INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM (Studi kasus : Deponering Bambang Wijayanto)
Skripsi Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Disusun oleh Bagdhady Zanjani Al Misbakh NIM : 1112048000056
KONSENTRASI KELEMBAGAAN NEGARA P R O G R A M S T U D I ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1437 H / 2016 M
LEMBAR PERNYATAAN 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi satu syarat memperoleh gelar Strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain,maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 30 September 2016
Bagdhady Zanjani Al Misbakh
ii
ABSTRAK INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM (STUDI KASUS DEPONERING BAMBANG WIJAYANTO). Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Independensi Jaksa Agung serta kaitanya dalam penyampingan perkara demi kepentingan umum (deponering) khususnya dalam perkara pemberian deponering Bambang Wijayanto. Hasil analisis ini mengungkap permasalahan independensi Jaksa Agung terletak pada ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan tersebut memiliki makna besarnya pengaruh eksekutif terhadap Kejaksaan RI yang menyebabkan Kejaksaan tidak Independen. Perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia guna menutup celah yang memberikan peluang pada lembaga Kejaksaan untuk tidak Independen. Perubahan tersebut ditekankan poin-poin krusial pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang menjadi sumber utama yang menyebabkan Kejaksaan tidak independen. Pertama, pola pengangkatan Jaksa Agung haruslah diubah dengan menghindari dominasi tunggal Presiden dalam proses pengangkatanya, melainkan juga mengikutsertakan lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna terciptanya sistem check and balances. kedua, ketentuan pemberhentian Jaksa Agung pun jelas harus diubah, ketentuan ini adalah “tenaga” terbesar eksekutif dalam kontribusinya atas tidak independensinya Kejaksaan. Dalam pasal 22 ayat (4) dijelaskan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatanya berakhir, namun dalam penjelasan pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini amat sangat berpotensi menghilangkan independensi Kejaksaan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapanpun tergantung pada keinginan presiden. Dengan permasalahan Kejaksaan yang dinilai tidak independen dan tidak ada penjelasan secara limitatif apa makna dari “kepentingan umum”. Yang berarti hanya pada pandangan subjektif Jaksa Agung semata. Maka akan sangat berpotensi memberikan dampak negatif pada objektifitas pemberian deponering, pemberian deponering karena desakan pihak luar criminal justice system atau desakan politik tertentu akan memperkeruh wajah penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan pertimbangan tersebut penulis beranggapan bahwa penyampingan perkara demi kepentingan umum atas kasus Bambang Wijayanto tidaklah tepat. Lebih baik menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal justice system yang berlaku. Kata Kunci
: Jaksa Agung, Independensi, Deponering
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang
berjudul
“INDEPENDENSI
JAKSA
AGUNG
DALAM
PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM (STUDI KASUS: PEMBERIAN DEPONERING BAMBANG WIJAYANTO”dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat. Dan tidak lupa ucapan terimakasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua tercinta ibunda Hj. Ufat Fatihah dan ayahanda H. Misbakh, M.Pd. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis baik secara materiil maupun immaterial. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D,selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv
3.
Dr. Alfitra, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan arahan serta bimbingannya dengan
sabar
kepada
penulis
selamaini
sampai
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. 4.
Syafrudin Makmur, S.H., MH. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta masukan kepada penulis disela-sela kesibukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.
5.
Segenap Dosen serta staff Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas mendidik dan membimbing penulis dari semester 1 hingga selesai penulisan skripsi ini.
6.
Orang Tua Tercinta Ayah H. Misbakh, M.Pd. dan Ibunda Hj. Ufat Fatihah yang telah mencurahkan kasih sayang kepada penulis dan tidak ada hentihentinya memberikan nasihat serta dukungan baik moril maupun materil yang tidak terhingga, motivasi serta doa yang tidak pernah lelah dipanjatkan untuk penulis, memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan studi S1 ini
7.
Kakak penulis Ayyub Lownardo Austin, S.Pd., M.Pd., M.IP dan Lulu Harliani yang selalu mendukung dan memberikan arahan, doa serta motivasi penulis dalam menimba ilmu untuk menyelesaikan studi S1 ini.
8.
Adik-adik dan Ponakan Tersayang Cordova Baginda Bajuri Harun, Dheandles Duta Agung Bajuri Harun,Easher Shredder Sabique Qurani dan Farha Arpegias Fadhail Kawakib yang selalu memberikan dukungan dan
v
mendoakan penulis serta menjadi sumber semangat penulis dalam menyelesaikan studi S1 ini. 9.
Sahabat-sahabat Penulis Murtadlo Baedlowi, Muhammad Raziv Barokah, Teguh Rudiawan, Muhammad Yusuf, Khairul Atma, Sigit Ganda Prabowo, Dimas Anggri, AgieZaky, Ade Kurniawan, Said Agung Sedayu, Muhammad Ansyori, Agasti Prior, Farid Muhajir dan teman-teman lainnya terimakasih atas kebersamaan dan keceriaan kalian selama ini.
10.
Keluarga besar Ilmu Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan nuansa kekeluargaan sehinnga penulis merasa nyaman berada dalam keluarga ini .
11.
Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak dapat
penulis
sebutkan
satu
persatu,
semoga
senantiasa
dalam
perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT. Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca padaumumnya. Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Jakarta, 30 September 2016 Penulis
Bagdhady Zanjani Al Misbakh
vi
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................................... LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................ .i LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................ ii ABSTRAK ........................................................................................................................... iii KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iv DAFTAR ISI ........................................................................................................................ vii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah...................................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8 D. Tinjauan Kajian Terdahulu ..................................................................... 8 E. Kerangka Konseptual .............................................................................. 10 F. Metode Penelitian.................................................................................... 12 G. Sistematika Penulisan.............................................................................. 15
BAB II
KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia ................................... .17 B. Kedudukan dan Peran Kejaksaan Republik Indonesia............................ 23 C. Susunan dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia......................... 27 D. Syarat Menjadi Jaksa Agung................................................................... 31
vii
BAB III
PENYAMPINGAN PERKARA SEBAGAI SALAH SATU HAK DAN WEWENANG JAKSA AGUNG A. Sejarah Oportunitas di Indonesia ........................................................... 34 B. Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia ....................................... 49 C. Asas Oportunitas Sebagai Dasar Kewenangan Menyampingkan Perkara oleh Jaksa Agung……………………………………………....……….51
BAB IV
INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANG PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM A. Independensi Kejaksaan dalam Kaitanya dengan Negara Hukum .................................................................................................... 56 B. Kaitan Independensi Jaksa Agung dengan Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum ......................................................... 63 C. Analisis Penyampingan Perkara Bambang Wijayanto Demi Kepentingan Umum oleh Jaksa Agung ................................................... 74
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................. 79 B. Saran........................................................................................................ 81
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 83
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution).1Salah satu lembaga negara yang berperan penting dalam proses penegakkan hukum di Indonesia adalah Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 35 (c) yang berbunyi : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa atau negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Penyaampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan 1
Jimly Assiddhiqqie, makalah yang berjudul “Pembangunan Hukum dan Penegakkan Hukum Di Indonesia”. Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006
1
2
kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Namun, penjelasan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ini tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara jelas. Penyampingan perkara didasarkan pada azas oportunitas. Azas oportunitas ialah azas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum2 atau hak jaksa agung yang karena jabatannya untuk mendeponer perkara-perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya. Dengan kata lain perkaranya dikesampingkan walaupun cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa diputus bersalah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka bisa dikatakan tugas Kejaksaan di dalam penyelenggaraan negara kita sangatlah penting, karena selaku institusi tempat bernaungnya seluruh Jaksa, Kejaksaan mempunyai peran penting selaku penghubung antara masyarakat dengan negara dalam menjaga tegaknya hukum dan norma yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan fungsinya, Kejaksaan haruslah bekerja secara merdeka dan bebas dari intervensi manapun termasuk dari pemerintah. Sangat 2
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009) h.436.
3
berbahaya apabila Kejaksaan bekerja dengan adanya intervensi dari pihak lain. Independensi Jaksa hingga sekarang banyak menuai perdebatan. Hal ini tidak terlepas dari
kedudukan Kejaksaan sendiri
sebagai
lembaga
pemerintahan sedangkan fungsinya yang sebagai institusi penegak hukum menimbulkan banyak pertanyaan “mampukah Kejaksaan bisa bekerja secara merdeka dalam melakukan fungsinya, namun kedudukan Kejaksaan sendiri adalah sebagai bagian dari eksekutif” Ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden memiliki makna besarnya pengaruh eksekutif terhadap lembaga Kejaksaan. Hal ini menyebabkan Kejaksaan sulit mendapatkan keindependensianya. Dalam negara yang melaksanakan sistem demokrasi, seorang presiden dipilih dari calon-calon yang dijagokan partai politik, maka sangat mungkin Jaksa Agung dipilih oleh Presiden dari partainya atau partai pendukungnya dengan komitmen tertentu. Hal ini sangat rawan akan “conflict of interest”, seharusnya Jaksa Agung adalah “a man of law” yang dalam sistem kita dapat digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang tidak mengabdi kepada presiden dengan kepentingan politiknya.
4
Dalam Black’s Law Dictionary, independent diartikan “not subject to the control or influence of another.”3 Dari pengertian tersebut, independen berarti tidak tunduk pada kekuasaan atau pengaruh pihak lain. Independensi di sini dapat menyangkut individu maupun lembaga dalam kaitannya dengan status atau hubungan dengan pihak lain,4 sehingga indepensi meliputi kemandirian atau kebebasan individu maupun kelembagaan terhadap pengaruh pihak eksternal. Tidak dapat dipungkiri bahwa tugas penegakan hukum dan keadilan merupakan tugas yang sangat berat, apalagi dalam konteks Indonesia yang masih dilanda kemiskinan, ketidakadilan, serta korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah sedemikian sistemik dan menggurita hingga menyentuh semua lapisan masyarakat. Pada masa orde baru, kejaksaan yang seharusnya bertindak sebagai lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan hukum publik berubah menjadi lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan pemerintah. Berdasarkan struktur kelembagaannya saat ini, secara formal kejaksaan merupakan bagian dari pemerintah atau eksekutif, sehingga tidak akan mudah untuk menjadi lembaga penegakan hukum yang
3
4
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (ST. Paul, MINN: West Group, 2009), h. 838
David Phillip Jones, “Recent Developments in Independence and Impartiality.” (Canadian Journal of Administrative Law & Practice, 2002). Diakses melalui http://www.westlaw.com, 15 agustus 2016
5
berkiblat pada kepentingan publik atau public sense of justice5 dan independen atau terbebas dari campur tangan pihak lain terutama eksekutif.6 Contoh nyata dari sulitnya kejaksaan terbebas dari campur tangan eksekutif terlihat jelas dalam perkara yang menimpa mantan Komisioner KPK Bambang Wijayanto, Peristiwa ini berawal dari adanya dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Bambang Wijayanto. MABES POLRI menetapkan
Bambang
Wijayanto
sebagai
tersangka
terkait
dugaan
mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam dalam sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kota Waringin Barat pada tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi.
Perkara
Bambang Wijayanto
dalam
dugaan
mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam Pilkada Kotawaringin Barat dinyatakan sudah sampai pada tahap penuntutan. Jaksa Agung lalu mempertimbangkan perkara itu di deponering. Jaksa agung kemudian mengirimkan surat permintaan pertimbangan deponering ke Komisi III DPR RI. Kemudian Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa memastikan komisinya menolak saran deponering perkara mantan Komisioner KPK tersebut. Alasanya, tidak ada unsur kepentingan umum yang mengharuskan perkara itu dihentikan. Sementara Presiden Joko Widodo melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi SP memerintahkan agar perkara-perkara yang berkaitan dengan KPK segera 5
Rod Harvey. “The Independence of The Prosecutor; a Police Perspective.” Makalah diterbitkan dalam http://www.aic.gov.au. Diakses pada tanggal 17 agustus 2016 6
Todung Mulya Lubis, Catatan hukum Todung Mulya Lubis: mengapa saya mencintai negeri ini?, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), h. 111
6
diselesaikan, tentu dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan secara hukum, dan pada tanggal 3 Maret 2016 Jaksa Agung HM Prasetyo yang berasal dari politisi Nasdem resmi menggunakan kewenangan penyampingan perkara demi kepentingan umum dalam kasus ini. Mengeluarkan keputusan penyampingan perkara demi kepentingan umum (deponering) atas perkara mantan Komisioner KPK Bambang Wijayanto.7Instruksi Presiden melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi SP menunjukan bahwa Kejaksaan yang dimpimpin oleh Jaksa Agung jelas tidak bisa lepas dari pengaruh intervensi eksekutif. J. Remmelink mengatakan bahwa akan selalu ada bahaya jika Kejaksaan tidak menjalankan tugas dan wewenangnya dengan independen. Bahwa akan selalu ada motif-motif partai politik dalam memutuskan memerintah tugas dari Kejaksaan dalam hal, misal penyampingan suatu perkara demi kepentingan umum, ataupun untuk memerintahkan menuntutnya. 8 Kewenangan institusi Kejaksaan yang dipimpin oleh Jaksa Agung menangani perkara dalam bidang penuntutan tidak terlepas dari persoalan independensi atau kemandirianya untuk dapat mengambil sikap berupa kebijakan-kebijakan (diskresi) dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Meskipun UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI telah memberikan wewenang oportunitas yang hanya dimiliki oleh jaksa agung sebagai 7
8
http://kriminalitas.com/indo/content/view/5317/6/ (diakses Senin, 29 Maret 2016 14:30)
Jan Rammelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), (PT Gramedia Pustaka, Jakarta: 2003), h. 5
7
pemimpin tertinggi institusi Kejaksaan RI, namun dalam menangani perkara seringkali muncul keraguan dengan mempertanyakan independensi kejaksaan dalam memproses perkara. Kecurigaan rasional pada intinya ditujukan pada pengaruh kepentingan eksternal atas. Tidak independensinya Jaksa Agung karena posisi kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dan Jaksa Agung adalah jabatan politis non karir yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala pemerintahan. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu melebar, maka penulis hanya membatasi masalah pada Independensi Jaksa Agung serta kaitanya dengan peran dan fungsi Jaksa Agung dalam menjalankan Azas Oportunitas dalam pelaksanaan tugasnya melakukan penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan pembahasan masalah yang telah diuraikan, maka perumusan masalahnya akan dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana permsalahan Independensi yang dialami oleh Jaksa Agung? b. Bagaimana kaitan independensi Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas peyampingan perkara pidana demi kepentingan umum dalam kasus Bambang Wijayanto ?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sebagaimana latar belakang dan rumusan masalah yang penulis utarakan maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah: a.
Untuk mengetahui permasalahan independensi yang dialami oleh Jaksa Agung.
b.
Untuk mengetahui kaitan Independensi Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas peyampingan perkara pidana demi kepentingan umum.
2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan bisa menjadi rujukan bagi mahasiswa Syariah dan Hukum khususnya Ilmu Hukum dalam menganalisa kasus yang sama atau hampir sama dengan penelitian yang penulis buat. Penulis juga berharap dengan adanya penelitian ini seluruh masyarakat di Indonesia dapat memahami tentang Independensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu Nama Fakultas/ Prodi Tahun Judul Skripsi
Gery Pamungkas Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
2015 Independensi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara.
9
Substansi Pembeda
Nama Fakultas/ Prodi Tahun Judul Skripsi
Substansi
Pembeda
Nama Publisher Tahun Judul Buku Substansi Pembeda
Skripsi ini membahas tentang Independensi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara. Penelitian penulis dengan skripsi di atas sangat jauh berbeda. Penulis hanya menjadikan skripsi tersebut acuan dalam hal konsep. Karena penelitian di atas dengan milik penulis memiliki konsep yang sama yakni mengenai Independensi Kejaksaan RI. Namun, penelitian di atas mengenai Independensi Jaksa sebagai Pengacara Negara. Sedangkan penulis membahas Independensi Jaksa Agung dalam melakukan deponering. Yelina Rachma P Universitas Sebelas Maret /Fakultas Hukum 2010 Tintauan tentang pengaturan azas penyampingan perkara demi kepentingan umum (azas oportunitas) dalam KUHAP dan relevansinya dengan azas persamaan di mata hukum ( equality before the law) Skripsi ini membahas pertanggung jawaban pengaturan azas penyampingan perkara demi kepentingan umum (azas oportunitas) dalam KUHAP dan relevansinya dengan azas persamaan di mata hukum (equality before the law). Penulis menjadikan skripsi ini sebagai acuan karena memiliki kesamaan konsep penerapan azas oportunitas oleh jaksa agung dalam system hukum di indonesia. Terdapat pembedaan mengenai sudut pandang. Dalam skripsi ini menekankan tentang pengaturan azas oportunitas sedangkan penulis Independensi Jaksa Agung dalam penerpan azas oportunitas dalam suatu perkara pidana, khususnya perkara yang mendera mantan komisioner KPK yaitu, Bambang Wijayanto.
Dr. Alfitra, S.H., M.H Raih Asa Sukses 2012 Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana Buku ini merupakan salah satu kerangka pemikiran tentang penerapan azas oportunitas oleh Jaksa Agung Buku ini merupakan acuan dasar tentang hal-hal yang berkaitan dengan azas oportunitas khususnya penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum.. Sedangkan penulis akan membahas tentang Independensi
10
Jaksa Agung dalam penyampingan perkara pidana(deponering) berdasarkan azas oportunitas
Nama Tahun Judul Jurnal Substansi Pembeda
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H 2010 Independensi Kejaksaan sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal ini merupakan salah satu kerangka pemikiran tentang Independensi Kejaksaan RI. Jurnal ini merupakan acuan dasar tentang hal-hal yang berkaitan Independensi Kejaksaan dalam Penuntutan. Sedangkan penulis akan membahas tentang Independensi Jaksa Agung dalam penyampingan perkara pidana (deponering) berdasarkan azas oportunitas
E. Kerangka Konseptual 1. Azas oportunitas adalah hak Jaksa Agung yang karena jabatannya untuk mendeponir perkara-perkara pidana, walaupun bukti bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya.9 2. Kejaksaan Republik Indonesia melaksanakan
kekuasaan
negara
adalah lembaga dalam
pemerintah yang
bidang penuntutan
serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.10 9
Karim Nasution, Rapat Dengar Pendapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Masalah Hukum Acara Pidana, (Jakarta : DPR, 2004), h.36. 10
Komisi Hukum Nasional dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Pembaharuan Kejaksaan ; Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa, (Jakarta : KHN dan MaPPI, 2004), h.3.
11
3. Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. 4. Dominus litis berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Penuntut umum ialah dominus litis. Pengertiannya ialah wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umm sebagai monopoli dan tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan selain penuntut umum.11 5. Penuntut umum adalah jaksa yang menuntut perkara yang disidangkan dan berwenang menyerahkan perkara seorang terdakwa kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa. 6. Penuntutan yang berasal dari kata tuntut yang berarti meminta dengan keras (setengah mengharuskan supaya dipenuhi); menagih, menggugat, membawa atau mengadu ke pengadilan.12 7. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini (KUHAP) untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
11
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta :Sinar Grafika,2004), h.48. 12
O.C. Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: PT. Alumni, 2006), h.91.
12
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil
dari pencarian ini akan dipakai untuk menjawab
permasalahan tertentu. Dengan kata lain, penelitian (research) merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif, ia melatih kita untuk selalu sadar bahwa didunia ini banyak yang kita tidak ketahui, dan apa yang kita coba cari, temukan dan ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak, oleh sebab itu, masih perlu diuji kembali.13 Tipe penelitian yang penulis gunakan pada skripsi ini adalah kualitatif dengan pendekatan empiris yuridis. 14yaitu penelitian hukum yang menitikberatkan pada kajian literatur (kepustakaan) serta data sekunder yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kepustakaan
(library
research)
dengan
menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan historis (historical approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach). 2. Sumber Data a.
Bahan Hukum Primer
13
Amirudin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2012), h.5. 14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengertian Hukum Normatif Suatu Tindakan Singkat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2004), h. 14.
13
Bahan-bahan hukum primer meliputi peraturan perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan , dan putusan-putusan hakim.15 b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari literatur hukum, artikel yang berasal dari Jurnal, publikasi press dalam surat kabar, internet, dan dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian, guna memberikan penjelasan lebih lanjut dan mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
c.
Bahan Non-Hukum (Tersier) Bahan Non-Hukum dapat berupa publikasi non hukum yang memuat data-data yang masih relevan atau berkaitan dengan tema penelitian ini.
3. Tehnik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum Metode pengumpulan data dalam penulisan ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, serta bahan non hukum yang telah di dapatkan kemudian dipadukan dan disusun sesuai dengan hierarkinya. Adapun bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder atau bahkan bahan hukum tersier di uraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara deduksi yakni
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, 2010), h. 141.
14
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum ke suatu permasalahan yang bersifat khusus atau yang lebih kongkrit. 16 4. Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum Pengolahan
data
dilakukan
dengan
metode
kualitatif
yakni
memberikan gambaran mengenai permasalahan dengan menganalisis rujukan dalam setiap literatur dan bahan hukum yang disebutkan di atas17. 5.
Analisis Data Teknis
analisis
data
dalam
penelitian
ini
diawali
dengan
mengkompilasi berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul yang penulis ambil. Kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi undang-undang tersebut. Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis tersebut adalah: Pertama, semua bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek bahasannya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian diuraikan dan dijelaskan tentang objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku.
16
17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 42. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004) ,h. 104.
15
6.
Metode Penulisan Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
G. Sistematika Penulisan Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima bab dengan sub bab, dengan uraian singkat sistem penulisan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan isi penelitian yang akan digali dengan tujuan untuk membuka pemahaman secara umum sisi penelitian yang terdiri atas latar belakang penelitian, alasan penelitian. Selanjutnya akan dibahas mengenai kerangka konseptual dan
kerangka
teoritis
yang
digunakan
untuk
menganalisa
permasalahan tersebut. Selain itu juga diuraikan juga mengenai metode penelitian ini dan sistematika penulisan. BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Bab ini akan membahas secara teoritis tentang sejarah. Didalamnya akan dibahas tentang tinjauan umum mengenai Kejaksaan RI dan Jaksa Agung. Dibahas tentng sejarah dan perkembangan Kejaksaan di Indonesia.
16
BAB III PENYAMPINGAN PERKARA SEBAGAI SALAH SATU HAK DAN WEWENANG JAKSA AGUNG Dalam bab ini akan membahas kewenangan Kejaksaan dalam penyampingan perkara (Deponering). Pengertian dan istilah azas oportunitas, latar belakang berlakunya azas oportunitas di Indonesia. Sejarah singkat dan perkembangan azas oportunitas sebagai dasar penyampingan perkara demi kepentingan umum di Indonesia. BAB IV INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANG PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan analisis terhadap independensi Jaksa Agung dan kaitanya dengan kewenangan penyampingan perkara dengan alasan kepentingan umum. Kasus yang terkait adalah penyampingan perkara Bambang Wijayanto. BAB V PENUTUP Merupakan bab penutup dari keseluruhan Bab 1, 2, 3, 4, akan dikategorikan simpulan akhir sebagai jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dibahas dan dianalisis dalam penelitian ini. Disamping itu disampaikan juga saran atau rekomendasi yang sekiranya berguna bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.
BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA A.
Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia 1. Sebelum Reformasi Istilah kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertenti di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta. Menurut W. F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M).18 Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para adhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi. Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter).19
18
http://.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
19
http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Indonesia, diakses, 18 Agustus 2016
17
18
Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa. Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan
Negeri),
Juridictie
Geschillen
(Pengadilan Justisi)
dan
Hooggerechtshof (MA) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten Residen. Hanya saja pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan Belanda mengemban misi terselubung, antara lain :20 a.
Mempertahankan segala peraturan Negara.
b.
Melakukan penuntutan segala tindak pidana.
c.
Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khusunya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Peran Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan
pertama
kali
oleh
Undang-Undang
pemerintah
zaman
pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942, yang kemudian diganti oleh 20
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
19
Osamu Seirei Nomor 3/ 1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk :21 a.
Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran.
b.
Menuntur Perkara.
c.
Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
d.
Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tentang Badan-Badan dan Peraturan Pemerintah Dulu. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan UUD 1945, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku. Secara yuridi formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Sua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disingkat PPKI) diputuskan
21
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
20
kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perkembangan dan diamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 23 (dua puluh tiga) periode kepemimpinan
Jaksa
Agung.
Seiring
dengan
perjalanan
sejarah
ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga mengalami berbagai perubahan yag disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.22 Menyangkut Undang-Undang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undanf-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indoinesia, Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat Negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan Menteri/Jaksa Agung (Pasal 5), dan susunan organisasi yang diatur oleh keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kajaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 22
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
21
Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan Republik Indonesia sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.23 2. Masa Reformasi Masa Reformasi hadir di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-Undang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia untuk mengggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. kehadiran UndangUndang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya. 24 Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahawa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara
23
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
24
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
22
dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UndangUndang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana. Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaaan Republik Indonesia sebagai lembaga Negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan.25 Mengacu pada Undang-Undang tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan Negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka artinya bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
25
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
23
B.
Kedudukan dan Peran Kejaksaaan Republik Indonesia Mengenai kedudukan dan peran kejaksaan. Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan republik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah Lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara terutama di bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum. Ini berarti bahwa kejaksaan sebagai perwujudan dari segala kebebasan dan keadilan, sebab kejaksaan
mewakili
dan
mempertahankan
kekuasaan
Negara.
Memperjuangkan kepentingan umum yang sangat membuutuhkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan dan diharapkan kejaksaan mampu bertindak secara netral, di dalam menangani perkara yang harus dipecahkan, khususnya di dalam penanganan perkara selama proses di pengadilan. 1. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia. sudah tentu penekanan pada eksistensi dan eksisnya institusi ini baik dalam tatanan teoritis yang mengacu pada konsepsi negara hukum maupun dalam asas normative praktis yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan artinya Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan kekuasan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan
24
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Supremasi hukum berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif. Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum.26 Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu : Pasal 2 : 1). Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam UndangUndang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 2). Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan secara merdeka. 3). Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 adalah satu atau tidak terpisahkan. Pasal 3 : Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Pasal 4 : 1) Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi kekuasaan negara Republik Indonesia. 26
Wijatobone,“Kedudukan Kejaksaan”, http://wijatobone.blogdetik.com/2008/10/21/optimalisasi-peran-kejaksaan-dalam-penegakansupremasi-hukum/, diakses 18 Agustus 2016
25
2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di Ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. 3) Kejaksaan Negeri berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.
2.
Peran Kejaksaan Republik Indonesia UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya menjamin kesejahteraan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut setidaknya tercermin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-Undang
Kejaksaan
yang
baru
tersebut
dimaksudkan untuk lebih menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Pelaksanaan kekuasaan negara dalam Undang-Undang tersebut harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
26
Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntuan secara merdeka dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
hukum,
penegakan
hak
asasi
manusia,
serta
pemberantasan KKN. Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan
antara
lain
turut
menciptakan
kondisi
yang
mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepernyingan masyarakat. Disinilah letak peran strategis Kajaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa. Dasar hukum pelaksaan kedudukan dan peranan Kejaksaan Republik
Indonesia
sebagai
lembaga
pemerintahan
yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan
27
dijabarkan pada Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, yaitu: Pasal 5 Ayat(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat. Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. C. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Susunan organisasi terdapat dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu : a. Jaksa Agung: b. Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang antara lain sebagai berikut : 1). Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas, wewenang dan fungsi serta membina aparatur Kejaksaan agar berdaya guna dan berhasil guna; 2).Menetapkan dan mengendalikan kebijaksanaan pelaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundangundangan; 3). Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan; 4). Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait meliputi penyelidikan dan penyidikan serta melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden; 5). Melakukan pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang terlibat dalam suatu perkara pidana untuk masuk ke dalam atau ke luar meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, peredaran barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban umum, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan ketertiban masyarakat dan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan; 6). Melakukan tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara, mewakili pemerintah dan negara di dalam atau di luar pengadilan sebagai usaha menyelamatkan kekayaan negara baik di dalam
28
maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden; 7). Menyampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati berdasarkan peraturan perundang-undangan; 8). Memberikan izin tertulis dan menetapkan persyaratan dan tata cara bagi seorang tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di dalam maupun di luar negeri peraturan perundang-undangan; 9). Memberikan perizinan sesuai dengan bidang tugasnya dan melaksanakan tugas-tugas lain peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden; 10.) Membentuk Satuan Tugas di Pusat di Daerah yang terdiri dari instansi Sipil, TNI dan Polri untuk penanggulangan, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana khusus serta tindak pidana tertentu sesuai dengan kebutuhan; 11). Membina dan melakukan kerja sama dengan departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, instansi dan organisasi lain untuk memecahkan permasalahan yang timbul terutama yang menjadi tanggung jawabnya. Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung. a. Wakil Jaksa Agung Wakil Jaksa Agung mempunyai tugas yaitu: 1). Membantu Jaksa Agung dalam membina dan mengembangkan organisasi, administrasi sehari-hari serta tugas-tugas teknis operasional lainnya agar berdaya guna dan berhasil guna; 2). Membantu Jaksa Agung dalam mengkoordinasikan pelaksanaan tugas, wewenang, dan fungsi para Jaksa Agung Muda, Pusat dan Kejaksaan di daerah; (1).Mewakili Jaksa Agung dalam hal Jaksa Agung berhalangan; (2). Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan petunjuk Jaksa Agung. Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. b. Jaksa Agung Muda Pembinaan; Jaksa Agung Muda Pembinaan adalah unsur pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang pembinaan yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.
29
Jaksa Agung Muda Pembinaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pembinaan atas manajemen, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana, pengelolaan keuangan, kepegawaian, perlengkapan, organisasi dan tatalaksana, melakukan penelaahan dan turut menyusun perumusan peraturan perundang-undangan, pengelolaan atas kekayaan milik negara yang menjadi tanggung jawabnya serta memberikan dukungan pelayanan teknis dan administratif bagi seluruh satuan organisasi Kejaksaan dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas. c. Jaksa Agung Muda Intelijen; Jaksa Agung Muda Intelijen adalh unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang intelijen yustisial yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Intelijen mempunyai tugas dan wewenang melakukan kegiatan intelijen yustisial di bidang sosial, politik, ekonomi, keuangan, dan pertahanan keamanan untuk mendukung kebijaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif mapun represif, melaksanakan dan/atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. d. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana umum yang diatur di dalam dan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mempunyai tugas dan wewenang melakukan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak pidana umum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung e. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan
30
pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. f. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara; Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai perkara perdata dan tata usaha negara yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang melakukan penegakan, bantuan, pertimbangan dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah dan negara di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. g. Jaksa Agung Muda Pengawasan; Jaksa Agung Muda Pengawasan adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial di bidang pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Pengawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. h. Pusat 1) Di lingkungan Kejaksaan dapat dibentuk Pusat sebagai unsur penunjang kegiatan Kejaksaan. 2) Pembentukan Pusat ditetapkan oleh Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayaagunaan aparatur negara. i. Kejaksaan di Daerah Kejaksaan di Daerah terdiri Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang kedudukan dan wilayah hukumnya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rincian tugas dan wewenang, susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di atur lebih lanjut oleh Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. 1) Kejaksaan Tinggi 2) Kejaksaan Negeri
31
Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 34 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu : Semua satuan organisasi Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya diwajibkan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkungan Kejaksaan sendiri maupun dalam hubungan antar departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, dan instansi-instansi lain untuk kesatuan gerak yang sesuai dengan tugasnya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsinya aparat Kejaksaan bertanggung jawab secara hirarkis kepada pimpinan satuan organisasi masingmasing. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsinya satuan-satuan organisasi Kejaksaan berpedoman kepada asas satu kesatuan dan tidak terpisah-pisahkan D. Syarat Menjadi Jaksa Agung Pasal 18 (1) Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan. (2) Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. (3) Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan. (4) Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan. Pasal 19 (1) Jaksa Agung adalah pejabat negara. (2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 20 Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g.
32
a. warga negara Indonesia; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. berijazah paling rendah sarjana hukum; f. sehat jasmani dan rohani; g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; Pasal 21 Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi: a. Pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturann perundang-undangan; b. Advokat; c. Wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terakait dalam perkara yang sedang diperiksa olehnya; d. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta; e. Notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah; f. Arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan perturan perundang-undangan; g. Pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau h. Pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undangundang. Pasal 22 (1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; d. berakhir masa jabatannya; e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
33
(2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB III PENYAMPINGAN PERKARA SEBAGAI SALAH SATU HAK DAN WEWENANG JAKSA AGUNG A. SEJARAH OPPORTUNITAS DI INDONESIA 1. Sebelum Zaman Kolonial Di berbagai tulisan, pada waktu sebelum zaman pendudukan Belanda azas opportunitas tidak diketahui secara tertulis. Oleh karena di Indonesia pemerintahannya pada waktu itu masih berbentuk kerajaan, maka dapatlah dikatakan bahwa raja selalu mempunyai hak opportunitet, mengingat kekuasaannya sebagai raja atau Sultan. 2. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda. Mengingat kekuasaan Gubernur Jenderal yang sangat besar di wilayah jajahan, maka ia dengan mudah menjadikan pasal 179 Reglement of de rechterlijke organisatie sebagai dasar pelaksanaan azas oportunitas, meskipun dalam analisa Andi Hamzah 27 menulis Pasal 32 C Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi : “Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”. Sebelum ketentuan itu, dalam praktek telah dianut azas itu. Dalam hal ini Lemaire mengatakan bahwa pada dewasa ini asas oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negeri ini, sekalipun sebagai hukum tak tertulis yang berlaku. Dikatakan hukum tak tertulis karena adanya Pasal 179 Reglement of de rechterlijke
27
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Artha Jaya, 1996) h.15-16
34
35
organisatie yang dipertentangkan itu. Ada yang mengatakan dengan pasal itu dianut asas oportunitas di Indonesia, ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan dianut atas legalitas karena alasan di dalam pasal 179 RO itu kepada Hooggerechtshof dahulu diberikan kewenangan untuk, bila Majelis itu, karena pengaduan pihak yang berkepentingan atau secara lain mana pun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang kealpaan itu dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan-alasan untuk itu. Yang mengatakan dengan Pasal 179 Reglement of de rechterlijke organisatie itu dianut asas oportunitas karena pada ayat pertama pasal itu ditambah dengan kata-kata “kecuali jika penuntutan oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah”. Vonk mengatakan harus dibedakan antara oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai kekecualian. Dalam hal tersebut diatas merupakan pengecualian. E. BonnSosrodanukusumo mengatakan bahwa waktu pembuat undang-undang tahun 1948 menyusun reglemen itu teristimewa Pasal 179, tidak ingat asas oportunitas dalam bentuknya yang sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa azas opportunitet tetap berlanjut pada zaman kolonial28.
28
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h. 39
36
3. Zaman Jepang Oleh karena pendudukan Jepang di Indonesia tidak begitu lama, hanya kurang lebih 3 ½ tahun saja maka tidak ada perubahan apapun terhadap perundang-undangan, kecuali penghapusan Raad Van Justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa.29 4. Zaman Kemerdekaan Sejak Jepang meninggalkan Indonesia (1945) keadaan Hukum Acara Pidana tidak ada perubahan pemakaian azas opportinitet dalam Hukum Acara Pidana, oleh karena Pasal 179 RO tetap berlaku bahkan kemudian dengan di Undangkannya Undang-Undang Pokok Kejaksaan Undang-Undang Nomor 15/1961, dalam Pasal 8, memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk menseponir/ menyampingkan suatu perkara berdasar alasan “Kepentingan Umum” 30 kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dalam Pasal 32 ( c ), yang menyatakan bahwa : Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara ; yang lebih dipertegas lagi dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP31, sebagai berikut : Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa. Dengan dinyatakannya dalam penjelasan resmi Pasal 77 yaitu berupa :
29
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Artha Jaya, 1996)h. 55
30
M. Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) h. 37 31
Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik Indonesia,(Jakarta: Yayasan Pengayoman,) h. 88-89.
37
“Yang dimaksudkan dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung” maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan dari azas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan dari azas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan posisif di negara kita, yakni dalam KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam Undang- Udnang Nomor 15 Tahun 1961 (UndangUndang Pokok Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas mengakui eksistensi dari perwujudan azas opportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan kepada keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan. Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut adalah untuk menghindarkan tidak timbulnya penyalah gunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan azas oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang melaksanakan azas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap Jaksa selaku Penuntut Umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi. Untuk terjaminnya kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan azas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan dalam suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, hal mana dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi yang bersangkutan. Terhadap perkara
38
yang dikesampingkan demi kepentingan umum, penuntut umum tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap tersangka dalam perkara tersebut di kemudian hari32. Dalam hubungan perwujudan azas oportunitas ini mungkin yang akan menjadi permasalahannya ialah sejauh mana kriteria “demi kepentingan umum” itu yang akan digunakan. Dalam hubungan ini pertama-tama diperhatikan baik KUHAP maupun pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tidak memuat kejelasan apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum” itu, maka sehubungan dengan itu kita harus perhatikan dalam praktek selama ini, yaitu bahwa dalam menyampingkan perkara yang menyangkut kepentingkan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tertinggi negara yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang bersangkutan, antara lain seperti dengan MENHANKAM, KAPOLRI bahkan sering kali dengan Presiden. Dengan demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi. Maka jelas bahwa perundang-undangan kita hingga saat ini tetap menganut azas oportunitas33.
32
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h. 42 33
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h. 43
39
B. PERKEMBANGAN ASAS OPORTUNITAS DI INDONESIA Sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UUD 1945 alinea pertama Bahwa Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, di samping itu undang-undang berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis. Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak hanya hukum tertulis yang berupa peraturan perundangundangan saja melainkan juga hukum tidak tertulis yang meliputi adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baik yang timbul dalam penyelenggaraan Negara (konvensi) maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan di hayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan memperhatikan sejarah hukum yang berlaku di Indonesia sebelum penjajahan sangat dominan dengan hukum adat yang sifatnya heterogen, lain daerah lain pula adatnya. Penyelesaian masalah identik penyelesaian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga adat dengan perangkatperangkat desa. Pada masyarakat primitif tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum perdata, tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan termasuk lembaga-lembaganya. 34 Pandangan rakyat Indonesia waktu itu melihat alam semesta dan lingkungannya merupakan suatu totalitas yang harus dijaga keharmonisannya. Setiap pelanggaran hukum (adat) para penegak hukum harus memulihkannya
34
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.57
40
dengan putusan. Pelunasan/ganti rugi sesuai dengan bentuk-bentuk sanksi adat yang telah ditentukannya. Istilah Jaksa yang berasal dari bahasa Sansekerta “adhyaksa” artinya sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini. Pada masa penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia dengan asas konkordasi, segala perubahan perundang-undangan di Negeri Belanda diberlakukan pula di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dipandang sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula dari asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR (Stb 1926 No. 559 jo 496). HIR sendiri merupakan perubahan dari IR yaitu dengan dibentuknya lembaga Openbaar Ministerie atau penuntut umum, yang dulu di bawah pamong praja secara bulat terpisah berdiri sendiri berada di bawah Officier van Yustitie (untuk golongan Eropa) dan Proceireur General sekarang Jaksa Agung untuk Bumi Putra, sehingga Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi35. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Andi Hamzah : bahwa dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke Pengadilan yang disebut “Penuntut Umum”. Di Indonesia penuntut umum itu disebut Jaksa36.
35
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.58 36
2001)h.13
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia edisi revisi, (Jakarta: CV Artha Jaya,
41
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, karena tidak ada badan lain yang boleh melakukan itu, hal ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau Jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak boleh meminta agar setiap delik pidana diajukan ke Pengadilan. Jadi hakim harap menunggu saja penuntutan yang diajukan dari penuntut umum. Dalam hubungan dengan hak penuntutan dikenal adanya 2 (dua) asas yaitu37 : 1. Asas legalitas yakni penuntut umum wajib melakukan penuntutan suatu delik (hal ini tidak dianut di Indonesia) 2. Asas Oportunitas ialah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan. AZ Abidin Farid memberikan perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut : “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum. Dalam penjelasan UU No.16 Tahun 2004 pasal 35 ditekankan bahwa di lingkungan
Kejaksaan,
mengesampingkan
suatu
Jaksa
Agung
perkara
RI
yang
berdasarkan
mempunyai
kepentingan
hak
umum.
Selanjutnya meskipun tidak ditegaskan dalam pasal ini namun dapat 37
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.60
42
dimengerti bahwa dalam mengesampingkan perkara yang menyangkut kepentingan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabatpejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dalam perkara tersebut antara lain Menteri/kepala Kepolisian Negara, Menteri Keamanan Nasional bahkan juga seringkali langsung kepada Presiden. Sebelum ada ketentuan tersebut di Indonesia dalam praktek telah dianut asas oportunitas yang lazim dianggap sebagai hukum tidak tertulis. Sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia mengakui kebenaran hukum dasar yang tertulis dan tidak tertulis, yang tertulis berupa produk peraturan perundang-undangan yang terbentuknya melalui Dewan Legislatif (DPR) bersama-sama dengan pemerintah tentu membutuhkan waktu panjang dan pembahasan bertele-tele serta biaya mahal sehingga keberadaannya sangat terbatas, jika dibandingkan dengan kebutuhan hukum yang mengatur perkembangan kehidupan masyarakat semakin pesat ibarat deret ukur, sedangkan jumlah peraturan perundang-undangan kurang memadai ibarat deret hitung38. Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia mengalami keberadaan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat, hukum agama, hukum kebiasaan yang timbul dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dihayati dan diakui keberadaannya oleh rakyat Indonesia.
38
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.63
43
Apabila diartikan bahwa asas oportunitas itu pada dasarnya ialah asas kesederhanaan yang menyangkut perkara-perkara kecil yang ancaman hukumnya dibawah 6 (enam) tahun, dan apabila kerugiannya sudah diganti, harus diselesaikan sendiri oleh Jaksa dan tidak perlu dilanjutkan ke Pengadilan, karena hak penuntutan ada ditangan Jaksa. Meskipun aturan tertulis mengenai asas oportunitas tidak jelas, namun di Indonesia tetap memberlakukannya. Hal ini nampak diberbagai unit usaha/kelompok usaha yang memiliki karyawan lebih dari 100 (seratus) orang umpamanya, tentu memiliki satuan keamanan, pengawas bahkan konsultan hukum, apabila terjadi pelanggaran hukum/delik pidana di lingkungannya akan teratasi dengan tebusan uang damai, jika tidak dapat diselesaikan baru ke kantor polisi, meskipun di kepolisian juga diusahakan musyawarah untuk damai. Walaupun berapa saja jumlah uang tebusan pada umumnya orang lebih suka damai dari pada melalui proses pengadilan yang berlarut-larut yang menghabiskan waktu, tenaga juga harta benda. Tidak terbayangkan jika semua perkara/delik pidana yang terjadi di masyarakat seperti Indonesia ini harus mengajukan tuntutan melalui kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tidak akan mungkin mengingat jumlah aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim sangat minim dibandingkan jumlah perkara yang masuk ke pengadilan.39
39
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.64
44
Ada yang mengatakan bahwa oportunitas itu harus dibedakan oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian dalam hal tersebut di atas oportunitas dianggap sebagai pengecualian. Dalam praktek sering dilakukan pengecualian tersebut sebagai hukum tidak tertulis. Sedangkan asas oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan jika dianggap tidak oportunitas yakni guna kepentingan umum40. Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 1 butir 6 huruf a dan b, Pasal 137 tidak mengatur secara tegas tentang asas oportunitas. Pasal 1 butir 6 a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 14 huruf h : Penuntut umum mempunyai wewenang : h. menutup perkara demi kepentingan hukum. Apa yang dimaksud dengan penutup perkara demi kepentingan hukum sama sekali tidak ada penjelasan, kemungkinan kurangnya alat bukti atau sudah diselesaikan malalui perdamaian/ganti rugi (Opportuun) Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dalam undangundang ini ada beberapa pasal yang mengatur mengenai pelaksanaan asas 40
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.64
45
oportunitas yaitu Pasal 1 ayat (1), ayat (2); Pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf b; Pasal 35 huruf c. Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : (1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. (2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 30 ayat (1) : Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. melakukan penuntutan b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Pasal
35
c
Jaksa
Agung
memunyai
tugas
dan
wewenang
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Penjelasan Pasal 35 huruf c : Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat, mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat Badan-badan Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Baik secara historis maupun yuridis di Indonesia menganut asas oportunitas. Secara historis dengan diakuinya keberadaan hukum dasar tidak tertulis, oportunitas sebagai pengecualian. Sedangkan secara yuridis adanya undangundang pelaksanaan asas oportunitas melalui Pasal 8 UU No.15 Tahun 1961.
46
Pasal 32 huruf c UU No.5 Tahun 1991 dan Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Namun dalam undang-undang tersebut mengartikan asas oportunitas masih terlalu sempit. Hanya Jaksa Agung yang berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Lalu kepentingan umum diartikan terlalu sempit pula yaitu kepentingan Negara dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi
pertimbangan
penentu,
boleh
tidaknya
perkara
pidana
dikesampingkan, sehingga dalam praktek jarang dilakukan41. Di Indonesia perkara pidana dikesampingkan karena alasan kebijakan (policy) yang meliputi : perkara ringan, umur terdakwa sudah tua, dan kerusakan telah diperbaiki, hal ini dilekatkan syarat, “penseponeran” yaitu pembayaran denda damai yang disetujui antara pihak kejaksaan dan tersangka42. Misalnya perkara Pak Harto atas dugaan Korupsi senilai Rp.1,3 trilyun dan US$ 419 juta pada 7 (tujuh) yayasan yang dipimpinnya, yang digelar PN Jakarta Selatan pada 21 Agustus 2000. Namun terdakwa dinyatakan sakit dan tidak dapat hadir di persidangan. Pada bulan Mei 2006 Pak Harto sakit berat sehingga Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), hal ini masih dalam proses perkara. Presiden SB Yudoyono minta agar diendapkan dulu wacana pemberian Rehabilitasi bagi mantan Presiden Suharto. DPR juga membentuk tim 41
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.66 42
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Artha Jaya, 1996)h. 55
47
pengkaji kasus Pak Harto untuk mengontrol pemerintah dalam membuat kebijaksanaan atas mantan Presiden itu. Wakil Presiden meminta agar kasus Pak Harto ditutup/dihentikan mengingat usia dan jasa-jasanya kepada Negara. Sedangkan Jaksa Agung mengatakan proses hukum Pak Harto untuk sementara dihentikan hingga sembuh.43 Hak Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum adalah tugas berat, bukan perkara ringan, kepastian hukum dan keadilan harus ditegakkan melalui proses hukum, musyawarah/damai bisa ditempuh melalui pengembalian uang Negara/ganti rugi (opportuun) yang jumlahnya ditentukan Jaksa Agung melalui kesepakatan Presiden, Wakil Presiden, MA,MK,KY, KAPOLRI, dan Menteri-menteri terkait Azas oportunitas berkaitan dengan wewenang penuntutan dalam perkara pidana yang merupakan tugas dan wewenang Jaksa sebagai Penuntut Umum. Penuntutan adalah permintaan Jaksa sebagai Penuntut Umum kepada Hakim, agar Hakim melakukan pemeriksaan perkara terdakwa di sidang pengadilan, dengan maksud apabila Hakim setelah melakukan pemeriksaan akan memberikan keputusannya tentang terdakwa. Dikenal ada 2 (dua) prinsip yang dianut dalam wewenang penuntutan ini44 : 1. Opportiniteits Principe
43
44
Media Indonesia, Selasa 16 Mei 2006/No.9276/Tahun 2007 h. 1
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.68
48
2. Legaliteits Principe. Ad.1 Opportiniteits Principe. Azas yang menentukan bahwa tidak setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut. Ad.2. Legaliteits Principe. Azas yang menentukan bahwa setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut. Sekarang timbul pertanyaan principe manakah yang dianut di Negara kita ? Sampai sekarang sistem yang dianut oleh Negara kita adalah “Het Opportiniteits Principe.” Hal ini dapat dilihat dari ketentuan undang-undang yang berlaku baik KUHAP maupun UndangUndang Pokok Kejaksaan. Sebenarnya azas ini sudah dianut sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar Penuntut Umum (Jaksa) tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana adalah “Kepentingan Umum”. Jadi kepentingan umum akan lebih terjamin dengan tidak dilakukannya penuntutan. Dalam hal ini Penuntut Umum akan mengenyampingkan perkara pidana itu (deponeer) artinya berkas perkara pidana tidak diteruskan ke pengadilan. Sebetulnya lembaga diponering perkara pidana (azas poortunitas) mirip dengan lembaga abolisi yang juga meniadakan penuntutan perkara pidana, namun abolisi merupakan wewenang Kepala Negara dalam UndangUndang Dasar 45. Disamping itu dikenal juga penyelesaian perkara di luar
49
sidang untuk perkara-perkara pidana ringan yang ancaman hukumannya denda. Memberlakukan azas oportunitas ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Van Appledorn bahwa tidak semua delik perlu dituntut pelakunya terutama bilamana akibatnya sangat kurang berarti ditinjau dari segi kepentingan umum. Bukankah pidana itu telah diakui hanya sebagai ultimum remedium. Asas oportunitas yang berlaku dalam yurisdiksi kejaksaan mempunyai kekuasaan yang sangat penting yaitu menyampingkan perkara pidana yang sudah jelas pembuktiannya, mengingat tujuan dari azas ini adalah kepentingan Negara maka Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaannya sebab kemungkinan ada bahwa dengan memakai kepentingan Negara sebagai alasan seorang Jaksa menyampingkan perkara pidana padahal tindakan itu dilakukan tidak lain untuk kepentingan pribadi atau golongan atau kelompok tertentu. Kecurangan ini mungkin terjadi karena adanya sogokan (omkoping) dari terdakwa.45 Dalam hal ini ada pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap semua Jaksa dengan adanya hierarki dalam instansi kejaksaan maka Jaksa Agung dapat memerintahkan kepada Jaksa supaya suatu perkara pidana dituntut atau tidak dituntut dimuka pengadilan. Dalam perkembangannya penerapan asas oportunitas terdapat perbedaan antara penutupan perkara pidana demi kepentingan hukum dengan perkara
45
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.70
50
pidana ditutup demi kepentingan umum ex azas oportunitas. Jika ternyata perkara pidana ditutup “demi hukum” tidak didiponeer secara definitif, tetapi masih dapat dituntut bilamana ada alasan baru, sedangkan perkara pidana yang ditutup definitif demi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagi pula perkara demikian cukup alat buktinya 46. Asas oportunitas ini sumber asalnya Perancis melalui Belanda dimasukkan ke Indonesia sebagai hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis) dilanjutkan sampai masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan s/d tahun 1961 – sekarang dalam UU Pokok kejaksaan UU No.16 Tahun 2004 asas ini masih dicantumkan. Di Indonesia hanya Jaksa Agung yang berwenang menyampingkan perkara pidana (tidak dituntut) berdasarkan kepentingan umum, hal ini untuk mencegah penyalahgunaan wewenang seperti disinyalir oleh MVT SV Netherland. Jaksa Agung dapat mendelegasikan wewenangnya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi. Yang berbeda adalah di Netherland ada kemungkinan pihak yang merasa dirugikan dapat memprotes pendiponeeran perkara pidana dan dapat memohon kepada pengadilan untuk melakukan penuntutan sedangkan di Indonesia hal ini tidak diatur. Di Belanda dikenal 2 (dua) macam deponering yaitu : deponering tidak bersyarat dan deponering bersyarat. Undang- Undang Pokok Kejaksaan di Indonesia tidak menyebut adanya 2 (dua) macam deponeering perkara pidana berdasarkan asas oportunitas, namun ketentuan tentang asas oportunitas yang
46
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.72
51
terdapat di dalam UU Pokok Kejaksaan tidak bertentangan dengan pengertian deponering bersyarat47. Penyampingan perkara pidana berdasarkan asas oportunitas termasuk beleidsvrijheid (kebebasan menentukan kebijaksanaan) yang dalam hukum administrasi Negara disebut dengan Freies Ermessen. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. MR. A.L. Melai yang menyatakan bahwa wewenang penuntut umum dalam hal meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas merupakan Rechtsvinding (penemuan hukum) yang harus dipertimbangkan berhubung karena hukum memuntut adanya keadilan dan persamaan hukum, hukum bertujuan untuk menjamin kemanfaatan dan kedamaian. C. Azas Oportunitas Sebagai Dasar Kewenangan Untuk Menyampingkan Perkara Oleh Jaksa Agung Azas oportunitas adalah suatu azas yang memberikan kewenangan bagi penuntut umum tidak mewajibkan melakukan penuntutan terhadap seseorang atau korporasi yang telah melakukan tindak pidana jika menurut penuntut umum, penuntutan akan lebih merugikan kepentingan umum48.Salah satu tugas dan wewenang Jaksa Agung dalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 35 (c) yang berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai
47
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.73 48
Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana (jakarta: Raih Asa Sukses, 2012), h.116
52
kepentingan bangsa atau negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Akan tetapi, penjelasan Pasal 35 UU No 16 Tahun 2004 ini tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara jelas. Dengan demikian mengundang penafsiran yang beragam, baik di kalangan praktisi hukum, akademisi hukum, maupun masyarakat pada umumnya. KUHAP sendiri tidak mengatur secara tegas ketentuan penyampingan atau penghentian perkara demi kepentingan umum ini boleh digunakan ditahap yang mana. Hanya tersirat dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP yang menyatakan, yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyandingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Perihal kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ditemukan didalam UU Kejaksaan. Undang-undang yang mengatur tentang Kejaksaan Republik Indonesia keberlakuannya telah berubah sebanyak tiga kali. Yang pertama Undang-Undang No.15 Tahun 1961 Pasal 8 : “Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”. Kemudian, Undang-undang tersebut dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1991. Alasannya karena sudah tidak selaras
53
dengan pembaruan hukum nasional yaitu pemberlakuan KUHAP dan lebih mengkonsentrasikan perannya di bidang penuntutan. Dalam UU ini klausul menyampingkan perkara demi kepentingan umum terdapat dalam Pasal 32 huruf (c) UU No.5 Tahun 1991. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2004 yang mengaturnya didalam Pasal 35 huruf (c). Penyampingan perkara
didasarkan pada
azas oportunitas. Kata
oportunitas (Bahasa Indonesia), opportuniteit (Bahasa Belanda), opportunity (Bahasa Inggris) kesemuanya berasal dari Bahasa Latin yaitu opportunitas.49 Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S Poerwadarminto mengartikan oportunitas ialah kesempatan yang baik. Azas oportunitas ialah azas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum 50 atau hak Jaksa Agung yang karena jabatannya untuk mendeponir perkara-perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara
daripada
tidak menuntutnya. 51Dengan kata
lain perkaranya
49
Pusat Penelitian dan Kajian Hukum Kejaksaan Agung (b) , Simposium Tentang Masalah-Masalah Asas Oportunitas, Tanggal 4 dan 5 November 1981 di Ujung Pandang, h.14. 50
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), h.436 51
Karim Nasution,Rapat Dengar Pendapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Masalah Hukum Acara Pidana, (Jakarta, 2004), h.36
54
dikesampingkan walaupun cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa diputus bersalah. Azas oportunitas merupakan diskresi penuntutan yang dimiliki institusi Kejaksaan Agung yang dalam hal ini pelaksanaanya hanya ada pada Jaksa Agung. Menurut Soebekti diskresi ialah kebijakan atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terikat dengan ketentuan undang undang.52 Pengertian azas oportunitas tersebut merupakan azas oportunitas yang merupakan yurisdiksi kejaksaan yaitu sebatas penyampingan perkara demi kepentingan umum. Pengertian azas oportunitas tidak dirumuskan secara eksplisit dalam KUHAP. Azas oportunitas ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 35 huruf c yang menyatakan bahwa Jaksa agung mempunyai wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung umtuk menerapkan azas oportunitas adalah untuk menghindari timbulnya penyalahgunaan kewenangan dalam penerapan azas oportunitas. Dengan demikian, satu-satunya pejabat negara yang diberi kewenangan menerapkan azas oportunitas hanyalah Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi dan bukan kepada setiap penuntut umum53.
52
53
Soebekti, Kamus Hukum (Jakarta :1980) h.40.
Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana ( (jakarta: Raih Asa Sukses, 2012), h.120
55
Kepentingan umum dalam Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia huruf C ialah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Pengertian kepentingan umum yang diberikan oleh penjelasan Pasal 35 huruf c ini sangat luas maknanya, sehingga dalam penafsiran kepentingan umum ini dalam rangka menggunakan azas oportunitas bisa berbeda-beda tiap orang mengimplementasikannya. KUHAP juga memberi peluang mengenai keberlakuan azas oportunitas walaupun tidak diatur secara tegas seperti dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004. Pasal-pasal mengenai penyampingan perkara tidak diatur sendiri melainkan tersebar di ketentuan mengenai benda sitaan dan praperadilan. Pasal 46 ayat (1) c KUHAP menyatakan ”perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum, dst..”. Dalam ketentuan tersebut tidak ada penjelasan sama sekali
mengenai penyampingan perkara kecuali tentang
benda sitaan. Namun dalam Penjelasan Pasal 77 KUHAP terdapat penjelasan yang lebih memadai mengenai wewenang penyampingan perkara yang berada ditangan Jaksa Agung. Penjelasan Pasal 77 KUHAP yang berbunyi : Yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Berdasarkan penjelasan pasal 77 KUHAP dan buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi perwujudan azas oportunitas. 54
54
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h.36
56
BAB IV INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANG PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM A. INDEPENDENSI KEJAKSAAN DALAM KAITANYA DENGAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA Dalam era reformasi sekarang ini yang ditandai dengan pengunduran diri Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan tanda dimulainya suatu era baru dalam sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam era ini rakyat Indonesia mendapatkan kesempatan yang sangat luas untuk melakukan penataan kembali terhadap berbagai aspek dalam sistem ketatanegaraan yang selama ini dirasakan belum mencerminkan sistem yang demokratis sesuai dengan aspirasi rakyat.55 Akan tetapi, pada era reformasi, salah satu aspek yang mendapat perhatian secara lebih seksama adalah masalah independensi kejasaan. Keadaan ini disebabkan interfensi kekuasaan esekutif yang terjadi sebelum reformasi, sehingga kejasaan tidak independen. Padahal independesi kejasaan selalu menjadi alasan yang mengakibatkan tidak maksimalnya kinerja jaksa dalam penegakan hukum. Permasalahan ini sesungguhnya merupakan suatu
55
Sumali, Reduksi Kekuasaan Esekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), (Malang: UMM Pres, 2003), h.1.
57
faktor dominan untuk mewujudkan salah satu tujuan dalam era reformasi, yaitu penegakan supremasi hukum. Oleh karena itu, permasalahan independensi kejasaan pada akhirnya menjadi satu pertimbangan diubahnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan Penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Bagian Umum, yakni:56 “Perubahan Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya”. Selanjutnya dipertegas kembali dalam penjelasan umum tersebut, mengenai hal-hal yang menjadi pertimbangan penyempurnaan UndangUndang tentang Kejaksaan ini. Salah satu hal yang perlu disempurnakan, yakni: Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut 56
, diakses tanggal 18 agustus 2016.
58
dilaksanakan
secara
merdeka.
Oleh
karena
itu,
Kejaksaan
dalam
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.57 Selain itu, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa: (1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam UndangUndang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. (2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka. Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelasakan bahwa dalam kekuasaan negara tersebut dijalankan secara merdeka. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan “secara merdeka” dalam ketentuan ini adalah dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
57
Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia (Kekuasaan
Penuntutan”http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/. Diakses pada 17 Agustus 2016
59
Materi mutan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dijelasakan di atas merupakan bukti terdapatnya landasan hukum tentang independensi kejasaan. Akan tetapi masih terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia belum mewujudkan independesi kejasaan. Menurut Marwan Effendi, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 belum mewujudkan independesi kejasaan. Hal ini disebabkan masih terdapatnya pengaturan yang mengakibatkan adanya intervesi kekuasaan esekutif terhadap kekuasaan kejasaan. Menurut Marwah Effendi dari pengaturan Pasal 2 ayat (1) yang dapat dimpulkan bahwa “Kejasaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan” mengandung makna bahwa kejasaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah eksekutif. Hal ini berarti, kejasaan tidak bersifat independen atau merdeka, karan di pengaruhi oleh kekuasaan esekutif.58 Berdasarkan risalah persidangan, terdapat 2 (dua) rumusan Pasal 2 ayat (1), yakni draf pemerintah dan draf DPR akan tetapi usulan pemerintah yang pada akhirnya disetujui menjadi rumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut. Sedangakan
frasa
“lembaga
pemerintahan”
merupakan
usulan
dari
pemerintah, anggota dewan mengusulkan frasa “lembaga hukum”. Perdebatan penetuan frasa mana yang digunakan dalam perumusan Pasal 2 ayat (1) berlangsung cukup lama. Akan tetapi, berdasarkan argumentasi bahwa yang dimaksud pengertian “pemerintahan” bukan saja pemerintah, akan tetapi pemerintahan dalam arti luas yakni esekutif, yudikatif dan legislatif, maka frasa tersebut dapat diterima menjadi frasa dalam Pasal 2 ayat (1)59
58
Marwan Effendi, Kejaksaan dan Fungsinya dari Prespektif Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia, 2005), h. 124.
60
Akan tetapi, masih terdapat ketentuan yang dapat mengakibatkan kejasaan tidak independen. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dirumusakan dalam Penjelasan Umum, Pasal 19 ayat (20), serta Pasal 22 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yakni: Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Jika dilihat pula dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 22 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Jaksa Agung adalah pejabat negara. (2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 22 (1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri;
59
Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia (Kekuasaan
Penuntutan”http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/. Diakses pada 17 Agustus 2016
61
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; d. berakhir masa jabatannya; e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ketentuan tersebut memiliki makna besarnya pengaruh kekuasaan eksekutif terhadap lembaga kejaksaan. Karena kejaksaan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
Hal
ini
dapat
mengakibatkan
kejaksaan
tidak
memiliki
keindependensiannya. Mencermati pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejasaan telah memberikan independensi kepada kekuasaan penuntutan, tetapi masih terdapat celah untuk pemerintah melakukan intervensi terhadap kekuasaan penuntutan. Hal ini disebabkan, proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dilakukan oleh Presiden. Dari apa yang telah dijelaskan, menunjukan bahwa masih diperlukan penataan kembali konsep-konsep yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang independensi Jaksa Agung, karena di dalam praktek pelaksanaannya berbagai ketentuan yang
62
berlaku tersebut terbukti belum dapat mewujudkan suatu bentuk yang ideal dari independensi Jaksa Agung dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.60 Berdasarkan permasalahan tersebut penulis berpendapat perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia guna menutup celah yang memberikan peluang pada lembaga Kejaksaan untuk tidak Independen. Perubahan tersebut ditekankan poin-poin krusial pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang menjadi sumber utama yang menyebabkan Kejaksaan tidak independen. Pertama, pola pengangkatan Jaksa Agung haruslah diubah dengan menghindari dominasi tunggal Presiden dalam proses pengangkatanya, melainkan juga mengikutsertakan lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna terciptanya sistem check and balances. Karena proses pengangkatan Jaksa Agung yang hanya melibatkan Presiden sesungguhnya mengurangi makna penting Jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum dalam penegakan hukum. Kedua, ketentuan pemberhentian Jaksa Agung pun jelas harus diubah, ketentuan ini adalah “tenaga” terbesar eksekutif dalam kontribusinya atas tidak independensinya Kejaksaan. Dalam pasal 22 ayat (4) dijelaskan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatanya berakhir, namun dalam 60
Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia (Kekuasaan
Penuntutan”http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/. Diakses pada 17 Agustus 2016
63
penjelasan pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini amat sangat berpotensi menghilangkan independensi Kejaksaan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapanpun tergantung pada keinginan presiden. Maka dari itu, harus ada masa jabatan tertentu bagi Jaksa Agung dan sebaiknya disamakan dengan masa jabatan Hakim. Hal ini guna memberikan proteksi terhadap pemecatan sewenangwenang yang mungkin dilakukan oleh Presiden. Berdasarkan permasalahan yang penulis jabarkan, penulis beranggapan selama ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak diubah, selama itu juga Kejaksaan Republik Indonesia tidak independen dalam menjalankan setiap tugas dan kewenanganya. B. KAITAN INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DENGAN PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 35 (c) yang berbunyi : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa atau negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Mengenyampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan
64
kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Namun, penjelasan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ini tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara jelas. Penyampingan perkara didasarkan pada azas oportunitas. Azas oportunitas ialah azas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum61 atau hak jaksa agung yang karena jabatannya untuk mendeponer perkara-perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya. Dengan kata lain perkaranya dikesampingkan walaupun cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa diputus bersalah. Dengan kata lain, penyampingan perkara demi kepentingan umum yang hanya menjadi kewenangan dari Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi hanya berdasarkan pandangan subjektif dari Jaksa Agung semata, karna dalam UU no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak menjelaskan secara limitatif apa itu kepentingan umum yang menjadi syarat utama penyampingan perkara (Deponering). Bila dikaitkan dengan permasalahan Jaksa Agung tidak independen dan tidak lepas dari pengaruh eksekutif, maka 61
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan (Jakarta:Sinar Grafika, 2009) h.436.
65
kedudukan Jaksa Agung tersebut menimbulkan dua masalah, yang dalam litelatur disebut “dual obligation”62 dan “conflicting loyalties”63. Berdasarkan UU no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Jaksa Agung diangkat, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada Presiden, hal ini berarti Jaksa Agung harus tunduk dan loyal kepada Presiden. Dalam negara yang melaksanakan sistem demokrasi, seorang Presiden dipilih dari calon-calon yang dijagokan oleh partai politik, dengan demikian seorang Presiden adalah partisipan. Maka sangat mungkin Jaksa Agung dipilih oleh Presiden dari partainya atau partai pendukungnya (Jaksa Agung HM Prasetyo berasal dari politisi Partai Nasdem) dengan komitmen tertentu untuk kepentingan politik tertentu (political demand.) Jika ini terjadi maka Jaksa Agung akan menjalankan fungsi sebagai “partisan advocacy”64 Disisi lain Jaksa Agung adalah “a man of law” yang dalam sistem kita dapat digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang tidak mengabdi kepada presiden dengan kepentingan politiknya. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Lola Easter, mengaku tidak terkejut rapor merah yang diterima Kejaksaan Agung dalam evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan yang dirilis Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hasil evaluasi 62
Daniel J Meador, The President, The Ottorney General and The Department of Justice dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI, h.3 63
Nancy Baker, Conflicting Loyalties, dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI, h.3 64
Nancy Baker, Government Lawyers, dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI, h.3
66
akuntabilitas kinerja 77 kementerian dan lembaga menyebutkan, Kejaksaan Agung mendapatkan predikat paling buruk hasil evaluasi bekerja selama satu tahun. Lembaga yang dipimpin HM Prasetyo itu dinilai paling rendah akuntabilitasnya dengan skor 50,02(CC). 65 Pasalnya kata Lola, sejak awal Indonesia Corruption Watch telah menentang posisi Jaksa Agung diisi dari kalangan partai politik. Sehingga buruknya penilaian kinerja Korps Adhyaksa itu sudah bisa di prediksi. Sementara itu, Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Mudzakkir juga menganggap kalangan partai politik yang mengisi jabatan penegak hukum bisa merusak independensi lembaga yang dipimpinnya. 66 Berdasarkan permasalahan yang penulis uraikan, khususnya dalam hal penyampingan perkara demi kepentingan umum. Dimana Jaksa Agung yang dinilai tidak independen dan merupakan bagian dari eksekutif dan juga bertanggung jawab kepada Presiden diharuskan mewakili kepentingan umum, sedangkan dalam UU no.16 tahun 2004 sendiri tidak menjelaskan secara limitatif apa itu “kepentingan umum” sehingga multitafsir hanya menjelaskan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat. sehingga
penilaian terhadap kepentingan umum
hanya
berdasarkan
pandangan subjektif dari Jaksa Agung semata. Dalam indikator yang terdapat dalam JRI peroses pemilihan dan pengangkatan pimpinan lembaga yudisial merupakan indikator penting untuk 65
http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4170-rapor-akuntabilitas-kinerja-k-l-danprovinsi-meningkat diakses 17 agustus 2016 66
http://www.viva.co.id/prancis2016/read/720101-icw-tak-heran-kejaksaan-agung-dapatrapor-merah diakses, 17 agustus 2016
67
menciptakan independensi. Proses pengangkatan dan pemeberhentian tersebut masuk
dalam
indikator selection
and
appointment
process.
Di
dalam International Bar Association Of Judicial Indepedence dalam bab Judges and Executive pada pasal 5 point tegas dinyatakan sebagai berikut: The Executive shall not have control over judicial functions67 Eksekutif tidak boleh memiliki kontrol terhadap fungsi peradilan diakui sebagai sebuah prinsip hukum internasional. Intervensi eksekutif akan berimplikasi
terhadap
kebebasan
fungsi
lembaga
peradilan
dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Di dalam Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pengaturan keberadaan Jaksa Agung. Dalam pasal 19 dinyatakan bahwa : 1)
Jaksa Agung adalah pejabat negara.
2)
Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Dengan kedudukan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, maka Jaksa Agung menjadi tidaklah Independen. Secara Politik maka Jaksa Agung adalah menteri. Dalam sistem presidensial menteri adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab penuh terhadap Presiden. Presiden maka
sewaktu-waktu
dengan
kekuasaan
yang
dimiliikinya
dapat
menegendalikan kekuasaan penuntutan pidana. Bukan hanya Jaksa Agung bahkan seluruh Jaksa yang ada di Indonesia. Mengingat jaksa adalah satu dan
67
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H. Independensi Kejaksaan sebagai
Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. 2010
68
tidak terpisahkan dan jaksa melakukan penuntutan serta bertanggung jawab melalui saluran hierarki kepada Jaksa Agung. 68 Banyak fakta-fakta yang menunjukkan dalam penanganan sebuah kasus kejaksaan asangat rentan di intervensi oleh kekuasaan eksekutif. Salah satu yang menyita perhatian, adalah tersiarnya transkrip rekaman percakapan Presiden B.J Habibie kepada Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib. Dalam percakapan tersebut Presiden terlihat mengatur upaya peneylidikan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto. Ketika itu terlihat bahwa pemeriksaan oleh kejaksaan terhadap mantan Presiden Soeharto hanyalah formalitas belaka dan tidak ada niat untuk meningkatkan pemeriksaan ke tingkat penyidikan.69 Kelemahan ketiga adalah mengenai pemberhentian Jaksa Agung. Dalam Pasal 22 ayat (1) dinyatakan : Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena: 1) meninggal dunia; 2) permintaan sendiri; 3) sakit jasmani atau rohani terus-menerus; 4) berakhir masa jabatannya; 5) tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Dalam point 4 dinyatakan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatannya berakhir. Namun dalam penjelasan pasal tersebut tidak ada
68
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H. Independensi Kejaksaan sebagai
Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. 2010 69
Bukti Habibie Tak Serius Periksa Soeharto, Wakil Panji Masyarakat di Periksa Polisi diunduh darihttp://iwan-uni.blogspot.com/2005/07/bukti-habibie-tak-serius-periksa.html pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 2016
69
penjelasan yang rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini berpotensi menghilangkan independensi kekuasaan penuntutan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapan pun tergantung pada keinginan Presiden. Dominasi tunggal Presiden dalam menentukan jabatan Jaksa Agung amat berbeda dalam proses penentuan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang notabene merupakan lembaga yudisial. Penentuan anggota dari ketiga lembaga negara tersebut tidak hanya didominasi oleh satu lembaga saja. Melainkan melibatkan Presiden dan DPR. Bahkan khusus untuk jabatan hakim agung pada Mahkamah Agung proses penyeleksian jabatannya melibatkan lembaga Komisi Yudisial. Demikian juga halnya dalam menentukan pimpinan lembaga. Ketua MA dipilih langsung oleh para hakim agung demikian juga dengan BPK. Sedangkan ketua KPK ditentukan oleh suara terbanyak dalam proses pemilihan anggota di DPR. 70 Proses pengangkatan Jaksa Agung yang hanya melibatkan Presiden sesungguhnya mengurangi makna penting Jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum dalam penegakan hukum. Dalam Islam, sebaik-baiknya seorang pemimpin adalah yang mengikuti suri tauladan nabi Muhammad SAW.
70
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H. Independensi Kejaksaan sebagai
Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. 2010
70
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [Al Ahzab 21] Nabi Muhammad memiliki akhlaq dan sifat-sifat yang sangat mulia. Oleh karena itu hendaknya seorang pemimpin memiliki sifat-sifat Nabi seperti Shiddiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh. Shiddiq artinya benar. Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar. Sejalan dengan ucapannya. Beda sekali dengan pemimpin sekarang yang kebanyakan hanya kata-katanya yang manis, namun perbuatannya berbeda dengan ucapannya. Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong. Tabligh artinya menyampaikan. Segala firman Allah yang ditujukan oleh manusia, disampaikan oleh Nabi. Tidak ada yang disembunyikan dan Fathonah Artinya Cerdas. Mustahil Nabi itu bodoh atau jahlun. Dalam menyampaikan 6.236 ayat Al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa.
71
Tjeerd Sleeswijk Visser menggambarkan Jaksa Agung sebagai sosok yang memiliki kepribadian yang jujur, tidak memiliki kepentingan politis, memiliki stardar moral dan etika yang tinggi. Namun permasalahan independensi Jaksa Agung tidak akan selesai berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Tjeerd Sleeswijk Visser Indendensi Jaksa Agung dipengauhi oleh pola pemilihan, pemberhentian dan pertanggung jawaban. Jaksa Agung juga sebagai sosok yang dihargai oleh masyarakat dan bertindak atas nama masyarakat. Apa yang digambarkan oleh Tjeerd Sleeswijk Visser membuktikan bahwa jabatan tersebut memiliki arti yang sangat penting bagi penegakan hukum.71 Menurut
Suhadibroto,
pentingnya
peran
Jaksa
Agung
tersebut
mengakibatkan Jaksa Agung harus independen dan profesional. Pentingnya hal ini bahkan telah menjadi pemikiran yang serius oleh masyarakat internasional. Pada pertemuan para Jaksa Agung di Seoul Korea Selatan pada bulan September 1990 yang dihadiri 25 negara se Asia Pasific, menghasilkan kriteria seorang Jaksa Agung yang independen dan profesional, yakni bahwa Jaksa Agung adalah:72 1)
Attoney general is man of Law
71
Tjeerd Sleeswijk Visser, The General Prosecutor and Responsiblilitiea, makalah disampaikan pada seminar “The Prosecutor`s office in a democratic and constitusional state” di unduh dari situs dikutip dari Marwan Effendy Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum(Jakarta: Gramedia, 2005.) h. 43 72
Tjeerd Sleeswijk Visser, The General Prosecutor and Responsiblilitiea, makalah disampaikan pada seminar “The Prosecutor`s office in a democratic and constitusional state” di unduh dari situs dikutip dari Marwan Effendy Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum(Jakarta: Gramedia, 2005.) h. 43
72
2)
Independent attorney general generates economic prosperity,
promotion of welfare, political stability and development of democracy. 3)
The Attorney General is the chief of legal officer;
4)
The Attorney General is not subjects to the direction or control of
any other person or authority. He is essentially a man of law. Kriteria tersebut di atas memposisikan Jaksa Agung secara independen dan tidak dibawah kontrol institusi atau otoritas apapun. Dalam hal ini, Jaksa Agung bahkan juga disebut sebagai “a man of law” atau dengan kata lain Jaksa Agung adalah abdi hukum yang sebenarnya. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 19 ayat (20) jo Pasal 22 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa Jaksa Agung tidak Independen. Hal ini disebabakan presiden diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Posisi Jaksa Agung seperti itu dapat menimbulkan dua masalah yang dalam litterateur disebut dengan “dual obligation” dan “conflicting loyalties” . Dalam ilmu Pemerintahan, Jaksa Agung sebagai bawahan Presiden harus mampu melakukan 3 (tiga) hal yakni:73 1)
Menjabarkan instruksi, petunjuk dan beberapa kebijakan lainnya
dari Presiden. 2)
Melasanakan intruksi, petunjuk dan berbagai kebijakan Presiden
yang telah dijabarkan tersebut. 3)
Mengamankan intruksi, petunjuk daan berbagai kebijakan Presiden
yang sementara telah dilasanakan. 73
Marwan Effendi, Kejaksaan dan Fungsinya dari Prespektif Hukum (Jakarta: PT. Gramedia, 2005), h. 125.
73
Keadaan tersebut mengakibatkan selalu timbul kontroversi dalam setiap pergantian Jaksa Agung. Pada masa orde lama Jaksa Agung Soeprapto yang ketika itu diganti oleh Presiden Soekarno karena berani menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan Menteri Luar Negeri. Demikian juga dengan penerus Soeprapto, yaitu Jaksa Agung
Gatot Tarunamihardja. Gatot
merupakan Jaksa Agung pertama pada masa demokrasi terpimpin. Walaupun kedudukan nya sebagai menteri Gatot tetap berupaya untuk Indepnenden. Ketika beberapa oknum tentara melakukan praktek penyelundupan melalui pelabuhan Tanjung Priok – yang kemudian dikenal (pada masa itu sebagai Peristiwa Tanjung Priok), Gatot Tarunamihardja tampil mengusutnya. Jendral Nasution memerintahkan penangkapan dan penahanan sang Jaksa Agung yang sedang menjalankan tugasnya. Soekarno menengahi. Gatot dibebaskan tapi dia juga dipecat.74 Kontroversi tersebut terus berlanjut hingga orde reformasi. Pergantian Jaksa Agung Soedjono.C.Atmonegoro, juga bernuansa politis karena keberaniannya
menyelidiki
kasus
korupsi
mantan
Presiden
Soeharto. Demikian juga Jaksa Agung Marsilam Simanjuntak yang bahkan hanya menjabat dalam hitunagan minggu untuk kemudian diganti oleh M.A Rachman.75 Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga diganti dengan latar belakang politis. Pergantian terjadi dikarenakan adanya permintaan dari DPR
74
Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan,(Jakarta: LP3ES, 1990)h. 59-60 75
Marwan Effendy Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum(Jakarta: Gramedia, 2005.) h. 73
74
kepada Presiden dilatarbelakangi hubungan yang tidak harmonis antara Jaksa Agung dengan komisi III DPR. 76 Berdasarkan apa yang penulis dapatkan, maka penulis memetakan resiko yang akan muncul jika Jaksa Agung tidak Independen dalam menjalankan kewenanganya, khususnya dalam penyampingan perkara demi kepentingan umum. J. Remmelink mengatakan bahwa akan selalu ada bahaya jika Kejaksaan tidak menjalankan tugas dan wewenangnya dengan independen. Bahwa akan selalu ada motif-motif partai politik dalam memutuskan memerintah tugas dari Kejaksaan dalam hal, misal penyampingan suatu perkara
demi
kepentingan
umum
ataupun
untuk
memerintahkan
menuntutnya.77Jadi dapat kita bayangkan kengerian jika Kejaksaan atau Jaksa Agung tidak independen yang akan mengamcam dan menciderai penegakan hukum yang ada di Indonesia. C. Analisis Deponering Bambang Wijayanto oleh Jaksa Agung Peristiwa ini berawal dari adanya dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Bambang Wijayanto. MABES POLRI menetapkan Bambang Wijayanto sebagai tersangka terkait dugaan mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam dalam sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah KotaWaringin Barat pada tahun 2010 di Mahkamah
76
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H. Independensi Kejaksaan sebagai
Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. 2010 77
Jan Rammelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), (PT Gramedia Pustaka, Jakarta: 2003), h. 5
75
Konstitusi. Berkas perkara Bambang Wijayanto dalam dugaan mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam Pilkada Kotawaringin Barat dinyatakan sudah lengkap dan sudah sampai pada tahap penuntutan. Jaksa Agung lalu mempertimbangkan perkara itu di deponering. Jaksa agung kemudian mengirimkan surat permintaan pertimbangan deponering ke Komisi III DPR RI. Kemudian Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa memastikan komisinya menolak saran deponering perkara mantan Komisioner KPK tersebut. Alasanya, tidak ada unsur kepentingan umum yang mengharuskan perkara itu dihentikan. Sementara Presiden Joko Widodo melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi SP memerintahkan agar perkara-perkara yang berkaitan dengan KPK segera diselesaikan, tentu dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan secara hukum, dan pada tanggal 3 Maret 2016 Jaksa Agung HM Prasetyo resmi menggunakan hak oportunitasnya dalam kasus ini. Berdasarkan kronologi tersebut, adanya instruksi Presiden melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi SP memberikan sinyal kuat bahwa Jaksa Agung tidak Independen. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai “tugas dan wewenang” untuk “mengesampingkan perkara demi kepenitangan umum”. Banyak argument akan muncul, alasan pendeponeringan perkara Bambang Wijayanto karena dia adalah Pimpinan KPK yang bertugas memberantas Korupsi (dianggap sebagai extra ordinary crime), KPK harus berjalan normal tanpa terganggu dengan kekosongan
76
pimpinannya. Andai Bambang Wijayanto diadili, maka Presiden wajib memberhentikan sementara dari jabatannya. Hanya saja apakah dengan pemberhentian sementara oleh presiden ini dapat menyebabkan KPK tidak dapat menjalankan tugasnya?, Ini yang masih menjadi pertanyaan banyak pihak terkait UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Problematika yang muncul setelah putusan penerbitan deponering oleh Jaksa Agung ialah, secara tidak langsung hal itu mengandung pengakuan bahwa Bambang Wijayanto adalah orang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan bukti-bukti untuk itu telah lengkap dan siap ke tahap penuntutan. Sedangkan kasus BW, oleh kejaksaan Agung diduga dan diakui ada serta cukup bukti, hanya saja perkaranya “dikesampingkan” demi “kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”.
Jika kita merujuk pada asas presumption of innocent, seharusnya ini menjadi patokkan bahwa sebelum adanya putusan pengadilan setiap terdakwa dianggap tidak bersalah, tentu saja kalau asas praduga tidak bersalah diterapkan, selamanya Bambang Wijayanto harus dianggap tidak bersalah, dengan belum atau tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mereka bersalah. Jika perkaranya memang “dikesampingkan” alias tak jadi dituntut ke pengadilan. Status mereka menjadi menggantung tak jelas ujung pangkalnya. Yang menarik dari deponering kasus ini, jelas membuat kondisi KPK dapat berjalan normal. Hanya saja yang perlu diingat terkait bagaimana opini publik yang timbul dikalangan masyarakat atas keduanya. Bagaimana
77
mungkin orang yang diberi amanah memberantas korupsi sebagai Pimpinan KPK, sementara mereka diduga sebagai pelaku kejahatan yang perkaranya dideponering oleh Jaksa Agung. Pertanyaan ini tidak membawa konsekuensi hukum apa-apa. Konsekuensinya hanya di bidang etis karena belum dapat diyakinkan secara hukum yang berlaku terkait ketidakbersalahan dimata masyarakat luas.
Pembangunan kesadaran hukum seharusnya mampu memposisikan hukum sebagai panglima dalam penyelesaian perkara hukum. Dengan permasalahan Kejaksaan yang dinilai belum independen dan sangat bergantung pada eksekutif akan berdampak pada objektifitas pemberian deponering. Deponering karna desakan pihak luar criminal justice system atau adanya desakan politik tertentu akan semakin memperkeruh wajah penegakan hukum di Indonesia, karna konsekuensinya justru akan mendorong sebagian orang yang bermasalah dengan hukum nantinya memanfaatkan celah pembentukan opini publik untuk mengintervensi proses penegakan hukum dengan dalih bermacam-macam.
Dari uraian di atas, dengan permasalahan kejaksaan yang tidak independen saya rasa deponering yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung dianggap kurang tepat. Ini justru tambah mencederai hukum dan kejaksaan di mata masyarakat. Jika alasannya dapat menciderai semangat Pemberntasan karna BW adalah petinggi KPK, saya rasa dengan memberikan deponering yang mengakibatkan ketidak jelasan status hukum atas perkara yang dialami
78
justru membunuh semangat anti korupsi, yang akan menimbulkan presenden buruk terhadap pengabaian tujuan hukum yang utama itu sendiri yakni terwujudnya ketertiban dan keadilan. Dalam artian, jika BW terbuki tidak bersalah maka putusan final adalah dinyatakan bebas, namun jika perkara Bambang Wijayanto “dikesampingkan” tidak lantas dijadikan seperti tanpa status pasti. Kepastian ini lebih baik ditempuh agar martabat para petinggi KPK lebih bersih dimata semua pihak, dan terwujudnya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under the law. Sehingga sudah seharusnya menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal justice system yang berlaku.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1.Permasalahan independensi Jaksa Agung terletak pada ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan tersebut memiliki makna besarnya pengaruh eksekutif terhadap Kejaksaan RI yang menyebabkan Kejaksaan tidak Independen. Perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia guna menutup celah yang memberikan peluang pada lembaga Kejaksaan untuk tidak Independen. Perubahan tersebut ditekankan poin-poin krusial pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang menjadi sumber utama yang menyebabkan Kejaksaan tidak independen. Pertama, pola pengangkatan Jaksa Agung haruslah diubah dengan menghindari dominasi tunggal Presiden dalam proses pengangkatanya, melainkan juga mengikutsertakan lembagalembaga terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna terciptanya sistem check and balances. Karena proses pengangkatan Jaksa Agung yang hanya melibatkan Presiden sesungguhnya mengurangi makna penting Jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum dalam penegakan hukum. Kedua, ketentuan pemberhentian Jaksa Agung pun jelas harus diubah, ketentuan ini adalah “tenaga” terbesar eksekutif dalam kontribusinya atas tidak independensinya Kejaksaan. Dalam pasal 22 ayat (4) dijelaskan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatanya berakhir, namun dalam
79
80
penjelasan pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini amat sangat berpotensi menghilangkan independensi Kejaksaan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapanpun tergantung pada keinginan presiden. Maka dari itu, harus ada masa jabatan tertentu bagi Jaksa Agung dan sebaiknya disamakan dengan masa jabatan Hakim. Hal ini guna memberikan proteksi terhadap pemecatan sewenangwenang yang mungkin dilakukan oleh Presiden. Selama ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak diubah, selama itu juga Kejaksaan Republik Indonesia tidak independen dalam menjalankan tugas dan kewenanganya. 2.Kaitan Independensi Jaksa agung dengan kewenangan penyampingan perkara demi kepentingan umum dalam kasus Bambang Wijayanto adalah dengan permasalahan Kejaksaan yang dinilai tidak independen dan tidak ada penjelasan secara limitatif apa makna dari “kepentingan umum”. Yang berarti hanya pada pandangan subjektif Jaksa Agung semata. maka akan sangat berpotensi memberikan dampak negatif pada objektifitas pemberian deponering, pemberian deponering karna desakan pihak luar criminal justice system atau desakan politik tertentu akan memperkeruh wajah penegakan hukum di Indonesia. karna konsekuensinya justru akan mendorong sebagian orang yang bermasalah dengan hukum nantinya memanfaatkan celah opini publik untuk mengintervensi proses penegakan hukum dengan dalih yang bermacam-macam. Jika merujuk pada asas presumption of innocent maka
81
Bambang Wijayanto dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan ia bersalah. Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
penulis
beranggapan
bahwa
penyampingan perkara demi kepentingan umum atas kasus Bambang Wijayanto adalah tidak tepat. Lebih baik menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal justice system yang berlaku. Jika Bambang Wijayanto terbukti tidak bersalah, maka putusan final pun akan dinyatakan bebas. Kepastian ini lebih baik ditempuh agar martabat para petinggi KPK bersih dimata semua pihak dibanding deponering dengan segala permasalahanya yang menyebabkan ketidakjelasan “status hukum” atas perkara yang dialaminya.
B.SARAN Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana diuraikan diatas, penulis menyarankan sebagai berikut: 1.Agar menghindari dominasi tunggal Presiden dalam menentukan jabatan Jaksa Agung maka haruslah kiranya kita melakukan hal yang sama dengan proses penentuan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang notabene merupakan lembaga yudisial. Penentuan anggota dari ketiga lembaga negara tersebut tidak hanya didominasi oleh satu lembaga saja. Melainkan melibatkan Presiden dan DPR agar terciptanya sistem check and balances.
82
2.Kedudukan dan Peran Jaksa Agung diharapkan mampu bertindak secara netral dalam menangani setiap perkara. 3.Perlu adanya kajian dalam guna menentukan batasan yang limitatif tentang frasa “kepentingan umum” dalam rangka penyampingan perkara demi kepentingan umum. 4.Harus ada masa jabatan tertentu bagi Jaksa Agung, dan sebaiknya disamakan dengan masa jabatan hakim. Hal ini untuk memberikan perlindungan terhadap pemecatan sewenang-wenang. 5.Kejaksaan memerlukan proteksi konstitusi guna menjaga integritas dan independensinya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Adji, Indriyanto Seno. Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas.2009. Alfitra. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana . jakarta: Raih Asa Sukses.2012. Amirudin dan Zaenal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.2012. Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prebada Media Group.2007. Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta.2004. ----------, Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik Indonesia.Jakarta: Yayasan Pengayoman. Effendy, Marwan. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia.2005. Garner,Bryan A. Black’s Law Dictionary. ST. Paul, MINN: West Group.2009. Hamzah, And. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta :Sinar Grafika.2006. Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV Artha Jaya. 1996. Harahap, M.Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sina Grafika. 1995. Harahap, M. Yahya. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafik. 2000. Harahap, M Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan.Jakarta:Sinar Grafika. 2009.
83
84
Kaligis, O.C. Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi.Jakarta: PT. Alumni. 2006. Komisi Hukum Nasional dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Pembaharuan Kejaksaan ; Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa. Jakarta : KHN dan MaPPI. 2004 Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES. 1990. Lubis,Todung Mulya.Catatan hukum Todung Mulya Lubis: mengapa saya mencintai negeri ini?. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.2007 Manan, Bagir .Lembaga Kepresidenan.Yogyakarta: PSH FH UII. 1999. Marwan, Effendy. Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum . Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2005. Marzuki, Peter Mahmud.. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2010. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana. 2011. Nasution, Karim. Rapat Dengar Pendapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Masalah Hukum Acara Pidana. Jakarta : DPR. 2004. Rammenlink, Jan. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia). Jakarta : PT Gramedia Pustaka. 2003. Sabine, George.. A History of Political Theory. London: George G. Harrap & Co. Ltd. 1954. Saleh, Abdul Rahman. Bukan Kampung Maling Bukan Desa Ustadz Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar. Jakarta: Kompas Gramedia. 2008. Soebekti. Kamus Hukum. Jakarta. 1980. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Pengertian Hukum Normatif Suatu Tindakan Singkat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004. Sumal. Reduksi Kekuasaan Esekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU). Malang: UMM Pres. 2003. Suseno, Franz Magnis. Etika Politik (Pinsip-prinsip moral dasar kenegaran modern). Jakarta: PT Gramedia. 2003.
85
Karya Ilmiah : -------. “Reformasi dan Profesionalisasi Kejaksaan”. Makalah disampaikan dalam Workshop Govermence Audit of the Public Prosecution Service. Yogyakarta. 2001 Assiddhiqqie, Jimly. makalah yang berjudul “Pembangunan Hukum dan Penegakkan Hukum Di Indonesia”. Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2006. Nasution, Adanan Buyung. “Kembalikan Kejaksaan Sebagai Alat Penegakan Hukum” (Makalah disampaikan dalam diskusi panel di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung RI tanggal 11-12 Januri 1999. Suhardibroto, “Restruktirisasi Kejaksaan Guna Optimalisasi Pelaksanaan Tugas penegakan Hukum Untuk menjawab Tantangan Zaman”, Makalah disampaikan dalam diskusi panel di Pusat Penddiikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung RI tanggal 11-12 Januri 1999. Visser, Tjeerd Sleeswijk. The General Prosecutor and Responsiblilitiea, makalah disampaikan pada seminar “The Prosecutor`s office in a democratic and constitusional state” di unduh dari situs dikutip dari Marwan Effendy Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia. 2005.
Internet :
Bukti Habibie Tak Serius Periksa Soeharto, Wakil Panji Masyarakat di Periksa Polisi diunduh darihttp://iwan-uni.blogspot.com/2005/07/bukti-habibietak-serius-periksa.html pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 2016
86
EtymZuadria. Amd, “Sejarah Kejaksaan RI”, http://ktjintelijen.blogspot.com/2010_05_01_archive.html, diakses, 18 Agustus 2016 H.H. Juynboll, “Sejarah Kejaksaan Indonesia”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Indonesia, diakses, 18 Agustus 2016 , diakses tanggal 18 agustus 2016. http://kriminalitas.com/indo/content/view/5317/6/
(diakses
Senin,
29
Maret 2016 14:30) http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4170-rapor-akuntabilitas-kinerjak-l-dan-provinsi-meningkat diakses 17 agustus 2016 http://www.viva.co.id/prancis2016/read/720101-icw-tak-heran-kejaksaanagung-dapat-rapor-merah diakses, 17 agustus 2016 http://.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016 Wijatobone,“Kedudukan Kejaksaan”, http://wijatobone.blogdetik.com/2008/10/21/optimalisasi-peran-kejaksaan-dalampenegakan-supremasi-hukum/, diakses 18 Agustus 2016
Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Laporan Hasil kerja Tim analisis :
87
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006.
Koran dan artikel :
Media Indonesia, Selasa 16 Mei 2006/No.9276/Tahun 2007. Pusat Penelitian dan Kajian Hukum Kejaksaan Agung (b) , Simposium Tentang Masalah-Masalah Asas Oportunitas, Tanggal 4 dan 5 November 1981 di Ujung Pandang. Meador, Daniel J Meador. The President, The Ottorney General and The Department of Justice dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI. Baker, Nancy. Conflicting Loyalties, dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI,. Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia (Kekuasaan Penuntutan”http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/27/kekuasaanpenuntutan/. Diakses pada 17 Agustus 2016
Jurnal :
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H. Independensi Kejaksaan sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. 2010
LEMBAR PERNYATAAN 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi satu syarat memperoleh gelar Strata I (S1) di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika dikemudian hari terbukti hasil karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan orang lain,maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 30 September 2016
Bagdhady Zanjani Al Misbakh
ii
ABSTRAK INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM (STUDI KASUS DEPONERING BAMBANG WIJAYANTO). Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana Independensi Jaksa Agung serta kaitanya dalam penyampingan perkara demi kepentingan umum (deponering) khususnya dalam perkara pemberian deponering Bambang Wijayanto. Hasil analisis ini mengungkap permasalahan independensi Jaksa Agung terletak pada ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan tersebut memiliki makna besarnya pengaruh eksekutif terhadap Kejaksaan RI yang menyebabkan Kejaksaan tidak Independen. Perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia guna menutup celah yang memberikan peluang pada lembaga Kejaksaan untuk tidak Independen. Perubahan tersebut ditekankan poin-poin krusial pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang menjadi sumber utama yang menyebabkan Kejaksaan tidak independen. Pertama, pola pengangkatan Jaksa Agung haruslah diubah dengan menghindari dominasi tunggal Presiden dalam proses pengangkatanya, melainkan juga mengikutsertakan lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna terciptanya sistem check and balances. kedua, ketentuan pemberhentian Jaksa Agung pun jelas harus diubah, ketentuan ini adalah “tenaga” terbesar eksekutif dalam kontribusinya atas tidak independensinya Kejaksaan. Dalam pasal 22 ayat (4) dijelaskan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatanya berakhir, namun dalam penjelasan pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini amat sangat berpotensi menghilangkan independensi Kejaksaan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapanpun tergantung pada keinginan presiden. Dengan permasalahan Kejaksaan yang dinilai tidak independen dan tidak ada penjelasan secara limitatif apa makna dari “kepentingan umum”. Yang berarti hanya pada pandangan subjektif Jaksa Agung semata. Maka akan sangat berpotensi memberikan dampak negatif pada objektifitas pemberian deponering, pemberian deponering karena desakan pihak luar criminal justice system atau desakan politik tertentu akan memperkeruh wajah penegakan hukum di Indonesia. Berdasarkan pertimbangan tersebut penulis beranggapan bahwa penyampingan perkara demi kepentingan umum atas kasus Bambang Wijayanto tidaklah tepat. Lebih baik menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal justice system yang berlaku. Kata Kunci
: Jaksa Agung, Independensi, Deponering
iii
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam atas segala rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi
yang
berjudul
“INDEPENDENSI
JAKSA
AGUNG
DALAM
PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM (STUDI KASUS: PEMBERIAN DEPONERING BAMBANG WIJAYANTO”dengan lancar dan baik. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurahkan kepada baginda besar Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga, sahabat dan juga bagi kita selaku pengikut setia beliau hingga akhir hayat. Dan tidak lupa ucapan terimakasih dan cinta yang sedalam-dalamnya kepada kedua orang tua tercinta ibunda Hj. Ufat Fatihah dan ayahanda H. Misbakh, M.Pd. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini banyak pihak yang telah membantu penulis baik secara materiil maupun immaterial. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya kepada: 1.
Dr. Asep Saepudin Jahar, MA., Ph.D,selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2.
Dr. H. Asep Syarifuddin Hidayat, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu Hukum dan Drs. Abu Thamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
iv
3.
Dr. Alfitra, S.H.,M.H. selaku dosen pembimbing yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan arahan serta bimbingannya dengan
sabar
kepada
penulis
selamaini
sampai
penulis
dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan lancar. 4.
Syafrudin Makmur, S.H., MH. Selaku dosen pembimbing skripsi yang telah bersedia memberikan waktu dan arahan serta masukan kepada penulis disela-sela kesibukan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik dan benar.
5.
Segenap Dosen serta staff Fakultas Syariah dan Hukum yang dengan ikhlas mendidik dan membimbing penulis dari semester 1 hingga selesai penulisan skripsi ini.
6.
Orang Tua Tercinta Ayah H. Misbakh, M.Pd. dan Ibunda Hj. Ufat Fatihah yang telah mencurahkan kasih sayang kepada penulis dan tidak ada hentihentinya memberikan nasihat serta dukungan baik moril maupun materil yang tidak terhingga, motivasi serta doa yang tidak pernah lelah dipanjatkan untuk penulis, memberikan semangat bagi penulis untuk menyelesaikan studi S1 ini
7.
Kakak penulis Ayyub Lownardo Austin, S.Pd., M.Pd., M.IP dan Lulu Harliani yang selalu mendukung dan memberikan arahan, doa serta motivasi penulis dalam menimba ilmu untuk menyelesaikan studi S1 ini.
8.
Adik-adik dan Ponakan Tersayang Cordova Baginda Bajuri Harun, Dheandles Duta Agung Bajuri Harun,Easher Shredder Sabique Qurani dan Farha Arpegias Fadhail Kawakib yang selalu memberikan dukungan dan
v
mendoakan penulis serta menjadi sumber semangat penulis dalam menyelesaikan studi S1 ini. 9.
Sahabat-sahabat Penulis Murtadlo Baedlowi, Muhammad Raziv Barokah, Teguh Rudiawan, Muhammad Yusuf, Khairul Atma, Sigit Ganda Prabowo, Dimas Anggri, AgieZaky, Ade Kurniawan, Said Agung Sedayu, Muhammad Ansyori, Agasti Prior, Farid Muhajir dan teman-teman lainnya terimakasih atas kebersamaan dan keceriaan kalian selama ini.
10.
Keluarga besar Ilmu Hukum Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan nuansa kekeluargaan sehinnga penulis merasa nyaman berada dalam keluarga ini .
11.
Dan seluruh pihak yang telah membantu penulis sejauh ini yang tidak dapat
penulis
sebutkan
satu
persatu,
semoga
senantiasa
dalam
perlindungan dan keberkahan dari Allah SWT. Demikian penulis ucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya dan mohon maaf apabila terdapat kesalahan kata-kata yang dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan bagi para pembaca padaumumnya. Wassalamu’alaikumWr. Wb.
Jakarta, 30 September 2016 Penulis
Bagdhady Zanjani Al Misbakh
vi
DAFTAR ISI PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................................................... LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................................ .i LEMBAR PERNYATAAN ................................................................................................ ii ABSTRAK ........................................................................................................................... iii KATA PENGANTAR ......................................................................................................... iv DAFTAR ISI ........................................................................................................................ vii BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1 B. Perumusan dan Pembatasan Masalah...................................................... 7 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ............................................................... 8 D. Tinjauan Kajian Terdahulu ..................................................................... 8 E. Kerangka Konseptual .............................................................................. 10 F. Metode Penelitian.................................................................................... 12 G. Sistematika Penulisan.............................................................................. 15
BAB II
KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA A. Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia ................................... .17 B. Kedudukan dan Peran Kejaksaan Republik Indonesia............................ 23 C. Susunan dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia......................... 27 D. Syarat Menjadi Jaksa Agung................................................................... 31
vii
BAB III
PENYAMPINGAN PERKARA SEBAGAI SALAH SATU HAK DAN WEWENANG JAKSA AGUNG A. Sejarah Oportunitas di Indonesia ........................................................... 34 B. Perkembangan Asas Oportunitas di Indonesia ....................................... 49 C. Asas Oportunitas Sebagai Dasar Kewenangan Menyampingkan Perkara oleh Jaksa Agung……………………………………………....……….51
BAB IV
INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANG PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM A. Independensi Kejaksaan dalam Kaitanya dengan Negara Hukum .................................................................................................... 56 B. Kaitan Independensi Jaksa Agung dengan Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum ......................................................... 63 C. Analisis Penyampingan Perkara Bambang Wijayanto Demi Kepentingan Umum oleh Jaksa Agung ................................................... 74
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ............................................................................................. 79 B. Saran........................................................................................................ 81
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................... 83
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penegakan Hukum (law enforcement) dalam arti luas mencakup kegiatan untuk melaksanakan dan menerapkan hukum serta melakukan tindakan hukum terhadap setiap pelanggaran atau penyimpangan hukum yang dilakukan oleh subjek hukum, baik melalui prosedur peradilan ataupun melalui prosedur arbitrase dan mekanisme penyelesaian sengketa lainnya (alternative desputes or conflicts resolution).1Salah satu lembaga negara yang berperan penting dalam proses penegakkan hukum di Indonesia adalah Kejaksaan Republik Indonesia. Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 35 (c) yang berbunyi : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa atau negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Penyaampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan 1
Jimly Assiddhiqqie, makalah yang berjudul “Pembangunan Hukum dan Penegakkan Hukum Di Indonesia”. Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 17 Februari 2006
1
2
kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Namun, penjelasan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ini tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara jelas. Penyampingan perkara didasarkan pada azas oportunitas. Azas oportunitas ialah azas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum2 atau hak jaksa agung yang karena jabatannya untuk mendeponer perkara-perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya. Dengan kata lain perkaranya dikesampingkan walaupun cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa diputus bersalah. Berdasarkan ketentuan tersebut maka bisa dikatakan tugas Kejaksaan di dalam penyelenggaraan negara kita sangatlah penting, karena selaku institusi tempat bernaungnya seluruh Jaksa, Kejaksaan mempunyai peran penting selaku penghubung antara masyarakat dengan negara dalam menjaga tegaknya hukum dan norma yang berlaku di masyarakat. Oleh karena itu dalam melaksanakan fungsinya, Kejaksaan haruslah bekerja secara merdeka dan bebas dari intervensi manapun termasuk dari pemerintah. Sangat 2
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta:Sinar Grafika, 2009) h.436.
3
berbahaya apabila Kejaksaan bekerja dengan adanya intervensi dari pihak lain. Independensi Jaksa hingga sekarang banyak menuai perdebatan. Hal ini tidak terlepas dari
kedudukan Kejaksaan sendiri
sebagai
lembaga
pemerintahan sedangkan fungsinya yang sebagai institusi penegak hukum menimbulkan banyak pertanyaan “mampukah Kejaksaan bisa bekerja secara merdeka dalam melakukan fungsinya, namun kedudukan Kejaksaan sendiri adalah sebagai bagian dari eksekutif” Ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada Presiden memiliki makna besarnya pengaruh eksekutif terhadap lembaga Kejaksaan. Hal ini menyebabkan Kejaksaan sulit mendapatkan keindependensianya. Dalam negara yang melaksanakan sistem demokrasi, seorang presiden dipilih dari calon-calon yang dijagokan partai politik, maka sangat mungkin Jaksa Agung dipilih oleh Presiden dari partainya atau partai pendukungnya dengan komitmen tertentu. Hal ini sangat rawan akan “conflict of interest”, seharusnya Jaksa Agung adalah “a man of law” yang dalam sistem kita dapat digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang tidak mengabdi kepada presiden dengan kepentingan politiknya.
4
Dalam Black’s Law Dictionary, independent diartikan “not subject to the control or influence of another.”3 Dari pengertian tersebut, independen berarti tidak tunduk pada kekuasaan atau pengaruh pihak lain. Independensi di sini dapat menyangkut individu maupun lembaga dalam kaitannya dengan status atau hubungan dengan pihak lain,4 sehingga indepensi meliputi kemandirian atau kebebasan individu maupun kelembagaan terhadap pengaruh pihak eksternal. Tidak dapat dipungkiri bahwa tugas penegakan hukum dan keadilan merupakan tugas yang sangat berat, apalagi dalam konteks Indonesia yang masih dilanda kemiskinan, ketidakadilan, serta korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah sedemikian sistemik dan menggurita hingga menyentuh semua lapisan masyarakat. Pada masa orde baru, kejaksaan yang seharusnya bertindak sebagai lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan hukum publik berubah menjadi lembaga penegak hukum yang mewakili kepentingan pemerintah. Berdasarkan struktur kelembagaannya saat ini, secara formal kejaksaan merupakan bagian dari pemerintah atau eksekutif, sehingga tidak akan mudah untuk menjadi lembaga penegakan hukum yang
3
4
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, (ST. Paul, MINN: West Group, 2009), h. 838
David Phillip Jones, “Recent Developments in Independence and Impartiality.” (Canadian Journal of Administrative Law & Practice, 2002). Diakses melalui http://www.westlaw.com, 15 agustus 2016
5
berkiblat pada kepentingan publik atau public sense of justice5 dan independen atau terbebas dari campur tangan pihak lain terutama eksekutif.6 Contoh nyata dari sulitnya kejaksaan terbebas dari campur tangan eksekutif terlihat jelas dalam perkara yang menimpa mantan Komisioner KPK Bambang Wijayanto, Peristiwa ini berawal dari adanya dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Bambang Wijayanto. MABES POLRI menetapkan
Bambang
Wijayanto
sebagai
tersangka
terkait
dugaan
mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam dalam sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah Kota Waringin Barat pada tahun 2010 di Mahkamah Konstitusi.
Perkara
Bambang Wijayanto
dalam
dugaan
mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam Pilkada Kotawaringin Barat dinyatakan sudah sampai pada tahap penuntutan. Jaksa Agung lalu mempertimbangkan perkara itu di deponering. Jaksa agung kemudian mengirimkan surat permintaan pertimbangan deponering ke Komisi III DPR RI. Kemudian Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa memastikan komisinya menolak saran deponering perkara mantan Komisioner KPK tersebut. Alasanya, tidak ada unsur kepentingan umum yang mengharuskan perkara itu dihentikan. Sementara Presiden Joko Widodo melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi SP memerintahkan agar perkara-perkara yang berkaitan dengan KPK segera 5
Rod Harvey. “The Independence of The Prosecutor; a Police Perspective.” Makalah diterbitkan dalam http://www.aic.gov.au. Diakses pada tanggal 17 agustus 2016 6
Todung Mulya Lubis, Catatan hukum Todung Mulya Lubis: mengapa saya mencintai negeri ini?, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2007), h. 111
6
diselesaikan, tentu dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan secara hukum, dan pada tanggal 3 Maret 2016 Jaksa Agung HM Prasetyo yang berasal dari politisi Nasdem resmi menggunakan kewenangan penyampingan perkara demi kepentingan umum dalam kasus ini. Mengeluarkan keputusan penyampingan perkara demi kepentingan umum (deponering) atas perkara mantan Komisioner KPK Bambang Wijayanto.7Instruksi Presiden melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi SP menunjukan bahwa Kejaksaan yang dimpimpin oleh Jaksa Agung jelas tidak bisa lepas dari pengaruh intervensi eksekutif. J. Remmelink mengatakan bahwa akan selalu ada bahaya jika Kejaksaan tidak menjalankan tugas dan wewenangnya dengan independen. Bahwa akan selalu ada motif-motif partai politik dalam memutuskan memerintah tugas dari Kejaksaan dalam hal, misal penyampingan suatu perkara demi kepentingan umum, ataupun untuk memerintahkan menuntutnya. 8 Kewenangan institusi Kejaksaan yang dipimpin oleh Jaksa Agung menangani perkara dalam bidang penuntutan tidak terlepas dari persoalan independensi atau kemandirianya untuk dapat mengambil sikap berupa kebijakan-kebijakan (diskresi) dalam menyelesaikan permasalahan hukum. Meskipun UU No.16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI telah memberikan wewenang oportunitas yang hanya dimiliki oleh jaksa agung sebagai 7
8
http://kriminalitas.com/indo/content/view/5317/6/ (diakses Senin, 29 Maret 2016 14:30)
Jan Rammelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), (PT Gramedia Pustaka, Jakarta: 2003), h. 5
7
pemimpin tertinggi institusi Kejaksaan RI, namun dalam menangani perkara seringkali muncul keraguan dengan mempertanyakan independensi kejaksaan dalam memproses perkara. Kecurigaan rasional pada intinya ditujukan pada pengaruh kepentingan eksternal atas. Tidak independensinya Jaksa Agung karena posisi kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan dan Jaksa Agung adalah jabatan politis non karir yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku kepala pemerintahan. B. Pembatasan dan Perumusan Masalah 1. Pembatasan Masalah Agar masalah yang akan penulis bahas tidak terlalu melebar, maka penulis hanya membatasi masalah pada Independensi Jaksa Agung serta kaitanya dengan peran dan fungsi Jaksa Agung dalam menjalankan Azas Oportunitas dalam pelaksanaan tugasnya melakukan penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum. 2. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah dan pembahasan masalah yang telah diuraikan, maka perumusan masalahnya akan dirumuskan sebagai berikut: a. Bagaimana permsalahan Independensi yang dialami oleh Jaksa Agung? b. Bagaimana kaitan independensi Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas peyampingan perkara pidana demi kepentingan umum dalam kasus Bambang Wijayanto ?
8
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Sebagaimana latar belakang dan rumusan masalah yang penulis utarakan maka tujuan penelitian yang hendak dicapai adalah: a.
Untuk mengetahui permasalahan independensi yang dialami oleh Jaksa Agung.
b.
Untuk mengetahui kaitan Independensi Jaksa Agung dalam melaksanakan tugas peyampingan perkara pidana demi kepentingan umum.
2. Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini diharapkan bisa menjadi rujukan bagi mahasiswa Syariah dan Hukum khususnya Ilmu Hukum dalam menganalisa kasus yang sama atau hampir sama dengan penelitian yang penulis buat. Penulis juga berharap dengan adanya penelitian ini seluruh masyarakat di Indonesia dapat memahami tentang Independensi Kejaksaan Republik Indonesia dalam Penyampingan Perkara Demi Kepentingan Umum.
D. Tinjauan Kajian Terdahulu Nama Fakultas/ Prodi Tahun Judul Skripsi
Gery Pamungkas Universitas Islam Negri Syarif Hidayatullah Jakarta
2015 Independensi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara.
9
Substansi Pembeda
Nama Fakultas/ Prodi Tahun Judul Skripsi
Substansi
Pembeda
Nama Publisher Tahun Judul Buku Substansi Pembeda
Skripsi ini membahas tentang Independensi Kejaksaan sebagai Jaksa Pengacara Negara. Penelitian penulis dengan skripsi di atas sangat jauh berbeda. Penulis hanya menjadikan skripsi tersebut acuan dalam hal konsep. Karena penelitian di atas dengan milik penulis memiliki konsep yang sama yakni mengenai Independensi Kejaksaan RI. Namun, penelitian di atas mengenai Independensi Jaksa sebagai Pengacara Negara. Sedangkan penulis membahas Independensi Jaksa Agung dalam melakukan deponering. Yelina Rachma P Universitas Sebelas Maret /Fakultas Hukum 2010 Tintauan tentang pengaturan azas penyampingan perkara demi kepentingan umum (azas oportunitas) dalam KUHAP dan relevansinya dengan azas persamaan di mata hukum ( equality before the law) Skripsi ini membahas pertanggung jawaban pengaturan azas penyampingan perkara demi kepentingan umum (azas oportunitas) dalam KUHAP dan relevansinya dengan azas persamaan di mata hukum (equality before the law). Penulis menjadikan skripsi ini sebagai acuan karena memiliki kesamaan konsep penerapan azas oportunitas oleh jaksa agung dalam system hukum di indonesia. Terdapat pembedaan mengenai sudut pandang. Dalam skripsi ini menekankan tentang pengaturan azas oportunitas sedangkan penulis Independensi Jaksa Agung dalam penerpan azas oportunitas dalam suatu perkara pidana, khususnya perkara yang mendera mantan komisioner KPK yaitu, Bambang Wijayanto.
Dr. Alfitra, S.H., M.H Raih Asa Sukses 2012 Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana Buku ini merupakan salah satu kerangka pemikiran tentang penerapan azas oportunitas oleh Jaksa Agung Buku ini merupakan acuan dasar tentang hal-hal yang berkaitan dengan azas oportunitas khususnya penyampingan perkara pidana demi kepentingan umum.. Sedangkan penulis akan membahas tentang Independensi
10
Jaksa Agung dalam penyampingan perkara pidana(deponering) berdasarkan azas oportunitas
Nama Tahun Judul Jurnal Substansi Pembeda
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H 2010 Independensi Kejaksaan sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Jurnal ini merupakan salah satu kerangka pemikiran tentang Independensi Kejaksaan RI. Jurnal ini merupakan acuan dasar tentang hal-hal yang berkaitan Independensi Kejaksaan dalam Penuntutan. Sedangkan penulis akan membahas tentang Independensi Jaksa Agung dalam penyampingan perkara pidana (deponering) berdasarkan azas oportunitas
E. Kerangka Konseptual 1. Azas oportunitas adalah hak Jaksa Agung yang karena jabatannya untuk mendeponir perkara-perkara pidana, walaupun bukti bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya.9 2. Kejaksaan Republik Indonesia melaksanakan
kekuasaan
negara
adalah lembaga dalam
pemerintah yang
bidang penuntutan
serta
kewenangan lain berdasarkan undang-undang.10 9
Karim Nasution, Rapat Dengar Pendapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Masalah Hukum Acara Pidana, (Jakarta : DPR, 2004), h.36. 10
Komisi Hukum Nasional dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia, Pembaharuan Kejaksaan ; Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa, (Jakarta : KHN dan MaPPI, 2004), h.3.
11
3. Diskresi adalah keputusan dan/atau tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan pejabat pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan. 4. Dominus litis berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Penuntut umum ialah dominus litis. Pengertiannya ialah wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umm sebagai monopoli dan tidak ada badan lain yang boleh melakukan penuntutan selain penuntut umum.11 5. Penuntut umum adalah jaksa yang menuntut perkara yang disidangkan dan berwenang menyerahkan perkara seorang terdakwa kepada hakim, dengan permohonan, supaya hakim memeriksa dan kemudian memutuskan perkara pidana itu terhadap terdakwa. 6. Penuntutan yang berasal dari kata tuntut yang berarti meminta dengan keras (setengah mengharuskan supaya dipenuhi); menagih, menggugat, membawa atau mengadu ke pengadilan.12 7. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini (KUHAP) untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
11
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi, (Jakarta :Sinar Grafika,2004), h.48. 12
O.C. Kaligis, Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi, (Jakarta: PT. Alumni, 2006), h.91.
12
F. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian dan Pendekatan Penelitian Penelitian (research) berarti pencarian kembali. Pencarian yang dimaksud adalah pencarian terhadap pengetahuan yang benar (ilmiah), karena hasil
dari pencarian ini akan dipakai untuk menjawab
permasalahan tertentu. Dengan kata lain, penelitian (research) merupakan upaya pencarian yang amat bernilai edukatif, ia melatih kita untuk selalu sadar bahwa didunia ini banyak yang kita tidak ketahui, dan apa yang kita coba cari, temukan dan ketahui itu tetaplah bukan kebenaran mutlak, oleh sebab itu, masih perlu diuji kembali.13 Tipe penelitian yang penulis gunakan pada skripsi ini adalah kualitatif dengan pendekatan empiris yuridis. 14yaitu penelitian hukum yang menitikberatkan pada kajian literatur (kepustakaan) serta data sekunder yang bertujuan untuk meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum, dan perbandingan hukum. Jenis penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian
kepustakaan
(library
research)
dengan
menggunakan
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan historis (historical approach) serta pendekatan konseptual (conceptual approach). 2. Sumber Data a.
Bahan Hukum Primer
13
Amirudin dan Zaenal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum,(Jakarta; PT. RajaGrafindo Persada, 2012), h.5. 14
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Pengertian Hukum Normatif Suatu Tindakan Singkat, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada,2004), h. 14.
13
Bahan-bahan hukum primer meliputi peraturan perundangundangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan , dan putusan-putusan hakim.15 b.
Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang diperoleh dari literatur hukum, artikel yang berasal dari Jurnal, publikasi press dalam surat kabar, internet, dan dokumen lain yang berkaitan dengan penelitian, guna memberikan penjelasan lebih lanjut dan mendalam mengenai bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.
c.
Bahan Non-Hukum (Tersier) Bahan Non-Hukum dapat berupa publikasi non hukum yang memuat data-data yang masih relevan atau berkaitan dengan tema penelitian ini.
3. Tehnik Pengumpulan Data dan Bahan Hukum Metode pengumpulan data dalam penulisan ini terdiri dari bahan hukum primer, sekunder, serta bahan non hukum yang telah di dapatkan kemudian dipadukan dan disusun sesuai dengan hierarkinya. Adapun bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder atau bahkan bahan hukum tersier di uraikan dan dihubungkan sedemikian rupa, sehingga dapat ditampilkan dalam penulisan yang lebih sistematis untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan secara deduksi yakni
15
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. (Jakarta: Kencana, 2010), h. 141.
14
menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum ke suatu permasalahan yang bersifat khusus atau yang lebih kongkrit. 16 4. Metode Pengolahan Data dan Bahan Hukum Pengolahan
data
dilakukan
dengan
metode
kualitatif
yakni
memberikan gambaran mengenai permasalahan dengan menganalisis rujukan dalam setiap literatur dan bahan hukum yang disebutkan di atas17. 5.
Analisis Data Teknis
analisis
data
dalam
penelitian
ini
diawali
dengan
mengkompilasi berbagai dokumen peraturan perundang-undangan serta bahan hukum lainnya yang berhubungan dengan judul yang penulis ambil. Kemudian dari hasil tersebut, dikaji isi (content), baik terkait kata-kata (word), makna (meaning), simbol, ide, tema-tema dan berbagai pesan lainnya yang dimaksudkan dalam isi undang-undang tersebut. Secara detail langkah-langkah yang dilakukan dalam melakukan analisis tersebut adalah: Pertama, semua bahan-bahan hukum yang diperoleh melalui normatif disistematisir dan diklasifikasikan menurut objek bahasannya. Kedua, setelah disistematisir dan diklasifikasikan kemudian diuraikan dan dijelaskan tentang objek yang diteliti berdasarkan teori. Ketiga, bahan yang dilakukan evaluasi, yakni dinilai dengan menggunakan ukuran ketentuan hukum yang berlaku.
16
17
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2011), h. 42. Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Rineka Cipta, 2004) ,h. 104.
15
6.
Metode Penulisan Teknik penulisan dan pedoman yang digunakan penulis dalam skripsi ini disesuaikan kaidah-kaidah penulisan karya ilmiah dan buku “Pedoman Penulisan Skripsi Fakultas Syariah Dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2012”
G. Sistematika Penulisan Secara garis besar, skripsi ini dibagi menjadi lima bab dengan sub bab, dengan uraian singkat sistem penulisan sebagai berikut : BAB I PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan mengenai keseluruhan isi penelitian yang akan digali dengan tujuan untuk membuka pemahaman secara umum sisi penelitian yang terdiri atas latar belakang penelitian, alasan penelitian. Selanjutnya akan dibahas mengenai kerangka konseptual dan
kerangka
teoritis
yang
digunakan
untuk
menganalisa
permasalahan tersebut. Selain itu juga diuraikan juga mengenai metode penelitian ini dan sistematika penulisan. BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA Bab ini akan membahas secara teoritis tentang sejarah. Didalamnya akan dibahas tentang tinjauan umum mengenai Kejaksaan RI dan Jaksa Agung. Dibahas tentng sejarah dan perkembangan Kejaksaan di Indonesia.
16
BAB III PENYAMPINGAN PERKARA SEBAGAI SALAH SATU HAK DAN WEWENANG JAKSA AGUNG Dalam bab ini akan membahas kewenangan Kejaksaan dalam penyampingan perkara (Deponering). Pengertian dan istilah azas oportunitas, latar belakang berlakunya azas oportunitas di Indonesia. Sejarah singkat dan perkembangan azas oportunitas sebagai dasar penyampingan perkara demi kepentingan umum di Indonesia. BAB IV INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANG PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Akan diuraikan mengenai hasil penelitian dan analisis terhadap independensi Jaksa Agung dan kaitanya dengan kewenangan penyampingan perkara dengan alasan kepentingan umum. Kasus yang terkait adalah penyampingan perkara Bambang Wijayanto. BAB V PENUTUP Merupakan bab penutup dari keseluruhan Bab 1, 2, 3, 4, akan dikategorikan simpulan akhir sebagai jawaban atas pokok-pokok permasalahan yang dibahas dan dianalisis dalam penelitian ini. Disamping itu disampaikan juga saran atau rekomendasi yang sekiranya berguna bagi perkembangan sistem hukum di Indonesia.
BAB II KEDUDUKAN DAN PERAN KEJAKSAAN SERTA JAKSA AGUNG REPUBLIK INDONESIA A.
Sejarah Lahirnya Kejaksaan Republik Indonesia 1. Sebelum Reformasi Istilah kejaksaan sebenarnya sudah ada sejak lama di Indonesia. Pada zaman kerajaan Hindu-Jawa di Jawa Timur, yaitu pada masa Kerajaan Majapahit, istilah dhyaksa, adhyaksa dan dharmadhyaksa sudah mengacu pada posisi dan jabatan tertenti di kerajaan. Istilah-istilah ini berasal dari bahasa kuno, yakni kata-kata yang sama dalam Bahasa Sansekerta. Menurut W. F. Stutterheim mengatakan bahwa dhyaksa adalah pejabat negara di zaman Kerajaan Majapahit, tepatnya di saat Prabu Hayam Wuruk tengah berkuasa (1350-1389 M).18 Dhyaksa adalah hakim yang diberi tugas untuk menangani masalah peradilan dalam sidang pengadilan. Para adhyaksa ini dipimpin oleh seorang adhyaksa, yakni hakim tertinggi yang memimpin dan mengawasi para dhyaksa tadi. Kesimpulan ini didukung peneliti lainnya yakni H.H. Juynboll, yang mengatakan bahwa adhyaksa adalah pengawas (opzichter) atau hakim tertinggi (oppenrrechter).19
18
http://.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
19
http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Indonesia, diakses, 18 Agustus 2016
17
18
Krom dan Van Vollenhoven, juga seorang peneliti Belanda, bahkan menyebut bahwa patih terkenal dari Majapahit yakni Gajah Mada, juga adalah seorang adhyaksa. Pada masa pendudukan Belanda, badan yang ada relevansinya dengan jaksa dan Kejaksaan antara lain adalah Openbaar Ministerie. Lembaga ini yang menitahkan pegawai-pegawainya berperan sebagai Magistraat dan Officier van Justitie di dalam sidang Landraad (Pengadilan
Negeri),
Juridictie
Geschillen
(Pengadilan Justisi)
dan
Hooggerechtshof (MA) dibawah perintah langsung dari Residen/Asisten Residen. Hanya saja pada prakteknya, fungsi tersebut lebih cenderung sebagai perpanjangan tangan Belanda belaka. Dengan kata lain, jaksa dan Kejaksaan pada masa penjajahan Belanda mengemban misi terselubung, antara lain :20 a.
Mempertahankan segala peraturan Negara.
b.
Melakukan penuntutan segala tindak pidana.
c.
Melaksanakan putusan pengadilan pidana yang berwenang.
Fungsi sebagai alat penguasa itu akan sangat kentara, khusunya dalam menerapkan delik-delik yang berkaitan dengan hatzaai artikelen yang terdapat dalam Wetboek van Strafrecht (WvS). Peran Kejaksaan sebagai satu-satunya lembaga penuntut secara resmi difungsikan
pertama
kali
oleh
Undang-Undang
pemerintah
zaman
pendudukan tentara Jepang Nomor 1/1942, yang kemudian diganti oleh 20
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
19
Osamu Seirei Nomor 3/ 1942, Nomor 2/1944 dan Nomor 49/1944. Eksistensi kejaksaan itu berada pada semua jenjang pengadilan, yakni sejak Saikoo Hoooin (Pengadilan Agung), Koootooo Hooin (Pengadilan Tinggi) dan Tihooo Hooin (Pengadilan Negeri). Pada masa itu, secara resmi digariskan bahwa Kejaksaan memiliki kekuasaan untuk :21 a.
Mencari (menyidik) kejahatan dan pelanggaran.
b.
Menuntur Perkara.
c.
Menjalankan putusan pengadilan dalam perkara kriminal.
d.
Mengurus pekerjaan lain yang wajib dilakukan menurut hukum.
Begitu Indonesia merdeka, fungsi seperti itu tetap dipertahankan dalam Negara Republik Indonesia. hal itu ditegaskan dalam Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 tentang Badan-Badan dan Peraturan Pemerintah Dulu. Isinya mengamanatkan bahwa sebelum Negara Republik Indonesia membentuk badan-badan dan peraturan negaranya sendiri sesuai dengan ketentuan UUD 1945, maka segala badan dan peraturan yang ada masih langsung berlaku. Secara yuridi formal, Kejaksaan Republik Indonesia telah ada sejak kemerdekaan Indonesia diproklamasikan, yakni tanggal 17 Agustus 1945. Sua hari setelahnya, yakni tanggal 19 Agustus 1945, dalam rapat Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (selanjutnya disingkat PPKI) diputuskan
21
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
20
kedudukan Kejaksaan dalam struktur Negara Republik Indonesia, yakni dalam lingkungan Departemen Kehakiman. Kejaksaan Republik Indonesia terus mengalami berbagai perkembangan dan diamika secara terus menerus sesuai dengan kurun waktu dan perubahan sistem pemerintahan. Sejak awal eksistensinya, hingga kini Kejaksaan Republik Indonesia telah mengalami 23 (dua puluh tiga) periode kepemimpinan
Jaksa
Agung.
Seiring
dengan
perjalanan
sejarah
ketatanegaraan Indonesia, kedudukan pimpinan, organisasi, serta tata cara kerja Kejaksaan Republik Indonesia, juga mengalami berbagai perubahan yag disesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, serta bentuk negara dan sistem pemerintahan.22 Menyangkut Undang-Undang Kejaksaan, perubahan mendasar pertama berawal tanggal 30 Juni 1961, saat pemerintah mengesahkan Undanf-Undang Nomor 15 Tahun 1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kejaksaan Republik Indoinesia, Undang-Undang ini menegaskan Kejaksaan sebagai alat Negara penegak hukum yang bertugas sebagai penuntut umum (pasal 1), penyelenggaraan tugas Departemen Kejaksaan dilakukan Menteri/Jaksa Agung (Pasal 5), dan susunan organisasi yang diatur oleh keputusan Presiden. Terkait kedudukan, tugas dan wewenang Kajaksaan dalam rangka sebagai alat revolusi dan penempatan kejaksaan dalam struktur organisasi departemen, disahkan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 22
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
21
Pada masa Orde Baru ada perkembangan baru yang menyangkut Kejaksaan Republik Indonesia sesuai dengan perubahan dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Perkembangan itu juga mencakup perubahan mendasar pada susunan organisasi serta tata cara institusi Kejaksaan yang didasarkan pada adanya Keputusan Presiden Nomor 55 Tahun 1991 tertanggal 20 November 1991.23 2. Masa Reformasi Masa Reformasi hadir di tengah gencarnya berbagai sorotan terhadap pemerintah Indonesia serta lembaga penegak hukum yang ada, khususnya dalam penanganan Tindak Pidana Korupsi. Karena itulah, memasuki masa reformasi Undang-Undang Kejaksaan juga mengalami perubahan, yakni dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia untuk mengggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. kehadiran UndangUndang ini disambut gembira banyak pihak lantaran dianggap sebagai peneguhan eksistensi Kejaksaan yang merdeka dan bebas dari pengaruh kekuasaan pemerintah, maupun pihak lainnya. 24 Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, Pasal 2 ayat (1) ditegaskan bahawa “Kejaksaan Republik Indonesia adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara
23
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
24
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
22
dalam bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan UndangUndang”. Kejaksaan sebagai pengendali proses perkara (Dominus Litis), mempunyai kedudukan sentral dalam penegakan hukum, karena hanya institusi Kejaksaan yang dapat menentukan apakah suatu kasus dapat diajukan ke Pengadilan atau tidak berdasarkan alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana. Disamping sebagai penyandang Dominus Litis, Kejaksaan juga merupakan satu-satunya institusi pelaksana putusan pidana. Karena itulah, Undang-Undang Kejaksaan yang baru ini dipandang lebih kuat dalam menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaaan Republik Indonesia sebagai lembaga Negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan.25 Mengacu pada Undang-Undang tersebut, maka pelaksanaan kekuasaan Negara yang diemban oleh Kejaksaan, harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara di bidang penuntutan secara merdeka artinya bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya.
25
https://www.kejaksaan.go.id/profil_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016
23
B.
Kedudukan dan Peran Kejaksaaan Republik Indonesia Mengenai kedudukan dan peran kejaksaan. Kejaksaan Republik Indonesia dalam sistem pemerintahan telah ditegaskan dalam penjelasan UUD 1945 dan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan republik Indonesia yang menyatakan bahwa kedudukan kejaksaan adalah Lembaga Pemerintah yang melaksanakan kekuasaan Negara terutama di bidang penuntutan di lingkungan peradilan umum. Ini berarti bahwa kejaksaan sebagai perwujudan dari segala kebebasan dan keadilan, sebab kejaksaan
mewakili
dan
mempertahankan
kekuasaan
Negara.
Memperjuangkan kepentingan umum yang sangat membuutuhkan ketertiban dan ketentraman dalam kehidupan dan diharapkan kejaksaan mampu bertindak secara netral, di dalam menangani perkara yang harus dipecahkan, khususnya di dalam penanganan perkara selama proses di pengadilan. 1. Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia Kedudukan sentral Kejaksaan berkait erat dengan kedudukan dan fungsi Kejaksaan Republik Indonesia dalam penegakan hukum di Indonesia. sudah tentu penekanan pada eksistensi dan eksisnya institusi ini baik dalam tatanan teoritis yang mengacu pada konsepsi negara hukum maupun dalam asas normative praktis yang berpedoman pada peraturan perundang-undangan artinya Kejaksaan dalam menjalankan tugas dan wewenangnya dalam kedudukannya sebagai badan yang terkait dengan kekuasan kehakiman dalam penegakan hukum, harus menjunjung tinggi supremasi hukum sebagai prasyarat mutlak bagi penyelenggaraan
24
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Supremasi hukum berarti adanya jaminan konstitusional dalam proses politik yang dijalankan oleh kekuasaan eksekutif, legislative, dan yudikatif. Supremasi hukum akan selalu bertumpu pada kewenangan yang ditentukan oleh hukum.26 Kedudukan Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3 dan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, yaitu : Pasal 2 : 1). Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam UndangUndang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. 2). Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 dilaksanakan secara merdeka. 3). Kejaksaan sebagaimana dimaksud pada Ayat 1 adalah satu atau tidak terpisahkan. Pasal 3 : Pelaksanaan kekuasaan negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, diselenggarakan oleh Kejaksaan Agung, Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri. Pasal 4 : 1) Kejaksaan Agung berkedudukan di Ibukota Negara Republik Indonesia dan daerah hukumnya meliputi kekuasaan negara Republik Indonesia. 26
Wijatobone,“Kedudukan Kejaksaan”, http://wijatobone.blogdetik.com/2008/10/21/optimalisasi-peran-kejaksaan-dalam-penegakansupremasi-hukum/, diakses 18 Agustus 2016
25
2) Kejaksaan Tinggi berkedudukan di Ibukota Provinsi dan daerah hukumnya meliputi wilayah provinsi. 3) Kejaksaan Negeri berkedudukan di Ibukota Kabupaten/Kota yang daerah hukumnya meliputi daerah kabupaten/kota.
2.
Peran Kejaksaan Republik Indonesia UUD 1945 menentukan secara tegas bahwa Indonesia adalah Negara hukum (rechtsstaat). Sejalan dengan ketentuan tersebut maka salah satu prinsip penting negara hukum adalah adanya menjamin kesejahteraan bagi setiap orang di hadapan hukum (equality before the law). Oleh karena itu, setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil tersebut setidaknya tercermin dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia sebagai perubahan UndangUndang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.
Undang-Undang
Kejaksaan
yang
baru
tersebut
dimaksudkan untuk lebih menetapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan. Pelaksanaan kekuasaan negara dalam Undang-Undang tersebut harus dilaksanakan secara merdeka. Penegasan ini tertuang dalam Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang
26
Kejaksaan Republik Indonesia, bahwa Kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntuan secara merdeka dalam arti bahwa dalam melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya. Ketentuan ini bertujuan melindungi profesi Jaksa dalam melaksanakan tugas profesionalnya. Kejaksaan sebagai salah satu lembaga penegak hukum dituntut lebih berperan dalam menegakan supremasi hukum, perlindungan kepentingan
hukum,
penegakan
hak
asasi
manusia,
serta
pemberantasan KKN. Kejaksaan harus mampu terlibat sepenuhnya dalam proses pembangunan
antara
lain
turut
menciptakan
kondisi
yang
mendukung dan mengamankan pelaksanaan pembangunan untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila, serta kewajiban untuk turut menjaga dan menegakan kewajiban pemerintah dan negara serta melindungi kepernyingan masyarakat. Disinilah letak peran strategis Kajaksaan dalam pemantapan ketahanan bangsa. Dasar hukum pelaksaan kedudukan dan peranan Kejaksaan Republik
Indonesia
sebagai
lembaga
pemerintahan
yang
melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan dalam tata susunan kekuasaan badan-badan penegak hukum dan keadilan
27
dijabarkan pada Pasal 5 Ayat (1), Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, yaitu: Pasal 5 Ayat(1) Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan rakyat. Pasal 20 Ayat (1) Tiap-tiap Undang-Undang menghendaki persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. C. Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia Susunan organisasi terdapat dalam Pasal 4 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu : a. Jaksa Agung: b. Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang antara lain sebagai berikut : 1). Memimpin dan mengendalikan Kejaksaan dalam melaksanakan tugas, wewenang dan fungsi serta membina aparatur Kejaksaan agar berdaya guna dan berhasil guna; 2).Menetapkan dan mengendalikan kebijaksanaan pelaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif maupun represif yang menjadi tanggung jawabnya sesuai dengan peraturan perundangundangan; 3). Melakukan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, eksekusi dan tindakan hukum lain berdasarkan peraturan perundang-undangan; 4). Mengkoordinasikan penanganan perkara pidana tertentu dengan instansi terkait meliputi penyelidikan dan penyidikan serta melaksanakan tugas-tugas yustisial lain berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden; 5). Melakukan pencegahan dan pelarangan terhadap orang yang terlibat dalam suatu perkara pidana untuk masuk ke dalam atau ke luar meninggalkan wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia, peredaran barang cetakan yang dapat mengganggu ketertiban umum, penyalahgunaan dan/atau penodaan agama serta pengawasan aliran kepercayaan yang membahayakan ketertiban masyarakat dan negara berdasarkan peraturan perundang-undangan; 6). Melakukan tindakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara, mewakili pemerintah dan negara di dalam atau di luar pengadilan sebagai usaha menyelamatkan kekayaan negara baik di dalam
28
maupun di luar negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Presiden; 7). Menyampingkan perkara demi kepentingan umum, mengajukan kasasi demi kepentingan hukum kepada Mahkamah Agung dalam perkara pidana, perdata dan tata usaha negara, mengajukan pertimbangan teknis hukum kepada Mahkamah Agung dalam pemeriksaan kasasi perkara pidana, menyampaikan pertimbangan kepada Presiden mengenai permohonan grasi dalam hal pidana mati berdasarkan peraturan perundang-undangan; 8). Memberikan izin tertulis dan menetapkan persyaratan dan tata cara bagi seorang tersangka atau terdakwa untuk berobat atau menjalani perawatan di rumah sakit di dalam maupun di luar negeri peraturan perundang-undangan; 9). Memberikan perizinan sesuai dengan bidang tugasnya dan melaksanakan tugas-tugas lain peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan umum yang ditetapkan oleh Presiden; 10.) Membentuk Satuan Tugas di Pusat di Daerah yang terdiri dari instansi Sipil, TNI dan Polri untuk penanggulangan, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana khusus serta tindak pidana tertentu sesuai dengan kebutuhan; 11). Membina dan melakukan kerja sama dengan departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, instansi dan organisasi lain untuk memecahkan permasalahan yang timbul terutama yang menjadi tanggung jawabnya. Jaksa Agung dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh seorang wakil Jaksa Agung. a. Wakil Jaksa Agung Wakil Jaksa Agung mempunyai tugas yaitu: 1). Membantu Jaksa Agung dalam membina dan mengembangkan organisasi, administrasi sehari-hari serta tugas-tugas teknis operasional lainnya agar berdaya guna dan berhasil guna; 2). Membantu Jaksa Agung dalam mengkoordinasikan pelaksanaan tugas, wewenang, dan fungsi para Jaksa Agung Muda, Pusat dan Kejaksaan di daerah; (1).Mewakili Jaksa Agung dalam hal Jaksa Agung berhalangan; (2). Melaksanakan tugas-tugas lain sesuai dengan petunjuk Jaksa Agung. Dalam melaksanakan tugasnya Wakil Jaksa Agung bertanggung jawab kepada Jaksa Agung. b. Jaksa Agung Muda Pembinaan; Jaksa Agung Muda Pembinaan adalah unsur pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang pembinaan yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung.
29
Jaksa Agung Muda Pembinaan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pembinaan atas manajemen, perencanaan dan pelaksanaan pembangunan sarana dan prasarana, pengelolaan keuangan, kepegawaian, perlengkapan, organisasi dan tatalaksana, melakukan penelaahan dan turut menyusun perumusan peraturan perundang-undangan, pengelolaan atas kekayaan milik negara yang menjadi tanggung jawabnya serta memberikan dukungan pelayanan teknis dan administratif bagi seluruh satuan organisasi Kejaksaan dalam rangka memperlancar pelaksanaan tugas. c. Jaksa Agung Muda Intelijen; Jaksa Agung Muda Intelijen adalh unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang intelijen yustisial yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Intelijen mempunyai tugas dan wewenang melakukan kegiatan intelijen yustisial di bidang sosial, politik, ekonomi, keuangan, dan pertahanan keamanan untuk mendukung kebijaksanaan penegakan hukum dan keadilan baik preventif mapun represif, melaksanakan dan/atau turut menyelenggarakan ketertiban dan ketentraman umum serta pengamanan pembangunan nasional dan hasil-hasilnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. d. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana umum yang diatur di dalam dan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (selanjutnya disingkat KUHP) yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum mempunyai tugas dan wewenang melakukan prapenuntutan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lainnya dalam perkara tindak pidana umum berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung e. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus; Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai tindak pidana khusus yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus mempunyai tugas dan wewenang melakukan penyelidikan, penyidikan, pemeriksaan tambahan, penuntutan, pelaksanaan penetapan hakim dan putusan
30
pengadilan, pengawasan terhadap pelaksanaan keputusan lepas bersyarat dan tindakan hukum lain mengenai tindak pidana ekonomi, tindak pidana korupsi, dan tindak pidana khusus lainnya berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. f. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara; Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial mengenai perkara perdata dan tata usaha negara yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara mempunyai tugas dan wewenang melakukan penegakan, bantuan, pertimbangan dan pelayanan hukum kepada instansi pemerintah dan negara di bidang perdata dan tata usaha negara untuk menyelamatkan kekayaan negara dan menegakkan kewibawaan pemerintah berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. g. Jaksa Agung Muda Pengawasan; Jaksa Agung Muda Pengawasan adalah unsur pembantu pimpinan dalam melaksanakan sebagian tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di bidang yustisial di bidang pengawasan yang bertanggung jawab langsung kepada Jaksa Agung. Jaksa Agung Muda Pengawasan mempunyai tugas dan wewenang melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas rutin dan pembangunan semua unsur Kejaksaan agar berjalan sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rencana dan program kerja Kejaksaan serta kebijaksanaan yang ditetapkan oleh Jaksa Agung. h. Pusat 1) Di lingkungan Kejaksaan dapat dibentuk Pusat sebagai unsur penunjang kegiatan Kejaksaan. 2) Pembentukan Pusat ditetapkan oleh Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayaagunaan aparatur negara. i. Kejaksaan di Daerah Kejaksaan di Daerah terdiri Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri yang kedudukan dan wilayah hukumnya ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Rincian tugas dan wewenang, susunan organisasi dan tata kerja Kejaksaan Tinggi dan Kejaksaan Negeri di atur lebih lanjut oleh Jaksa Agung setelah mendapat persetujuan tertulis dari Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara. 1) Kejaksaan Tinggi 2) Kejaksaan Negeri
31
Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia terdapat dalam Pasal 34 Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 1999 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Kejaksaan Republik Indonesia yaitu : Semua satuan organisasi Kejaksaan dalam melaksanakan tugasnya diwajibkan menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi baik dalam lingkungan Kejaksaan sendiri maupun dalam hubungan antar departemen, lembaga pemerintah non departemen, lembaga negara, dan instansi-instansi lain untuk kesatuan gerak yang sesuai dengan tugasnya. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsinya aparat Kejaksaan bertanggung jawab secara hirarkis kepada pimpinan satuan organisasi masingmasing. Dalam melaksanakan tugas dan wewenang serta fungsinya satuan-satuan organisasi Kejaksaan berpedoman kepada asas satu kesatuan dan tidak terpisah-pisahkan D. Syarat Menjadi Jaksa Agung Pasal 18 (1) Jaksa Agung adalah pimpinan dan penanggung jawab tertinggi kejaksaan yang memimpin, mengendalikan pelaksanaan tugas, dan wewenang kejaksaan. (2) Jaksa Agung dibantu oleh seorang Wakil Jaksa Agung dan beberapa orang Jaksa Agung Muda. (3) Jaksa Agung dan Wakil Jaksa Agung merupakan satu kesatuan unsur pimpinan. (4) Jaksa Agung Muda adalah unsur pembantu pimpinan. Pasal 19 (1) Jaksa Agung adalah pejabat negara. (2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 20 Syarat-syarat untuk dapat diangkat menjadi Jaksa Agung adalah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf a, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf g.
32
a. warga negara Indonesia; c. setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; d. berijazah paling rendah sarjana hukum; f. sehat jasmani dan rohani; g. berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela; Pasal 21 Jaksa Agung dilarang merangkap menjadi: a. Pejabat negara lain atau penyelenggara negara menurut peraturann perundang-undangan; b. Advokat; c. Wali, kurator/pengampu, dan/atau pejabat yang terakait dalam perkara yang sedang diperiksa olehnya; d. Pengusaha, pengurus atau karyawan badan usaha milik negara/daerah, atau badan usaha swasta; e. Notaris, notaris pengganti, atau pejabat pembuat akta tanah; f. Arbiter, badan atau panitia penyelesaian sengketa yang dibentuk berdasarkan perturan perundang-undangan; g. Pejabat lembaga berbentuk komisi yang dibentuk berdasarkan undang-undang; atau h. Pejabat pada jabatan lainnya yang ditentukan berdasarkan undangundang. Pasal 22 (1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri; c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; d. berakhir masa jabatannya; e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
33
(2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden.
BAB III PENYAMPINGAN PERKARA SEBAGAI SALAH SATU HAK DAN WEWENANG JAKSA AGUNG A. SEJARAH OPPORTUNITAS DI INDONESIA 1. Sebelum Zaman Kolonial Di berbagai tulisan, pada waktu sebelum zaman pendudukan Belanda azas opportunitas tidak diketahui secara tertulis. Oleh karena di Indonesia pemerintahannya pada waktu itu masih berbentuk kerajaan, maka dapatlah dikatakan bahwa raja selalu mempunyai hak opportunitet, mengingat kekuasaannya sebagai raja atau Sultan. 2. Zaman Pemerintahan Kolonial Belanda. Mengingat kekuasaan Gubernur Jenderal yang sangat besar di wilayah jajahan, maka ia dengan mudah menjadikan pasal 179 Reglement of de rechterlijke organisatie sebagai dasar pelaksanaan azas oportunitas, meskipun dalam analisa Andi Hamzah 27 menulis Pasal 32 C Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan dengan tegas menyatakan asas oportunitas itu dianut di Indonesia. Pasal itu berbunyi : “Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”. Sebelum ketentuan itu, dalam praktek telah dianut azas itu. Dalam hal ini Lemaire mengatakan bahwa pada dewasa ini asas oportunitas lazim dianggap sebagai suatu asas yang berlaku di negeri ini, sekalipun sebagai hukum tak tertulis yang berlaku. Dikatakan hukum tak tertulis karena adanya Pasal 179 Reglement of de rechterlijke
27
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Artha Jaya, 1996) h.15-16
34
35
organisatie yang dipertentangkan itu. Ada yang mengatakan dengan pasal itu dianut asas oportunitas di Indonesia, ada yang mengatakan tidak. Yang mengatakan dianut atas legalitas karena alasan di dalam pasal 179 RO itu kepada Hooggerechtshof dahulu diberikan kewenangan untuk, bila Majelis itu, karena pengaduan pihak yang berkepentingan atau secara lain mana pun, mengetahui telah terjadi kealpaan dalam penuntutan kejahatan atau pelanggaran, memberi perintah kepada Pokrol Jenderal supaya berhubung dengan itu, melaporkan tentang kealpaan itu dengan hak memerintahkan agar dalam hal itu diadakan penuntutan jika ada alasan-alasan untuk itu. Yang mengatakan dengan Pasal 179 Reglement of de rechterlijke organisatie itu dianut asas oportunitas karena pada ayat pertama pasal itu ditambah dengan kata-kata “kecuali jika penuntutan oleh Gubernur Jenderal dengan perintah tertulis telah atau akan dicegah”. Vonk mengatakan harus dibedakan antara oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai kekecualian. Dalam hal tersebut diatas merupakan pengecualian. E. BonnSosrodanukusumo mengatakan bahwa waktu pembuat undang-undang tahun 1948 menyusun reglemen itu teristimewa Pasal 179, tidak ingat asas oportunitas dalam bentuknya yang sekarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa azas opportunitet tetap berlanjut pada zaman kolonial28.
28
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h. 39
36
3. Zaman Jepang Oleh karena pendudukan Jepang di Indonesia tidak begitu lama, hanya kurang lebih 3 ½ tahun saja maka tidak ada perubahan apapun terhadap perundang-undangan, kecuali penghapusan Raad Van Justitie sebagai pengadilan untuk golongan Eropa.29 4. Zaman Kemerdekaan Sejak Jepang meninggalkan Indonesia (1945) keadaan Hukum Acara Pidana tidak ada perubahan pemakaian azas opportinitet dalam Hukum Acara Pidana, oleh karena Pasal 179 RO tetap berlaku bahkan kemudian dengan di Undangkannya Undang-Undang Pokok Kejaksaan Undang-Undang Nomor 15/1961, dalam Pasal 8, memberi wewenang kepada Jaksa Agung untuk menseponir/ menyampingkan suatu perkara berdasar alasan “Kepentingan Umum” 30 kemudian diperkuat dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1991 tentang Kejaksaan RI, dalam Pasal 32 ( c ), yang menyatakan bahwa : Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang untuk menyampingkan perkara ; yang lebih dipertegas lagi dalam buku pedoman pelaksanaan KUHAP31, sebagai berikut : Penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa. Dengan dinyatakannya dalam penjelasan resmi Pasal 77 yaitu berupa :
29
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Artha Jaya, 1996)h. 55
30
M. Yahya Harahap, Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan, (Jakarta : Sinar Grafika, 2000) h. 37 31
Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik Indonesia,(Jakarta: Yayasan Pengayoman,) h. 88-89.
37
“Yang dimaksudkan dengan “penghentian penuntutan” tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung” maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP mengakui eksistensi perwujudan dari azas oportunitas, sehingga dengan demikian perwujudan dari azas oportunitas tidak perlu dipermasalahkan, mengingat dalam kenyataannya perundang-undangan posisif di negara kita, yakni dalam KUHAP penjelasan resmi Pasal 77 dan dalam Undang- Udnang Nomor 15 Tahun 1961 (UndangUndang Pokok Kejaksaan) Pasal 8 secara tegas mengakui eksistensi dari perwujudan azas opportunitas, yaitu kepada Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi berdasarkan kepada keadaan-keadaan yang nyata untuk tidak menuntut suatu perkara pidana dimuka persidangan pengadilan pidana agar kepentingan umum tidak lebih dirugikan. Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan pada Jaksa Agung tersebut adalah untuk menghindarkan tidak timbulnya penyalah gunaan kekuasaan dalam hal pelaksanaan azas oportunitas, sehingga dengan demikian satu-satunya pejabat negara di negara kita yang diberi wewenang melaksanakan azas oportunitas adalah Jaksa Agung dan tidak kepada setiap Jaksa selaku Penuntut Umum dan alasannya mengingat kedudukan Jaksa Agung selaku Penuntut Umum tertinggi. Untuk terjaminnya kepastian hukum dalam rangka pelaksanaan azas oportunitas, Jaksa Agung menuangkan dalam suatu surat penetapan/keputusan yang salinannya diberikan kepada yang dikesampingkan perkaranya demi kepentingan umum, hal mana dapat dipergunakan sebagai alat bukti bagi yang bersangkutan. Terhadap perkara
38
yang dikesampingkan demi kepentingan umum, penuntut umum tidak berwenang melakukan penuntutan terhadap tersangka dalam perkara tersebut di kemudian hari32. Dalam hubungan perwujudan azas oportunitas ini mungkin yang akan menjadi permasalahannya ialah sejauh mana kriteria “demi kepentingan umum” itu yang akan digunakan. Dalam hubungan ini pertama-tama diperhatikan baik KUHAP maupun pasal 8 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1961 tidak memuat kejelasan apa yang dimaksud dengan “kepentingan umum” itu, maka sehubungan dengan itu kita harus perhatikan dalam praktek selama ini, yaitu bahwa dalam menyampingkan perkara yang menyangkut kepentingkan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tertinggi negara yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang bersangkutan, antara lain seperti dengan MENHANKAM, KAPOLRI bahkan sering kali dengan Presiden. Dengan demikian kriteria “demi kepentingan umum” dalam penerapan asas oportunitas di negara kita adalah didasarkan untuk kepentingan negara dan masyarakat dan bukan untuk kepentingan pribadi. Maka jelas bahwa perundang-undangan kita hingga saat ini tetap menganut azas oportunitas33.
32
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h. 42 33
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h. 43
39
B. PERKEMBANGAN ASAS OPORTUNITAS DI INDONESIA Sebagaimana tercantum dalam penjelasan umum UUD 1945 alinea pertama Bahwa Undang-Undang Dasar ialah hukum dasar yang tertulis, di samping itu undang-undang berlaku juga hukum dasar yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam praktek penyelenggaraan Negara meskipun tidak tertulis. Jelas bahwa hukum yang berlaku di Indonesia tidak hanya hukum tertulis yang berupa peraturan perundangundangan saja melainkan juga hukum tidak tertulis yang meliputi adat istiadat dan kebiasaan-kebiasaan baik yang timbul dalam penyelenggaraan Negara (konvensi) maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan di hayati oleh rakyat Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan memperhatikan sejarah hukum yang berlaku di Indonesia sebelum penjajahan sangat dominan dengan hukum adat yang sifatnya heterogen, lain daerah lain pula adatnya. Penyelesaian masalah identik penyelesaian yang dilakukan oleh lembaga-lembaga adat dengan perangkatperangkat desa. Pada masyarakat primitif tidak membedakan antara hukum pidana dan hukum perdata, tuntutan perdata dan tuntutan pidana merupakan kesatuan termasuk lembaga-lembaganya. 34 Pandangan rakyat Indonesia waktu itu melihat alam semesta dan lingkungannya merupakan suatu totalitas yang harus dijaga keharmonisannya. Setiap pelanggaran hukum (adat) para penegak hukum harus memulihkannya
34
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.57
40
dengan putusan. Pelunasan/ganti rugi sesuai dengan bentuk-bentuk sanksi adat yang telah ditentukannya. Istilah Jaksa yang berasal dari bahasa Sansekerta “adhyaksa” artinya sama dengan hakim pada dunia modern sekarang ini. Pada masa penjajahan Belanda, hukum yang berlaku di Indonesia dengan asas konkordasi, segala perubahan perundang-undangan di Negeri Belanda diberlakukan pula di Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang dipandang sebagai produk nasional, merupakan penerusan pula dari asas-asas hukum acara pidana yang ada dalam HIR (Stb 1926 No. 559 jo 496). HIR sendiri merupakan perubahan dari IR yaitu dengan dibentuknya lembaga Openbaar Ministerie atau penuntut umum, yang dulu di bawah pamong praja secara bulat terpisah berdiri sendiri berada di bawah Officier van Yustitie (untuk golongan Eropa) dan Proceireur General sekarang Jaksa Agung untuk Bumi Putra, sehingga Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi35. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr. Andi Hamzah : bahwa dalam hukum acara pidana dikenal adanya suatu badan khusus yang diberi wewenang untuk melakukan penuntutan pidana ke Pengadilan yang disebut “Penuntut Umum”. Di Indonesia penuntut umum itu disebut Jaksa36.
35
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.58 36
2001)h.13
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia edisi revisi, (Jakarta: CV Artha Jaya,
41
Wewenang penuntutan dipegang oleh penuntut umum sebagai monopoli, karena tidak ada badan lain yang boleh melakukan itu, hal ini disebut dominus litis di tangan penuntut umum atau Jaksa. Dominus berasal dari bahasa latin yang artinya pemilik. Hakim tidak boleh meminta agar setiap delik pidana diajukan ke Pengadilan. Jadi hakim harap menunggu saja penuntutan yang diajukan dari penuntut umum. Dalam hubungan dengan hak penuntutan dikenal adanya 2 (dua) asas yaitu37 : 1. Asas legalitas yakni penuntut umum wajib melakukan penuntutan suatu delik (hal ini tidak dianut di Indonesia) 2. Asas Oportunitas ialah penuntut umum tidak wajib menuntut seseorang yang melakukan tindak pidana. Jika menurut pertimbangannya akan merugikan kepentingan umum, jadi demi kepentingan umum seseorang yang melakukan tindak pidana tidak wajib dituntut ke pengadilan. AZ Abidin Farid memberikan perumusan tentang asas oportunitas sebagai berikut : “Asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan umum. Dalam penjelasan UU No.16 Tahun 2004 pasal 35 ditekankan bahwa di lingkungan
Kejaksaan,
mengesampingkan
suatu
Jaksa
Agung
perkara
RI
yang
berdasarkan
mempunyai
kepentingan
hak
umum.
Selanjutnya meskipun tidak ditegaskan dalam pasal ini namun dapat 37
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.60
42
dimengerti bahwa dalam mengesampingkan perkara yang menyangkut kepentingan umum, Jaksa Agung senantiasa bermusyawarah dengan pejabatpejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dalam perkara tersebut antara lain Menteri/kepala Kepolisian Negara, Menteri Keamanan Nasional bahkan juga seringkali langsung kepada Presiden. Sebelum ada ketentuan tersebut di Indonesia dalam praktek telah dianut asas oportunitas yang lazim dianggap sebagai hukum tidak tertulis. Sebagaimana hukum yang berlaku di Indonesia mengakui kebenaran hukum dasar yang tertulis dan tidak tertulis, yang tertulis berupa produk peraturan perundang-undangan yang terbentuknya melalui Dewan Legislatif (DPR) bersama-sama dengan pemerintah tentu membutuhkan waktu panjang dan pembahasan bertele-tele serta biaya mahal sehingga keberadaannya sangat terbatas, jika dibandingkan dengan kebutuhan hukum yang mengatur perkembangan kehidupan masyarakat semakin pesat ibarat deret ukur, sedangkan jumlah peraturan perundang-undangan kurang memadai ibarat deret hitung38. Oleh karena itu untuk mengisi kekosongan hukum di Indonesia mengalami keberadaan hukum yang tidak tertulis berupa hukum adat, hukum agama, hukum kebiasaan yang timbul dalam praktek penyelenggaraan pemerintahan maupun kebiasaan-kebiasaan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat dihayati dan diakui keberadaannya oleh rakyat Indonesia.
38
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.63
43
Apabila diartikan bahwa asas oportunitas itu pada dasarnya ialah asas kesederhanaan yang menyangkut perkara-perkara kecil yang ancaman hukumnya dibawah 6 (enam) tahun, dan apabila kerugiannya sudah diganti, harus diselesaikan sendiri oleh Jaksa dan tidak perlu dilanjutkan ke Pengadilan, karena hak penuntutan ada ditangan Jaksa. Meskipun aturan tertulis mengenai asas oportunitas tidak jelas, namun di Indonesia tetap memberlakukannya. Hal ini nampak diberbagai unit usaha/kelompok usaha yang memiliki karyawan lebih dari 100 (seratus) orang umpamanya, tentu memiliki satuan keamanan, pengawas bahkan konsultan hukum, apabila terjadi pelanggaran hukum/delik pidana di lingkungannya akan teratasi dengan tebusan uang damai, jika tidak dapat diselesaikan baru ke kantor polisi, meskipun di kepolisian juga diusahakan musyawarah untuk damai. Walaupun berapa saja jumlah uang tebusan pada umumnya orang lebih suka damai dari pada melalui proses pengadilan yang berlarut-larut yang menghabiskan waktu, tenaga juga harta benda. Tidak terbayangkan jika semua perkara/delik pidana yang terjadi di masyarakat seperti Indonesia ini harus mengajukan tuntutan melalui kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tidak akan mungkin mengingat jumlah aparat penegak hukum, polisi, jaksa, hakim sangat minim dibandingkan jumlah perkara yang masuk ke pengadilan.39
39
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.64
44
Ada yang mengatakan bahwa oportunitas itu harus dibedakan oportunitas sebagai asas dan oportunitas sebagai pengecualian dalam hal tersebut di atas oportunitas dianggap sebagai pengecualian. Dalam praktek sering dilakukan pengecualian tersebut sebagai hukum tidak tertulis. Sedangkan asas oportunitas dalam tuntutan pidana itu artinya Badan Penuntut Umum wewenang tidak melakukan suatu penuntutan jika dianggap tidak oportunitas yakni guna kepentingan umum40. Undang-undang No.8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Pasal 1 butir 6 huruf a dan b, Pasal 137 tidak mengatur secara tegas tentang asas oportunitas. Pasal 1 butir 6 a. Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melaksanakan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. b. Penuntut Umum adalah Jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 14 huruf h : Penuntut umum mempunyai wewenang : h. menutup perkara demi kepentingan hukum. Apa yang dimaksud dengan penutup perkara demi kepentingan hukum sama sekali tidak ada penjelasan, kemungkinan kurangnya alat bukti atau sudah diselesaikan malalui perdamaian/ganti rugi (Opportuun) Undang-Undang No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI dalam undangundang ini ada beberapa pasal yang mengatur mengenai pelaksanaan asas 40
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.64
45
oportunitas yaitu Pasal 1 ayat (1), ayat (2); Pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf b; Pasal 35 huruf c. Pasal 1 Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan : (1) Jaksa adalah pejabat fungsional yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum dan pelaksanaan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum serta wewenang lain berdasarkan undang-undang. (2) Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undangundang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim. Pasal 30 ayat (1) : Dibidang pidana, kejaksaan mempunyai tugas dan wewenang : a. melakukan penuntutan b. melaksanakan penetapan hakim dan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap Pasal
35
c
Jaksa
Agung
memunyai
tugas
dan
wewenang
mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Penjelasan Pasal 35 huruf c : Yang dimaksud dengan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat, mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan asas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat Badan-badan Kekuasaan Negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Baik secara historis maupun yuridis di Indonesia menganut asas oportunitas. Secara historis dengan diakuinya keberadaan hukum dasar tidak tertulis, oportunitas sebagai pengecualian. Sedangkan secara yuridis adanya undangundang pelaksanaan asas oportunitas melalui Pasal 8 UU No.15 Tahun 1961.
46
Pasal 32 huruf c UU No.5 Tahun 1991 dan Pasal 35 huruf c UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan R.I. Namun dalam undang-undang tersebut mengartikan asas oportunitas masih terlalu sempit. Hanya Jaksa Agung yang berwenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Lalu kepentingan umum diartikan terlalu sempit pula yaitu kepentingan Negara dan masyarakat. Hal inilah yang menjadi
pertimbangan
penentu,
boleh
tidaknya
perkara
pidana
dikesampingkan, sehingga dalam praktek jarang dilakukan41. Di Indonesia perkara pidana dikesampingkan karena alasan kebijakan (policy) yang meliputi : perkara ringan, umur terdakwa sudah tua, dan kerusakan telah diperbaiki, hal ini dilekatkan syarat, “penseponeran” yaitu pembayaran denda damai yang disetujui antara pihak kejaksaan dan tersangka42. Misalnya perkara Pak Harto atas dugaan Korupsi senilai Rp.1,3 trilyun dan US$ 419 juta pada 7 (tujuh) yayasan yang dipimpinnya, yang digelar PN Jakarta Selatan pada 21 Agustus 2000. Namun terdakwa dinyatakan sakit dan tidak dapat hadir di persidangan. Pada bulan Mei 2006 Pak Harto sakit berat sehingga Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan mengeluarkan Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP), hal ini masih dalam proses perkara. Presiden SB Yudoyono minta agar diendapkan dulu wacana pemberian Rehabilitasi bagi mantan Presiden Suharto. DPR juga membentuk tim 41
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.66 42
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, (Jakarta: CV Artha Jaya, 1996)h. 55
47
pengkaji kasus Pak Harto untuk mengontrol pemerintah dalam membuat kebijaksanaan atas mantan Presiden itu. Wakil Presiden meminta agar kasus Pak Harto ditutup/dihentikan mengingat usia dan jasa-jasanya kepada Negara. Sedangkan Jaksa Agung mengatakan proses hukum Pak Harto untuk sementara dihentikan hingga sembuh.43 Hak Jaksa Agung untuk mengesampingkan perkara demi kepentingan umum adalah tugas berat, bukan perkara ringan, kepastian hukum dan keadilan harus ditegakkan melalui proses hukum, musyawarah/damai bisa ditempuh melalui pengembalian uang Negara/ganti rugi (opportuun) yang jumlahnya ditentukan Jaksa Agung melalui kesepakatan Presiden, Wakil Presiden, MA,MK,KY, KAPOLRI, dan Menteri-menteri terkait Azas oportunitas berkaitan dengan wewenang penuntutan dalam perkara pidana yang merupakan tugas dan wewenang Jaksa sebagai Penuntut Umum. Penuntutan adalah permintaan Jaksa sebagai Penuntut Umum kepada Hakim, agar Hakim melakukan pemeriksaan perkara terdakwa di sidang pengadilan, dengan maksud apabila Hakim setelah melakukan pemeriksaan akan memberikan keputusannya tentang terdakwa. Dikenal ada 2 (dua) prinsip yang dianut dalam wewenang penuntutan ini44 : 1. Opportiniteits Principe
43
44
Media Indonesia, Selasa 16 Mei 2006/No.9276/Tahun 2007 h. 1
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.68
48
2. Legaliteits Principe. Ad.1 Opportiniteits Principe. Azas yang menentukan bahwa tidak setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut. Ad.2. Legaliteits Principe. Azas yang menentukan bahwa setiap tindak pidana yang dilakukan seseorang itu harus atau wajib dituntut. Sekarang timbul pertanyaan principe manakah yang dianut di Negara kita ? Sampai sekarang sistem yang dianut oleh Negara kita adalah “Het Opportiniteits Principe.” Hal ini dapat dilihat dari ketentuan undang-undang yang berlaku baik KUHAP maupun UndangUndang Pokok Kejaksaan. Sebenarnya azas ini sudah dianut sejak masa Pemerintahan Hindia Belanda. Alasan-alasan yang dapat dijadikan dasar Penuntut Umum (Jaksa) tidak melakukan penuntutan terhadap seseorang yang dituduh melakukan tindak pidana adalah “Kepentingan Umum”. Jadi kepentingan umum akan lebih terjamin dengan tidak dilakukannya penuntutan. Dalam hal ini Penuntut Umum akan mengenyampingkan perkara pidana itu (deponeer) artinya berkas perkara pidana tidak diteruskan ke pengadilan. Sebetulnya lembaga diponering perkara pidana (azas poortunitas) mirip dengan lembaga abolisi yang juga meniadakan penuntutan perkara pidana, namun abolisi merupakan wewenang Kepala Negara dalam UndangUndang Dasar 45. Disamping itu dikenal juga penyelesaian perkara di luar
49
sidang untuk perkara-perkara pidana ringan yang ancaman hukumannya denda. Memberlakukan azas oportunitas ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Van Appledorn bahwa tidak semua delik perlu dituntut pelakunya terutama bilamana akibatnya sangat kurang berarti ditinjau dari segi kepentingan umum. Bukankah pidana itu telah diakui hanya sebagai ultimum remedium. Asas oportunitas yang berlaku dalam yurisdiksi kejaksaan mempunyai kekuasaan yang sangat penting yaitu menyampingkan perkara pidana yang sudah jelas pembuktiannya, mengingat tujuan dari azas ini adalah kepentingan Negara maka Jaksa harus berhati-hati dalam melakukan kekuasaannya sebab kemungkinan ada bahwa dengan memakai kepentingan Negara sebagai alasan seorang Jaksa menyampingkan perkara pidana padahal tindakan itu dilakukan tidak lain untuk kepentingan pribadi atau golongan atau kelompok tertentu. Kecurangan ini mungkin terjadi karena adanya sogokan (omkoping) dari terdakwa.45 Dalam hal ini ada pengawasan yang dilakukan oleh Kejaksaan Agung terhadap semua Jaksa dengan adanya hierarki dalam instansi kejaksaan maka Jaksa Agung dapat memerintahkan kepada Jaksa supaya suatu perkara pidana dituntut atau tidak dituntut dimuka pengadilan. Dalam perkembangannya penerapan asas oportunitas terdapat perbedaan antara penutupan perkara pidana demi kepentingan hukum dengan perkara
45
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.70
50
pidana ditutup demi kepentingan umum ex azas oportunitas. Jika ternyata perkara pidana ditutup “demi hukum” tidak didiponeer secara definitif, tetapi masih dapat dituntut bilamana ada alasan baru, sedangkan perkara pidana yang ditutup definitif demi kepentingan umum tidak boleh dituntut kembali dan lagi pula perkara demikian cukup alat buktinya 46. Asas oportunitas ini sumber asalnya Perancis melalui Belanda dimasukkan ke Indonesia sebagai hukum kebiasaan (hukum tidak tertulis) dilanjutkan sampai masa penjajahan Jepang dan masa kemerdekaan s/d tahun 1961 – sekarang dalam UU Pokok kejaksaan UU No.16 Tahun 2004 asas ini masih dicantumkan. Di Indonesia hanya Jaksa Agung yang berwenang menyampingkan perkara pidana (tidak dituntut) berdasarkan kepentingan umum, hal ini untuk mencegah penyalahgunaan wewenang seperti disinyalir oleh MVT SV Netherland. Jaksa Agung dapat mendelegasikan wewenangnya kepada Kepala Kejaksaan Tinggi. Yang berbeda adalah di Netherland ada kemungkinan pihak yang merasa dirugikan dapat memprotes pendiponeeran perkara pidana dan dapat memohon kepada pengadilan untuk melakukan penuntutan sedangkan di Indonesia hal ini tidak diatur. Di Belanda dikenal 2 (dua) macam deponering yaitu : deponering tidak bersyarat dan deponering bersyarat. Undang- Undang Pokok Kejaksaan di Indonesia tidak menyebut adanya 2 (dua) macam deponeering perkara pidana berdasarkan asas oportunitas, namun ketentuan tentang asas oportunitas yang
46
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.72
51
terdapat di dalam UU Pokok Kejaksaan tidak bertentangan dengan pengertian deponering bersyarat47. Penyampingan perkara pidana berdasarkan asas oportunitas termasuk beleidsvrijheid (kebebasan menentukan kebijaksanaan) yang dalam hukum administrasi Negara disebut dengan Freies Ermessen. Hal ini sejalan dengan pendapat Prof. MR. A.L. Melai yang menyatakan bahwa wewenang penuntut umum dalam hal meniadakan penuntutan berdasarkan asas oportunitas merupakan Rechtsvinding (penemuan hukum) yang harus dipertimbangkan berhubung karena hukum memuntut adanya keadilan dan persamaan hukum, hukum bertujuan untuk menjamin kemanfaatan dan kedamaian. C. Azas Oportunitas Sebagai Dasar Kewenangan Untuk Menyampingkan Perkara Oleh Jaksa Agung Azas oportunitas adalah suatu azas yang memberikan kewenangan bagi penuntut umum tidak mewajibkan melakukan penuntutan terhadap seseorang atau korporasi yang telah melakukan tindak pidana jika menurut penuntut umum, penuntutan akan lebih merugikan kepentingan umum48.Salah satu tugas dan wewenang Jaksa Agung dalam UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 35 (c) yang berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai
47
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006, h.73 48
Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana (jakarta: Raih Asa Sukses, 2012), h.116
52
kepentingan bangsa atau negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Mengesampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Akan tetapi, penjelasan Pasal 35 UU No 16 Tahun 2004 ini tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara jelas. Dengan demikian mengundang penafsiran yang beragam, baik di kalangan praktisi hukum, akademisi hukum, maupun masyarakat pada umumnya. KUHAP sendiri tidak mengatur secara tegas ketentuan penyampingan atau penghentian perkara demi kepentingan umum ini boleh digunakan ditahap yang mana. Hanya tersirat dalam penjelasan Pasal 77 KUHAP yang menyatakan, yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyandingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Perihal kewenangan mengesampingkan perkara demi kepentingan umum ditemukan didalam UU Kejaksaan. Undang-undang yang mengatur tentang Kejaksaan Republik Indonesia keberlakuannya telah berubah sebanyak tiga kali. Yang pertama Undang-Undang No.15 Tahun 1961 Pasal 8 : “Jaksa Agung dapat menyampingkan suatu perkara berdasarkan kepentingan umum”. Kemudian, Undang-undang tersebut dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.5 Tahun 1991. Alasannya karena sudah tidak selaras
53
dengan pembaruan hukum nasional yaitu pemberlakuan KUHAP dan lebih mengkonsentrasikan perannya di bidang penuntutan. Dalam UU ini klausul menyampingkan perkara demi kepentingan umum terdapat dalam Pasal 32 huruf (c) UU No.5 Tahun 1991. Undang-Undang ini kemudian dicabut dan diganti dengan Undang-Undang No.16 Tahun 2004 yang mengaturnya didalam Pasal 35 huruf (c). Penyampingan perkara
didasarkan pada
azas oportunitas. Kata
oportunitas (Bahasa Indonesia), opportuniteit (Bahasa Belanda), opportunity (Bahasa Inggris) kesemuanya berasal dari Bahasa Latin yaitu opportunitas.49 Kamus Bahasa Indonesia karangan W.J.S Poerwadarminto mengartikan oportunitas ialah kesempatan yang baik. Azas oportunitas ialah azas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum 50 atau hak Jaksa Agung yang karena jabatannya untuk mendeponir perkara-perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara
daripada
tidak menuntutnya. 51Dengan kata
lain perkaranya
49
Pusat Penelitian dan Kajian Hukum Kejaksaan Agung (b) , Simposium Tentang Masalah-Masalah Asas Oportunitas, Tanggal 4 dan 5 November 1981 di Ujung Pandang, h.14. 50
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: Sinar Grafika, 1985), h.436 51
Karim Nasution,Rapat Dengar Pendapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Masalah Hukum Acara Pidana, (Jakarta, 2004), h.36
54
dikesampingkan walaupun cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa diputus bersalah. Azas oportunitas merupakan diskresi penuntutan yang dimiliki institusi Kejaksaan Agung yang dalam hal ini pelaksanaanya hanya ada pada Jaksa Agung. Menurut Soebekti diskresi ialah kebijakan atas dasar pertimbangan keadilan semata-mata dengan tidak terikat dengan ketentuan undang undang.52 Pengertian azas oportunitas tersebut merupakan azas oportunitas yang merupakan yurisdiksi kejaksaan yaitu sebatas penyampingan perkara demi kepentingan umum. Pengertian azas oportunitas tidak dirumuskan secara eksplisit dalam KUHAP. Azas oportunitas ini dapat ditemukan dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia Pasal 35 huruf c yang menyatakan bahwa Jaksa agung mempunyai wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum. Maksud dan tujuan undang-undang memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung umtuk menerapkan azas oportunitas adalah untuk menghindari timbulnya penyalahgunaan kewenangan dalam penerapan azas oportunitas. Dengan demikian, satu-satunya pejabat negara yang diberi kewenangan menerapkan azas oportunitas hanyalah Jaksa Agung selaku penuntut umum tertinggi dan bukan kepada setiap penuntut umum53.
52
53
Soebekti, Kamus Hukum (Jakarta :1980) h.40.
Alfitra, Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana ( (jakarta: Raih Asa Sukses, 2012), h.120
55
Kepentingan umum dalam Penjelasan Pasal 35 Undang-Undang No.16 Tahun 2004 Tentang Kejaksaan Republik Indonesia huruf C ialah kepentingan bangsa dan negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Pengertian kepentingan umum yang diberikan oleh penjelasan Pasal 35 huruf c ini sangat luas maknanya, sehingga dalam penafsiran kepentingan umum ini dalam rangka menggunakan azas oportunitas bisa berbeda-beda tiap orang mengimplementasikannya. KUHAP juga memberi peluang mengenai keberlakuan azas oportunitas walaupun tidak diatur secara tegas seperti dalam Undang-Undang No.16 Tahun 2004. Pasal-pasal mengenai penyampingan perkara tidak diatur sendiri melainkan tersebar di ketentuan mengenai benda sitaan dan praperadilan. Pasal 46 ayat (1) c KUHAP menyatakan ”perkara tersebut dikesampingkan untuk kepentingan umum, dst..”. Dalam ketentuan tersebut tidak ada penjelasan sama sekali
mengenai penyampingan perkara kecuali tentang
benda sitaan. Namun dalam Penjelasan Pasal 77 KUHAP terdapat penjelasan yang lebih memadai mengenai wewenang penyampingan perkara yang berada ditangan Jaksa Agung. Penjelasan Pasal 77 KUHAP yang berbunyi : Yang dimaksud penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara demi kepentingan umum yang menjadi wewenang Jaksa Agung. Berdasarkan penjelasan pasal 77 KUHAP dan buku pedoman pelaksanaan KUHAP, KUHAP mengakui eksistensi perwujudan azas oportunitas. 54
54
M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jakarta: Sinar Grafika, 1995), h.36
56
BAB IV INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DALAM MELAKSANAKAN TUGAS DAN WEWENANG PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM A. INDEPENDENSI KEJAKSAAN DALAM KAITANYA DENGAN SISTEM HUKUM DI INDONESIA Dalam era reformasi sekarang ini yang ditandai dengan pengunduran diri Soeharto dari jabatannya sebagai Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 merupakan tanda dimulainya suatu era baru dalam sejarah perkembangan demokrasi di Indonesia. Dalam era ini rakyat Indonesia mendapatkan kesempatan yang sangat luas untuk melakukan penataan kembali terhadap berbagai aspek dalam sistem ketatanegaraan yang selama ini dirasakan belum mencerminkan sistem yang demokratis sesuai dengan aspirasi rakyat.55 Akan tetapi, pada era reformasi, salah satu aspek yang mendapat perhatian secara lebih seksama adalah masalah independensi kejasaan. Keadaan ini disebabkan interfensi kekuasaan esekutif yang terjadi sebelum reformasi, sehingga kejasaan tidak independen. Padahal independesi kejasaan selalu menjadi alasan yang mengakibatkan tidak maksimalnya kinerja jaksa dalam penegakan hukum. Permasalahan ini sesungguhnya merupakan suatu
55
Sumali, Reduksi Kekuasaan Esekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU), (Malang: UMM Pres, 2003), h.1.
57
faktor dominan untuk mewujudkan salah satu tujuan dalam era reformasi, yaitu penegakan supremasi hukum. Oleh karena itu, permasalahan independensi kejasaan pada akhirnya menjadi satu pertimbangan diubahnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1991 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan republik Indonesia. Hal ini dapat dilihat dalam pertimbangan Penjelasan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pada Bagian Umum, yakni:56 “Perubahan Undang-Undang tentang Kejaksaan Republik Indonesia tersebut dimaksudkan untuk lebih memantapkan kedudukan dan peran Kejaksaan Republik Indonesia sebagai lembaga negara pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan harus bebas dari pengaruh kekuasaan pihak manapun, yakni yang dilaksanakan secara merdeka terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya”. Selanjutnya dipertegas kembali dalam penjelasan umum tersebut, mengenai hal-hal yang menjadi pertimbangan penyempurnaan UndangUndang tentang Kejaksaan ini. Salah satu hal yang perlu disempurnakan, yakni: Kejaksaan sebagai lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan ditegaskan kekuasaan negara tersebut 56
, diakses tanggal 18 agustus 2016.
58
dilaksanakan
secara
merdeka.
Oleh
karena
itu,
Kejaksaan
dalam
melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan kekuasaan lainnya. Selanjutnya ditentukan Jaksa Agung bertanggung jawab atas penuntutan yang dilaksanakan secara independen demi keadilan berdasarkan hukum dan hati nurani. Dengan demikian Jaksa Agung selaku pimpinan Kejaksaan dapat sepenuhnya merumuskan dan mengendalikan arah dan kebijakan penanganan perkara untuk keberhasilan penuntutan.57 Selain itu, Pasal 2 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia, menyatakan bahwa: (1) Kejaksaan Republik Indonesia yang selanjutnya dalam UndangUndang ini disebut kejaksaan adalah lembaga pemerintah yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penuntutan serta kewenangan lain berdasarkan undang-undang. (2) Kekuasaan negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara merdeka. Pada Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia dijelasakan bahwa dalam kekuasaan negara tersebut dijalankan secara merdeka. Dalam penjelasannya yang dimaksud dengan “secara merdeka” dalam ketentuan ini adalah dalam melaksanakan fungsi, tugas, dan wewenangnya terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah dan pengaruh kekuasaan lainnya.
57
Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia (Kekuasaan
Penuntutan”http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/. Diakses pada 17 Agustus 2016
59
Materi mutan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia yang dijelasakan di atas merupakan bukti terdapatnya landasan hukum tentang independensi kejasaan. Akan tetapi masih terdapat beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia belum mewujudkan independesi kejasaan. Menurut Marwan Effendi, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 belum mewujudkan independesi kejasaan. Hal ini disebabkan masih terdapatnya pengaturan yang mengakibatkan adanya intervesi kekuasaan esekutif terhadap kekuasaan kejasaan. Menurut Marwah Effendi dari pengaturan Pasal 2 ayat (1) yang dapat dimpulkan bahwa “Kejasaan sebagai suatu lembaga pemerintahan yang melakukan kekuasaan negara di bidang penuntutan” mengandung makna bahwa kejasaan merupakan suatu lembaga yang berada di bawah eksekutif. Hal ini berarti, kejasaan tidak bersifat independen atau merdeka, karan di pengaruhi oleh kekuasaan esekutif.58 Berdasarkan risalah persidangan, terdapat 2 (dua) rumusan Pasal 2 ayat (1), yakni draf pemerintah dan draf DPR akan tetapi usulan pemerintah yang pada akhirnya disetujui menjadi rumusan Pasal 2 ayat (1) tersebut. Sedangakan
frasa
“lembaga
pemerintahan”
merupakan
usulan
dari
pemerintah, anggota dewan mengusulkan frasa “lembaga hukum”. Perdebatan penetuan frasa mana yang digunakan dalam perumusan Pasal 2 ayat (1) berlangsung cukup lama. Akan tetapi, berdasarkan argumentasi bahwa yang dimaksud pengertian “pemerintahan” bukan saja pemerintah, akan tetapi pemerintahan dalam arti luas yakni esekutif, yudikatif dan legislatif, maka frasa tersebut dapat diterima menjadi frasa dalam Pasal 2 ayat (1)59
58
Marwan Effendi, Kejaksaan dan Fungsinya dari Prespektif Hukum, (Jakarta: PT. Gramedia, 2005), h. 124.
60
Akan tetapi, masih terdapat ketentuan yang dapat mengakibatkan kejasaan tidak independen. Hal ini dapat dilihat dari apa yang dirumusakan dalam Penjelasan Umum, Pasal 19 ayat (20), serta Pasal 22 Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004, yakni: Kejaksaan adalah lembaga pemerintahan yang melaksanakan kekuasaan negara di bidang penegakan hukum dengan berpegang pada peraturan perundang-undangan dan kebijakan yang ditetapkan oleh pemerintah. Dengan demikian Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden serta bertanggung jawab kepada Presiden. Jika dilihat pula dalam Pasal 19 ayat (2) dan Pasal 22 yang berbunyi sebagai berikut: Pasal 19 (1) Jaksa Agung adalah pejabat negara. (2) Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Pasal 22 (1) Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena: a. meninggal dunia; b. permintaan sendiri;
59
Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia (Kekuasaan
Penuntutan”http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/. Diakses pada 17 Agustus 2016
61
c. sakit jasmani atau rohani terus-menerus; d. berakhir masa jabatannya; e. tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. (2) Pemberhentian dengan hormat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Ketentuan tersebut memiliki makna besarnya pengaruh kekuasaan eksekutif terhadap lembaga kejaksaan. Karena kejaksaan Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh presiden dan bertanggung jawab kepada presiden.
Hal
ini
dapat
mengakibatkan
kejaksaan
tidak
memiliki
keindependensiannya. Mencermati pembahasan diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa, Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejasaan telah memberikan independensi kepada kekuasaan penuntutan, tetapi masih terdapat celah untuk pemerintah melakukan intervensi terhadap kekuasaan penuntutan. Hal ini disebabkan, proses pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dilakukan oleh Presiden. Dari apa yang telah dijelaskan, menunjukan bahwa masih diperlukan penataan kembali konsep-konsep yang tertuang dalam ketentuan-ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang independensi Jaksa Agung, karena di dalam praktek pelaksanaannya berbagai ketentuan yang
62
berlaku tersebut terbukti belum dapat mewujudkan suatu bentuk yang ideal dari independensi Jaksa Agung dalam sistem ketatanegaraan Indonesia.60 Berdasarkan permasalahan tersebut penulis berpendapat perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia guna menutup celah yang memberikan peluang pada lembaga Kejaksaan untuk tidak Independen. Perubahan tersebut ditekankan poin-poin krusial pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang menjadi sumber utama yang menyebabkan Kejaksaan tidak independen. Pertama, pola pengangkatan Jaksa Agung haruslah diubah dengan menghindari dominasi tunggal Presiden dalam proses pengangkatanya, melainkan juga mengikutsertakan lembaga-lembaga terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna terciptanya sistem check and balances. Karena proses pengangkatan Jaksa Agung yang hanya melibatkan Presiden sesungguhnya mengurangi makna penting Jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum dalam penegakan hukum. Kedua, ketentuan pemberhentian Jaksa Agung pun jelas harus diubah, ketentuan ini adalah “tenaga” terbesar eksekutif dalam kontribusinya atas tidak independensinya Kejaksaan. Dalam pasal 22 ayat (4) dijelaskan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatanya berakhir, namun dalam 60
Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia (Kekuasaan
Penuntutan”http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/27/kekuasaan-penuntutan/. Diakses pada 17 Agustus 2016
63
penjelasan pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini amat sangat berpotensi menghilangkan independensi Kejaksaan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapanpun tergantung pada keinginan presiden. Maka dari itu, harus ada masa jabatan tertentu bagi Jaksa Agung dan sebaiknya disamakan dengan masa jabatan Hakim. Hal ini guna memberikan proteksi terhadap pemecatan sewenangwenang yang mungkin dilakukan oleh Presiden. Berdasarkan permasalahan yang penulis jabarkan, penulis beranggapan selama ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak diubah, selama itu juga Kejaksaan Republik Indonesia tidak independen dalam menjalankan setiap tugas dan kewenanganya. B. KAITAN INDEPENDENSI JAKSA AGUNG DENGAN PENYAMPINGAN PERKARA DEMI KEPENTINGAN UMUM Kejaksaan dalam melaksanakan fungsinya dipimpin oleh seorang Jaksa Agung dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Pasal 35 (c) yang berbunyi : “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum”. Kemudian dalam penjelasannya disebutkan kepentingan umum sebagai kepentingan bangsa atau negara dan atau kepentingan masyarakat luas. Mengenyampingkan perkara sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini merupakan pelaksanaan azas oportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan
64
kekuasaan negara yang mempunyai hubungan dengan masalah tersebut. Namun, penjelasan Pasal 35 UU No.16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI ini tidak menentukan secara limitatif apa rumusan atau definisi serta batasan dari kepentingan negara, kepentingan bangsa, atau kepentingan masyarakat secara jelas. Penyampingan perkara didasarkan pada azas oportunitas. Azas oportunitas ialah azas yang melandaskan penuntut umum mempunyai kewenangan untuk tidak menuntut suatu perkara di muka sidang pengadilan dengan alasan demi kepentingan umum61 atau hak jaksa agung yang karena jabatannya untuk mendeponer perkara-perkara pidana, walaupun bukti-bukti cukup untuk menjatuhkan hukuman, jika ia berpendapat bahwa akan lebih banyak kerugian bagi kepentingan umum dengan menuntut suatu perkara daripada tidak menuntutnya. Dengan kata lain perkaranya dikesampingkan walaupun cukup bukti dan bila diteruskan di persidangan kemungkinan besar terdakwa diputus bersalah. Dengan kata lain, penyampingan perkara demi kepentingan umum yang hanya menjadi kewenangan dari Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi hanya berdasarkan pandangan subjektif dari Jaksa Agung semata, karna dalam UU no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI tidak menjelaskan secara limitatif apa itu kepentingan umum yang menjadi syarat utama penyampingan perkara (Deponering). Bila dikaitkan dengan permasalahan Jaksa Agung tidak independen dan tidak lepas dari pengaruh eksekutif, maka 61
M Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan (Jakarta:Sinar Grafika, 2009) h.436.
65
kedudukan Jaksa Agung tersebut menimbulkan dua masalah, yang dalam litelatur disebut “dual obligation”62 dan “conflicting loyalties”63. Berdasarkan UU no. 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan RI Jaksa Agung diangkat, diberhentikan dan bertanggung jawab kepada Presiden, hal ini berarti Jaksa Agung harus tunduk dan loyal kepada Presiden. Dalam negara yang melaksanakan sistem demokrasi, seorang Presiden dipilih dari calon-calon yang dijagokan oleh partai politik, dengan demikian seorang Presiden adalah partisipan. Maka sangat mungkin Jaksa Agung dipilih oleh Presiden dari partainya atau partai pendukungnya (Jaksa Agung HM Prasetyo berasal dari politisi Partai Nasdem) dengan komitmen tertentu untuk kepentingan politik tertentu (political demand.) Jika ini terjadi maka Jaksa Agung akan menjalankan fungsi sebagai “partisan advocacy”64 Disisi lain Jaksa Agung adalah “a man of law” yang dalam sistem kita dapat digambarkan sebagai abdi hukum, abdi negara dan abdi masyarakat yang tidak mengabdi kepada presiden dengan kepentingan politiknya. Peneliti Indonesia Corruption Watch, Lola Easter, mengaku tidak terkejut rapor merah yang diterima Kejaksaan Agung dalam evaluasi akuntabilitas kinerja instansi pemerintahan yang dirilis Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi. Hasil evaluasi 62
Daniel J Meador, The President, The Ottorney General and The Department of Justice dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI, h.3 63
Nancy Baker, Conflicting Loyalties, dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI, h.3 64
Nancy Baker, Government Lawyers, dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI, h.3
66
akuntabilitas kinerja 77 kementerian dan lembaga menyebutkan, Kejaksaan Agung mendapatkan predikat paling buruk hasil evaluasi bekerja selama satu tahun. Lembaga yang dipimpin HM Prasetyo itu dinilai paling rendah akuntabilitasnya dengan skor 50,02(CC). 65 Pasalnya kata Lola, sejak awal Indonesia Corruption Watch telah menentang posisi Jaksa Agung diisi dari kalangan partai politik. Sehingga buruknya penilaian kinerja Korps Adhyaksa itu sudah bisa di prediksi. Sementara itu, Pakar hukum pidana dari Universitas Islam Indonesia Mudzakkir juga menganggap kalangan partai politik yang mengisi jabatan penegak hukum bisa merusak independensi lembaga yang dipimpinnya. 66 Berdasarkan permasalahan yang penulis uraikan, khususnya dalam hal penyampingan perkara demi kepentingan umum. Dimana Jaksa Agung yang dinilai tidak independen dan merupakan bagian dari eksekutif dan juga bertanggung jawab kepada Presiden diharuskan mewakili kepentingan umum, sedangkan dalam UU no.16 tahun 2004 sendiri tidak menjelaskan secara limitatif apa itu “kepentingan umum” sehingga multitafsir hanya menjelaskan kepentingan umum adalah kepentingan bangsa, negara dan masyarakat. sehingga
penilaian terhadap kepentingan umum
hanya
berdasarkan
pandangan subjektif dari Jaksa Agung semata. Dalam indikator yang terdapat dalam JRI peroses pemilihan dan pengangkatan pimpinan lembaga yudisial merupakan indikator penting untuk 65
http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4170-rapor-akuntabilitas-kinerja-k-l-danprovinsi-meningkat diakses 17 agustus 2016 66
http://www.viva.co.id/prancis2016/read/720101-icw-tak-heran-kejaksaan-agung-dapatrapor-merah diakses, 17 agustus 2016
67
menciptakan independensi. Proses pengangkatan dan pemeberhentian tersebut masuk
dalam
indikator selection
and
appointment
process.
Di
dalam International Bar Association Of Judicial Indepedence dalam bab Judges and Executive pada pasal 5 point tegas dinyatakan sebagai berikut: The Executive shall not have control over judicial functions67 Eksekutif tidak boleh memiliki kontrol terhadap fungsi peradilan diakui sebagai sebuah prinsip hukum internasional. Intervensi eksekutif akan berimplikasi
terhadap
kebebasan
fungsi
lembaga
peradilan
dalam
menegakkan hukum dan keadilan. Di dalam Dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia pengaturan keberadaan Jaksa Agung. Dalam pasal 19 dinyatakan bahwa : 1)
Jaksa Agung adalah pejabat negara.
2)
Jaksa Agung diangkat dan diberhentikan oleh Presiden.
Dengan kedudukan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden, maka Jaksa Agung menjadi tidaklah Independen. Secara Politik maka Jaksa Agung adalah menteri. Dalam sistem presidensial menteri adalah pembantu presiden dan bertanggung jawab penuh terhadap Presiden. Presiden maka
sewaktu-waktu
dengan
kekuasaan
yang
dimiliikinya
dapat
menegendalikan kekuasaan penuntutan pidana. Bukan hanya Jaksa Agung bahkan seluruh Jaksa yang ada di Indonesia. Mengingat jaksa adalah satu dan
67
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H. Independensi Kejaksaan sebagai
Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. 2010
68
tidak terpisahkan dan jaksa melakukan penuntutan serta bertanggung jawab melalui saluran hierarki kepada Jaksa Agung. 68 Banyak fakta-fakta yang menunjukkan dalam penanganan sebuah kasus kejaksaan asangat rentan di intervensi oleh kekuasaan eksekutif. Salah satu yang menyita perhatian, adalah tersiarnya transkrip rekaman percakapan Presiden B.J Habibie kepada Jaksa Agung Andi Muhammad Ghalib. Dalam percakapan tersebut Presiden terlihat mengatur upaya peneylidikan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh mantan Presiden Soeharto. Ketika itu terlihat bahwa pemeriksaan oleh kejaksaan terhadap mantan Presiden Soeharto hanyalah formalitas belaka dan tidak ada niat untuk meningkatkan pemeriksaan ke tingkat penyidikan.69 Kelemahan ketiga adalah mengenai pemberhentian Jaksa Agung. Dalam Pasal 22 ayat (1) dinyatakan : Jaksa Agung diberhentikan dengan hormat dari jabatnnya karena: 1) meninggal dunia; 2) permintaan sendiri; 3) sakit jasmani atau rohani terus-menerus; 4) berakhir masa jabatannya; 5) tidak lagi memenuhi salah satu syarat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Dalam point 4 dinyatakan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatannya berakhir. Namun dalam penjelasan pasal tersebut tidak ada
68
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H. Independensi Kejaksaan sebagai
Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. 2010 69
Bukti Habibie Tak Serius Periksa Soeharto, Wakil Panji Masyarakat di Periksa Polisi diunduh darihttp://iwan-uni.blogspot.com/2005/07/bukti-habibie-tak-serius-periksa.html pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 2016
69
penjelasan yang rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini berpotensi menghilangkan independensi kekuasaan penuntutan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapan pun tergantung pada keinginan Presiden. Dominasi tunggal Presiden dalam menentukan jabatan Jaksa Agung amat berbeda dalam proses penentuan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang notabene merupakan lembaga yudisial. Penentuan anggota dari ketiga lembaga negara tersebut tidak hanya didominasi oleh satu lembaga saja. Melainkan melibatkan Presiden dan DPR. Bahkan khusus untuk jabatan hakim agung pada Mahkamah Agung proses penyeleksian jabatannya melibatkan lembaga Komisi Yudisial. Demikian juga halnya dalam menentukan pimpinan lembaga. Ketua MA dipilih langsung oleh para hakim agung demikian juga dengan BPK. Sedangkan ketua KPK ditentukan oleh suara terbanyak dalam proses pemilihan anggota di DPR. 70 Proses pengangkatan Jaksa Agung yang hanya melibatkan Presiden sesungguhnya mengurangi makna penting Jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum dalam penegakan hukum. Dalam Islam, sebaik-baiknya seorang pemimpin adalah yang mengikuti suri tauladan nabi Muhammad SAW.
70
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H. Independensi Kejaksaan sebagai
Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. 2010
70
“Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu yaitu bagi orang yang mengharap rahmat Allah dan kedatangan hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” [Al Ahzab 21] Nabi Muhammad memiliki akhlaq dan sifat-sifat yang sangat mulia. Oleh karena itu hendaknya seorang pemimpin memiliki sifat-sifat Nabi seperti Shiddiq, Amanah, Fathonah, dan Tabligh. Shiddiq artinya benar. Bukan hanya perkataannya yang benar, tapi juga perbuatannya juga benar. Sejalan dengan ucapannya. Beda sekali dengan pemimpin sekarang yang kebanyakan hanya kata-katanya yang manis, namun perbuatannya berbeda dengan ucapannya. Amanah artinya benar-benar bisa dipercaya. Jika satu urusan diserahkan kepadanya, niscaya orang percaya bahwa urusan itu akan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW dijuluki oleh penduduk Mekkah dengan gelar “Al Amin” yang artinya terpercaya jauh sebelum beliau diangkat jadi Nabi. Apa pun yang beliau ucapkan, penduduk Mekkah mempercayainya karena beliau bukanlah orang yang pembohong. Tabligh artinya menyampaikan. Segala firman Allah yang ditujukan oleh manusia, disampaikan oleh Nabi. Tidak ada yang disembunyikan dan Fathonah Artinya Cerdas. Mustahil Nabi itu bodoh atau jahlun. Dalam menyampaikan 6.236 ayat Al Qur’an kemudian menjelaskannya dalam puluhan ribu hadits membutuhkan kecerdasan yang luar biasa.
71
Tjeerd Sleeswijk Visser menggambarkan Jaksa Agung sebagai sosok yang memiliki kepribadian yang jujur, tidak memiliki kepentingan politis, memiliki stardar moral dan etika yang tinggi. Namun permasalahan independensi Jaksa Agung tidak akan selesai berdasarkan apa yang dijelaskan oleh Tjeerd Sleeswijk Visser Indendensi Jaksa Agung dipengauhi oleh pola pemilihan, pemberhentian dan pertanggung jawaban. Jaksa Agung juga sebagai sosok yang dihargai oleh masyarakat dan bertindak atas nama masyarakat. Apa yang digambarkan oleh Tjeerd Sleeswijk Visser membuktikan bahwa jabatan tersebut memiliki arti yang sangat penting bagi penegakan hukum.71 Menurut
Suhadibroto,
pentingnya
peran
Jaksa
Agung
tersebut
mengakibatkan Jaksa Agung harus independen dan profesional. Pentingnya hal ini bahkan telah menjadi pemikiran yang serius oleh masyarakat internasional. Pada pertemuan para Jaksa Agung di Seoul Korea Selatan pada bulan September 1990 yang dihadiri 25 negara se Asia Pasific, menghasilkan kriteria seorang Jaksa Agung yang independen dan profesional, yakni bahwa Jaksa Agung adalah:72 1)
Attoney general is man of Law
71
Tjeerd Sleeswijk Visser, The General Prosecutor and Responsiblilitiea, makalah disampaikan pada seminar “The Prosecutor`s office in a democratic and constitusional state” di unduh dari situs dikutip dari Marwan Effendy Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum(Jakarta: Gramedia, 2005.) h. 43 72
Tjeerd Sleeswijk Visser, The General Prosecutor and Responsiblilitiea, makalah disampaikan pada seminar “The Prosecutor`s office in a democratic and constitusional state” di unduh dari situs dikutip dari Marwan Effendy Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum(Jakarta: Gramedia, 2005.) h. 43
72
2)
Independent attorney general generates economic prosperity,
promotion of welfare, political stability and development of democracy. 3)
The Attorney General is the chief of legal officer;
4)
The Attorney General is not subjects to the direction or control of
any other person or authority. He is essentially a man of law. Kriteria tersebut di atas memposisikan Jaksa Agung secara independen dan tidak dibawah kontrol institusi atau otoritas apapun. Dalam hal ini, Jaksa Agung bahkan juga disebut sebagai “a man of law” atau dengan kata lain Jaksa Agung adalah abdi hukum yang sebenarnya. Oleh karena itu, berdasarkan Pasal 19 ayat (20) jo Pasal 22 UndangUndang Nomor 16 Tahun 2004 dapat disimpulkan bahwa Jaksa Agung tidak Independen. Hal ini disebabakan presiden diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Posisi Jaksa Agung seperti itu dapat menimbulkan dua masalah yang dalam litterateur disebut dengan “dual obligation” dan “conflicting loyalties” . Dalam ilmu Pemerintahan, Jaksa Agung sebagai bawahan Presiden harus mampu melakukan 3 (tiga) hal yakni:73 1)
Menjabarkan instruksi, petunjuk dan beberapa kebijakan lainnya
dari Presiden. 2)
Melasanakan intruksi, petunjuk dan berbagai kebijakan Presiden
yang telah dijabarkan tersebut. 3)
Mengamankan intruksi, petunjuk daan berbagai kebijakan Presiden
yang sementara telah dilasanakan. 73
Marwan Effendi, Kejaksaan dan Fungsinya dari Prespektif Hukum (Jakarta: PT. Gramedia, 2005), h. 125.
73
Keadaan tersebut mengakibatkan selalu timbul kontroversi dalam setiap pergantian Jaksa Agung. Pada masa orde lama Jaksa Agung Soeprapto yang ketika itu diganti oleh Presiden Soekarno karena berani menyelidiki kasus korupsi yang melibatkan Menteri Luar Negeri. Demikian juga dengan penerus Soeprapto, yaitu Jaksa Agung
Gatot Tarunamihardja. Gatot
merupakan Jaksa Agung pertama pada masa demokrasi terpimpin. Walaupun kedudukan nya sebagai menteri Gatot tetap berupaya untuk Indepnenden. Ketika beberapa oknum tentara melakukan praktek penyelundupan melalui pelabuhan Tanjung Priok – yang kemudian dikenal (pada masa itu sebagai Peristiwa Tanjung Priok), Gatot Tarunamihardja tampil mengusutnya. Jendral Nasution memerintahkan penangkapan dan penahanan sang Jaksa Agung yang sedang menjalankan tugasnya. Soekarno menengahi. Gatot dibebaskan tapi dia juga dipecat.74 Kontroversi tersebut terus berlanjut hingga orde reformasi. Pergantian Jaksa Agung Soedjono.C.Atmonegoro, juga bernuansa politis karena keberaniannya
menyelidiki
kasus
korupsi
mantan
Presiden
Soeharto. Demikian juga Jaksa Agung Marsilam Simanjuntak yang bahkan hanya menjabat dalam hitunagan minggu untuk kemudian diganti oleh M.A Rachman.75 Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh juga diganti dengan latar belakang politis. Pergantian terjadi dikarenakan adanya permintaan dari DPR
74
Daniel S.Lev, Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan,(Jakarta: LP3ES, 1990)h. 59-60 75
Marwan Effendy Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum(Jakarta: Gramedia, 2005.) h. 73
74
kepada Presiden dilatarbelakangi hubungan yang tidak harmonis antara Jaksa Agung dengan komisi III DPR. 76 Berdasarkan apa yang penulis dapatkan, maka penulis memetakan resiko yang akan muncul jika Jaksa Agung tidak Independen dalam menjalankan kewenanganya, khususnya dalam penyampingan perkara demi kepentingan umum. J. Remmelink mengatakan bahwa akan selalu ada bahaya jika Kejaksaan tidak menjalankan tugas dan wewenangnya dengan independen. Bahwa akan selalu ada motif-motif partai politik dalam memutuskan memerintah tugas dari Kejaksaan dalam hal, misal penyampingan suatu perkara
demi
kepentingan
umum
ataupun
untuk
memerintahkan
menuntutnya.77Jadi dapat kita bayangkan kengerian jika Kejaksaan atau Jaksa Agung tidak independen yang akan mengamcam dan menciderai penegakan hukum yang ada di Indonesia. C. Analisis Deponering Bambang Wijayanto oleh Jaksa Agung Peristiwa ini berawal dari adanya dugaan tindak pidana yang telah dilakukan oleh Bambang Wijayanto. MABES POLRI menetapkan Bambang Wijayanto sebagai tersangka terkait dugaan mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam dalam sidang sengketa Pemilihan Kepala Daerah KotaWaringin Barat pada tahun 2010 di Mahkamah
76
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H. Independensi Kejaksaan sebagai
Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. 2010 77
Jan Rammelink, Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia), (PT Gramedia Pustaka, Jakarta: 2003), h. 5
75
Konstitusi. Berkas perkara Bambang Wijayanto dalam dugaan mengarahkan saksi agar menyampaikan kesaksian palsu dalam Pilkada Kotawaringin Barat dinyatakan sudah lengkap dan sudah sampai pada tahap penuntutan. Jaksa Agung lalu mempertimbangkan perkara itu di deponering. Jaksa agung kemudian mengirimkan surat permintaan pertimbangan deponering ke Komisi III DPR RI. Kemudian Wakil Ketua Komisi III DPR Desmond J Mahesa memastikan komisinya menolak saran deponering perkara mantan Komisioner KPK tersebut. Alasanya, tidak ada unsur kepentingan umum yang mengharuskan perkara itu dihentikan. Sementara Presiden Joko Widodo melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi SP memerintahkan agar perkara-perkara yang berkaitan dengan KPK segera diselesaikan, tentu dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan secara hukum, dan pada tanggal 3 Maret 2016 Jaksa Agung HM Prasetyo resmi menggunakan hak oportunitasnya dalam kasus ini. Berdasarkan kronologi tersebut, adanya instruksi Presiden melalui Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi, Johan Budi SP memberikan sinyal kuat bahwa Jaksa Agung tidak Independen. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai “tugas dan wewenang” untuk “mengesampingkan perkara demi kepenitangan umum”. Banyak argument akan muncul, alasan pendeponeringan perkara Bambang Wijayanto karena dia adalah Pimpinan KPK yang bertugas memberantas Korupsi (dianggap sebagai extra ordinary crime), KPK harus berjalan normal tanpa terganggu dengan kekosongan
76
pimpinannya. Andai Bambang Wijayanto diadili, maka Presiden wajib memberhentikan sementara dari jabatannya. Hanya saja apakah dengan pemberhentian sementara oleh presiden ini dapat menyebabkan KPK tidak dapat menjalankan tugasnya?, Ini yang masih menjadi pertanyaan banyak pihak terkait UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Problematika yang muncul setelah putusan penerbitan deponering oleh Jaksa Agung ialah, secara tidak langsung hal itu mengandung pengakuan bahwa Bambang Wijayanto adalah orang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan bukti-bukti untuk itu telah lengkap dan siap ke tahap penuntutan. Sedangkan kasus BW, oleh kejaksaan Agung diduga dan diakui ada serta cukup bukti, hanya saja perkaranya “dikesampingkan” demi “kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”.
Jika kita merujuk pada asas presumption of innocent, seharusnya ini menjadi patokkan bahwa sebelum adanya putusan pengadilan setiap terdakwa dianggap tidak bersalah, tentu saja kalau asas praduga tidak bersalah diterapkan, selamanya Bambang Wijayanto harus dianggap tidak bersalah, dengan belum atau tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mereka bersalah. Jika perkaranya memang “dikesampingkan” alias tak jadi dituntut ke pengadilan. Status mereka menjadi menggantung tak jelas ujung pangkalnya. Yang menarik dari deponering kasus ini, jelas membuat kondisi KPK dapat berjalan normal. Hanya saja yang perlu diingat terkait bagaimana opini publik yang timbul dikalangan masyarakat atas keduanya. Bagaimana
77
mungkin orang yang diberi amanah memberantas korupsi sebagai Pimpinan KPK, sementara mereka diduga sebagai pelaku kejahatan yang perkaranya dideponering oleh Jaksa Agung. Pertanyaan ini tidak membawa konsekuensi hukum apa-apa. Konsekuensinya hanya di bidang etis karena belum dapat diyakinkan secara hukum yang berlaku terkait ketidakbersalahan dimata masyarakat luas.
Pembangunan kesadaran hukum seharusnya mampu memposisikan hukum sebagai panglima dalam penyelesaian perkara hukum. Dengan permasalahan Kejaksaan yang dinilai belum independen dan sangat bergantung pada eksekutif akan berdampak pada objektifitas pemberian deponering. Deponering karna desakan pihak luar criminal justice system atau adanya desakan politik tertentu akan semakin memperkeruh wajah penegakan hukum di Indonesia, karna konsekuensinya justru akan mendorong sebagian orang yang bermasalah dengan hukum nantinya memanfaatkan celah pembentukan opini publik untuk mengintervensi proses penegakan hukum dengan dalih bermacam-macam.
Dari uraian di atas, dengan permasalahan kejaksaan yang tidak independen saya rasa deponering yang dikeluarkan oleh Jaksa Agung dianggap kurang tepat. Ini justru tambah mencederai hukum dan kejaksaan di mata masyarakat. Jika alasannya dapat menciderai semangat Pemberntasan karna BW adalah petinggi KPK, saya rasa dengan memberikan deponering yang mengakibatkan ketidak jelasan status hukum atas perkara yang dialami
78
justru membunuh semangat anti korupsi, yang akan menimbulkan presenden buruk terhadap pengabaian tujuan hukum yang utama itu sendiri yakni terwujudnya ketertiban dan keadilan. Dalam artian, jika BW terbuki tidak bersalah maka putusan final adalah dinyatakan bebas, namun jika perkara Bambang Wijayanto “dikesampingkan” tidak lantas dijadikan seperti tanpa status pasti. Kepastian ini lebih baik ditempuh agar martabat para petinggi KPK lebih bersih dimata semua pihak, dan terwujudnya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under the law. Sehingga sudah seharusnya menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal justice system yang berlaku.
BAB V PENUTUP A. KESIMPULAN 1.Permasalahan independensi Jaksa Agung terletak pada ketentuan Jaksa Agung yang diangkat dan diberhentikan oleh Presiden. Ketentuan tersebut memiliki makna besarnya pengaruh eksekutif terhadap Kejaksaan RI yang menyebabkan Kejaksaan tidak Independen. Perlu adanya perubahan terhadap Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia guna menutup celah yang memberikan peluang pada lembaga Kejaksaan untuk tidak Independen. Perubahan tersebut ditekankan poin-poin krusial pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung yang menjadi sumber utama yang menyebabkan Kejaksaan tidak independen. Pertama, pola pengangkatan Jaksa Agung haruslah diubah dengan menghindari dominasi tunggal Presiden dalam proses pengangkatanya, melainkan juga mengikutsertakan lembagalembaga terkait seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) guna terciptanya sistem check and balances. Karena proses pengangkatan Jaksa Agung yang hanya melibatkan Presiden sesungguhnya mengurangi makna penting Jaksa sebagai pihak yang mewakili kepentingan umum dalam penegakan hukum. Kedua, ketentuan pemberhentian Jaksa Agung pun jelas harus diubah, ketentuan ini adalah “tenaga” terbesar eksekutif dalam kontribusinya atas tidak independensinya Kejaksaan. Dalam pasal 22 ayat (4) dijelaskan bahwa Jaksa Agung berhenti apabila masa jabatanya berakhir, namun dalam
79
80
penjelasan pasal tersebut tidak menjelaskan secara rinci tentang periode masa jabatan Jaksa Agung. Keadaan ini amat sangat berpotensi menghilangkan independensi Kejaksaan. Jaksa Agung dapat diberhentikan kapanpun tergantung pada keinginan presiden. Maka dari itu, harus ada masa jabatan tertentu bagi Jaksa Agung dan sebaiknya disamakan dengan masa jabatan Hakim. Hal ini guna memberikan proteksi terhadap pemecatan sewenangwenang yang mungkin dilakukan oleh Presiden. Selama ketentuan pengangkatan dan pemberhentian Jaksa Agung dalam undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia tidak diubah, selama itu juga Kejaksaan Republik Indonesia tidak independen dalam menjalankan tugas dan kewenanganya. 2.Kaitan Independensi Jaksa agung dengan kewenangan penyampingan perkara demi kepentingan umum dalam kasus Bambang Wijayanto adalah dengan permasalahan Kejaksaan yang dinilai tidak independen dan tidak ada penjelasan secara limitatif apa makna dari “kepentingan umum”. Yang berarti hanya pada pandangan subjektif Jaksa Agung semata. maka akan sangat berpotensi memberikan dampak negatif pada objektifitas pemberian deponering, pemberian deponering karna desakan pihak luar criminal justice system atau desakan politik tertentu akan memperkeruh wajah penegakan hukum di Indonesia. karna konsekuensinya justru akan mendorong sebagian orang yang bermasalah dengan hukum nantinya memanfaatkan celah opini publik untuk mengintervensi proses penegakan hukum dengan dalih yang bermacam-macam. Jika merujuk pada asas presumption of innocent maka
81
Bambang Wijayanto dianggap tidak bersalah sebelum adanya putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan ia bersalah. Berdasarkan
pertimbangan
tersebut
penulis
beranggapan
bahwa
penyampingan perkara demi kepentingan umum atas kasus Bambang Wijayanto adalah tidak tepat. Lebih baik menyerahkan proses penegakan hukum sepenuhnya kepada criminal justice system yang berlaku. Jika Bambang Wijayanto terbukti tidak bersalah, maka putusan final pun akan dinyatakan bebas. Kepastian ini lebih baik ditempuh agar martabat para petinggi KPK bersih dimata semua pihak dibanding deponering dengan segala permasalahanya yang menyebabkan ketidakjelasan “status hukum” atas perkara yang dialaminya.
B.SARAN Berdasarkan hasil penelitian sebagaimana diuraikan diatas, penulis menyarankan sebagai berikut: 1.Agar menghindari dominasi tunggal Presiden dalam menentukan jabatan Jaksa Agung maka haruslah kiranya kita melakukan hal yang sama dengan proses penentuan anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Mahkamah Agung (MA), dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang notabene merupakan lembaga yudisial. Penentuan anggota dari ketiga lembaga negara tersebut tidak hanya didominasi oleh satu lembaga saja. Melainkan melibatkan Presiden dan DPR agar terciptanya sistem check and balances.
82
2.Kedudukan dan Peran Jaksa Agung diharapkan mampu bertindak secara netral dalam menangani setiap perkara. 3.Perlu adanya kajian dalam guna menentukan batasan yang limitatif tentang frasa “kepentingan umum” dalam rangka penyampingan perkara demi kepentingan umum. 4.Harus ada masa jabatan tertentu bagi Jaksa Agung, dan sebaiknya disamakan dengan masa jabatan hakim. Hal ini untuk memberikan perlindungan terhadap pemecatan sewenang-wenang. 5.Kejaksaan memerlukan proteksi konstitusi guna menjaga integritas dan independensinya.
DAFTAR PUSTAKA
Buku :
Adji, Indriyanto Seno. Humanisme dan Pembaruan Penegakan Hukum. Jakarta: Kompas.2009. Alfitra. Hapusnya Hak Menuntut dan Menjalankan Pidana . jakarta: Raih Asa Sukses.2012. Amirudin dan Zaenal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta; PT. Raja Grafindo Persada.2012. Arief, Barda Nawawi. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan. Jakarta: Kencana Prebada Media Group.2007. Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta.2004. ----------, Buku Pedoman Pelaksanaan KUHAP, Departemen Kehakiman Republik Indonesia.Jakarta: Yayasan Pengayoman. Effendy, Marwan. Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia.2005. Garner,Bryan A. Black’s Law Dictionary. ST. Paul, MINN: West Group.2009. Hamzah, And. Hukum Acara Pidana Indonesia Edisi Revisi. Jakarta :Sinar Grafika.2006. Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: CV Artha Jaya. 1996. Harahap, M.Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Sina Grafika. 1995. Harahap, M. Yahya. Pembahasan permasalahan dan penerapan KUHAP. Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta : Sinar Grafik. 2000. Harahap, M Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan dan Penuntutan.Jakarta:Sinar Grafika. 2009.
83
84
Kaligis, O.C. Pengawasan Terhadap Jaksa Selaku Penyidik Tindak Pidana Khusus dalam Pemberantasan Korupsi.Jakarta: PT. Alumni. 2006. Komisi Hukum Nasional dan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia. Pembaharuan Kejaksaan ; Pembentukan Standar Minimum Profesi Jaksa. Jakarta : KHN dan MaPPI. 2004 Lev, Daniel S. Hukum dan Politik di Indonesia Kesinambungan dan Perubahan. Jakarta: LP3ES. 1990. Lubis,Todung Mulya.Catatan hukum Todung Mulya Lubis: mengapa saya mencintai negeri ini?. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.2007 Manan, Bagir .Lembaga Kepresidenan.Yogyakarta: PSH FH UII. 1999. Marwan, Effendy. Kejaksaan RI : Posisi dan Fungsinya dari Perspektif Hukum . Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. 2005. Marzuki, Peter Mahmud.. Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana. 2010. Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum.Jakarta: Kencana. 2011. Nasution, Karim. Rapat Dengar Pendapat Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Masalah Hukum Acara Pidana. Jakarta : DPR. 2004. Rammenlink, Jan. Hukum Pidana (Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda dan Padanannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia). Jakarta : PT Gramedia Pustaka. 2003. Sabine, George.. A History of Political Theory. London: George G. Harrap & Co. Ltd. 1954. Saleh, Abdul Rahman. Bukan Kampung Maling Bukan Desa Ustadz Memoar 930 Hari di Puncak Gedung Bundar. Jakarta: Kompas Gramedia. 2008. Soebekti. Kamus Hukum. Jakarta. 1980. Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Pengertian Hukum Normatif Suatu Tindakan Singkat. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004. Sumal. Reduksi Kekuasaan Esekutif di Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (PERPU). Malang: UMM Pres. 2003. Suseno, Franz Magnis. Etika Politik (Pinsip-prinsip moral dasar kenegaran modern). Jakarta: PT Gramedia. 2003.
85
Karya Ilmiah : -------. “Reformasi dan Profesionalisasi Kejaksaan”. Makalah disampaikan dalam Workshop Govermence Audit of the Public Prosecution Service. Yogyakarta. 2001 Assiddhiqqie, Jimly. makalah yang berjudul “Pembangunan Hukum dan Penegakkan Hukum Di Indonesia”. Disampaikan pada acara Seminar “Menyoal Moral Penegak Hukum” dalam rangka Lustrum XI Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. 2006. Nasution, Adanan Buyung. “Kembalikan Kejaksaan Sebagai Alat Penegakan Hukum” (Makalah disampaikan dalam diskusi panel di Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung RI tanggal 11-12 Januri 1999. Suhardibroto, “Restruktirisasi Kejaksaan Guna Optimalisasi Pelaksanaan Tugas penegakan Hukum Untuk menjawab Tantangan Zaman”, Makalah disampaikan dalam diskusi panel di Pusat Penddiikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung RI tanggal 11-12 Januri 1999. Visser, Tjeerd Sleeswijk. The General Prosecutor and Responsiblilitiea, makalah disampaikan pada seminar “The Prosecutor`s office in a democratic and constitusional state” di unduh dari situs dikutip dari Marwan Effendy Kejaksaan RI Posisi dan Fungsinya Dari Perspektif Hukum. Jakarta: Gramedia. 2005.
Internet :
Bukti Habibie Tak Serius Periksa Soeharto, Wakil Panji Masyarakat di Periksa Polisi diunduh darihttp://iwan-uni.blogspot.com/2005/07/bukti-habibietak-serius-periksa.html pada hari Sabtu tanggal 18 Agustus 2016
86
EtymZuadria. Amd, “Sejarah Kejaksaan RI”, http://ktjintelijen.blogspot.com/2010_05_01_archive.html, diakses, 18 Agustus 2016 H.H. Juynboll, “Sejarah Kejaksaan Indonesia”, http://id.wikipedia.org/wiki/Kejaksaan_Indonesia, diakses, 18 Agustus 2016 , diakses tanggal 18 agustus 2016. http://kriminalitas.com/indo/content/view/5317/6/
(diakses
Senin,
29
Maret 2016 14:30) http://www.menpan.go.id/berita-terkini/4170-rapor-akuntabilitas-kinerjak-l-dan-provinsi-meningkat diakses 17 agustus 2016 http://www.viva.co.id/prancis2016/read/720101-icw-tak-heran-kejaksaanagung-dapat-rapor-merah diakses, 17 agustus 2016 http://.kejaksaan.go.id/tentang_kejaksaan.php?id=3, diakses, 18 Agustus 2016 Wijatobone,“Kedudukan Kejaksaan”, http://wijatobone.blogdetik.com/2008/10/21/optimalisasi-peran-kejaksaan-dalampenegakan-supremasi-hukum/, diakses 18 Agustus 2016
Perundang-Undangan : Undang-Undang Dasar 1945 Undang-Undang nomor 16 tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Laporan Hasil kerja Tim analisis :
87
Laporan Hasil Kerja Tim Analisis dan Evaluasi Hukum tentang Pelaksanaan Asas Oportunitas dalam Hukum Acara Pidana yang Bekerja Berdasarkan Keputusan Menteri Hukum dan HAM RI Nomor G1-11.PR.09.03 Tahun 2006.
Koran dan artikel :
Media Indonesia, Selasa 16 Mei 2006/No.9276/Tahun 2007. Pusat Penelitian dan Kajian Hukum Kejaksaan Agung (b) , Simposium Tentang Masalah-Masalah Asas Oportunitas, Tanggal 4 dan 5 November 1981 di Ujung Pandang. Meador, Daniel J Meador. The President, The Ottorney General and The Department of Justice dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI. Baker, Nancy. Conflicting Loyalties, dikutip oleh Suhadibroto, Peningkatan Kinerja Kejaksaan, Diskusi tanggal 20 agustus 2001 di Kejaksaan Agung RI,. Ilham Endra. “Memaknai Independensi Kejaksaan di Indonesia (Kekuasaan Penuntutan”http://ilhamendra.wordpress.com/2008/05/27/kekuasaanpenuntutan/. Diakses pada 17 Agustus 2016
Jurnal :
Ardilafiza, S.H.,M.Hum dan Riky Musriza, S.H.,M.H. Independensi Kejaksaan sebagai Pelaksana Kekuasaan Penuntutan dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. 2010