Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
IMPLMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER MELALUI MULTIPEL STRATEGI BERBASIS MULTIKULTURAL DALAM MENGHADAPI MEA Nurlaili Handayani Program Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
[email protected] ABSTRAK Praktik penyelenggaraan pendidikan di Indonesia tidak selamanya berjalan dengan baik, realitas masalah yang terjadi mulai dari proses pembelajaran yang kurang optimal, krisis moral, diskriminasi, dan kualitas sumber daya manusia yang rendah. Era MEA merupakan era globalisasi kawasan dan hal ini harus dicermati oleh dunia pendidikan di Indonesia dengan baik, agar sumber daya manusia Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara lain. Pendidikan karakter merupakan suatu pendekatan progresif untuk melakukan transformasi pendidikan secara holistik. Pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah melibatkan guru pada tataran mikro, dalam proses penanaman nilai karakter seorang guru harus mampu menggunakan strategi pembelajaran yang bervariasi. Penanaman nilai karakter kepada peserta didik tidak dapat dilakukan hanya dengan menggunakan satu strategi pembelajaran saja, namun dengan menggunakan multipel strategi berbasis multikultural. Multipel strategi berbasis multikultural ini dapat dilakukan dengan mengaitkan dan mengcover perbedaan-perbedaan yang terdapat pada peserta didik, hal ini diharapkan mampu membentuk karakter siswa yang utuh dalam memahami perbedaan, sehingga dapat menciptakan sumber daya manusia yang dapat bersaing di era MEA. Kata kunci: Pendidikan karakater, multipel strategi, multikultural, MEA. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan pionir terdepan bagi suatu bangsa, pendidikan memiliki peran yang sangat penting dan pengaruh besar dalam berbagai aspek kehidupan. Pendidikan memberikan kontribusi terhadap kemajuan suatu bangsa. Pendidikan menjadi hal yang sangat penting, sebab melalui pendidikanlah manusia dapat terbebas dari kebodohan, keterbelakangan, dan kemiskinan. Pendidikan pun menjadi cermin dari wajah suatu bangsa. Dalam proses pendidikan tersebut, suatu bangsa meletakkan harapan besar untuk mepersiapkan masyarakat dan generasi mudanya agar dapat mewarisi nilai-nilai luhur bangsa dan mewujudkan kehidupan bangsa yang lebih baik dimasa yang akan datang. Untuk mewujudkan harapan tersebut, maka pendidikan di negeri ini sudah seharusnya berbenah dari segi sistem, kurikulum, pengajaran, serta para pendidik yang memiliki jiwa pendidik sejati. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang mendidik peserta didik melalui pembentukan karakter. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) merumuskan tujuan pendidikan Indonesia yaitu untuk mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (lihat Bab 2 Pasal 3). Salah satu bentuk inovasi ini adalah dicanangkannya pendidikan karakter bangsa melalui berbagai proses pendidikan. Dari fungsi dan tujuan yang ingin dicapai, pendidikan karakter tidak hanya merupakan inovasi pendidikan, tetapi juga merupakan reformasi pendidikan yang
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
harus dipersiapkan dan dilaksanakan dengan benar serta melibatkan setiap pihak yang terkait dengan penyelenggaraan pendidikan. Dalam menginternalisasikan pendidikan karakter melalui seluruh mata pelajaran yang ada harus dengan komitmen dan sikap konsisten dari stakeholders dan seluruh praktisi pendidikan yang terlibat (Marzuki, 2012: 34). Pemerintah reformasi memang telah merumuskan misi pembangunan nasional yang memposisikan pendidikan karakter sebagai misi pertama dari delapan misi guna mewujudkan visi pembangunan nasional (Deni Setiawan, 2013: 54). Dalam konteks pendidikan, begitu banyak problem yang terjadi saat ini dan sedang menjadi pembicaraan hangat dikalangan masyarakat serta praktisi pendidikan. Problem dan permasalahan yang terjadi merupakan bentuk manifestasi dari rendahnya kualitas karakter generasi muda bangsa Indonesia. Permasalahan yang sedang dihadapi saat ini sangat kompleks, mulai dari banyaknya kesenjangan yang timbul dikarenankan oleh perbedaan budaya, bahasa, etnis, suku, agama dan gender. Perbedaan tersebut pada akhirnya memicu adanya konflik sosial yang lebih besar dikalangan peserta didik. Konflik sosial yang kerap ditemui dalam realitas saat ini adalah masalah tauran antar kelompok pelajar, rendahnya kesadaran para siswa, krisis moral dan masih banyak lagi. Di samping itu, karakter tersebut juga sangat diperlukan bagi seorang pendidik karena melalui jiwa ini, para pendidik akan memiliki orientasi kerja yang lebih efisien, kreatif, inovatif, produktif serta mandiri (Imam Suyitno, 2014: 2-3). Pendidik juga dituntut memiliki pemahaman terhadap konsep multikultural. sebab konsep multikultural adalah kebijakan pada praktik pendidikan dalam mengakui, menerima dan menegaskan perbedaan dan persamaan manusia yang dikaitkan dengan gender, ras, kelas, (Sleeter, 2014). Multikultural adalah suatu sikap dalam memandang keunikan manusia dengan tanpa membedakan ras, budaya, jenis kelamin, seks, kondisi jasmaniah atau status ekonomi seseorang. Dalam proses pembelajaran di lingkungan sekolah, para peserta didik memiliki keberagaman yang cukup kompleks. Keberagaman tersebut jika tidak ditangani dengan baik akan menimbulkan konflik dikalangan peserta didik, seperti: rasa egosentrisme terhadap suku atau agama tertentu, terbentuknya kelompok-kelompok sosial dalam lingkungan sekolah, tindak kekerasan, dan lain sebagainya. Maka dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah. Seperti yang diketahui awal tahun 2015 Indonesia sudah memasuki MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN). Tidak bisa dipungkiri bahwa banyak tenaga asing yang bekerja di Indonesia. Dampak yang perlu diperhatikan adalah terjadinya pertukaran budaya asing. Oleh sebab itu, diperlukan filter untuk memproteksi budaya asing yang tidak selaras dengan budaya bangsa Indonesia. Menjawab tantangan ini, diperlukan penanaman karakter yang kuat untuk mempertahankan jati diri anak bangsa. Hal ini tentu tidak terlepas dari peran pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia secara umum masih dititik beratkan pada kecerdasan kognitif. Hal ini dapat dilihat dari orientasi lembaga pendidikan yang ada masih disibukkan dengan ujian, mulai dari ujian tengah semester, ujian akhir semester hingga ujian nasional, tanpa memikirkan bahwa proses dari pendidikan jauh lebih penting, sebab proses pendidikan yang baik akan menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas bukan hanya secara kognitif, melainkan menghasilkan sumber daya manusia yang berkarakter. Sudah saatnya para pengambil kebijakan, para pendidik, orang tua dan masyarakat senantiasa memperkaya persepsi bahwa ukuran keberhasilan bukan hanya mengukur prestasi akademik saja, tetapi hendaknya institusi pendidikan menjadi tempat yang senantiasa menciptakan sumber daya manusia yang jauh lebih baik secara kualitas, sehingga harapan yang lebih tinggi
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
adalah mampu memposisikan diri mereka ditengah arus globalisasi dan kehidupan global yang lebih luas. PEMBAHASAN A. Pendidikan Karakter 1. Pengertian pendidikan karakter Kata character berasal dari bahasa Yunani charassein, yang berarti to engrave (melukis, menggambarkan) sama halnya seperti orang yang melukis kertas, memahat. Maka character diartikan sebagai tanda atau ciri yang baik dalam semua aspek kehidupan (Sudrajat, 2011: 48). Menurut Lickona (2013: 22) karakter merupakan sifat alami seseorang dalam merespon situasi secara bermoral. Sifat tersebut harus dimanifestasikan dalam tindakan melalui tingkah laku yang positif, baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati orang lain, serta semua nilai-nilai moral yang baik lainnya. Pengertian yang dikemukakkan oleh Lickona terebut, sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Imam AlGhazali (Wibowo, 2012: 32) yang menyebutkan akhlak (karakter) bukan “perbuatan” bukan “kekuatan” bukan pula “ma’rifat”, melainkan keseluruhan hal keadaan atau kondisi jiwa seseorang yang bersifat bathiniah. Menurut Marzuki (2012: 36) karakter seringkali dihubungkan dengan istilah akhlak, etika, moral atau nilai. Karakter juga bersinggungan dengan masalahmasalah yang terkait dengan kepribadian, atau kepribadian seseorang. Dengan demikian, orang yang memiliki karakter merupakan orang yang berkepribadian, berprilaku, bersifat, dan berwatak, sehingga dengan kata lain karakter dapat memberdakan seseorang dengan orang lainnya. Menurut Megawangi (2004: 95) pendidikan karakter adalah sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar mengambil keputusan dengan bijak dan mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya. Pernyataan di atas, sesuai dengan harapan besar dari bapak pendidikan kita yaitu Ki Hajar Dewantoro, beliau menyatakan bahwa pendidikan tidak hanya bertujuan membentuk peserta didik untuk pandai, atau pintar tetapi juga harus berorientasi untuk membentuk manusia yang berbudi pekerti luhur dan berkepribadian, sehingga massa yang akan datang generasi-generasi bangsa ini mampu mendedikasikan diri terhadap lingkungan masyarakat dan negaranya. Disisi lain, Tadkiroatun (Wibowo, 2012: 33) memaparkan karakter mengacu kepada serangkaian sikap (attitudes), perilaku (behaviour), motivasi (motivation), dan keterampilan (skill). Pendidikan karakter merupakan pilar utama dalam pembentukan pribadi seseorang melalui jenjang pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus mampu menginternalisasi semua nilai-nilai “positif” sebagai landasan berfikir, bersikap, dan bertindak. Dengan kata lain dunia pendidikan harus dapat berperan aktif menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terdidik dan mampu menghadapi berbagai tantangan zaman. Adapun pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada seluruh warga masyarakat melalui pendidikan formal ataupun informal yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan keseluruhan nilai-nilai tersebut (Wibowo, 2012: 34). Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral atau pendidikan akhlak, sehingga pendidikan nilai yang disajikan menjadi komplek apabila didasarkan juga dengan nilai-nilai luhur bersumber dari budaya bangsa sendiri. Pendidikan karakter memiliki makna lebih tinggi, bukan hanya sekedar mengajarkan benar atau salah, lebih dari itu pendidikan karakter menanamkan kebiasaan (habituation) tentang hal yang baik sehingga, peserta didik menjadi paham
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
(domain kognitif), mampu merasakan (domain Afektif) nilai yang baik dan biasanya melakukannya (domain perilaku). Jadi pendidikan karakter erat kaitannya dengan habit/kebiasaan yang harus terus menerus dipraktikan atau dilakukan, sehingga suatu saat hal tersebut akan benar-benar menjadi kebiasaan yang positif. Secara prinsipil, pendidikan karakter meliputi dua aspek yang dimiliki manusia, yaitu aspek kedalam dan aspek keluar. Aspek kedalam atau aspek potensi meliputi aspek kognitif, afektif, dan psikomotor. Aspek keluar adalah aspek yang berasal dari luar diri seseorang. Menurut Lickona (1991: 51) pendidikan karakter mengandung tiga aspek karakter yang baik (component of good character), yakni: pengetahuan moral (moral knowing), perasaan moral (moral feeling), dan perbuatan moral (moral action). Berdasarkan harapan besar pendiri bangsa dan amanat Undang – Undang Dasar 1945, pembangunan karakter harus berawal dari pendidikan. Pendidikan karakter menjadi strategi dasar yang diperlukan dengan sosialisasi atau penyadaran, dan kerja sama seluruh komponen atau praktisi pendidikan. Implementasi pendidikan karakter juga harus dibangun melalui kebiasaan-kebiasaan kehidupan sehari-hari, sehingga memungkinkan setiap individu secara tidak langsung menjalankan nilai-nilai dalam pendidikan karakter tersebut. Dengan demikian, bahwa pendidikan karakter adalah suatu nilai positif yang dikenalkan sejak dini melalui proses pendidikan, dan diharapkan dapat melekat sebagai karakter pada masyarakat umumnya serta peserta didik pada khususnya. Pendidikan karakter juga dapat menjadi kesatuan sifat (watak) yang dimiliki seseorang dari dalam dirinya yang dibentuk sejak lahir atau dibentuk oleh lingkungan. Karakter dapat membentuk moral baik atau buruk, dan menentukan seseorang dapat dikatakan baik maupun buruk, sebab karakter sendiri akan membedakan manusia yang satu dengan yang lainnya. Namun pada dasarnya nilai yang terkadung dalam karakter harus mencerminkan nilai-nilai kebaikan. 2. Tujuan pendidikan karakter Menurut Koesman (2007: 134) disebutkan bahwa tujuan pendidikan karakter adalah pendidikan karakter semestinya diletakkan dalam kerangka dinamis dialektis, berupa tanggapan individu terhadap sosial dan kultural yang melingkupinya, untuk dapat menempatkan dirinya menjadi sempurna sehingga potensi-potensi yang ada di dalam dirinya berkembang secara penuh yang membuatnya semakin menjadi manusiawi. Tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian pembentukan karakter dan akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan seimbang (Masnur Muslich, 2011: 81). Selanjutnya tujuan pendidikan karakter adalah memperbaiki watak pribadi individu seperti yang dikemukakan oleh Arthur (2003: 11) yaitu “The aim of the institute was to improve the habits, dispositions, and general character of the children”. Jadi, pendidikan karakter bertujuan untuk memperbaiki kebiasaan, watak, dan akrakter pada anak-anak. Di sisi lain, tujuan pendidikan karakter adalah: 1) Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa; 2) Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius; 3) Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa; 4) Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
5) Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity). Dalam arti luas bahwa tujuan pendidikan karakter adalah mendorong lahirnya anak-anak yang baik. Begitu tumbuh dalam karakter yang baik, anak-anak akan tumbuh dengan kapasitas dan komitmennya untuk melakukan berbagai hal yang terbaik dan melakukan segalanya dengan benar, dan cenderung memiliki tujuan hidup. Pendidikan karakter yang efektif ditemukan dalam lingkungan sekolah yang memungkinkan semua peserta didik menunjukkan potensi mereka untuk mencapai tujuan yang sangat penting. 3. Nilai-Nilai karakter Ada 18 (delapan belas) nilai yang dikembangkan dalam pendidikan karakter bangsa (Kemendiknas, 2010: 9-10) nilai-nilai materi pendidikan karakter mencakup aspek-aspek berikut: 1) Religius: sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, dan hidup rukun dengan pemeluk agama lain. 2) Jujur: perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan. 3) Toleransi: sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis, pendapat, sikap, dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya. 4) Disiplin: tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan. 5) Kerja keras: perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan belajar dan tugas, serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya. 6) Kreatif: berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari sesuatu yang telah dimiliki. 7) Mandiri: sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas. 8) Demokratis: cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain. 9) Rasa ingin tahu: sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari sesuatu yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar. 10) Semangat kebangsaan: cara berpikir, bertindak, dan berwawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya. 11) Cinta tanah air: cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsa. 12) Menghargai prestasi: sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui, serta menghormati keberhasilan orang lain 13) Bersahabat/komuniktif: tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerja sama dengan orang lain. 14) Cinta damai: sikap, perkataan, dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya. 15) Gemar membaca: kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
16) Peduli lingkungan: sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upayaupaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi. 17) Peduli sosial: sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan pada orang lain dan masyarakat yang membutuhkan. 18) Tanggung-jawab: sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya, yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan Yang Maha Esa. B. Strategi Pembelajaran dalam penanaman karakter Setiap proses pembelajaran yang dilakukan pada jenjang satuan pendidikan, akan selalu melibatkan dua komponen penting yaitu pendidik dan peserta didik. Pembelajaran yang berlangsung diikuti oleh proses pengajaran secara berkelanjutan, dengan harapan untuk mencapai tujuan pembelajaran yang utuh. Tujuan pembelajaran dapat dicapai melalui strategi pembelajaran yang dirancang dan dikembangkan sesuai kebutuhan peserta didik, serta sesuai dengan perkembangan zaman. Pernyataan diatas didukung oleh pendapat Ahmad Rohani (2004: 32) bahwasanya strategi pembelajaran (pengajaran) merupakan teknik yang dipergunakan guru dalam melaksanakan proses belajar mengajar, agar dapat mempengaruhi peserta didik mencapai tujuan pembelajaran secara efektif dan efisien. Idealnya aktivitas pembelajaran tidak hanya difokuskan pada upaya mendapatkan pengetahuan semata, melainkan juga menggunakan segenap pengetahuan yang diperoleh untuk dapat menghadapi situasi baru, atau memecahkan masalah-masalah yang erat kaitannya dengan kehidupan sosial peserta didik secara umum. Atas dasar itulah proses pembelajaran menanamkan kemampuan bagaimana siswa, akan dapat belajar memecahkan setiap rintangan yang dihadapi sampai akhir hayatnya. Hal tersebut tertuang dalam prinsip belajar sepanjang hayat, yang dirumuskan UNESCO (1996) dalam empat pilar pendidikan, yaitu: 1) learning to know, 2) learning to do, 3) learning to be, dan 4) learning to live together. Strategi pembelajaran yang sangat sesuai dengan perkembangan dan tantangan zaman, serta mampu membentuk karakter yaitu strategi problem based learning, cooperative learning, dan inquiry social. Hal ini sejalan, dengan pendapat Halstead dan Taylor (Samsuri, 2010: 14) model pembelajaran karakter yang dapat diterapkan antara lain: dengan problem solving, cooperative learning, dan experience-based projects yang diintegrasikan melalui pembelajaran tematik dan diskusi untuk menempatkan nilai-nilai kebajikan ke dalam praktik kehidupan sebagai sebuah pengajaran bersifat formal. Sebagaimana Arends (1997: 156) menyatakan bahwa “Problem Based Learning (PBL) …use in promoting higher-level thinking in problem oriented situations, including learning how to learn”. Menurut Arends, PBL merupakan salah satu strategi pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan level berpikir tinggi yang diorientasikan pada masalah, termasuk belajar bagaimana belajar. Sejalan dengan pendapat Arends, Levin (2001: 1) menguraikan PBL sebagai strategi pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk menerapkan pemikiran kritis, kemampuan memecahkan masalah, dan pengetahuan konten untuk masalah dunia nyata dan isu-isu. Menurut Sudjana (1996: 93) pembelajaran berbasis masalah mempunyai beberapa kelebihan antara lain adalah siswa memperoleh pengalaman praktis, kegiatan belajar lebih menarik sehingga tidak membosankan, bahan pengajaran lebih dihayati dan dipahami oleh siswa, siswa dapat belajar dari berbagai sumber, interaksi sosial antar peserta lebih berkembang, siswa belajar melakukan analisis dan sintesis secara simultan dan membiasakan siswa berpikir logis dan sistematis dalam pemecahan masalah. Selain strategi problem based learning, Larsen (2000) berpendapat bahwa guru dapat menerapkan strategi pembelajaran kooperatif sebagai upaya untuk membuat siswa termotivasi belajar dan mampu berinteraksi dengan teman untuk bekerja sama. Esensi
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
pembelajaran dengan strategi kooperatif menekankan aktivitas belajar siswa dari siswa lain di dalam kelompok. Guru membelajarkan bagaimana siswa dapat berkolaborasi dan terampil bersosialisasi, sehingga para siswa dapat bekerja bersama-sama secara efektif. Strategi kooperatif, tidak hanya menekankan bagaimana cara belajar, tetapi juga cara berkomunikasi untuk bekerja sama. Siswa diharapkan saling membantu, berdiskusi, dan berargumen dengan yang lainnya, cara seperti itu dapat menekan perbedaan pemahaman dan pengetahuan dalam mempelajari suatu pokok bahasan tersebut (Slavin, 1995). Cruickshank, Bainer dan Metcalf (1999: 205), menyebutkan bahwa cooperative learning is the term used to describe instructional procedures whereby learners work together in small groups and are rewarded for their collective accomplishments, Pembelajaran kooperatif adalah suatu hal yang digunakan untuk menggambarkan prosedur pengajaran, siswa bekerjasama dalam kelompok kecil dan dihargai untuk kolektif prestasi mereka. Menurut Sujarwo (2010: 12) Ada 4 (empat) karakteristik pembelajaran kooperatif, yaitu: 1) kelompok harus heterogen dalam beberapa hal seperti gender, kemampuan akademik, ras dan lain-lain, 2) jenis tugas yang dibuat merupakan tugas kelompok, 3) peran tingkah laku yang diperlukan anggota kelompok, tanggung jawab individu, pertanggungjawaban terhadap kelompok, dukungan dan dorongan anggota lain, bantuan teman, pengajaran dan kerja sama, 4) sistem pemberian hadiah yang unik. Di sisi lain, Wina Sanjaya (2013: 205) mengungkapkan bahwa strategi inkuiri sosial berorientasi kepada pengalaman siswa, melalui pengalaman itulah setiap individu akan mampu membangun pengetahuan yang begruna bagi diri dan masyarakat. Keunggulan dari strategi pembelajaran ini menenkan pengembangan aspek kognitif, afektif, dan psikomotor secara seimbang, memberikan kesempatan kepada peserta didik belajar sesuai dengan gaya belajar mereka. Sehingga dengan strategi ini, siswa tidak hanya dituntut baik dalam ranah kognitif, tetapi peserta didik secara keseluruhan harus baik secara sikap. Hal ini menunjukkan bahwa strategi inquiri sosial akan mampu membentuk karakter siswa melalui pembelajaran yang konsisten. Dengan demikian, strategi pembelajaran dapat mempengaruhi proses pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran yang diinginkan. Salah satu tujuan dari proses pembelajaran tersebut adalah peserta didik mampu mengeksplor pengetahuan mereka, dan mampu memecahkan masalah-masalah atau isu-isu global yang cukup kompleks pada saat dihadapkan dengan kehidupan di luar proses pembelajaran. C. Multikultural sebagai strategi pemanfaatan keberagaman dalam pembelajaran Konsep multikulturalisme menekankan pentingnya memandang dunia dari bingkai referensi budaya yang berbeda, dan mengenali serta manghargai kekayaan ragam budaya di dalam Negara dan di dalam komunitas global. Multikulturalisme menegaskan perlunya menciptakan sekolah di mana berbagai perbedaan yang berkaitan dengan ras, etnis, gender, orientasi seksual, keterbatasan, dan kelas sosial diakui dan seluruh siswa dipandang sebagai sumber yang berharga untuk memperkaya proses belajar mengajar. (Hidayatullah, 2012: 75). Masyarakat multikultural merupakan hakikat bangsa Indonesia yang secara tidak langsung harus diakui tanpa pengecualian. Menerapkan prinsip multikultural harus mencakup berbagai bidang, termasuk dalam bidang pendidikan. Undang-Undang No 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, juga menjadi bukti bahwa dalam penyelenggaraan proses pendidikan turut menyoroti aspek multikultural masyarakat Indonesia. Hal tersebut, tertuang dalam Pasal 4 ayat terkait prinsip penyelenggaraan pendidikan yaitu, pendidikan diselenggrakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultur, dan kemajemukan. Multikurturalisme secara etimologis terbentuk dari 3 kata yitu: Multi (banyak), Kultur (budaya), Isme (aliran/paham). Yang
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
berarti multikulturalisme adalah aliran atau paham tentang banyak budaya yang berarti mengarah pada keberagaman budaya (Farida Hanum dan Setya Raharja, 2006: 1). Sejalan dengan pernyataan sebelumnya, H.A.R Tilaar (2004: 82) menjelaskan multikulturalisme mengandung pengertian yang sangat kompleks yaitu “ multi” yang berarti plural, “kulturalisme” berisi pengertian kultur atau budaya. Istilah plural mengandung arti yang berjenis-jenis, karena pluralism bukan sekedar pengakuan akan adanya hal-hal yang berjenis-jenis tetapi pengkuan-pengakuan itu juga mempunyai implikasi-implikasi politis, sosial, ekonomi (H.A.R Tilaar, 2004: 387) mendefinisikan lebih lanjut istilah multikulturalisme yang berarti institusionalisasi dari keanekaragaman kebudayaan yang dimiliki oleh kelompok-kelompok etnis di dalam suatu nation-state melalui bidang-bidang atau sistem hukum, pendidikan, kebijakan pemerintah dalam kesehatan dan perumahan, bahasa, praktik-praktik keagamaan dan bidang lainnya. Pendidikan multikultural berfungsi sebagai alternatif dan solusi untuk program pendidikan yang ada karena berusaha untuk mengatasi ketidaksetaraan yang ada di masyarakat kita, dan lebih jauh lagi kritis analisis ketidaksetaraan mereka untuk mempromosikan keadilan sosial. Beberapa cara di mana pendidikan multikultural dapat dimasukkan ke dalam pendidikan publik untuk menciptakan kelas responsif budaya adalah melalui kurikulum, struktur pendidikan sekolah dasar, dan melalui teknik mengajar dan pedagogis yang relevan secara budaya yang melayani iklim kelas yang positif. Maka dari itu, pendidikan multikultural dapat membina dan menciptakan budaya kelas yang responsif di sekolah, memungkinkan untuk pembangunan reformasi individu, reformasi sekolah, dan reformasi dalam masyarkat jangka panjang. Perspektif multikultural mencoba untuk mengenali dan menganalisis kritis tentang perbedaan-perbedaan yang melekat pada peserta didik, sebab perbedaan-perbedaan tersebut akan mempengaruhi gaya belajar peserta didik, dan hal itu harus secara langsung disadari oleh guru agar tidak terjadi diskriminasi dalam proses pembelajaran, guru harus mampu melihat perbedaan sebagai kekuatan dalam rangka mengembangkan ruang kelas yang responsif secara kultur. Harus dimengerti lebih jauh bahwa multikultural memberikan ketentuan bagi siswa untuk memiliki kesempatan pendidikan yang sama. Maka dari itu, pendidikan multikultural dapat dipandang sebagai kendaraan untuk mengurangi banyaknya ketidakadilan dalam pendidikan karena bertujuan mempromosikan keadilan sosial. Selain itu, pendidikan multikultural memungkinkan peserta didik untuk belajar, bagaimana berfikir secara lebih inklusif dan luas terhadap informasi yang dipelajari, serta selanjutnya mengubah pengetahuan mereka ke dalam tindakan nyata. Pernyataan di atas, didukung oleh Nieto (1992) yang menjelaskan pendidikan multikultural sebagai alat untuk mencapai keadilan dan perubahan sosial, pencapaian tersebut terbagi dalam tiga kategori yaitu; 1) transformasi diri adalah tingkat dasar yang memungkinkan membangun kesadaran individu melalui proses belajar mengajar, 2) Inisiatif secara menyeluruh yang melibatkan transformasi sekolah, 3) transformasi masyarakat untuk menciptakan keadilan dan perubahan sosial. D. Implementasi Pendidikan Multikultural
Karakter melalui
Multipel Strategi berbasis
Implementasi pendidikan karakter dalam proses pembelajaran diharapkan tertanam nilai-nilai karakter positif. Pembentukan karakter peserta didik dilakukan melalui pendidikan, baik formal maupun informal. Pendidikan karakter melalui sekolah yang diinternalisasi dalam proses pembelajaran, tidak semata-semata transfer knowlehg semata, tetapi harus lebih mendalam yaitu moral, etika, dan lain sebagainya. Dalam implementasi pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (steakholders) memiliki andil. Komponen-komponen tersebut meliputi kurikulum, proses pembelajaran, managemen sekolah, etos kerja, dan lingkungan sekolah. Proses pembelajaran menjadi
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
dasar penting yang perlu diperhatikan, proses pembelajaran ini erat kaitannya dengan pendidik atau guru beserta perangkat pembelajaran yang digunakan. Guru memegang peranan yang sangat strategis terutama dalam membentuk karakter serta mengembangkan potensi siswa. Pendapat di atas, sejalan dengan Suyanto dan Jihad (2013: 39-46) Guru harus bergerak memberdayakan siswa menuju kualitas hidup yang baik di segala aspek kehidupan, khususnya pengetahuan dan moralitas. Kehadiran guru juga tidak tergantikan oleh unsur lain. Guru memiliki peranan yang sangat penting dalam menentukan lulusan berkualitas. Guru yang profesional diharapkan menghasilkan lulusan yang berkualitas, melalui sentuhan guru diharapkan mampu menghasilkan peserta didik yang bukan hanya cerdas secara intelektual, melainkan juga cerdas secara emosional dan spiritual, serta memiliki kecakapan hidup. Dalam keseluruhan proses pendidikan karakter, guru merupakan faktor utama yang bertugas sebagai pendidik. Guru harus bertanggung jawab atas hasil kegiatan belajar siswa melalui interaksi belajar mengajar. Dengan demikian, peran guru dalam pelaksanaan pendidikan karakter di sekolah adalah memberikan keteladanan, inspirator, motivator, dinamisator, dan evaluator. Inspirator, seorang guru akan menjadi sosok inspirator jika mampu membangkitkan semangat untuk maju dengan menggerakkan segala potensi yang dimiliki guna meraih prestasi. Secara otomatis kesuksesan guru akan menginspirasi siswa. Motivator, setelah menjadi inspirator, peran guru selanjutnya adalah motivator. Guru harus berusaha agar dalam menjalankan tugas benar-benar dapat menjadi motivasi bagi siswa. Dinamisator, artinya seorang guru tidak hanya mampu membangkitkan semangat tetapi juga menjadi lokomotif yang benar-benar mendorong siswa ke arah tujuannya dengan kecepatan, kecerdasan, dan kearifan yang tinggi. Evaluator, sebagai evaluator guru harus selalu mengevaluasi metode pembelajaran yang selama ini dipakai dalam pendidikan karakter. Selain itu, guru juga harus mampu mengevaluasi sikap dan perilaku yang ditunjukkan oleh siswa. Selain itu, guru harus memiliki kemampuan dan keterampilan dalam mengelola proses pembelajaran. Guru dituntut kreatif dan inovatif memberikan pembelajaran yang berkualitas bagi peserta didik. Hal ini sejalan pendapat Mulyasa (2013: 71) yang menjelaskan bahwa guru bersifat multifungsi. Seorang pendidik harus mampu membangun suasana belajar yang kondusif, mengingat belajar adalah proses bagi peserta didik dalam membangun gagasan mapun pemahaman sendiri, maka kegiatan belajar mengajar dituntut memberikan kesempatan siswa untuk melakukan dengan benar dan layak. Suasana yang diciptakan guru harus dapat memotivasi siswa secara aktif, serta mengembangkan pengalamannya. Hal di atas dapat tercapai, apabila guru atau pendidik berinovasi untuk menggunakan multipel strategi dalam proses pembelajaran, sebab dengan menerapkan multipel strategi yang berbasis multikultural, guru akan dapat mencapai tujuan pembelajaran secara utuh, serta sekaligus merupakan langkah penting dalam membentuk karakter siswa. Proses pembelajaran yang dirancang bukan hanya sesuai kebutuhan siswa, tetapi juga disesuaikan dengan tuntutan zaman. Peserta didik dewasa ini dihadapkan dengan arus globalisasi dan permasalahan-permasalahan yang sangat kompleks pada tataran kehidupan bermasyarakat. Sehingga proses belajar mengajar yang tepat untuk mencapai dan membentuk karakter peserta didik yang tanggu dapat dilakukan melalui strategi pembelajaran berbasis masalah dengan menggunakan pendekatan multikultural. Sementara itu, Banks (2005: 3) menjelaskan: “multicultural education is at least three things: an idea or concept, an educational reform movement, and a process. Multicultural education incorporates the idea that alla students regardless of their gender and social class and their ethnic, racial, or cultural characteristics should have an equal opportunity to learn in school”.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
Pendekatan multikultural dipilih sebagai strategi efektif dalam pemanfataan keberagaman peserta didik, alternatif ini dapat diciptakan pada kondisi peserta didik yang heterogen dengan berbagai latar belakang berbeda antara siswa satu dengan siswa yang lainnya. Dengan demikian, peserta didik dapat memahami bahwa latar belakang yang berbeda tersebut mampu menciptakan hubungan sosial yang positif. Selain itu, guru dapat mencover perbedaan-perbedaan yang ada menjadi sumber belajar bagi siswa, sehingga pada akhirnya siswa mendapatkan kesempatan yang sama dalam memperoleh pengetahuan. Prinsip lain, yang ingin dibangun adalah terciptanya keadilan dan kesetaraan dalam keseluruhan proses pembelajaran. Apabila proses pembelajaran telah berjalan dengan baik dan dilakukan secara berkelanjutan melalui multipel strategi yang berbasis multikultural, maka pembentukan karakter dapat dengan mudah dilakukan melalui pembiasaan (habituation). Sehingga output dari proses pembelajaran bukan hanya terletak pada ranah kognitif, akan tetapi menyentuh pada pembentukan softskill, serta menghasilkan kualitas sumber daya manusia yang tangguh dalam mengahadapi tantang dan perubahan zaman. SIMPULAN Pendidikan karakter merupakan pilar utama dalam pembentukan pribadi seseorang melalui jenjang pendidikan. Oleh karena itu, pendidikan karakter harus mampu menginternalisasi semua nilai-nilai “positif” sebagai landasan berfikir, bersikap, dan bertindak. Dengan kata lain dunia pendidikan harus dapat berperan aktif menyiapkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang terdidik dan mampu menghadapi berbagai tantangan zaman. Adapun pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada seluruh warga masyarakat melalui pendidikan formal ataupun informal yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran, kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan keseluruhan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan pendidikan moral atau pendidikan akhlak, sehingga pendidikan nilai yang disajikan menjadi kompleks apabila didasarkan juga dengan nilai-nilai luhur bersumber dari budaya bangsa sendiri. Perspektif multikultural mencoba untuk mengenali dan menganalisis kritis tentang perbedaan-perbedaan yang melekat pada peserta didik, sebab perbedaan-perbedaan tersebut akan mempengaruhi gaya belajar peserta didik, dan hal itu harus secara langsung disadari oleh guru agar tidak terjadi diskriminasi dalam proses pembelajaran, guru harus mampu melihat perbedaan sebagai kekuatan dalam rangka mengembangkan ruang kelas yang responsif secara kultur. Guru atau pendidik berinovasi untuk menggunakan multipel strategi dalam proses pembelajaran, sebab dengan menerapkan multipel strategi yang berbasis multikultural, guru akan dapat mencapai tujuan pembelajaran secara utuh, serta sekaligus merupakan langkah penting dalam membentuk karakter siswa. Proses pembelajaran yang dirancang bukan hanya sesuai kebutuhan siswa, tetapi juga disesuaikan dengan tuntutan zaman. Peserta didik dewasa ini dihadapkan dengan arus globalisasi dan permasalahanpermasalahan yang sangat kompleks pada tataran kehidupan bermasyarakat. Sehingga proses belajar mengajar yang tepat untuk mencapai dan membentuk karakter peserta didik yang tangguh dapat dilakukan melalui strategi pembelajaran berbasis masalah dengan menggunakan pendekatan multikultural.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
DAFTAR PUSTAKA Arends, Richard I. (1997). Classroom Instruction and Management. USA: the Mc.GrawHill Companies. Arthur, James. 2003. Education with Character. Newyork: Taylor and Frances. Banks, J.A., & Banks, M.C. 2005. Multicultural Education; Issues and Perspectives 5nd ed. New York: John Wiley and Sons. Cruickshank, Donald R., Deborah L. Bainer dan Kim K. Metcalf. 1999. The Act of Teaching . 2nd Ed. Boston : McGraw -Hill College. Hanum, Farida. 2010. Pendidikan Multikultural Sebagai Sarana Membentuk Karakter Bangsa. Yogyakarta:Universitas Negeri Yogyakarta. Diakses tanggal 17 Februari 2015. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/pengabdian/farida-hanum-msi-dr/pend multikultural-sebagai-pembentuk-karakter-bangsa-2010.pdf. Hidayatullah, Akmad. 2012. Implementasi Pendidikan Multikultural dalam Praksis Pendidikan di Indonesia. Jurnal Pembangunan Pendidikan, 1, 1, 75. Kemendiknas. (2010). Bahan Pelatihan: Pengembangan Pengembangan Pendidikan Budaya Sekolah Dan Karakter Bangsa. Jakarta. Koesman. Doni. 2007. Pendidikan Karakter: Strategi Mendidik Anak Dizaman Global. Jakarta: Grasindo. Levin, Barbara B. (2001). Energizing Teacher Education and Professional Development with Problem Based Learnig. Beauregard St. Alexandria (USA): Association for Supervision and Curriculum Development Lickona, Thomas. 2013. Pendidikan Karakter, Panduan Lengkap Mendidik Siswa Menjadi Pintar Dan Baik (Terjemahan Lita S). New York: Bantam book (buku asli terbit tahun 1991). Marzuki. 2012. Pengintegrasian Pendidikan Karakter dalam Pembelajran di Sekolah. Jurnal Pendidikan Karakter, 2, 1, 36. Megawangi, Ratna. 2004. Pendidikan Karakter Solusi Yang Tepat Untuk Mebangun Bangsa. Jakarta: Star Energy. Mulyasa, H.E. 2013. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara. Muslich, Mansur. 2011. Pendidikan Karakter; Multidimensional. Jakarta: Bumi Aksara.
Menjawab
Tantangan
Kritis
Nieto, Sonia. 1992. Affirming Diversity: The Sociopolitical Context of Multicultural Education. New York: Longman. Rohani, Ahmad. 2004. Pengelolaan Pengajaran. Jakarta: PT. Rhineka Cipta. Sanjaya, Wina. 2013. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana.
Prosiding Seminar Nasional dan Call for Paper ke-2 “Pengintegrasian Nilai Karakter dalam Pembelajaran Kreatif di Era Masyarakat Ekonomi ASEAN”
2016
Setiawan, Deni. 2013. Peran Pendidikan Karakter dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral. Yogyakarta: FIS Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Karakter, 3, 1, 54. Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning. Second Edition, Boston: Allyn and Bacon. Sleeter, C.E. 2014. Multiculturalsm and Education for Citizenship in A Context of Neoliberalism. New York: Routledge. Diakses tanggal 20 Februari 2015. https://www.academia.edu/6856381/Sleeter_Multicultural_education_and_citizens hip. Sudjana, Nana. 1996. CBSA Cara Belajar Siswa Sktif dalam Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru. Sudrajat, Ajat. 2011. Mengapa Pendidikan Karakter. Jurnal Pendidikan Karakter, 2, 4, 2. Sujarwo. 2010. Implementasi Pembelajaran Kooperatif Mengembangkan Kecerdasan Emosional. Yogyakarta: Yogyakarta.
dalam Membantu Universitas Negeri
Suyanto & Asep Jihad. 2013. Menjadi Guru Profesional; Startegi Meningkatkan Kualifikasi dan Kualitas Guru di Era Global. Yogyakarta: Erlangga. Suyitno, Imam. 2012. Pengembangan Pendidikan Karakter dan Budaya Bangsa Berwawasan Kearifan Lokal. Yogyakarta: FBS Universitas Negeri Yogyakarta. Jurnal Pendidikan Karakter, 2, 1, 2-3. Tilaar, HAR. 2004. Multikulturalisme Tantangan-Tantangan Global Masa Depan dan Transformasi Pendidikan Nasional, Jakarta: Grasindo. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Wibowo, Agus. 2012. Pendidikan Karakter: Strategi Membangun Bangsa Berparadigma. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.