INDUKSI PEMATANGAN GONAD BELUT SAWAH Monopterus albus MENGGUNAKAN KOMBINASI HORMON GONADOTROPIN dan ANTIDOPAMIN 10 PPM
BACHTIAR UMAR
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Induksi Pematangan Gonad Belut Sawah Monopterus albus menggunakan Kombinasi Hormon Gonadotropin dan Antidopamin 10 ppm adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Mei 2013 Bachtiar Umar NIM C14070082
ABSTRAK BACHTIAR UMAR. Induksi pematangan gonad belut sawah monopterus albus menggunakan kombinasi hormon gonadotropin dan antidopamin 10 ppm. Dibimbing oleh AGUS OMAN SUDRAJAT dan HARTON ARFAH. Belut sawah merupakan salah satu ikan air tawar dengan permintaan tinggi, akan tetapi sampai saat ini sebagian besar pengadaan belut sawah masih diperoleh dari alam dan jumlahnya semakin berkurang. Pengembangan pembenihan dimulai dengan penyediaan induk matang gonad. Pada penelitian ini dilakukan pematangan gonad betina (11.52±2.73 g) dengan metode induksi kombinasi hormon Pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) dan antidopamin(AD) pada dosis, (A) 0 (kontrol), (B) 5IU PMSG+10ppm AD, (C) 10IU PMSG+10ppm AD, (D) 15IU PMSG+10ppm AD. Hasil menunjukkan pemberian kombinasi hormon tersebut pada dosis 15 IU PMSG+10ppm AD meningkatkan Gonadosomatic Index (GSI) 4,1% pada minggu 5 dan Hepatosomatic index (HSI) 4,49% pada minggu 2. Tingkat kematangan gonad terjadi pada minggu 2 sampai dengan minggu 5. Spesific growth rate (SGR) tertinggi (1,35%) terjadi pada perlakuan A (kontrol). Perkembangan diameter telur pada minggu ke-2 dan ke-5 dapat dilihat dari histologi gonad. Dapat disimpulkan hormon PMSG mempercepat kematangan gonad betina belut sawah dan merupakan pengembangan awal untuk teknologi pemijahan semi alami belut sawah Kata kunci: Belut sawah, hormon PMSG, dan antidopamin
ABSTRACT BACHTIAR UMAR. Gonadal maturation induction rice field eel Monopterus albus with gonadotropin hormones and antidopamine 10 ppm. Supervised BY AGUS OMAN SUDRAJAT and HARTON ARFAH. Rice field eel is one of fresh water fish with high demand and so far the procurement for rice field eel is obtained from nature, therefore hatchery efforts should be initiated to provide mature broodstock in the early development. This study used female rice field eel size of weight (11.52±2.73 g) with the induction combination of pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) and antidopamine with dosage of 0 IU Control, 5 IU PMSG+10ppm AD, 10 IU PMSG+10ppm AD, 15 IU PMSG+10ppm AD. Result indicates that the induction 15 IU PMSG+10ppm AD can increase eel fish gonadosomatic index (GSI) value 4,1% in the fifth week, instead the highest Hepatosomatic index (HSI) value 4,49% in the second week of treatment. Maturing state is obtain from second week until at the end of treatment (fifth week). The highest spesific growth rate (SGR) for 1,35% came from control treatment. The development of egg diameter in the second and fifth week shown from gonads histology. The impact of PMSG hormone can accelerate the maturity of rice field eel female gonads on the size of 11.52±2.73 g and length of 25,37±1,8 cm can be applied as early in the development of semi-natural spawning rice field eel. Keywords: Rice field eel, PMSG hormone, and antidopamine
INDUKSI PEMATANGAN GONAD BELUT SAWAH Monopterus albus MENGGUNAKAN KOMBINASI HORMON GONADOTROPIN dan ANTIDOPAMIN 10 PPM
BACHTIAR UMAR
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Departemen Budidaya Perairan
DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Skripsi: Induksi Pematangan Gonad Belut Sawah Monopterus albus menggunakan Kombinasi Hormon Gonadotropin dan Antidopamin 10 ppm Nama : Bachtiar Umar NIM : C14070082
Disetujui oleh
Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. Pembimbing I
Diketahui oleh
Dr. Ir. Sukenda, M.Sc. Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
Ir. Harton Arfah, M.Si. Pembimbing II
PRAKATA Puji syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi penelitian yang berjudul ”Induksi Pematangan Gonad Belut Sawah Monopterus albus menggunakan Kombinasi Hormon Gonadotropin dan Antidopamin 10 ppm”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober hingga Nopember 2012 di Laboratorium Percobaan Babakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Ucapan terima kasih ditujukan kepada pihak-pihak yang telah terlibat/membantu dalam dalam penulisan skripsi ini yaitu: 1. Bapak Dr. Ir. Agus Oman Sudrajat, M.Sc. selaku Pembimbing I dan Bapak Ir. Harton Arfah, M.Si. selaku pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan kepada penulis sampai menyelesaikan skripsi ini. 2. Bapak Dr. Ir. Tatag Budiardi, M.si. selaku dosen penguji. 3. Bapak Dr. Ir. Sukenda, M.Sc selaku ketua Departemen Budidaya Perairan dan segenap pengajar budidaya perairan. 4. Rico dan Ikhsan atas kerja sama dan bantuannya dalam menyelesaikan penelitian ini. 5. Ayahanda Sumardi dan ibunda Woro Suhendro atas dukungan dan doanya. 6. Arie, Agus, Trian, Ima, Wira, Vida, Retno serta rekan-rekan BDP 44 lainnya atas bantuan dan kebersamaannya. 7. Pak Ranta, Pak Zahid, Kak Ahya, Mas Wiwin, Kang Abe, Kang Asep, Kang Adi, Kang Ntis, Kang Irus, dan Pak Wawan atas bantuannya dan sarannya. 8. Eka Anisa Widya Bahri yang telah banyak membantu dan mendukung sehingga skripsi ini berhasil Demikian skripsi ini disusun, semoga bermanfaat.
Bogor, Mei 2013 Bachtiar Umar
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
viii
DAFTAR GAMBAR
viii
DAFTAR LAMPIRAN
viii
PENDAHULUAN .................................................................................................. 1 Latar Belakang .................................................................................................... 1 Tujuan Penelitian................................................................................................. 2 METODE ................................................................................................................ 3 Waktu dan tempat................................................................................................ 3 Rancangan Penelitian .......................................................................................... 3 Persiapan wadah .................................................................................................. 3 Persiapan dan pemeliharaan calon induk ............................................................ 3 Penentuan dosis dan penyuntikan hormon .......................................................... 4 Histologi gonad ................................................................................................... 4 Metode Pengambilan Sampel .............................................................................. 5 Perhitungan dan Prosedur Analisis Data ............................................................. 6 HASIL DAN PEMBAHASAN............................................................................... 7 Tingkah laku belut sawah.................................................................................... 7 Tingkat kebuntingan (TK) dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG).................. 7 Gonadosomatic indeks (GSI) .............................................................................. 8 Hepatosomatic indeks (HSI)................................................................................ 9 Histologi gonad ................................................................................................. 10 Specific growth rate (SGR) ............................................................................... 11 Pembahasan ....................................................................................................... 12 SIMPULAN DAN SARAN .................................................................................. 17 Simpulan............................................................................................................ 17 Saran .................................................................................................................. 17 DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 18 LAMPIRAN...........................................................................................................20 RIWAYAT HIDUP................................................................................................23
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Kualitas air pada awal dan akhir pemeliharaan ................................................. 4 Ciri-ciri TKG (Takata & Tester 1953 dalam Effendie 2002)............................ 5 Pengambilan sampel dan pengukuran ............................................................... 5 Tingkat kebuntingan (TK) dan tingkat kematangan gonad (TKG) ................... 7
DAFTAR GAMBAR 1 Gambar 1 Nilai GSI belut sawah...................................................................... 8 2 Gambar 2 Perkembangan gonad belut sawah dengan perlakuan pemberian hormon PMSG dan AD pada hari ke-14 dan hari ke-35. Keterangan : A: Kontrol, B: 5P+10AD, C: 10P+10AD, D:15P+10AD........... 9 3 Gambar 3 Nilai HSI belut sawah.................................................................... 10 4 Gambar 4 Histologi gonad belut sawah pada minggu ke-2 dan minggu ke-5 pembesaran 100x. Keterangan: IM: Telur immature, MI: Telur maturing, M: Telur mature, A: Kontrol, B: 5P+10AD, C: 10P+10AD, D: 15P+10AD................................................................................................. 11 5 Gambar 5 Spesific Grow Rate (SGR) pada belut sawah. ............................... 12 6 Gambar 6 Skema kontrol neurohormon oleh otak-hipofisa-gonad pada Teleostei (Dufour et al. 2010) ........................................................................ 15
DAFTAR LAMPIRAN 1 Tahapan pembuatan preparat histologi........................................................... 19 2 Belut sawah Monopterus albus pada wadah pemeliharaan........................... 19
PENDAHULUAN Latar Belakang Belut merupakan salah satu komoditas air tawar yang digemari masyarakat, baik dalam negeri maupun luar negeri. Hal tersebut dilihat dari tingginya angka permintaan belut, misalnya permintaan belut untuk wilayah Jabodetabek saja mencapai 20 ton sehari (Anonim 2013). Untuk pasar ekspor diperkirakan dunia membutuhkan 230 ribu ton/tahun belut beku dan dingin. Negara tujuan dunia komoditas belut di antaranya adalah Hongkong, China, Jepang, Taiwan, Singapura dan Malaysia. Tujuan ekspor paling besar dipegang oleh Jepang yang permintaannya bisa mencapai 130 ribu ton per tahun. Akan tetapi, Indonesia baru mampu memasok 2,2 persen. Nilai ekspor itu dianggap masih rendah. Demikian pula halnya dengan pemenuhan belut hidup yang baru terpenuhi sekitar 7,1 persen (Anonim 2011) . Belut dapat ditemukan hampir merata di Indonesia. Habitatnya biasanya berupa sawah, sungai, rawa, maupun tambak. Jenis belut banyak macamnya biasanya diidentikan dengan habitatnya, misalnya belut sawah (Monopterus albus) dan Belut rawa (Ophisternon bengalense). Belut sawah merupakan jenis belut yang umum ditemukan di Pulau Jawa. Hal ini karena di Pulau Jawa banyak terdapat habitat alami belut yang berupa persawahan. Akan tetapi jumlah belut dari tahun ke tahun diperkirakan semakin berkurang. Penurunan jumlah populasi belut sawah diakibatkan jumlah penangkapan yang berlebihan. Penurunan populasi diperparah dengan pengurangan luas habitat belut akibat dari konversi persawahan menjadi perumahan dan industri. Dengan demikian belut sawah tidak dapat berkembang biak secara optimal. Apabila kondisi ini berlangsung terus menerus maka dapat terjadi kepunahan. Belut sawah dapat memijah secara alami di habitatnya, namun masih sulit untuk memijah didalam kondisi wadah budidaya. Apabila dapat terjadi memerlukan waktu yang cukup lama. Hal ini diduga dikarenakan oleh lingkungan yang kurang sesuai ataupun induk belut yang sulit mencapai kematangan gonad yang maksimal pada lingkungan budidaya. Oleh karena itu budidaya belut biasanya mengandalkan benih dari tangkapan alam. Belut sawah adalah salah satu jenis ikan hermaprodit protogini, dengan demikian belut yang berumur masih muda merupakan betina dan kemudian berubah menjadi jantan pada umur dan ukuran tertentu. Perbedaan ciri-ciri kelamin primer dan sekunder pada belut sawah masih belum bisa ditentukan secara pasti. Hal tersebut karena gonad belut sawah yang belum matang terlihat seperti benang. Untuk itu diperlukan usaha pematangan gonad belut sawah, sehingga gonad yang berkembang dapat terlihat menjadi sperma atau telur. Pematangan gonad secara buatan dengan rekayasa hormon telah banyak dilakukan pada ikan budidaya. Adapun jenis jenis hormon yang telah digunakan pada budidaya ikan yaitu pregnant mare serum gonadotropin (PMSG). PMSG merupakan serum dari kuda hamil yang mengandung Gonadotropin berupa folicel stimulating hormone (FSH) yang lebih kuat dibandingkan luteinizing hormone (LH)(Mayasari 2012). Selain dengan hormon, rekayasa pematangan gonad dapat juga menggunakan senyawa antidopamin. Antidopamin merupakan senyawa
2 yang memblokade reseptor dopamin (Peter et al.1986, 1991 dalam Dufour et al. 2010). Rekayasa pematangan gonad melalui induksi hormon terutama PMSG dan antidopamin(AD) telah digunakan kepada jenis ikan lain. Contohnya pada penelitian Mayasari (2012) pada ikan lele dumbo (Clarias sp.) dengan penyuntikan hormon PMSG mix 5 IU/KG induk efektif untuk mempercepat kematangan gonad induk. Pengaruh antidopamin telah memberikan pengaruh positif terhadap percepatan kematangan gonad udang (Yusuf 2012). Oleh karena itu penggunaan hormon pematangan gonad PMSG dengan antidopamin diharapkan mampu meningkatkan atau mempercepat kematangan belut sawah terutama dalam lingkungan budidaya. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini yaitu menguji pengaruh dari kombinasi penggunaan hormon gonadotropin dan antidopamin dalam bentuk efektifitas dosis dari kombinasi hormon terhadap perkembangan gonad ikan belut sawah (Monopterus albus).
3
METODE Waktu dan tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober 2012 hingga Nopember 2012 yang bertempat di Kolam Percobaan Babakan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Uji histologi dan uji kualitas air dilakukan di Laboratorium Kesehatan Ikan dan Laboratorium Lingkungan, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Rancangan Penelitian Penelitian ini terdiri dari tiga perlakuan penyuntikan kombinasi hormon (PMSG) dan antidopamin dengan satu perlakuan kontrol (larutan fisiologis). Rancangan perlakuan yang digunakan adalah sebagai berikut: - Perlakuan A : Larutan fisiologis (Kontrol) - Perlakuan B : Kombinasi hormon PMSG 5 IU dan antidopamin 10 ppm (5P + 10AD) - Perlakuan C : Kombinasi hormon PMSG 10 IU dan antidopamin 10 ppm (10P + 10AD) - Perlakuan D : Kombinasi hormon PMSG 15 IU dan antidopamin 10 ppm (15P + 10AD) Persiapan wadah Wadah yang digunakan berupa 4 buah akuarium berukuran (80x40x40)cm. Sebelum digunakan akuarium terlebih dahulu dibersihkan dengan menggunakan sabun kemudian dibilas bersih. Selanjutnya akuarium dicuci kembali dengan klorin (N3OCl) dengan dosis 1000 ppm lalu dibilas hingga bersih. Sterilisasi juga dilakukan pada peralatan yang akan digunakan seperti selang aerasi, dan batu aerasi. Untuk menghindari stres, permukaan akuarium ditutup dengan plastik hitam dan didalamnya diberi pipa naungan (Lampiran 2) . Pipa naungan terbuat dari pipa pvc dengan diameter 1,5 inci dan panjang 20 cm. Setelah siap akuarium diisi air setinggi 6 cm. Persiapan dan pemeliharaan calon induk Calon induk belut Monopterus albus yang digunakan adalah belut sawah yang berasal dari hasil budidaya di daerah Babakan Madang Bogor. Belut yang digunakan hanyalah berkelamin betina yang belum matang gonad dengan bobot tubuh sebesar 11,52±2,73 g dan panjang 25,37±1,8 cm. Sebelum perlakuan, belut dipelihara selama satu minggu secara bersama hingga beradaptasi dan kemudian dipindahkan pada wadah-wadah yang disediakan. Belut yang digunakan pada masing-masing akuarium yaitu berjumlah 10 ekor setiap akuarium. Selama pemeliharaan belut diberi pakan cacing sutra dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari dengan metode pemberian ad libitum atau pakan selalu tersedia
4 di dalam wadah pemeliharaan. Untuk menjaga stabilitas suhu digunakan water heater (Tabel 1). Tabel 1 Kualitas air pada awal dan akhir pemeliharaan Parameter Suhu DO pH
Nilai Awal 28-29 4,2 7,27
Akhir 28-29 4,2-4,9 7,27-7,76
Satuan o
C ppm -
Penentuan dosis dan penyuntikan hormon Penelitian ini dilakukan dengan penyuntikan hormon PMSG pada calon induk belut dengan dosis 5 IU, 10 IU, dan 15 IU dikombinasi dengan antidopamin sebanyak 10 ppm. Hormon disuntikan sebanyak 5 kali penyuntikan dalam 4 minggu. Perlakuan kontrol dilakukan dengan penyuntikan calon induk belut menggunakan larutan fisiologis (NaCl) dengan dosis 3ml/kg bobot belut. Pengamatan dilakukan selama satus minggu setelah suntikan keempat atau terakhir. Penyuntikan dilakukan menggunakan syringe berukuran 1 ml dengan jarum berukuran 0,4mm x 13mm. Akuabides steril digunakan sebagai pengencer dengan dosis 1:2. Sebelum disuntik induk dipingsankan menggunakan minyak cengkeh dengan dosis perendaman 1 ppt selama ±4 menit. Hormon disuntikan dengan metode Intra Muscular (IM). Ikan disadarkan didalam ember yang telah diberi antibiotik dan diberi aerasi yang kuat selama 60 menit. Setelah sadar ikan dikembalkan ke wadah pemeliharaan. Histologi gonad Untuk menguji pengaruh rangsangan hormonal terhadap perkembangan sel telur diperlukan pengamatan secara histologis terhadap ovarium yang sedang mengalami proses pematangan gonad. Histologi dilakukan melalui tahapan fixation, decalcification, bleaching, embedding, sectioning, staining, dan mounting (Lampiran 1). Histologi yang digunakan yaitu gonad belut yang diambil pada minggu ke-0, minggu ke-2 dan minggu ke-5. Sebelum dihistologi, gonad direndam dalam botol sampel menggunakan larutan fiksasi Buffer Normal Formalin (BNF) selama 24 jam kemudian larutan dibuang dan diganti dengan larutan alkohol 70%, agar gonad dapat disimpan. Histologi gonad dapat menunjukan tingkat kematangan gonad (TKG) yang tersaji pada Tabel 2.
5 Tabel 2 Ciri-ciri TKG (Takata & Tester 1953 dalam Effendie 2002) TKG Immature
Maturing
Mature
Atresia
Ciri-ciri Telur belum berkembang, tertanam di dalam jaringan ovarium, garis tengahnya berkisar dari 0,01-0,10 mm dengan garis tengah yang terbanyak ialah 0,05 mm sebagai puncak distribusinya. Telur umumnya transparan kecuali telur yang intinya relatif tidak jernih. Telur semacam ini terdapat pada setiap tingkat kematangan ovarium dan merupakan telur cadangan untuk tingkat berikutnya. Sebagian atau seluruhnya tertanam di jaringan ovarium. Ukurannya berkisar dari 0,1-0,5 mm dengan puncak distribusi berlainan tiap spesies ikan. Telurtelur ini seluruhnya berisi kuning telur yang belum jelas. Telur terletak bebas didalam lumen ovarium. Garis tengahnya sekitar 0,50,9 mm dan telur yang terbanyak bergaris tengah 0,7 dan 0,8 mm. Dalam telur ini terdapat ruang antara masa kuning telur dengan dinding telur. Telur terdapat bebas didalam lumen ovarium. Ukuran dan bentuknya hampir sama dengan telur masak kecuali isinya hampir seperti putih susu warnanya dan tidak ada ruang antara masa kuning telur dengan dinding telur. Dinding telur mengkerut dan kmudian pecah pada tingkat berikutnya. Telur macam ini adalah telur matang yang tidak dikeluarkan pada wktu pemijahan dan akhirnya dihisap kembali oleh dinding ovarium.
Metode Pengambilan Sampel Metode pengambilan sampel dilakukan dengan secara acak. Sampling pada penelitian ini dilakukan sebanyak 6 kali, yaitu pada minggu ke-0,1,2,3,4, dan 5 pemeliharaan. Sampel yang diambil yaitu bobot tubuh, bobot gonad, bobot hepatopankreas dan histologi (Tabel 3). Tabel 3 Pengambilan sampel dan pengukuran Pengambilan sampel (minggu ke-)
Parameter 0
1
2
3
4
5
Bobot tubuh
X
X
X
X
X
Bobot gonad
X
X
X
X
X X
Bobot Hepatopankreas
X
X
X
X
X
Histologi gonad
X
X
X
Pengambilan sampel gonad dan hepatopankreas untuk penghitungan Tingkat Kebuntingan(TK), Gonadosomatic Indeks (GSI) dan Hepatosomatic Indeks (HSI). Bobot tubuh belut digunakan untuk perhitungan Spesific Grow Rate (SGR). Sebelum dibedah belut dipastikan dalam kondisi pingsan dan ditimbang bobot tubuhnya menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g. Pembedahan dilakukan dari bagian anus hingga kepala, kemudian dilakukan pengambilan gonad dan hepatopankreas untuk ditimbang bobotnya. Tingkah laku belut sawah yang diamati pada media akuarium meliputi baik tingkah laku hidup, pernafasan dan tingkah laku makan pada setiap wadah pemeliharaan selama penelitian berlangsung.
6 Perhitungan dan Prosedur Analisis Data Perhitungan parameter 1) Tingkat Kebuntingan (TK) Tingkat kebuntingan ikan merupakan nilai rasio yang didapat berdasarkan keberadaan gamet, baik jantan maupun betina dalam ovarium atau testes dari ikan yang telah dibedah selama masa pemeliharaan. Pengamatan kebuntingan dilaksanakan pada awal pemeliharaan dan pada minggu kedua hingga minggu kelima selama masa pemeliharaan, dengan mengamati ikan yang dibedah sebanyak 2 ekor setiap minggu. Secara matematis rumusnya adalah =
∑
∑
× 100%................ (1)
2) Gonadosomatic Indeks (GSI) GSI merupakan sebuah nilai perbandingan antara berat gonad dengan keseluruhan bobot tubuh ikan. Pengamatan dilakukan pada awal pemeliharaan dan setiap minggu dimulai dari minggu ke-2 hingga minggu ke-5. Rumus GSI adalah sebagai berikut: = × 100%........................................................................(2)
3) Hepatosomatic indeks (HSI) HSI merupakan presentase bobot hepatopankreas terhadap total bobot tubuh. Pengamatan dilakukan pada awal pemeliharaan dan setiap minggu dimulai dari minggu ke-2 hingga minggu ke-5 untuk mengetahui perkembangan hepatopankreas. Rumus HSI adalah sebagai berikut: =
× 100%.......................................................(3)
4) Specific Growth Rate (SGR) Specific growth rate menunjukkan pertumbuhan spesifik ikan per hari yang dihitung dengan rumus: SGR =
− 1 x 100%........................................................................ (4)
Keterangan: wt = Bobot akhir rata-rata ikan uji (gram) wo = Bobot awal rata-rata ikan uji (gram) t = Lama waktu pemeliharaan (hari)
Analisis data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental. Data diolah menggunakan Microsoft Excel 2010 dan dibahas secara deskriptif.
7
HASIL DAN PEMBAHASAN Tingkah laku belut sawah Tingkah laku belut sawah ketika berada di akuarium dengan media air saja cenderung berkumpul atau berkoloni. Belut yang sehat akan cenderung berkumpul di dalam pipa sedangkan belut yang kurang sehat akan berada di luar pipa dan menyendiri (Lampiran 2). Belut sesekali terlihat mengambil udara di permukan air akan tetapi apabila kepala belut terus menerus berada di permukaan menandakan belut kurang sehat. Selain itu belut yang kurang sehat akan bertingkah laku tidak seperti biasanya seperti berenang berputar-putar dan berenang terbalik. Dalam penelitian pendahuluan, belut cenderung memilih pakan alami yang hidup dibandingkan dengan pakan buatan dan pakan alami yang diawetkan (beku maupun kering). Dengan demikian, belut lebih responsif ketika diberi cacing sutra sebagai pakannya dibandingkan dengan pakan buatan atau pakan awetan. Belut merupakan hewan nokturnal yaitu hewan yang aktif makan pada kondisi gelap atau malam hari. Hal ini terlihat pada siang hari belut cenderung kurang aktif makan pada siang hari dan terlihat hanya sesekali mengeluarkan kepalanya dari dalam pipa untuk mengambil makanan yang berada di dekat pipa kemudian kembali masuk ke dalam pipa persembunyian. Pada malam hari belut terlihat lebih aktif mencari makanan dan mencoba keluar dari pipa persembunyian untuk mencari makanan. Oleh karena itu biasanya cacing akan habis pada pagi hari. Tingkat kebuntingan (TK) dan Tingkat Kematangan Gonad (TKG) Berdasarkan Tabel 4 terlihat bahwa tingkat kebuntingan pada minggu ke-5 meningkat jika dibandingkan dengan awal pemeliharaan. Tingkat kebuntingan yang diberi perlakuan maupun kontrol terlihat bunting pada minggu ke-2 kecuali pada pelakuan C. Pada akhir pemeliharan (minggu ke-5) terlihat dari dua sampel belut yang dibedah menunjukan keduanya sudah mengandung telur baik kontrol maupun yang diberi perlakuan. Akan tetapi pada status gonad pada perlakuan C dan D menunjukan gonad sudah memasuki tahap mature atau telah masak. Tabel 4 juga menunjukan tingkat kebuntingan tertinggi terdapat pada perlakuan C dan D yaitu minimal 70% sedangkan tingkat kebuntingan pada perlakuan A (kontrol) hanya minimal 50%. Tabel 4 Tingkat kebuntingan (TK) dan tingkat kematangan gonad (TKG) Perlakuan
n
Induk bunting minggu ke-(ekor) dan TKG 0 2 3 4 5
A
10
0
1(Mi)
1(Im)
1(Mi)
2(Mi)
5
50%
0,12±0,06
B
10
0
1(Mi)
1(Mi)
2(Mi)
2(Mi)
6
60%
0,34±0,17
C
10
0
1(Im)
2(Mi)
2(M)
2(M)
7
70%
0,85±0,36
D
10
0
1(Mi)
2(Mi)
2(M)
2(M)
7
70%
1,25±0,25
Keterangan TKG: Im : Immature Mi : Maturing
∑ Induk bunting (ekor)
TK
Diameter telur minggu ke-5 (mm)
M : Mature
8 Gonadosomatic indeks (GSI) Gonadosomatic indeks (GSI) merupakan nilai yang merepresentasikan kematangan gonad ikan belut sawah. Perubahan GSI yang diamati pada setiap minggu. Perubahan nilai GSI tertinggi seperti terlihat pada Gambar 2 yaitu pada perlakuan kombinasi hormon D dan perlakuan kombinasi hormon C. Nilai GSI perlakuan D pada hari minggu ke-0 yaitu 0,29% kemudian terus meningkat hingga minggu ke-5 yaitu sebesar 4,1 %. Hal tersebut terjadi juga pada perlakuan C, pada minggu ke-0 nilai GSI 0,05% kemudian terus meningkat hingga minggu ke-5 yaitu 3,64%. Perlakuan B terlihat pula terjadi peningkatan namun tidak setinggi perlakuan C dan perlakuan D yaitu 0,31% pada minggu ke-0 menjadi 0,99%. Pada perlakuan A atau kontrol, GSI terlihat berfluktuasi. Pada minggu ke0 nilai GSI sebesar 0,18% meningkat pada minggu ke-2 menjadi 0,57% kemudian menurun pada minggu ke-3 yaitu 0,25%. Nilai GSI naik kembali pada minggu ke4 yaitu (0,71%) dan ke-5 (0,75%).
Gambar 1 Nilai GSI belut sawah Nilai GSI merupakan nilai yang diperoleh dari gonad ikan belut sawah yang telah dibedah dibandingkan dengan total bobot tubuh (Basri, 2000 dalam Elis, 2003). Ikan belut sawah yang telah diambil gonadnya tersaji pada Gambar 2 dan telah diidentifikasi melalui kematangan gonad.
9
Gambar 2 Perkembangan gonad belut sawah dengan perlakuan pemberian hormon PMSG dan AD pada hari ke-14 dan hari ke-35. Keterangan : A: Kontrol, B: 5P+10AD, C: 10P+10AD, D:15P+10AD Berdasarkan Gambar 2 dapat terlihat bahwa belut sawah dengan ukuran panjang 25,37±1,8 cm merupakan betina hal tersebut terlihat dari belum berkembangnya gonad jantan. Selain itu terlihat pula perlakuan penambahan hormon baik perlakuan B, C, dan D terjadi peningkatan kematangan gonad, dari immature dan maturing menjadi mature. Belut pada perlakuan A (kontrol) masih tidak terlihat perbedaan apabila dibandingkan antara minggu ke-2 dan minggu ke5. Hepatosomatic indeks (HSI) HSI merupakan sebuah nilai yang secara tidak langsung berkorelasi dengan penggunaan hormon perkembangbiakan pada ikan. Pola nilai HSI pada setiap perlakuan terlihat berfluktuasi. Nilai HSI pelakuan B pada minggu ke-0 2,39% naik menjadi sebesar 4,85% (minggu ke-2) kemudian menurun pada minggu ketiga yaitu sebesar 2,55% dan terus meningkat hingga minggu kelima menjadi 3,61%. Nilai HSI perlakuan C pada minggu ke terlihat naik dan turun tiap minggunya. Nilai HSI perlakuan D terus menurun dari minggu kedua sebesar 4,49% hingga minggu keempat sebesar 1,59% kemudian nilai HSI naik pada minggu kelima menjadi 4,76%. Berbeda dengan perlakuan A nilai HSI terlihat meningkat tiap minggunya dari 1,91% pada minggu kedua hingga 3,46% pada minggu ke-5.
10
Gambar 3 Nilai HSI belut sawah Histologi gonad Histologi gonad ikan belut sawah merupakan pengamatan yang dilakukan pada gonad belut sawah pada minggu kedua setelah pentuntikan dan minggu kelima setelah penyuntikan yang tersaji pada Gambar 6. Histologi gonad yang diamati merupakan histologi gonad belut sawah pada minggu ke-2 dan minggu ke-5. Data histologi menunjukan bahwa ikan belut sawah mengalami perubahan dari diameter telur terutama pada perlakuan hormon dibandingkan dengan kontrol. Pada perlakuan A diameter telur terlihat hampir sama yaitu 0,1±0,14mm (minggu ke-2) menjadi 0,12±0,06mm (minggu ke-5). Pada perlakuan B diameter telur meningkat dari 0,26±0,2 (minggu ke-2) menjadi 0,34±0,17 (minggu ke-5). Diameter telur pada perlakuan C dan D meningkat secara signifikan baik diameter telur maupun tingkat kematangan gonad (TKG). Pada perlakuan C, diameter telur pada minggu ke-2 sebesar 0,04±0,01mm dengan TKG immature menjadi 0,85±0,36mm (minggu ke-5) dengan TKG mature. Diameter telur pada perlakuan D meningkat dari 0,03±0,01mm (minggu ke-2) dengan TKG immature menjadi 1,25±0,25mm (minggu ke-5) dengan TKG mature.
11 A IM MI
IM
MI
200µm
200µm
B
IM
MI IM MI 200µm
200µm
C MI M
IM 200µm
200µm
D IM M
200µm
200µm
Gambar 4 Histologi gonad belut sawah pada minggu ke-2 dan minggu ke-5 pembesaran 100x. Keterangan: IM: Telur imature, MI: Telur maturing, M: Telur mature, A: Kontrol, B: 5P+10AD, C: 10P+10AD, D: 15P+10AD Specific growth rate (SGR) Specific Growth Rate (SGR) merupakan nilai yang menjelaskan laju pertumbuhan harian selama pemeliharaan. SGR pada belut yang diberi perlakuan hormon dan antidopamin selama pemeliharaan 5 minggu menunjukan perbedaan dengan kontrol seperti yang terlihat pada Gambar 4. SGR tertinggi terjadi pada
12 perlakuan kontrol yaitu sebesar 1,35% dan terendah pada perlakuan kombinasi hormon D yaitu sebesar 0,4%. Sedangkan dua perlakuan lain secara deskriptif menunjukan perbedaan dibandingkan dengan kontrol.
Gambar 5 Spesific Grow Rate (SGR) pada belut sawah. Pembahasan Menurut Zuiew (1793) dalam ITIS (2013) belut sawah (Monopterus albus) digolongkan ke dalam famili Synbranchidae dan genus Monopterus pada filum Chordata dari kelas Actinopterygii. Belut sawah mempunyai bentuk anguliform, tidak bersisik, tidak mempunyai pektoral dan sirip perut; sirip ekor dan sirip anal bersatu dan mengecil ke lipatan kulit; bukaan insang bergabung ke dalam celah tunggal bawah lipatan kepala (Kottelat 1998 dalam Luna 2012). Belut sawah memiliki kulit berwarna merah sampai coklat dengan taburan bintik-bintik gelap di punggung, mulut besar dan mata yang kecil (Yamamoto & Tagawa 1998 dalam Luna 2012). Pada dasarnya belut sawah merupakan hewan yang hidup di air dengan substrat belumpur. Belut biasanya tinggal didalam lubang-lubang didalam lumpur yang dibuatnya sendiri. Oleh karena itu ketika diberi shelter berupa pipa plastik, belut yang sehat akan masuk kedalam pipa. Belut sawah mempunyai alat pernapasan tambahan berupa bukofaring, yaitu merupakan organ tekak yang memiliki lapisan epitelium yang tebal yang kaya akan sel kelenjar mukosa dan kapiler darah (Rahardjo et al., 2011). Oleh sebab itu belut dapat bernafas pada perairan yang minim oksigen (O2). Hal ini terlihat dari tingkah laku belut yang sesekali mengeluarkan kepala dari pipa menuju ke permukaan air untuk mengambil oksigen. Belut sawah yang kurang sehat akan berada diluar pipa dan kepala belut cenderung terus-menerus berada dipermukaan. Hal ini dikarenakan adanya serangan penyakit yang mengganggu sistem pernapasannya sehingga belut terus menerus mengambil oksigen dari udara bebas untuk mencukupi oksigen untuk metabolisme tubuh. Belut merupakan salah satu hewan yang mendeteksi makanannya lewat organ penghidu atau sistem penciuman. Ikan yang mendeteksi
13 makanannya melalui penciuman biasanya merupakan hewan pemakan pada malam hari (nokturnal) (Rahardjo et al., 2011). Selain itu belut sawah merupakan hewan pemakan daging atau karnivor, oleh karena itu belut sawah lebih menyukai pakan yang hidup seperti cacing sutra. Belut sawah adalah salah satu jenis ikan yang hermaprodit atau lebih tepatnya bertipe hermaprodit protogini, yaitu jenis golongan ikan yang dalam hidupnya mengalami perubahan jenis kelamin dari betina ke jantan (Rahardjo et al., 2011). Dengan demikian, belut yang berumur masih muda merupakan betina dan kemudian berubah menjadi jantan pada umur dan ukuran tertentu. Gambar 2 dan 4 merupakan gonad dan histologi gonad belut pada ukuran 23-30 cm yang menunjukan gonad betina telah berkembang. Fataya (2012) menyatakan bahwa pada ukuran panjang kurang dari 40 cm belut masih berkelamin betina. Pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) merupakan serum dari kuda hamil yang mengandung gonadotropin berupa folicel stimulating hormone (FSH) yang lebih kuat dibandingkan Luteinizing Hormone(LH)(Mayasari 2012). Sedangkan antidopamin merupakan hormon yang memblokade reseptor dopamine (Peter et al.1986, 1991 dalam Dufour et al. 2010). Rekayasa pematangan gonad melalui induksi hormon terutama PMSG dan antidopamin(AD) telah banyak digunakan kepada jenis ikan lain. Contohnya pada penelitian Mayasari (2012) pada ikan lele dumbo (Clarias sp.) dengan penyuntikan hormon PMSG mix 5 IU/KG induk efektif untuk mempercepat kematangan gonad induk. Pengaruh antidopamin telah memberikan pengaruh positif terhadap percepatan kematangan gonad udang (Yusuf 2012). Pengaruh kinerja kombinasi hormon PMSG dan antidopamin dapat dilihat dari GSI, HSI, tingkat kebuntingan, serta diperjelas dengan histologi gonad dan dihubungkan dengan nilai SGR. Effendie (2002) menyatakan bahwa GSI akan semakin meningkat nilainya dan akan mencapai maksimum pada saat akan terjadi pemijahan. Hal ini serupa dengan nilai GSI belut yang diberi perlakuan hormon PMSG dan antidopamin menunjukan pola yang cenderung meningkat dengan seiring bertambahnya waktu (Gambar 1). Nilai GSI perlakuan kontrol terlihat berfluktuasi dengan nilai GSI dibawah perlakuan dengan yang diberi hormon (Gambar 1). Dengan demikian, kombinasi hormon PMSG dan antidopamin memberikan pengaruh terhadap kematangan gonad terutama perlakuan kombinasi antidopamin dengan PMSG 10 IU dan 15 IU menunjukan bahwa peningkatan yang signifikan. Hal ini berbeda dengan nilai GSI perlakuan PMSG 5 IU dengan AD 10 ppm yang meningkat hanya meningkat secara perlahan. Hal ini membuktikan peningkatan dosis PMSG hingga 15 IU memberikan pengaruh lebih cepat dalam mematangkan telur belut sawah. Peningkatan ini terjadi akibat proses vitelogenenesis atau pembetukan kuning telur. Menurut Sjafei et al. (1992) vitelogenesis merupakan proses penimbunan atau akumulasi kuning telur yang menyebabkan penambahan ukuran oocyte dengan mencolok. Proses vitelogenesis ini tidak terlepas adanya pengaruh dari induksi hormon PMSG dan antidopamin. Sebaliknya jika diperhatikan grafik nilai HSI terlihat berfluktuasi dengan kecenderungan menurun seiring bertambahnya waktu (Gambar 3). Menurut Matty (1985) vitelogenin merupakan bakal pembentukan kuning telur (yolk) yang diproduksi di hati dan dibawa melalui aliran darah ke telur (oocyte). Vitelogenin dapat disintesis di hati dengan adanya stimulator dari Estradiol-17β yang merupakan hasil rangsangan FSH terhadap sel
14 granulosa pada lapisan telur (oocyte) (Tang & Affandi 1994). Dengan demikian pada awal induksi hormon PMSG dan antidopamin yang melalui proses tersebut menyebabkan rangsangan terhadap hati untuk mensintesis vitelogenin di hati sehingga bobot hati cenderung lebih berat pada minggu ke-2. Fungsi antidopamin sendiri memberikan pengaruh dengan memblok dopamin yang merupakan salah satu penghambat perkembangan gonad (GIH) (Peter et al.1986 dalam Dufour et al. 2010). Dengan demikian, adanya antidopamin memberikan korelasi positif dengan panambahan hormon PMSG. Penurunan bobot hati disebabkan pengaruh hormon GtH pada minggu terakhir telah berpindah pada pengaruh GtH II atau LH yang berfungsi untuk pematangan akhir atau fase ini dikenal fase vitelogenesis dan berdampak pada peningkatan nilai GSI (Permana, 2009). Jika dibandingkan dengan perlakuan kontrol nilai HSI cenderung meningkat seiring bertambahnya hari. Dengan demikian belut pada perlakuan kontrol mengalami proses vitelogenesis namun secara perlahan. Hal ini membuktikan belut yang tidak diberikan perlakuan hormon (kontrol) dapat berkembang dalam wadah terkontrol dengan pemberian makan yang cukup. Preparat histologi gonad digunakan untuk memperlihatkan kondisi perkembangan telur (ukuran maupun bentuk). Perlakuan C dan D memberikan pengaruh perkembangan gonad hingga tahap mature yang dibuktikan dengan pembesaran oosit yang seragam dan terdapat ruang antara masa kuning telur dan dinding telur (Gambar 2D). Pada perlakuan B menunjukan fase maturing yang ditandai peningkatan ukuran oosit dan telur ini terlihat seluruhnya berisi kuning telur yang belum jelas. Sama halnya pada perlakuan kontrol, perkembangan gonad baru mengalami pembesaran oosit dan sebagian telur masih tertanam di jaringan ovarium. Tingkat kebuntingan merupakan rasio antara individu yang bunting dengan jumlah sampel individu. Individu dikatakan bunting apabila gonad telah mengandung sel gamet, baik telur maupun sperma (Sjafei et al. 1992). Suatu gonad dapat berkembang seiring bertambahnya waktu. Hal tersebut terlihat pada Tabel 4, yakni belut yang mengandung telur meningkat dari tidak ada sampel gonad yang mengandung telur pada minggu ke-0 menjadi 2 sampel gonad belut yang mengandung telur. Tabel 4 juga menunjukan tingkat kebuntingan tertinggi terdapat pada perlakuan D yaitu sebesar minimal 70% sedangkan tingkat kebuntingan pada perlakuan A (kontrol) hanya mencapai minimal 50%. Nilai tersebut dikatakan minimal dikarenakan belut yang dibedah dan tidak mengandung telur pada awal pemeliharaan, dapat berkembang gonadnya (bunting) apabila dibiarkan hidup sampai akhir pemeliharaan. Dufour et al (1992) dalam skemanya menjelaskan, bahwa secara alamiah perkembangan gonad diawali dari tiga poros yaitu otak, hipofisa dan gonad (Gambar 6). Gonadotropin releasing hormone (GnRH) yang berasal dari otak (hipotalamus) menstimulasi hipofisa untuk mensintesis dan pelepasan hormon gonadotropin (FSH dan LH) yang berfungsi memicu aktivitas gonad (gametosis dan steroidgenesis). Pada beberapa ikan teleostei ada bagian kontrol otak yang menghambat sintesis dan pelepasan gonadotropin yaitu dopamin. Oleh karena itu dengan penambahan hormon PMSG dan antidopamin dapat merangsang perkembangan gonad lebih cepat. Hal tersebut terlihat dari status gonad pada perlakuan C dan D yang sudah mature atau matang jika dibandingkan dengan perlakuan A yang masih pada tahap maturing atau pematangan.
15
Gambar 6 Skema kontrol neurohormon oleh otak-hipofisagonad pada Teleostei (Dufour et al. 2010) Seperti ikan pada umumnya, belut juga membutuhkan energi untuk hidup dan pertumbuhan. Menurut Smith (1989) energi yang merupakan ikatan kimia dari makanan yang mereka makan, yang akan dapat digunakan ketika ikatan tersebut dipecah melalui reaksi oksidatif. Sama halnya ketika belut yang diberi pakan cacing sutra Tubifex sp. akan diubah menjadi energi. Cacing sutra sendiri mengandung proksimat protein 57,10%, lemak 15,95%, dan air 85,39% (Priyadi et al. 2010). Berdasarkan Gambar 4 dapat terlihat bahwa nilai SGR belut yang diberi perlakuan hormon lebih rendah daripada kontrol. Hal ini dikarenakan energi yang berasal dari makanan lebih banyak digunakan untuk perkembangan gonad dibandingkan pertumbuhan daging. Zonneveld et al. (1991) menyatakan, bahwa ikan secara umum ketika proses katabolisme makanan berlangsung, energi kimia yang berasal dari makanan diubah bentuknya menjadi dua tipe energi yang terperangkap dalam gabungan energi tinggi seperti ATP (adenosine triphospat) sebesar 40-50 % dan sisanya hilang sebagai panas. Menurut Amin (1998) Energi yang diperlukan dalam perekembangan gonad pada ikan Synbrinchidae seperti sidat Eropa Anguila anguila memerlukan 25,08% dari total energi untuk perkembangan ovarium. Dengan demikian apabila belut yang sedang mengalami perkembangan gonad maka pertumbuhannya akan terhambat. Manfaat dari penelitian ini salah satunya dapat mempercepat pematangan gonad belut sawah sehingga mampu menyediakan induk matang gonad tanpa terpengaruh musim. Kedepannya dengan adanya penelitian ini dapat mendorong kearah pemijahan belut secara semi alami dan buatan. Dengan demikian kepastian keberhasilan produksi pembenihan belut sawah lebih tinggi jika dibandingkan
16 dengan pemijahan secara alami. Selain itu jika dilihat dari aspek ekonomi penelitian ini lebih menguntungkan karena mampu mematangkan gonad belut sawah terutama pada musim kemarau yang sangat sulit didapatkan sehingga mendorong budidaya belut secara massal.
17
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Penggunaan kombinasi hormon PMSG dan antidopamin dapat mempercepat kematangan gonad ikan belut sawah pada ukuran 11,52±2,73 g dengan panjang tubuh 25,37±1,8 cm menjadi betina matang gonad. Belut sawah mengalami perkembangan gonad menjadi betina pada minggu ke-2 dan adanya ovari yang matang dalam waktu 5 minggu pada dosis penyuntikan terbaik PMSG 15 IU & antidopamin 10 ppm.
Saran Penggunaan kombinasi hormon PMSG dan antidopamin dapat digunakan untuk penyediaan induk belut matang gonad. Penelitian lanjut dapat diobservasi pada belut dengan ukuran yang lebih besar terutama belut yang berkelamin jantan sehingga dapat mendekati ke pemijahan semi alami.
18
DAFTAR PUSTAKA Amin M. 1998. Observation on reproduction techniques applicable to the European Eel Anguila anguila. National Institute of Oceanography and Fisheries, Alexandrie, Egypt (EG). Anonim. 2010. Belut dan sidat permintaanya terus meningkat.[internet]. [diacu 2013 Januari 31]. Tersedia dari: http://www.wpi.kkp.go.id/?p=650 Anonim. 2011. Tingginya potensi usaha budidaya belut. .[internet]. [diacu 2013 Januari 31]. Tersedia dari: http://www.ciputraentrepreneurship.com /kembangkan-uang-anda/9084-tingginya-potensi-usaha-budi-daya-belut.html Dufour S, Sebert M –E, Weltzien F –A, Rousseau K, Pasqualini C. 2010. Neuroendocrine control by dopamine of teleost reproduction. Journal of Fish Biology. 76: 129–160 Effendie MI.2002. Biologi Perikanan.Yogyakarta (ID): Yayasan Pustaka Nusatama. Elis. 2003. Hubungan perubahan jenis kelamin dan tingkat kematangan gonad (TKG) dengan ukuran ikan belut sawah Monopterus albus di Desa Kahuripan, Kecamatan Tawang, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Fataya A. 2012. Upaya pemijahan belut sawah Monopterus albus [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. ITIS. 2013. Monopterus Albus. [internet]. [diacu 2013 Februari 18]. Tersedia dari: http://www.itis.gov/servlet/SingleRpt/SingleRpt?search_topic=TSN&search_ value=166697 Khanh N and Ngan T. 2010. Current practices of rice field eel Monopterus albus culture in Vietnam. Research Institute of Aquculture No. 3, Vietnam. Luna SM. 2012. Monopterus albus. [internet]. [diacu 2013 Februari 18]. Tersedia dari: http://fishbase.org/summary/Monopterus-albus.html Matty AJ. 1985. Fish endocrinology. USA(US): Timber Press Mayasari N. 2012. Pemacuan kematangan gonad ikan lele dumbo (Clarias sp.) betina dengan kombinasi hormon PMSG dan Spirulina. [Tesis]. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Permana. 2009. Efektifitas aromatase inhibitor dalam pematangan gonad dan stimulasi ovulasi pada ikan sumatera Puntius tetrazona. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Priyadi A, Kusrini E, Megawati T. 2010. Perlakuan Berbagai Jenis Pakan Alami untuk Meningkatkan Pertumbuhan dan Sintasan Larva Ikan Upside Down Cat Fish Synodontis nigriventis. Prosiding Forum Inovasi Teknologi Akuakultur 2010. Rahardjo MF, Sjafei SJ, Affandi R, Sulistiono. 2011. Iktiologi. Bandung(ID): Lubuk Agung. Sjafei SD, Rahardjo MF, Affandi R, Brojo M, Sulistiono. 1992. Fisiologi ikan II Reproduksi Ikan. Bogor(ID): Institut Pertanian Bogor. Smith RR. 1989. Nutritional Energetics. Di dalam: Halver JE, editor. Fish Nutrition 2nd ed. California(US). Academic Press. Tang UM, Affandi R. 2004. Biologi Reproduksi Ikan. Pekanbaru(ID): Unri Press.
19 Yusuf K. 2012. Efektivitas dan efisiensi antidopamin dan hormon gth sebagai pengganti ablasi mata dalam upaya percepatan kematangan gonad udang vaname. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Zonneveld N, Huisman EA, Boon JH. 1991. Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. Jakarta(ID): Gramedia.
20 Lampiran 1 Tahapan pembuatan preparat histologi 1. Diagram alir pembuatan blok paraffin
21 2. Diagram alir proses pemberian warna pada sediaan jaringan dengan pewarna haematoksilin dan eosin.
22
Lampiran 2 Belut sawah Monopterus albus pada wadah pemeliharaan
23
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 5 Agustus 1989 dari pasangan Bapak Sumardi dan Ibu Woro Suhendro. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara. Setelah menyelesaikan pendidikan di SMA Negeri 4, Bekasi pada tahun 2007, penulis melanjutkan pendidikan di IPB melalui jalur SPMB pada Program Studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Selama masa perkuliahan, penulis aktif di organisasi kemahasiswaan Himpunan Mahasiswa Akuakultur periode 2008-2009 dan Anggota Dewan Perwakilan Mahasiswa Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan periode 2009-2010. Selain itu, selama mengikuti perkuliahan, penulis pernah magang di Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Laut Lampung, Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara, Jawa Tengah dan Balai Budidaya Air Laut Lombok, Nusa Tenggara Barat. Penulis juga pernah menjadi asisten mata kuliah Fisiologi Reproduksi Biota Air semester ganjil pada tahun 2009/2010 dan 2010/2011, Serta Industri Pembenihan Organisme Akuatik semester ganjil 2010/2011. Penulis pernah mengikuti Pekan Kreativitas Mahasiswa yang berjudul: “Peningkatan Laju Produksi Ikan Gurame (Osphronemous gouramy) Menggunakan Zeolit Dalam Formulasi Pakan”. Penulis juga mendapatkan beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM) tahun 2009-2011 dan Beasiswa Penelitian BNI 46 tahun 2012. Tugas akhir dalam pendidikan tinggi diselesaikan dengan menulis skripsi yang berjudul “Induksi Pematangan Gonad Belut Sawah Monopterus albus menggunakan Kombinasi Hormon Gonadotropin dan Antidopamin 10 ppm”