2
Dalam institusi formal seperti perguruan tinggi, IPK merupakan salah satu indikator keberhasilan peserta didik (mahasiswa) dan pendidik (dosen). Nilai akademis menjadi penting mengingat semakin ketatnya persaingan saat seseorang mulai memasuki dunia kerja. Banyak perusahaan di negeri ini yang mensyaratkan IPK minimal 3,00, bahkan kini untuk menjadi seorang pegawai negeri, pemerintah memprioritaskan bagi sarjana dengan predikat cumlaude (IPK diatas 3,5 serta lulus dalam waktu maksimal 5 tahun) untuk diterima sebagai PNS (Perka BKN, Nomor 9 tahun 2012). Semakin ketatnya persaingan dunia kerja dimaksudkan untuk menyaring karyawan dan aparatur negara yang benar-benar berkompeten dan berkualitas. Menurut hasil wawancara dengan sekretaris direktur Direktorat Akademik UGM, mahasiswa UGM merupakan orang-orang terpilih yang telah melalui proses seleksi yang sangat ketat serta penilaian yang detail dan teliti. Menjadi mahasiswa UGM sangatlah sulit, mereka menempati hanya sekitar 5% dari 145.395 jumlah pendaftar. Bahkan tahun 2010, jumlah pendaftar mencapai 218.787 orang sedangkan UGM hanya menerima 3% diantaranya. Hal ini menunjukkan bahwa setiap mahasiswa UGM adalah orang-orang terpilih yang mendapatkan nilai terbaik melalui standar yang ditetapkan oleh universitas. Sayangnya, menurut sekretaris Direktorat Akademik, proses penilaian dalam seleksi mahasiswa yang selama ini digunakan, tidak dapat memberikan jaminan bahwa mahasiswa tersebut akan berhasil dalam perkuliahan. Hal ini ditunjukkan melalui kenyataan bahwa setelah melalui beberapa semester, banyak mahasiswa yang tertinggal dan mendapatkan nilai jauh dibawah standar.
3
Menurut data statistik yang dimiliki oleh Direktorat Akademik UGM pada tahun 2012 rata-rata IPK Fakultas Kedokteran Hewan adalah 3,01 dengan mahasiswa yang mendaatkan IPK dibawah 3 sebanyak 72% pada angkatan 2010 dan 52,7% pada angkatan 2011. Rata-rata IPK fakultas Kedokteran Gigi adalah 3,07 dengan mahasiswa yang mendapatkan IPK dibawah 3 sebanyak 59,5% pada angkatan 2010 dan 52,6% pada angkatan 2011. Rata-rata IPK fakultas Peternakan adalah 3,05 dengan jumlah mahasiswa yang mendapat IPK dibawah 3 sebanyak 51,9% pada angkatan 2010 dan 70,6% pada angkatan 2011. Fakultas dengan ratarata kelulusan terlama adalah fakultas Filsafat dengan rata-rata kelulusan 5 tahun 3 bulan dengan IPK rata-rata 3,30. Data yang diperoleh dari bagian akademik program S1 Fakultas Psikologi UGM menyebutkan bahwa pada bulan Februari 2012, persentase mahasiswa yang belum lulus adalah sebanyak 18% pada angkatan 2004 (8 tahun masa studi), 20% pada angkatan 2005 (7 tahun masa studi, dengan IPK di bawah 3,00 sebanyak 44%), 33% pada angkatan 2006 (6 tahun masa studi, dengan IPK dibawah 3,00 sebanyak 30%), dan 39% pada angkatan 2007 (5 tahun masa studi, dengan IPK dibawah 3,00 sebanyak 22%). Data tersebut menunjukkan bahwa masih banyak mahasiswa yang „menunda‟ kelulusannya di samping mahasiswa yang lulus dengan cepat dan IPK yang memuaskan. Menurut hasil wawancara dengan kaprodi S1 fakultas Psikologi UGM pada bulan Februari 2012 dinyatakan bahwa masih banyak mahasiswa yang mendapatkan prestasi akademis yang rendah. Menurut kaprodi, rendahnya prestasi akademis mahasiswa lebih dikarenakan oleh kesengajaan perilaku menunda penyelesaian tugas oleh mahasiswa itu sendiri.
4
Tingginya jumlah mahasiswa yang mendapatkan prestasi dibawah standar, menunjukkan bahwa universitas belum memiliki solusi yang efektif guna mengatasi permasalahan tersebut. Dosen pembimbing akademik berperan memotivasi, mendorong dan memandu mahasiswa bimbingannya untuk menjadi pembelajar sukses (keprek UGM no. 213/P/SK/HT/2005). Adanya peran dosen pembimbing akademik diharapkan dapat membantu dalam hal prestasi mahasiswa sekaligus mengurangi kemungkinan bagi mereka mengalami hambatan dalam aktivitas akademisnya. Deteksi dini terkait adanya permasalahan prestasi akademis pada mahasiswa diperlukan untuk membantu dosen pembimbing akademik mengidentifikasi mahasiswa yang perlu mendapatkan bantuan. Instrumen skrining digunakan sebagai tahap awal dalam membantu deteksi dini sebagai usaha preventif serta pemberian intervensi yang tepat (Petscher, Kim, & Foorman, 2011). Instrumen skrining digunakan sebagai deteksi dini dalam mengidentifikasi masalah sebelum hal tersebut menjadi lebih berat dan membutuhkan penanganan ahli (Kettler, Kratochwill, Kaiser, Hemmeter & Kettler, 2010). Instrumen skrining merupakan asesmen tersistematis yang diberikan kepada sejumlah besar individu untuk menentukan status resiko akan berkembangnya sebuah masalah. Psikolog dapat menggunakan instrumen tersebut guna mengidentifikasi mereka yang memiliki resiko mengalami gangguan yang bertujuan untuk memberikan tindak lanjut terhadap individu-individu tersebut serta menentukan intervensi yang dibutuhkan (Herta, Nemes, & Cozman, 2013). Instrumen skrining membantu mengidentifikasi mahasiswa yang memiliki resiko terhadap permasalahan prestasi
5
akademis, untuk selanjutnya diberikan tritmen atau intervensi sebagai antisipasi sebelum mahasiswa tersebut mengalami permasalahan yang lebih berat kedepannya. Instrumen skrining diharapkan merupakan instrumen yang akurat, sederhana, singkat, mudah diadministrasikan dengan jumlah aitem yang minimal, mudah difahami oleh responden, serta fleksibel digunakan untuk berbagai macam subjek (Herta, Nemes, & Cozman, 2013). Prestasi akademis merupakan salah satu wujud tanggungjawab moral mahasiswa selama menempuh pendidikannya. Semakin rendah IPK seorang mahasiswa, ia semakin membutuhkan waktu lebih untuk menyelesaikan studinya (Schmidt, dkk, 2009). Nilai indeks prestasi kumulatif menentukan jumlah kredit semester yang dapat diambil oleh seorang mahasiswa. IPK yang rendah mengakibatkan semakin sedikitnya jumlah kredit yang dapat diambil dalam satu semester, dan mahasiswa harus meluangkan waktu untuk memperbaiki nilai mata kuliah yang kurang memuaskan. Hal ini berdampak pada semakin lamanya masa studi
yang
harus
ditempuh
mahasiswa
tersebut
untuk
menyelesaikan
pendidikannya. Masa studi yang semakin lama berdampak pada permasalahan yang lebih luas, seperti beban psikologis, finansial, juga semakin sedikitnya kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan yang diinginkan. Penundaan dalam penyelesaian tugas akademik memungkinkan mahasiswa mendapatkan nilai yang lebih rendah, menyebabkan stress pada individu, kurangnya kepuasan dalam aktivitas akademis, mengalami ketakutan akan kegagalan, rendahnya harga diri, kurang percaya diri, serta emosi yang negatif (Brownlow & Reasinger, 2000).
6
Penilaian hasil belajar terhadap kegiatan dan kemajuan belajar mahasiswa di Universitas Gadjah Mada dilakukan secara berkala yang berbentuk ujian, dan pelaksanaan tugas. Beban studi program sarjana sekurang-kurangnya 144 (seratus empat puluh empat) SKS dan sebanyak-banyaknya 148 (seratus empat puluh delapan) SKS yang dijadwalkan untuk 8 (delapan) semester dan dapat ditempuh dalam waktu kurang dari 8 (delapan) semester dan selama-lamanya 14 (empat belas) semester (Keprek UGM Nomor 581/P/SK/HT/2010). Mahasiswa memperoleh predikat cumlaude (dengan pujian) jika mencapai IPK minimal 3,51 dan menempuh masa studi maksimal 5 tahun (Kepmendiknas Nomor 232/U/2000). Prestasi
akademis
didefinisikan
sebagai
kecakapan
mempelajari
keterampilan-keterampilan dasar dan materi ilmu pengetahuan (Lee, 2005). Prestasi akademik merupakan penguasaan pengetahuan atau penguasaan materi sebagai hasil yang dicapai oleh seseorang dalam waktu tertentu (Martani, 2006). Prestasi akademis dapat dilihat melalui evaluasi hasil belajar atau IPK (Adelabu, 2007). Azwar (1996) mengoperasionalkan definisi prestasi akademik sebagai bentuk indikator-indikator berupa nilai, indeks prestasi studi, angka kelulusan, dan predikat keberhasilan. Prestasi akademis tidak hanya ditentukan oleh nilai akademis dan inteligensi, namun juga ditentukan oleh kepribadian (Sheard, 2009). Azwar (1996) menjelaskan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi prestasi akademis adalah faktor psikologis yang berupa motivasi dan kepribadian. Hasil wawancara terhadap dua orang mahasiswa pada studi pendahuluan yang dilakukan pada bulan Maret dan April 2012 menyebutkan bahwa
7
permasalahan yang menghambat dalam aktivitas akademis diantaranya adalah stress, merasa tertekan oleh tuntutan eksternal, cemas dengan tugas yang berat, mudah terganggu konsentrasinya, melakukan aktivitas lain yang dirasa lebih menarik (contoh: membaca komik, main musik, jalan-jalan, ataupun aktivitas organisasi), orientasi masa depan yang tidak berkaitan dengan bidang ilmu yang ditekuni, menunda-nunda pekerjaan, tidak memanfaatkan waktu dengan baik, tidak memiliki target yang terencana. Hasil wawancara terhadap dua orang mahasiswa lain yang memiliki IPK 3,86 dan 3,72 pada tanggal 21 Oktober 2012, faktor yang mendukung tingginya prestasi akademis diantaranya adalah kerja keras, pemanfaatan waktu sebaikbaiknya untuk belajar dan mengerjakan tugas, mengambil manfaat dari setiap mata kuliah yang dipelajari, menikmati proses perkuliahan, memahami manfaat perkuliahan bagi keberhasilan masa depan, memahami bahwa ilmu memberikan pencerahan dan peningkatan diri. Kepribadian dan perspektif waktu menjadi penting dalam menentukan prestasi akademis bagi mahasiswa (Zimbardo & Boyd, 2008; Azwar, 1996). Hardiness dapat memainkan peran yang positif dalam kehidupan mahasiswa (Cress dan Lampman, 2007). Hardiness merupakan faktor kepribadian yang diyakini sebagai faktor internal dari berbagai faktor yang mempengaruhi prestasi akademis (Maddi, dkk., 2012). Kepribadian hardiness mempunyai serangkaian sikap yang membuat individu tahan terhadap stress (Kobasa, 1984). Hardiness merupakan karakteristik kepribadian yang membuat individu kuat, stabil, tidak mudah menyerah dan mampu menyesuaikan diri terhadap kejadian yang
8
menimbulkan tekanan yang menimpa dirinya. Hardiness merupakan karakteristik kepribadian yang menyebabkan berfungsinya kognitif individu pada situasi yang penuh stress dengan strategi penanganannya, mengasosiasikan semangat yang ada pada individu dengan strategi problem focus coping untuk mengatasi situasi penuh stress. Individu hardiness berusaha untuk menjadikan aktivitasnya menghasilkan sesuatu yang lebih positif dan bermanfaat (Cole, dkk., 2004). Mahasiswa yang melakukan penundaan dalam menyelesaikan tugas-tugas akademik memiliki masalah dalam menentukan tujuan untuk diri mereka sendiri dan kurang dapat memanfaatkan waktu yang dimilikinya (Brownlow & Reasinger, 2000). Orientasi akan masa depan merupakan hal penting dalam dunia pendidikan (Zimbardo & Boyd, 1999) karena pada dasarnya proses akademis serta berbagai hal yang dipelajari didalamnya turut menentukan keberhasilan seseorang di masa yang akan datang (Kauffman & Husman, 2004). Penelitian Phan (2009) menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kapasitas untuk membayangkan akibat jangka panjang dari tugas-tugas untuk masa depan mereka nanti lebih berusaha keras dalam belajar dan berusaha memahami materi dengan sebaik-baiknya. Ia mementingkan aktivitas akademis yang dapat membantu membangun cita-cita masa depannya sehingga berusaha melakukan yang terbaik (Mello & Worrell, 2006). Mahasiswa berada dalam masa perkembangan yang unik serta menghadapi berbagai tantangan dari lingkungan. Menjadi mahasiswa adalah saat banyak orang muda pertama kali secara langsung belajar untuk mengatur kehidupan mereka sendiri serta bertanggung jawab atas kebiasaan sehat, sekolah, dan finansial (Cress
9
& Lampman, 2007), membuat pilihan karir, berpisah dari orang tua, mengembangkan kemandirian, menemukan keseimbangan antara kedekatan dengan orang lain dan kesendirian, serta pencarian identitas diri (Mathews & Servaty-seib, 2007). Mahasiswa memiliki harapan tentang hal-hal yang akan mereka dapatkan di masa depan, seperti pekerjaan, anak-anak, rumah, dan gelar (Kauffman and Husman, 2004). Salah satu periode kehidupan yang berpotensi menimbulkan stress adalah saat seseorang menjadi mahasiswa (Cole, dkk., 2004; Cress dan Lampman, 2007). Bagi kebanyakan orang muda, menjadi mahasiswa merupakan saat stress terkumpul dengan cepatnya (Cress & Lampman, 2007), hal ini salah satunya dikarenakan oleh tuntutan persyaratan minimal akademis serta luasnya materi perkuliahan (Hystad, 2009). Dalam keadaan stress, individu dapat mengarahkan pikiran, perasaan, dan tindakan dirinya pada hal yang positif atau pada hal yang negatif. Mahasiswa yang berorientasi pada hal-hal yang positif memiliki kemungkinan mendapatkan prestasi akademis yang lebih baik (Schreiner & Hulme, 2009). Mereka memiliki kemampuan untuk fokus pada apa yang sedang dilakukan, menikmati proses, serta berpartisipasi aktif dalam aktivitas belajar.
Psikologi Humanistik Kajian terkait potensi manusia menjadi penting sebagai bagian untuk melihat sisi positif manusia itu sendiri. Psikologi humanistik berfokus pada kesadaran, subjektifitas, serta sisi positif sifat manusia sebagai hal penting untuk memahami manusia (Weiner, 2003). Manusia memiliki potensi untuk tumbuh,
10
kreatif, dan bebas untuk memilih. Manusia merupakan sumber yang memiliki kapasitas atau potensi untuk menciptakan pengalaman pribadi dan menerima pengetahuan dari luar dirinya sebagai cara untuk tumbuh, mengembangkan potensi, mengarahkan dirinya pada proses belajar yang produktif, serta berperilaku efektif (Cain, 2002). Perubahan pada diri seseorang dapat terjadi melalui pengalaman emosional atas interaksi dengan orang lain atau dengan lingkungan di sekitarnya (Weiner, 2003). Manusia akan lebih baik jika memiliki orientasi pada tujuan, bekerja keras untuk tumbuh dan berkembang dari pada terus menerus dalam keadaan tanpa ada perubahan (Weiner, 2003). Abraham Maslow dan Martin Seligman merupakan tokoh psikologi humanistik yang melahirkan psikologi positif (Snyder & Lopez, 2007). Psikologi positif lahir dalam rangka menggambarkan sisi kelebihan manusia daripada kekurangannya. Area psikologi positif dalam level subjektif adalah pengalaman subjektif, yakni kepuasan dan kesejahteraan (di masa lampau), kebahagiaan dan kenikmatan (di masa kini), serta optimisme, harapan, dan agama/ kepercayaan (di masa yang akan datang) (Seligman, 2000). Pada individu, psikologi positif berkaitan dengan sifat personal (kemampuan untuk bekerja, keberanian, keteguhan, ketekunan, berorientasi pada masa depan, berbakat, keterampilan interpersonal, memaafkan, mencintai, jujur, bijaksana). Psikologi positif dalam level
kelompok, berkaitan dengan tanggungjawab, merawat,
menolong,
kesopanan, tidak berlebih-lebihan, toleransi dan etika kerja. Psikologi positif membantu mengidentifikasi kekuatan diri sendiri, hal terbaik yang dimiliki, dan membantu menemukan tempat untuk menjalani kehidupan positif tersebut dengan
11
sebaik-baiknya (Seligman, 2000). Psikologi tidak hanya tentang memperbaiki sesuatu yang salah, namun juga membangun kekuatan yang dimiliki oleh individu (Seligman, 2000). Psikologi tidak hanya tentang kesehatan dan sakit, namun juga tentang pendidikan, pekerjaan, pertumbuhan, insight, cinta, dan permainan (Seligman, 2000).
Hardiness Pengertian Hardiness Konsep hardiness pertama kali diperkenalkan oleh Kobasa (Mathews dan Servaty-Seib, 2007). Kepribadian tahan banting (hardiness) menurut Maddi dan Kobasa (1984) merupakan ciri kepribadian yang berfungsi sebagai sumber perlawanan ketika individu dihadapkan pada suatu masalah atau peristiwa yang menimbulkan stress. Kobasa dan Pucetti (dalam Cress dan Lampman, 2007) mendeskripsikan hardiness sebagai kemampuan umum dalam menggunakan semua sumber daya personal dan lingkungan guna secara efektif menerima, memaknai serta melakukan koping atas situasi yang menimbulkan stress. Hardiness merupakan aktivitas mental yang memposisikan keadaan penuh tekanan ke dalam perspektif atau cara pandang yang lebih luas sehingga hal tersebut tidak terlihat sangat buruk, memahami permasalahan dengan baik, serta dapat melihat dengan jelas hal-hal yang harus diselesaikan segera (Cole, dkk., 2004). Kobasa menekankan beberapa hal dalam menjelaskan kepribadian hardiness, yakni resiliensi, activeness, percaya pada diri sendiri, serta semangat
12
(Maddi & Kobasa, 1984). Individu yang memiliki kepribadian hardiness akan dapat menyesuaikan diri terhadap tuntutan-tuntutan yang dapat menimbulkan stress secara tepat dan efektif serta tidak melarikan diri dari tugas-tugas yang harus diselesaikan. Dalam keadaan yang tidak pasti, hardiness menjadi bekal untuk berfikir cepat guna memahami tugas mereka melalui pembuatan keputusan dan teknik penetapan tujuan (Cole, dkk., 2004), memberikan keberanian dan mengembangkan dorongan untuk menghadapi stress secara terbuka, serta berjuang untuk bekerja keras (Maddi, dkk., 2009). Maddi & Kobasa (1984) menjelaskan bahwa individu dengan high hardiness dicirikan dengan adanya komitmen, pengendalian (kontrol), dan mempersepsikan masalah-masalah sebagai sebuah tantangan. Individu dengan komitmen yang kuat akan mudah untuk tertarik pada apapun yang sedang dilakukannya dan dengan sepenuh hati terlibat di dalamnya. Ia selalu merasa ada banyak hal yang harus dikerjakan, membuat usaha yang maksimal dengan ceria dan semangat, serta memandang bahwa setiap peristiwa adalah penting dan bermanfaat seberapapun sulit kondisinya. Individu dengan kontrol yang kuat merasa yakin bahwa dirinya dapat menangani, mengontrol, menentukan atau mempengaruhi peristiwa-peristiwa yang dialaminya (Maddi & Kobasa, 1984). Ia bertanggung jawab dan tidak mudah menyerah dalam keadaan tertekan. Individu dengan rasa penuh tantangan yang kuat memandang bahwa hidup merupakan suatu tantangan yang menyenangkan dan dinamis, perubahan dalam hidup merupakan hal yang wajar sekaligus kesempatan untuk mengembangkan diri (Maddi & Kobasa, 1984). Mereka secara
13
ikhlas bersedia terlibat dalam segala perubahan dan melakukan segala aktivitas baru untuk bisa lebih maju. Mereka memandang bahwa kondisi penuh tekanan merupakan kesempatan untuk belajar lebih daripada mencari rasa aman dan nyaman Lawan dari high hardiness adalah Low Hardiness yang ditandai dengan alienasi (alienation), rasa tidak berdaya (powerlessness) dan ancaman (threat). Individu dengan alienasi (alienation) yang kuat mudah bosan dan menarik diri dari keterlibatannya dalam tugas yang seharusnya ia kerjakan. Individu dengan rasa tidak berdaya yang kuat (powerlessness), percaya dan berperilaku seolah-olah ia adalah korban pasif dari peristiwa yang tidak dapat dikontrolnya. Ia tidak memiliki inisiatif atau persiapan untuk menghadapi hal yang terburuk. Individu yang merasa terancam (threat) berpikir bahwa segala sesuatu adalah tetap dan ia takut akan segala kemungkinan perubahan karena akan mengganggu kenyamanan dan keamanannya (Maddi & Kobasa, 1984).
Hardiness dan prestasi akademis Kobasa menjelaskan hardiness dalam konteks pendidikan menggunakan istilah academic hardiness (Benishek & Lopez, 2001). Teori hardiness yang dikembangkan oleh Kobasa memberikan kerangka penting guna memahami hal yang membuat mahasiswa memiliki keinginan yang lebih untuk terikat dengan berbagai tantangan akademis. Wiebe & Morgan (dalam Cole, dkk., 2004) menemukan bahwa seseorang yang memliki hardiness lebih dapat menyesuaikan dan memonitor tindakan mereka secara intensif saat memiliki kesempatan untuk
14
menghindar atau menunda penyelesaian tugas-tugas
yang dirasa tidak
menyenangkan atau membosankan. Oleh sebab itu diperlukan kontrol diri untuk menyelesaikan tugas-tugas tersebut (misalkan dengan datang ke kelas atau belajar untuk menyiapkan ujian). Penelitian yang dilakukan oleh Hystad (2009) kepada 213 mahasiswa Psikologi, menunjukkan bahwa hardiness berhubungan negatif dengan stress akademik. Hardiness membantu meningkatkan performansi akademis mahasiswa serta menurunkan kemungkinan bagi mereka terkena efek negatif di saat menghadapi situasi yang penuh tekanan (Cole, dkk., 2004), lebih menyadari stress pada diri mereka, tidak merusak diri mereka dengan itu, dan mencoba lebih efektif untuk menghasilkan sesuatu yang lebih bermanfaat (Maddi, dkk., 2009). Individu akan menunjukkan tindakan menghadapi permasalahan sebagai cara untuk mengatasi stress (contoh: ujian, mengerjakan tugas tepat waktu, menyelesaikan tugas akhir) dan bekerja keras untuk mengubah kemalangan menjadi kesempatan yang baik bagi dirinya Sheard (2009). Hardiness membantu mengarahkan mahasiswa untuk membuat keputusan dengan tegas daripada menghindari tindakan untuk menyelesaikan masalah sehingga tidak berlama-lama berada dalam keadaan stress (Maddi dalam Cole, dkk., 2004). Hardiness berperan dalam meningkatkan hasil belajar mahasiswa (Cole, dkk., 2004). Mahasiswa yang memiliki hardiness lebih termotivasi mempelajari materi perkuliahan dan lebih memiliki komitmen yang kuat atas aktivitas akademisnya daripada mereka yang tidak memiliki hardiness. Penelitian yang dilakukan oleh Maddi, dkk. (2009) berhasil meningkatkan level hardiness dan
15
IPK pada subjek penelitian melalui metode pelatihan. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa mahasiswa yang diberi pelatihan hardiness memiliki IPK yang lebih tinggi saat lulus dibandingkan dengan mahasiswa yang tidak diberikan pelatihan hardiness. Hardiness memiliki implikasi dalam memaksimalkan potensi akademik mahasiswa (Sheard, 2009). Penelitian Cole, dkk. (2004) menunjukkan bahwa mahasiswa yang memiliki hardiness cenderung lebih positif, lebih termotivasi dan menikmati belajar hal-hal baru, serta memberikan penilaian yang baik atas aktivitas kelas. Penelitian yang dilakukan oleh Sheard (2009) kepada 134 mahasiswa, menunjukkan bahwa mahasiswa yang mendapatkan skor hardiness yang lebih tinggi mendapatkan IPK yang lebih baik.
Future Time Perspective Manusia memahami bahwa „waktu‟ merupakan bagian dari aktivitas mereka (Zimbardo & Boyd, 2008). Manusia memahami bahwa hal yang membuat mereka mengerjakan sesuatu merupakan dasar pemahaman cara mereka melakukan hal tersebut serta memahami tentang hal yang mereka harapkan selanjutnya. Future time perspective merupakan pandangan atau persepsi individu yang terkait kehidupan di waktu yang akan datang atau masa depan (Zimbardo & Boyd, 2008). Future Time Perspective atau gambaran mental tentang masa depan, terbentuk melalui pengalaman individu, dan tercermin dalam konteks personal dan sosial, menjadi dasar dalam penetapan tujuan personal dan rencana-rencana
16
dalam hidup, menjelaskan pilihan-pilihan untuk masa depan, serta mempengaruhi sebagian besar keputusan-keputusan. Konsep future time perspective yang disusun oleh Zimbardo dan Boyd (2008) memiliki 3 ciri, yakni perencanaan, antisipatif, serta bijak dalam menggunakan waktu. Perencanaan menunjukkan seorang yang membuat rancangan dan menentukan tujuan atas aktivitas yang akan dilakukan. Antisipatif menunjukkan seorang yang penuh perhitungan dan menyusun strategi dalam melaksanakan aktivitasnya. Bijak dalam menggunakan waktu menunjukkan seorang yang membuat prioritas dan menghindari hal yang merugikan masa depan. Future time perspective dapat terbentuk melalui berbagai kondisi, seperti lingkungan keluarga yang stabil, pendidikan, pekerjaan, penggunaan teknologi secara regular, kesuksesan, serta adanya contoh orang-orang dengan orientasi masa depan (Zimbardo & Boyd, 2008).
Future time perspective dan prestasi akademis Individu dengan future time perspective lebih mampu melihat dan menganggap aktivitas serta perilakunya saat ini sebagai instrumen, baik untuk mencapai tujuan jangka pendek maupun tujuan jangka panjang (Simons dkk, 2004). Mahasiswa dengan future time perspective menyeimbangkan dirinya dengan membuat strategi pencapaian setiap tujuan yang telah ia buat. Mereka menunda kesenangan untuk sesuatu yang baginya lebih besar di masa depan (Zimbardo & Boyd, 2008).
17
Individu yang berorientasi pada masa depan akan bekerja keras hari ini untuk mendapatkan kesuksesan di masa depan (Zimbardo & Boyd, 2008). Future time perspective sangatlah mendasari keputusan dan perilaku seseorang terhadap sekolah dan lingkungan kerja (Mello, Bhadare, Fearn, Galaviz, Hartmann, Worrell, 2009). Kepercayaan dan harapan seseorang akan masa depan menentukan yang mereka kerjakan hari ini, mempengaruhi cara berfikir, merasa, dan berperilaku (Zimbardo & Boyd, 2008). Saat mengalami kegagalan, orangorang dengan future time perspective akan cepat bangkit (Zimbardo & Boyd, 2008). Mereka menganggap bahwa berusaha untuk keberhasilannya di masa yang akan datang adalah lebih penting daripada meratapi kegagalannya saat ini. Pendidikan mengajarkan siswa untuk berorientasi pada masa depan (Zimbardo & Boyd, 2008). Hal ini menunjukkan bahwa idealnya, peserta didik pendidikan tinggi memiliki orientasi pada masa depan. Pendidikan dapat membantu untuk mengembangkan makna atas masa lalu melalui pembelajaran tentang sejarah, melalui belajar untuk menghadapi ujian dan tingkatan yang menentukan kesuksesan atau kegagalan dan melalui kebutuhan untuk menunda kepuasan (Zimbardo & Boyd, 2008). Pentingnya pemahaman mahasiswa terkait betapa berharganya pencapaian hasil karya demi cita-cita masa depan menjadikannya memiliki harapan yang baik, menunda kenikmatan, orientasi pada masa depan, serta mementingkan kebermanfaatan sosial (Bembenutty, 2001). Kauffman dan Husman (2004) menjelaskan bahwa konsep seseorang terhadap masa depan memiliki pengaruh yang positif terhadap prestasi akademik mereka. Future time perspective
18
mempengaruhi proses maupun hasil belajar seseorang (Phan, 2009). Prestasi akademik berkaitan dengan persepsi mereka akan masa depannya, semakin tinggi orientasi pada masa depan, maka semakin tinggi pula prestasi akademis seseorang, serta semakin rendah orientasi mereka pada hari ini. Mahasiswa dengan future time perspective mendapatkan IPK yang lebih tinggi (Mello & Worrell, 2006; Barber, Munz, Bagsby, Grawitch, 2009).
Future time perspective (perencanaan, antisipatif, bijak menggunakan waktu) Prestasi akademik
Hardiness (komitmen, kontrol, tantangan)
Gambar1: Bagan alur berfikir penelitian
Pertanyaan Penelitian Pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah hardiness dan future time perspective memiliki hubungan positif dengan prestasi akademik mahasiswa? 2. Apakah future time perspective memiliki hubungan positif dengan prestasi akademik mahasiswa? 3. Apakah Hardiness memiliki hubungan positif dengan prestasi akademik mahasiswa?
19
4. Sejauh mana akurasi diagnostika skala perspektif masa depan dan skala hardiness dalam mendeteksi prestasi mahasiswa? 5. Apakah performansi diagnostika skala perspektif masa depan dengan skala hardiness sejalan dengan properti psikometri?
Tujuan dan Manfaat Penelitian Secara teoritis, penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah khasanah dalam Psikologi Pendidikan mengenai prestasi akademis mahasiswa yang dikaitkan dengan hardiness dan perspektif masa depan individu. Penemuan tentang hubungan antara time persepective, dan hasil belajar dapat dijadikan sebagai wawasan atau pemahaman baru untuk memberi motivasi dalam belajar (Benthuysen, 2008). Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi mahasiswa dan praktisi psikologi untuk memahami lebih dalam terkait kepribadian hardiness dan perspektif masa depan guna memberikan motivasi berprestasi bagi dirinya sendiri maupun bagi teman-teman mereka yang membutuhkannya. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat sejauh mana akurasi diagnostik skala Hardiness dan Future Time Perspective dalam mendeteksi permasalahan prestasi akademis pada mahasiswa. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan instrumen skrining permasalahan prestasi akademis mahasiswa guna membantu Dosen Pembimbing Akademis dalam mendeteksi permasalahan akademis pada mahasiswa serta melakukan tindakan pencegahan agar tidak terjadi