Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
PENDIDIK DAN PESERTA DIDIK DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Hartono Dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN SUSKA Riau
ABSTRAK
Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimana pendidik dan peserta didik dalam filsafat pendidikan Islam. Dalam Islam pendidik dapat diklasifikasikan menjadi tiga pendidik, yaitu Allah SWT., sebagai pendidik pertama, nabi Muhammad SAW. sebagai pendidik kedua, dan orangtua sebagai pendidik yang ketiga. Guru adalah pendidik profesional yang memiliki tanggungjawab profesi terhadap pekerjaannya. Peserta didik adalah manusia yang sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, yang memerlukan bantuan dari orang lain (orang dewasa) untuk menjalani pertumbuhan dan perkembangannya. Pesrta didik terlahir dengan membawa fitrah, yang berisi potensi-potensi, antara lain potensi beragama, mawahib (bakat), naluri dan kewahyuan (revilation). Key word : pendidik, peserta didik, filsafat pendidikan Islam
Latar Belakang Masalah Manusia sebagai makhluk yang berbudaya selalu berupaya mempertahankan dan mentransmisikan budayanya kepada anak keturunannya. Upaya tersebut dilakukan melalui pendidikan. Melalui pendidikan diharapkan anak dapat melestarikan budaya dan aspek-aspek kehidupan lainnya yang telah diterima pendidik sebelumnya. Pendidikan pada dasarnya dapat diartikan sebagai upaya sadar yang dilakukan orang dewasa untuk memberikan perubahan pada perkembangan anak dalam setiap tahap perkembangannya. Dari sini terlihat bahwa pendidikan telah terlaksana semenjak anak menginjakkan kakinya di dunia dan mulai menerima proses pendidikan yang
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
I97
Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
dilakukan oleh orangtuanya. Akan tetapi kemudian akibat keterbatasan yang dimiliki orangtua anak kemudian memasuki pendidikan formal di sekolah-sekolah pada lembaga-lembaga formal yang telah dikelola secara terstruktur. Berdasarkan pengertian pendidikan di atas dapat dilihat bahwa dalam pendidikan terdapat dua komponen manusia yang harus ada dalam sebuah proses pendidikan, yaitu pendidik yang berupaya mewujudkan proses pendidikan pada anak didik, dan anak didik sebagai subjek yang akan dibentuk dan melaksanakan pendidikan dalam proses perkembangannya. Berbagai pandangan dikemukakan para ahli tentang kedua komponen pendidikan di atas, ada yang mengkajinya dari aspek hakikatnya sebagai manusia, ada pula yang mengkajinya dalam perspektif pembelajaran formal dan ada pula yang mengkajinya dalam perspektif filosofis. Islam sebagai agama kaffah tidak hanya menuntun manusia dalam persoalan agama ansich, akan tetapi mencakup segala aspek kehidupan manusia, baik aspek lahiriyah maupun batiniah, sehingga ajaran Islam benar-benar dapat dijadikan pedoman dalam segala aspek kehidupan manusia. Islam yang memberikan petunjuk-petunjuk kepada umat manusia melalui ajaran-ajaran yang termaktub dalam Al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. memberikan pokok-pokok ajaran yang dapat dijadikan pedoman dalam menjalani kehidupan. Ajaran-ajaran yang berhubungan dengan aqidah dapat secara langsung digunakan sebagai pedoman, sementara ayat-ayat yang berhubungan dengan kehidupan manusiawi dapat
dijadikan grand teori untuk kemudian
dikembangkan melalui berbagai penelitian dan analisis sesuai dengan kebutuhan manusia pada masanya. Islam memandang manusia secara totalitas, baik dari aspek jasmaniahnya yang berhubungan dengan kebutuhan fisik, maupun dari aspek psikisnya yang berhubungan dengan kepribadiannya. Salah satu ajaran Islam yang mencakup kedua aspek tersebut adalah pendidikan. Pendidikan merupakan aspek ajaran Islam yang memadukan aspek pisik dan aspek psikis. Dalam pendidikan manusia ditumbuh kembangkan secara total, tidak memilah-milah mana aspek pisik, dan mana aspek psikis, akan tetapi keduanya dikembangkan secara serentak di dalam pendidikan.
98I
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Konsep pendidikan mengharuskan adanya komponen-komponen wajib yang harus ada di dalam sebuah upaya pendidikan tersebut. Komponen utama yang harus ada dalam sebuah perilaku pendidikan adalah pendidik dan peserta didik sebagai pelaksana utama pendidikan. Tulisan sederhana ini bertujuan untuk mengkaji kedua komponen pendidikan tersebut dari pandangan filsafat, khususnya filsafat pendidikan Islam.
Pendidik dan Peserta Didik dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam Filsafat dapat diartikan sebagai proses berpikir logis, kritis dan sistematis tentang segala realitas yang ada dan yang mungkin ada yang akan menjadi sikap dan keyakinan yang sangat dijunjung tinggi oleh subjeknya. 1 Dengan filsafat manusia berupaya mencari kebenaran terhadap sebuah realitas yang terjadi, apa yang ada di balik sebuah realitas serta bagaimana sebuah realitas seharusnya ada. Filsafat mengajarkan
bagaimana
sebuah kebenaran diperoleh, jalan apa yang harus ditempuh seseorang untuk memperoleh sebuah kebenaran. Senada dengan hal di atas Runes2 dalam Dictionary of Philosophy, memaknai filsafat sebagai : Originally, the rational explanation of anything, the general principles under which all facts, could be explained, in this sense, indistinguishable from science. Later, the science of the first principle of being, the presuppositions of ultimate reality. Now, popularly, private wisdom or consoliation, technically, the science of sciences, the criticism and systematization or organization of all knowledge, drawn from empirical science, rational learning, common experience, or wherever. Philoshopy includes metaphysics, or ontology and epistemology, logic, ethics, aesthetics, etc. Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa filsafat dapat menjelaskan prinsipprinsip umum tentang segala sesuatu, dalam hal ini kerja filsafat sama dengan sain (ilmu). Filsafat merupakan ilmu tentang prinsip utama being (yang ada), yaitu ilmu yang mempelajari hakikat dari yang ada, filsafat adalah ilmu dari pada ilmu, kritik, dan sistematisasi atau organisasi dari pengetahuan, yang berasal dari ilmu empirik, pengalaman (rasional, ataupun biasa). Filsafat mencakup kajian tentang ontologi, epistemologi, etik dan estetik. 1 2
Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, Pekanbaru, LSFK2P, 2005, hlm. 5. Dagobert R. Runes, Dictionary of Philosophy, Totowa, New Jersey, Littlefield & Co, 1971, hlm. 235.
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
I99
Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat pendidikan merupakan upaya filosofis yang khusus tertuju pada masalah-masalah pendidikan. Dalam hal ini filsafat melakukan kritik, sistematisasi dan organisasi terhadap ilmu pendidikan, sehingga dengan dasar-dasar pandangan filosofis ilmu pendidikan dapat bermanfaat dan berkembang dengan baik. Noor Syam3 mengemukakan bahwa filsafat pendidikan merupakan landasan filosofis yang menjiwai seluruh kebijaksanaan dan pelaksanaan pendidikan. Filsafat pendidikan dan ilmu pendidikan harus menjadi pengetahuan dadasr (basic knowledge) bagi setiap pelaksana pendidikan. Sesuai dengan ruang lingkup filsafat, maka filsafat pendidikan juga akan mencakup kajian ontologi yang mengkaji dasar-dasar dan hakikat dari pendidikan, epistemologi yang membahas bagaimana pendidikan dilaksanakan, aksiologi yang membahas untuk apa (nilai guna) pendidikan tersebut. Dalam hubungannya dengan tema kajian yaitu peserta didik dan peserta didik secara ontologis akan mengkaji apa hakekat keduanya, secara epistemologis akan mengkaji bagaimana mereka terbentuk termasuk di dalamnya apa hak dan tanggungjawabnya, sementara aksiologisnya akan mengkaji untuk apa mereka dididik dan mendidik. Kajian-kajian tersebut yang akan coba dilakukan dalam pembahasan berikut.
1. Pendidik Pendidik merupakan orang yang membimbing terjadinya proses pendidikan pada peserta didik, sehingga pendidik memiliki tanggungjawab terhadap keberhasilan atau kegagalan pendidik. Seorang pendidik seyogyanya memiliki kelebihan dari peserta didik, yang membuat peserta didik merasa tergantung, dan sangat membutuhkannya. Menjadi pendidik merupakan fitrah setiap manusia dalam memenuhi tanggungjawabnya sebagai orangtua terhadap anaknya. Sesuai dengan hal ini, M. Fadhil Jamil memaknai pendidik sebagai orang yang mengarahkan manusia kepada kehidupan yang baik, sehingga terangkat derajat kemanusiaannya sesuai dengan kemampuan dasar yang dimiliki oleh manusia. 4
Muhammad Noor Syam, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya, Usaha Nasional, 1984, hlm. 39. 4 Dikutip dari Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2008, hlm. 58. 3
100I
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Marimba mengartikan pendidik sebagai orang yang memikul tanggungjawab sebagai pendidik, yaitu manusia dewasa yang karena hak dan kewajibannya bertanggungjawab tentang pendidikan peserta didik.5 Dalam Islam terdapat beberapa kelompok pendidik, yaitu Allah SWT. seperti yang tergambar dalam surah Al-Baqarah ayat 31 berikut. Artinya : Dan Allah mengajarkan kepada Adam as. nama-nama semua benda yang ada,
kemudian
ditunjukkannya
kepada
malaikat,
dan
berkata,
”Terangkan kepadaku nama-nama semua benda ini, jika kamu semua adalah orang yang benar. Adapun pendidik dalam Islam adalah semua manusia dewasa yang memiliki tanggungjawab pendidikan, yaitu orangtua dari setiap anak yang dilahirkan. Pendidik azasi dan sebenar-benar pendidik adalah Allah SWT. sebagaimana Adam manusia pertama yang diciptakan Allah SWT. langsung dididik pisik maupun mentalnya oleh Allah SWT. Manusia sebagai pendidik hendaknya tidak lari ketentuan-ketentuan Allah, serta memiliki
sifat-sifat
asmaul
husna
yang
patut
dimiliki
manusia.
Manusia
bertanggungjawab atas apa yang dilakukannya baik untuk dirinya sendiri ataupun untuk orang lain. Hadits nabi Muhammad saw. berbunyi :
)كلكم راع وكلكم مس(روي بخاري Artinya: “Masing-masing kamu adalah pemelihara, dan setiap pemelihara akan ditanya atas peliharaannya”. Sesuai dengan hal di atas Ramayulis mengklasifikasikan pendidik menjadi beberapa bentuk, yaitu Allah SWT. seperti yang termaktub dalam Al-Quran surah AlFatihah ayat 1 yang berbunyi :
Artinya : “Segala puji bagi Allah Rabb sekalian alam”.
5
Dikutip dari Ibid.
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
I101
Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Begitu pula surah Al-Baqarah ayat 31, dan hadits nabi Muhammad SAW. yang berbunyi :
أدبىي ربي فأحسه تأديبي Artinya : “Tuhanku telah addabani (mendidikku), maka Ia membaikkan pendidikanku.” Pendidik yang kedua adalah Nabi Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW. merupakan utusan Allah yang merupakan perpanjangan tangan dari Allah dalam menyampaikan ajaran-ajaranNya. Nabi menerima wahyu dari Allah SWT dan berkewajiban mendidik dan mengarahkan umat manusia ke jalan yang diridhoinya. Gambaran Nabi Muhammad saw. sebagai pendidik dapat dirujuk dala hadits berikut. ﺒﺎﺭﺯﺍﻴﻮﻣﺎﻟﻟﻨﺎﺱﻔﺄﺗﺎﻩﺭﺠﻞﻔﻘﺎﻞﻣﺎﺍﻹﻴﻣﺎﻦ ﻥﺎﻜ ﻰﺒﻨﻟﺍ ﻰﻠﺼ ﻪﻟﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺴﻭ: ﺓﺮﻳﺮﻫﻰﺒﺍﻥﻋ ﻪﻟﻟﺍﻰﻀﺮ ﻪﻨﻋ ﻞﺎﻗ ﺍﻹﻴﻣﺎﻦﺃﻦﺘﺆﻣﻦﺑﺎﻟﻟﻪﻭﻣﻺﻜﺘﻪﻭﺒﻠﻘﺎﺌﻪﻭﺒﺭﺳﻟﻪﻭﺘﺆﻣﻦﺑﺎﻠﺒﻌﺙﻘﺎﻞﻣﺎﺍﻹﺴﻼﻡﻘﺎﻞﺍﻹﺴﻼﻡﺃﻦﺘﻌﺑﺪﺍﻠﻠﻪ ﻮﻻﺘﺷﺭﻚﺑﻪﻮﺗﻘﻴﻢﺍﻠﺼﻼﺓﻮﺗﺆﺪﻱﺍﻠﺯﻜﺎﺓﺍﻠﻤﻔﺮﻮﺿﺔﻮﺘﺻﻮﻢﺮﻤﻀﺎﻥﻦﺍ ﻪﻠﻠﺍﺩﺒﻌﺘ ﻚﻨﺄﻜ ﻩﺍﺭﺘ ﻦﺈﻔ ﻡﻠ ﻦﻜﺗ ﻩﺍﺭﺘ ﺈﻔ ﻪﻨ ﻚﺍﺮﻳ- ﺒﺳﻪﻨﺎﺤ ﻰﻠﺎﻌﺘﻮ- ﻝﺎﻗﻥﺎﺴﺤﻻﺍﺎﻤ ﻘﺎﻞ ﻤﺗﻰﺍﻠﺴﺎﻋﺔ:ﻝﺎﻗ ﻤﺎﺍﻠﻤﺴﺌﻮﻞﻋﻨﻬﺎﺒﺄﻋﻠﻢﻤﻥﺍﻠﺴﺎﺌﻞﻮﺴﺄﺨﺑﺮﻚﻋﻥﺃﺸﺮﺍﻂﻬﺎﻝﺎﻗ ﺇﺬﺍﻮﻟﺪﺖﺍﻷﻤﺔﺮﺑﻬﺎﻮﺇﺫﺍﺗﻂﺎﻮﻞﺮﻋﺎﺓﺍﻹﺑﻞﺍﻠﺑﻬﻢﻔﻰﺍﻠﺑﻧﻴﺎﻦﻔﻰﺨﻤﺲﻻﻴﻌﻠﻤﻬﻦﺇﻻﺍﻠﻠﻪ ﺇﻦﺍﻠﻠﻪﻋﻨﺪﻩﻋﻠﻢﺍﻠﺳﺎﻋﺔﺍﻷﻴﺔﺜﻢﺃﺩﺒﺭ ﻰﻠﺼ ﻪﻟﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺴﻭ ﺛﻢﺗﻼﺍﻠﻨﺒﻲ ﺭﺩﻮﻩﻔﻟﻢﻴﺭﻮﺍﺸﻴﺋﺎﻔﻘﺎﻞﻫﺬﺍﺟﺑﺭﻴﻞﺟﺎﺀﻴﻌﻠﻡﺍﻠﻨﺎﺲﺪﻴﻨﻬﻡ ﻰﻠﺼ ﻪﻟﻟﺍ ﻪﻴﻠﻋ ﻢﻠﺴﻭ ﻔﻘﺎﻞﺭﺴﻮﻞﺍﻠﻠﻪ 6
ﻯﺭﺎﺨﺑﻠﺍﻩﺍﻭﺮ
Artinya : Dari Abi Hurairah ra. Ia berkata, ”Adalah nabi SAW. suatu hari berada di tengah khalayak ramai, maka datang seorang laki-laki maka laki-laki itu berkata, ”Apa itu Iman?” Nabi menjawab, “Iman adalah bahwa engkau percaya kepada Allah dan malaikatnya dan percaya bertemu denganNya, percaya kepada rasulNya, dan percaya kepada hari berbangkit.” Laki-laki itu berkata, “Apa itu Islam?” Nabi berkata, “Islam adalah bahwa engkau menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya dengan yang lain, dan mendirikan sholat, menunaikan zakat yang diwajibkan dan puasa di bulan Ramadhan. Laki-laki itu berkata, ”Apa itu ihsan?” Nabi berkata, “Bahwa engkau menyembah Allah seolah-olah engkau melihatNya, maka jika engkau tidak melihatNya (Allah SWT) maka sesungguhnya Ia melihatmu.” Laki-laki itu berkata, “Kapan hari kiamat?” Nabi berkata, “Yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang menanya. Dan akan saya ceritakan kepadamu tentang ciri-cirinya. 6
102I
Musţafā Muḥammad `Umra, Jawāhir al-Bukhāri wa Sharh al-Qasţalānī, Beirūt, Dār al-Fikr, 1994,hal : 36 – 37.
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Apabila seorang budak melahirkan tuannya, dan apabila para pengembala ternak dapat membangun istana megah pada 5 perkara yang hanya diketahui oleh Allah SWT. kemudian nabi Muhammad SAW membaca ayat “Sesungguhnya di sisi Allahlah pengetahuan tentang kiamat.” Kemudian laki-laki itu berpaling. Maka rasul Allah SAW berkata, “tahan dia!” maka mereka tidak melihat apapun. Nabi berkata, “Ini adalah Jibril. Ia datang mengajari manusia tentang agamanya.” Pendidik yang ketiga adalah orangtua. Orangtua adalah pendidik di lingkungan keluarga, karena decara alami anak-anak pada masa awal kehidupannya berada di tengah-tengah ayah dan ibunya. Dari merekalah anak menerima pendidikan. Orangtua adalah pendidik utama dan pertama bagi anak-anak mereka, karena dari merekalah anak mula-mula menerima pendidikan. Dengan demikian bentuk pertama dari pendidikan terdapat dalam kehidupan keluarga.7 Orangtua memiliki tanggungjawab pertama dan utama dalam mendidik anak, akan tetapi karena ketidakmampuan orangtua, baik dari segi kemampuan ilmu pengetahuan yang dimiliki maupun dari segi keterbatasan waktu dan tenaga yang dimiliki, mereka seringkali mengalihkan kewajiban mereka pada seorang atau beberapa orang guru dalam mendidik anak mereka. Karakteristik orangtua sebagai pendidik dalam Al-Quran digambarkan seperti sosok Luqman sebagaimana surah Luqman (31) ayat 13 berikut.
Artinya: Dan ketika Luqman berkata kepada anaknya, ketika ia mengajarinya, “Hai anakku, jangan kamu sekutukan Allah! Sesungguhnya syirik itu adalah suatu kezaliman yang besar.” Zakiyah Daradjat et al8 mengemukakan bahwa tanggungjawab pendidikan Islam yang menjadi beban orangtua sekurang-kurangnya harus dilaksanakan dalam rangka : 1. Memelihara dan membesarkan anak. 2. Melindungi dan menjamin kesamaan, baik jasmaniah maupun rohaniah. 7 8
Zakiyah Daradjat et al, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992, hlm. 35. Ibid.hlm. 38.
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
I103
Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
3. Memberi pengajaran dalam arti yang luas. 4. Membahagiakan anak, baik dunia maupun di akhirat. Pendidik keempat adalah guru. Guru adalah pendidik dalam lemabga-lembaga pendidikan formal. Pada dasarnya guru adalah perpanjangan tangan dari orangtua yang mendapat amanah untuk mendidik anak. Sebagai pemegang amanah, guru bertanggung jawab atas amanah yang dibebankan kepadanya, sebagaimana surah An-Nisa ayat 58 yang berbunyi :
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanah kepada yang berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia maka tetapkanlah dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran sebaik-baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat.” Guru adalah pendidik profesional, yang memiliki tanggungjawab secara profesi terhadap pekerjaan yang diemban. Berbeda dengan orangtua, seorang guru memiliki hak dan kewajiban secara tertulis, yang memiliki konsekuensi khusus dari hak dan kewajiban tersebut. Sebagaimana orangtua, pada dasarnya guru juga adalah orang dewasa, yang diserahi tanggungjawab profesi oleh orangtua. Oleh karena itu seorang guru
harus
memenuhi
beberapa
persyaratan
agar
proses
pendidikan
yang
dilaksanakannya dapat mencapai tujuannya dengan baik. Zakiyah Daradjat9 mengemukakan 4 syarat yang harus dimiliki seorang guru, yaitu : 1. Taqwa kepada Allah, sebab guru adalah teladan bagi muridnya sebagaimana rasulullah Muhammad saw. menjadi telah bagi umatnya. 2. Berilmu, yang dibuktikan dengan adanya ijazah yang dimiliki. 3. Sehat jasmani, karena profesi mengajar memerlukan tenaga yang cukup besar dalam menghadapi beragam bentuk peserta didik. 9
104I
Ibid. hlm. 41-42.
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
4. Berkelakuan baik dan dapat memberi contoh teladan bagi peserta didik bagaimana cara berprilaku.
Seorang guru seharusnya memiliki ciri : 1. Mencintai jabatannya sebagai seorang guru 2. Bersikap adil terhadap semua murid 3. Berlaku sabar dan tenang 4. Berwibawa 5. Gembira dan menyenangkan 6. Bersifat menusiawi 7. Mampu bekerjasama dengan guru-guru yang lain 8. Dapat bekerjasama dengan masyarakat 10 Seorang Pendidik profesional memiliki tugas mengajak manusia untuk tunduk dan patuh pada hukum Allah guna memperoleh keselamatan dunia dan akhirat. Selain itu guru memiliki tugas secara khusus sebagai pengajar (instruktur) yang bertugas merencanakan program pengajaran dan melaksanakan program yang telah disusun dan penilaian setelah program tersebut dilaksanakan; sebagai pendidik yang mengarahkan peseta didik pada tingkat kedewasaan; sebagai pemimpin (manajerial) yang memimpin dan mengendalikan diri sendiri, peserta didik dan masyarakat terkait.11 Seorang guru hendaknya mampu menjadi orangtua sekaligus teman bagi peserta didik, sehingga terjalin komunikasi dua arah yang mampu menumbuhkan terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Sebagai pendidik
profesional,
pada dasarnya guru berhak
menerima
gaji/penghasilan atas jasa yang telah ia lakukan dalam mendidik peserta didik (meskipun ada sebagai tokoh yang melarangnya). Guru berhak pula mendapat penghargaan dari apa yang telah mereka lakukan berupa kenaikan jabatan dan tunjangan mengajar sebagai penunjang perekonomian mereka sehari-hari. 12
Ibid. hlm. 42-44. Ramayulis, Op. Cit., hlm. 63. 12 Ibid, hlm. 65-66. 10 11
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
I105
Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Sebagai pendidik profesional seorang guru hendaknya tidak pernah merasa puas dengan apa yang telah diperolehnya saat ini, akan tetapi harus selalu memperbaharui diri dengan berbagai penelitian dan mempelajari penemuan-penemuan yang dihasilkan sebuah penelitian. Dalam arti kata seorang guru dituntut selalu belajar dan memperbaharui apa yang telah dimilikinya. Guru seperti inilah yang diharapkan dapat menghantarkan proses pendidikan yang gemilang bagi peserta didik. Islam memandang perbuatan mendidik sebagai perbuatan yang mulia. Pendidik merupakan perpanjangan tangan Allah SWT. dan Nabi Muhammad SAW. dalam menyebarluaskan ajaran-ajaran Allah di muka bumi, sehingga setiap orang yang mengambil pekerjaan pendidik akan mendapat tsawab (reward) dari Allah, dan sebaikbaik pendidik adalah orang yang mengajarkan Al-Quran, sebagaimana hadits nabi Muhammad SAW.
)خيركم مه تعلم القرأن وعلمً (رواي بخاري Artinya : “Sebaik-baik kamu adalah orang yang mempelajari Al-Quran dan mengajarkannya.
2. Peserta Didik Peserta didik pada dasarnya merupakan manusia yang sedang dalam masa pertumbuhan dan perkembangan, yang memerlukan bantuan dari orang lain (orang dewasa) untuk menjalani pertumbuhan dan perkembangannya tersebut. Peserta didik memiliki berbagai kebutuhan, yang dapat dikategorikan kepada kebutuhan pisik dan non pisik, di mana masing-masing kebutuhan harus terpenuhi dengan baik. Islam sebagai agama universal tidak hanya mementingkan masalah ibadah, namun juga masalah yang lainnya. Islam sangat memperhatikan masalah-masalah yang berhubungan dengan pendidikan. Dalam hal pendidikan, khususnya mengenai anak didik Islam mempunyai pandangan ontologis tersendiri yang tidak dimiliki oleh ajaran agama lain. Pandangan ontologis Islam tentang pendidikan dapat dilihat dari konsep fitrah. Fitrah merupakan elemen dasar yang dimiliki oleh semua manusia, dalam hal ini termasuk pendidik dan peserta didik. Fitrah berarti suci, bukan seperti teori tabularasa yang dikemukakan John Lock yang bersih dari segala hal, namun suci dalam arti tidak memiliki dosa bawaan dan
106I
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
memiliki kecenderungan kepada agama Allah. Suci dalam arti dapat diarahkan kemanapun juga oleh para pendidik dengan bekal potensi-potensi dasar yang sudah dimiliki oleh seorang anak setelah dilahirkan ke dunia. Menurut pandangan Islam fitrah sudah dimiliki oleh seseorang pada waktu ia baru dilahirkan ke dunia. Seorang bayi yang dilahirkan dalam keadaan suci, dalam arti suci bersih tanpa noda dosa yang diwariskan pendahulunya, namun sudah membawa berbagai potensi yang siap dikembangkan lewat pendidikan. Potensi untuk beragama umpamanya, dapat diarahkan lewat pendidikan. Pada dasarnya semua anak yang baru dilahirkan sudah membawa potensi beragama dan kecenderungan untuk berTuhan, untuk mencari sesuatu yang dapat melindungi dan mengatasi berbagai persoalan yang kadang kala tidak dapat diatasinya dengan hanya mengandalkan manusia dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh manusia. Namun adakalanya pendidikan dan lingkungan selanjutnya tidak dapat mendukung potensi tersebut untuk berkembang sehingga timbul kesan bahwa anak yang dilahirkan sebenarnya tidak memiliki potensi tersebut. Hanya pemaksaan melalui pendidikanlah yang memaksa seseorang untuk mengakui adanya Tuhan atau sesuatu zat Maha Agung yang telah menciptakan manusia. Fitrah dalam Islam tidak sama dengan teori tabula rasa yang dikembangkan John Lock,13 namun anak tersebut memiliki potensi-potensi yang bersih dari pengaruh lingkungan, ketika ia baru dilahirkan. Potensi-potensi inilah yang dapat dikembangkan oleh seorang pendidik melalui pendidikan. Sesuai dengan hal di atas, sebuah hadits nabi mengemukakan hal yang sama :
)ما مه مىلىد اال يىلذ علئ الفطرة فأبىاي يهرداوً أو يىصراوً أو يمسجساوً (رواي بخاري artinya : Tidak adalah anak yang dilahirkan itu kecuali dalam keadaan fitrah, maka kedua orangtuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nashrani atau Majusi. Hadits riwayat Bukhari. Fitrah dalam hadits di atas lebih menekankan pada potensi beragama yang dimiliki setiap manusia,dan pendidiklah yang akan mengarahkan kecenderungan beragama tersebut sesuai dengan yang seharusnya. Sesuai dengan fitrah ini dapat pula disimak ayat Al-Quran suarah Ar-Ruum (30) ayat 30 berikut: John Lock (1632-1704 M) mengajarkan bahwa perkembangan pribadi ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan, terutama pendidikan. Lock dikenal dengan teori “tabula rasa” yang menganggap manusia terlahir bagaikan meja lilin yang putih bersih, dan lingkunganlah yang memberikan tulisan-tulisan yang akan mewarnai meja lilin tersebut. 13
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
I107
Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tetaplah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah agama lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahuinya. Dalam
fitrah
terkandung
beberapa
komponen
potensial
yang
siap
dikembangkan, yaitu : 1. Kemampuan dasar untuk beragama Islam seperti yang digambarkan dalam AlQuran dialog antara janin dan Tuhan ketika janin masih berada di dalam rahim seorang ibu, di mana Allah menanyakan “alasTu bi Robbikum?” Janin menjawabnya dengan “Balaa, syahidna.” 2. Mawahib (bakat) yang memuat kemampuan dasar yang lebih dominan dibandingkan dengan yang dimiliki orang lain, dan “Qabliyyat” (tendensi atau kecendrungan) yang mengacu kepada keimanan kepada Allah 3. Naluri dan kewahyuan (revilation) 4. Kemampuan dasar untuk beragama secara umum 5. Dalam fitrah terdapat komponen psikologis apapun, yaitu bakat, instink atau gharizah, nafsu dan dorongan-dorongannya, karakter atau watak tabi`at manusia, hereditas atau keturunan, serta intuisi atau ilham yang dapat dilihat dalam diagram fitrah yang digambarkan M. Arifin berikut ini:
108I
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Diagram Fitrah14)
Bakat dan Kecerdasan Hereditas Keturunan
Instink (naluri) Potensi dasar
Nafsu (drivers)
Intuisi (ilham) Karakter (Watak asli)
Dari diagram di atas dapat dilihat ada enam potensi dasar yang dimiliki anak yang baru dilahirkan yang tercakup dalam konsep fitrah, yaitu: 1. Bakat dan kecerdasan 2. Hereditas (keturunan) 3. Nafsu (drivers) 4. Karakter (watak asli) 5. Intuisi (ilham) 6. Instink (naluri). Seorang anak yang dilahirkan telah memiliki bekal bakat dan kecerdasan yang akan memberikan peluang bagi anak tersebut untuk berhasil dalam kehidupannya sesuai dengan bakat dan kemampuan yang ia miliki. Ramayulis 15 mengklasifikasikan kecerdasan kepada kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional, kecerdasan spritual dan kecerdasan qalbu. Kecerdasan intelektual adalah kecerdasan yang menuntut pemberdayaan otak, hati, jasmani dan pengaktifan manusia untuk berinteraksi secara fungsional dengan yanglain. Kecerdasan intelektual berhubungan dengan proses kognitif seperti berpikir, daya menghubungkan, menilai
dan memilah serta mempertimbangkan sesuatu, atau kecerdasan yang
Lihat M. Arifin, Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1991, hlm : 89-103. 14)
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
I109
Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
berhubungan dengan strategi pemecahan masalah dengan menggunakan logika. Tentang kecerdasan intelektual ini dapat disimak surah An-Nahl ayat 12 berikut.
Artinya : “Dan Dia menundukkan malam, siang, matahari, bulan untukmu. Dan bintangbintang itu ditundukkkan (untukmu) dengan perintahNya. Sesungguhnya pada demikian itu terdapat tanda-tanda bagi orang yang berakal.” Ayat di atas mengisyaratkan bahwa manusia mampu memikirkan tentang alam, tentang peredaran planet matahari dan bumi yang kemudian membentuk perubahan dari siang menjadi malam, dan dari malam menjadi siang dengan kecerdasan intelektual yang mereka miliki. Sebagai hasil pikir terhadap kedua planet itu pula manusia mampu menentukan kapan harus memulai untuk bercocok tanam dan kapan mereka melaksanakan sholat-sholat yang difardhukan. Dari hasil pikir terhadap kedua planet itu pula manusia dapat menciptakan alat transportasi lewat udara yang kemudian membuat mereka mampu menunaikan ibadah haji meskipun memiliki jarak yang sangat jauh dari Ka`bah. Kecerdasan emosional adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati dan berdo`a, mampu mengenal emosi orang lain sehingga dapat membantu orang lain dalam memecahkan persoalannya. Salovey sebagaimana yang dikutip Daniel Goleman 16
memperluas
kemampuan emosional menjadi lima wilayah utama, yaitu : 1. Mengenali emosi diri, yaitu kesadaran diri dalam mengenali perasaan waktu perasaan itu terjadi. 2. Mengelola emosi, yaitu menangani perasaan agar perasaan dapat terungkap dengan pas Ramayulis, Op. Cit, hlm. 97-110. Daniel Goleman, Emotional Inteligence Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih penting daripada IQ, (terjemahan T. Hermaya), Jakarta, 2004, hlm. 58-59. 15 16
110I
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
3. Memotivasi diri sendiri, yaitu kekmampuan memanfaatkan emosi untuk memberi perhatian pada motivasi dan menguasai diri sendiri. 4. Mengenali emosi yang lain, yaitu kemampuan merasakan perasaan orang lain yang merupakan ketrampilan bergaul dasar, yang sangat berhubungan dengan kesadaran diri emosional. 5. Membina hubungan, yaitu ketrampilan mengelola emosi orang lain. Dalam konteks ajaran Islam ajaran tentang kecerdasan emosional dapat disimak surah Al-`Ashr ayat 2 dan 3 berikut.
Artinya : “Sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh dan saling berwasiat dengan kebenaran dan kesabaran. Ayat di atas menggambarkan bagaimana meruginya orang yang tidak mampu memotivasi dirinya untuk melakukan hal-hal yang baik. Sebaliknya orang yang mampu memotivasi dirinya untuk berbuat baik dan saling berwasiat dengan kesabaran dan kebaikan merupakan orang yang beruntung, yaitu orang yang mampu mengendalikan dirinya dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi yang dihadapi serta mampu meredam emosi orang lain dengan memberi nasehat. Gambaran tentang kecerdasan emosi dapat dilihat dari pribadi nabi Muhammad saw. dalam menghadapi berbagai peristiwayang dihadapinya. Di antaranya ketika berada di gua Hira` bersama Abu Bakar, di mana Abu Bakar sangat takut dan cemas jika keberadaan mereka diketahui musuh. Dengan tenangnya nabi Muhammad saw. menenangkan Abu Bakar dengan berkata “”الﺘخاﻒىالﺘﺤﺯهﺇهاﷲمعىا. Peristiwa lain yang dapat disimak adalah ketika beliau dikejar-kejar oleh seorang kafir Quraisy bernama Da`tsur dengan sebilah pedang panjang yang berniat hendak membunuhnya. Ketika telah dekat dan Da`tsur telah menemukan beliau, dan bertanya “Sekarang siapa yang akan menolong engkau dariku hai Muhammad?” Dengan tenangnya nabi Muhammad menjawab “Allah”. Seketika Da`tsur luluh hatinya menghadapi nabi Muhammad saw., sehingga memutuskan untuk memeluk Islam. Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
I111
Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Kecerdasan spritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola pemikiran tauhidi (integralistik) serta prinsip hanya karena Allah. 17 Dengan demikian seorang individu yang memiliki kecerdasan spritual akan terhindar dari gangguan dan penyakit kejiwaan karena setiap keberhasilan dan kegagalan yang dimilikinya diyakini berasal dari Allah, sehingga kegagalan tidak akanmembuat dia putus asa, sementara keberhasilan tidak akan membuatnya menjadi sombong. Dalam konteks Al-Quran disebutkan bahwa manusia dan jin diciptakan untuk menyembah Allah, dalam arti kata seyogyanyalah jalan hidup manusia selalu tertuju untuk menyembah Allah SWT., sebagaimana firmannya dalam surah Az-Zariyat (51) ayat 56 berikut.
Artinya: “ Dan tidaklah Aku jadikan manusia dan Jin kecuali untuk menyembahku.” Abd Mujib sebagaimana yang dikutip Ramayulis18 mengartikan kecerdasan qalbu adalah sejumlah kemampuan diri secara cepat dan sempurna, untuk mengenal kalbu dan aktivitas-aktivitasnya, mengelola dan mengekspresikanjenis-jenis kalbu secara benar, memotivasi kalbu untuk membina hubungan moralitas dengan orang lain dan hubungan ubudiyah dengan Tuhan. Seorang anak yang dilahirkan tidak terlepas dari pengaruh keturunan yang diperoleh dari kedua orangtuanya. Faktor ini akan mempengaruhi segenap pertumbuhan (pisik) anak maupun perkembangan (psikis) anak tersebut. Islam juga mengakui bahwa seorang anak yang dilahirkan memiliki keinginan dan nafsu sendiri yang berbeda-beda antara yang satu dengan yang lainnya. Dalam hal ini Islam mengakui adanya perbedaan antara satu orang dengan yang lainnya. Firman Allah dalam Al-Quran surah Asy-syams ayat 7 dan 8:
17 Ary Ginanjar Agustian, ESQ Emotional Spritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta, Arga, 2005, hlm. 57. 18 Ramayulis, Op. Cit. Hlm. 108-109.
112I
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Artinya : “Dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya), Maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.” Di samping potensi-potensi di atas seseorang juga memiliki watak asli (karakter) yang berbeda-beda pula antara satu orang dengan orang lainnya. Karakter ini sulit diubah karena melekat kuat pada pribadi seseorang. Dalam fitrah juga tercakup bahwa seseorang ketika dilahirkan sudah diberi bekal ilham dan instink. Peserta didik dapat pula dilihat dari segi kebutuhannya. Ramayulis 19 menggambarkan 8 bentuk kebutuhan peserta didik yaitu kebutuhan pisik, kebutuhan sosial, kebutuhan untuk mendapatkan status, kebutuhan mandiri, kebutuhan untuk berprestasi, kebutuhan ingin disayangi dan dicintai, kebutuhan untuk curhat, dan kebutuhan untuk memiliki filsafat hidup. Masing-masing kebutuhan seharusnya terpenuhi dengan baik, dan aspek-aspek ini harus mendapat perhatian dari seorang guru.
19
Ibid., hlm. 78-80.
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
I113
Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Semua potensi-potensi yang terkandung dalam fitrah tersebut hanya bisa berkembang dengan optimal melalui proses pendidikan. Dengan demikian pendidikan mutlak diperlukan bagi setiap individu untuk dapat mengembangkan potensi-potensi yang telah dimilikinya sewaktu dilahirkan. Tanpa pendidikan maka potensi-potensi tersebut akan seperti bahan baku (bahan dasar) dasar tidak dibentuk dan tidak akan mungkin berubah dan berkembang sesuai dengan keinginan pembentuknya. Di sini peran pendidikan mutlak diperlukan. Sementara itu Al-Ghazali mengatakan bahwa perlu dilakukan pembinaan dan pembentukan fitrah serta perbaikan tabi`at atau instink. Seorang pendidik dalam membina mental tidak dituntut menekan habis efek dasar anak atau menghilangkan sama sekali, karena hal itu tidak mungkin dilakukan. Al-Ghazali menekankan pada pendidikan akhlak, dan dalam hal ini ia mengatakan bahwa pendidik harus menentang sepenuhnya semua yang diingini pendidik karena anak sering kali didorong oleh hawa nafsunya untuk berbuat kecenderungan tertentu.20) Sedangkan Hasan Langgulung mengemukakan bahwa potensi-potensi yang perlu dikembangkan pada anak didik itu adalah yang tersimpul dalam asmaul husna, yaitu sifat-sifat Allah yang berjumlah 99 itu. Potensi-potensi inilah yang harus diekmbangkan lewat pendidikan. Potensi-potensi inilah yang kemudian dikembangkan dalam berbagai bidang studi pedidikan di sekolah-sekolah formal yang ada. Dan anak didik dikembangkan seoptimal mungkin sesuai dengan bakat dan potensi dasar yang mereka miliki. Pengembangan potensi-potensi ini tentu saja selalu diarahkan untuk mencapai tujuan pendidikan Islam. Abdul Rahman Saleh Abdullah 21 mengungkapkan tujuan pendidikan Islam secara umum adalah untuk membangun individu yang dapat berprilaku sebagai khalifah Allah yang beriman kepada Allah dan mengabdikan dirinya secara total kepada Allah sebagaimana firman Allah dalam surah Az-Zariyat (51) ayat 56 di atas. Konsep “ibadah” dalam ayat ini bermakna kepatuhan kepada Allah dan berprilaku sesuai dengan ajaranNya. Dalam hal ini Sayyid Qutb sebagaimana yang 20)Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-Aliran dalam Pendidikan (alih bahasa Aqil Husin al-Munawwar dan Hadri Hasan), Semarang, Dina Utama, 1993, hal : 52 dan 58. 21 Abdul Rahman Saleh Abdullah, Educational Theory a Quranic Outlook, Makkah al-Mukaraamah, Jami`ah Umm al-Qura, 1982, hlm. 116.
114I
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
Hartono : Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
dinyatakan Abdul Rahman Saleh Abdullah mengartikan ibadah dengan makna yang komprehensif mencakup segala prilaku khalifah yang diperhitungkan sebagai ibadat. Pelaksaan ajaran Allah dalam bentuk ibadah tersebut dapat melepaskan manusia dari siksa, baik di dunia (dalam bentuk kesakitan, mala petaka dan kemiskinan), maupun siksa di akhirat, sehingga dapat diartikan bahwa Islam memandang pendidikan sebagai tanggungjawab setip muslim, agar mereka terbebas dari siksa api neraka sebagaimana firman Allah dalam Al-Quran surah At-Tahrim (66) ayat 6:
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, “Peliharalah diri dan keluargamu dari api neraka”.
C. Penutup Pendidik dan anak didik merupakan sebuah rantai (siklus) yang terus menerus yang di mana anak didik pada saat ini akan menjadi pendidik pada masa mendatang, begitu terus menerus selama peradaban manusia masih berkembang. Demikian tulisan ringkas ini yang mungkin masih jauh dari kelemahan dan kekurangan, karena apa yang berasal dari Allah adalah yang hakiki, sementara interpretasi manusiawi bersifat nisbi semata. Kritikan dan saran untuk perbaikan penulis sangat harapkan. Wallahu a`lam bi ash-Shawab.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rahman Saleh Abdullah, Educational Theory a Quranic Outlook, Makkah alMukaraamah, Jami`ah Umm al-Qura, 1982.
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014
I115
Hartono: Pendidik Dan Peserta Didik Dalam Perspektif Filsafat Pendidikan Islam
Adisusilo, Sutarjo, Problematika Perkembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Kanisius. Agustian, Ary Ginanjar, ESQ Emotional Spritual Quotient Berdasarkan 6 Rukun Iman dan 5 Rukun Islam, Jakarta, Arga, 2005. Albert dan Loy Morehead, The New American Webster Handy College Dictionary, New York, New American Library, 1972. Arifin, M., Ilmu Pendidikan Islam Suatu Tinjauan Teoritis danPraktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner, Jakarta, Bumi Aksara, 1991. Daradjat, Zakiyah et al, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Bumi Aksara, 1992.
Goleman, Daniel Emotional Inteligence Kecerdasan Emosional Mengapa EI lebih penting daripada IQ, (terjemahan T. Hermaya), Jakarta, 2004. Muhmidayeli, Filsafat Pendidikan Islam, Pekanbaru, LSFK2P, 2005. Noor Syam, Mohammad, Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila, Surabaya, Usaha Nasional, 1984. Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kalam Mulia, 2008. Runes, Dagobert R. Dictionary of Philosophy, Totowa, New Jersey, Littlefield & Co, 1971. Sulaiman, Fathiyah Hasan, Aliran-Aliran dalam Pendidikan (alih bahasa Aqil Husin al-Munawwar dan Hadri Hasan), Semarang, Dina Utama, 1993. `Umra, Mustafā Muh ̣ammad , Jawāhir al-Bukhāri wa Sharh al-Qastalānī, Beirūt, Dār al-Fikr, 1994.
116I
Jurnal Potensia vol.13 Edisi 1 Januari-Juni 2014