INDONESIAN URBAN TRANSPORT INSTITUTE KEBIJAKAN “PRICING” SEBAGAI ALTERNATIF PENDANAAN SISTEM TRANSPORTASI PERKOTAAN
Alvinsyah
Working Paper 03 Mei 2014 IUTRI
[email protected] www.iutri.org
WP-03
KEBIJAKAN “PRICING” SEBAGAI ALTERNATIF PENDANAAN SISTEM TRANSPORTASI PERKOTAAN Alvinsyah Indonesian Urban Transport Institute E-mail :
[email protected] PENDAHULUAN Masalah pendanaan merupakan kendala terbesar dalam konteks penyediaan infrastruktur transportasi, khususnya diperkotaan, baik untuk prasarana sistem jalan raya, prasarana&sarana angkutan umum maupun untuk pembebasan lahan. Hal ini dikarenakan secara umum baik secara historis maupun legal, ranah penyediaan prasarana transportasi, khususnya yang bersifat pelayanan publik merupakan tanggung jawab negara/pemerintah. Sebagai konsekuensinya sumber pendanaan biasanya murni harus disediakan oleh negara/pemerintah melalui berbagai sumber pendapatan negara, yang sebagian besarnya berasal dari pajak. Dilain sisi, selain untuk sektor lainnya, dana yang tersedia harus mancakup mulai dari pembangunan prasarana baru sampai dengan pemeliharaan/operasional prasarana yang ada, sehingga selalu timbul dilematis terhadap prioritas kebijakan yang harus diambil karena besaran dana yang tersedia selalu tidak mencukupi untuk mencakup semua hal tersebut. Mengacu kepada situasi ini, perlu dicari suatu upaya terobosan dalam hal ketersediaan dana agar kinerja pelayanan transportasi, khususnya diwilayah perkotaan, tetap dapat dipertahankan pada tingkat pelayanan yang dapat diterima oleh masyarakat. Salah satu upaya yang dapat dan mungkin dilakukan adalah dengan menerapkan kebijakan “pricing” pada skala tertentu terhadap prasarana yang ada sehingga akan tersedia sumber pendanaan baru yang diharapkan dapat langsung digunakan untuk kebutuhan mempertahankan bahkan meningkatkan kinerja pelayanan sistem transportasi perkotaan. Didalam konsep pasar (market) harga/tarif (price) memiliki dua fungsi utama yaitu; untuk mengendalikan dan mengalokasikan penggunaan sumber daya diantara produksi berbagai produk; dan untuk membiayai produk tersebut. Dalam ranah transportasi, khususnya transportasi perkotaan, kinerja dari fungsi tersebut diatas dipengaruhi oleh tiga hal utama yaitu: a. Pemisahan tanggung jawab untuk penyediaan prasarana dari penyediaan pelayanan b. Adanya beberapa tujuan yang ingin dicapai terutama dalam konteks kebijakan publik c. Pemisahan terhadap pendanaan dan pengutipan dana dari suatu prasarana.
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
1
WP-03
Skema “pricing” diharapkan dapat menghasilkan dampak berganda yang dapat dikelompokan kedalam tiga kategori utama; a. Dampak pada sistem transport yang dinilai dari terminologi kinerja pelayanan (aksesibilitas, kecepatan, keandalan, keselamatan, modal split, kemacetan, efesiensi) b. Dampak terhadap lingkungan dan kesehatan melalui pemantauan kualitas udara, tingkat kebisingan, efek rumah kaca c. Dampak pada ekonomi dan sosial yang dapat diprediksi melalui pola distribusi pendapatan, kesetaraan, dan secara umum dampak kesejahteraan dari kebijakan “pricing”
RATIONAL TERHADAP KEBIJAKAN “PRICING” Telah menjadi pengetahuan bersama, bahwa kebijakan yang memihak pada penggunaan kendaraan pribadi merupakan merupakan kebijakan yang banyak diambil dibanyak negara maju dan berkembang. Hal ini karena banyaknya potensi sumber pendapatan yang bisa diperoleh mulai dari pajak pembelian, kepemilikan, pajak bahan bakar sampai pada pajak asuransi dan disisi lain secara tidak langsung menumbuhkan peluang lapangan kerja. Namun sebagian besar dari sumber pendapatan tersebut tidak dikenakan pembedaaan berdasarkan karakteristik dan kondisi perjalanan yang dilakukan (kecuali untuk konsep Tol dan tarif parkir). Banyak kota-kota besar yang mengalami permasalahan kemacetan yang parah sebagai akibat penggunaan ruang jalan yang berlebihan. Pada kondisi ini adanya tambahan kendaraan akan berakibat kepada pertambahan biaya perjalanan yang tidak hanya dialami oleh kendaraan tersebut tapi juga dialami oleh seluruh kendaraan yang berada dalam sistem. Sehingga dari sisi keadilan, biaya yang seharusnya dibayar oleh pengguna (mis. dalam bentuk pajak) merefleksikan biaya total seperti dijelaskan diatas, namun pada kenyataannya biaya tersebut lebih rendah sehingga mendorong penggunaan kendaraan pribadi lebih banyak lagi. Dalam prakteknya, jalan-jalan di perkotaan disediakan bagi penggunanya tanpa adanya pungutan (biaya) langsung. Bentuk pembayaran yang diberikan oleh pengguna kepada penyedia prasarana umum (jalan) berasal secara tidak langsung dalam bentuk pajak (terutama pajak bahan bakar) yang tidak mencerminkan biaya kemacetan di perkotaan, sehingga situasi ini menimbulkan beberapa dampak buruk; a. Timbulnya distorsi terhadap pola pemilihan moda perjalanan yang cenderung mengarah kepada kendaraan pribadi.
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
2
WP-03
b. Cenderung mendorong penggunaan prasarana jalan secara berlebihan yang berakibat pada kemacetan c. Tidak logis untuk menggunakan kriteria investasi konvensional dalam memutuskan kapasitas yang harus disediakan karena tidak ada penerimaan pendapatan langsung. d. Timbulnya peluang keterbatasan dana untuk pemeliharaan secara baik dan tepat karena pendapatan tidak diterima oleh instansi terkait langsung. Dalam sistem yang umum berlaku pergerakkan kendaraan yang berada didalam dan melintasi wilayah perkotaan tidak dikenakan pajak yang dikaitkan dengan konsep ukuran mobilitas perkotaan. Sementara dilain sisi, saat ini dipahami bersama bahwa biaya sosial yang terkait dengan mobilitas urban yang ditanggung oleh masyarakat perkotaan sangat tinggi sekali (mis. Biaya per kend-km). Berlawanan dengan situasi di kawasan pedesaan, situasi perkotaan dicirikan dengan kombinasi antara intensitas lalu lintas yang tinggi dan kepadatan guna lahan&penduduk. Sehingga sebagai akibat langsung, pajak yang tidak menerapkan pembedaan karakteristik memberikan sinyal yang salah kepada pelaku perjalanan (pengguna kendaraan pribadi) yang direfleksikan dalam konteks distorsi pasar yang tidak diinginkan, dampak distribusi yang tidak seimbang, dan yang terpenting adalah mengurangi potensi efektifitas dari pajak itu sendiri. Mengacu kepada kondisi diatas, secara prinsip sangat diinginkan bila biaya yang harus ditanggung oleh pelaku perjalanan, khususnya pengguna kendaraan pribadi harus mencakup tidak hanya biaya perjalan individu tapi juga biaya total dalam sistem dimana pelaku perjalanan berada didalamnya yang dalam hal ini dapat diantisipasi oleh mekanisme “pricing”. Lebih jauh efektifitas dari mekanisme “pricing” ini tidak terbatas hanya pada kinerja pelayanan sistem transportasi, namun merambah kepada peningkatan kualitas lingkungan dan hidup, karena akan berdampak langsung terhadap meningkatnya parameter kualitas lingkungan seperti tingkat emisi, preservasi bahan bakar fosil dan lainnya. KONSEP DASAR “PRICING” Sebelum sampai pada rincian skema “pricing”, perlu dibahas mengenai perbedaan antara pajak dan “pricing”, karena ada hal yang mendasar antara pajak dan “pricing”. Pajak adalah kewajiban individu atau perusahaan kepada pemerintah, hal ini terutama ditunjukkan untuk meningkatkan pendapatan bukan untuk merubah suatu kebiasaan. Bahkan jika pajak secara nyata dapat merubah kebiasaan (mis. mengecilkan skala usaha), namun biasanya yang tidak akan membahayakan pasar. Dilain sisi “pricing”, dengan tingkat harga yang kontras, akan mempengaruhi masyarakat secara langsung yang membayar untuk barang-barang atau pelayanan yang digunakan, untuk dapat merubah kebiasaan. IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
3
WP-03
Di dalam penerapannya konsep “pricing” ini lazim diberlakukan pada prasarana transportasi seperti jalan yang penggunaannya sudah mencapai kapasitasnya yang terefleksikan dalam bentuk kemacetan yang parah baik dari intesitas ruang dan waktunya. Sehingga untuk prasarana transportasi, seperti pajak jalan disini hanya berfungsi sebagai pungutan pada pengguna jalan dengan tujuan utama untuk meningkatkan pendapatan dibanding untuk merubah kebiasaan. Contoh lain dari konsep yang sejenis adalah pajak bahan bakar dan dan biaya perizinan. Berbagai perlakuan dan regulasi yang bersifat ekonomi seperti kebijakan “pricing”, umumnya mampu untuk mendorong individu untuk menerapkan prinsip efisiensi dalam memutuskan perjalanan yang akan dibuatnya. lakukan optimasi perjalananya (mis. jalan, parkir, tarif bahan bakar dan angkutan umum, berbagai jenis pajak) dan instrumen regulasi yang mengendalikan keberadaan suatu komoditi yang dapat mempengaruhi harga pasar (mis. persyaratan parkir minimum pada aturan zona yang dapat mengurangi biaya parkir). Full cost pricing berarti bahwa pengguna langsung menanggung seluruh biaya produksi atau konsumsi suatu barang atau pelayanan. Jika diterapkan pada sektor transportasi, maka pelaku perjalanan membayar langsung biaya penggunaan fasilitas jalan dan parkir yang bersifat fluktuatif sesuai dengan hukum supply-demand. Hal ini juga berarti bahwa biaya bahan bakar harus mencakup seluruh biaya langsung dan tidak langsung dari proses produksi dan distribusinya, biaya asuransi kendaraan harus mencerminkan pertambahan biaya perjalanan yang dilakukan (kend-km) dan juga pelaku perjalanan harus membayar biaya polusi yang ditimbulkannya. Urutan tingkat efekstifitas berbagai kebijakan yang didasarkan pada pendekatan ekonomi ditunjukan dalam Tabel 1. Kebijakan ekonomi seperti “pricing” dapat merupakan perangkat yang ampuh dan efektif untuk menyelesaikan persoalan lalu lintas, dan mampu meningkatkan efisiensi sistem transportasi serta menghasilkan tambahan dana untuk membiayai programprogeam pembangunan ataupun untuk mengurangi beban pajak masyarakat. Skema “pricing” diterapkan ketika seseorang pada tempat/waktu khusus dikenakan biaya khusus sesuai dengan tingkat penggunaan dan dampak yang ditimbulkan pada sistem. Skema “pricing” dapat diterapkan dalam skala wilayah, pengaturan finansial dan teknologi pada tingkat kesulitan yang berbeda-beda. Skema “pricing” mempunyai dua tujuan: peningkatan pendapatan dan manajemen utilisasi. Dalam ranah transportasi perkotaan, perbandingan kedua tujuan tersebut diatas ditunjukkan pada Tabel 2.
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
4
WP-03
Tabel 1. Urutan Rangking Kebijakan “pricing”
Rank Best
General Category Examples Time- and location- Variable road “pricing”, location-specific parking specific road and management, location-specific emission charges parking “pricing”
Second best
Mileage-”pricing”
Weight-distance charges, mileage-based vehicle insurance, prorated motor vehicle excise tax (MVET), mileage-based emission charges
Third best
Fuel charges
Increased fuel tax, general sales tax applied to fuel, pay-atthe-pump insurance, carbon tax, and hazardous substance tax
Bad
Fixed vehicle charges
Current MVET, vehicle purchase and ownership fees
Worst
External costs (not General taxes paying for roads and traffic charged to motorists) services, parking subsidies, uncompensated external costs Sumber : TDM (GTZ, 2009) Tabel 2. Perbandingan Tujuan Skema “pricing” dalam ranah Transportasi
Peningkatan Pendapatan Target Meningkatkan pendapatan. Menggunakan strategi TDM atau Jalan Tol (jika alternatif jaringan mempunyai kapasitas terbatas). Dapat menyebabkan peningkatan total perjalanan Pendapatan diperuntukkan untuk proyek pembangunan infrastruktur Nilai ““pricing”” ditetapkan untuk memaksimalkan pendapatan Perpindahan ke rute atau moda lain tidak diinginkan.
Manajemen Kemacetan Mengurangi periode puncak kend lalu-lintas Menggunakan Strategi TDM Pendapatan tidak diperuntukkan untuk pembangunan proyek infrastruktur Nilai ““pricing”” bervariasi (biasanya nilai tertinggi selama jam puncak) Pemindahan perjalanan ke moda dan waktu lain sangat diinginkan.
SKEMA “PRICING” Secara prinsip ada beberapa kebijakan dasar yang dapat dikategorikan sebagai skema “pricing”, yaitu; 1. Skema (Jalan/Jembatan) Tol Penerapan skema Tol adalah cara yang umum untuk membiayai jalan raya, dan pembangunan jembatan. Skema Tol dimaksudkan untuk untuk mendapatkan pelayanan dan keuntungannya digunakan untuk membiayai proyek jalan atau jembatan. Cara ini dinilai lebih layak dan ekonomis dibanding pilihan IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
5
WP-03
pembiayaan pembangunan jalan raya yang akan menyebabkan ‘non-user’ ikut membiayai pembangunan. Jalan/jembatan Tol dibangun untuk memaksimalkan keuntungan dan keberhasilannya diukur dari terpenuhinya biaya proyek. 2. Congestion “pricing” (Biaya Kemacetan) Congestion “pricing” dimaksudkan untuk mendorong pengguna kendaraan pribadi menggunakan waktu, rute atau moda perjalanan lain, dengan target untuk mengurangi lalu-lintas pada ruas2 jalan yang mengalami kemacetan. Skema ini lazimnya dilaksanakan pada jaringan jalan eksisting guna menambah kapasitas tanpa upaya pembangunan/pelebaran jalan. Secara ideal tarif biaya kemacetan ditetapkan lebih tinggi pada jam puncak dan lebih rendah atau bahkan tidak diterapkan pada kondisi tidak macet. Penerapan tarif dapat berdasarkan jadwal yang tetap atau dapat juga dinamis, artinya nilai dapat berubah tergantung tingkat kemacetan yang terjadi pada waktu-waktu khusus. Tingkat keberhasilan diukur dari pengurangan tundaan kemacetan. Keuntungan tidak ditujukan untuk membangun prasarana jalan. Penerapan Congestion “pricing” umumnya dibarengi dengan pengembangan moda alternatif seperti peningkatan pelayanan angkutan umum pada koridor/kawasan yang sama. Lebih lanjut, jika congestion “pricing” diaplikasikan dalam konteks pasar lahan dan properti yang fleksibel, suatu kota akan bertumbuh kearah bentuk yang lebih terkonsentrasi (compact), dan situasi mixed landuse, sehingga tidak perlu menginvestasikan dana yang besar guna membangun jaringan jalan yang dapat dialihkan penggunaannya untuk peningkatan dan pemeliharanan prasarana. Lebih penting lagi skema congestion “pricing” mampu mencapai dua target pada saat yang bersamaan yaitu mengurangi tingkat kemacetan dan mendapatkan pendapatan langsung. 3. Lajur HOT (High Ocupancy Toll) Lajur untuk okupansi tinggi (HOT) adalah lajur jalan (bebas hambatan) Tol yang diperuntukan bagi kendaraan dengan okupansi tinggi (lebih dari 2 penumpang) dan dapat digunakan oleh kendaraan dengan okupansi rendah dengan cara membayar tol. Dibeberapa negara skema HOT seringkali dianggap sebagai bentuk kompromi antara lajur HOV dan road “pricing”. 4. Skema Tol pada kawasan (Cordon Toll) Skema ini mengharuskan pengguna kendaraan pribadi untuk membayar untuk masuk ke suatu wilayah tertentu, seperti di kawasan niaga (central business district/CBD). Dalam hal efisiensi ekonomi, skema “pricing” berpotensi untuk meningkatkan kesetaraan horisontal dan bila dikaitkan dengan tujuan kebijakan TDM, skema
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
6
WP-03
“pricing” mampu mendukung strategi TDM lainnya, seperti perbaikan angkutan umum, program ridesharing, manajemen parkir, pengurangan perjalanan komuter, park & ride dan “time staggering”. Dalam konteks kewilayahan, skema “pricing” dapat diterapkan dengan beberapa cara yaitu: 1. Penerapan biaya terhadap kendaraan yang melewati jalan utama tertentu (Road “pricing”) 2. Penerapan biaya terhadap kendaraan yang melewati suatu kawasan tertentu (Cordon “pricing”) 3. Penerapan biaya terhadap kendaraan yang melewati dan bergerak didalam suatu kawasan tertentu (Area “pricing”) Mempertimbangkan metodologi pemantauan dan kemungkinan penerimaan masyarakat (khususnya oleh penduduk yang tinggal di dalam kawasan yang diberlakukan skema ini), maka area “pricing” yang benar-benar ideal mungkin sulit diterapkan. Sebaliknya, penerapan cordon “pricing” dapat menyebabkan ketidakadilan antara penduduk yang tinggal di dalam dan di luar kawasan TDM. Lebih lanjut, bila perbandingan antara besarnya perjalanan internal (dalam kawasan) dengan semua bangkitan perjalanan mobil di kawasan ternyata cukup tinggi, hal ini dapat membuat perbedaan yang besar dalam manajemen lalu lintas maupun dalam besarnya pendapatan, jika jenis perjalanan internal tersebut diikutkan (atau tidak diikutkan) dalam skema ini. Dalam hal ini, metoda area “pricing” secara parsial yaitu cordon “pricing” dengan beberapa checkpoint pada jalan-jalan utama dan juga di dalam kawasan akan lebih sesuai. Beberapa alternatif skema “pricing” dan penjelasannya ditunjukkan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Mengacu kepada kedua tabel tersebut, perlakuan terhadap penduduk didalam dan diluar kawasan “pricing” merupakan hal yang kritis, khususnya pada ALT 2 dan ALT 3. Dalam kedua kasus tersebut, penduduk didalam kawasan cenderung untuk tidak perlu membayar saat mereka melakukan perjalanan didalam kawasan, sehingga ada kemungkinan jumlah pemukiman di dalam kawasan akan meningkat dan begitu pula halnya dengan nilai lahan didalam kawasan.
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
7
WP-03
Tabel 3. Alternatif Skema “pricing”
ALT 1: Complete Area “pricing”
Umum: Tarif dikenakan untuk semua kendaraan yang menggunakan ruas jalan didalam kawasan Pengecualian: Bus, kendaraan darurat, kendaraan dengan CBD pengemudi cacat, kendaraan utilitas. Pembayaran dan Pengawasan: - Sticker - Visual oleh petugas polisi pada ruas jalan - ERP ALT 2: Preferential HOV + Cordon Umum: Tarif diaplikasikan untuk SOV yang “pricing” masuk ke Kawasan Pengecualian: HOV (kendaraan dengan >3 penumpang), Bus, kendaraan darurat, kendaraan dengan pengemudi cacat, kendaraan utilitas. CPA Pembayaran dan Pengawasan - SOV Sticker - Visual oleh petugas polisi pada cordon
CBD ALT 3: Cordon “pricing”
CPA
CBD .
Umum: Tarif diaplikasikan untuk semua kendaraan yang masuk ke kawasan Pengecualian: Bus, kendaraan darurat, kendaraan dengan pengemudi cacat, kendaraan utilitas. Pembayaran dan Pengawasan: - Pada pintu gerbang (ERP) - Untuk manual perlakuan khusus HOV dapat dilakukan
Sumber: SITRAMP (JICA, 2002) Pada ALT 2, dampak negatif pada angkutan umum bisa diprediksi akan terjadi, dan pada alternatif ini akan lebih banyak pengguna kendaraan dibanding alternatif lainnya. ALT 3 memiliki permasalahan teknis dalam pengumpulan tarifnya. Jika jumlah gerbang banyak dan tariff dikumpulkan langsung pada gerbang tersebut maka antrian lalu-lintas yang panjang akan terjadi. Pengawasan dengan stiker, yang dapat dibeli sebelumnya, atau menggunakan teknologi baru seperti ERP mungkin lebih efektif tetapi membutuhkan dana yang cukup banyak untuk investasi. ALT 1 merupakan kebijakan
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
8
WP-03
yang paling keras (ideal) karena setiap kendaraan tidak mungkin bisa bebas dari kewajiban membayar, dengan kata lain, ini merupakan skema yang paling adil untuk setiap penduduk yang tinggal diluar maupun didalam kawasan. Bahkan, skema ini dapat diaplikasikan dengan merancang hanya untuk ruas jalan macet tertentu. Walaupun area “pricing” secara keseluruhan akan lebih baik, namun demikian beberapa perlakuan khusus seperti potongan harga untuk penduduk didalam kawasan penting untuk dipertimbangkan, karena mereka tidak punya pilihan rute lain ketika melakukan perjalanan dengan kendaraan. Dilain sisi. Sistem pengawasan merupakan permasalahan lain karena petugas pengawasan harus ditempatkan di semua lokasi kawasan. Pada prinsipnya, perancangan skema “pricing” mengarah pada tiga pilihan mendasar yang berkaitan dengan; 1. Konsep organisasi 2. Opsi teknologi 3. Penetapan harga/tarif. Pada saat ini telah menjadi konsensus di beberapa negara maju, bahwa sistem yang berbasiskan kendali satelit dan pemungutan berdasarkan jarak/waktu merupakan solusi yang paling menguntungkan yang mengkombinasikan faktor keadilan dengan efisiensi, standarisasi operasional (terintegrasi) dan biaya operasional yang rendah. Namun untuk mencapai pada kondisi yang ideal ini diperlukan beberapa waktu lagi untuk bisa memperoleh suatu sistem yang betul-betul operasional dan memiliki tingkat efisiensi yang tinggi. Sementara opsi yang tersedia (terimplementasi) saat ini bervariasi mulai dari sistem yang paling konvensional sampai dengan sistem dengan teknologi canggih. Begitu pula halnya dengan skema “pricing” yang sudah diimplementasi di beberapa kota besar. Gambar 3. Merangkum beberapa konsep dasar dan karakteristik dari skema “pricing”.
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
9
WP-03
Tabel 4. Perbandingan Alternatif Teknik “pricing”
SKEMA
KELEBIHAN o Mengurangi SOV ALT 1 (meningkatkan HOV) o Masyarakat dapat berbagi Complete kendaraan (biaya) Area “pricing” o Masyarakat meempunyai piilihan untuk berkendaraan sendiri o Persamaan antara yang tinggal didalam dan diluar area TDM o Uang yang terkumpul dapat digunakan untuk pengembangan transportasi o Mendorong masyarakat menggunakan angkutan umum o Mengurangi SOV ALT 2 (meningkatkan HOV) o Uang yang terkumpul dapat Preferential digunakan untuk HOV + pengembangan transportasi Cordon o Mendorong masyrakat “pricing” menggunakan angkutan umum o Kontra dari masyarakat tapi mrk dapat menghindari biaya bila memanfaatkan HOV
KEKURANGAN o Pelanggaran pada aturan o Alokasi polisi menimbulkan biaya o Menimbulkan kontra pada masyarakat (harus meningkatkan angkutan umum)
o Ada perbedaan antara yang tinggal didalam dan diluar TDM (meningkatkan nilai tanah didalam TDM o Pembatasan LOV tidak meningkatkan pengguna angkutan umum (menarik penumpang bus ke mobil) o Pelanggaran pada aturan o Alokasi polisi menimbulkan biaya o Ada perbedaan antara yang tinggal didalam dan diluar TDM (meningkatkan nilai tanah didalam TDM o Penambahan infrastruktur dibutuhkan (gerbang, ERP) o Adanya kemacetan bila sistem manual o Alokasi pengumpul tol membutuhkan biaya
o Pelanggaran dapat dihindari dengan batas fisik/gerbang o Tidak diperlukan polisi Cordon o Sebagian sistem toll dapat “pricing” digunakan untuk sistem gerbang cordon o Uang yang terkumpul dapat digunakan untuk pengembangan transportasi o Mendorong masyrakat menggunakan angkutan umum Cat: HOV – high occupancy vehicle, LOV – low occupancy vehicle, SOV – single occupancy vehicle. Sumber: SITRAMP (JICA, 2002) ALT 3
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
10
WP-03
KEBIJAKAN “PRICING” YANG EFISIEN Dalam konteks penerapan besaran ““pricing””, konsep dasarnya adalah bahwa struktur tarif “pricing” harus bisa menerapkan prinsip “users pay”. “pricing” akan bisa efektif dalam menyelesaikan permasalahan dan meningkatkan efisiensi sistem transportasi, bila penerapannya memenuhi hal-hal berikut; 1. Opsi bagi Konsumen; Harus diberikan berbagai opsi agar konsumen dapat memilih kombinasi dari kuantitas, kualitas dan harga yang sesuai dengan kebutuhannya. 2. Harga berbasis biaya; Agar efisien, harga (barang yang dibayar oleh konsumen) hrus merefleksikan pertambahan biaya produksi termasuk biaya langsung dan tidak langsung, biaya distribusi dan pembuangan dari produk. 3. Netralitas Ekonomi; Artinya bahwa kebijakan publik memperlakukan produkproduk yang serupa secara setara, kecuali jika ada jastifikasi khusus untuk perlakuan khusus. Sebagai contoh, kebijakan yang menghambat penggunaan kendaraan pribadi dibanding moda lainnya dalam bentuk investasi, regulasi atau subsidi Lebih lanjut, agar efisien kebijakan “pricing” harus dapat; 1. Menghilangkan distorsi dengan menghapus subsidi tersembunyi dan nyata terhadap pengguna kendaraan pribadi 2. Mendukung moda transportasi yang lebih langeng 3. Menciptakan sumber pendapatan lokal baru yang terintegrasi kedalam suatu rencana strategis 4. Menyediakan akses yang efisien, setara dan langeng bagi masyarakat ke berbagai tujuan di wilayah perkotaan Keberhasilan penerapan strategi “pricing” tergantung pada; 1. Kekuatan regulasi/institusi (kemampuan penegakkan hukum, pemantauan; pengendalian) 2. Karakteristik elastisitas harga dan pendapatan dari sumber permintaan (pelaku perjalanan) 3. Manghapuskan subsidi yang bersifat kotra produktif (mis. subsidi Bahan bakar)
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
11
WP-03
4. Pertimbangan yang bersifat strategis (mis. kemampuan daya saing) 5. Aktifitas “Lobby” (mis. Preference untuk kesepakatan yg bersifat sukarela, diseminasi informasi, dan dukungan publik yang luas)
Lokasi Pembayaran
A
B
C
D
Titik (Mis.Jembatan) Penggal ruas jalan Titik kontrol pada kawasan
Titik keluar/masuk pada zoan
N
Tipe “pricing”, berdasarkan: A S R P V O T C
E
E
Kawasan
F
Kombinasi
N
P
O T
C
A
S
R
V
E
N = Kebijakan Nasional, A = Kawasan/zona, S = Penggal, R = Tipe jalan, P = Titik ;V = Tipe kendaraan, O = Okupansi, T = Waktu, C = Kongesti, E = Lingkungan; Sumber: Ricci A (2005) Gambar 1. Konsep Dasar & Skema “Pricing”
Beberapa strategi “pricing” seperti “pricing” pada parkir off-street dan insentif finansial untuk karyawan dapat dilakukan oleh sektor swasta.
MANFAAT DARI SKEMA “PRICING” IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
12
WP-03
Skema “pricing” memberikan manfaat kepada berbagai pihak di sektor transportasi dan non transportasi baik dari sisi pemerintah maupun swata dan masyarakat pada umumnya. Sebagai ilustrasi, Congestion pricing (yang telah diterapkan di beberapa negara) memberikan manfaat pada pelaku perjalanan, dan sektor usaha dengan berkurangnya tingkat kemacetan (tundaan) & stres, meningkatnya waktu tempuh, dan meningkatnya jumlah pergerakkan barang. Skema ini juga memberikan manfaat kepada sektor pelayanan angkutan umum dengan meningkatnya kecepatan tempuh angkutan umum dan meningkatnya keandalan pelayanan yang berimplikasi kepada meningkatnya jumlah pengguna dan menurunnya biaya operasional. Selain itu juga memberikan manfaat kepada pemerintah dengan peningkatan kualitas pelayanan sistem transportasi; 1. Tanpa perlu mengeluarkan biaya yang besar 2. Tanpa perlu meningkatkan pajak, 3. Tersedianya dana tambahan untuk mebiayai sistem transportasi 4. Mempertahankan kondisi bisnis dan memperluas basis pajak 5. Menyingkat waktu tanggap bagi petugas emergency 6. Meningkatkan mobilitas lalu lintas 7. Memaksimalkan pengembalian investasi publik pada prasarana transportasi Dan pada akhirnya memberikan manfaat pada masyarakat secara keseluruhan dengan; 1. Berkurangnya konsumsi bahan bakar (fosil) dan emisi gas buang 2. Mendorong kebijakan penggunaan lahan yang lebih efisien 3. Mengurangi tingkat distorsi pasar properti 4. Memperluas peluang partisipasi masyarakat
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
13
WP-03
KEBIJAKAN “PRICING” SEBAGAI BAGIAN KEBIJAKAN TERPADU TRANSPORTASI PERKOTAAN Dari pengalaman dibeberapa negara, telah dipahami bahwa kebijakan “pricing” sendiri tidak dapat mencapai tujuan utama untuk menjamin kelangengan mobilitas perkotaan. Oleh karena itu skema “pricing” harus dibarengi dan dipadukan dengan kebijakan lain agar efektifitasnya meningkat secara asignifikan; a. Sinergi dengan kebijakan parkir merupakan paket yang sangat relevan khususnya pada saat menetapkan besaran tarif (mis. pada corrdon pricing) agar tidak terkesan adanya duplikasi terhadp tarif parkir yang berlaku. b. Penerapan kebijakan tambahan sebagai komplemen terhadap kebijakan “pricing” untuk aspek-aspek spesifik seperti insentif untuk pengguna yang beralih ke moda lainnya, insentif pajak bagi sektor swasta yang memberikan insenti pada karyawan yang beralih moda dan lain sebagainya. c. Kebijakan Peningkatan pelayanan angkutan umum tanpa harus menaikkan tarif serta kebijakan pemberian insentif pada pengguna angkutan umum d. Kebijakan insetif dan disinsentif pada sektor tata guna lahan e. Kebijakan pada sektor industri otomotif Secara komprehensif paket kebijakan yang merupakan pendukung dari kebijakan skema “pricing” ditunjukan dalam Tabel 5.
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
14
WP-03
Tabel 5. Paket Kebijakan Terkait dengan Skema “Pricing”
PUSH Restrict car access road “pricing” congestion “pricing” Policy/R sales tax/import duty registration fee/road tax egulator y/Econo car quota system mic parking “pricing” Measure parking management s plate restrictions low emission zones 20 km per hour zones Reduce car mobility reduce parking supply traffic cells traffic calming Road space reallocation reconnect severed Physical neighbourhoods /Technic Restricted traffic zones al pedestrian only zones Measure s
Integrated land use planning regional spatial Plan/De planning sign transit oriented Measure development s car parking planning standards to complement transport policies Support Enforcement Measure fines, tickets and towing s
PULL Improve transit services integrated system and fare structure network of priority transit corridors Incentives for commuters parking spot cashout tax reduction for transit pass tax reduction for biking and walking
Improve quality of transit service bus rapid transit system bus lanes bus priority light rail and commuter rail services Improve bus infrastructure quality vehicles comfortable bus stations easy to find route and timetable information, bus information at bus stops, train arrival information at stations Improve bicycle infrastructure bicycle lanes and parking bicycle route signage and maps Improve pedestrian infrastructure safe sidewalks and crosswalks pedestrian zone Improve mobility options car sharing services shared bicycle services improved taxi and pedicab/rickshaw services Planning for nonmotorised transport street design for bicycles/pedestrian traffic connectivity of streets maps and wayfinding aids Public awareness marketing transit/explaining need for TDM measures events like Car Free Day
Sumber : TDM (GTZ, 2009)
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
15
WP-03
PENGGUNAAN PENDAPATAN DARI KEBIJAKAN PENDUKUNG LAINNYA.
KEBIJAKAN
“PRICING”
DAN
Pemanfaatan dana pendapatan yang diperoleh dari kebijakan skema “pricing” merupakan titik kritis dari kebijakan ini sendiri. Hal ini sejalan dengan tujuan berganda yang mempengaruhi kebijakan ini seperti dijelaskan pada bagian awal dari tulisan ini. Oleh karena itu pemanfaatan yang optimal dari dana ini harus dapat memfasilitasi tujuan berganda tersebut. Dari sisi pandang teori ekonomi, dana masyarakat harus digunakan secara maksimal untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat bila dana pendapatan dari skema ini tidak di “earmarked (ditetapkan hanya untuk digunakan pada sektor transportasi)”, artinya bisa untuk menurunkan biaya pajak bagi golongan pendapatan rendah (kelompok marjinal) atau di investasikan pada sektor-sektor yang memberikan nilai rasio manfaat-biaya yang lebih tinggi. Namun di lain pihak sangat penting adanya jaminan baik dari aspek keadilan maupun aspek penerimaan masyarakat khususnya pelaku perjalanan terhadap penggunaan dana skema “pricing” ini terhadap perbaikan sistem transportasi seperti peningkatan pelayanan angkutan umum atau bahkan untuk membangun prasarana transportasi. Artinya bahwa dana dari skema ini harus didedikasikan bagi perbaikan sistem transportasi itu sendiri karena pada akhirnya akan timbul kesetaraan peluang dan perlakuan untuk melakukan perjalanan bagi seluruh masyarakat yang beraktifitas di perkotaan yang merupakan refleksi dari pemerataan kesejahteraan. Selain dengan mekanisme “earmarking”, pemanfaatan dana ini dapat juga dilakukan dengan mekanisme “Trust Fund” yaitu mekanisme penggunaan dana untuk berbagai program memenuhi berbagai kriteria yang telah ditetapkan sebelumnya. Mekanisme ini juga dapat dilakukan terhadap berbagai sumber pendapatan lainnya selain skema “pricing” seperti dari pendapatan parkir, pajak bahan bakar, jasa lisensi tertentu, dana lisensi lokasi usaha dan pendapatan dari usaha di terminal dll. Terkait dengan sistem ke tata negaraan, maka pemanfaatan dan kewenangan sumber pendapatan ini dapat didistribusikan pada tingkat pemerintahan pusat dan daerah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, dan khususnya untuk skema “pricing” ditetapkan berdasarkan regulasi khusus yang dibuat untuk kebijakan ini. Sebagai ilustrasi Tabel 6 menggambarkan pola distribusi kewenangan penggunaan dana ini. PENGALAMAN NEGARA LAIN Skema “pricing” dalam berbagai bentuknya telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1975 di Singapura sampai yang terkhir tahun 2005 di Stockholm-Swedia. Tujuan dari penerapan skema “pricing” inipun beragam, mulai dari pengurangan tingkat IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
16
WP-03
kemacetan sampai dengan pengumpulan dana untuk membangun prasarana transportasi yang baru. Kota Singapura Kemacetan lalu lintas berkurang secara signifikan pada saat penerapan skema “pricing” pada jam puncak di kawasan pusat kota Singapura tahun 1975. Pada tahun 1998, sistem “pricing” ditingkatkan menjadi sistem yang bersifat otomatis penuh dengan memanfaatkan perkembangan teknologi informasi dan komputer. Secara prinsip sistem elektronik yang diterapkan menggunakan sistem kartu elektronik pintar, kamera pemantau dan perangkat elektronik didalam kendaraan. Mekanisme “pricing” diterapkan secara fluktuatif tergantung kondisi lalu lintas yang berlaku. Sistem ini mampu mengurangi volume lalu lintas sebesar 13% dan meningkatkan keceptan tempuh sebesar 22%. Tabel 6. Pola Pemanfaatan dana berdasarkan Kewenangan
Pemerintah Pemerintah Pusat daerah Pajak Bahan Bakar yang berbeda-beda (promosi bahan bakar lebih bersih) Pajak Kendaraan Bermotor (pembelian, penggunaan, pembuangan) Pajak Properti, Retribusi Pembangunan Sumber Pendanaan
Road pricing (bervariasi fungsi waktu, lokasi, tingkat emisi dll)
Tarif Parkir, Pajak parkir
Subsidi untuk kendaraan dengan Bahan bakar ramah lingkungan atau untuk konversi bahan bakar Insentif fiskal untuk menghapus kendaraan tua
Promosi/subsidi angkutan umum
Sumber : TDM (GTZ, 2009)
Kota-kota di Norwegia Beberapa kota (Oslo, Torndheim) menerapkan skema cordon “pricing” untuk memasuki wilayah pusat kotanya. Dana dari skema ini digunakan untuk program pembangunan prasarana transportasi seperti peningkatan jalan, pembangunan terowongan, dan ekspansi jalur angkutan rel. Sekitar 50% dari pendapatan skema ini digunakan pada proyek-proyek sektor jalan, 20% untuk perbaikan sistem angkutan umum. Besarnya tarif ditetapkan berdasarkan perhitungan biaya proyek dan biaya operasinya untuk selama 15 tahun.
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
17
WP-03
Kota London Pada tahun 2003, kota London menerapkan skema “pricing” di wilayah pusat kotanya. Skema yang diterapkan memungut biaya merata (flat) perhari pada zona yang dibatasi oleh jalan lingkar dalam. Pengguna kendaraan pribadi dapat membayar sebelum atau pada saat melalui zona “pricing”, dan pembayaran dapat dilakukan melalui telepon, internet, pos atau pada kios-kios tertentu dengan basis harian, mingguan, bulanan atau tahunan. Sistem yang digunakan memanfaatkan sistem elektronik otomatis dan kamera pemantauan. Sistem ini tidak menggunakan sistem “gantry” seperti di Singapura untuk proses transaksi pembayaran, karena mekanisme pembayaran berdasarkan catatan kamera pemantau terhadap plat nomor kendaraan yang memasuki zona yang akan ditagihkan kemudian bila pengguna membayar dengan mekanisme pasca bayar. Penerapan skema ini, paralel dengan peningkatan pelayanan angkutan umum yang dibiayai dari pendapatan skema “pricing”, mampu mengurangi volume lalu lintas sebesar 15% tanpa mengakibatkan pertambahan beban lalu lintas pada jaringan jalan disektar zona “pricing”. Sebagian besar mantan pengguna kendaraan pribadi berpindah ke angkutan umum, tundaan lalu lintas berkurang sebesar 30% dan waktu tunggu untuk pelayanan Bus berkurang sekitar 33%. Kota Stockholm Sistem yang diterapkan di Stockholm merupakan sistem cordon “pricing” yang paling terkini yang diterapkan secara resmi pada tahun 2007. Penerapan skema ini mampu menurunkan lalu lintas sebesar 22%, meningkatkan jumlah penumpang bus dalam kota sebesar 9%, tingkat emisi gas buang menurun sebesar 14% di wilayah zoan “pricing”. Sistem yang diterapkan mirip dengan sistem di Singapura Negara Jerman Pada tahun 2005, Negara jerman menerapkan sistem Toll untuk kendaraan barang (truk) pada sistem jaringan jalan bebas hambatannya. Dengan menggunakan sistem GPS tarif Toll dikenakan pada jenis truk dengan beban kotor lebih dari 2 ton secara elektronik. Tarif ditentukan berdasarkan fungsi jarak tempuh, jumlah sumbu, dan tingkat emisi kendaraan dan pendapatan dari sistem ini digunakan untuk membangun prasarana transportasi. PENUTUP Dari pembahasan diatas telah ditunjukan bahwa solusi kendala pendanaan sistem transportasi perkotaan bisa diperoleh dengan mencari alternatif pendanaan dari optimalisasi sistem prasarana eksisting melalui mekanisme “pricing”. Berbagai skema “pricing” telah dibahas dan semuanya, dalam konteks sistem transportasi perkotaan, memiliki fungsi ganda yaitu mengendalikan tingkat kemacetan dan memperoleh dana masyarakat tanpa perlu melakukan investasi yang masif. Permasalahan yang umum IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
18
WP-03
dihadapi untuk menerapkan skema ini adalah tingkat penerimaan masyarakat dan situasi politik yang berlaku. Selain itu skema seperti ini membutuhkan sistem regulasi yang khusus karena biasanya regulasi yang berlaku hanya mencakup mekanisme sumber pendanaan konvensional seperti pajak yang mekanisme penggunaannya telah baku. Bila dana yang diperoleh dari skema ini akan didedikasikan untuk perbaikan sistem transportasi, maka perlu menyiapkan mekanisme “earmarking” atau “trustfund” agar penggunaannya bisa optimal dan fokus. Belajar dari pengalaman di negara lain skema “pricing” merupakan upaya terobosan yang dapat diandalkan sebagai sumber pendanaan sistem transportasi, khususnya di perkotaan
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
19
WP-03
REFERENSI : JICA(2002), Study on an Integrated Transport Master Plan for Jabodetabek Area RAMP Phase-1, Final Report. FHWA (2006), Congestion Pricing A Primer, Publication Number: FHWA-HOP-07074 GTZ (2009), Transport Demand Management, Training Document Guess, G.M (2008), Managing and Financing Urban public Transport Systems; An International Perspective, Local Government and Public Service Reform Initiative, Open Society Institute–Budapest Jara-Diaz, S.R. (2007), Transport Economic Theory, Emerald Group publishing Ltd. Littman, T (2006), London Congestion Pricing; Implication for other Cities, Victoria Transport Institute. Ricci, A (2005), Urban Transport Pricing, Discussion Paper ISIS. TRB (1994), Curbing Gridlock; Peak-Period Fees to Relieve Traffic Congestion, Special Report 242, Transport Research Board, National research Council Whittles, M.J (2003), Urban Road Pricing; Public and political Acceptability, Ashgate Publishing Ltd. World Bank (2009), Cities On The Move: A World Bank Urban Transport Strategy Review
IUTRI – Indonesian Urban Transport Institute
20