EDISI 1 2014
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
INDONESIA
“
“
TANAH UNTUK KESEJAHTERAAN MASYARAKAT
Topik Utama
RPJMN 2015-2019
Ringkas Buku
Konsep Dasar Reforma Agraria
Rancangan Teknokratik RPJMN Bidang Pertanahan
Tanah: Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH. MCL. MPA.
DAFTAR ISI Dari Redaksi
2
Pertanahan untuk Kesejahteraan Masyarakat
Fokus
3 11
INDONESIA
Reforma Agraria : Sejarah, Konsep, dan Implementasinya Sejarah Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia dari Masa ke Masa
TIM REDAKSI Pelindung: Deputi Bidang Pengembangan Regional dan Otonomi Daerah
Rancangan Kebijakan
15
Roadmap Penyusunan Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia
Penanggung Jawab: Direktur Tata Ruang dan Pertanahan
Agenda
17
Pemimpin Redaksi :
Hari Agraria Nasional
Kasubdit Pertanahan
Pelaksanaan Kegiatan
19 21
Raffli Noor
Program Agraria Daerah di Provinsi Kalimantan Timur
Redaksi:
Ringkas Buku
23
Editor:
Uji Coba Reforma Agraria di Provinsi Bangka Belitung dan Jawa Tengah
TANAH: Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya
Idham Khalik, Gita Nurrahmi, Dea Chintantya, Marhensa Aditya Hadi, Reza Nur Irhamsyah
Desain dan Publikasi Edisi Online: Marhensa Aditya Hadi
25 Kumpulan Artikel
Distribusi dan Administrasi: Agung P.
26 Data dan Informasi Kementerian PPN/Bappenas Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Gedung Madiun Lt 3 Jl. Taman Suropati No 2. Menteng. Jakarta Pusat. Telp/Fax: 021-3926601 Email:
[email protected]
1
INDONESIA Edisi 1 - 2014
DARI REDAKSI Pertanahan untuk Kesejahteraan Masyarakat
reforma agraria yang terus menerus tanpa kerangka waktu hanya akan menimbulkan ketidakadilan baru dan merusak mental masyarakat. Beberapa contoh pengalaman negara lain adalah Thailand melaksanakan dalam 22 tahun (1975 ‐ 1997), Philiphina 14 tahun (1972 ‐ 1986) dan 8 tahun (1986 ‐ 2004), dan Brazil 8 tahun (2002 ‐ 2010) dan pelaksanaan tersebut kemudian dievaluasi dalam kurun waktu 50 sampai 70 tahun kemudian.
Oleh: Uke Mohammad Hussein
Untuk Indonesia, dasar‐dasar pengaturan pengelolaan pertanahan diatur dalam UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐Pokok Agraria (UUPA) dan Pasal 33 UUD 1945, khususnya “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan digunakan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat“, UUPA mengamanatkan dua hal penting dalam pengelolaan pertanahan, yaitu (i) Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah‐air dari seluruh rakyat Indonesia, yang bersatu sebagai bangsa Indonesia (ii) Tiap‐tiap warga negara Indonesia, baik laki‐laki maupun wanita mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh sesuatu hak atas tanah serta untuk mendapat manfaat dan hasilnya, baik bagi diri sendiri maupun keluarganya. Dengan demikian, jelas terlihat bahwa kebijakan pokok pengelolaan pertanahan Indonesia adalah ditujukan bagi sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat.
Penyediaan akses terhadap masyarakat miskin penerima meliputi, (i) program pemberdayaan yang sesuai dengan mata pencaharian penerima, seperti bantuan bibit dan pupuk untuk petani, atau bantuan kredit kapal untuk nelayan; (ii) Pengembangan teknologi pertanian dan pengolahan untuk dapat meningkatkan nilai tambah (value added) dari produk yang mereka hasilkan. Dengan demikian akan tercipta keuntungan yang lebih besar (profit margin) di tingkat petani untuk memberi kesempatan petani untuk memperkuat posisi tawar di pasar bebas (augmenting); (iii) Pengembangan lembaga keuangan mikro, setelah petani memiliki sedikit kekuatan ekonomi lebih, kemudian perlu diajarkan dasar‐dasar ekonomi mikro perusahaan bagi pembentukan usaha tani formal yang kuat (dapat berupa koperasi atau usaha bersama). Entitas ekonomi baru ini membutuhkan dukungan keuangan yang hanya mungkin didapat dari lembaga keuangan mikro yang dapat digambarkan secara sederhana sebagai bank desa. Lembaga yang ada sekarang dan paling dekat dengan gambaran tersebut adalah Koperas Simpan Pinjam. Koperasi simpan pinjam saat ini telah bertransformasi menjadi perusahaan biasa yang lebih mengejar keuntungan daripada pembukaan akses permodalan sehingga perlu kembali dikenalkan lembaga keuangan mikro (koperasi simpan pinjam) yang ideal. (iv) terakhir adalah upaya pembentukan interkoneksi antar entitas usaha tani bersama dengan dunia industri yang telah mapan dan sesuai. Usaha ini perlu dilakukan untuk menjamin kestabilan pasar atau permintaan (demand).
Upaya mewujudkan kebijakan pokok tersebut melalui Reforma Agraria, yang mencoba mengoreksi ketimpangan pemilikan dan penguasaan tanah. Penegasan kebijakan nasional untuk melakukan reforma agraria tercantum dalam Tap MPR No. IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam. Penegasan ini perlu dilakukan mengingat dalam perjalanannya, sejak peristiwa politik di tahun 1965, reforma agraria sempat terhenti pelaksanaannya atau bahkan beberapa ahli berpendapat reforma agraria belum sempat dilakukan di Indonesia.
Seperangkat bantuan diatas untuk melengkapi redistribusi tanah yang dilakukan, diharapkan masyarakat miskin penerima (petani) dapat menjadi masyarakat yang sejahtera secara mandiri yang memiliki harkat dan martabat yang baik. Bila hal yang dicita‐citakan tersebut dapat terwujud, amanat kemerdekaan bangsa Indonesia telah terlaksana dengan baik. Semoga setiap unsur bangsa, terutama seluruh komponen instansi Pemerintah dapat menyatukan langkah dalam mewujudkan reforma agraria yang ideal bagi bangsa dan negara Indonesia. [UK]
Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa tanah, sebenarnya memiliki dua sisi perspektif, yaitu (i) sebagai barang komoditas ekonomi, dan (ii) sebagai obyek budaya yang memiliki nilai ikatan spiritual (batin), baik itu dalam aspek kultur budaya maupun politik. Tantangan yang dihadapi umat manusia sejak dahulu kala adalah mencari titik harmonis pemanfaatan tanah pada dua sisi perspektif tersebut. Tidak saja untuk kepentingan orang per orang, namun juga sekelompok orang, suatu bangsa, atau bahkan umat manusia seluruhnya.
Terlepas dari dua pendapat tersebut, yang kemudian disepakati bersama adalah reforma agraria tidak cukup dengan hanya melakukan redistribusi tanah, namun perlu dilengkapi dengan seperangkat bantuan lain untuk membuka akses kesejahteraan bagi masayarakat miskin penerima. Selain itu, berdasarkan pengalaman dunia internasional, pelaksanaan reforma agraria harus memiliki kerangka waktu pelaksanaan. Pelaksanaan
INDONESIA Edisi 1 - 2014
2
FOKUS
Reforma Agraria : Sejarah, Konsep, dan Implementasinya Oleh: Oswar Mungkasa
Salah satu program prioritas dari pemerintahan baru adalah reforma agraria, yang secara jelas tercantum dalam dokumen Visi Misi dan Program Aksi. JALAN PERUBAHAN untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian (Nawacita). Reforma agraria menjadi bagian kelima Nawacita, yaitu kami akan meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia. Tulisan berikut menjelaskan secara ringkas sejarah awal, konsep dasar dan pembelajaran implementasi di Indonesia. A. Pemahaman Dasar Pengertian Reforma Agraria Secara etimologis, kata agraria berasal dari kata bahasa Latin ager yang artinya sebidang tanah (bahasa Inggris acre). Kata bahasa Latin aggrarius meliputi arti yang ada hubungannya dengan tanah, pembagian atas tanah terutama tanah umum, bersifat perdesaan. Kata reform merujuk pada perombakan, mengubah dan menyusun/membentuk kembali sesuatu menuju perbaikan. Dengan demikian, reforma agraria dapat diartikan secara sederhana sebagai penataan kembali struktur pemilikan, penguasaan, dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap, buruh tani (Rolaswati, tanpa tahun). Sementara pengertian reforma agraria yang lebih lengkap (Tuma, 1965) adalah suatu upaya sistematik, terencana, dan dilakukan secara relatif cepat, dalam jangka waktu tertentu dan terbatas, untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial serta menjadi pembuka jalan bagi pembentukan masyarakat 'baru' yang demokratis dan berkeadilan; yang dimulai dengan langkah menata ulang penguasaan, penggunaan,dan pemanfaatan tanah dan kekayaan alam lainnya, kemudian disusul dengan sejumlah program pendukung lain untuk meningkatkan produktivitas petani khususnya dan perekonomian rakyat pada umumnya (Bachriadi, 2007) Landreform atau Reforma Agraria Istilah landreform pertama kali dicetuskan oeh Lenin dan banyak digunakan di negara komunis atau blok timur pada saat itu dengan adagium “land to the tiller” untuk memikat hati rakyat dan petani yang menderita karena tekanan tuan tanah, untuk kepentingan politis (Sumaya, 2003). Tentu saja pemahaman ini berbeda dengan yang dipergunakan di Indonesia. Pengertian landreform dalam UUPA dan UU Nomor 56 Prp Tahun 1960 merupakan pengertian dalam arti luas sesuai pengertian FAO (Food and Agriculture Organization) yaitu meliputi program tindakan yang saling berhubungan yang bertujuan untuk menghilangkan penghalang di bidang ekonomi, sosial yang timbul dari kekurangan yang terdapat dalam struktur pertanahan (Hermawan, 2003) Sementara dalam PP Nomor 224 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian, dijelaskan bahwa landreform bertujuan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian
3
INDONESIA Edisi 1 - 2014
tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata. Siregar (2008) menjelaskan landreform sebagai usaha sistematis untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan tanah yang dirasakan belum harmonis dan belum mencerminkan keadilan sosial. Usaha perbaikan yang dilakukan melalui penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah menjadi tatanan keagrariaan baru yang dapat menjamin keadilan, harmoni sosial, produktivitas dan keberlanjutan, berdasarkan prinsip bahwa “tanah pertanian harus dikerjakan dan diusahakan secara aktif oleh pemiliknya sendiri” (Utami, 2013). Pelaksanaan landreform dengan demikian bertujuan memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat melalui pembagian yang lebih adil atas sumber penghidupan petani berupa tanah (Utami, 2013). Namun kemudian disadari bahwa dalam banyak kejadian, petani yang telah memperoleh tanah dari kegiatan landreform kemudian melepaskan kembali tanahnya karena petani tidak memiliki akses kepada kegiatan ekonomi, sumber keuangan, manajemen usaha, dan teknologi pertanian. Akibatnya keberadaan tanah tidak membantu petani meningkatkan kesejahteraannya. Kondisi ini kemudian mendorong dilaksanakannya konsep reforma agraria, yaitu landreform dalam pengertian redistribusi pemilikan dan penguasaan tanah (reforma aset) yang didukung oleh program penunjang seperti pengairan, perkreditan, penyuluhan, pendidikan, pemasaran, dan sebagainya (reforma akses). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa reforma agraria terdiri dari 2 (dua) pilar yaitu reforma aset dan reforma akses. Tuma (1965) menyimpulkan bahwa “landreform” dalam pengertian luas akhirnya dapat disamakan dengan reforma agraria, yakni suatu upaya untuk mengubah struktur agraria demi terciptanya tujuan sebagaimana disebutkan di atas. Jadi reforma agraria dapat diartikan sebagai landreform plus (Bachriadi, 2007).
Pentingnya Reforma Agraria Alasan mendasar reforma agraria dibutuhkan, terutama ketika corak dan sistem masyarakat masih agraris (Carebesth dan Bahari, 2012), adalah keadilan dan penghapusan segala bentuk penghisapan. Pembangunan bagaimanapun juga harus dilandasi rasa keadilan dan pemerataan. Reforma agraria yang salah satu aspeknya adalah landreform merupakan upaya untuk
menciptakan pemerataan sosial‐ekonomi di berbagai lapisan masyarakat di pedesaan. Fenomena ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah yang semakin meningkat dan berpengaruh pada meningkatnya kemiskinan dan pengangguran di pedesaan, pada dasarnya tidak terlepas dari kebijakan pertanahan yang hanya fokus pada peningkatan produktivitas yang berujung pertumbuhan ekonomi.Sementara penataan aset produksi malah terabaikan, yang berakibat masyarakat marjinal semakin terabaikan dan kehilangan akses terhadap tanah. Kondisi ini yang menimbulkan konflik agraria baik berupa perselisihan tanah di tingkat rumah tangga petani, meningkatnya penguasaan tanah skala besar, konversi penggunaan tanah yang tidak terencana, tata ruang yang tidak konsisten dan tumpang tindih. Hal ini tidak hanya berdampak pada masyarakat secara langsung tetapi juga pada program pemerintah seperti ketahanan pangan, perumahan rakyat, dan lingkungan hidup (Shohibudin, 2012). Menjadi suatu keniscayaan kemudian untuk melaksanakan reforma agraria sebagai upaya mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan tanah sebagai sumber utama permasalahan, yang pada akhirnya bermuara pada pengurangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat seutuhnya.
Tipe Reforma Agraria Menurut Fauzi (2008), terdapat 4 (empat) tipe landreform berdasarkan aktor utama penggeraknya, yaitu: (i) Market‐Led Landreform ‐ Pertimbangan utamanya adalah pencapaian efisiensi/produktivitas secara ekonomis; ‐ Mengurangi peran negara; ‐ Petani yang seharusnya menjadi ‘supir’ dalam Reforma Agraria, sesungguhnya berada di bawah perintah pelaku pasar; ‐ Nyatanya, ‘terpusat pada pasar’ artinya ‘terpusat pada tuan tanah/pedagang/perusahaan asing’. (ii) State‐Led Landreform ‐ Pertimbangan utamanya biasanya berhubungan dengan mengamankan/menjaga legitimasi politik, meskipun agenda pembangunan juga penting; ‐ ‘Komitmen politik yang sangat kuat’ sangat dibutuhkan untuk mewujudkan agenda landreform, plus perbaikan akses lainnya; ‐ Biasanya memperlakukan petani sebagai pelaku yang dibutuhkan secara administratif; ‐ Partisipasi pelaku pasar sangat rendah, kecuali mereka yang terpilih karena lebih memiliki pengaruh dalam kebijakan pemerintah dan elite pejabatnya. (iii) Peasant‐Led Landreform ‐ Asumsi utamanya adalah bahwa ‘negara terlalu terbelenggu oleh kepentingan elit’, sementara kekuatan pasar juga sama dengan kepentingan elit. ‐ Dengan demikian, satu‐satunya cara untuk mencapai reforma agraria yang pro kaum miskin adalah jika petani dan organisasi mereka secara mandiri mengambil insiatif untuk menerapkan reforma agraria. (iv) Pro‐Poor Landreform ‐ Asumsi utama tidak meromantisasi ‘kemahakuasaan’ petani dan organisasi mereka; dan juga tidak meromantisasi sifat budiman negara. ‐ Mendasarkan pada keterkaitan masalah keadilan, produktivitas dan kerusakan lingkungan hidup; serta keberkaitan antara perspektif yang mampu menjelaskan masalah tersebut;
1
‐ Menganalisa negara, gerakan petani dan kekuatan pasar bukan sebagai kelompok yang terpisah, namun sebagai pelaku yang terhubung satu sama lain melalui cara bagaimana tanah dan kekayaan alam diperebutkan secara politis dan ekonomis; ‐ Memiliki tiga ciri kunci: ‘berpusat pada petani’, ‘didorong oleh negara’, dan ‘meningkatkan produktivitas secara ekonomis, keadilan sosial, dan pemulihan lingkungan’.
B. Sejarah Awal Reforma Agraria
1
Reforma agraria di dunia pertama kali dikenali pada jaman Yunani Kuno di masa pemerintahan Solon (sekitar 549 SM) yang ditandai dengan diterbitkannya undang‐undang agraria (Seisachtheia). Undang‐undang ini diterbitkan untuk membebaskan Hektemor (petani miskin yang menjadi penyakap/penggarap tanah gadaian atau bekas tanahnya sendiri yang telah digadaikan pada orang kaya) dari kondisi pemerasan oleh pemegang gadai. Usaha ini dilanjutkan oleh Pisistratus melalui program redistribusi disertai fasilitas kredit. Pada belahan dunia lain, di Roma pada jaman Romawi Kuno, telah dimulai reforma agraria dalam bentuk redistribusi tanah milik umum untuk mencegah pemberontakan rakyat kecil. UU Agraria (Iex Agrarian) berhasil diterbitkan pada 134 SM yang intinya membatasi penguasaan tanah dan redistribusi tanah milik umum. Sementara di Inggris, reforma agraria dikenal sebagai enclosure movement, yaitu pengaplingan tanah pertanian dan padang pengembalaan yang tadinya disewakan untuk umum menjadi tanah individu. Gerakan reforma agraria berskala besar pertama kali berlangsung pada saat Revolusi Perancis (1789) dengan
Revolusi Perancis, penghancuran sistem feodal. blog.ubi.com
menghancurkan sistem penguasaan tanah feodal. Tanah dibagikan kepada petani. Tujuan utamanya adalah (i) membebaskan petani dari perbudakan; (ii) melembagakan usaha tani keluarga yang kecil sebagai satuan pertanian yang ideal. Gerakan ini berpengaruh luas ke seluruh Eropa. Terbukti pada tahun 1870 John Stuart Mill membentuk Land Tenure Reform Association yang mendorong pembentukan sistem penyakapan (tenancy). Bulgaria relatif lebih maju, pada tahun 1880 telah melakukan reforma agraria yang utuh, mencakup kegiatan penunjang seperti koperasi kredit, tabungan, dan pembinaan usaha tani. Gelombang reforma agraria juga menjangkau Rusia pada saat kaum komunis merebut kekuasaan di Rusia tahun 1917, yang dikenal dengan Stolypin Reforms dalam bentuk (i) hak pemilikan tanah pribadi dihapuskan; (ii) penyakapan atau tenancy (sewa, bagi hasil, gadai dan lainnya) dilarang; (iii) penguasaan tanah absentee dilarang; (iv) hak garap dan luas hak garapan ditentukan atas kriteria luas tanah yang benar‐ benar digarap; (v) menggunakan buruh upahan dilarang. 1
Sebagian besar materi sejarah reforma agraria disarikan dari Pengaruh Reforma Agraria Dunia terhadap Reforma Agraria di Indonesia oleh Devi Kantini Rolaswati, tanpa tahun.
INDONESIA Edisi 1 - 2014
4
Tidak terbendung kemudian reforma agraria menjangkau Cina melalui 3 (tiga) program besar pada tahun 1920‐1930. Salah satu programnya adalah menata kembali struktur penguasaan tanah. Program ini mengalami stagnasi ketika dijajah oleh Jepang (1935‐1945), namun dilanjutkan kembali setelah era penjajahan Jepang dan mencapai puncaknya pada tahun 1959‐ 1961. Tanah milik tuan tanah dibagikan kepada petani penggarap secara kolektip yang dalam perkembangannya menjadi milik negara tetapi petani mempunyai akses sepenuhnya memanfaatkan tanah tersebut (BPN, 2007). Pelaksanaan landreform di Cina tidak hanya mematahkan dominasi tuan tanah tetapi juga meningkatkan konsumsi petani dan meningkatkan tabungan perdesaan. Reforma agraria terus bergulir, kemudian paska perang dunia II reforma agraria berlanjut di Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan. Bahkan pada era 1950‐1960 merambah ke Asia, Afrika dan Amerika Latin, dengan masing‐masing negara memiliki cirinya masing‐masing. Salah satu negara yang dipandang berhasil dalam reforma agraria adalah Jepang. Tanah milik para daimyo diambil alih pemerintah dan dibagikan kepada penyewa tanah. Pengalaman reforma agraria dimulai pada saat reformasi Meiji dan mencapai puncaknya pada masa pendudukan Amerika, (BPN, 2007). Salah satu Negara Amerika Latin yang berhasil adalah Venezuela. Ditandai dengan diterbitkannya undang‐undang reforma agraria pada tahun 1960‐an. Namun demikian baru setelah tahun 1999 ketika presiden Hugo Chavez terpilih, program ini memperoleh kesuksesan. Ini terlaksana karena presiden Chavez memasukkan reforma agrarian ke dalam konstitusi. Selain itu, diperkenalkan juga prinsip kedaulatan pangan, dan mengutamakan penggunaan tanah dari pemilikan tanah (BPN, 2007). Negara Asia lain yang diandang cukup berhasil adalah Thailand, yang didukung sepenuhnya oleh Rajanya. Tetapi keberhasilan terbesar dialami oleh Taiwan yang berdampak pada terjadinya pergeseran struktur pekerjaan dari pertanian ke industri jasa, dengan pertanian tetap sebagai landasan pembangunannya (BPN, 2007). Namun demikian, tidak semua negara berhasil melaksanakan reforma agraria, seperti misalnya Zimbabwe, dikarenakan menjadikan tanah milik kulit putih sebagai sasaran reforma agraria.
barillacfn.com
Puncak dari gerakan reforma agraria pada bulan Juli 1979 ketika dilaksanakan konperensi dunia mengenai Reforma Agraria dan Pembangunan Pedesaan (World Conference on Agrarian Reform and Rural Development) yang diselenggarakan FAO (Food and Agriculture Organization) PBB di Roma. Konperensi ini menjadi tonggak penting karena berhasil
5
INDONESIA Edisi 1 - 2014
menelurkan deklarasi prinsip dan program kegiatan (the Peasants' charter/Piagam Petani) yang mengakui kemiskinan dan kelaparan merupakan masalah dunia, serta reforma agraria dan pembangunan perdesaan dilaksanakan melalui 3 (tiga) bidang yaitu (i) tingkat desa mengikutsertakan lembaga perdesaan, (ii) di tingkat nasional, reorientasi kebijakan pembangunan; (iii) di tingkat internasional, mendorong terlaksananya prinsip tata ekonomi internasional baru.
C. Reforma Agraria di Indonesia Sejarah Awal Pengaturan Reforma Agraria/Landreform Pengaturan pertanahan di Indonesia sudah dimulai dengan terbentuknya panitia Agraria Yogyakarta melalui Penetapan Presiden Nomor 16 Tahun 1948 yang diketuai oleh Sarimin Reksodihardjo. Panitia ini mengusulkan tentang asas yang akan merupakan dasar hukum agraria, diantaranya adalah (i) pengakuan adanya hak ulayat, (ii) pembatasan minimum (dua hektar) dan maksimum (10 hektar) tanah pertanian per keluarga, dan (iii) perlunya pendaftaran tanah. Selanjutnya terbentuk Panitia Agraria Jakarta menggantikan Panitia Yogyakarta melalui Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1951 dengan Ketua Sarimin Reksodihardjo (kemudian digantikan oleh Singgih Praptodihardjo) yang menghasilkan keputusan penting yang relatif senada diantaranya adalah (i) batas minimum pemilikan tanah pertanian (2 hektar) per keluarga; (ii) mengadakan ketentuan maksimum pemilikan tanah, hak usaha, hak sewa dan hak pakai; (iii) pengaturan hak ulayat dengan undang‐undang. Berikutnya dikenal pula Panitia Soewahjo yang ditetapkan melalui Keputusan Presiden Nomor 1 Tahun 1956 yang diketuai oleh Soewahjo Soemodilogo. Panitia ini berhasil menyusun naskah rancangan UUPA pada tanggal 1 Januari 1957, diantaranya yang terpenting adalah (i) asas domein diganti dengan hak kekuasaan negara; (ii) diakuinya hak ulayat; (iii) dualisme hukum agraria dihapuskan; (iv) penetapan batas masimum dan minimum luas tanah yang boleh dimiliki; (v) tanah pertanian dikerjakan dan diusahakan sendiri; (vi) diadakan pendaftaran tanah dan perencanaan penggunaan tanah. Naskah rancangan Panitia Soewahjo kemudian disempurnakan kemudian diberi nama Rancangan Soenarjo mengikuti nama Menteri Agraria pada saat itu dan diajukan ke DPR pada tahun 1958. Namun kemudian dengan berlakunya Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang memberlakukan kembali UUD 1945, sementara Rancangan Soenarjo berdasarkan UUDS 1950, kemudian disusun kembali naskah undang‐undang tersebut. Rancangan yang baru tersebut dinamai Rancangan Sadjarwo mengikuti nama Menteri Agraria pada saat itu, yang kemudian diajukan kembali ke DPRGR. Naskah ini yang akhirnya disetujui menjadi UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐pokok Agraria (UUPA) pada tanggal 24 September 1960 (Harsono, 1999 dan Hakim, tanpa tahun). Landasan Hukum dan Regulasi Landasan utama reforma agraria (landreform) tercantum dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat (3) bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar‐besar kemakmuran rakyat”. Sehingga secara historis dapat dikatakan bahwa upaya pengaturan pertanahan, termasuk landreform, di Indonesia
FOKUS Sejarah Kebijakan Pertanahan
1945
1960
1967
1997 2005 kini
Kebijakan pertanahan periode ini difokuskan pada pembenahan penguasaan dan pemilikan dari sistem kolonialis menjadi sistem nasional. Dalam periode ini penguasaan dan kepemilikan asing dinasionalisasi. Dan penguasaan, pemilikan tanah luas, perdikan, swapraja, partikelir, dan lainnya yang tidak sesuai dengan jiwa kemerdekaan diatur kembali penggunaan dan penguasaanya oleh negara untuk kepentingan nasional. Di masa ini, kebijakannya melanjutkan kenijakan yang telah dijalankan sebelumnya, dalam periode ini kebijakan diarahkan pada distribusi dan redistribusi tanah oleh negara yang diperuntukkan kepada petani gurem/petani penggarap dan buruh tani. Periode ini dikenal dengan periode Land Reform. Sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi nasional, pada periode ini pembangunan pertanahan diarahkan untuk mendukung kebijakan penanaman modal atau investasi, tanpa meninggalkan kebijakan untuk sertipikasi tanah‐tanah golongan ekonomi lemah. Di awal era reformasi, kebijakan pertanahan lebih diarahkan pada kebijakan‐kebijakan yang langsung menyentuh masyarakat, yang menekankan pada pendaftaran tanah yang dikuasai/dimiliki golongan‐golongan tidak mampu. Pada periode ini, kebijakan pertanahan diarahkan pada "tanah untuk keadilan dan kesejahteraan rakyat". Periode ini ditandai dengan kebijakan penertiban tanah terlantar, penyelesaian sengketa, redistribusi tanah, peningkatan legalisasi aset‐tanah masyarakat yang diimplementasikan melalui Reforma Agraria.
telah dimulai sejak proklamasi kemerdekaan. Hal ini kemudian ditindaklanjuti melalui UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐Pokok Agraria (UUPA). UUPA mempunyai dua substansi dari segi berlakunya, yaitu (i) tidak memberlakukan lagi hukum agraria kolonial, (ii) membangun hukum agraria nasional. UUPA juga merupakan undang‐undang yang memberlakukan reforma agraria yang ditandai adanya Panca Program Reforma Agraria Indonesia, khususnya program ketiga yaitu perombakan pemilikan dan penguasaan atas tanah serta hubungan hukum yang berhubungan dengan penguasaan tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan, yang dikenal sebagai landreform (Hakim, tanpa tahun) Keterkaitan UUPA dengan landreform tergambarkan jelas pada muatannya, mulai dari Menimbang hingga Penjelasan UUPA, pasal 1 sampai pasal 19 maupun ketentuan Konversi (Parlindungan, 1987). Secara umum, materi UUPA yang sangat erat terkait landreform adalah pasal 7 yang membatasi pemilikan dan penguasaan tanah, pasal 10 yang mengatur tanah pertanian wajib dikerjakan sendiri secara aktif, dan pasal 17 menetapkan batas maksimum luas pemilikan tanah. Sebagai tindak lanjut dari pasal 7 dan 17 UUPA tentang pembatasan penguasaan dan pemilikan tanah serta batas maksimum‐minimum pemilikan tanah, dikeluarkan Undang‐ Undang Nomor 56 Prp Tahun 1960 tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian yang dikenal sebagai UU Landreform. UU ini mengatur 3 (tiga) masalah pokok yaitu (i) penetapan luas maksimum penguasaan tanah, (ii) gadai tanah; (iii) luas minimum tanah pertanian. Selanjutnya dikenali adanya UU No. 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak atas Tanah dan Benda‐benda yang Ada di Atasnya. UU ini merupakan peraturan pelaksana dari UUPA khususnya Pasal 18 yang menyatakan, bahwa untuk kepentingan umum, termasuk kepentingan bangsa dan negara serta kepentingan bersama dari rakyat, hak‐hak atas tanah dapat dicabut, dengan memberi ganti kerugian yang layak dan menurut cara yang diatur dengan undang‐undang. UU No. 20 Tahun 1961 ini memberi kewenangan kepada Presiden untuk mencabut hak atas tanah dengan memberikan ganti kerugian. Sementara pemberian ganti rugi pada bekas pemilik tanah ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 224
1
Tahun 1961 yang diubah dengan PP Nomor 41 Tahun 1961 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian. PP ini diantaranya mengatur obyek dan subyek landreform termasuk lembaga pendukung landreform. Hal ini membuktikan bahwa landreform di Indonesia pada dasarnya tidak sekedar redistribusi tanah tetapi juga mengatur tindak lanjut pembagian tanah tersebut, sehingga tujuannya tidak sekedar pemerataan tetapi juga peningkatan kesejahteraan petani (Sumaya, 2009). Selain itu, yang mungkin kurang dikenal sebagai regulasi yang terkait landreform adalah UU Nomor 2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil (UUPBH), yang melindungi golongan ekonomi lemah (petani penggarap) dari praktek bagi hasil yang merugikan. Terkait pendaftaran tanah, yang merupakan alat mengendalikan luas kepemilikan dan penguasaan tanah, diterbitkan PP Nomor 10 Tahun 1961 yang telah diubah dengan PP Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah. Upaya pelaksanaan landreform juga didukung oleh beberapa regulasi seperti Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 1974 tentang Pedoman Tindak Lanjut Pelaksanaan Landreform, Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 3 Tahun 1991 tentang Pengaturan Penguasaan Tanah Obyek Landreform secara Swadaya, Instruksi Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 2 Tahun 1995 tentang Inventarisasi atas Tanah Terlantar, Tanah Kelebihan Maksimum dan Tanah Absente Baru, serta Keputusan Menteri Negara Agraria/Kepala BPN Nomor 11 Tahun 1997 tentang Penertiban Tanah Obyek Redistribusi Landreform. Kemudian memasuki era reformasi pada tahun 1998, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mengeluarkan Ketetapan MPR (TAP MPR) Nomor 16/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi dalam Rangka Demokrasi Ekonomi. Pada pasal 7 ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan dan pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam lainnya harus dilaksanakan secara adil dengan menghilangkan segala bentuk pemusatan penguasaan dan pemilikan dalam rangka pengembangan kemampuan usaha ekonomi kecil, menengah, koperasi dan masyarakat luas (Shohibuddin, 2009). Tidak banyak yang menyadari bahwa TAP MPR ini yang mengawali komitmen kita menjalankan reforma agraria, yang ditindaklanjuti oleh
INDONESIA Edisi 1 - 2014
6
FOKUS Pemerintah dengan mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 1999 tentang Tim Pengkajian Kebijaksanaan dan Peraturan Perundang‐undangan dalam rangka Pelaksanaan Landreform. Pada tahun 2001, MPR kembali menelurkan TAP MPR Nomor IX/MPR/2001 tentang Pembaharuan Agraria dan Pengelolaan Sumberdaya Alam, yang mencantumkan prinsip dan arah kebijakan pembaharuan agraria di Indonesia.TAP MPR ini kemudian ditindaklanjuti dengan diterbitkannya Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan, yang secara jelas mencantumkan langkah‐ langkah percepatan reforma agraria berupa penyempurnaan UUPA No 5/1960 dan regulasi lainnya, serta pembangunan sistem informasi dan manajemen pertanahan. Baru pada tahun 2006, pelaksanaan reforma agraria dinyatakan secara tegas sebagai program pemerintah dengan menetapkannya sebagai salah satu fungsi Badan Pertanahan nasional (BPN) melalui Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 10 Tahun 2006 tentang Badan Pertanahan Nasional. Dari 21 fungsi yang diemban BPN, secara jelas dicantumkan salah satunya adalah reformasi agraria. Selain itu, BPN bertanggungjawab langsung kepada Presiden. Dengan demikian, Perpres ini merupakan upaya memperkuat aspek kelembagaan dari pelaksanaan reforma agraria. Untuk lebih memudahkan dalam memperoleh tanah sumber redistribusi kemudian diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 11 Tahun 2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang memberi peluang bagi penetapan tanah terlantar jika tanah tidak dipergunakan sesuai dengan keadaan atau sifat dan tujuan haknya. Terlepas dari peraturan perundang‐undangan dan regulasi yang ada, pada dasarnya sejak awal MPR telah menunjukkan keinginan yang teguh untuk mendorong agar pemerintah melaksanakan program landreform. Terbukti dari pencantuman frasa “penataan kembali penggunaan, penguasaan dan pemilikan tanah sehingga benar‐benar sesuai dengan asas adil dan merata”, termasuk menjadikan program transmigrasi sebagai bagian dari upaya landreform, pada setiap Garis Besar 2 Haluan Negara (GBHN) . Bahkan dalam GBHN 1988 secara khusus terdapat frasa “perlu dicegah pemilikan tanah perseorangan secara berlebihan, serta pembagian tanah menjadi sangat kecil sehingga tidak menjadi sumber kehidupan yang layak” (Hendrawan, 2003)
Tujuan Reforma Agraria Pada masa awal terbitnya UUPA No. 5/1960, landreform bertujuan mengadakan pembagian yang adil dan merata atas sumber penghidupan rakyat tani yang berupa tanah, sehingga dengan pembagian tersebut diharapkan akan dapat dicapai pembagian hasil yang adil dan merata (PP No. 224/1961). Menteri Agraria Sadjarwo dalam pidato pengantar 2 Secara rinci dapat dilihat pada GBHN 1978 (TAP MPR RI No. IV/MPR/1978), GBHN 1983 (TAP MPR RI NO. II/MPR/1983), GBHN 1988 (TAP MPR RI No. II/MPR/1988), GBHN 1988 (TAP MPR RI No. II/MPR/1993), GBHN 1998 (TAP MPR RI No. II/MPR/1998) dan GBHN 1999 (TAP MPR RI No. IV/MPR/1999).
7
INDONESIA Edisi 1 - 2014
penyerahan rancangan UUPA pada tanggal 12 September 1960 menyatakan bahwa tujuan pelaksanaan landreform di Indonesia adalah (i) mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah; (ii) melaksanakan prinsip tanah untuk petani, supaya tanah tidak menjadi alat pemerasan; (iii) memperkuat dan memperluas hak milik atas tanah bagi setiap warga negara Indonesia. Suatu pengakuan dan perlindungan terhadap hak milik; (iv) mengakhiri sistim tuan tanah dan menghapus pemilikan dan penguasaan tanah secara besar‐besaran dengan cara menyelenggarakan batas maksimum dan batas minimum untuk tiap keluarga (Gautama, 1986). Namun menurut Zulkarnain (2004), tujuan landreform dapat dikategorikan dalam 3 (tiga) tujuan yaitu (i) ekonomis, untuk memperbaiki keadaan sosial ekonomi rakyat dengan memperkuat hak milik rakyat serta memberi fungsi sosial pada hak milik, memperbaiki produksi nasional khususnya di sektor pertanian guna mempertinggi taraf hidup rakyat; (ii) politis, mengakhiri sistem tuan tanah dan menghapuskan pemilikan tanah yang luas, mengadakan pembagian yang adil atas sumber penghidupan rakyat tani berupa tanah; (iii) psikologis, meningkatkan kegairahan kerja bagi para petani penggarap dengan jalan memberikan kepastian hak, memperbaiki hubungan kerja antara pemilik tanah dan penggarap. Berjalannya waktu, kemudian melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang dicanangkan sebagai landreform plus, yakni landreform untuk mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (reforma aset), ditambah dengan reforma akses. Dengan demikian, tujuan PPAN mencakup (i) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih adil; (ii) mengurangi kemiskinan; (iii) menciptakan lapangan kerja; (iv) memperbaiki akses rakyat kepada sumber ekonomi, terutama tanah; (v) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (vi) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; (vii) meningkatkan ketahanan pangan (Shohibuddin, 2009).
Prinsip dan Kebijakan 3 Pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam harus dilaksanakan sesuai dengan prinsip‐prinsip (pasal 4 TAP MPR IX/2001), yaitu (i) memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (ii) menghormati dan menjunjung tinggi hak asasi manusia; (iii) menghormati supremasi hukum dengan mengakomodasi keanekaragaman dalam unifikasi hukum; (iv) mensejahterakan rakyat, terutama melalui peningkatan kualitas sumberdaya manusia Indonesia; (v) mengembangkan demokrasi, kepatuhan hukum, transparansi dan optimalisasi partisipasi rakyat; (vi) mewujudkan keadilan dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam; (vii) memelihara keberlanjutan yang dapat memberi manfaat yang optimal, baik untuk generasi sekarang maupun generasi mendatang, dengan tetap memperhatikan daya tampung dan dukung lingkungan; (viii) melaksanakan fungsi sosial, kelestarian, dan fungsi ekologis sesuai dengan kondisi sosial budaya setempat; 3 Istilah reforma agraria yang secara resmi dipergunakan pemerintah pasca reformasi.
(ix) meningkatkan keterpaduan dan koordinasi antarsektor pembangunan dalam pelaksanaan pembaruan agraria dan pengelolaan sumberdaya alam; (x) mengakui dan menghormati hak masyarakat hukum adat dan keragaman budaya bangsa atas sumberdaya agraria dan sumberdaya alam; (xi) mengupayakan keseimbangan hak dan kewajiban negara, pemerintah (pusat, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat), masyarakat dan individu; (xii) melaksanakan desentralisasi berupa pembagian kewenangan di tingkat nasional, daerah provinsi, kabupaten/kota, dan desa atau yang setingkat, berkaitan dengan alokasi dan manajemen sumberdaya agraria dan sumberdaya alam. Kebijakan pembaruan agraria secara jelas tercantum dalam pasal 5 TAP MPR No. IX/MPR/2001, yaitu (i) melakukan pengkajian ulang terhadap berbagai peraturan perundang‐ undangan yang berkaitan dengan agrarian dalam rangka sinkronisasi kebijakan antarsektor demi terwujudnya peraturan perundang‐undangan yang didasarkan pada prinsip 4 sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini; (ii) melaksanakan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan tanah (landreform) (P4T) yang berkeadilan dengan memperhatikan kepemilikan tanah untuk rakyat; (iii) menyelenggarakan pendataan pertanahan melalui inventarisasi dan registrasi P4T secara komprehensif dan sistematis dalam rangka pelaksanaan landreform; (iv) menyelesaikan konflik berkenaan dengan sumberdaya agraria yang timbul selama ini sekaligus dapat mengantisipasi potensi konflik di masa datang guna menjamin terlaksananya penegakan hukum dengan didasarkan prinsip sebagaimana dimaksud Pasal 4 ketetapan ini; (v) memperkuat kelembagaan dan kewenangan dalam rangka mengemban pelaksanaan pembaharuan agraria dan menyelesaikan konflik yang berkenaan dengan sumberdaya agraria; (vi) mengupayakan dengan sungguh‐sungguh pembiayaan dalam melaksanakan program pembaharuan agraria dan penyelesaian konflik sumberdaya agraria yang terjadi.
Konsep dan Implementasi Berdasarkan amanat UUPA Nomor 5 Tahun 1960, terdapat 6 (enam) elemen pokok program Landreform, yaitu (i) pembatasan pemilikan maksimum, (ii) larangan pemilikan tanah absentee, (iii) redistribusi tanah yang melampaui batas maksimum, tanah absentee, tanah bekas swapraja dan tanah negara lainnya, (iv) pengaturan pengembalian dan penebusan tanah pertanian yang digadaikan; (v) pengaturan kembali perjanjian bagi hasil tanah pertanian, (vi) penetapan batas minimum pemilikan tanah pertanian, disertai larangan melakukan perbuatan mengakibatkan pemecahan pemilikan tanah pertanian menjadi bagian yang terlampau kecil (Supriadi, 2007). Dalam perjalanannya, program landreform ini berkembang dan akhirnya menjelma menjadi Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN) yang seringkali disebut juga sebagai landreform plus karena mempunyai 2 (dua) pilar yaitu reforma aset (landreform) dan reforma akses. Reforma aset merupakan upaya redistribusi tanah sebagaimana yang selama ini dikenal sebagai landreform, dan reforma akses 4
Pasal 4 berbunyi negara mengatur pengelolaan sumberdaya agraria dan sumberdaya alam untuk sebesar‐ besar kemakmuran rakyat
1
sebagai kegiatan pelengkap/penunjang redistribusi aset untuk memastikan terwujudnya peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan modal, pendampingan, dan penyediaan teknologi pertanian. Ciri khas dari PPAN yang membedakannya dengan program terdahulu adalah formula penguatan aset (pemberian hak) dan pembukaan akses (modal dan pasar). Kegiatan ini juga melibatkan lintas sektor. Strategi dasar PPAN yang ditetapkan oleh BPN (2007) adalah (i) penataan konsentrasi aset dan tanah terlantar melalui penataan politik dan hukum pertanahan berdasar Pancasila, UUD 1945 dan UUPA; (ii) mengalokasikan tanah yang langsung dikuasai oleh negara (obyek) untuk rakyat (subyek).
tempokini.com
Untuk itu, pelaksanaan program ini mencakup 4 (empat) lingkup kegiatan, yaitu penetapan obyek, penetapan subyek, mekanisme distribusi aset, dan pengembangan reforma akses. Penetapan obyek mencakup penyediaan tanah bagi pelaksanaan reforma agraria dari sejumlah sumber yaitu (i) tanah bekas Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai; (ii) tanah yang terkena ketentuan konversi; (iii) tanah yang diserahkan sukarela oleh pemiliknya; (iv) tanah hak yang pemegangnya melanggar ketentuan peraturan perundang‐ undangan; (v) tanah obyek landreform5 ; (vi) tanah bekas obyek landreform; (vii) tanah timbul; (viii) tanah bekas kawsan pertambangan; (ix) tanah yang dihibahkan oleh pemerintah; (x) tanah tukar menukar dari dan oleh pemerintah; (xi) tanah yang dibeli oleh pemerintah; (xii) tanah pelepasan kawasan hutan produksi konversi; (xiii) tanah bekas kawasan hutan yang pernah dilepaskan. Penetapan subyek menggunakan 3 (tiga) variabel pokok dalam menentukan kriteria yaitu (i) umum (Warga Negara Indonesia, miskin, minimal 18 tahun atau sudah menikah); (ii) khusus (bertempat tinggal atau bersedia bertempat tinggal di kecamatan letak tanahnya, kemauan tinggi mendayagunakan tanah); (iii) prioritas (tidak memiliki tanah, jumlah tanggungan keluarga, lama bertempat tinggal dan mata pencaharian). Secara umum, urutan kelompok prioritas dalam penentuan subyek penerima PPAN adalah (i) pertama, petani yang bekerja dan menetap di lokasi obyek PPAN; (ii) kedua, petani penggarap dan buruh tani yang tidak memiliki tanah pertanian; (iii) ketiga, petani yang memiliki luas tanah pertanian kurang dari 0,5 ha; (iv) keempat, petani pelaku pertanian dalam arti luas termasuk nelayan yang membutuhkan tanah guna melangsungkan kehidupannya; (kelima, penduduk miskin berdasar data BPS atau sumber lain yang dapat dipertanggungjawabkan (Shohibuddin, 2009). 5
Berdasar PP Nomor 224 Tahun 1961 Jo. PP Nomor 41 Tahun 1961 menyebutkan tanah obyek landreform adalah (i) tanah kelebihan maksimum, (ii) tanah absente, (iii) tanah swapraja dan bekas swapraja, (iv) tanah lain yang dikuasai Negara.
INDONESIA Edisi 1 - 2014
8
Secara umum, terdapat 3 (tiga) mekanisme reforma agraria berdasarkan pada kondisi/kedudukan subyek (penerima tanah redistribusi) dan obyek (tanah yang akan didistribusikan), yaitu (i) subyek dan obyek pada lokasi yang sama atau berdekatan; (ii) ketika subyek dan obyek berjauhan digunakan skema (a) subyek mendekati obyek. Skemanya mirip transmigrasi yaitu memindahkan subyek ke lokasi tanah redistribusi; (b) obyek mendekati subyek. Dikenal sebagai skema swap atau pertukaran tanah yang didasarkan pada cara konsolidasi lahan atau bahkan bank tanah. Skema ini jauh lebih rumit.
cenderung berkurang perannya dalam bidang pertanian (Herawan, 2003).Dengan demikian, kebijakan pemerintah khususnya dalam bidang pertanian perlu mempertimbangkan dampaknya terhadap pelaksanaan landreform.Salah satu contoh sejenis adalah program perkebunan berorientasi ekspor yang membutuhkan lahan yang luas.Dalam upaya memenuhi kebutuhan tanah ini, terjadi konflik antara perusahaan dengan masyarakat terkait status kepemilikan tanah.Masyarakat menjadi korban karena tidak dapat menunjukkan bukti kepemilikan tanah, walaupun pada kenyataannya tanah tersebut merupakan tanah adat.
Tahapan Pelaksanaan Pelaksanaan landreform di Indonesia dapat dibagi dalam 2 (dua) periode, yaitu periode pertama (1962‐1965) dan periode kedua (setelah 1977). Pada masa 1965‐1977, program landreform mengalami stagnasi. Secara yuridis, landreform telah dimulai sejak berlakunya PP Nomor 224 Tahun 1961, walaupun konkritnya baru pada tahun 1962.
B. Setelah Reformasi (Setelah tahun 1998) Memasuki era pemerintahan SBY, walaupun BPN telah diberi fungsi melaksanakan reforma agraria dan telah dicanangkan melalui pidato presiden tahun 2007, dan reforma agraria dijalankan secara resmi melalui Program Pembaharuan Agraria Nasional (PPAN), namun pelaksanaannya hanya terbatas pada pensertifikatan atas tanah pertanian dan tidak ada redistribusi tanah. Sepertinya kondisi ini mengulang kegagalan landreform sebelumnya ketika tidak tersedia tanah yang menjadi obyek landreform, walaupun presiden telah mendeklarasikan pengalokasian lahan seluas 9,25 juta ha. Akibatnya program PPAN tidak berbeda dengan program sebelumnya (PRONA dan LARASITA/Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah), kecuali bahwa proses sertifikasi melalui PPAN tidak dipungut bayaran. Walaupun PPAN dianggap cukup berhasil, tetapi pengamat agraria menilai program ini berjalan lamban disebabkan oleh 4 (empat) hal, yaitu (i) program ini disandarkan pada BPN, sebuah lembaga pemerintah non‐ kementerian yang dinilai 'kurang kuat' untuk menjalankan agenda besar ini; (ii) ego sektor menimbulkan hambatan birokrasi; (iii) belum tersedia paying hukum pelaksanaan program lintas sector; (iv) lemahnya dukungan masyarakat sipil akibat proses yang dianggap tertutup (KPA, 2009). Secara lebih lengkap, Rolaswati (tanpa tahun) menyimpulkan terdapat 5 (lima) hal yang menyebabkan belum optimalnya pelaksanaan reforma agraria di Indonesia, yaitu (i) pembaruan agraria pada dasarnya merupakan perubahan struktur sosial, ekonomi, dan politik masyarakat. Perubahan ini tentunya mendapat tantangan dari pihak tertentu yang merasa kepentingannya terganggu khususnya pihak yang memiliki sumber agraria berlimpah dan memperoleh keuntungan keuangan; (ii) kekuatan kapitalis global yang secara sistematis dan terencana terus menggulirkan dan mendesakkan gagasan globalisasi dan pasar bebas yang tentu saja bertentangan dengan prinsip reforma agraria; (iii) organisasi nonpemerintah masih belum mampu menjadi kekuatan pendorong perubahan; (iv) adanya sikap paranoid terhadap ide reforma agraria/landreform sebagai bagian dari ideologi komunis; (v) masih langkanya pakar agraria yang mengakibatkan proses penyadaran masyarakat menjadi terhambat. [OM, disarikan dari berbagai sumber]
Pembelajaran Indonesia Pembelajaran pelaksanaan landreform dan reforma agraria di Indonesia dapat dikategorikan dalam 2 tahapan pelaksanaan yaitu sebelum reformasi dan setelah reformasi. A. Sebelum Reformasi Pelaksanaan landreform terkendala oleh setidaknya 2 (hal) mendasar, yaitu (i) penegak hukum belum memahami sepenuhnya isu agraria, (ii) pemahaman agraria di kalangan akademisi masih terbatas pada aspek hukumnya saja, sementara agraria mencakup sosial, ekonomi, budaya, lingkungan, politik, bahkan pertahanan dan keamanan (Shohibuddin dan Salim, 2012). Walf Ladejinsky, seorang arsitek landreform di Jepang, menyampaikan 2 (dua) kritik utama terkait pelaksanaan landreform di Indonesia, yaitu (i) ketidakkonsistenan antara gagasan dan pelaksanaan. Pelaksanaan gagasan yang dipandang revolusioner terhambat oleh birokrasi yang berbelit‐belit dan data yang tidak akurat (ii) model redistribusi tidak sesuai dengan kondisi obyektif di lapangan. Misal, batasan kepemilikan minimum 2 (dua) ha tidak realistis disebabkan tidak jelas jumlah penerima dan tanah yang menjadi obyek landreform (Shohibuddin, 2012). Hal ini juga didukung oleh hasil pengamatan Herawan (2003), yang menyatakan bahwa landreform hanya berhasil dilaksanakan terhadap tanah negara sementara dari sumber tanah kelebihan maksimum dan absentee masih belum dapat dilaksanakan.Kendala utamanya adalah (i) belum tersedia data yang akurat mengenai obyek serta subyek tanah; (ii) kebanyakan pemilik tanah yang melebihi ketentuan maksimum dan tanah absente adalah para penguasa dan pengusaha yang berpengaruh. Berdasar pengalaman berhentinya program landreform antara tahun 1965‐1967, dapat disimpulkan bahwa kondisi politik juga dapat mempengaruhi pelaksanaan program sejenis landreform. Apalagi dengan adanya stigma landreform adalah produk negara komunis. Pada saat pemerintah sedang gencar melaksanakan revolusi hijau sebagai upaya swasembada beras, ternyata membawa konsekuensi akumulasi penguasaan tanah pada golongan petani tertentu, bahkan bagi petani kecil
9
INDONESIA Edisi 1 - 2014
FOKUS Pembelajaran Reforma Agraria: Berkaca dari Mancanegara
dengan harga 2,5 kali hasil panen setahun, dibayar secara angsuran selama 10 tahun dengan besarnya angsuran 37,3% dari hasil setiap panen setahun. Sebagai ketentuan tambahan, petani diberi hak milik atas tanah sejak angsuran pertama, dan tidak dibenarkan menjual tanah sampai tanahnya lunas.
Dalam konteks peningkatan produktivitas dan peningkatan kesejahteraan rakyat, dapat dikatakan hampir semua negara industri maju telah melakukan reforma agraria sebelum melaksanakan industrialisasinya. Pengalaman pelaksanaan reforma agraria di sejumlah negara Asia (seperti: Taiwan, Jepang, Korea Selatan, dan Cina), Afrika dan Amerika Latin, seperti yang diungkapkan oleh Lin (1974) menunjukkan setidaknya ada 10 (sepuluh) aspek utama yang perlu diurus kelengkapannya oleh penyelenggara negara bila reforma agraria mau berhasil, yakni: (i) Mandat Konstitusional, (ii) Hukum Agraria dan Penegakannya, (iii) Organisasi Pelaksana, (iv) Sistem Administrasi Agraria, (v) Pengadilan, (vi) Desain Rencana dan Evaluasi, (vii) Pendidikan dan Latihan, (viii) Pembiayaan, (ix) Pemerintahan Lokal, dan (x) Partisipasi Organisasi Petani (Lin (ed.), 1974).
Hasilnya menunjukkan perubahan mendasar, yaitu sebanyak 195 ribu KK penyewa membeli 140 ribu ha tanah yang dibeli pemerintah secara paksa dari tuan tanah. Pemilik tanah pertanian meningkat dari 61% menjadi 86%, sedangkan penyewa menurun drastis dari 39% menjadi hanya 14% (Sudiyat, 1982). Hasil lainnya, produksi padi meningkat tajam dari 1,1 juta ton (1949) menjadi 2,4 juta ton (1964).
Salah satu negara yang dianggap maju dalam pelaksanaan landreform adalah Taiwan. Programnya dimulai tahun 1949, dan hasilnya menjadikan Taiwan merupakan negara yang hampir semua penggarap memiliki tanah dan semua petani merupakan produsen mandiri. Landreform di Taiwan dilaksanakan melalui pengurangan bea sewa, penjualan tanah garapan negara dan program tanah untuk penggarap (Sudiyat, 1982). Pada awalnya di Taiwan berlaku sewa tanah pertanian yang tinggi mencapai 50% dari hasil panen setahun, yang tentunya merugikan bagi petani penggarap. Pemerintah kemudian mengeluarkan Undang‐Undang Pengurangan Sewa Tanah yang membatasi sewa tanah menjadi maksimal 37,3% saja. Bentuk perjanjian sewa‐menyewa diharuskan tertulis, dan dalam jangka waktu minimal 6 (enam) tahun dan harus dilanjutkan jika penggarap tidak wanprestasi. Hal ini mendorong petani penggarap lebih bersemangat lagi, dan mempunyai kesempatan menabung untuk membeli rumah, dan tanah sendiri. Ini langkah awal landreform di Taiwan. Skema lainnya adalah penjualan tanah garapan negara yang sering disebut sebagai fase kedua pelaksanaan landreform. Pemerintah menyewakan tanah kepada petani dengan biaya sewa 25% dari hasil panen setahun. Kemudian pemerintah mulai menjual tanah tersebut kepada penyewa, dengan harga pembelian 2,5 kali dari seluruh hasil panen setahun dengan membayar secara angsuran selama 10 tahun. Selanjutnya, skema ketiga berupa program tanah untuk penggarap yang dimulai pada tahun 1953 dengan ditetapkannya Undang‐Undang Tanah untuk Penggarap. UU ini menetapkan maksimum pemilikan/penguasaan tanah pertanian adalah 3 (tiga) hektar. Tanah garapan yang melebihi luasan tersebut dibeli paksa oleh pemerintah dan dijual kembali kepada petani
1
Secara khusus, faktor yang mendukung keberhasilan landreform di Taiwan adalah (i) adanya penelitian yang cermat yang berujung pada ketersediaan data yang valid, (ii) penyuluhan yang berkualitas dan teratur; (iii) pengukuran pendaftaran tanah yang teliti, (iv) pengembangan sarana perkreditan yang mudah diakses; (v) dukungan regulasi yang jelas dan harmonis; dan (vi) partisipasi aktif masyarakat termasuk lembaga non pemerintah. Namun yang terpenting adalah ketetapan hati pemerintah dalam melaksanakan program ini. Pembelajaran lain dari Korea Selatan dalam hal menghindari spekulasi tanah. Langkah yang dilakukan Korea Selatan berupa penerapan Comprehensive land holding tax (CLHT), yaitu penerapan pajak tinggi terhadap setiap kelebihan dari luasan minimum tanah pertanian, dan land value increment tax (LVIT), yaitu penerapan pajak tinggi terhadap tanah tidak termanfaatkan, serta tanah pertanian yang dikerjakan oleh bukan petani. Kebijakan ini diterapkan pada tahun 1989‐1990 (Herawan, 2003). Pengalaman beberapa Negara latin menunjukkan bahwa reforma agraria harus (Lindquist, 1979) (i) bermakna sebagai suatu transfer kekuasaan; (ii) pengembalian tanah rakyat yang dirampas; (iii) pembagian tanah secara merata; (iv) mengarah pada pengelolaan tanah yang lebih baik; (v) meningkatkan kesejahteraan petani; (vi) meningkatkan produksi pertanian; (viii) menciptakan lapangan kerja; (ix) mempercepat pembentukan modal, investasi, dan teknologi (inovasi bidang pertanian); (x) menciptakan dukungan politik bagi partai politik pro reforma agraria; (xi) menjungkirbalikkan masyarakat kapitalis; (xii) memungkinkan dilakukan di masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa kunci keberhasilan reforma agraria adalah (i) komitmen kuat dari pemerintah dan pimpinan tertinggi Negara; (ii) tersedianya data dan informasi yang lengkap; (iii) didukung parlemen; (iv) partisipasi semua pemangku kepentingan; (v) dipersiapkan secara matang dan dilaksanakan secara konsisten dan bertahap (Mulyani ed., 2011). Sebagian besar materi disarikan dari disertasi Herawan berjudul Kajian atas Landreform dalam rangka Pembangunan Hukum Ekonomi Indonesia. Program Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara, Medan, 2003
INDONESIA Edisi 1 - 2014
10
FOKUS Sejarah Pelaksanaan Reforma Agraria di Indonesia dari Masa ke Masa Era Pemerintahan Presiden Soekarno Pasca kemerdekaan di era Presiden Soekarno, Landreform di Indonesia di atur dalam UU No.5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐pokok Agraria (UUPA), dan merupakan salah satu tonggak utama pelaksanaannya di Indonesia. Terdapat lima program atau “panca program” yang harus dilaksanakan dalam UU tersebut, yaitu: 1. Pembaharuan Hukum Agraria, melalui unifikasi hukum yang berkonsepsi nasional dan pemberian jaminan kepastian hukum; 2. Penghapusan terhadap segala macam hak‐hak asing dan konsesi‐konsesi kolonial atas tanah; 3. Mengakhiri penghisapan feodal secara berangsur‐angsur; 4. Perombakan mengenai pemilikan dan penguasaan tanah serta berbagai hubungan‐hubungan hukum yang berkaitan dengan pengusahaan atas tanah dalam mewujudkan pemerataan kemakmuran dan keadilan; 5. Perencanaan persediaan, peruntukan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya serta penggunaannya secara terencana sesuai dengan daya dukung dan kemampuannya.
suara‐tani.blogspot.sg
Pada program pertama, pembaruan hukum agraria dilatarbelakangi oleh praktik pelaksanaan hukum agraria yang kala itu masih bersifat pluralisme, dengan berlaku lebih dari satu hukum, yaitu tidak hanya hukum nasional (berdasarkan pada UU Hukum Perdata) namun juga aturan hukum yang berdasarkan pada adat istiadat. Dari kondisi tersebut,
INDONESIA
11 Edisi 1 - 2014
ditemukan “karakteristik” hukum agraria yang khas Indonesia, yang didasarkan pada hukum adat yang berlaku di masyarakat Indonesia dan menjadi tujuan ideal agraria di indonesia, sehingga dalam mencapai tujuan ideal tersebut didukung pula UU No.2 Tahun 1960 tentang Perjanjian Bagi Hasil, dan di tahun 1958 dikeluarkan UU No. 1 Tahun 1958 tentang Penghapusan Tanah Partikelir. Selain itu, UU No. 56/PRP/1960 tentang Landreform, juga mengatur setidaknya 3 hal penting yang mendukung perubahan mendasar dibidang keagrariaan, yaitu Penetapan luas minimal dan maksimal tanah pertanian yang boleh dimiliki/dikuasai oleh seorang WNI atau satu keluarga WNI; status tanah pertanian yang berada dalam ikatan gadai pada waktu diundangkannya UU No. 56/PRP/1960; dan peralihan hak milik atas tanah pertanian. (Sumarningsih, 2006) Selama keberjalanan Landreform di era pemerintahan Presiden Soekarno yang dilaksanakan pada tahun 1961‐1965, ada beberapa hal yang menghambat pelaksanaan Landreform, (Wiradi, 2002. dan Sumarningsih, 2006) yaitu sistem administrasi pertanahan yang belum siap dan belum sempurna untuk diterapkan; banyaknya resistensi terhadap pelaksanaan landreform; kapasitas SDM dari panitia pelaksana yang tidak berkomitmen penuh untuk kesuksesan program; kelompok tani atau organisasi tani di daerah yang berperan kurang optimal; faktor psikologis dan ekonomi dari “tuan tanah” kepada buruh tani; dan penerima manfaat redistribusi tanah tidak mampu mengelola tanahnya sehingga menjadi tanah terlantar. Menurut pengamatan Olle Tornquist (2011), terdapat beberapa persoalan mendasar dari pelaksanaan Landreform di Pemerintahan Soekarno, yaitu: 1. Panitia pelaksana reformasi tanah bersifat top‐down, sehingga tidak dapat memahami realitas penguasaan tanah di daerah pedalaman seperti di Jawa, Madura, Bali dan Lombok; 2. Daftar pemilikan tanah (administrasi kepemilikan tanah) yang tidak memadai paska kemerdekaan, diantaranya dikarenakan banyak rakyat di era kolonialisme berupaya untuk tidak mendaftarkan tanahnya menghindari pajak tanah yang sangat besar; sementara paska kemerdekaan, pemerintah belum pernah melakukan pemetaan dan administrasi ulang kepemilikan tanah‐tanah masyarakat, kecuali tanah‐tanah milik negara yang disewakan kepada perusahaan swasta atau tanah‐tanah partikulir milik warga negara asing; 3. Terjadinya perbedaan estimasi data tanah‐tanah kelebihan milik tuan tanah yang sedianya akan dibagikan atau diredistribusikan kepada petani penggarap tak bertanah, karena banyak terjadi penyelundupan kepemilikan tanah kepada famili jauh para tuan tanah, atau dengan dalih telah dihibahkan kepada lembaga keagamaan dan lainnya.
Era Pemerintahan Orde Baru Kebijakan‐kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Soeharto pada masa Orde Baru, terkait pengelolaan sumber daya alam, lebih bersifat sektoral dan monopolistik. Hal ini terwujud dalam program transmigrasi dan Perkebunan Inti Rakyat (PIR BUN). Program transmigrasi dibentuk karena masalah kepadatan penduduk di pulau Jawa semakin mengemuka, sehingga diperlukan suatu kebijakan untuk mengurangi tekanan penduduk di pulau Jawa. Dasar hukum program transmigrasi di Indonesia adalah UU No. 3 Tahun 1972 tentang Ketentuan Pokok Transmigrasi, yang didalamnya disebutkan bahwa setiap keluarga transmigran memperoleh minimal 2 (dua) hektar tanah pertanian. Meski dalam undang‐undang tidak terdapat pasal yang menjelaskan kegiatan Landreform, namun program transmigrasi diarahkan sebagai pengganti dari pelaksanaan Landreform. Hal ini secara eksplisit terlihat dari bentuk kegiatan berupa pendistribusian 2 (dua) hektar tanah per Kepala Keluarga (KK), yang diikuti dengan skema kredit‐kredit lainnya. Penjelasan tersebut sesuai dengan kegiatan Landreform yang tersurat dalam UUPA No. 56 Tahun 1960.
Program berikutnya berupa PRONA, merupakan program nasional yang dilaksanakan pemerintah Soeharto pada tahun 1981‐1982. Hal ini menandai pula perubahan pola kegiatan yang dilakukan instansi bidang pertanahan di Indonesia, yaitu BPN, menjadi semata berfungsi untuk mengurus tertib administrasi pertanahan. Meskipun demikian, keterbatasan institusional juga tidak membuat PRONA menjadi sebuah langkah masif proses sertifikasi karena hingga berakhirnya program (yang tidak terlalu jelas) digantikan menjadi Proyek Adjudikasi Pertanahan yang memiliki tujuan dan mekanisme yang sama.
Era Reformasi Program keagrariaan yang dimulai pada tahun 1997 ini, diwujudkan dengan dibentuknya Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Peraturan Menteri Agraria, serta Kepala BPN No. 3 Tahun 1997 sebagai teknis pelaksanaan Proyek Administrasi Pertanahan (PAP). Proyek tersebut berupa sertifikasi dan penertiban administrasi pertanahan yang dijalankan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Proyek ini direncanakan selama 25 tahun, dengan target pensertipikatan 77 juta bidang tanah (Soehendra, 2010). Lalu dikembangkan pula program pengembangan kebijakan dan manajemen pertanahan yang mencakup kegiatan pengembangan kebijakan pertanahan, peningkatan kapasitas kelembagaan, percepatan pendaftaran tanah, pengembangan sistem informasi pertanahan dan peningkatan kapasitas pemerintah daerah dalam pelaksanaan manajemen pertanahan, yang dikenal sebagai Land Management and Policy Development (LMPDP). Instansi pelaksana program ini adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN), Kementerian Dalam Negeri (dahulu Departemen Dalam Negeri) dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas).
asiapacific.anu.edu.au
Salah satu bentuk kegiatan pemberdayaan masyarakat adalah Perkebunan Inti‐Rakyat (PIR) yang merupakan program pemberdayaan melalui kerjasama rakyat pemilik tanah dengan perusahaan. Inti dari konsep program ini adalah pola pelaksanaan pengembangan perkebunan dengan menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing perkebunan rakyat di sekitarnya sebagai plasma dalam suatu sistem kerjasama yang saling menguntungkan, utuh, dan berkesinambungan. Proyek PIR‐TRANS ini merupakan suatu paket pengembangan wilayah yang utuh yang terdiri dari komponen utama dan komponen penunjang. Komponen utama merupakan komponen yang terdiri dari: pembangunan perkebunan inti, pembangunan kebun plasma, pembangunan pemukiman yang terdiri dari tanah pekarangan dan perumahan. Sedangkan komponen penunjang merupakan komponen yang meliputi pembangunan prasarana umum.
1
disnak.jabarprov.go.id
Selanjutnya pada Pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, dibentuk Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) yang merupakan bagian dari visi dan misi Presiden dengan instansi pelaksana yang ditunjuk adalah Badan Pertanahan Nasional (BPN). Program tersebut kemudian dirumuskan menjadi Program Strategis Badan Pertanahan Nasional, yaitu (i) Percepatan, Ketepatan, Kemudahan, Transparansi, dan Akuntabilitas Legalisasi Aset Tanah Masyarakat dan Pemerintah; (ii) Reforma Agraria; (iii) Penertiban Tanah Terlantar; (iv) Penyelesaian Masalah Pertanahan, dan (v) Layanan Rakyat untuk Sertifikat Tanah (LARASITA) untuk memberikan keadilan akses pertanahan bagi masyarakat.
INDONESIA Edisi 1 - 2014
12
Dalam keberjalanannya, Kepala BPN RI periode 2004‐2009, Joyo Winoto, mengusung konsepsi pro‐poor agrarian reform sebagai upaya bersama pemerintah dan kekuatan‐kekuatan sosial masyarakat untuk menata kembali distribusi penguasaan tanah yang timpang, dengan bertumpu pada adanya organisasi‐organisasi rakyat miskin pedesaan yang otonom; digalangnya koalisi politik yang luas dan pro‐reforma agraria; disalurkannya investasi publik, kredit pemerintah, dan asistensi teknis yang besar; dan dijalankannya strategi pembangunan pro‐poor yang berorientasi pertumbuhan dengan pemerataan (growth with equity). Pada Tahun 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengarahkan pelaksanaan Reforma Agraria dilakukan secara bertahap, dengan tujuan reforma agraria yang dirumuskan adalah (i) menata kembali ketimpangan struktur penguasaan dan penggunaan tanah kearah yang lebih adil; (ii) mengurangi kemiskinan; (iii) menciptakan lapangan kerja; (iv) memperbaiki akses rakyat kepada sumber‐sumber ekonomi, terutama tanah; (v) mengurangi sengketa dan konflik pertanahan; (vi) memperbaiki dan menjaga kualitas lingkungan hidup; dan (vii) meningkatkan ketahanan pangan. Dalam mekanisme penyelenggaraan reforma agraria, melingkupi empat kegiatan utama (Shohibuddin dkk 2007; Winoto 2008), yakni penetapan objek, penetapan subjek, sistem mekanisme dan delivery system, dan pengembangan reforma akses. Model dan Mekanisne PPAN Access Reform
Obyek
Infrastruktur dan Sarana Produksi
Penetapan Obyek PPAN
Model II (S O)
Model III (O S)
Model I (O S)
Pembinaan dan Bimbingan Teknis Permodalan
Penetapan Subyek PPAN
Distribusi dan Pemasaran
Subyek
Dukungan Lainnya
Sumber: BPN 2007; Shohibuddin et al 2007; Winoto 2008
Gambar Alur Penetapan Obyek, Penetapan Subyek, Mekanisme dan Delivery System Aset Tanah, dan Penyediaan Akses
Pada kegiatan penetapan objek Reforma Agraria, tanah objek yang dimaksud merupakan tanah negara dari berbagai sumber yang menurut peraturan perundang‐undangan dapat didistribusikan ke masyarakat, dan dalam pengalokasiannya mempertimbangkan karakteristik sebaran penduduk berdasarkan wilayah kepadatan penduduk. Lalu pada penetapan subjek Reforma Agraria (penerima manfaat), secara prinsip dialokasikan untuk rakyat miskin, dengan kriteria yang disusun dan pertimbangan standar kemiskinan.
Berusia minimal 18 tahun atau sudah menikah
Warga Negara Indonesia
Bertempat tinggal atau bersedia tinggal di kecamatan letak tanahnya
Kemaauan yang tinggi untuk mendayagunakan tanah
Memiliki aset yang bernilai < 15 juta rupiah
URUTAN PRIORITAS a. Tidak memiliki tanah (landless). b. Jumlah tanggungan keluarga. c. Lamanya bertempat tinggal d. Mata pencaharian e. Pendidikan
Miskin
Pembobotan
Sumber: BPN 2007; Shohibuddin et al 2007; Winoto 2008
INDONESIA
13 Edisi 1 - 2014
Gambar Alur Seleksi Calon Penerima Manfaat
FOKUS Penyusunan penerima manfaat akan didasarkan pada pendekatan hak‐hak dasar rakyat (basic rights approach) yang merupakan hak yang universal dan dijamin oleh konstitusi. Dari sini diperoleh tiga variabel pokok dalam menentukan kriteria, yaitu kependudukan, sosial‐ekonomi, dan penguasaan tanah (Winoto 2007). Dari ketiga variabel ini ditetapkan kriteria umum, kriteria khusus dan urutan prioritas.
Penduduk Setempat 1 2 3 4
Buruh Tani Petani Gurem
5 Petani 6 Penduduk Miskin Subjek Lain
Kelompok Prioritas 1: Kelompok Prioritas 2 yang menetap dan bekerja di lokasi obyek PPAN Kelompok Prioritas 2: Kelompok Prioritas 4 yang berstatus petani penggarap dan buruh tani yang tidak memiliki tanah pertanian Kelompok Prioritas 3: Kelompok Prioritas 4 yang memiliki luas tanah pertanian pangan kurang dari 0,5 ha Kelompok Prioritas 4: Kelompok Prioritas 5 yang juga pelaku pertanian dalam arti luas termasuk nelayan yang membutuhkan tanah guna melangsungkan kehidupannya Kelompok Prioritas 5: dapat mengacu data penduduk miskin BPS atau informasi lain yang dapat dipertanggungjawabkan
Secara garis besar mekanisme dan delivery system reforma agraria ini dikelompokkan menjadi tiga model dasar, yaitu: ‐ Model I: mendekatkan obyek ke tempat subyek. Dalam model ini, tanah dari daerah surplus tanah atau tidak padat penduduk didekatkan ke daerah minus tanah, padat penduduknya dan dekat dengan penerima manfaat. ‐ Model II: mendekatkan subyek ke tempat letak obyek. Dalam model ini calon penerima manfaat (subyek) berpindah secara sukarela (voluntary) ke lokasi tanah yang tersedia. ‐ Model III: subyek dan obyek di satu lokasi yang sama. Model ini berlaku untuk keadaan di mana subyek dan obyek berada di lokasi yang sama. Setelah subjek reforma agraria memperoleh tanah, maka perlu kepastian keberlanjutan manfaat yang diterima berupa pengembangan reforma akses. Reforma akses ini dilakukan guna mengoptimalkan tanah agar oleh penerima manfaat (subyek reforma agraria) dapat mengolah dan memanfaatkan tanah pengusahaan obyek reforma agraria. Reforma akses ini merupakan rangkaian aktivitas yang saling terkait dan berkesinambungan. Bentuk kegiatan reforma akses bisa meliputi (i) penyediaan infrastruktur dan sarana produksi; (ii) pembinaan dan bimbingan teknis kepada penerima manfaat; (iii) dukungan permodalan; (iv) dukungan distribusi pemasaran serta dukungan lainnya. Dalam rangka pengembangan reforma akses, penerima manfaat dapat memilih alternatif untuk mengelola tanah secara perorangan atau membentuk usaha bersama ataupun kelompok tani. Selanjutnya kelompok tani tersebut, bersama dengan Pemerintah Daerah/BUMD dan badan usaha lain/penanam modal, dapat membentuk badan usaha patungan misalnya di bidang perkebunan, yang tentunya dukungan dari Bank atau lembaga keuangan lain. Selain model di atas, petani penerima manfaat juga dapat memilih opsi lain yaitu membentuk sebuah badan usaha milik petani (BUMP) yang pembentukannya difasilitasi oleh Pemerintah/ Pemerintah Daerah guna mengoptimalkan pengusahaan tanahnya. [RZ]
Kelompok Prioritas 6: Subyek lain yang kegiatannya diperlukan dan berkaitan langsung untuk menunjang keberhasilan PPAN Sumber: BPN 2007; Shohibuddin et al 2007; Winoto 2008
Gambar Urutan Kelompok Prioritas dalam Penentuan Subyek Penerima
Tahap selanjutnya adalah bagaimanakah mekanisme dan delivery system Reforma Agraria dilakukan, sehingga dapat tersampaikan secara tepat. Persoalan ini penting terutama jika dihadapkan pada kondisi di mana subyek agraria ternyata tidak berada dalam satu lokasi dengan tanah yang tersedia (obyek reforma agraria). Pada tahap kegiatan ini, BPN mengembangkan model‐model alternatif berdasarkan posisi obyek dan subyek reforma agraria. ews.kemendag.go.id
1
INDONESIA Edisi 1 - 2014
14
RANCANGAN KEBIJAKAN Roadmap Penyusunan Kebijakan Reforma Agraria di Indonesia Redistribusi tanah (land reform) merupakan salah satu bagian dari agrarian reform, atau yang sering disebut dengan reforma agraria. Berdasarkan TAP MPR No. IX/MPR/2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, Reforma Agraria dinyatakan sebagai pembaruan agraria yang mencakup suatu proses berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan sumber daya agraria, yang dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian dan perlindungan hukum serta keadilan dan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia. Reforma Agraria melalui Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) telah menjadi komitmen Pemerintah dalam upaya memperbaiki permasalahan utama pada ketimpangan Penguasaan, Pemilikan, Penggunaan dan Pemanfaatan Tanah (P4T). Salah satu tantangan pelaksanaan redistribusi tanah sebagai bagian Program Pembaruan Agraria Nasional (PPAN) adalah belum tersedianya kerangka waktu pelaksanaan. Pengalaman beberapa negara dalam melaksanakan reforma agraria, misalnya di Filipina yang membutuhkan waktu 14 tahun dalam upaya redistribusi tanpa pengembangan teknologi dan tanpa penyelesaian konflik skala besar dan 8 tahun selanjutnya berupa penerapan teknologi usaha tani untuk pertanian lahan sawah. Sedangkan di Brasil, membutuhkan waktu 8 tahun untuk melakukan redistribusi tanah yang dampaknya menyelesaikan konflik agrobisnis dengan keluarga petani, kompensasi sosial serta distribusi kekayaan. Sebagai gambaran pengalaman negara‐negara lain, Filipina berhasil melakukan redistribusi seluas 5,96 juta Ha, Thailand telah melakukan redistribusi tanah seluas 6,22 juta Ha, dan Brasil telah menyelesaikan sengketa dan konflik pertanahan skala besar dan redistribusi tanah seluas 85,8 juta Ha. Mengingat kebutuhan Indonesia untuk menyelesaikan konflik skala besar dan mengakomodasi pengembangan teknologi pertanian dan pangan, maka diusulkan redistribusi tanah dilaksanakan dalam kurun waktu sepuluh tahun secara bertahap. Reforma Agraria secara ideal terdiri dari redistribusi tanah (Asset Reform) dan Reforma Akses (Access Reform). Penyediaan input sumber daya pendamping bagi penerima program redistribusi tanah atau populer yang disebut Reforma Akses, merupakan upaya mengeluarkan penduduk miskin dari “jebakan kemiskinan” (poverty trap), karena dalam pelaksanaan kebijakan redistribusi tanah banyak terjadi penyimpangan berupa pengalihan hak atas tanah yang telah diserahkan. Pemerintah perlu melengkapi pemberian bidang tanah dengan sumber daya lain yang dibutuhkan oleh penduduk miskin penerima untuk
dapat mengolah dan memanfaatkan tanah redistribusi. Dengan demikian, sumber daya pelengkap yang diperlukan ini dianggap akses menuju tingkat kesejahteraan yang lebih baik atau disebut sebagai kebijakan Reforma Akses (Access Reform). Berikut penjelasan rincian tahapan pelaksanaan penyusunan kebijakan reforma agraria di Indonesia. Persiapan Uji Coba Redistribusi Tanah (Asset Reform) dan Reforma Akses (Acces Reform) Pelaksanaan uji coba dilaksanakan untuk menjadi masukan penyusunan pedoman Reforma Agraria. Penyusunan pedoman, terdiri dari tiga tahapan pelaksanaan dalam kegiatan Uji Coba, yaitu identifikasi potensi rinci, luas dan lokasi tanah yang menjadi sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA), mengidentifikasi penerima redistribusi tanah (subyek), mengidentifikasi program dan kegiatan pemberdayaan masyarakat yang dilakukan oleh K/L dan pemda yang dapat dijadikan reforma akses (access reform). Dari gambaran jumlah dan luasan tanah obyek TORA, dapat diidentifikasi kerangka waktu rencana pelaksanaan reforma agraria di Indonesia. Pengembangan teknologi pertanian dan pangan juga harus sudah dimulai yang dalam pelaksanaannya dapat bekerja sama dengan instansi Pemerintah terkait, juga dengan dunia usaha. Koordinasi antara lokasi aset (bidang tanah) dengan penerima program redistribusi tanah (Reforma Akses) Tahap koordinasi aset dengan penerima program (Reforma Akses), dilakukan dengan menggunakan dua skema, yaitu skema pertama yaitu akses mengikuti aset dan skema kedua adalah aset mengikuti akses. Pada skema pertama, Kantor Wilayah BPN bersama Bappeda Provinsi, mengoordinasikan kriteria kesesuaian kegiatan pemberdayaan K/L‐Pemda pada lokasi legalisasi yang telah dilakukan BPN. Sedangkan skema kedua, Kantor Pertanahan BPN melakukan sertifikasi pada lahan penerima Pemberdayaan K/L‐Pemda. Secara keseluruhan, pada tahap ini merupakan upaya untuk mengeluarkan penduduk miskin dari “jebakan kemiskinan” dengan penyediaan input sumber daya pendamping bagi penerima program redistribusi tanah (Reforma Akses), sehingga dalam pelaksanaan redistribusi tanah tidak akan ditemui kembali upaya penyimpangan berupa pengalihan hak atas tanah yang telah diberikan. Pengembangan Teknologi Pertanian dan Jasa Keuangan Mikro Pengembangan teknologi pertanian dan pangan, dilaksanakan setelah pelaksanaan koordinasi lokasi, karena saat lahan pertanian telah mendapat jaminan status tanah (telah disertipikasi) dan saat kegiatan pertanian mulai dilakukan pada bidang tanah yang telah disertipikasi, diharapkan masyarakat penerima manfaat telah dapat memergunakan teknologi pertanian pangan tersebut untuk meningkatkan produksi pertanian baik secara kualitas maupun kuantitas. Bantuan pada tahap pengembangan teknologi pangan, bisa dalam bentuk (i)
frewaremini.com
INDONESIA
15 Edisi 1 - 2014
2019 2018 2017 Pelaksanaan Reforma Agraria
2016 2015
Pembentukan Peraturan Menteri tentang Pedoman Pelaksanaan Reforma Agraria *) Pelaksanaan Pilot Project dalam rangka penyusunan pedoman Reforma Agraria *) - Pengembangan Teknologi Pertanian - Interkoneksi UKM dengan Industri - Jasa Keuangan Mikro Finalisasi Pedoman Pelaksanaan Reforma Agraria, dan pembentukan (ii) Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria (i)
2014
2013
Pelaksanaan Pilot Project dalam rangka penyusunan pedoman Reforma Agraria: Koordinasi Lokasi Pelaksanaan Pilot Project untuk mendukung Penyusunan Draft Pedoman Reforma Agraria
penyediaan bibit unggul (termasuk bibit ternak) dan atau pupuk; (ii) penyediaan teknologi dan atau alat produksi; dan (iii) pelatihan‐pelatihan. Selain itu, untuk meningkatkan permodalan bagi para petani penerima redistribusi tanah, perlu diberdayakan melalui kegiatan dana bergulir dan atau koperasi simpan pinjam. Institusi keuangan mikro merupakan penyedia layanan keuangan yang cocok untuk membantu akses penerima redistribusi tanah kepada jasa perbankan. Pembangunan interkoneksi antara Usaha Kecil Menengah (UKM) dengan Industri Secara akademis sebenarnya pembangunan interkoneksi usaha merupakan bagian dari bantuan pemasaran dan pengembangan pasar baru, namun dalam pelaksanaannya seringkali tidak mendapat cukup perhatian dan dilakukan dengan seadanya. Untuk itu, diusulkan pembangunan interkoneksi menjadi sub‐kebijakan tersendiri. Upaya pembangunan interkoneksi membutuhkan koordinasi yang kuat, yang dapat diterima oleh seluruh pemangku kepentingan terkait, meliputi berbagai instansi pemerintah terkait, badan usaha swasta, dan petani miskin atau Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Sumber daya pelengkap dalam tahap pembangunan interkoneksi usaha, meliputi (i) pinjaman uang sebagai modal usaha kecil/menengah; (ii) bantuan pemasaran, termasuk pengembangan pasar baru; Tujuan utama dari pembangunan interkoneksi ini adalah membangun apa yang dikenal sebagai sistem inovasi (innovation system), atau di beberapa negara juga dikenal sebagai kebijakan teknologi (technology policy), dalam skala kecil yang dikhususkan bagi petani miskin penerima redistribusi tanah. Dalam sistem inovasi, selain hubungan timbal balik antara pasar‐produksi‐ lembaga penelitian dan pengembangan, masukan dari pasar atas permintaan spesifikasi tertentu atas barang produk dan atau inovasi produk juga amat penting dan strategis. Finalisasi Pedoman Reforma Agraria Uji Coba Reforma Agraria, yang terdiri dari tahapan koordinasi lokasi redistribusi tanah dengan reforma akses, pengembangan teknologi pangan dengan microfinance,
1
pembangunan interkoneksi UKM dengan Industri, seluruh tahapan tersebut telah dijalankan. Selanjutnya masuk pada penyusunana finalisasi pedoman reforma agraria yang dilakukan dengan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam setiap tahapan pelaksanaan reforma agraria. Selanjutnya pedoman reforma agraria akan disosialisasikan kepada seluruh provinsi agar pelaksanaan reforma agraria dapat dilakukan secara nasional. Pelaksanaan reforma agraria secara ideal diharapkan dapat serentak dilaksanakan pada tahun berikutnya dalam kurun waktu 5 Tahun, sesuai dengan kerangka waktu pelaksanaan reforma agraria yang telah disepakati sebelumnya. Sebagai catatan, perlu dipahami bahwa program Reforma Agraria akan diskenariokan berlangsung hanya 5 tahun. Hal ini perlu diinformasikan ke publik. Reforma Agraria, khususnya reforma aset jika tidak dihentikan justru akan menjadi tidak adil bagi masyarakat golongan menengah ke atas karena aktivitas ekonominya tidak dapat berjalan dengan optimal. Penyusunan dan Pengesahan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria Finalisasi pedoman Reforma Agraria telah disepakati bersama, maka langkah selanjutnya adalah proses penyusunan dan pengesahan Peraturan Presiden tentang Reforma Agraria, yang didalamnya memuat waktu simulasinya pelaksanaan Reforma Agraria, dengan tahapan‐tahapan yang telah dirumuskan dari hasil uji coba termasuk memuat peran serta lembaga yang terlibat dalam Reforma Agraria. Penyusunan Peraturan Presiden ini sesuai dengan program Quick Wins pemerintah untuk dilaksanakan di tahun 2015, dengan arahan mengeluarkan Peraturan Presiden tentang dimulainya program Reforma Agraria dan kerangka waktu pelaksanaan serta tahapan program landreform. Pengajuan Pedoman Reforma Agraria menjadi Peraturan Menteri Pada tahun 2016, pedoman Reforma Agraria akan disusun untuk menjadi Peraturan Menteri tentang Pedoman Pelaksanaan Reforma Agraria. Selama proses penyusunan menjadi Peraturan Menteri, pelaksanaan Reforma Agraria secara nasional bisa tetap dilaksanakan sebagai ajang pembelajaran dan evaluasi terhadap pelaksanaan reforma agraria, dan ditetapkan didalamnya bahwa dilaksanakan sesuai skenario yang direncanakan hingga tahun 2019. [RZ]
INDONESIA Edisi 1 - 2014
16
AGENDA
Hari Agraria Nasional Hari Agraria atau dikenal juga Hari Tani Nasional, ditetapkan pada tanggal 24 September, penetapan tersebut didasarkan pada hari kelahiran Undang‐undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok‐pokok Agraria atau UUPA. Penetapan Hari Tani Nasional ditetapkan berdasarkan keputusan Presiden No. 169 Tahun 1963, yang disahkan oleh Presiden Soekarno pada 26 Agustus tahun 1963. Keterkaitan antara UUPA dengan hari agraria terutama adanya ketetapan hukum bagi pelaksanaan redistribusi tanah pertanian (reforma agraria) dalam UUPA. Pembentukan hari Tani merupakan bentuk komitmen dari Presiden Soekarno, yang merupakan satu bagian mutlak dari revolusi Indonesia dalam menciptakan pemerataan struktur penguasaan tanah yang mengangkat kesejahteraan kaum tani Indonesia dari struktur agraria warisan feodalisme dan kolonialisme yang menyengsarakan kaum tani Indonesia. Namun perjalanan hari agraria dalam beberapa tahun terakhir, selalu diwarnai gelombang protes dari kalangan masyarakat petani, mereka mengharapkan kebijakan pemerintah selama ini dalam menjalankan amanat dalam UUPA belum ada implementasi yang jelas, salah satunya adalah pada tatanan struktur agraria yang dirasakan masih timpang dan belum berkeadilan bagi rakyat indonesia terutama kelompok petani. Dilain pihak, Badan Pertanahan Nasional yang menjadi representasi pemerintah dalam mengurusi bidang pertanahan ini, pada beberapa tahun kebelakang dalam merayakan hari Agraria atau hari Tani selalu membawa tema yang mengharapkan penyelesaian pertanahan dan penataan struktur agraria diselesaikan berdasarkan amanat UUPA, serta peningkatan pelayanan terhadap masyarakat. Pada tahun 2014 ini, peringatan hari Agraria mengangkat tema “Satu yang tidak Terpisah‐pisahkan”. Berdasarkan tema tersebut, ditegaskan bahwa BPN baik yang berada di pusat maupun di daerah‐ daerah merupakan suatu kesatuan yang tidak dibatasi oleh ruang, tugas, dan fungsi masing‐masing, serta bergerak bersama dalam memberikan pelayanan secara Cepat, Murah, Sederhana, Pasti dan anti KKN. Hal tersebut terimplementasi dalam inovasi baru dalam pelayanan, yaitu Pelayanan Satu Hari (One Day Service), Pelayanan Malam Hari (Evening Service), Layanan 7 Menit (LANTUM), Layanan Anggota Masyarakat (LAYANGMAS) serta INTAN (Informasi Interaktif Pertanahan). Oleh karena itu, BPN ingin melaksanakan good governance, meningkatan pelayanan bidang pertanahan, dan arahan kebijakan untuk kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat Indonesia. Hari Tani atau Hari Agraria bagi masyarakat, akan selalu menjadi pengingat dalam memperhatikan dan menilai perkembangan kinerja pemerintah setiap tahunnya di bidang pertanahan, lalu bagi pemerintah sendiri akan menjadi bahan evaluasi dalam upaya meningkatkan kondisi pertanahan menjadi lebih baik lagi, sesuai dengan cita‐cita dan amanat dalam UUD 1945 dan UUPA. [RZ]
“
“
Satu yang tidak terpisahpisahkan
Peringatan Hari Agraria Nasional tahun 2012, Badan Pertanahan Nasional merayakan dengan mengangkat tema “Dengan Sapta Tertib Pertanahan Kita Tingkatkan Pelayanan Masyarakat”. Selama kurun waktu 52 tahun, pemanfaatan tanah berdasarkan UUD 1945 diarahkan untuk sebesar‐besarnya kemakmuran rakyat. Namun, sejauh ini belum bisa tercapai, bahkan masalah pertanahan menjadi lebih kompleks di Indonesia. Sehingga BPN mencanangkan 7 tertib (Sapta Tertib) yaitu Tertib Administrasi, Tertib Anggaran, Tertib Perlengkapan, Tertib Perkantoran, Tertib Kepegawaian, Tertib Disiplin Kerja, dan Tertib Moral. Hal ini didasarkan pada hasil pemikiran bersama dan kepercayaan dari setiap individu, sehingga perlu didukung pondasi yang kuat untuk mencapai tujuan yang diharapkan bahwa layanan pertanahan untuk kesejahteraan masyarakat. Peringatan Hari Agraria Nasional tahun 2013, dirayakan dengan tema : “Dengan Semangat dan Jiwa UUPA serta Berpedoman kepada Sapta Tertib Pertanahan Kita Sukseskan Pelaksanaan Program Strategis Pertanahan Untuk Kemakmuran dan Kesejahteraan Rakyat”. Dengan tema ini diharapkan masyarakat mempunyai semangat yang sama, untuk memaknai keberjalanan 53 Tahun UUPA di Indonesia. Pemerintah tidak pernah berhenti untuk melakukan pembenahan dan perbaikan sistem pertanahan di negeri ini menuju sistem pertanahan yang taat azas pada Pancasila, UUD 1945 dan UUPA. Dalam memaknai UUPA, ditekankan pada pentingnya perubahan cara pandang pengelolaan pertanahan di tanah air. Sebagaimana dalam UUD 1945 pasal 33 dan putusan MK terhadap beberapa undang‐undang terkait sumber daya alam, menyatakan “Hak Menguasai Negara” dalam konstitusi bahwa kedaulatan negara mencakup tugas dan kewenangan dalam merumuskan kebijakan (beleid), melakukan pengaturan (regelandaad), melakukan pengurusan (bestuurdaad), melakukan pengelolaan (beheerdaad, dan melakukan pengawasan yang sebesar‐besar kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana amanat UUD 1945.
ews.kemendag.go.id
17
INDONESIA Edisi 1 - 2014
1
1
INDONESIA Edisi 1 - 2014
18
PELAKSANAAN KEGIATAN Uji Coba Reforma Agraria di Provinsi Bangka Belitung dan Jawa Tengah Reforma Agraria adalah kebijakan Pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi ketimpangan penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah (P4T). Hal ini menjadi penting mempertimbangkan luas wilayah darat nasional di luar kawasan hutan seluas 65 juta Ha, hanya sekitar 39,6 juta Ha yang dikuasai oleh petani. Sensus pertanian 2013 menunjukkan 26,14 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan rata‐rata 0,89 hektar (Ha) dan 14,25 juta rumah tangga tani hanya menguasai lahan kurang dari 0,5 Ha per keluarga. Sehingga pada kondisi ini, perlu upaya mengurangi ketimpangan, melalui kegiatan pemberian tanah yang dikenal dengan redistribusi tanah atau landreform. Kegiatan ini sebenarnya telah dilaksanakan sejak tahun 1961, namun kegiatan Reforma Agraria ini sempat terhenti pada tahun 1965 setelah terjadi tragedi G 30 S PKI, dan pada zaman Orde Baru, program reforma agraria dicoba untuk kembali dilaksanakan. Dengan kondisi dan kendala tersebut, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional bergerak menginisiasi kembali pelaksanaan Reforma Agraria yang sempat terhenti dengan Uji Coba (Pilot Project). Reforma Agraria yang dikonsepkan oleh Tim Koordinasi ini, tidak hanya redistribusi tanah, namun juga didampingi oleh Reforma Akses. Reforma Akses yang dimaksud adalah sumber daya lain yang dibutuhkan penduduk miskin penerima untuk dapat mengolah dan memanfaatkan tanah redistribusi. Model pelaksanaan Uji Coba (Pilot Project) Reforma Agraria oleh Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional, dilakukan dalam 2 skema, yaitu (i) Skema Aset mengikuti Akses, dengan mengarahkan pelaksanaan program K/L‐Pemda yang memberikan pemberdayaan pada lokasi‐lokasi program redistribusi tanah yang telah dilakukan BPN, dan (ii) Skema Aset mengikuti Akses, pendekatannya BPN menyesuaikan/ mengarahkan rencana lokasi program legalisasi aset tanah, pada lokasi program K/L‐Pemda yang telah memberikan
bantuan/pemberdayaan. Dalam meningkatkan sumber reforma aset, dengan melihat kondisi keterbatasan pada bidang redistribusi, maka bidang legalisasi aset dimasukkan dalam target aset pada model skema uji coba Reforma Agraria, dan meninjau bidang legalisasi aset dinilai cocok untuk dilakukan dalam skema yang dibentuk. Pada penentuan lokasi pelaksanaan uji coba Reforma Agraria, lokasi yang dipilih adalah Provinsi Jawa Tengah dengan pertimbangan karena provinsi ini berpengalaman dalam pelaksanaan reforma akses yang pernah dilaksanakan sebelumnya, dan provinsi kedua adalah Kepulauan Bangka Belitung, dengan pertimbangan karena memiliki Program Satam Emas dari Pemerintah daerah. Dalam pelaksanaan selanjutnya di Lapangan, Tim Koordinasi Strategis Reforma Agraria Nasional mengarahkan kepada setiap Bappeda Provinsi untuk menjadi koordinator data lokasi akses atau pemberdayaan masyarakat dari setiap dinas daerah, sedangkan Kantor Wilayah BPN untuk menjadi koordinator data lokasi aset atau bidang legalisasi tanah. Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Pada pelaksanaan uji coba di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung, pihak Bappenas menyampaikan bahwa uji coba Reforma Agraria merupakan bagian dari Roadmap kebijakan Redistribusi dan reforma akses, yang pada tahap Kunjungan Lapangan ke desa Serdang dan selanjutnya desa Pergam, daerah yang memperoleh diharapkan bisa Redistribusi Tanah Tahun 2013. Dok. Dit TRP Bappenas dilakukan pengembangan teknologi pangan. Dari pihak BPN‐RI yang hadir dalam rapat, mengharapkan fasilitasi kerjasama dengan pemerintah dan instansi terkait, agar sertifikasi lahan bisa bankable, yang selanjutnya bisa menjadi modal bagi para pemilik lahan untuk meningkatkan produktifitas lahan. Tanggapan dari Bappeda Provinsi Bangka Belitung yang mengutarakan untuk memperhatikan RTRW Provinsi, RTRW Kota, dan struktur ruang, serta mengharapkan Reforma Agraria ini didukung oleh kegiatan LP2B, sehingga pihak BPN juga bisa bersinergi dengan Dinas Daerah terkait.
Kondisi lahan yang akan menjadi target bidang redistribusi tahun depan, berada disekitar area lahan redistribusi tahun 2013 Dok. Dit TRP Bappenas
INDONESIA
19 Edisi 1 - 2014
Saat kunjungan lapangan bersama Bappenas, BPN‐RI (Direktorat Landreform dan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat), Kantor Wilayah BPN Provinsi Bangka Belitung, dan Kantor Pertanahan BPN Kabupaten Bangka Selatan, ke lokasi bidang redistribusi tanah di desa Pergam dan desa Serdang, kabupaten Bangka Selatan. Ditemukan 201 bidang tanah yang telah diredistribusi di desa Pergam, dan 1299 bidang tanah di desa Serdang. Kondisi lahan redistribusi tersebut berada pada hamparan lahan yang berdekatan sehingga tidak banyak perbedaan kondisi lahan di kedua desa tersebut. Berdasarkan diskusi langsung dengan para petani penerima redistribusi tanah, para petani mengeluhkan ketersediaan air untuk kebutuhan pertanian yang semakin berkurang. Selain itu mereka juga mengeluhkan kecilnya agunan yang diterima ketika sertifikat tanah yang diajukan ke Bank sebagai jaminan, padahal penggunaan tersebut untuk meningkatkan hasil pertanian. Untuk rencana bidang redistribusi dan legalisasi aset pada tahun depan di kabupaten Bangka Selatan, lokasi yang akan ditunjuk masih berada sekitar lokasi desa Serdang dan desa Pergam. Daerah tersebut dipilih karena sarana prasarana pada daerah tersebut menunjang untuk kegiatan pertanian, baik dari segi pengairan maupun kondisi tanah.
mengkoordinasikan dengan dinas teknis lebih lanjut, serta pada kunjungan lapangan, diketahui bahwa redistibusi tanah di desa Banding mencapai kurang lebih 200 KK, yang sebagian besar merupakan petani dan pengusaha besek. Namun, proses pelaksanaan redistribusi di desa Banding belum selesai hingga pemberian sertipikat tanah, pemberian sertipikat tanah, yang baru akan dilaksanakan pada tanggal 17 September 2014. Berdasarkan diskusi langsung dengan para penerima program redistribusi tanah, diketahui bahwa tanah yang dijadikan objek redistribusi merupakan bekas penguasaan asing, kemudian ditinggalkan dan dijadikan sebagai tanah milik negara yang selanjutnya dikuasai oleh warga secara turun temurun (melalui perambahan), namun saat ini dapat disahkan status penguasaan dan pemilikannya melalui program redistribusi. Temuan diperoleh selanjutnya adalah kondisi tanah yang menjadi bidang redistribusi, bukan merupakan tanah produktif untuk lahan pertanian basah karena berada di dataran tinggi dan tidak dilengkapi dengan sarana irigasi, sehingga tidak dapat termanfaatkan lahan secara maksimal.
Kunjungan ke Kantor Pertanahan Kabupaten Bangka Selatan, yang menjadi salah satu target lokasi proyek percontohan Reforma Agraria Provinsi Jawa Tengah Pada Kunjungan lapangan bersama Bappenas, BPN‐RI (Direktorat Landreform dan Direktorat Pemberdayaan Masyarakat), Kanwil BPN Jawa Tengah serta Kantor Pertanahan Kabupaten Semarang difokuskan pada lokasi pelaksanaan redistribusi pada tahun 2014, yaitu di Desa Banding, Kecamatan Beringin, Kabupaten Semarang.
Wawancara bersama dengan penerima manfaat program redistribusi tanah. Dok. Dit TRP Bappenas
Sebagai tindak lanjut akan dilakukan koordinasi melalui Kantor Pertanahan Kabupaten Ungaran dan Kantor Wilayah BPN Jawa Tengah bersama dengan Bappeda dan dinas terkait untuk menentukan jenis program pemberdayaan yang cocok untuk kondisi lahan redistribusi seperti di desa Banding. Adapun lokasi uji coba yang akan kemudian ditindaklanjuti dan di koordinasikan hingga saat ini belum ditentukan mengingat belum dilaksanakannya koordinasi oleh Pemerintah Daerah, Bappeda serta BPN setempat.
Kondisi Lokasi redistribusi tanah di desa Banding kecamatan Beringin, Kabupaten Semarang. Dok. Dit TRP Bappenas
Bappeda Provinsi Jawa Tengah telah melakukan koordinasi internal dengan beberapa dinas dan BPN, dan diusulkan pihak BPN dapat memberikan data lokasi yang telah ditentukan sehingga dapat ditindaklanjuti identifikasi program pemberdayaan di lokasi tersebut oleh daerah. BPN‐RI mengusulkan untuk segera dilakukan rapat koordinasi antara Kantor Wilayah dan Bappeda, dimulai dengan inventarisasi subjek dan objek oleh BPN kemudian Bappeda
1
Kesimpulan serta tindak lanjut dari pelaksanaan uji coba di provinsi Kepulauan Bangka Belitung dan Jawa Tengah adalah Kanwil BPN Provinsi dan Bappeda Provinsi dapat berkoordinasi dengan baik dan mengambil peran bersama sebagai koordinator utama pelaksanaan Reforma Agraria di dua Provinsi tersebut. Selain itu, kegiatan yang segera dilaksanakan oleh Kantor Wilayah/Kantor Pertanahan BPN dan Dinas terkait adalah melakukan inventarisasi lokasi secara detail baik lokasi legalisasi aset maupun program pemberdayaan masyarakat. Tindak lanjutnya, Bappenas pada bulan November 2014 akan melakukan pemantauan dan evaluasi dari hasil pelaksanaa uji coba tahun 2014. [RZ]
INDONESIA Edisi 1 - 2014
20
PELAKSANAAN KEGIATAN Pelaksanaan Program Agraria Daerah di Provinsi Kalimantan Timur Secara nasional, data dari Badan Pertanahan Nasional (BPN) menunjukan bahwa jumlah total bidang tanah yang telah bersertipikat di Indonesia hingga tahun 2013 mencapai 44.982.125 bidang tanah atau 51,80 persen dari jumlah keseluruhan 86.845.839 bidang tanah yang ada di Indonesia. Salah satu program pemerintah di bidang pertanahan adalah penerbitan sertipikat tanah (legalisasi aset) bagi masyarakat melalui kegiatan Program Nasional Agraria (PRONA) yang dibiayai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Dok. Dit TRP Bappenas
Namun dengan adanya keterbatasan alokasi anggaran APBN menyebabkan jumlah target sertipikasi melalui PRONA masih sangat terbatas sehingga masih banyak bidang‐bidang tanah masyarakat yang belum bersertipikat. Untuk membantu percepatan pelaksanaan kegiatan sertipikasi tanah secara massal maka beberapa Pemerintah Daerah (Pemda) memiliki program seperti PRONA yang dikenal dengan Program Agraria Daerah (PRODA). PRODA merupakan program bantuan pemerintah daerah untuk warga di wilayahnya yang memiliki tanah (lahan) tetapi belum memiliki sertipikat. Secara umum, prinsip‐prinsip dan ketentuan pelaksanaan PRODA hampir sama dengan PRONA, namun berbeda pada sumber pembiayaan yakni berasal dari pemerintah daerah (APBD). Bantuan ini menggunakan alokasi anggaran dari APBD yang Dok. Dit TRP Bappenas
INDONESIA
21 Edisi 1 - 2014
Dok. Dit TRP Bappenas
diperuntukan bagi mereka yang kurang mampu atau berpenghasilan rendah. Salah satu daerah yang memiliki program PRODA adalah Provinsi Kalimantan Timur. Secara umum, program tersebut berupa kegiatan sertifikasi lahan usaha pertanian sebagai bagian dari upaya pemerintah dalam rangka untuk mengurangi ketimpangan penguasaan dan kepemilikan tanah/lahan pertanian, mengurangi kemiskinan dan pengangguran, mengurangi sengketa dan konflik pertanahan/lahan dan diharapkan dapat mengoptimalisasi pemanfaatan tanah/lahan yang tadinya belum memiliki hak atas tanah yang ada di kabupaten. Informasi mengenai pelaksanaan kegiatan PRODA tersebut terungkap pada saat pelaksanaan Pra Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Pramusrenbangnas) Tahun 2013 lalu bahwa kegiatan ini telah dilaksanakan sejak tahun 2010 di 10 kabupaten yang tersebar di Provinsi Kalimantan Timur yaitu Kabupaten Nunukan, Kabupaten Tana Tidung, Kabupaten Malinau, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Berau, Kabupaten Kutai Timur, Kabupaten Kutai Barat, Kabupaten Kutai Kartanegara, Kabupaten Paser, Kabupaten Penajam Paser Utara. Namun, pelaksanaan program ini hanya berlangsung sampai dengan tahun 2012 karena adanya permasalahan pelaksanaannya.
Dok. Dit TRP Bappenas
Berdasarkan hasil Rapat Koordinasi Program Agraria Daerah (PRODA) yang dilaksanakan tahun 2013 dan 2014, teridentifikasi beberapa permasalahan umum yang terjadi dalam pelaksanaan PRODA, antara lain yaitu (i) keterbatasan jumlah juru ukur baik di kantor wilayah BPN maupun di Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota di Provinsi Kalimantan Timur; (ii) alokasi dana yang disediakan pemerintah kabupaten/kota tidak mencukupi untuk biaya pelaksanaan sertipikasi tanah sesuai dengan mekanisme dan peraturan yang ada di BPN; dan (iii) kriteria subyek dan objek sertifikasi tanah tidak jelas (tidak 'clean and clear'); (iv) belum adanya sosialisasi kepada kabupaten mengenai sertipikasi lahan pertanian; (v) kesalahan penempatan kegiatan bantuan dari Pemerintah Provinsi Kaltim pada SKPD di kab/kota; (vi) mekanisme pembayaran biaya sertipikasi oleh Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur; (vii) kenaikan harga biaya pengukuran; dan (viii) terdapat lahan pertanian (objek) yang tumpang tindih dengan kawasan hutan berupa Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), dan dengan kawasan lainnya. Sebagai upaya tindaklanjut untuk mengatasi permasalahan di atas, telah dirumuskan beberapa kesepakatan sebagai berikut (i) Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur menyepakati untuk menyediakan bantuan keuangan bagi pemerintah kabupaten/kota untuk biaya sertifikasi dan juga akan menyusun kesepakatan/MoU dengan Kanwil BPN setempat; (ii) Pemerintah Kabupaten/Kota menyanggupi dan berkomitmen melanjutkan program sertipikasi tanah pertanian; (iii) Gubernur Kaltim sudah menyampaikan surat kepada bupati/walikota untuk mempersiapkan
1
kegiatan PRODA; (iv) pada tahun 2014 akan dilakukan kegiatan pra‐sertipikasi tanah pertanian dan proses sertipikasi tanah akan dilanjutkan pada tahun 2015; (v) Kegiatan pra‐sertifikasi tanah pertanian dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten/Kota dengan mempersiapkan data subjek dan objek tanah yang 'clean and clear' dan juga data yudiris yang valid untuk disertipikatkan di tahun anggaran berikutnya meliputi identifikasi tabel by‐ name‐by‐address target penerima PRODA, baik nama, alamat, luas, dan mata pencahariannya; dan (vi) Pemerintah Kabupaten/Kota perlu berkoordinasi dengan pihak yanga terkait dengan pajak untuk menyepakati solusi bagi permasalahan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) serta biaya BPHTB (Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan); (vii) perlu koordinasi antar Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) terkait di kab/kota dan kantor pertanahan sampai dengan tingkat kecamatan; (viii) pembayaran pelaksanaan PRODA kepada Kantah dilakukan pertahap pelaksanaan sertipikasi. Identifikasi awal terhadap target bidang yang akan disertipikasi melalui PRODA terdiri atas (i) Kabupaten Kutai Barat sejumlah 149 bidang; (ii) Kabupaten Kutai Timur sejumlah 56 bidang; (iii) Kabupaten Berau sejumlah 200 bidang; (iv) Kabupaten Kutai Kartanegara sejumlah 184 bidang; (v) Kabupaten Paser sejumlah 29 bidang dari target awal 80 bidang; dan (vi) Kabupaten Penajam Paser Utara sejumlah 200 bidang. [IK]
INDONESIA Edisi 1 - 2014
22
RINGKAS BUKU TANAH: Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya Buku "TANAH: Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya" karya Prof. Dr. Maria S.W. Sumardjono, SH. MCL. MPA., berisi kumpulan artikel terpilih beliau yang pernah disampaikan pada berbagai temu ilmiah terkait dengan pertanahan sebagai hak dasar setiap orang yang keberadaannya dijamin dalam Undang‐Undang Dasar 1945. Buku ini terdiri atas 4 Bab yang mengemukakan berbagai hal mengenai perkembangan hukum pertanahan dan kebijakan pertanahan (termasuk mengenai pembaruan agraria); hak atas tanah, hak ulayat, dan hak pengelolaan; serta beberapa isu dalam perolehan tanah oleh pemerintah.
Bab I Pendahuluan. Pada bagian ini, Guru Besar Hukum Pertanahan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta tersebut mengungkapkan mengenai hak atas tanah yang merupakan hak ekonomi, sosial dan budaya yang diatur dalam UU No. 11/2005 Tentang Pengesahan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (Kovenan Internasional tentang Hak‐hak Ekonomi, Sosial dan Budaya). Beliau juga menyatakan bahwa dalam perjalanan waktu terjadi pergeseran kebijakan pertanahan dari yang semula berciri populis (pada era 1960‐an dengan ditetapkannya UUPA) ke arah kebijakan yang cenderung prokapital yang terjadi karena pilihan orientasi kebijakan ekonomi. Bab II Perkembangan Hukum Pertanahan dan Kebijakan Pertanahan. Prof. Maria menyampaikan pokok‐pokok pikiran seputar Undang‐Undang No. 5/1960 (UUPA) terkait dengan aspek yuridis penguasaan dan pemilikan tanah perkotaan. Pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya nilai ekonomis tanah mengakibatkan semakin tajamnya kesenjangan sosial antara mereka yang mempunyai akses yang memungkinkan penguasaan tanah bangunan yang melampui batas kewajaran dihadapkan dengan mereka yang paling membutuhkan tanah, namun berada dalam posisi yang tersudutkan. Hal ini memunculkan kembali ide alternatif pemecahan masalah melalui pengendalian pemilikan dan penguasaan tanah bangunan. Untuk itu, perlu dilakukan adanya kewajiban untuk mendaftarkan tanah, pengaturan tentang penelantaran tanah, dan pengaturan tentang pemberian dan penggunaan kuasa di bidang pertanahan. Pada bagian ini dijelaskan juga mengenai pentingnya upaya harmonisasi perwujudan pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan kepentingan investasi yang difokuskan pada kesiapan hukum tanah menjelang pelaksanaan secara penuh sistem perdagangan bebas dengan menitikberatkan pada kualitas peraturan perundang‐undangan yang diperlukan. Intensitas pembangunan yang menuntut penyediaan tanah yang relatif luas untuk berbagai keperluan (permukiman, industri, berbagai prasarana) memaksa alih fungsi tanah pertanian, terutama di
INDONESIA
23 Edisi 1 - 2014
daerah pinggiran, menjadi tanah non pertanian dengan segala konsekwensinya. Untuk itu, diperlukan intervensi terhadap kebijakan pemberian izin lokasi dan perlunya penyempurnaan rencana tata ruang wilayah (RTRW). Untuk mengatasi permasalahan penyediaan tanah perkotaan dapat ditempuh melalui kebijakan seperti (a) konsolidasi tanah perkotaan, (b) pembentukan badan hukum yang bertugas menyediakan tanah, mematangkan, dan kemudian menyalurkan untuk berbagai keperluan, termasuk untuk permukiman (lembaga bank tanah), (c) perolehan tanah dengan cara penukaran dengan sebidang tanah yang setara nilainya atau berupa keikutsertaan dalam saham perusahaan yang mengambil alih bidang‐bidang tanah (landswapping). Prof. Maria juga menyampaikan adanya pergeseran kebijakan pertanahan dari waktu ke waktu sejak tahun 1960 (mulai berlakunya UUPA) hingga saat ini. Selanjutnya diusulkan adanya penyempurnaan peraturan mengenai izin lokasi untuk menghindari perbedaan persepsi serta perlunya koordinasi dan pengawasan dalam kebijakan izin lokasi. Selain itu, ditegaskan juga perlu adanya pengaturan mengenai pengakuan keberadaan hak ulayat. Pengaturan tersebut antara lain mengenai konsep dasar hak ulayat, hak dan kewajiban masyarakat hukum adat. Pada bagian lain disampaikan juga mengenai penyempurnaan UUPA agar dapat menjadi salah satu instrumen reforma agraria yang mengatur hubungan antara orang dengan tanah baik di dalam maupun di luar kawasan hutan. Pada bagian kedua Bab ini, dijelaskan mengenai berbagai dimensi pembaruan agraria. Pembaruan agraria (agrarian reform) pada intinya dapat meliputi hal‐hal sebagai berikut yaitu (a) suatu proses berkesinambungan artinya dilaksanakan dalam satu kerangka waktu (time frame), tetapi selama tujuan pembaruan agraria belum tercapai, pembaruan agraria perlu terus diupayakan, (b) berkenaan dengan restrukturisasi pemilikan/penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam (sumber agraria), khususnya masyarakat perdesaan, (c) dilaksanakan dalam rangka tercapainya kepastian hukum dan perlindungan hukum atas kepemilikan tanah dan pemanfaatan
sumber daya alam, serta terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Prof. Maria juga mengusulkan agar pembaruan agraria harus dilakukan sebagai landasan pembangunan nasional. Dengan demikian pelaksanaan reforma agraria perlu didukung oleh sinergi dan koordinasi antarlembaga yang bertanggungjawab terhadap program reforma agraria. Selain itu, dipandang perlu adanya lembaga penyelesaian konflik sebagai bagian dari pembaruan agraria (belajar dari pengalaman Republik Afika Selatan). Bab III Hak atas Tanah, Hak Ulayat, dan Hak Pengelolaan. Bagian pertama dari bab ini menjelaskan mengenai hak atas tanah, konsep dan perkembangannya. Hak atas tanah sebagai suatu hubungan hukum didefinisikan sebagaimana Pasal 4 UUPA disamping memberikan wewenang juga membebankan kepada pemegang hak. Dinyatakan perlunya memperluas cakupan pengertian hak atas tanah yang meliputi ruang di bawah tanah dan ruang udara. Selain itu, terdapat wacana usulan untuk menyederhanakan jenis hak atas tanah yang terdiri atas hak milik (HM) dan hak pakai (HP). Hak milik merupakan hak terkuat dan hanya dipunyai oleh orang‐ perorangan WNI yang tidak dibatasi jangka waktunya, sedangkan HP dalam arti luas dapat menampung berbagai macam keperluan yang dibatasi jangka waktunya.
pendekatan multi dimensi (pendekatan antropologi, sosiologi dan sebagainya, di samping pendekatan yuridis). Selain itu, diperlukan dukungan berbagai upaya untuk menjamin terpenuhinya hak ekonomi masyarakat Papua. Bagian ketiga menjelaskan mengenai reposisi hak pengelolaan (HPL). Sebagaimana diketahui bahwa HPL bukanlah hak atas tanah sebagaimana Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), atau Hak Pakai (HP) yang diatur dalam UUPA. HPL merupakan hak menguasai dari negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegangnya (dalam hal ini pemegang HPL). Selain itu, Prof. Maria mengusulkan agar HPL dikembalikan ke fungsi semula yaitu fungsi publik dan juga perlu ditegaskan kedudukan HPL sebagai 'bagian' dari HMN, antara lain kemungkinan pembatasan wewenang pemegang HPL untuk memberikan persetujuan pemberian hak satu kali saja, untuk selanjutnya perubahan dan perpanjangan serta hal‐hal lain yang terkait HPL dilakukan instansi pertanahan.
Selanjutnya pada bagian kedua menyajikan mengenai perlunya pengakuan, penghormatan, dan perlindungan hak ulayat. Dalam dimensi global, perhormatan dan perlindungan hak‐hak adat telah terwujud dengan komitmen masyarakat internasional melalui berbagai konvensi internasional yang diawali dengan The United Nations Charter pada tahun 1945. disnak.jabarprov.go.id
disbudpar.bantenprov.go.id
Sedangkan dalam dimensi nasional, UUPA juga sudah mengatur ketentuan mengenai hak ulayat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3. Dengan demikian, terlihat dalam konsep hukum pertanahan nasional, tanah ulayat dipandang sebagai entitas tersendiri yang berdampingan dengan tanah negara dan tanah hak. Berkenaan dengan hak ulayat, pemerintah daerah dapat menjadi fasilitator, koordinator dan pembuat kebijakan, namun demikian diperlukan pemahaman konseptual yang benar dan memperhatikan kesesuaian dengan peraturan perundang‐ undangan yang lebih tinggi. Selanjutnya penyelesaian sengketa tanah adat/ulayat di Papua melalui jalur hukum atau mediasi, agar mengikat atau ditaati para pihak, perlu dilandasi dengan
1
Bab IV Beberapa Isu dalam Perolehan Tanah oleh Pemerintah. Prof. Maria menyatakan beberapa cara/teknik yang dapat dilakukan pemerintah dalam upaya mengendalikan harga tanah, misalnya (a) pengadaan tanah oleh pemerintah untuk kegiatan yang menunjang kepentingan umum; (b) regulasi/pengaturan penatagunaan tanah; (c) penyediaan, pematangan, dan penyaluran tanah melalui lembaga bank tanah (land banking); (d) kebijakan perpajakan. Selain itu, diusulkan juga kebijakan pembatasan pemilikan tanah perkotaan, yakni pembatasan maksimum luas dan bidang tanah yang diperkenankan untuk dipunyai oleh perorangan atau badan hukum dan ditempuh melalui disinsentif perpajakan. Terkait dengan lembaga bank tanah (land banking) secara khusus dibahas oleh penulis mengenai prinsip‐prinsip dasar lembaga bank tanah dan pengalaman beberapa negara yang telah menerapkan bank tanah. Selanjutnya dijelaskan mengenai prinsip dasar, tujuan serta pembatasan kepentingan umum kaitannya dengan pengadaan tanah. Dijelaskan juga mengenai prinsip‐prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah dalam pelaksanaan pengadaan tanah. [IK]
INDONESIA Edisi 1 - 2014
24
KUMPULAN ARTIKEL Diskusi Panel: Reformasi Pertanahan melalui Kementerian Agraria http://www.trp.or.id/detailberita/309/Reformasi‐Pertanahan‐melalui‐ Kementerian‐Agraria.html
Database pertanahan mengenai letak dan kepemilikan lahan belum lengkap. Hal tersebut dikemukakan oleh Ir. Rahendra Vidyasantika, Land Management Division Head PT. Jababeka, Tbk, sebagai salah satu kendala pertanahan dalam pengembangan kota mandiri dalam diskusi panel “Reformasi Pertanahan melalui Kementerian Agraria,” di Menara Batavia Jakarta, Selasa, (16/10) yang diselenggarakan oleh Tim Kajian Nusantara Rumah Kreasi Indonesia Hebat (RKIH) bekerja sama dengan The President Post. Selain itu, tidak terintegrasinya rencana peruntukan lahan, sulitnya pengadaan Land Bank, Kebijakan Umur Pemberian Hak dan Pihak yang berhak atas Tanah yang kurang kompetitif dengan negara lain, tidak terkoordinirnya dan lebih dari satu Instasi yang mengurusi pertanahan, serta personil pertanahan yang tidak merata/tidak mempertimbangkan luasan wilayah yang menjadi objek kerja merupakan kendala lain yang dihadapi. Diskusi yang bertujuan untuk menggali ide‐ide terkait bidang pertanahan yang akan menjadi masukan bagi pemerintah periode 2014‐2019 ini, turut menghadirkan empat orang narasumber yaitu: Ir. Doddy Imron Cholid, Msi, Deputi Bidang Pengaturan dan Penataan, BPN; Bambang Sapto Pratomosunu, Widyaiswara LAN; Ir. Rahendra Vidyasantika, Land Management Division Head PT. Jababeka, Tbk; Ir. Nanang Samodra KA, M.Sc, Anggota Komisi II DPR RI Periode 2009‐ 2014. Turut hadir pula Chairul Basri Achmad, yang pernah menjabat sebagai salah satu Deputi di BPN sebagai moderator. Dalam diskusi tersebut, disampaikan bahwa sinergi kelembagaan dan mitra kerja yang mampu membantu percepatan penyediaan data dan informasi geospasial sangat dibutuhkan. Saat ini, teknologi pengadaan data, pengolahan data dan diseminasi informasi geospasial belum dimanfaatkan secara meluas di seluruh wilayah administrasi, dan dirasa tidak maksimal. Untuk mendukung hal tersebut, peran serta dunia usaha dan masyarakat dalam pengadaan data dan informasi geospasial harus dioptimalkan. Di samping itu, penguatan pendidikan keahlian (expertise), pengelolaan (management) dan ketrampilan (skills) tenaga kerja pada lembaga pemerintah merupakan upaya penting yang harus terus menerus dilakukan. Budaya penggunaan informasi geospasial perlu ditumbuh kembangkan secara intensif agar bermanfaat melalui berbagai usaha (business), seperti industri kawasan ekonomi terpadu dan industri pariwisata. Kedua industri tersebut dapat pula dikembangkan untuk kepentingan lain seperti ketahanan nasional, penanganan bencana alam (tsunami, gempa bumi tektonik, banjir, longsor, bencana vulkanik, kebakaran hutan, dll), dan kegiatan riset kebumian. Lebih lanjut, penyempurnaan database pertanahan, seperti topografi, landuse, serta kepastian letak dan pemilik, tidak hanya untuk private tetapi juga untuk tanah‐tanah negara.
INDONESIA
25 Edisi 1 - 2014
Selain itu, perlu disusun kebijakan Pemanfaatan Ruang/Tanah yang Terintegrasi dan Implementatif dan dibentuknya kelembagaan yang fokus pada permasalahan pertanahan (One Stop Solution), Dalam hal ini, BPN memiliki kewenangan untuk mengkoordinir pemangku kepentingan lainnya yang terkait dengan pertanahan.
Reforma Agraria dalam rangka Ketahanan Pangan http://www.trp.or.id/detailberita/324/Reforma‐Agraria‐dalam‐rangka‐ Ketahanan‐Pangan.html
Jakarta, (29/10). Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan menghadiri rapat kajian mengenai antisipasi dan solusi penyediaan lahan pertanian guna mendukung Reforma Agraria dalam rangka Ketahanan Pangan, di Hotel Redtop, Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Ketua Tim Kajian, Sekjen Wantanas, bertujuan untuk mendapatkan masukan dari berbagai pihak terkait dengan rencana pelaksanaan reforma agraria yang akan menjadi masukan kepada Presiden untuk mencapai Nawa Cita. Dalam rapat ini, turut hadir pula Dewan Ketahanan Nasional, BPN, dan KPA. Pada rapat tersebut terungkap mengenai beberapa permasalahan pokok yang dihadapi dalam pelaksanaan reforma agraria, antara lain: belum ada kepastian dan penetapan terhadap obyek reforma agraria; belum memadainya landasan dan pedoman hukum pelaksanaan reforma agraria; belum ada pusat data yang menjadi database reforma agraria; dan belum ada peta utuh yang meliputi seluruh Indonesia. Pada kesempatan tersebut, Uke Muhammad Husein, Kasubdit Pertanahan, Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Kementerian PPN/Bappenas, menyampaikan bahwa tujuan utama dari pelaksanaan reforma agraria adalah untuk mengatasi ketimpangan penguasaan dan pemilikan atas tanah. Sumber tanah yang dapat menjadi obyek reforma agraria adalah tanah terlantar dan kawasan hutan yang dapat dikonversi. Namun dalam penetapan tanah terlantar, BPN sering kalah di Pengadilan karena adanya gugatan oleh pemegang hak atas tanah. Adapun terkait dengan pelaksanaan reforma agraria untuk mencapai target Nawa Cita, Uke mengusulkan beberapa hal sebagai berikut: (i) melakukan revisi atas PP 11/2010 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Tanah Terlantar, yang perlu memasukkan rencana usaha (bussiness plan) pada saat pengajuan HGU sehingga dalam penetapan tanah terlantar memiliki landasan hukum yang kuat; (ii) melakukan koordinasi dengan Kemenhut untuk mengidentifikasi dan merencakan pelepasan kawasan hutan yang akan menjadi sumber TORA; dan (iii) menyediakan akses reform berupa permodalan (misalnya bekerjasama dengan perbankan), teknologi pertanian (misalnya bekerjasama dengan LIPI), jaringan pemasaran (misalnya bekerjasama dengan jaringan hotel).
DATA DAN INFORMASI R
st edi
ribusi Tana
h
Sertipikasi Tanah Lintas Sektor 630.641 bidang
7.482 Bidang 1.03
3 12,
279.587
%
153.089 36.580
18.397
55.185
da n
Ta na h
Ta na h
Pe
ta ni
CAPAIAN REDISTRIBUSI TANAH DAN LEGALISASI ASET 2004 - 2013
Ne la ya Ta n M na en h en Us ga ah h aK (U e Ta KM cil na ) h Tr an sm Be ig ra rp Ta si en na gh h as Ma ila sy n ar Re ak nd at Ta ah na Pa h M a sc s a ya Be ra nc ka an t a
87.803
5.122.937 BIDANG
Sertipikasi Tanah Lintas Sektor adalah kerjasama BPN dengan beberapa Kementerian, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kementerian Pertanian, Kementerian Perumahan Rakyat, dan Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi yang bertujuan untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan sertipikasi hak atas tanah, pendampingan dan bimbingan dari kementerian terkait bagi penerima sertipikat untuk mendapatkan akses‐akses lainnya.
Capaian Kinerja Beberapa Kegiatan Prioritas Bidang Pertanahan (2004‐2013) Sertipikasi Tanah melalui PRONA
Redistribusi Tanah
(bidang)
(bidang)
Sertipikasi Tanah Petani
Sertipikasi Tanah Pelaku UKM
Sertipikasi Tanah Nelayan
kegiatan baru dimulai pada tahun 2009 (bidang)
(bidang)
kegiatan baru dimulai pada tahun 2009
(bidang)
Sertipikasi Tanah Masyarakat Berpenghasilan Rendah
Sertipikasi Tanah Transmigran
Sertipikasi Tanah Masyarakat Pasca Bencana kegiatan baru dimulai pada tahun 2012
kegiatan baru dimulai pada tahun 2011
(bidang)
(bidang)
(bidang)
[MR]
Sumber: BPN RI, 2013.
1
INDONESIA Edisi 1 - 2014
26
Kementerian PPN/Bappenas Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan Gedung Madiun Lt 3 Jl. Taman Suropati No 2. Menteng. Jakarta Pusat. Telp/Fax: 021-3926601 Email:
[email protected]
Direktorat Tata Ruang dan Pertanahan
HARI AGRARIA NASIONAL 24 SEPTEMBER
“
MEMPERINGATI LAHIRNYA UNDANG-UNDANG POKOK AGRARIA KE-54
“
Satu yang tidak terpisah-pisahkan
agrariaindonesia.org
INDONESIA