennya berasal dari impor dan ada juga komponen yang berasal dari dalam negeri,” paparnya. Untuk itu, perusahaan juga sudah mengantongi sejumlah standar bersertifikasi internasional seperti ISO 9001 : 2008 dan ISO 14001 : 2004 di bidang quality management dan kelestarian lingkungan. Selain itu, perusahaan juga sudah memiliki sertifikat yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia di bidang Sistem Manajemen untuk Keselamatan dan Kesehatan (SMK3/OHSAS). Lebih lanjut, Abidin menegaskan kembali harapannya, agar pemerintah mengeluarkan ketentuan tertulis mengenai perlunya produsen ponsel lokal menguasai teknologi 3G di Indonesia. “Kami harapkan pemerintah tidak hanya mengatur ketentuan penguasaan 4G saja di Indonesia, tetapi kalau bisa juga ‘mengunci’ impor ponsel 3G, mengingat di Indonesia saat ini ponsel 3G masih menguasai pasar. Malah, teknologi 4G itu kurang besar peminatnya di sini,” lanjutnya. Jumlah impor ponsel ke Indonesia sekitar 60 juta unit per tahun, angka yang tentunya sangat fantastis. Itu sebabnya, peluang ini harus diikat dengan aturan dari pemerintah, supaya dapat ‘memaksa’ para investor membuka pabrik di sini. Jika semua ponsel bisa diproduksi di dalam negeri, akan cukup signifikan
untuk menekan angka impor yang nilainya sangat tinggi. Saat ini PTSN tengah menangani sejumlah pengerjaan perakitan komponen smartphone, yakni untuk ASUS jenis Zenfone 2 dan Hisense jenis Andromax Smartfren. Produksi ponsel ASUS yang sudah dimulai sejak bulan Mei tahun ini, rencananya akan menghasilkan 160 ribu unit setiap bulan, dan ditujukan mengisi pasar di dalam negeri saja. Untuk proyek ini, perusahaan menanamkan investasi baru senilai US$2 juta melalui penambahan kapasitas dua line produksi. PTSN sudah siap melakukan perakitan 3 juta unit ponsel setiap bulan. Dengan penambahan line produksi yang baru, diperkirakan menyerap tambahan tenaga kerja 10-12 ribu orang. Jumlah itu hanya di bidang perakitan saja, belum termasuk kerjasama dengan subkontraktor bidang industri kecil menengah (IKM), yang jumlahnya diperkirakan 25-35 ribu orang. PT Sat Nusapersada tidak hanya fokus pada proyek ponsel saja. Ada sejumlah proyek lain seperti rencana kerjasama produksi baterai milik salah satu produsen elektronika dari luar negeri. Rencananya, kapasitas produksi baterai tersebut sekitar delapan juta unit per bulan. “Diperkirakan, investasi tambahan untuk proyek ini sebesar US$3 juta yang akan dilakukan secara bertahap,” pungkas Abidin.
Made in Indonesia
Local Mobile Phone Producer Increases LCL Gradually As a company engaged in electronic manufacturing assembly, PT Sat Nusapersada, Tbk (PTSN) plans to increase its local content level (LCL) gradually every year.
I
t is asked by the goverment to meet the requirement of LCL product of smartphone which is required at 30 percent in 2017, and gradually it wil be increased until 100 percent. “Of course, It takes a bit longer to meet LCL. But we have a great opportunity, while inviting supporting industries from abroad to enter to Indonesia, “explained Abidin, the President Director of PT Sat Nusapersada Tbk met by Kina Magazine in Batam recently. Today, Indonesia is still weak in supporting industries, so that the components such as IC (Integrated Circuit), chip, resistor, PCBA, and other components still have to be imported from China. Besides to be one of the world’s largest producers of electronic components, the products of China are considered to be very cheap. “It can be our weakness in local manufacturing, because we still highly depend on imports,” said Abidin. PTSN is a company running in electronic product assembly and it was established in 1990,
located in Batam, Riau Islands. PTSN has several facilities ranging from the process of surface mount technology (SMT), metal stamping, plastic injection, auto spray painting, until the final assembly. This can improve the quality of its services in an integrated manner, which consequently can streamline the supply chain process, reduce lead time and product inventory, and saves considerable cost. G r a d u a l l y, P T S N will start producing mobile phones f ro m S e m i Kn o cke d Down to Completely Knocked Down by implementing supply chain management. Today PTSN also carries out a number of orders from other electronics companies, both for the PCBA and other components according to the required specifications. To support the assembly project, PTSN has established collaboration with design house TSM Technologies. In addition with a number of electronics companies located in Batam, PTSN has also partnered with the companies from Singapore, Malaysia, Japan, and the European countries. “There are many products we export, such as batteries, PCBA, network hub computer, and also power supply. All are assembled in PTSN where the components are partly imported and the remaining are obtained domestically, “he explained. Therefore, the company has already obtained a number of international standard sertificates such as ISO 9001:2008 and ISO 14001:2004 in the field of quality management and environmental sustainability. Moreover, the company has also owned the certificate issued by the Government of Indonesia on the Management System for Safety and Health (SMK3/OHSAS). Abidin emphasized his hope that the government should issue the regulation for local mobile phone
producers to acquire the 3G technology in Indonesia. “We hope the government does not only regulate the provision of 4G technology, but the goverment can ‘lock’ the import of 3G mobile phones, given the 3G mobile phone has strongly dominated the market. On the other hand, the market for 4G technology is still limited, “he explained. The total import of mobile phone products in Indonesia are about 60 million units per year, which are very fantastic. That is why, this opportunity should be bound by the government to stimulate the investors opening the factories in Indonesia. If mobile phone largely can be produced in the country, it will be significant to reduce the high value of imports. Currently PTSN has been assembling the smartphone components, that are for ASUS type Zenfone 2 and Hisense type Andromax Smartfren. The production capacity to produce ASUS mobile phones which has started in May this year, is about 160 thousand units per month, and it is intended to serve only the domestic market. To undertake this project, the company has invested US$ 2 million through the addition of production capacity for two production lines. Today PTSN has been ready to carry out the assembly process of 3 million units of mobile phones a month. With the addition of the new production lines, it is expected to absorb the new labor force for 10-12 thousand people. These amount are only in the assembly line, excluding the labor force needed in the established cooperation with SMEs as subcontractors which are estimated of about 25-35 thousand people. PT Sat Nusapersada does not only focus on mobile phone projects. There are a number of other projects such as the plan to set the partnership with an electronic producer from broad to produce mobile phone battery. It is estimated that the production capacity to produce such products is around 8 million units per month. “It is estimated, the additional investment for this project is about US$ 3 million that will be absorbed gradually, “concluded Abidin.
informasi | information » PT Sat Nusapersada Tbk Jl. Pelita VI No. 99, Kp. Pelita, Batam-29432, Indonesia Phone: +62778-425888 Fax: +62778-426988 Website: www.satnusa.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
31
Made in Indonesia
Go Green
dengan Baterai Tenaga Surya Lithium Jeli memanfaatkan peluang adalah salah satu syarat untuk bertahan di dunia bisnis. Begitu pula dengan PT. DSBC Indonesia (DSBC) . Berbagai peluang yang pernah diambil membuat perusahaan tersebut berhasil mengembangkan bisnis, dari awalnya sebagai penjual dan distributor menjadi produsen yang terus berinovasi.
S
alah satu peluang yang diambil DSBC adalah memproduksi baterai tenaga surya dengan bahan yang tidak digunakan oleh produsen baterai tenaga surya lainnya. Hasilnya, DSBC saat ini merupakan satu-satunya produsen baterai tenaga surya berbahan lithium di Indonesia. Pemilik DSBC, David Susanto Ang, memulai bisnis penjualan ponsel dan distribusi aksesoris ponsel di tahun 2000. Sebagai distributor, David kerap menerima komplain dari pelanggan mengenai kualitas produk, terutama baterai, yang kurang memuaskan. Berawal dari situ, David bertekad membuat baterai ponsel dengan mutu prima. Setelah melalui riset, kunjungan ke beberapa pabrikan baterai di Tiongkok serta rangkaian ujicoba, David memproduksi baterai ponsel dengan merek DSBC sejak 2004. Merek tersebut merupakan singkatan dari David Solo Baru Cell, kombinasi antara nama pemilik bisnis dan lokasi pertama kali kantor perusahaan tersebut didirikan. Hingga kini, produk baterai ponsel produksi DSBC telah dipasarkan hampir ke seluruh Indonesia. Wilayah distribusinya pun telah menjangkau kotakota yang jauh seperti Sorong dan Banda Aceh. DSBC juga memproduksi baterai untuk salah satu ponsel produksi dalam negeri. Baterai Tenaga Surya Penerimaan pasar yang positif bagi baterai ponsel produksi DSBC memberi semangat perusahaan tersebut untuk terus melakukan inovasi. Sejak tiga tahun lalu, DBSC mulai mengembangkan baterai berbahan dasar Li-ion (lithium ion) dengan kapasitas yang lebih besar untuk digunakan di sepeda listrik, lampu penerangan jalan umum (PJU), rumah tangga serta Uninterruptible Power Supply (UPS). Namun, produk tersebut tidak dipasarkan hingga sebelum tahun 2014. DSBC menyadari bahwa sebagai pesaing, DSBC harus memiliki spesifikasi produk yang lebih baik dengan produk sejenis yang sudah lebih dulu ada di pasaran. Setelah melakukan riset dan ujicoba sekitar dua tahun, baterai tenaga surya DSBC
32
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
baru dipasarkan. “Produk kami diujicoba di Kantor Jawa Pos Jakarta untuk menyalakan lampu PJU berdaya 120 Watt. Ini sudah masuk tahun ketiga dan masih bekerja dengan baik,” ujar Indrawati, CEO DSBC yang juga merupakan istri David. Sebagai perbandingan, baterai tenaga surya lain yang berbahan dasar gel atau baterai kering tahan hanya sampai sekitar satu tahun. Selain masa pakai baterai yang bisa mencapai lima tahun, baterai tenaga surya DSBC juga berbobot lebih ringan dibanding baterai tenaga surya lainnya. Untuk menghidupkan lampu PJU jalan tol dengan daya 120 Watt, hanya diperlukan baterai DSBC seberat 20 kg. Ini jauh lebih ringan dibanding baterai tenaga surya jenis lain untuk daya yang sama, yaitu beratnya 59 kg sebanyak dua buah. Dipaparkan Indrawati, baterai tenaga surya berbahan lithium yang diproduksinya memang cukup mahal. Sebagai ilustrasi, untuk satu luasan camp perkebunan kelapa sawit, perlu menyediakan dana sekitar Rp200-300 juta untuk baterai tenaga surya DBSC. Biaya tersebut tergantung jumlah alat listrik yang akan dipakai dan lama pemakaiannya. Namun, secara ekonomis, biaya tersebut menjadi lebih ringan mengingat baterai dapat bertahan hingga lima tahun. Karena nilai ekonomisnya, baterai tenaga surya DSBC saat ini mulai banyak digunakan sebagai pengganti genset, mengingat solar sebagai bahan bakar genset semakin tinggi harganya. Mutu bahan baku dan kemampuan SDM merupakan faktor prioritas bagi DSBC untuk menghasilkan produk berkualitas tinggi. Saat ini, bahan baku cell lithium masih harus didatangkan dari Jepang, begitu pula komponen IC (integrated circuit) didatangkan dari Taiwan. Impor kedua bahan baku tersebut dilakukan untuk mempertahankan kualitas baterai. Bahan baku lain seperti bijih plastik dan tenol merupakan produk domestik. Hal ini berpengaruh pada angka Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) produk-produk baterai DSBC. “Saat ini TKDN kami hampir mencapai 25%.
Memang masih rendah, karena komponen utama baterai adalah cell yang harus diimpor dari Jepang. Tapi bahan-bahan lainnya serta tenaga kerja 100% dari dalam negeri,” lanjut Indrawati. DSBC dan Masa Depan Industri Hijau Baterai tenaga surya berbahan lithium yang tahan lama juga memberikan dampak positif bagi lingkungan. Baterai yang lebih lama masa pakainya akan mengurangi jumlah limbah. Baterai tenaga surya merupakan sumber energi yang dapat menggantikan genset, terutama di daerah-daerah yang belum mendapatkan aliran listrik dari PLN. Indrawati menyampaikan bahwa produknya benar-benar mewujudkan semangat “Go Green” yang diangkat oleh perusahaannya. Upaya DSBC tersebut telah mendapatkan apresiasi dalam bentuk penghargaan “Special Award of Eco Friendly Product” dari sebuah majalah digital ternama. Saat ini, produk baterai DSBC mulai banyak digunakan di luar Pulau Jawa. Pasar bagi baterai tenaga surya lithium masih sangat luas sehingga DSBC memilih fokus untuk mengembangkan potensi di dalam negeri ini sebelum menjajal pasar ekspor. Tenaga surya sekarang semakin menjadi harapan untuk menghindari krisis energi. DSBC berharap dapat semakin berperan di dalam program-program pemerintah terkait penyediaan energi terbarukan, termasuk di luar Jawa. Harapan lainnya adalah diberlakukannya SNI untuk baterai lithium. “Kami sudah mengajukan sejak sekitar lima tahun lalu, tapi sampai sekarang standarnya belum keluar,” tukas Indrawati. Dengan adanya SNI tersebut, seperti halnya sertifikasi TKDN, akan dapat mendukung perkembangan bisnis mereka sebagai satu-satunya produsen baterai tenaga listrik lithium saat ini. Dengan keunggulan kualitas bahan, tenaga kerja yang terampil dan riset yang menyeluruh, serta mengingat kebutuhan sumber energi terbarukan yang besar di masa depan, DSBC optimistis bahwa industri baterai tenaga surya lithium dapat semakin berkembang di masa depan.
Made in Indonesia
Go Green with Lithium Solar Battery
The agility to take advantage of opportunities is one of the requirements to survive in the business. So as PT. DSBC Indonesia (DSBC). The various opportunities that have ever been taken has led the company to successfully develop the business, from a seller and distributor at the beginning to become a producer continuing to innovate.
O
ne opportunity taken by DSBC is to produce solar batteries with the materials that are not used by other solar battery producers. Hence, DSBC currently is the sole producer of solar power batteries that uses lithium raw material in Indonesia. The DSBC owner, David Susanto Ang, started running the business in selling mobile phones and mobile phone accessories distribution in 2000. As a distributor, David often received complaints from customers regarding the product quality, especially the battery, which is unsatisfactory. Starting from this problem, David was committted to produce high quality of mobile phone batteries. After conducting research, visiting to several battery manufacturers in China and a series of trials, David has produced mobile phone battery with DSBC brand since 2004. This brand is an abbreviation of David Solo Baru Cell, the combination of the business owner’s name (David) and the location of the company (Solo Baru) when it was established. Up to now, the mobile phone battery products of DSBC has been marketed almost throughout Indonesia. The distribution destination has reached the distant cities like Sorong and Banda Aceh. DSBC has also produced mobile phone batteries for one of the mobile phone produced domestically. The Solar Power Battery The positive market acceptance for the mobile phone battery produced by DSBC has encouraged the company to continuously innovate. Since three years ago, DBSC has begun developing Li-ion (lithium) based battery with the greater capacity to be used in electric bicycles, street lighting (PJU), households as well as Uninterruptible Power Supply (UPS). However, the product was not marketed up to 2014. DSBC realized that as a competitor, DSBC should have a better product specifications compared to similar products that had been already on the market. After conducting research and tests about two years, solar power battery of DSBC was ready to be marketed in 2014. “Our products were tested in the office of Jawa Pos Jakarta to turning on streetlights of 120 Watt. It has been entered in the third year and still worked well, “explained Indrawati, who is also the wife of David. For comparison, another solar power battery with gel-based materials or dry battery will last only for about one year. In addition to the battery lifetime that can last for five years, solar power battery of DSBC also weighs lighter than other solar power batteries. To turn on the street lights highway of 120 Watt, it only needs the battery of DSBC that weighs 20 kg. It is much lighter than other types of solar power batteries for the same power that is 59 kg weighs as many as two. Explained by Indrawati, the solar batteries with lithium-based material produced is quite expensive. As an illustration, for a camp area of oil palm plantations, we need to provide funding of about Rp 200-300 million for the solar power battery of DBSC. This cost depends on the number of electrical equipment that will be used and the duration of the use.
However, economically, the cost seems to be cheaper since the battery can last up to five years. Because of its economic value, the solar power battery of DSBC is now widely used as the replacement of generator, considering the diesel as the gensets fuel is becoming more expensive in prices. The quality of raw materials and human resources capabilities is a priority factor for DSBC to produce the high quality products. Nowadays, cell lithium raw material is still to be imported from Japan, as well as IC (integrated circuit) components is imported from Taiwan. Imports of both raw materials is done to maintain the quality of the battery. Other raw materials such as plastic ore and tenol are obtained domestically. It affects the LCL of DSBC battery products. “Currently our LCL nearly reachs 25%. It is still relatively low, as the main component of battery is cell that to be imported from Japan. But other raw materials and the labor force 100% is obtained in the country, “explained Indrawati. The lithium-based solar batteries that last long have a positive impact on the environment. Longer battery-life will reduce the amount of waste. The solar power battery is the energy source that can replace the generator, especially in areas that there are no electricity from state electricity company (PLN). Indrawati said that the products of DSBC truly actualize the spirit of “Go Green” lifted by the company. This DSBC’s effort was earned the appreciation in the form of “Special Award of Eco Friendly Product” from a reputable digital magazine. Currently, the battery products of DSBC have been widely used in outside Java. The market for lithium solar power battery is still widely open so that DSBC has focused to developing the domestic potency before trying to market globally. The solar power is now becoming the hopes to avoid energy crisis. DSBC expects to increase its role in the government programs related to the provision of renewable energy, including outside Java. Another expectation is, of cource, the enactment of SNI for lithium batteries. “We’ve been submitting since five years ago, but until now the standard has not been issued yet,” explained Indrawati. With the SNI, as LCL certification it will be able to support the development of our business as the only producer of lithium solar power batteries today. With the superior quality of materials, skilled labor and thorough research, as well as considering the high needs of renewable energy sources in the future, DSBC is optimistic that the indusstry of lithium solar power battery can further thrive in the future.
informasi | information » Baterai DSBC Ruko Soba Bisnis Square, Blok JD 71, Solo Baru, Sukoharjo, Indonesia Phone: +62271-622948/+6281-22598787 Website: www.bateraidsbc.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
33
Made in Indonesia
Alat Kesehatan Lokal Menuju Kelas Dunia Bagi masyarakat Yogyakarta, Solo dan sekitarnya, keberadaan PT Mega Andalan Kalasan (MAK), tentunya sudah tidak asing lagi, terutama bagi warga daerah Kalasan, Yogyakarta. Selain menyedot lapangan kerja baru, kehadiran MAK juga memberikan dampak ekonomi dan sosial yang positif bagi masyakat sekitar.
S
etelah puluhan tahun bergelut dengan kesulitan usaha yang tergolong sangat berat, kini MAK menjadi perusahaan yang maju dan pemain utama bidang hospital equipment di pasar lokal. Ini dibuktikan lewat kemampuan PT MAK untuk bersaing dengan produsen sejenis, baik dari perusahaan asal Indonesia maupun perusahaan impor sekelas Paramount dari Jepang. Dengan kemampuannya tersebut, pangsa pasar hospital equipment di dalam negeri buatan MAK telah mencapai 60%. Selain itu, produk MAK ternyata juga berhasil menembus pasar mancanegara. Tercatat negara-negara di kawasan ASEAN, Timur Tengah dan beberapa negara Eropa, telah memanfaatkan produk hospital equipment buatan MAK. Bahkan, pada lima tahun terakhir ini, negara tujuan ekspor terus meluas menjadi 25 negara. Selain negara-negara tersebut, pasar Amerika Serikat yang merupakan pasar terbesar untuk produk tempat tidur rumah sakit, tidak luput dari garapan MAK. Khusus pasar Arab Saudi, MAK berhasil mencetak prestasi tersendiri, yakni tiga kali berturut-turut sejak 2008 berhasil memenangkan tender peralatan rumah sakit yang diselenggarakan pemerintah Arab Saudi. Secara perlahan, nilai ekspor produk-produk MAK terus merangkak hingga posisi saat ini, yaitu pada tahun 2014 mencapai US$10 juta. Nilai ekspor tersebut meningkat taja dari tahun 2010 yang masih sebesar US$2 juta. Buntoro, pemilik sekaligus pimpinan MAK, mengaku alasannya tertarik untuk memasuki pasar ekspor bukan hanya untuk meningkatkan utilitas, tetapi juga menghasilkan pendapatan dengan harga jualnya yang relatif lebih rendah. Selain itu, melempar produk ke pasar internasional juga untuk menguji produk-produk MAK di level yang lebih tinggi, dan memaksa organisasi dan karyawan menjadi pelaku bisinis global. Melihat pasar ekspor yang begitu menjanjikan tersebut, Buntoro bercita-cita menjadikan perusahaannya menjadi perusahaan kelas dunia (world class company), dan karyawannya menjadi SDM kelas dunia.
34
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
Keinginan Buntoro untuk menjadikan MAK sebagai perusahaan kelas dunia juga terkait erat dengan aspek perluasan pasar hospital equipment. “Untuk produk hospital equipment, dengan memperhitungkan faktor pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi nasional, maka pada tahun 2020, nilai pasar lokal hanya mencapai sekitar US$100 juta. Terlalu sempit untuk dijadikan
sumber pertumbuhan bagi MAK dalam 5-10 tahun kedepan, sementara pasar dunia saat ini saja nilainya diperkirakan mencapai US$600 juta sampai US$1 milyar,” ujar Buntoro penuh percaya diri. Alasan lain yang juga mendasari keinginan Buntoro menjadikan perusahannya sebagai perusahaan kelas dunia adalah agar menjadi kebanggan bagi bangsa Indonesia. “Sebagaimana Toyota, Honda, Sony, menjadi kebanggan bagi bangsa Jepang, juga Samsung, LG, Hyundai menjadi kebanggan bangsa Korea. Maka sudah seyogyanyalah MAK berperan dalam skalanya sendiri sebagai entitas yang mampu mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia di mata dunia,” ungkap Buntoro penuh bangga. Dengan demikian, tambah Buntoro, upaya menjadikan MAK sebagai world class company bukanlah semata-mata karena pertimbangan bisnis atau emosional belaka, tetapi menjadi perusahaan kelas dunia adalah sebuah keniscayaan. Selain mengangkat MAK sebagai perusahaan kelas dunia, pria asal Purbalingga tersebut juga memiliki cita-cita lain yang ingin diwujudkan. Cita-cita tersebut adalah menjadikan MAK sebagai salah satu mata rantai dalam proses Indonesia menjadi negara industri, serta menjadikan MAK sebagai kebanggan bangsa Indonesia. Oleh karena itu, saat ini Buntoro beserta seluruh SDM yang terlibat di perusahaannya terus bekerja ekstra keras untuk mewujudkan cita-citanya tersebut.
Made in Indonesia
Towards The World Class Medical Equipments For the people of Yogyakarta, Solo and the surrounding, the existence of PT Mega Andalan Kalasan (MAK), certainly has been familiar, especially for those people in Kalasan, Yogyakarta. In addition to offering new jobs, the presence of MAK has also provided a positive impact on economic and social life of local communities.
A
fter decades struggling with the severe business difficulties, MAK has now become a successful company and a major player in hospital equipment business in the country. It is proven by the capability of PT MAK to compete with other similar producers, both with the domestic companies and foreign companis such as Paramount from Japan. With its production capabilities, the market share of MAK’s products in hospital equipments has reached about 60% in domestic market. Moreover, MAK product has also successfully penetrated foreign markets. The ASEAN countries, and many countries of the Middle East and European have already used the hospital equipment product of MAK. Even, within the last five years, the export destination countries has continued to expand up to 25 countries. In addition to these countries, the US market that is the largest market for the product of hospital bed, is not out from the destination target of MAK. Specifically for Saudi Arabia market, MAK has reached outstanding achievements that is three times in a row since 2008 winning the proqurement for hospital equipments carried out by Saudi government. Slowly but sure, the export value of the products of MAK has continued to increase, in 2014 it reached US$ 10 million. This export value has dramatically increased compared to that in 2010 that amounted to only US $2 million.
Buntoro, the owner and the President Director of MAK claimed that the reason to compete in export market is not only to improve the capacity, but also to generate revenue by the relatively lower selling price. Besides, selling the products globally is also to test the products of MAK in the higher market level to force the company to become a global business player. By considering the promising export market, Buntoro aspires to bring his company to be a worldclass company equipped with world-class human resources. The expectation of Buntoro to be a world-class company also closely relates to the aspect of market expansion for hospital equipment products. “In terms of hospital equipment products, by considering the factor of population growth and the development of the national economy, in 2020 the estimated value of the local market will only reach about US$ 100 million. It is too narrow to be used as a source of growth for MAK in the next 5-10 years, while the current world market value is estimated about US$ 600 million to US$ 1 billion, “argued Buntoro confidently. Another reason underlying the Buntoro’s
desire to bring MAK as a world-class company is how to make MAK to be the pride of the nation. “As Toyota, Honda, Sony, has become the pride of Japanese people, so are Samsung, LG, Hyundai that has become the pride of Korean nation. It can be understood that MAK wants to play a role in its own scale as an entity that is able to raise the dignity of Indonesia in the world, “said Buntoro with pride. Buntoro added, the efforts to make MAK as a world class company is not solely due to the business considerations or mere emotional, but being a world-class company is a necessity. In addition to raising MAK as a world-class company, Buntoro, the man from Purbalingga, has another ambition to be realized. His ambition is to make the MAK as one of the chains in the process of Indonesia to be an industrial country. Thereby, Buntoro and all employees has now worked hard to realize their lofty goal.
informasi | information » PT. Mega Andalan Kalasan Jl. Tanjung Tirto 34, Tirtomartani KM. 13, Yogyakarta, Phone: +62274-497068 Fax: +62274-496226 Website: mak-techno.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
35
Made in Indonesia
Gitar Lokal Peraih Penghargaan Internasional Produk gitar elektronik kini tidak lagi didominasi oleh merek-merek asing seperti Gibson, Fender, dan Ibanez.
P
roduk lokal pun mampu bersaing dengan merek-merek yang sudah mendunia itu. Hal ini dibuktikan oleh Rick Hanes, gitar elektronik buatan anak negeri dari Jawa Timur (Jatim). “Gitar Rick Hanes telah mendapatkan pengakuan internasional, di antaranya dengan menyabet sejumlah penghargaan dari berbagai event,” kata Doddy Hernanto, VP Artist Relationship & Business Development Rick Hanes. Bahkan dalam salah satu event tahunan yang digelar di Inggris tahun 2012, gitar Rick Hanes meraih 4 gelar di antaranya untuk kategori ‘The Best Design’ dan predikat ‘Guitar of The Year 2012’ oleh www.
36
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
guitar-planet.co.uk. Doddy, yang juga salah satu endorser Rick Hanes, menjelaskan keunggulan yang ada dalam gitar Rick Hanes dibandingkan merek gitar lainnya, di antaranya adalah pengintegrasian gadget pada body gitar dalam menghasilkan efek suara. “Smartphone ternyata dapat mengganti fungsi part penunjang (seperti efek), dalam menghasilkan bebunyian yang tak mungkin bisa dihasilkan dari gitar konvensional. Cara ini hanya bisa dilakukan pada gitar-gitar yang telah dikonversikan dengan fungsi aplikasi pada smartphone,” katanya. Gitar yang diproduksi di kawasan Tambak Sawah,
Waru, Sidoarjo itu juga memiliki kualitas sangat bak dari segi ketahanan, karena di bagian dalam leher gitarnya ditancapkan bahan Carbon Graphite, bahan pembuat body pesawat ulang-alik NASA. Sehingga, gitar ini tahan banting dan tak mudah patah. Sebagai alat musik, tentunya Rick Hanes juga tidak lupa mengutamakan lima syarat dalam kegiatan produksinya. Keempat syarat itu adalah play ability, sound character, estetika, durability, dan strength. Untuk mencapai perbagai syarat tersebut, pembuatan gitar Rick Hanes juga melibatkan sistem komputerisasi. “Misalnya untuk pembuatan desain gitar, kami melakukannya lewat komputer dua dimensi dan kemudian ditransfer ke komputer tiga dimensi,” kata Azmy, Artist Relationship Assistant Manager. Selain itu, untuk menjaga kualitas produk yang seragam, pihaknya juga menggunakan mesin-mesin berteknologi canggih. Menurut Doddy, keunggulan dan pengakuan internasional yang diperoleh Rick Hanes, merupakan buah dari persiapan matang dan kerja keras dari para penggagas dan para pekerjanya. Sebelum menjalankan kegiatan produksi, Doddy dan saudaranya, Tommy Kaihatu melakukan riset selama dua tahun, yakni tahun 2010 hingga 2012, untuk bisa belajar dan menghasilkan gitar dengan kualitas baik. Riset dilakukan mulai dari pemilihan bahan baku sampai pemilihan nama merek, juga proses pembuatannya. Setelah riset dirasa cukup, dia pun merumuskan kembali konsep gitar idamannya. Dari situ, tercetuslah nama brand produk kebanggaan mereka, yakni Rick Hanes dan mulai diproduksi tahun 2012. Untuk bahan baku, Rick Hanes menggunakan banyak bahan baku lokal, seperti kayu sonokeling, mahoni, dan rosewood. Memang ada yang masih diimpor seperti kayu mappel, namun jumlahnya sedikit. Dari total bahan baku yang diperlukan untuk pembuatan gitar tersebut, sekitar 60% berasal dari dalam negeri. Saat ini, Rick Hanes hanya melayani pesanan saja, belum diproduksi secara massal. Dalam satu bulan, produksinya sekitar 5 unit dengan kisaran harga Rp15 juta hingga Rp35 juta per unit. Pelanggannya tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga dari mancanegara, seperti Amerika Serikat, Inggris, Belanda, Jepang, dan lainnya. Selain itu, tambah Doddy, pihaknya juga memproduksi gitar dengan merek lainnya berdasarkan pesanan produsen gitar di luar negeri. “Setiap bulannya, kami bisa mengirim 50 unit gitar ke luar negeri sesuai dengan spesifkasi dan merek yang mereka inginkan,” pungkasnya.
Made in Indonesia
Local Guitar
with the International Award The electronic guitar products are no longer dominated by foreign brands such as Gibson, Fender and Ibanez.
T
he fact that local products has already been able to compete with the global brands. This is proven by Rick Hanes, the domestically-made electronic guitar from East Java. “Rick Hanes guitar has gained international recognition, among others by winning a number of awards from various events,” said Doddy Hernanto, Vice President of Artist Relationship & Business Development of Rick Hanes. Even, in one of the annual event held in the UK in 2012, the guitar of Rick Hanes won four awards, including for the category ‘The Best Design’ and the predicate ‘Guitar of the Year 2012’ by www.guitarplanet.co.uk. Doddy, one of the endorsers of Rick Hanes explained the superiority of Rick Hanes guitar compared to other guitars, of which is the integration of gadget on the guitar body in generating sound effects. “Smartphone, evidently can replace the function of the supporting part (such as effect), in generating sounds that could not be generated from the conventional guitar. This method can only be done on the guitars that have been converted through the application function on the smartphone, “he explained. The guitar produced in Tambak Sawah, Waru, Sidoarjo also has very good quality in terms of durability, since in the inner part of guitar’s neck is coated with Carbon Graphite material, the raw material for NASA space shuttle body so that the guitar is resilient and not easily broken. As an music instrument, of course, Rick Hanes guitar has also prioritized the five requirements of the production activities. These five requirements are play ability, sound character, aesthetics, durability, and strength. To achieve these requirements, the production process of the guitar has involved computerized system. “For example, for creating the guitar design, we carry out it through a two-dimensional computer and then transferred into a three-dimensional computer,” explained Azmy, Artist Relationship Assistant Manager. Besides, to maintain the similarity of the product quality, the high-tech machines are also used. According to Doddy, the superiority and international recognition of the product obtained by Rick Hanes is purely the result of thorough preparation and hard work of the initiators and
workers. Before carrying out the production activities, Doddy and his brother,Tommy Kaihatu conducted research for two years, in 2010 to 2012 to learn and produce the good quality guitars. The research was conducted starting from the selection of raw materials to the selection of brand name, as well as the manufacturing process. After the research is considered to be enough, he also redefined the concept of his ideal guitar. From these activities, he finally found his pride brand of the product, namely Rick Hanes and began to produce in 2012. In terms of raw materials, Rick Hanes using a lot of local raw materials, such as rosewood and mahogany. Indeed there are others that still to be imported such as wood mappel, but the amounts are relatively small. Of the total raw material required to manufacture the guitar, approximately 60% is obtained domestically. Now, Rick Hanes only serves the incoming orders, the guitar has not been mass-produced. In a month, the production capacity is about 5 units
with the price range of IDR 15 million to IDR 35 million per unit. The customers are not only from the country, but also from abroad, such as the USA, UK, Netherlands, Japan, and others. In addition, Doddy further explained, he also produces guitars with other brands based on orders of foreign producers. “In a month, we could export 50 units of guitar according to the spesification and brands they want,” he concluded.
informasi | information » Rick Hanes Guitars Jl. Tanjung Tirto 34, Tirtomartani KM. 13, Yogyakarta, Phone: +62274-497068 Fax: +62274-496226 Website: mak-techno.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
37
Made in Indonesia
Penebar Pakan Ikan Cerdas Jawara Kompetisi Startup Dunia
Penggunaan pakan menjadi titik kritis dalam kegiatan usaha budidaya perikanan karena pakan merupakan penyumbang terbesar biaya usaha budidaya, yaitu mencapai 70- 80% dari total biaya.
K
etidaktepatan dalam cara pemberian pakan, pemilihan waktu pemberiannya dan volume pakan yang diberikan, seringkali mengakibatkan petani budidaya ikan dan udang terpaksa harus menelan kerugian besar dalam menjalani usahanya. Karena itu, efisiensi dalam penggunaan pakan menjadi hal yang sangat penting untuk dilakukan agar usaha budidayanya berhasil dan dapat mencapai keuntungan yang optimal. Hal inilah yang menjadi inspirasi tiga sekawan Gibran Chuzaefah Amsi El Farizy, M. Ihsan Akhirulsyah, dan Krisna Aditya untuk memberikan solusi permanen terhadap permasalahan riil yang dihadapi petani budi daya perikanan darat. Mereka menciptakan alat/ mesin penabur/pemberi pakan ikan otomatis yang disesuaikan dengan karakteristik biologis ikan dan pengoperasiannya dapat dipantau dari jarak jauh. Alat tersebut diberi nama eFishery. Secara kebetulan Gibran yang sarjana Biologi ITB dan pernah terjun di bidang usaha budidaya ikan memiliki pengalaman betapa pentingnya pengaturan
38
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
pemberian pakan yang tepat sesuai dengan ritme biologis ikan. Krisna yang sarjana Elektro ITB menuangkan ide penerapan sistem pengaturan pemberian pakan yang tepat dalam kegiatan budidaya ikan dalam bentuk sebuah perangkat elektronik dan mekanik. Sedangkan Ihsan dengan latar belakang ilmu manajemennya (lulusan Departemen Manajemen dan Bisnis FE UNPAD) lebih memfokuskan diri dalam sistem manajemen, pemasaran dan aspek legal bisnis eFishery. Ketiganya menggabungkan ilmu mereka untuk menjawab kebutuhan para petani perikanan budidaya. Usaha mereka berbuah manis, dimana eFishery berhasil menjadi pemenang pada kompetisi inovasi teknologi Mandiri Young Technopreneur pada bulan Desember 2012. Setelah itu, tiga sekawan tersebut mendirikan PT Multidaya Teknologi Nusantara atau yang lebih dikenal dengan Cybreed pada 8 Oktober 2013, sebagai entitas bisnis untuk mewadahi komersialisasi teknologi eFishery. Selama kurun waktu dari 2012 sampai 2014, Cybreed terus melakukan penyempurnaan produk eFishery. Hingga akhirnya, keunikan dan keunggulan produknya mendapatkan pengakuan internasional dengan menjuarai kompetisi start up tingkat dunia yang bernama “Get In The Ring” di Rotterdam, Belanda pada bulan November 2014. Ini merupakan suatu kebanggaan tersendiri, dimana karya anak bangsa mampu mengalahkan inovasi-inovasi terbaik lainnya dari berbagai negara di dunia. Dilengkapi Sensor Menurut Ihsan, sebetulnya teknologi eFishery bukanlah baru. Sebab, sebelumnya di Taiwan sudah ada alat sejenis tetapi bedanya alat tersebut akan menaburkan pakan dengan berbasis pada waktu (timer-based), sedangkan waktu dan volume pemberian pakan pada eFishery sudah berbasiskan tingkat kelaparan ikan yang dideteksi oleh sensor dengan indikator-indikator tertentu dari perilaku biologis ikan. Khusus mengenai hal yang terakhir ini, pada eFishery terdapat dua jenis sensor tingkat kekenyangan atau kelaparan ikan, yaitu sound-based censor dan wave-based censor. Sensor pertama bekerja berdasarkan gelombang suara yang dihasilkan ikan saat mereka mengalami kelaparan, sedangkan sensor kedua bekerja berdasarkan gelombang atau riak air akibat perilaku ikan ketika sedang lapar. Kedua sensor tersebut sangat berguna untuk
mencegah pemberian pakan yang berlebihan (overfeeding) yang dapat mengakibatkan keracunan pada ikan, mencemari ekosistem kolam dan perairan di sekitarnya dan mengakibatkan inefisiensi dalam usaha budidaya ikan. Alat yang kini sedang dalam proses pendaftaran paten kepada Direktortat Jenderal Hak dan Kekayaan Intelektual, Kementerian Hukum dan HAM ini secara sederhana terdiri dari kontainer pakan, serta perangkat elektrikal dan mekanikal. Alat tersebut tidak hanya mengatur pemberian pakan, tetapi juga mampu menghitung dan mencatat berapa volume pakan yang sudah diberikan. Data yang dicatat oleh eFishery sangat penting untuk melakukan kalkulasi dan analisa bisnis budidaya ikan. Data-data tersebut juga dapat digunakan untuk mitigasi risiko bisnis perikanan budidaya, termasuk untuk menghindari pencurian pakan oleh karyawan yang bekerja di kolam budidaya. Yang juga tidak kalah pentingnya, semua data itu terekam secara elektronik dan dapat diakses kapan saja oleh pemilik usaha budidaya dari mana saja melalui fasilitas internet yang tersambung dengan eFishery. Kelebihan lainnya dari eFishery adalah perangkat lunak (software) yang sangat user-friendly sehingga sangat mudah digunakan/dioperasikan oleh siapapun dan mudah di-customize sesuai dengan kebutuhan si empunya usaha budidaya ikan dengan memasukan data-data perilaku ikan atau data lainnya yang terkait dengan usaha budidaya dimaksud. Satu unit eFishery dapat digunakan untuk luasan kolam 1.000 meter persegi atau dengan populasi ikan sekitar 3.000 ekor. Setiap unit eFishery mampu melontarkan pakan hingga jarak lontar 10 m. Ihsan mengatakan sampai saat ini baru perusahan besar sekelas PT Charoen Pokphand dan PT Japfa Comfeed yang sudah memanfaatkan eFishery. Saat ini sudah ada sekitar 130 unit eFishery yang diaplikasikan di kolam ikan dan tambak udang di berbagai daerah seperti di Medan, Yogyakarta, Banyuwangi dan Sukabumi. Berdasarkan pengalaman penerapan eFishery di PT Japfa Comfeed, tingkat efisiensi usaha budidaya perikanan meningkat secara signifikan sebesar 21%. Sementara itu, petani perikanan budidaya skala kecil sampai saat ini belum ada yang menggunakannya. Hal itu terjadi karena masih relatif mahalnya harga per unit eFishery bagi kalangan petani kecil yang saat ini harganya berkisar antara Rp 7-9 juta per unit. Padahal jika dilihat dari market size, petani perikanan skala kecil inilah yang sebetulnya memiliki potensi pasar yang besar dengan jumlah 16 juta petani di seluruh Indonesia. Ihsan menambahkan setelah melewati fase pematangan produk pada periode tahun 2012-2014, maka pada tahun 2015 ini Cybreed mulai memasuki fase penjualan generasi pertama eFishery. Pada tahun 2015, perusahaan menargetkan penjualan eFishery sebanyak 1.000 unit di pasar domestik.
Made in Indonesia
Smart Fish Feeder
Champion of International Startup Competition Feed efficiency has become a critical point in this business since the feed is the largest contributor to the cost of farming, accounting up to 7080% of the total cost.
I
mprecision in the way of feeding, time selection and the volume of feed, often results the fish and shrimp farmers suffering losses in their business. Therefore, the feeding efficiency has become an important aspect to be carried out to achieve success of the business and to gain optimal profits. This critical problem of feeding efficiency inspired the trio Gibran Chuzaefah Amsi El Farizy, M. Ihsan Akhirulsyah, and Krisna Aditya to provide a permanent solution to the real problems faced by aquaculture farmers. They created an automatic fish-feeder quipment that is compatible to the biological characteristics of the fish and the operation can be controlled from a distance. The tool is named eFishery. Coincidentally Gibran, a biology graduate of IPB ever run the business in fishery had acquired the experience about the significancy of feeding arrangement in accordance with the biological rhythms of fish. Krishna, an Electrical Engineering graduate of ITB contributed ideas in terms of appropriate feeding system arrangement in the form of an electronic and mechanical device. While Ihsan with background knowledge of management (a graduate of the Department of Management and Business, Economic Faculty of UNPAD) more focused on management systems, marketing and legal aspects of eFishery business. All three combined their knowledge to cope the needs of aquaculture farmers. Their efforts resulted good point, where eFishery become the winner in the innovation based competition Mandiri Young Technopreneur in December 2012. After that, the trio established PT Multidaya Teknologi Nusantara or well known as Cybreed on October 8, 2013 as a business entity to facilitate the commercialization of eFishery. In 2012-2014, Cybreed continued to improve the product performance of eFishery. As the result, the product’s uniqueness and excellence brought eFishery won the international start up competition called “Get In The Ring” in Rotterdam, Netherlands in November 2014. That was a special honor for them, and a prove that the Indonesian product was more superior than many great innovations from other countries around the world. Equipped with Censor According to Ihsan, eFishery is actually not
a new technology. Because, previously in Taiwan there has been a quite similar equipment, but this device spreads the feed based on time (timer-based), while the volume and time of feeding on eFishery has already based on the level of fish starvation detected by the sensor through certain indicators of biological behavior of fish. With regard to the lattest point, the eFishery has two types of censors referring to the level of of satiety and hunger of fish, that are sound-based and wave-based censor. The first censor works based on the sound waves produced by fish when they are in hungry, while the second censor works based on water waves or ripples due to the behavior of fish when they are hungry. The both censors are significantly required to prevent excessive feeding (over-feeding) which can lead to poisoning in fish area ecosystem and pollute surrounding waters and also lead to fish farming business inefficiency. The equipment that is now in the process of patent registration to Direktortat General and Intellectual Property Rights, Ministry of Law and Human Rights simply comprises of feed containers and electrical and mechanical devices. The efishery not only manage feeding process, but it also able to calculate and record the volume of feed that has been consumed. The data recorded by eFishery is very important to conduct the calculation and analysis of fish farming business. These data can also be used to mitigate the risk of aquaculture business, including to avoid the theft of feed done by dishonest workers. Not less important, that all data is recorded electronically and can be accessed at any time and from anywhere by the owner through internet facility connected to eFishery. Another superiority of eFishery is its software that is very user-friendly so that very easy to use
and to be operated by anyone and it can be easily customized according to the needs of the users by entering the data behavior of fish or other related data associated with the business. One unit of eFishery can be used for pond area of 1,000 square meters or for a population of about 3,000 fish. Each unit of eFishery able to throw of feed up to a distance of 10 m. Ihsan explained so far only large companies such as PT Charoen Pokphand and PT Japfa Comfeed that has already utilized eFishery. Now there are about 130 units of eFishery applied in fish and shrimp farms in various areas such as in Medan, Yogyakarta, Banyuwangi and Sukabumi. Based on the experience of the use of eFishery in PT Japfa Comfeed, the level of fishery business efficiency has increased significantly by 21%. Meanwhile, for small-scale fishery businesses until now no one has used it. It happens due to the price of eFishery that is still relatively expensive for small farmers, with the price ranging from Rp 7 to 9 million per unit. In fact, when viewed from the market size, the small-scale fisheries farmers actually have a huge potential market by the number of 16 million farmers in Indonesia. Ihsan said that after going through the maturation phase of the product quality in the period of 2012-2014, then in 2015, Cybreed began to enter the first phase of sales generation eFishery. In 2015, the company has targetted to sell 1,000 units eFishery in the domestic market.
informasi | information » PT. Multidaya Teknologi Nusantara (Cybreed) Jl. Dago Golf Raya 4, Bandung, Indonesia Phone: +6222-2517552 Website: www.cybreed.co.id E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
39
Made in Indonesia
Furnitur Unggulan di Pasar Global
Produk furnitur merupakan salah satu produk yang diandalkan pemerintah sebagai penghasil devisa. Hal ini dikarenakan keberadaan industri furnitur yang banyak menjual produknya ke luar negeri.
S
alah satu produsen furnitur yang ikut menyumbangkan devisa adalah PT. Wirasindo Santakarya (Wisanka). Produsen produk furnitur ini mengkhususkan diri untuk memproduksi produk furnitur untuk pasar ekspor. “Sekitar 90 persen produk kami ditujukan untuk pasar ekspor,” kata Direktur Utama Wisanka, Susanto. Setiap bulan, perusahaan yang memiliki basis produksi di Klaten, Jawa Tengah ini mengekspor produknya ke mancanegara sebanyak kurang lebih 300 kontainer. Bahkan, ketika pasar internasional masih belum lesu, Wisanka mampu mengekspor 400 kontainer berisi beragam produk furnitur setiap bulannya. Menurut Susanto, usahanya yang bergerak di bidang industri furnitur ini mulai dirintis sejak tahun 1993 dan hanya mengerahkan 5 tenaga kerja. Modal awal yang digunakan untuk menggerakkan perusahaan itu hanya Rp30 juta bantuan dari sebuah badan usaha milik negara (BUMN). “Bantuan modal kemudian mengalir dari perbankan maupun lembaga lainnya setelah Wisanka terbukti mampu berproduksi dengan baik dan
40
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
menembus pasar ekspor,” paparnya. Kemampuan Wisanka dalam menjalankan kegiatan produksinya dengan baik juga telah membuat banyak bank menawarkan perusahaannya untuk mengambil alih pengelolaan industri-industri furnitur yang mengalami kesulitan untuk membayar kewajiban utangnya kepada bank. Kinerja positif yang ditunjukkan Wisanka tersebut tidak terlepas dari kemampuan perusahaan tersebut memproduksi beragam produk furnitur dengan kualitas yang baik dan mengikuti perkembangan mode. “Sebelum memproduksi, kami terlebih dulu melakukan riset dan merancang desain-desain yang akan dikeluarkan ke pasar,” jelas Susanto. Melalui kegiatan riset pasar itu, perusahaan dapat mengetahui produk apa yang disukai pasar dan bagaimana membuat produk yang dapat menarik pembeli. Susanto mengakui kalau produknya bisa bersaing dengan produk asing lainnya karena selain menyiapkan diri dengan baik melalui program R &D, keberadaan bahan baku di dalam negeri juga
ikut memberikan andil besar bagi kemajuan usaha perusahaan. “Dalam memproduksi beragam produk furnitur, kami menggunakan bahan baku kayu dari dalam negeri, misalnya rotan dari Sulawesi dan Sumatera, kayu jati dari Jawa, dan sebagainya,” ujarnya. Kayu-kayu yang digunakan untuk bahan baku juga telah memenuhi persyaratan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) sehingga memuluskan proses ekspor ke mancanegara. Untuk memenuhi pesanan buyer (pembeli asing), Wisanka juga menjalin kemitraan dengan kelompokkelompok usaha di sektor industri furnitur di berbagai daerah. Kelompok-kelompok usaha itu diberikan order oleh Wisanka untuk membuat produk furnitur sesuai permintaan buyer dengan pengawasan ketat dari Wisanka dalam hal kualitas produk yang dihasilkan. Susanto mengaku, hingga saat ini pihaknya telah menjalin kemitraan sebagai bapak angkat atas 300 kelompok usaha yang melibatkan sekitar 5.000 tenaga kerja. Walaupun mengutamakan pasar ekspor, perusahaan ini juga tidak melupakan pasar dalam negeri. Pasar dalam negeri diisi dengan produk-produk merek Piguno, perusahaan yang mrupakan anak usaha PT Wisanka. “Kami ingin pasar internasional dan domestik bisa berjalan beriringan sehingga selain menjadi tuan rumah di negeri sendiri, kami juga ingin menjadi pemenang di pasar global,” ucap Susanto.
Made in Indonesia
The Superior Quality Furniture in Global Market
Furniture is one of the products relied by the government as a foreign exchange earner. It is due to the presence of a lot of the furniture producers selling their products abroad.
O
ne of the furniture producers contributing to foreign exchange earner is PT. Wirasindo Santakarya (Wisanka). This company has specialized to produce furniture products for export market. “About 90 percent of our products are intended for export markets,” explained the Director of Wisanka, Susanto. In a month, the company with the production base in Klaten, Central Java, has exported its products to foreign countries for about 300 containers. Even, when the international market was still sluggish, Wisanka was able to export 400 containers of various products in a month. According to Susanto, he has started running the business in furniture products since 1993 and employed only 5 workers at the beginning. The initial capital used to run business only IDR 30 million, capital aid from one of state-owned enterprises. “The capital aid then flowed from banks and other financial institutions following the success of Wisanka in producing superior products and penetrating the export market,” he explained. The capability of Wisanka in carrying out its production activities has also led many banks to take
over the management of other furniture companies having trouble in paying their debt obligations to the bank. Positive performance shown by Wisanka is inseparable with the capability of the company to produce high quality of various furniture products and follow the fashion development. “Prior to manufacturing the product, we first do research and create a variety of designs that will be sold to the market,” explained Susanto. Through market research activities, the company can determine the kind of products favored by the market and how to manufacture the products in accordance with the taste of potential buyers. Susanto argued that the successfulness of his products to compete with foreign products can not be separated with the well-preparation through R & D program, and the availability of raw materials in local market has also greatly contributed to the growth of the company. “In producing a variety of furniture products, we use local raw material of wood, such as rattan from Sulawesi and Sumatra, teak from Java, and so on,” he further explained. The raw material of wood has already met the
requirements of Timber Legality Verification System so as to ease the process of exporting activities. To fulfill the orders of foreign buyers, Wisanka has also established the business partnership with the business groups in furniture industry sector in various regions. The partnering business groups are given orders by Wisanka to produce furniture products in accordance with the buyer demand with strict supervision by Wisanka in terms of product quality. Susanto admitted, to date the company has formed the business partnership as a foster father over 300 business groups involving about 5,000 workers. Although prioritizing to export market, the company does not overlook the domestic market. The domestic market is filled by the products using Piguno brand, a company acting as a subsidiary of PT Wisanka. “We expect that both international and domestic markets can run paralelly so that in addition to be host in our own country, we also want to be a winner in global market,” explained Susanto.
informasi | information » PT Wirasindo Santakarya Jl. Solo Daleman No. 41, Baki, Sukoharjo-57556, Indonesia Phone: +62271-623231/623232 Fax: +62271-623233 Website: www.wisanka.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
41
Made in Indonesia
Pendant Lamp Unik dari Bambu Raih Penghargaan IGDS 2014 Bambu memiliki potensi yang cukup besar sebagai sumber bahan baku untuk berbagai industri. Sifat khas batang bambu yang terdiri dari sejumlah buku dengan karakteristik serat bambu yang unik telah menarik perhatian berbagai industri untuk mempelajari kemungkinan penggunaan bambu untuk dijadikan bahan baku dalam memproduksi berbagai jenis barang.
S
alah satu industri yang secara tradisional banyak menggunakan bambu sebagai bahan baku adalah industri kerajinan. Industri ini memanfaatkan sifat fisik dan penampilan serat bambu dan memadukannya dengan kreasi seni dalam mendesain produk kerajinan dan keterampilan dalam membuat karya seni (craftsmanship) dari para perajinnya. Perbedaan antara industri kerajinan masa kini dan masa lampau hanyalah pada corak dan ragam desainnya. Desain produk kerajinan masa lampau lebih banyak monoton dan tidak terlalu banyak variasinya, namun seringkali menjadi dasar untuk pengembangan desain-desain baru di masa kini. Desain-desain masa lampau itu menjadi warisan berharga bagi pengembangan desain baru di era modern. Di tangan para desainer modern yang kreatif, desain-desain warisan nenek moyang itu dapat digunakan untuk melahirkan desain-desain baru yang indah, menarik dan bernilai seni tinggi. Hal itu pulalah yang kini dilakukan I Gusti Ngurah A. bersama mitranya Sadhiya Hanindita, sesama desainer produk jebolan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang sejak pertengahan tahun 2012 lalu mendirikan PT Tiga Fasa Internasional. Dengan latar belakang pendidikan desain produk dan pengalaman kerja di sebuah perusahaan furniture, I Gusti Ngurah menghimpun beberapa perajin bambu dari Tasikmalaya untuk memproduksi berbagai produk kerajinan dari bambu untuk kemudian di pasarkan ke berbagai kota besar di tanah air, mulai dari pelanggan di perumahan pribadi hingga perkantoran. Saat ini PT Tiga Fasa Internasional lebih memfokuskan dirinya dalam memproduksi produk furnitur dan lighting item dengan menonjolkan tema “luxury in simplicity” seperti berbagai jenis kap lampu, kursi, coffee table dan peralatan interior lainnya. Produk-produk tersebut dipasarkan dengan merek ‘FASA’. Namun selain produk-produk lighting dan furnitur, perusahaan juga memproduksi berbagai item produk lifestyle seperti casing ponsel dan kotak kartu nama dari bambu dengan menggunakan merek ‘KATA’.
42
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
Bagi I Gusti Ngurah dan Sadhiya Hanindita, batang bambu yang terdiri dari ruas-ruas dan buku-buku serta sifat tekstur serat bambu yang khas memberikan keunikan tersendiri pada setiap produk kerajinan berbahan baku bambu. Dengan sentuhan karya seni desain kontemporer yang menarik, keunikan bahan baku bambu menjadi lebih tampak indah dan memikat para pelanggannya. Kepiawaian I Gusti Ngurah dan Sandhiya Hanindita dalam menciptakan desain-desain produk kerajinan bambu yang apik dan unik mendapatkan sambutan hangat dari masyarakat dan bahkan mendapatkan apresiasi istimewa dari kalangan pemerhati desain nasional. Hal itu terbukti dengan diraihnya penghargaan Indonesia Good Design Selection (IGDS) pada tahun 2014 lalu untuk produk ‘Lipat’ pendant lamp dengan kategori penghargaan Gold dan Platinum. Sentuhan seni desain produk yang disesuaikan dengan perkembangan kondisi ekonomi, politik, sosial, dan budaya terkini mampu membuat produkproduk kerajinan karya I Gusti Ngurah dan Sadhiya
Hanindita eksis di pasar dan tetap diminati para pelanggannya. Kemampuan untuk menjawab kebutuhan pasar produk kerajinan bambu yang terus berkembang melalui sentuhan-sentuhan seni desain merupakan pendekatan yang sangat tepat di era modern dewasa ini. I Gusti Ngurah lebih menspesialisasikan dirinya untuk menggunakan bahan baku bambu karena beberapa alasan, diantaranya bambu lebih ramah lingkungan dan memiliki karakteristik yang khas dan menarik. Namun demikian, untuk menunjang aspek kelestarian lingkungan, Gusti Ngurah juga memfokuskan perhatiannya pada efisiensi penggunaan bahan baku. Bahan baku bambu biasanya diperoleh I Gusti Ngurah dari daerah sekitar Bandung, Garut dan Tasikmalaya. Jenis bambu yang digunakan umumnya bambu Tali yang memiliki lingkar batang yang tidak terlalu besar, namun memiliki daging batang yang cukup tebal. Untuk pembuatan jenis kerajinan tertentu I Gusti Ngurah terkadang juga menggunakan bambu Betung.
Made in Indonesia
Unique Pendant Lamp Bamboo Craft Products Winning the IGDS Award 2014 The Bamboo has a huge potential as a source of raw material for various industries. The characteristic of bamboo rods consisting of a number of joints with unique characteristics of bamboo fiber has attracted the attention of various industries to learn the prospect of bamboo as raw material in the manufacturing of various types of goods.
T
he industry traditionally uses of bamboo as a raw material is a craft industry. This industry exploits the physical nature and appearance of the bamboo fiber and combining them with the art creation in product design and craftsmanship. The difference between the modern craft industry and of the past lies only in motifs and variety of designs. The past craft product designs were more monotonous and not a lot of variations, but often becoming the basis for the development of current new designs. The past products designs have become valuable heritage for the development of new design in the modern era. In the hands of creative and modern designers, the ancestral heritage of design can be used to create the new designs that are beautiful, appealing, and of having high artistic value. And that is what has now been done by I Gusti Ngurah A. with his partner Sadhiya Hanindita, a fellow designers graduated from Bandung Institute of Technology (ITB), which in the mid-2012 they have establihed and run PT. Tiga Fasa International. With the educational background of product design and equipped with experience when working in a furniture company, I Gusti Ngurah has mobilized
some bamboo craftsmen from Tasikmalaya to produce various crafts products of bamboo and then to sell the products to various major cities in the country, ranging from private housing to offices. Currently PT. Tiga Fasa International has focused to produce furniture and lighting items by accentuating the theme of “luxury in simplicity” such as the various types of lampshades, chairs, coffee tables and other interior equipments. These products are marketed by using ‘FASA’ brand. In addition to lighting and furniture products, the company has also produced a variety of product accessories such as mobile phone casing and cardname box of bamboo by using ‘KATA’ brand. According to I Gusti Ngurah and Sadhiya Hanindita, the bamboo rods consisting of segments and joints as well as the texture and nature of bamboo fiber provides the uniqueness for every handicraft made of bamboo. With a touch of contemporary design artwork, the uniqueness of bamboo raw materials has become more appealing and luring the customers. The expertise shown by I Gusti Ngurah and Sandhiya Hanindita in creating attractive and unique product designs of bamboo handicraft has got a good response from the public and even
received exceptional appreciation from national design observers. This was proven by winning the award at Indonesia Good Design Selection (IGDS) in 2014 for the products of ‘Lipat’ pendant lamp with award category Gold and Platinum. A touch of art on product design customized with the development of current economic conditions, political, social, and cultural has been able to bring craft products manufactured by I Gusti Ngurah and Sadhiya Hanindita to be exist in the market and remain attractive to customers. The capability to respond the market needs of bamboo craft products that continues to grow through touches of art design is considered to be an appropriate approach in this modern era. I Gusti Ngurah has more specialized in using raw materials of bamboo for several reasons, among others the bamboo is more environmentally friendly and has unique and attractive characteristics. Nevertheless, to support the environmental sustainability aspect, I Gusti Ngurah has also focused on the efficiency of the use of raw materials. The bamboo raw materials are usually purchased by I Gusti Ngurah from of the area of Bandung, Garut and Tasikmalaya. The type of bamboo used is generally bamboo Tali since it has rod circumference that is not too big, but has a fairly thick meat rod. To manufacture certain types of craft product, I Gusti Ngurah for certain circumstances also uses Betung bamboo.
informasi | information » PT. Tiga Fasa Internasional Photos and Styling by: Fryza Pavitta P. (dok. Tiga Fasa Internasional)
Jl. Ligar Permai No. 12, RT 03/05, Cibeunying, Bandung, Indonesia Phone: +62821-47845069 Website: fasaworks.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
43
Made in Indonesia
INOVASI PRODUK
RAIH PENGHARGAAN ASIA STAR AWARDS 2014 PT Bintang Toedjoe sudah sejak lama dikenal di Indonesia sebagai produsen produk kesehatan dan mendominasi pasar Indonesia. Perusahaan yang bernaung di bawah Kalbe Grup Internasional ini menggunakan konsep pengembangan berkelanjutan (continuous improvement) untuk menghasilkan produk kesehatan dengan harga terjangkau, yang mampu memenuhi kebutuhan semua lapisan masyarakat.
S
alah satu produk Bintang Toedjoe yang cukup dikenal masyarakat adalah ‘Extra Joss’ yang lahir pada 14 Agustus 1994. Kehadirannya dipicu pemikiran bahwa semakin hari semakin banyak orang yang membutuhkan minuman energi/ minuman kesehatan, termasuk dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Sejalan dengan konsep continuous improvement yang dianutnya, maka pada 10 September 2012 diluncurkan produk ‘Extra Joss Nitros,’ minuman energi yang dikemas dalam bentuk botol plastik kecil, yang bahan baku utamanya adalah Ginseng Korea dan Kurma Arab. Menurut Eddy Tan Nawawi selaku Marketing SBU Head PT Bintang Toedjoe, produk Extra Joss Nitros menjadi produk pionir, karena pada tahun 2013 perusahaan pertama kali meluncurkan dan memasarkan produk minuman energi dalam bentuk energy shot, yaitu minuman berenergi sekali minum untuk memulihkan kembali stamina tubuh. “Kalau merasa lelah atau mengantuk, produk ini mampu menggantikan kelelahan atau menghilangkan rasa kantuknya,” ucapnya di sela-sela pemberian penghargaan ‘Asia Star Awards 2014’ oleh Menteri Perindustrian Saleh Husin. Pada ajang penghargaan tersebut, produk ‘Nitros Tray’, yaitu alas untuk meletakkan produk energy shot memperoleh penghargaan Kemasan Utama kategori Transport Package. Ide Lahirnya Nitros Tray Ide awal dibuatnya Nitros Tray ini lahir dari pengalamannya dalam melakukan pemajangan (display) produk. “Pada saat memajang produk di toko, kami mengalami kesulitan, karena produknya berada dalam botol (cair). Awalnya menggunakan karton sekunder. Tapi saat dilakukan display, ternyata botol produk Extra Joss Nitros diselimuti debu,” ungkap Eddy. Dari situ mereka mengamati, produk minuman itu rata-rata bentuk sediaannya langsung minum, sehingga solusinya harus dimasukkan ke dalam kulkas atau masuk dalam kotak pendingin (cooler box). Karena Extra Joss Nitros ini bentuknya cair, maka perlu dibuat satu wadah cangkang yang bisa untuk display, baik di chiller ataupun cooler box. “Setelah itu, kami bekerjasama dengan
44
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
departemen packaging dan para mitra supplier, untuk melempar ide tersebut,” lanjut Eddy. Bentuk yang seperti sekarang ini gunanya untuk melindungi kepala botol yang mudah patah. Produk ini didesain supaya mudah dibuka. Di satu sisi, akan memudahkan pelanggan untuk mengkonsumsi langsung. Namun di sisi lain, karena mudah dibuka, maka kemasannya perlu lebih dilindungi terutama di bagian kepala kemasan, supaya ketika produknya dipajang masih tetap indah dilihat. Bahan baku cangkang (tray) ini menggunakan konsep ramah lingkungan, yakni Reuse, Reduce, and Recycle (3R), karena menggunakan plastik/ polypropelene (PP) yang sudah diolah (recycle). Dengan demikian, bisa menurunkan gramasi (berat) dari sebelumnya menggunakan PP murni 30 gram menjadi PP recycle 22 gram, sehingga lebih efisien. Material kemasan menjadi lebih ringan, demikian juga harga bahan pokok kemasan. Karena biaya kemasan produk terhadap seluruh komponen biaya produksi cukup tinggi (50-70 persen dari harga produk), maka konsep ini bisa menekan biaya produksi. Perusahaan juga tidak butuh waktu lama melakukan riset, hanya sekitar dua bulan saja. Setelah memperoleh contoh produk, dilakukan uji coba di beberapa outlet atau toko, kemudian diuji coba pemasaran produknya oleh tim pemasaran di Jakarta. Hasilnya terlihat produk tersebut sebagai produk tampilan yang memuaskan dan tray-nya efektif bisa melindungi produk. “Baru setelah itu kami memesan dalam skala produksi yang lebih besar. Dan akhirnya, kami mulai mengganti bentuk packing atau box menjadi tray ini,” imbuh Eddy. Eddy menambahkan, PT Bintang Toedjoe menerima penghargaan Asia Star Award tahun 2014 di Manila, Filipina, pada kategori Transport Package untuk kemasan Thermoforming Tube produk Nitros. AsiaStar Awards 2014 diikuti oleh 10 negara, seperti Jepang, India, Korea Selatan, Singapura, dan Indonesia. Pada ajang tersebut, Nitros Tray juga meraih penghargaan ‘Best of the Best President Award’. Selain itu, Nitros Tray juga telah mendapatkan penghargaan PackindoStar Awards 2014 untuk tingkat nasional.
Bagi Nitros sendiri, ini adalah penghargaan ketujuh yang sudah diraih. Selain 2 penghargaan di atas untuk Nitros Tray, kemasan Thermoforming Tube juga mendapat 5 penghargaan, yaitu: PackindoStar Awards 2013, AsiaStar Awards 2013, 106 Indonesia Innovation 2014, Indonesia Good Design Selection 2014, dan WorldStar Awards 2015. Indonesia agak terlambat dalam penerimaan produk ini dibanding di negara-negara Barat. Seperti di Amerika dan Eropa, energy drink seperti energy shot sudah biasa diterima. “Pada dasarnya, energy shot ini juga masuk kategorinya energy drink. Hanya bagaimana kita dapat melihat celah pasar yang bisa kita lebarkan,” lanjut Eddy. Selain dikonsumsi di dalam negeri, produk Nitros juga diminati di beberapa negara seperti di Amerika Serikat, Filipina, di mana produk Extra Joss sudah masuk ke sana. Melalui divisi perusahaan lainnya, Extra Joss berada di bawah naungan Kalbe Internasional, dan sudah ada perwakilan di beberapa negara Asia Tenggara, seperti Singapura, Malaysia, Filipina, Thailand, Kamboja, Vietnam, dan Myanmar. Selain itu juga sudah masuk ke pasar Afrika Selatan, termasuk juga akan merambah sampai ke Brazil di Amerika Latin.
Made in Indonesia
Product Innovation
Won the Asia Star Awards 2014 PT Bintang Toedjoe has long been known in Indonesia as a producer of healthcare products and dominating the Indonesian market. The company which is under Kalbe International Group has used the concept of sustainable development to produce health products at affordable prices, which is able to meet the needs of all segments of society.
O
ne of the Bintang Toedjoe’s product fairly known by the public is ‘Extra Joss’ which was firstly released on August 14, 1994. Its presence was triggered by the consideration that the more and more people need energy drinks/health drinks, including those from the middle and lower class of the society. In line with the concept of continuous development adopted, on 10 September 2012, the product of ‘Extra Joss Nitros’ was launched, the energy drink which is packaged in a small plastic bottle, which the main raw materials are Korean Ginseng and Arabian Dates. According to Eddy Tan Nawawi, a Head of Marketing of PT Bintang Toedjoe, the Extra Joss Nitros product has become a pioneer product, since in 2013 the company first launched and marketed energy drink products in the form of energy shot, an energy drink with once drank packaging to recover body stamina. “When we feel tired or sleepy, this product can relieve both the fatigue and sleepiness,” he explained on the sidelines of the ceremony of ‘Asia Star Awards 2014’ by the Ministry of Industry Saleh Husin. At that awarding ceremony, the product of ‘Nitros Tray’, the pedestal to place the energy shot product was awarded ‘The Primary Packaging’ of the Transport Packaging category.
The Idea of Nitros Tray Emergence The initial idea of the Nitros Tray production emerged from the experience undertaking the displays of products. “When we displayed the products in the store, we faced difficulty because the product was in the bottle (liquid). At the beginning we used secondary carton. But as the product was displayed, the bottles of Extra Joss Nitros products turned into dusty, “explained Eddy. From their observation, most of the energy products were in the form of ready to drink with once drank packaging, so the solution is that the products should be put in the refrigerator or placed in the cooler box. Since the Extra Joss Nitros is liquid, and packaged in small plastic bottles, a tray was required to display the bottles, either in the chiller or cooler box. “Thereafter, we cooperated with the packaging department and the supplier partners, to offer that idea,” explained Eddy. The current model of packaging is mainly used to protect the head of bottles from easily broken. This product is also designed to be easily opened. On one hand, it will allow customers to directly consume. But on the other hand, because it is easily opened, the packaging needs to be more protected, especially at the head of the packaging, so as the products are on display, they still look beautiful to be seen. The raw material of tray uses the concept of environmentally friendly, ie, Reuse, Reduce, and Recycle (3R), since it uses recycled plastic/ polypropelene (PP). It can also lower the weight of packaging from the previously using 30 grams of pure PP to 22 grams of PP recycle so that it becomes more efficient. The packaging material becomes lighter, as well the cost of packaging materials. Because the cost of packaging toward the production cost is quite high that is about 50-70 percent, this concept can be able to reduce the production costs. The company did not take long to do research, only about two months. After obtaining the sample of products, then the trials was carried out in several outlets or shops. The next step was marketing test of the products by
marketing team in Jakarta. The result shown that the product performance is very satisfactory and the tray can effectively protect the product. “Thereafter, we ordered in larger scale of production, and finally we started replacing the previous packagking box into the tray, “added Eddy. Eddy further added that PT Bintang Toedjoe was awarded the AsiaStar Award 2014 in Manila, Philippines, in Transport Package category for Thermoforming Tube packaging on Nitros products. The AsiaStar Awards 2014 was followed by 10 countries, such as Japan, India, South Korea, Singapore, and Indonesia. At the event, Nitros Tray was also awarded ‘Best of the Best President Award’. In addition, in 2014 Nitros Tray was also awarded ‘PackindoStar’ in national level. For Nitros itself, it is the seventh award that has been achieved. Besides the two awards mentioned above, the packaging of Thermoforming Tube has also received other five awards, namely: PackindoStar Awards 2013, AsiaStar Awards 2013, 106 Indonesian Innovation 2014, Indonesia Good Design Selection 2014, and Worldstar 2015 Awards. Indonesia has been rather late in the acceptance of this kind of product than in Western countries. As in America and Europe, energy drinks such as energy shot has been widely accepted. “Basically, energy shot is also included in energy drinks category. The problem is how we can see this market gap that can be widened, “ explained Eddy. In addition to domestic consumption, Nitros products are also in demand in some foreign countries such as the United States and the Philippines in which the product Extra Joss has been already marketed there. Extra Joss, which is under the Kalbe International has had the representatives in many Southeast Asian countries, such as Singapore, Malaysia, Philippines, Thailand, Cambodia, Vietnam, and Myanmar. It also has entered the South African market, and will also expand to Brazil in Latin America.
informasi | information » PT. Bintang Toedjoe Jl. Jenderal Achmad Yani No.2, Pulomas, Jakarta Timur 13210, Indonesia Phone: +6221-4757777 Fax: +6221-4701678 Website: www.bintang7.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
45
Made in Indonesia
Produk Olahan Ikan
Inovatif dan Berprestasi
Potensi hasil perikanan yang begitu besar di dalam negeri telah mengilhami Hani Kusdaryanti untuk menjadi pelaku industri makanan olahan ikan.
B
erawal dari uji coba resep ibunya dalam membuat bandeng presto, kini Hani melalui bendera Fania Food sudah mampu memproduksi berbagai jenis makanan olahan ikan dan memasoknya dengan sistem keagenan. “Ide memulai bisnis ini berawal dari bandeng presto yang dibawakan ibu dari Kudus ke tempat saya di Yogyakarta,” ujarnya. Bandeng presto itu terkadang dia berikan ke sejumlah tetangga. Karena dinilai enak, Hani pun mencoba memproduksi sendiri bandeng presto itu dengan resep dari ibunya. Setelah melalui serangkaian uji coba, pada tahun 2008 bandeng presto hasil buatannya itu dijual ke kantor-kantor. “Ternyata sambutan konsumen sangat baik terhadap bandeng presto buatan saya,” paparnya. Dengan keyakinan yang kuat, pada tahun 2011 Hani pun memutuskan fokus terjun ke industri pengolahan ikan dan mengundurkan diri dari profesi sebelumnya sebagai guru di sebuah lembaga pendidikan.
46
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
Keputusannya itu berbuah manis. Secara perlahan tapi pasti, produk makanan olahannya dengan merek Fania Food terus berkembang. Berbagai produk yang dihasilkannya antara lain bandeng presto, otak-otak bandeng, nuget ikan, otak-otak ikan, tahu bakso, sosis ikan, dan bola-bola cumi. Ada juga lima produk kering, antara lain abon duri bandeng, nila crispy, amplang bandeng, dan wader crispy. Bahan baku ikan yang dibutuhkannya juga terus meningkat. Misalnya saja jika awalnya hanya membutuhkan 5 kilogram bandeng per hari, kini setidaknya dibutuhkan 50 kilogram bandeng per hari untuk diolah menjadi produk olahan. “Peningkatan produksi ini juga tidak terlepas dari bantuan instansi-instansi terkait,” katanya. Untuk meningkatkan kualitas produknya, Hani mengaku mendapatkan bantuan dari Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan serta BPOM, antara lain berupa bimbingan pelatihan teknis pengolahan ikan dan kemasan. Sejumlah penghargaan pun telah diraihnya.
Misalnya pada Oktober 2014 Fania Food menerima Penghargaan Kreasi Prima Mutu dari Kementerian Perindustrian RI. “Ini penghargaan yang paling sulit yang berhasil diraih Fania Food,” ujarnya. Untuk meraih penghargaan itu, Hani telah merintisnya sejak tahun 2009 dengan memenuhi sejumlah persyaratan, seperti modifikasi alat, penggunaan plastik pembungkus, dan alat cetak. Menurut Hani, apa yang dicapainya itu juga tidak lepas dari keunggulan yang dimiliki Fania Food, “keunggulan produk kami antara lain diproduksi tanpa bahan pengawet, terjamin higienis-nya,” jelasnya. Selain itu, produksinya juga dilakukan tanpa menimbulkan limbah dan bau karena ikan yang digunakan adalah ikan segar dan hanya sisiknya saja yang belum diolah. Dengan berbagai penghargaan dan keunggulan yang dimilikinya tersebut, Fania Food kini tidak hanya dijual di wilayah Yoryakarta dan sekitarnya saja, tetap sudah melebar ke wilayah lain di luar Jawa seperti Bali, Medan, dan Bontang. Keberhasilan Hani mengelola Fania Food juga coba ditularkan kepada pelaku usaha lainnya. Dia kerap memberikan pelatihan ke berbagai kelompok usaha olahan ikan di berbagai kota, antara lain Palu, Gunung Kidul, Mataram, Karawang, Musi Rawas, dan Semarang. Selama sekian tahun terjun di bidang usaha ini, Hani merasa peran pemerintah sangat membantu usahanya. Oleh karena itu, dia sangat sedih bila melihat teman-teman dari kelompok lain yang sudah dibantu permodalan, peralatan, regulasi, dan bahan baku, tetapi masih belum berkembang dengan baik.
Made in Indonesia
Innovative and High Quality Processed Fish Products The huge potential for fishery products in the country has inspired Hani Kusdaryanti to be an industry actor in fish processed foods.
S
tarting from trials of her mother’s recipe in making milkfish presto, now through PT. Fania Food he has been able to produce various kinds of processed food fish and supplied them by implementing agency system. “The idea of starting this business was started from milkfish presto brought by my mother from Kudus to my place in Yogyakarta,” she said. Often the Milkfish presto was given to her neighbors. Because her mothers’ milkish presto is considered tasty, Hani tried to produce it by herself with the recipe from her mother. Through a series of trials, in 2008 her milkfish Presto product was sold to a number of offices. “Evidently my milkfish presto received a very good consumer response,” she explained. With a strong belief, in 2011 she decided to be focus in fish processing industry and resigned from the previous profession as a teacher in an educational institution. Her decision led to success. Slowly but surely, her processed food products under Fania Food brand has continued to grow. Various products she has produced, among others are milkfish presto, milkfish grilled, fish nuggets, fish grilled, tofu meatballs, sausage fish and squid balls. There are also five dry products, namely shredded thorns of milkfish, tilapia crispy, amplang milkfish, and wader crispy.
The raw material of fish required has continued to increase. For example, if initially she only required 5 kilograms of milkfish per day, now she needs at least 50 kilograms of milkfish per day to be processed into the final products. “The increase of production capacity can not be separated from the supports of related parties,” she said. To improve the product quality, she admitted to get assistance from the Ministry of Industry, Ministry of Maritime Affairs and Fisheries as well as from Foods and Drugs Controll Agency (BPOM), such as in the form of assistance and technical training for fish processing and packaging. A number of awards has also been received . For example in October 2014 Fania Food was received Prime Quality Creation Award from the Ministry of Industry. “This is the most prestigious awards achieved by Fania Food,” she said. To receive the award, she has worked hard since 2009 bv meeting a number of requirements, such as modification of tools, the use of plastic wrap, and printing equipment. According to her, what has been achieved is also due to the excellence of the Fania Food. “The superiority of our products is that they are produced without preservatives, and hygienic guaranteed,” she explained. In addition, production process is also carried out without producing waste and odor since
the fish used is fresh fish and only the scales that are not processed yet. With a number of awards and the its product superiority, Fania Food is now not only sold in the Yogyakarta and surrounding areas, but it has expanded to other regions outside Java such as Bali, Medan, and Bontang. The success story of Hani in managing Fania Food has also been shared to other business players. She has often provided training to various business groups of fish processed in various cities, including Palu, Gunung Kidul, Mataram, Karawang, Musi Rawas, and Semarang. Over the years involved in fish processed business, Hani acknowledges the role of government in supporting the business development. Therefore, she feels very sad when seeing friends from other groups that have been assisted through capital requirement, equipment, regulations, and raw materials, but they have not experienced a good progress yet.
informasi | information » Fania Food Jl. Semangu KG I No. 16 RT 3/1, Gedongkuning, Rejowinangun, Yogyakarta, Indonesia Phone: +62818-273814 Website: www.faniafood.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
47
TEKNOLOGI
Inovasi Alat Terapi Kanker Berbasis Gelombang Listrik Sebuah rumah toko (ruko) berlantai tiga di kawasan Alam Sutera, Tangerang, Banten menunjukkan aktivitas yang kerap ditemui di klinik kesehatan, yaitu banyaknya pasien di ruang tunggu serta ruang-ruang tempat periksa. Tempat tersebut memang benar sebuah klinik dan telah dikenal sebagai klinik riset kanker Edwar Technology.
Dr. Warsito sedang menjelaskan rompi terapi kanker menggunakan metode ECCT.
48
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
N
amun, apakah banyak yang tahu bahwa klinik tersebut adalah bagian dari lembaga riset dan pengembangan teknologi yang berfokus tidak hanya pada bidang kesehatan? Pengobatan kanker di klinik riset Edwar Technology nampak berbeda dengan metode pengobatan di dunia medis yang umumnya melalui chemotherapy. Di klinik tersebut, pengobatan dilakukan melalui metode Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT), sebuah terapi untuk menghalangi
tEKNOLOGI pembelahan sel dan selanjutnya menghancurkan sel kanker dengan menggunakan gelombang elektron pada frekuensi dan intensitas tertentu. Teknologi tersebut ditemukan oleh pendiri sekaligus CEO Group C-Tech Labs yg membawahi Edwar Technology, yaitu Dr. Warsito P. Taruno. Terapi metode ECCT dilakukan menggunakan media rompi atau helm sebagai media bagi panel-panel yang menembakkan gelombang elektron ke tubuh pasien, tergantung pada bagian tubuh yang terkena kanker. Pada tahap pengobatan sebelumnya, pasien diperiksa dengan menggunakan Electrical Capacitance Volume Tomography (ECTV), juga hasil karya Warsito. Alat itu berfungsi mendeteksi lokasi dan tingkat keganasan sel kanker. Dalam observasi terhadap pasien, alat ECTV memiliki pemindai yang dipakaikan ke anggota tubuh pasien dalam waktu singkat dan terhubung dengan komputer untuk menayangkan dan menganalisis hasil temuannya dalam waktu sangat singkat, sekitar dua detik. Warsito menyampaikan bahwa alat untuk ECCT didesain secara khusus bagi masing-masing pasien. Karenanya, data CT scan para pasien tetap diperlukan untuk mengetahui lokasi sel kanker yang akan ditembak oleh elektroda sehingga dapat membidik sel dengan tepat. Diperlukan waktu rata-rata enam bulan dengan penggunaan alat sekitar 8-12 jam per hari untuk terapi ECCT bagi pasien kanker di klinik Edwar Technology. Pada beberapa pasien, sel kanker yang terpapar elektroda dapat hancur dan terbuang keluar dengan sendirinya dari tubuh. Namun demikian, operasi untuk menghilangkan sel kanker tetap diperlukan untuk kebanyakan kasus. Menurut Warsito, tingkat keberhasilan pengobatan kanker di kliniknya mencapai 80 persen untuk kanker payudara, 75 persen untuk kanker otak, dan 57 persen untuk kanker paru-paru. Hal ini berdasarkan studi internal terhadap sejumlah pasien yang ditangani, yaitu 4.863 pasien kanker payudara, 1.098 pasien kanker otak, dan 1.189 pasien kanker paru-paru, dimana lebih dari 70% seluruh pasien tersebut datang ke klinik sudah dalam stadium 3-4. Warsito menjelaskan, ada sekitar 120 orang pegawai yang bekerja di sana. Sejumlah dokter melayani konsultasi bagi para pasien, dan beberapa di antaranya bergelar doktor (S3). “Kami merekrut lulusan fisika kedokteran untuk melakukan riset dan membuat alat ECCT sesuai dengan kebutuhan masing-masing pasien,” imbuh Warsito. Warsito berharap banyak bahwa regulasi di industri alat kesehatan dapat semakin mendukung penggunaan teknologi dalam negeri. Ia berpendapat bahwa kemandirian teknologi di bidang kesehatan juga harus diwujudkan, karena saat ini 95 persen teknologi tersebut masih tergantung impor. Bila hal ini tercapai, tentunya akan membantu dalam penghematan devisa. Sedangkan kendala yang dihadapi Edwar Technology dalam terapi pengobatan kanker adalah belum dapat memproduksi ‘pakaian’ untuk ECCT secara massal karena terkendala izin produksi. Hingga saat ini, rompi, helm, maupun jenis pakaian lain baru dibuat berdasarkan pesanan pasien. Electrical Capacitance Volume Tomography Menurut Warsito, alat pendeteksi kanker yang
Perangkat ECVT untuk melakukan scan dan mendeteksi kanker payudara
disebut ECVT sebenarnya sudah dirintis sejak 1999, namun baru dikembangkan pada 2008. Kemudian, laboratorium risetnya berhasil membangun sendiri alat tersebut pada 2010. Pada tahun yang sama, C-TECH Labs memperoleh penghargaan rintisan teknologi dari Kementerian Perindustrian untuk produk SonaCTX001 Ultrasonic System for Non-Destructive Testing (NDT). “Produk tersebut merupakan aplikasi teknologi paling sederhana dari C-TECH Labs,” ujar Warsito. Jauh dari fungsinya sebagai pendeteksi sel kanker di tubuh pasien, teknologi ECVT digunakan untuk mendeteksi cacat pada pipa gas bertekanan tinggi yang dipakai di industri. Setelah dikembangkan, kompetensi alat ECVT dari CTECH semakin luas dengan kemampuan melakukan real time volumetric imaging, process optimitazion, customized 3D censor design, berbagai proses industrial, termasuk pula diagnosis medis. Berangkat dari situ, teknologi tersebut kemudian dimanfaatkan untuk memeriksa sel kanker pada pasien. Peralatan dengan teknologi ECVT dapat mendeteksi tingkat elektron yang menunjukkan keganasan sel kanker. “Keunggulan dari ECVT adalah level energi yang dipancarkannya rendah, sehingga tidak menimbulkan radiasi,” jelas pemilik C-TECH Labs yang juga ketua Masyarakat Ilmuwan dan Teknologi Indonesia (MITI) ini. Warsito telah mengantongi Patent Algorithm untuk ECVT, yaitu US PTO 6577700 2003, yang menjadikannya sebagai instrumen terpercaya. Perhitungan teknisnya dikerjakan dengan dukungan super komputer yang dimiliki oleh laboratorium ini. Melalui sistem komputer yang canggih, perangkat lunak ECVT dibangun. Dengan menggabungkan super komputer dengan ECVT, gambar yang diperoleh merupakan real process. ECVT Untuk R&D di Sektor Industri Selain melakukan riset pengembangan ECVT dan membuka klinik terapi kanker Edwar Technology, C-TECH Labs berupaya mendukung perkembangan pendidikan di Indonesia. Perusahaan tersebut sangat terbuka bagi mahasiswa dari berbagai jenjang
pendidikan tinggi untuk magang. Dengan periode magang sekitar tiga hingga enam bulan, C-TECH Labs saat ini menampung 25 mahasiswa magang dari jenjang S1, S2, dan S3. Salah satu tujuan C-TECH Labs adalah dapat memberikan lapangan pekerjaan sesuai disiplin ilmu para pegawainya. Alasannya agar semangat dan gairah keilmuannya tetap terjaga. Di unit laboratoriumnya sendiri, C-TECH mempekerjakan sekitar 50 pegawai, banyak di antaranya adalah lulusan jurusan fisika medis dan jurusan elektronika dan instrumentasi. “Di sini mereka dapat mempraktikkan ilmunya, terutama yang berkaitan dengan gelombang dan energi,” terang Warsito. Di masa mendatang, ECVT akan sangat diperlukan di bidan industri karena efisiensi yang ditawarkannya. Begitu pula di sektor energi yang bergantung pada teknologi untuk pengolahannya. Karenanya, menurut Warsito, penerapan penggunaan ECVT membutuhkan campur tangan pemerintah agar dapat diaplikasikan dengan maksimal. Warsito memberikan contoh, apabila digunakan di pertambangan, pemerintah harus tegas menerapkan regulasi untuk memasang dongle atau semacam alat pencatat dengan ECVT bagi setiap truk yang keluar dari tambang untuk melihat secara jelas volume yang diambil. Tujuannya, agar hasil tambang tersebut dapat diolah sepenuhnya melalui cara yang legal. Dukungan pemerintah juga dibutuhkan C-TECH Labs sebagai perusahaan yang bergerak di bidang teknologi industri dengan konten riset yang sangat tinggi. Tentunya, hal itu memerlukan pendanaan riset yang tinggi juga. Warsito juga berharap kualitas riset di universitasuniversitas di Indonesia dapat ditingkatkan sehingga mahasiswa lebih bersemangat dalam mendalami ilmunya serta lebih siap terjun ke dunia kerja. “Apalagi saingan kami adalah lembaga-lembaga riset di luar negeri yang sudah mapan,” pungkas pria yang juga merupakan pengajar di Departemen Fisika Universitas Indonesia dan profesor tamu di beberapa universitas luar negeri tersebut.
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
49
TEKNOLOGI
Innovation of Electric Wave Based
Equipment for Cancer Therapy
The three-storey shophouse in Alam Sutera area, Tangerang, Banten shows the activities as often seen in health clinics, there are a number of patients in the waiting room as well as many checked-room. The shophouse is indeed a clinic and has been known as a cancer research clinic of Edwar Technology.
H
owever, not many people actualy know that the clinic is part of a research and technology development agency that focuses not only on the health sector. The cancer treatment in clinical research of Edwar Technology appears to differ from the treatment method in the medical world that is
generally through chemotherapy. At that clinic, the treatment is carried out through the method of Electro-Capacitive Cancer Therapy (ECCT), a therapy to impede the cells cleavage and subsequently destroy cancer cells by using the electronic wave at a particular frequency and intensity. The technology was invented by the founder and
Alat ECVT untuk melakukan scan kepala dan mendeteksi kanker otak
50
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
CEO of Group C-Tech Labs which subordinates the Edwar Technology, Dr. Warsito P. Taruno. The ECCT therapy method is done by using vest or helmet as a medium for the panels that shoots the electron waves into the body of patient, depending on the part of body affected by the cancer. In the earlier step of treatment, patients were examined using Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT), that is also founded by Warsito. The equipment functions to detect the location and degree of malignancy of cancer cells. In the observation process to the patient, ECVT has a scanner installed to the body of patient and connected to a computer to display and analyze its findings in a very short time, about two seconds. Warsito explained that the equipment for ECCT is designed specifically for each patient. Therefore, the CT scan data of the patient is still needed to determine the location of the cancer cells to be shot by the electrodes so that the targets can be shot accurately. It takes an about six months with the use of about 8-12 hours per day to carry out ECCT therapy for cancer patients at the clinic of Edwar
tEKNOLOGI
Technology. In the process, the cancer cells hit by the electrodes will be destroyed and flushed out of the body naturally. However, the surgery to remove the cancer cells is still needed for most cases. According to Warsito, the success rate of cancer treatment in his clinic reachs 80 percent for breast cancer, 75 percent for brain cancer, and 57 percent for lung cancer. It is based on an internal study from the number of treated patients, ie 4,863 patients of breast cancer, 1,098 patients of brain cancer, and 1,189 patients of lung cancer, of which more than 70% of the whole patients coming to the clinic has already been in stage 3-4. Warsito explained, he employes about 120 people in that clinic. A number of doctors serves consultations for patients, and some of them hold a doctorate. “We recruited medical physics graduates to do research and make ECCT equipment according to the needs of each patient,” Warsito further explained. Warsito strongly expects that regulation on medical equipments industry to further support the use of domestic technology. He argued that the technological independence in the health sector should also be realized, because currently 95 percent of the technology still depends on imports. When it is realized, it will certainly help in saving foreign exchange. While the obstacles faced by Edwar Technology in the therapy of cancer treatment is that it has not been able to produce ‘clothes’ for ECCT en masse due to constraint in the production license. Until now, vests, helmets, and other types of clothes are only made based on the order of patient. Electrical Capacitance Volume Tomography (ECVT) According to Warsito, cancer detection equipment called ECVT has been initiated since 1999, but it has been really developed in 2008. Subsequently, his research laboratory has successfully developed its own equipment in 2010. In the same year, C-TECH Labs was awarded pioneering Technology from the Ministry of industry for the product of SonaCTX001 Ultrasonic System for Non-Destructive Testing (NDT). “That product is the most simple technological application of C-TECH Labs,” said Warsito. Apart from its function as detector of cancer cells in the patient’s body, ECVT technology is also used to detect the defects of the high-pressure pipeline gas used in industry. After being developed, the capability of CTECH ECVT equipment has become more widely with its capability to conduct real-time volumetric imaging, process optimitazion, customized 3D censor design, a variety of industrial processes, including the medical diagnosis. Thereafter, this technology is then utilized to examine the cancer cells for patients. The equipment with ECVT technology can detect the level of electrons showed the malignancy of cancer cells.
“The advantages of ECVT is that the energy emition is relatively low level, so as not to cause radiation,” explained the owner of C-TECH Labs that is also the Chairman of the Indonesian Scientist and Technology Community (MITI). Warsito has received Patent Algorithm for ECVT, that is US PTO 6577700 2003, which renders it as a reliable instrument. The technical calculation is carried out by the support of super computers owned by this laboratory. Through the sophisticated computer system, the ECVT software is built. By combining the super computer with ECVT, the images obtained is real process. ECVT For R & D in Industry Sector In addition to conducting research and development of ECVT and running the Edwar Technology clinic for cancer therapy, C-TECH Labs attempts to support the development of education in Indonesia. The company is widely open to students from various higher education for the apprentice. With an internship period of about three to six months, C-TECH Labs currently accomodates 25 internship students of S1, S2, and S3. One of the goals of C-TECH Labs is to be able to provide jobs according to the knowledge discipline of its employees. The reason is how the spirit and scientific passion can be maintained. In the laboratory unit, C-TECH employs approximately 50 employees, many of them are graduate of medical physics and electronics and instrumentation departments. “Here they can practice their knowledges, especially those associated with the wave and energy,” explained Warsito. In the future, ECVT will be indispensable
in industry sector due to the efficiency offered. Similarly in the energy sector which relies on technology for processing. Therefore, according to Warsito, the application of the use of ECVT requires the government intervention to maximize the application of ECVT. Warsito gave an example, when utilized in mining, the government should firmly imposes the regulation to install dongle or some sort of recording device with ECVT for every truck coming out of from the mining site to accurately record the volume carried. The goal is that the mining product can be entirely processed legally. The government support is also required by C-TECH Labs as a company engaged in the field of industrial technology with very high research content. Obviously, it requires a high research funding as well. Warsito also expects the quality of research in the universities in Indonesia can be improved so that the students will be more eager to deepen their knowledge and be ready to enter into the business world. “Much less, our competitors are foreign research institutions that have been established,” concluded the man who is also a lecturer in the Department of Physics, University of Indonesia and a visiting professor at several universities abroad.
informasi | information » CTECH Laboratories Jl. Jalur Sutera Kavling Spektra Blok 23 BC No. 10-12, Alam Sutera, Tangerang, Banten, Indonesia Phone: +6221-29315015 Website: www.c-techlabs.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
51
TEKNOLOGI
Inkubator Industri Kreatif
Bidang Teknologi Informasi Industri kreatif telah menjadi salah satu bidang industri yang memiliki peluang untuk berkembang. Karena itu, upaya untuk melahirkan para pelaku usaha di sektor tersebut terus dipacu dan dikembangkan.
S
alah satu upaya tersebut diwujudkan dengan keberadaan Jogja Digital Valley (JDV), sebuah fasilitas inkubator dan komunitas teknologi yang didirikan oleh PT Telkom dengan dana CSR perusahaan itu, mulai dari gedung dan fasilitasnya. Menurut Pranowo Putra, Community Manager JDV, fasilitas ini didirikan dengan tujuan melahirkan pelaku-pelaku di industri kreatif, terutama di bidang teknologi informasi di dalam negeri. Untuk mencapai tujuan itu, kegiatan yang dilakukan JDV adalah memfasilitasi orang-orang yang ingin masuk ke sektor industri kreatif. Fasilitas yang disediakan berupa ruangan diskusi, koneksi internet gratis, serta kegiatan sharing knowledge berupa seminar dan diskusi di bidang teknologi. Selain itu, JDV juga menerapkan program inkubasi dengan memberikan bantuan kepada mereka yang sudah menciptakan produk-produk kreatif di bidang teknologi informasi (TI). “Bagi individu atau kelompok yang sudah menciptakan produk kreatif, mereka akan dimentori oleh PT Telkom sehingga usahanya bisa berkembang dengan lebih baik,” ujar Pranowo. JDV akan memberikan edukasi dan pendampingan bisnis bagi seluruh pelaku/inventor baik dalam hal kompetensi teknis maupun kompetensi bisnis, sehingga setiap inventor dapat mengkomersialisasikan hasil inovasinya secara terencana dan tepat sasaran. Menurutnya, sejak dioperasikan Agustus 2013 hingg kini, JDV telah memiliki anggota sekitar 3.000 orang. “Member kami kebanyakan adalah manajer dan praktisi di bidang industri kreatif,” ucapnya seraya
52
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
menambahkan kalau dari jumlah member itu, 55% adalah berstatus mahasiswa. Berdasarkan survei yang dilakukan beberapa waktu lalu, dari 3.000 member yang ada hingga akhir 2014, telah muncul 150 perusahaan TI di Yogyakarta. Perusahaan-perusahaan itu memiliki karyawan beragam, mulai dari yang hanya memiliki 1 karyawan hingga 600 karyawan. “Survei ini menunjukkan bahwa keberadaan JDV sudah memberikan dampak positif. Dan ini adalah suatu hal yang bagus,” tutur Pranowo. Keberadaan JDV juga telah menjadi wadah bagi masuknya berbagai order di sektor industri kreatif karena banyak perusahaan yang memberikan order
kepada lembaga ini. Order-order yang masuk itu, ungkap Pranowo, kemudian ditawarkan kepada perusahaanperusahaan atau individu yang menjadi anggota inkubator bisnis tersebut. “Bahkan ada beberapa pihak yang mencari free lancer langsung ke tempat ini,” ucapnya. Pemberi order itu tidak hanya datang dari dalam negeri saja, tetapi sejumlah perusahaan informasi dan terknologi terkenal di dunia juga membutuhkan jasa free lancer dari Indonsia. Pranowo, lulusan Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada tahun 2010, mengaku berkat adanya JDV, dia juga mendapatkan sejumlah order proyek dari beberapa perusahaan di luar negeri. Pekerjaan itu dilakukannya melalui jaringan komputer tanpa harus melalui tatap muka. “Dengan adanya JDV, arus informasi semakin deras dan ini merupakan suatu peluang yang bagus untuk dimanfaatkan baik oleh prusahaan besar maupun kecil di Indonesia,” katanya. Sebagai fasilitas yang baru terbentuk, masih ada kendala yang dihadapi JDV, antara lain masih adanya instansi dan perguruan tinggi yang belum memahami dengan baik pentingnya pengembangan industri kreatif di bidang TI, sehingga belum bisa bersinergi secara optimal antara instansi yang satu dengan yang lain. Walaupun begitu, melihat perkembangan yang terjadi hingga saat ini, JDV optimis industri kreatif di bidang TI akan semakin cepat berkembang di Indonesia.
tEKNOLOGI
Creative Industry Incubator in
Information Technology The creative industries have become one of the industry having the opportunity to grow. Therefore, attempts to create the business actors in this sector have continued to be encouraged and developed.
O
ne of attempts is manifested by the presence of Jogja Digital Valley (JDV), an incubator facility and technology community established by PT. Telkom with the company’s CSR fund, in the form of building and its facilities. According Pranowo Putran, Community Manager of JDV, this facility was established with the purpose of creating creative industry actors, especially in the field of information technology in the country. To achieve the objective, the activities carried out by JDV is to facilitate people who want to get into the creative industry sector. Facilities provided in the form of a discussion room, free internet connection, as well as knowledge sharing activities through seminars and discussions in the field of technology. In addition, JDV has also implemented incubation program by providing assistance to those who have are already created the creative product in the field of information technology (IT). “For individuals or groups having created the creative product, they will be mentored by PT. Telkom so that their business can be able to grow
better,” explained Pranowo. JDV will provide education and business mentoring for all actors/inventor both in terms of technical and business competence, so that each inventor can be able to commercialize his innovative outcome in a planned and well targeted. According to him, since operationalized in August 2013 until now, JDV has already had membership of about 3,000 people. “Our members are mostly managers and practitioners in the field of creative industries,” he explained while adding that about 55% of the members are students. Based on the survey conducted some time ago, from 3,000 members registered at the end of 2014, about 150 IT companies have emerged in Yogyakarta. These companies has employed various number of workers ranging from only one employee to 600 employees. “This survey has shown that the presence of JDV has a positive impact. And it is a good news, “explained Pranowo. The existence of JDV has also become a locus of receiving various orders in creative industries sector since many companies have given orders to
this agency. The incoming orders, said Pranowo, then are offered to companies or individuals who are the members of the business incubator. “Even there are many parties seeking free lancer directly to this place,” he further explained. The orders do not only come from domestic customers, but a number of advanced IT companies in the world have also required Indonsian free lancer. Pranowo, a graduate of the Faculty of Economics, University of Gajah Mada in 2010, admitted that the existence JDV has led him to receive a number of orders from several foreign companies. The work was carried out through computer networks without having to go through face-to-face. “With the existence of JDV, information has flown more rapidly and has become a great opportunity to be utilized by both large and small companies in Indonesia,” he said. As a newly formed facilities, there are still obstacles faced by JDV, among others, there are many agencies and universities that are not yet well understand about the importance of the development of creative industry in the IT field, so that sinergy among agencies has not run optimally. Nevertheless, looking at the development to date, JDV is optimistic that creative industry in IT will experience rapid growth in Indonesia.
informasi | information » Jogja Digital Valley Jl. Kartini No. 7 Sagan, Yogyakarta, Indonesia Phone: +62274-556565 Website: jogjadigitalvalley.com E-mail:
[email protected]
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
53
OPINI
Sri Martono
Pembinaan UMKM Untuk Meningkatkan Kandungan Lokal Sejak didirikan pada tahun 1980 hingga saat ini, Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) sebagai salah satu dari 9 yayasan yang didirikan Astra, telah memiliki mitra binaan sebanyak 8.464 Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) di berbagai daerah di Indonesia dan menyerap 57.817 orang tenaga kerja. “Dari 8.646 mitra binaan YDBA, 154 unit di antaranya bergerak di bidang komponen otomotif. Selebihnya tergolong kategori non-otomotif, seperti pertanian, kerajinan, serta income generating activity atau IGA,” ujar Sri Martono kepada Kina. Sri Martono melanjutkan, bahwa pembinaan yang dilakukan sejak 35 tahun ini memang tidak terbatas pada usaha yang terkait dengan bisnis inti grup Astra saja, tetapi juga usaha lain, seperti pertanian, kerajinan dan lain sebagainya. “Ini merupakan perwujudan dari misi YDBA yang kedua, yakni membina dan memberdayakan usaha ekonomi masyarakat,” ujarnya penuh ceria. Pembinaan Untuk Meningkatkan Kompetensi UMKM Dalam aspek pelatihan dan pendampingan kepada semua mitra binaan, YDBA memberi modul pelatihan yang terbilang up-to-date. Tujuannya adalah meningkatkan mental kewirausahaan, meningkatkan kompetensi proses produksi, pemasaran, dan keuangan, dengan mengedepankan prinsip-prinsip quality, cost, delivery, dan innovation (QCDI). Selain itu, tambah Sri Martono, YDBA juga memberikan fasilitas pasar dan pembiayaan bagi UMKM.
D
emikian disampaikan Sri Martono, Ketua Pengurus YDBA, saat wawancara bersama Kina belum lama ini di Kantor YDBA, Sunter, Jakarta Utara. Ia menjelaskan, pembinaan yang dilakukan YDBA selama 35 tahun, pada dasarnya mengacu pada visi dan misi yang diemban. Visi YDBA yaitu menjadi institusi terbaik di bidang pembinaan dan pengembangan UMKM di tanah air, serta manjadi bagian dari business value chain grup Astra dengan penekanan pada perkuatan UMKM dan kesejahteraan masyarakat. Sementara misi yang dibangun antara lain: membina dan memberdayakan usaha ekonomi masyarakat di sekitar lokasi jaringan grup Astra, serta mengembangkan kewirausahaan dan keterampilan masyarakat sesuai kompetensi yang dimiliki oleh grup Astra. Dengan visi dan misi seperti itu, lanjut Sri Martono, program pembinaan yang dijalankan YDBA meliputi perbengkelan, kerajinan dan pertanian melalui pemberian pelatihan, pendampingan, fasilitasi pasar, dan fasilitasi pembiayaan.
54
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
OPINI
“Pembiayaan tersebut dibutuhkan UMKM sebagai investasi gedung atau peralatan maupun modal kerja,” ujarnya. Sedangkan fasilitas pasar yang diberikan YDBA adalah dalam bentuk pengenalan produk-produk UMKM kepada customer, dengan cara menampilkan (display) produk mereka di ruang pamer galeri UMKM YDBA. Selain itu, YDBA juga menyertakan produk-produk UMKM dalam pameran yang rutin diadakan setiap tahun di Jakarta, seperti Inacraft, IIMS dan Trade Expo Indonesia. Pembinaan yang dilakukan YDBA diakui telah meningkatkan kemampuan usaha UMKM mitra binaannya, baik yang terkait langsung dengan bisinis inti grup Astra maupun yang tidak. Kemampuan usaha tersebut pada akhirnya membawa dampak poistif dalam pemasaran produk-produk mereka. Di bidang komponen otomotif misalnya, dari 154 perusahaan terbagi menjadi direct component sebanyak 122 perusahaan dan production equipment for automotive sebanyak 32 perusahaan. Kedua kelompok usaha ini mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 15.600 orang. “Untuk komponen otomotif, semua hasil produk mitra binaan diserap oleh grup Astra, yakni PT Astra Honda Motor, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, PT Daihatsu Motor dan PT Isuzu Astra Motor Indonesia. Hingga akhir Desember 2014, nilai order yang diberikan grup Astra mencapai Rp2,3 trilyun,” ujar Sri Martono penuh bangga. Dia menambahkan, meski semua produk komponen terserap di grup Astra, namun mitra binaan YDBA diperkenankan untuk memasarkan produknya kepada selain grup Astra. Besarnya prosentase pasokan komponen mitra binaan YDBA ke grup Astra saat ini baru mencapai angka 5-10%, Namun demikian, peluang untuk meningkatkan pasokan komponen masih cukup terbuka. “Tingkat kandungan lokal terhadap beberapa produk grup Astra bisa dibilang sangat tinggi. Misalnya, sepeda motor Honda tipe Vario Techno 125 cc memiliki kandungan lokal sebesar 99,7% dan Daihatsu Ayla sebesar 86%,” ungkap Sri Martono. Untuk kelompok produk di luar bisnis inti grup Astra seperti produk-produk pertanian, mitra binaan YDBA sudah mampu memasarkan sendiri ke berbagai supermarket yang ada di daerahnya. Sri Martono menambahkan, dalam pembinaan kepada mitra binaan di luar bisnis inti grup Astra, YDBA selalu menggandeng pihak-pihak terkait maupun tenaga ahli yang berkompeten di bidang pertanian. “Dengan begitu, mitra binaan memperoleh pengetahuan sesuai dengan kebutuhan,” ujarnya mantab. Guna mendukung keberhasilan pembinaan, tambahnya, YDBA mendirikan Lembaga Pengembangan Bisnis atau LPB yang hingga saat ini jumlahnya 12 unit yang tersebar di berbagai daerah. Bersamaan dengan itu, untuk membantu akses pembiayaan, YDBA juga telah mendirikan 10 Lembaga Keuangan Mikro (LKM) di berbagai daerah. Sebelum mengakhiri bincang-bincang bersama Kina, Sri Martono menuturkan bahwa YDBA juga telah memberikan pelatihan mekanik bagi 522 pemuda putus sekolah. Dia juga mengungkapkan bahwa YDBA memberi kesempatan bergabung bagi UMKM lain yang belum menjadi mitra binaan YDBA, utamanya di bidang otomotif.
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
55
OPINI
Sri Martono
Fostering SMEs to Increase Local Content Since founded in 1980, as one of the nine foundations established by Astra group, Yayasan Dharma Bhakti Astra (YDBA) has already fostered the development of SMEs as many as 8464 in various regions in Indonesia and has absorbed 57.817 workers.
56
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
T
his was explained by Sri Martono, the Chairman of YDBA, when interviewed by Kina in YDBA office, Sunter, North Jakarta recently. He explained that the fostering program carried out by YDBA during the period of 35 years, basically refers to the vision and mission of YDBA. The vision of YDBA is to become the best institutions in fostering the development of SMEs in the country, and to be a part of the business value chain of Astra group by stressing to strengthen the SMEs and public welfare. While the mission of YDBA include: fostering and empowering the public economy around the area of the Astra group network, as well as developing the entrepreneurship and skills of the people in accordance with the resource competence of Astra group.
With YDBA vision and mission, continued Sri Martono, the fostering program run by YDBA include: workshops, crafts and agriculture through the provision of training, mentoring, market and financing facilitation. “From the number of 8646 fostered partners of YDBA, 154 SMEs run the business in automotive components. The rests are categorized as nonautomotive bussiness, such as agriculture, handicrafts, as well as income generating activity (IGA),” Sri Martono said to Kina. He further explained that the program of fostering SMEs carried out since 35 years ago has not only related to the core business of Astra group, but also including other business areas, such as agriculture, handicrafts and so forth. “This is a manifestation of the second mission of YDBA, that is to foster and empower the public economy,” he said with cheerful. Fostering To Increase the Competency of SMEs In the aspect of fostering and mentoring to all fostered partners, YDBA provides the fairly up-todate training module. The objective is to improve the entrepreneurship capability, the competence of the production process, marketing capability, and financing capability, by promoting the principles of quality, cost, delivery, and innovation (QCDI). Moreover, he added, YDBA also provides market facilities and financing for SMEs. “The financing is required by SMEs for investment in buildings or equipment as well as for working capital,” he said. Meanwhile the market facility provided by YDBA is in the form of the introduction of SMEs products to customers, by displaying their products in YDBA’s showroom gallery for SMEs. In addition, YDBA also includes the products of SMEs in regular exhibition
OPINI
held every year in Jakarta, such as Inacraft, IIMs and Indonesia Trade Expo. The coaching and training activities given by YDBA has been considered to be able to improve the business capability of fostered partners SMEs, both those that directly relate to the core business of Astra group and the rests. Their business capability ultimately can bring the positif impact in marketing their products. In the business of automotive components, for example, of the 154 SMEs they can be grouped into 122 SMEs for direct component and the remaining 32 SMEs are for the production equipment for automotive. These two business group are able to provide employment for 15,600 people. “For automotive components, all products of fostered partners are absorbed by the Astra group, namely PT Astra Honda Motor, PT Toyota Motor Manufacturing Indonesia, PT Daihatsu Motor and PT Isuzu Astra Motor Indonesia. Until the end of December 2014, the value of the order given by Astra group is about IDR 2.3 trillion, “explained Sri Martono with full of pride. He added that although all product components are absorbed by Astra group, but the fostered partners of YDBA are also allowed to market their products to other companies outside Astra group. Currently, the amount of components supplied by fostered partners SMEs of YDBA to Astra group is still quite limited, reaching only 5-10%. However, the opportunity to increase the supply of components is widely open. “The local content level of some products of Astra group could be considered very high. For example, the Honda motorcycle type Vario Techno 125 cc has local content at the level of 99.7% and Daihatsu Ayla has reached to 86%, “explained Sri Martono. For the group of products outside the core business of Astra Group such as agricultural products, the fostered partners of YDBA have been able to market by themselves to various supermarkets in their regions. Sri Martono added, in fostering the SMEs outside the core business of Astra group, YDBA has always cooperated with related parties and experts having competence in the field of agriculture. “By doing so, the fostered partners will acquire the knowledge according to their needs,” he said with confident. In order to support the fostering success, he added, YDBA has established the Business Development Institute (LPB), which until now has reached 12 units spreading in various regions. Paralelly, to support the access to financing, YDBA has also set up 10 Microfinance Institutions (MFIs) in various regions. Before concluding the interview with Kina, he said that YDBA has also provided the mechanical training for 522 school dropouts. He also revealed that YDBA also provides the opportunities for other SMEs that have not become YDBA fostered partners to join, primarily in the automotive field.
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
57
APA & SIAPA
PETRUS TEDJA HAPSORO
Petrus tidak mengira, pilihan untuk hengkang dari kota Jakarta ternyata membuahkan hasil menjadikan pengusaha yang sukses.
K
etika kecil, ia dikenal oleh keluarganya sebagai bocah kecil yang gemar mengutakatik barang-barang yang ada di rumah. Barang tadi dibongkar dan dipasang kembali seperti layaknya seorang pekerja bengkel yang sedang menyelesaikan pekerjaannya. Namun, pada saat membongkar pasang sepeda misalnya, ia tidak jarang menemui kesulitan yang pada akhirnya tidak bisa menyelesaikan sebagaimana mestinya. Adalah Petrus Tedja Hapsoro, putera keempat dari lima bersaudara keluarga JW Suyitno, seorang guru di Yogyakarta, yang semasa kecilnya gemar membongkar pasang tersebut. “Pokoknya kalau ada barang-barang di rumah seperti radio, sepeda, dan lain sebagainya, pasti saya bongkar dengan menggunakan perkakas seadanya. Seringkali barang-barang yang dibongkar tadi tidak terpasang kembali,” ujar Petrus Tedja Hapsoro (47), pimpinan PT Yogya Presisi Teknikatama Industri ketika ditemui Majalah Kina di ruang kerjanya belum lama ini di Yogyakarta. Usaha yang dipimpinnya, PT Yogya Presisi Teknikatama Industri (YPTI), yang berlokasi di Yogyakarta, berdiri pada tahun 1999, dengan memproduksi tools maker untuk keperluan industri
Sukses Membangun
Industri Mesin dan Komponen Otomotif 58
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
APA & SIAPA
otomotif. Sejak berdiri sampai saat ini, PT YPTI bisa digolongkan sebagai perusahaan yang cukup sukses. Karena, usaha yang dikomandaninya itu, saat ini tercatat sebagai satu-satunya industri di tanah air yang mampu memproduksi cetakan karpet mobil dan helm Tentara Nasional Indonesia (TNI). Di samping itu, ia bersama rekan-rekan seprofesinya mampu menghasilkan berbagai jenis prototype mesin/peralatan untuk industri otomotif, seperti prototype mesin CNC Milling 5 Axes, dan sebagainya. Keberhasilan dalam memajukan PT YPTI itu tidak terlepas dari kerja kerasnya bersama rekan seprofesi selama ini. Sudah barang tentu, kerja kerasnya itu didukung oleh pendidikan dan pengalaman bekerja di industri otomotif. Dia yang jebolan Akademi Teknologi Mesin Industri (ATMI) Solo pada tahun 1990, bekerja pertama kali di perusahaan Astra Group di Jakarta. Di perusahaan ini ia ditugaskan di divisi komponen otomotif selama dua tahun. Selama bekerja di Astra Group, Petrus mengaku banyak memperoleh ilmu pengetahuan dan keterampilan lewat berbagai aktivitas, termasuk mengikuti training selama satu tahun. Rupanya, bekerja di Astra Group ini tidak berlangsung lama. Sebab, calon istrinya yang berasal dari Yogyakarta tidak bersedia tinggal di Jakarta. Alhasil, Petrus pun hengkang dari Jakarta kembali ke Solo, dan bekerja pada sebuah perusahaan swasta yang memproduksi tools maker. Di perusahaan ini, ia bekerja kurang lebih enam tahun, yang kemudian berhenti pada tahun 1999. Kemudian, berbekal pengalaman yang diperolehnya selama bekerja di industri otomotif dan ditunjang modal yang seadanya, Petrus Tedja Hapsoro nekad mendirikan perusahaan PT YPTI yang bergerak di bidang tools maker. Pertimbangannya memilih bisnis tools maker adalah karena peluang pasar industri ini di Indonesia masih sangat terbuka. Ia menambahkan, tools maker dan precision parts sampai saat ini masih diimpor.
“Nilai impor kedua jenis produk tersebut masih tergolong tinggi, mengingat perkembangan industri otomotif di Indonesia demikian pesat. Karenanya, untuk mengurangi ketergantungan impor tersebut, PT YPTI dibangun dengan menghasilkan produk substitusi impor,” ujarnya penuh bangga. Pemilihan bisinis produk substitusi impor, tampaknya membawa berkah tersendiri bagi perusahaan yang mempekerjakan 230 karyawan, yaitu keberhasilan perusahaan ini dalam meraih pangsa pasar lokal dengan cukup meyakinkan. Menurut penuturan Petrus, pada tahun 2012 lalu, omzet penjualan produk PT YPTI mencapai Rp40 milyar. Setahun kemudian, nilainya naik menjadi Rp50 milyar. Namun, pada tahun 2014 lalu nilai omzet penjualan mengalami sedikit penurunan menjadi Rp45 milyar, akibat banyaknya perusahaan Jepang yang berinvestasi di Indonesia. “Mudah-mudahan pada tahun 2015 ini omzet penjualan bisa naik kembali menjadi Rp50 milyar lebih,” lanjut Petrus penuh optimis. Menurut pengakuannya, keberhasilan usaha yang digelutinya selama ini banyak didukung oleh perusahaan kecil sekelas IKM dan bengkel-bengkel Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan ATMI yang ada di wilayah Yogyakarta dan Solo. Tercatat lebih dari 20 perusahaan kecil dan 5 bengkel SMK dan ATMI yang mendukung produk PT YPTI. Petrus menambahkan, “Nilai order yang disalurkan kepada semua mitra kerja PT YPTI mencapai Rp1,5 milyar pada tahun 2014, dan pada tahun 2015 diperkirakan mencapai Rp2 milyar. Ini merupakan komitmen perusahaan untuk senantiasa mendukung perkembangan industri kecil dan menengah di sekitar Yogyakarta dan Solo.” Selain dukungan IKM dan bengkel-bengkel sekolah, keberhasilan perusahaan dalam memasarkan lebih dari 20 item cetakan juga ditunjang oleh pelayanan purna jual yang prima, di samping harga yang kompetitif serta promosi yang cukup intensif.
Dalam pelayanan purna jual, PT YPTI tidak segansegan untuk memberikan bimbingan dan pelatihan kepada konsumen. Sementara dalam hal promosi, perusahaan yang dipimpinnya secara rutin mengikuti berbagai pameran yang digelar di dalam maupun di luar negeri, di antaranya pameran di Hannover, Jerman. Petrus menyatakan, tujuan mengikuti pameran Hannover Messe 2015 adalah untuk menunjukkan pada dunia bahwa Indonesia adalah negara yang mampu memproduksi dan menguasai teknologi. “Selama ini kita dipandang miring sebagai negara non-produksi dan non-teknologi,” kata Petrus. Selain itu, ia juga kerap mengamati perkembangan teknologi terbaru di dunia. Tujuannya adalah untuk mengamati perkembangan teknologi yang ada untuk dibandingkan dengan teknologi yang dimilikinya saat ini. Dengan begitu, tambahnya, perusahaan bisa memperkirakan kebutuhan mesin/ peralatan dikaitkan perkembangan teknologi dalam kurun waktu 5-10 tahun ke depan. Menyinggung soal pasar di dalam negeri, ia mengaku banyak bersaing dengan perusahaan sejenis asal Jepang yang beroperasi di Indonesia. Meski harus bersaing ketat dengan produk Jepang, namun PT YPTI memiliki keunggulan tersendiri yakni kualitas produk yang tergolong prima dan pelayanan purna jual yang bisa diandalkan. “Harga jual produk PT YPTI masih lebih rendah 20-30% dibandingkan produk sejenis buatan Jepang,” tegas Petrus. Sebelum mengakhiri bincang-bincangnya bersama Kina, Petrus Tedja Hapsoro menaruh harapan yang cukup besar kepada pemerintah. Pertama, perizinan yang sampai sekarang ini dirasakan masih memberatkan dunia usaha, di mana pengurusannya sangat berbelit-belit dan memakan waktu lama. Kedua, bunga bank yang terlalu tinggi di kisaran 14-15%, berdampak terhadap usaha yang kurang kompetitif. Ia mengusulkan kepada pemerintah, dalam kondisi persaingan pasar yang semakin tajam di dalam maupun luar negeri, idealnya pemerintah bisa mendirikan bank industri, dengan bunga yang tidak terlalu tinggi, yaitu sekitar 6%, sehingga bisa mendongkrak daya saing produk nasional di pasar lokal maupun global
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
59
APA & SIAPA
PETRUS TEDJA HAPSORO
Success in Establishing Machinery and Automotive Spare-parts Industry Petrus did not think that the decision to leave Jakarta evidently has brought him to be a successful entrepreneur.
A
s a child, he was known by his family as a small boy who enjoys tampering with any stuff in the house such as bicycles, radios and so forth. Such stuff was dismantled and then reassembled into its original. However, after dismantling such stuff, a bicycle for example, he often faced difficulties and failed to complete it properly. “Certainly, for any stuff I found at home such as radios, bicycles, and so forth, I dismantled it by using potluck tools. Often the stuff I had dismantled
60
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
could not be reassembled again,” said Petrus Tedja Hapsoro (47 years old), the owner of PT Yogya Presisi Teknikatama Industri to Kina Magazine when was met at his office in Yogyakarta recently. The dismantle and reassemble activities had become a regular sight for JW Suyatno family. JW Suyatno, a teacher in Yogyakarta has five children having different character from each other. Peter is the fourth son of five children. By having the experience acquired when working in the manufacturing industry, with fully
confident Petrus established PT YPTI. The company located in the village of Dhuri, Sleman, Yogyakarta, was established on September 9, 1999. The company is engaged in the production of molds (mold making), spare parts for the industrial machineries, and plastic injection products. He choosed this business with the consideration that the market opportunity in Indonesia’s manufacturing industry is still widely open, especially in mold making and precision parts that until now still have to be imported. Petrus said that, “The import value of both products are still relatively high, considering the rapid growth of the development of the manufacturing industry in Indonesia. With the aim to reduce dependence on imports, PT YPTI was established to manufacture substitution products/
replacement of imports.” PT YPTI has also become a flagship company in Sleman, Yogyakarta in the field of Manufacture Technology. PT YPTI has also partnered with various universities, higher education institutions and schools in Yogyakarta, Central Java, East Java, and even outside of Java. The company’s production process uses Computer Added Design (CAD) facility that is a software for design, Computer Added Manufacturing (CAM) software to operate the machines, CNC (Computerized Numerical Control) machine that is a machine which is operationalized through Numeric (machine language generated by CAM Software). Petrus argued that the use of modern manufacturing technology has allowed PT YPTI producing a wide range of products according to customer demands, with faster and more accurate and efficient. The success in fostering PT YPTI is the result of collective efforts with his colleagues, namely Hasan Mustafa, Prasetyo Yulianto Paulus, and Kristianto who also the graduate of ATMI Solo. Petrus is an alumni of ATMI who graduated in 1990, and he worked firstly at Astra Group company, Jakarta. In this company he was assigned in the design division for two years. During his work at Astra Group, Petrus admitted to had acquired knowledge and skills through various activities, including Tool Making course for one year. Evidently, working at Astra Group did not last long, since his fiance, a Yogyakarta’s girl who laterly was married in 1994, did not want to stay in Jakarta. For that reason, Petrus left Jakarta and decided to stay in Solo and working at a manufacturing company. In this company, he worked for approximately six years, and then resigned in 1999 and moved to his home city, Yogyakarta to start running his own business. The decision for choosing the business of import substitute products, seems to bring a fortune for the company that employs 230 workers. The fortune was, among others, shown by the company’s success in gaining the very significant local market share. In 2012 sales turnover of PT YPTI products reached approximately IDR 30 billion. A year later, the value rose to about IDR 43 billion.
However, in 2014 the value of sales turnover decreased to about IDR 39 billion, due to many Japannese Manufacturing companies investing in Indonesia, which obviously have become competitors. “Hopefully in 2015 the values of sales turnover could recover and increase again,” said Petrus optimistic. In addition to hard works, the success of PT YPTI is also supported by the partnering parties namely SMEs, workshops of Vocational High School (SMK) and ATMI in the region of Yogyakarta and Solo. There are more than 20 SMEs, 5 workshops and ATMI which have worked together and will continue to support PT YPTI. “The value of order distributed to PT YPTI’s partners reached IDR 1.5 billion in 2014, and in 2015 is estimated to reach IDR 2 billion. It is the company’s commitment to continuously support the development of SMEs within the region of Yogyakarta and Solo,” explained Petrus. The company’s success in marketing the products of mold and spare parts is also contributed by the excellent after-sales service, in addition to
competitive price and intensive promotions. In terms of after-sales service, for example, PT YPTI does not hesitate to provide guidance and training as well as exchange ideas/information to consumers. While in promotion activities, the company regularly participates in various exhibitions held at home and abroad, including exhibitions in Osaka, Japan in 2013 and in Hannover Messe, Germany, in 2015. Petrus argued that the objective to participate in Hannover Messe 2015 is to show to the world that Indonesia is a country having modern manufacturing industries which is able to produce high quality of products. “So far, they have underestimated us as a nonproducer and non-technology country. “said Petrus. Referring to domestic market, he admitted that PT YPTI has competed with many similar companies from Japan that operate in Indonesia. Despite having to compete with Japanese products, PT YPTI has its own advantages in the form of exellent product quality and reliable after-sales service “The selling price of the product of PT YPTI is still cheaper, about 20-30% lower than Japanese products,” explained Petrus. Before completing the interview, Petrus put high expectation to the government. First, the problem relating to permitting process seems to be time consuming. Second, the high interest rates that is about 13-15%, can hamper the business competitiveness. He proposed to the government, in the condition of tight market competition at domestic market and globally, ideally the government could establish industrial banks offering lower interest rate for about 6%, so that it can boost the competitiveness of national products in local and global markets. And the third, the raw material for the manufacturing industry can be produced domestically. The Government is required to establish the national companies producing raw materials, such as steel and aluminum.
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
61
6 - 9 Agustus 2015 E x h i b i t i o n H a l l L a n t a i D a s a r, G r a n d C i t y S u r a b a y a
62
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
Made in Indonesia
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015
63
Made in Indonesia
Tampil Bangga Menggunakan
Produk Indonesia KEMENTERIAN PERINDUSTRIAN
www.kemenperin.go.id
issn: 2303204
64
Karya Indonesia Edisi No. 01-2015