-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
MENDORONG EKSISTENSI KARAKTER BANGSA MELALUI SASTRA DAERAH DALAM RANGKA MENGHADAPI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN (MEA) Herlina Program Pascasarjana Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia FKIP Universitas Sebelas Maret Surakarta
[email protected]
Abstract Literature is the identity of a local area, because it contains the values and norms pertaining to the philosophy of life of a tribe, nation and state. Philosophy of life that is the guideline in society, without any philosophy of life of course the life of a group will oscillate. As the identity of a group, then it should be in the cross-cultural relationships we remain guided by the culture that surrounds our lives, in order to create the feel of life that is patterned, which have distinctive characteristics that differentiate it from the others. Patterned life is derived from the values of life that is inherited, born of the manners and habits of a group to form a strong character. In the face of the ASEAN Economic Community, which involves a form of communication between countries of different cultures, there will be a clash of cultures that sometimes drown someone on the wrong behavior patterns. Therefore, revive the regional literature in shades of statehood would be a strong shield to maintain the existence of a nation. Keywords: regional literature, philosophy, culture, cross-cultural communication
Abstrak Sastra daerah merupakan identitas daerah, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai dan normanorma yang berkaitan dengan falsafah hidup suatu suku, bangsa maupun negara. Falsafah hidup inilah yang menjadi pedoman dalam bermasyarakat, tanpa adanya falsafah hidup tentu saja kehidupan suatu golongan akan terombang-ambing. Sebagai identitas suatu golongan, maka mestinya dalam pergaulan lintas budaya kita tetap berpedoman pada budaya yang melingkupi kehidupan kita, agar tercipta nuansa kehidupan yang berpola, yang mempunyai ciri-ciri yang khas yang dapat membedakannya dengan yang lainnya. Kehidupan yang berpola merupakan turunan dari nilai-nilai kehidupan yang diwariskan, dilahirkan dari adab dan kebiasaan suatu golongan untuk membentuk karakter yang kuat. Dalam menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN, yang melibatkan bentuk komunikasi antar negara yang berbeda budaya, akan terjadi benturan budaya yang kadangkadang menenggelamkan seseorang pada pola prilaku yang salah. Oleh karena itu, membangkitkan kembali sastra daerah dalam nuansa kehidupan bernegara akan menjadi tameng yang kuat dalam mempertahankan eksistensi bangsa. Kata kunci: sastra daerah, falsafah hidup, budaya, komunikasi lintas budaya
Pendahuluan Sastra daerah merupakan sastra yang tumbuh di daerah tertentu, menceritakan segala sesuatu yang berkenaan dengan karakteristik suatu daerah. Lakon yang diperankan dalam cerita daerah tentu saja mewakili kekhasan yang memiliki sastra tersebut. Oleh karena itu, sastra daerah dapat memberi pengajaran kepada pembacanya mengenai masyarakat yang diceritakan dalam sastra tersebut. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi dari karya sastra, yaitu fungsi didaktif, yakni sastra dapat memberikan wawasan pengetahuan tentang seluk beluk kehidupan manusia; fungsi moralitas, yakni sastra dapat memberikan pengetahuan mengenai moral yang baik dan buruk kepada pembacanya. Sastra daerah yaitu sastra yang tumbuh dan berkembang di suatu daerah tertentu. Sifat dari sastra daerah yang anonim mengindikasikan bahwa sesungguhnya sastra daerah bukan milik satu orang, tetapi meliputi seluruh daerah yang menjadi objek cerita dari sastra tersebut. Sastra daerah diturunkan secara turun-temurun, penyebarannya dari mulut ke mulut. Oleh karena itu, bukan tidak mungkin dari masa ke masa sastra daerah yang berkembang sudah 565
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
jauh dari cerita aslinya, bahkan bisa punah dari generasi berikutnya. Penulis merasa penting menekankan bahwa mulai saat ini pengajaran sastra di sekolah-sekolah lebih mengutamakan sastra lokal demi tetap mempertahankan kelestariannya. Berbicara mengenai seluk beluk, berarti kita dibawa pada kondisi yang mengakar, yang mendarah daging dalam suatu masyarakat. Salah satunya ialah budaya. Budaya adalah sesuatu yang melekat pada suatu daerah tertentu, bahkan budaya terkadang menjadi pengenal atau menunjukkan suatu identitas kepada orang lain. Di dalam budaya terkandung suatu nilai yang dijadikan pedoman dalam bertingkah laku. Hal ini sesuai dengan pendapat Liliweri (2007: 7) “kebudayaan itu mempengaruhi nilai-nilai yang dimiliki manusia, bahkan mempengaruhi sikap dan prilaku manusia. Dengan kata lain, semua manusia merupakan aktor kebudayaan karena manusia bertindak dalam lingkup kebudayaan”. Lebih lanjut dia mengatakan bahwa “ kebudayaan mempengaruhi perilaku manusia karena setiap orang akan menempatkan kebudayaannya takkala dia bertindak” (Liliweri, 2007: 10). Jadi apabila seseorang bertingkah laku tidak sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam budayanya, maka seseorang itu dianggap tidak baik oleh masyarakatnya, bahkan terkadang dikucilkan dari lingkungan sosialnya. Pembahasan 1. Sastra Daerah Mengandung Kearifan Lokal Ini adalah salah satu alasan yang mendasar bahwa sastra daerah di sekolah perlu diperkenalkan kepada peserta didiknya. Peserta didik akan lebih mudah menerapkan pola tingkah laku yang diharapkan apabila peserta didik berhadapan langsung dengan berbagai contoh yang diuraikan oleh gurunya., Mengandung kearifan lokal di sini bermakna segala sesuatu yang berkaitan dengan nilai-nilai, nilai yang baik dan yang buruk, yang menjadi pedoman hidup sekelompok orang di tempat tertentu yang biasanya dinamakan adat istiadat atau adat kebiasaan dan istilah lainnya. Menurut Buwono, (tanpa tahun: 25) bahwa adat kebiasaan yang terbentuk secara alamiah-sesuai dengan kodrat dan itrah manusia, dimanapun adanya dan kapanpun munculnya, mestilah baik. Adat kebiasaan itu seperti merupakan tindakan sosial yang diulang-ulang dan kemudian mengalami penguatan (Reinforcement). Pengulangan yang alamiah dan sukarela hanya mungkin terjadi jika itu mengandung kebaikan (kemaslahatan). Masih menurut Buwono (tanpa tahun: 25) bahwa permasalahan budaya daerah saat ini, pengaruh arus budaya luar, kearifan lokal yang berasal dari budaya daerah yang dapat dijadikan “modal dasar baru” bagi persatuan dan kesatuan bangsa. Satu hal yang mesti sama-sama kita renungkan ialah berpijak dari anggapan Schein (dalam Buwono, (tanpa tahun: 28) “Culture and leadership are really two sides of the same coin one can not understandone without the other” yakni pembangunan yang mengabaikan kearifan tradisi dan nilai-nilai budaya masyarakat lokal akan bermasalah karena kurang mempertimbangkan dimensi sosial budaya yang menjadi bingkai laku hidup masyarakat tersebut. 2. Merancang Materi Pembelajaran Berbasis Sastra Daerah Materi pembelajaran adalah hal-hal yang disampaikan dalam proses pembelajaran. Materi pelajaran dapat berupa isik maupun non isik. Menanggapi keadaan pendidikan dewasa ini, Sepatutnya menjadi pemikiran kita bersama bahwa dunia pendidikan sekarang yang terkesan dekat dengan tawuran, perlahan tapi pasti kita ubah menjadi generasi yang berharkat dan bermartabat, salah satunya yaitu dengan cara melibatkan materi mengenai sastra daerah dalam pengajaran sastra yang seperti kita ketahui bersama bahwa sastra daerah sangat kaya akan nilai-nilai pendidikan, terutama nilai sosial dan nilai budaya yang nantinya akan sangat membantu generasi bangsa berinteraksi dan beradaptasi dengan bangsa lain. Dalam hal ini, nilai-nilai kearifan lokal sebagai salah satu falsafah hidup akan berfungsi sebagai ilter ketika berinteraksi dan beradaptasi dengan bangsa lain.
566
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Konsep yang melekat mengenai sastra daerah dalam tulisan ini adalah “budaya”, karena dalam sastra daerah akan selalu bermuatan budaya yang sangat kental. mengapa begitu penting bagi penulis untuk menulis subjudul ini, dilatarbelakangi oleh ketertarikan penulis pada sebuah buku yang ditulis oleh Sarlito W. Sarwono yang berjudul “Psikologi Lintas Budaya”. Di dalam buku tersebut dipaparkan dengan sangat jelas bahwa budaya suatu golongan, bangsa dan negara mempunyai pengaruh yang besar terhadap berbagai aspek, diantaranya hubungan budaya dan pemecahan masalah (2014: 28), budaya dan berpikir dialektik (2014: 29), budaya dan kesadaran (2014: 30), budaya dan intelegensi (2014: 31), dan lain-lain. Menyadari akan hal itu, sepatutnya yang kita harus dilakukan, sebagai tenaga pendidik dalam mengemas materi pembelajaran harus berorientasi pada sastra daerah, mengingat begitu luar biasanya pengaruh dari budaya terhadap kehidupan generasi yang akan datang. Tentu saja materi pembelajaran yang disajikan di akhir pembelajaran lebih bersifat komparatif (membandingkan sastra daerah lintas budaya), karena bagaimanapun juga kita mestilah melangkah maju (berorientasi pada kebaharuan dengan tidak melupakan akar budaya kita) jika menginginkan generasi yang mampu bersaing. Bercermin dari uraian Koesoema ( 2007: 10) bahwa aktivitas pendidikan sejak awal telah menjadi cara bertindak dari sebuah masyarakat. Dengannya manusia melanggengkan warisan budayanya. Kepada generasi yang lebih muda mereka mereka mewariskan nilai-nilai yang menjadi bagian penting dalam kultur masyarakat tempat mereka hidup. Jika proses pewarisan ini tidak terjadi, nilai-nilai yang telah menghidupi masyarakat dan kebudayaan tersebut terancam punahdengan kematian para anggotanya. Oleh karena itu, pendidikan memiliki peran vital sebab menentukan tidak hanya keberlangsungan masyarakat, namun juga mengukuhkan identitas individu dalam sebuah masyarakat. Pendapat di atas semakin meyakinkan penulis bahwa salah satu cara yang dipandang paling efektif mengembalikan karakter anak bangsa ialah melalui jalur pendidikan. melalui pendidikan budaya dilanggengkan, melalui budaya, nilai-nilai kehidupan ditanamkan. 3. Eksistensi Bangsa Sangat Bergantung pada Kuatnya Karakter Anak Bangsa Sastra daerah ibarat cermin kepribadian bangsa, dikatakan sebagai cermin karena sastra daerah benar-benar utuh menggambarkan karakteristik kepribadian suatu kelompok tertentu. apabila pada diri generasi muda ditanamkan kepribadian yang kuat sesuai dengan budaya yang dimilikinya, di situlah letak kekuatan yang sesungguhnya dari bangsa, tidak mudah terombangambing oleh arus globalisasi yang pekat dengan kontak budaya, yang apabila tidak hati-hati bukan tidak mungkin wajah bangsa ini berganti dengan wajah bangsa lain. Kejatidirian menjadi hilang, semangat kebangsaan menjadi menurun, kebanggaan sebagai bangsa Indonesia menjadi lenyap. Contoh nyata dari adanya kontak budaya, dan kita sebagai bangsa tidak kuat berpegang pada tradisi kita yaitu mentalitas yang suka menerabas (mentalitas mencari jalan yang paling gampang) (Koentjaraningrat, 2002: 46). Budaya ini mulai berkembang pada zaman penjajahan Jepang dan tidak mampu dikendalikan oleh orang Indonesia, jika kita melihat kekinian dari mentalitas ini yaitu merebaknya jasa penjualan ijazah palsu dan penutupan beberapa perguruan tinggi yang memberi jasa kuliah kilat. Koentjaraningrat (2002: 48) menuliskan bahwa “dalam masyarakat Indonesia yang tradisional, rupa-rupanya ada pula konsep-konsep adat yang berfungsi sebagai pengekang mentalitas mencari jalan paling gampang itu,” ini terlihat dari peribahasa “orang yang belum mantu, yang belum mengawinkan anaknya yang pertama, pantang membangun rumah” peribahasa ini bermaksud mencegah mentalitas menerabas. Contoh di atas memberi sesuatu yang nyata di hadapan kita bahwa hanya bangsa yang berkarakter kuat yang nantinya mampu menghadapi tantangan global, karena mau atau tidak kita mesti menghadapi masa itu. Eksistensi di sini mengandung pengertian bahwa suatu bangsa 567
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
yang terlibat kontak budaya, namun bangsa tersebut mampu mempertahankan kejatidiriannya di antara pesatnya kebudayaan yang berkembang disampingnya. Menurut Saputra (2010: :5) “sifat kebudayaan di manapun di muka bumi ini senantiasa dinamis. Hanya saja perubahan kebudayaan ada yang cepat dan ada yang lambat. Oleh karena itu, ada unsur kebudayaan yang sudah hilang atau tidak lagi diketahui walaupun dahulunya ada dan ada yang masih bertahan tetapi sudah mengalami perubahan....” perubahan yang dimaksud tentu bukan perubahan yang benar-benar hilang kejatidiriannya, namun kejatidirian tersebut disempurnakan lagi oleh kebaharuan tersebut. Salah satu contoh sastra daerah yang begitu kita kenal adalah cerita rakyat, cerita rakyat sering diceritakan oleh orang tua ketika hendak menidurkan anaknya, namun sekarang ini kebiasaan tersebut berangsur-angsur hilang, para orang tua lebih senang memutarkan lagu dan sebagainya untuk menidurkan anaknya, sehingga semakin menjauhkan anak-anak dari sastra daerah. Keadaan ini rupanya turut memperkeruh buramnya karakter anak bangsa zaman sekarang. Apabila kita bercermin dari pendapat Bascom (dalam Danandjaja, 1997: 19), bahwa salah satu fungsi cerita rakyat yaitu sebagai alat pendidikan anak (pedagogical devie). Hal ini patut menjadi pemikiran kita bersama bahwa membangkitkan kecintaan terhadap sastra daerah perlu dilakukan dengan cara selalu memperkenalkan kepada anak didik kita. Kontak Budaya dalam Menghadapi MEA Dalam menghadapi MEA, akan selalu melibatkan bentuk komunikasi antar negara (komunikasi internasional). Kondisi semacam ini akan mengakibatkan kontak budaya, karena masing-masing negara tentu akan membawa kebudayaan yang melekat pada diri mereka. Budaya dari luar tidak serta merta cocok dengan kebudayaan kita, bahkan seringkali bertentangan, pada kondisi yang seperti ini diperlukan kepekaan masyarakat dalam memilih dan memilah budaya yang seperti apa yang boleh kita tiru, dalam hal ini memerlukan evaluasi dalam diri seseorang mengenai budaya luar yang mau tidak mau akan kita hadapi. Kebudayaan dewasa ini dipengaruhi oleh suatu perkembangan yang pesat, dan manusia modern sadar akan hal ini, lebih dari dulu manusia dewasa ini sadar akan kebudayaannya. Kesadaran ini merupakan suatu kepekaan yang mendorong manusia agar dia secara kritis menilai kebudayaan yang sedang berlangsung. Evaluasi serupa ini dapat menghasilkan, agar dia secara praktis menyusun kembali kebudayaannya sendiri (Peursen, 1988: 16). Pendapat di atas menyiratkan makna bahwa dalam keadaan sadar kita dipengaruhi oleh kebudayaan luar, tetapi yang perlu digarisbawahi bahwa pernyataan “menyusun kembali kebudayaannya sendiri” menyiratkan makna yang begitu dalam bahwa dengan masuknya budaya luar tidak membuat kita benar-benar tercerabut dari akar budaya kita sendiri, justru yang memang tidak bisa dihindari. Budaya luar yang masuk perlu kita saring, dievaluasi sesuai ataukah bertentangan dengan kebudayaan kita. “Menyusun” bermakna menata kebudayaan kita agar tidak ketinggalan zaman, faktanya bahwa segala sesuatu yang ketinggalan zaman justru tidak akan bisa bersaing apalagi mengalami kemajuan. Kontak budaya terjadi apabila adanya pertemuan dua kebudayaan atau lebih akibat dari adanya interaksi individu yang berlainan budaya. Bisa membawa perubahan yang positif dan negatif, interaksi yang akan membawa pesan-pesan komunikasi. menurut Suwarwinadi (dalam Jurnal Exposure, Volume 1, 2012: 359 tulisan Zein) pesan-pesan inovasi yang dihasilkan akibat adanya kontak budaya dapat berperan sebagai motivator, jika mempunyai kriteria sebagai berikut, di antaranya: (a). Relative advantage, yaitu derajat sampai inovasi dianggap lebih baik dari yang sudah ada, (b). Compatability merupakan kesesuaian, yaitu derajat kesesuaian inovasi dengan keyakinan, sikap, nilai, pengalaman, dan kebutuhan penerimanya. Relative advantage bersifat memperbaharui budaya agar lebih maju dan berdaya saing, sedangkan compatability bersifat penyaringan terhadap kebudayaan yang masuk, apakah cocok dengan nilai-nilai 568
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
kehidupan yang kita anut. Budaya merupakan produk dari pemikiran manusia yang membentuk pola berpikir dan bertingkah laku, dapat dimengerti bahwa ketika budaya meresap dalam pola berpikir dan bertingkah laku, maka budaya dijadikan pedoman atau falsafah hidup. Arah dari setiap tindakan akan selalu menyesuaikan dengan budaya. Dikaitkan dengan pemaparan di atas, apabila kita, sebagai pemilik suatu kebudayaan, membiarkan saja pola pikir kita terkungkung oleh produk lama, maka kita tidak akan bisa menyelaraskan langkah kita dengan bangsa lain. Tetapi yang perlu diingat bahwa nilai-nilai kebaikan, kebajikan, sebagai karakter bangsa kita tetap dipertahankan. Kroeber dan Kluckhohn (dalam Sutrisno dan Putranto, 2005: 9) memaparkan enam pemahaman pokok mengenai budaya, yaitu (1) de inisi deskriptif: cenderung melihat budaya sebagai totalitas komprehensif yang menyusun keseluruhan hidup sosial sekaligus menunjukkan sejumlah ranah (bidang kajian) yang membentuk budaya; (2) de inisi historis: cenderung melihat budaya yang dialih-turunkan dari generasi satu ke generasi berikutnya; (3) de inisi normatif: bisa mengambil dua bentuk. Yang pertama, budaya adalah aturan atau jalan hidup yang membentuk pola-pola perilaku dan tindakan yang konkret. Yang kedua, menekankan peran gugus nilai tanpa mengacu pada perilaku; (4) de inisi psikologis: cenderung memberi tekanan pada peran budaya sebagai peranti pemecahan masalah yang membuat orang bisa berkomunikasi, belajar, atau memenuhi kebutuhan material maupun emosionalnya; (5) de inisi struktural: menunjuk pada hubungan atau keterkaitan antara aspek-aspek yang terpisah dari budaya sekaligus menyoroti fakta bahwa budaya adalah abstraksi yang berbeda dari perilaku konkret; (6) de inisi genetis: melihat asal usul bagaimana budaya itu bisa eksis atau tetap bertahan. Jadi sangat kompleks sekali makna yang terkandung dalam kata kebudayaan itu sendiri. Kebudayaan menyentuh berbagai sisi dan dimensi kehidupan manusia, tanpa budaya tentu kehidupan manusia akan terombang ambing karena kebudayaan adalah identitas, pengikat dalam norma yang dianut oleh suatu masyarakat. Simpulan Eksistensi bangsa sangat bergantung pada generasi muda, salah satu faktor yang dapat mewujudkan eksistensi adalah karakter yang kuat dari generasi muda. Karakter menjadi penentu perjalanan sebuah bangsa ke depannya. Untuk mewujudkan generasi yang berkarakter, salah satunya dengan cara menyampaikan secara terus menerus nilai-nilai kehidupan masyarakat. Salah satu media yang handal ialah sastra daerah yang mengandung pengajaran hidup dalam bermasyarakat, dalam hal ini budaya, baik di tingkat nasional maupun internasional, agar generasi muda hidup sesuai norma kemasyarakatannya.
Daftar Pustaka Buwono X, Sultan Hamengku. Tanpa Tahun. Merajut Kembali Keindonesiaan Kita. Tanpa tempat terbit: Gramedia. Danandjaja, James. 1997. Folklor Indonesia. Jakarta: PT Pustaka Gra itri. Zein, Sherman, 2012. Jurnal Exposure: Journal of Advanced Communication. Volume 2, Nomor 1, tahun 2012. Liliweri, Aldo. 2007. Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta: PT LKIS Pelangi Aksara. Koentjaraningrat. 2002. Kebudayaan Mentalitas Dan Pembangunan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 569
-Konferensi Nasional Bahasa dan Sastra III-
Koesoema, Doni. 2007. Pendidikan Karakter. Jakarta: Grasindo Peursen, C.A. Van. 1988. Strategi Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Saputra, Syahrial De. 2010. Kearifan Lokal Yang Terkandung Dalam Upacara Tradisional Kepercayaan Masyarakat Sakai-Riau. Tanjung Pinang: Kementreian Kebudayaan dan Pariwisata Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional. Sarwono, Sarlito W. 2014. Psikologi lintas budaya. Jakarta: PT RajaGra indo Persada. Sutrisno, Mudji dan Putranto, Hendar. 2005. Teori-Teori Kebudayaan. Yogyakarta: kanisius.
570