IMPLEMENTASI PROGRAM GLOBAL FOREST AND TRADE NETWORK OLEH WORLD WIDE FUND INDONESIA DI KALIMANTAN TIMUR TAHUN (STUDI KASUS PT

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, 2015, 3 (2): 245-260 ISSN 0000-0000, ejournal.hi.fisip-unmul.org © Copyright 2015

IMPLEMENTASI PROGRAM GLOBAL FOREST AND TRADE NETWORK OLEH WORLD WIDE FUND INDONESIA DI KALIMANTAN TIMUR TAHUN 2009-2014 (STUDI KASUS PT. RATAH TIMBER) Muhammad Arie Pratama1 Abstrak

Isu lingkungan saat ini merupakan sebuah permasalahan yang menjadi perbincangan dalam lingkup komunitas global. Isu ini saat ini menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari adanya kerusakan hutan yang menjadi salah satu penyebabnya. Sektor kehutanan saat ini menjadi aspek yang memegang peran penting dalam menjaga lingkungan. Penelitian ini berusaha menggambarkan tentang implementasi program Global Forest and Trade Network oleh World Wide Fund di Kalimantan Timur, tepatnya di PT. Ratah Timber sebagai sebuah industri yang bergerak dalam bidang kehutanan. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptif untuk menggambarkan bagaimana implementasi program Global Forest and Trade Network dalam mendampingi dan membantu PT. Ratah Timber dalam pengelolaan hutannya. Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder yakni dengan melakukan interview secara langsung terhadap narasumber dan menggunakan data literatur yang bersumber dari buku, jurnal, internet dan sumber lainnya, dengan teknik analisis studi literarur (library research). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa program GFTN masih memerlukan waktu untuk lebih berkembang lagi didalam membantu lebih banyak lagi perusahaan dalam melakukan pengelolaan hutan yang lestari. Namun demikian, kehadiran WWF Indonesia telah membuktikan bahwa program GFTN berangkat untuk membuktikan bahwa bisnis dan pasar juga memiliki kekuatan untuk menghentikan pembalakan liar dan mendorong perbaikan di lingkungan global saat ini. Kata Kunci: Implementasi Program, GFTN, WWF, Indonesia. Pendahuluan Saat ini Indonesia merupakan negara yang memiliki hutan terluas ketiga di dunia setelah Brazil dan Zaire (http://www.wri.org/sites). Dengan adanya kekayaan sumber daya alam tersebut, sebagai negara berkembang pemerintah 1

Mahasiswa Program S1 Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Mulawarman, Email : [email protected]

eJournal Ilmu Hubungan Internasional, Volume 3, Nomor 2, 2015: 245-260

sangat bergantung pada sektor kehutanan maupun yang terkait dengan kehutanan seperti pertanian, perkebunan, dan pertambangan sebagai aset bagi pembangunan nasional. Selain memberikan dampak positif bagi Indonesia dalam hal pemasukan devisa negara, sektor pemanfaatan hasil hutan juga membawa dampak negatif yang harus menjadi perhatian bagi semua kalangan terkait. Pada saat ini selain julukan negara dengan hutan tropis alami terbesar didunia, Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat kerusakan hutan yang paling tinggi, lebih cepat dari negara-negara pemilik hutan lain didunia. Dalam buku rekor dunia Guinness edisi 2008, tertulis dari 44 negara yang secara kolektif memiliki 90% hutan di seluruh dunia, negara yang meraih tingkat laju deforestasi tahunan tercepat di dunia adalah Indonesia.(http://gftn.panda.org) Salah satu hal yang menyebabkan terjadinya kerusakan hutan adalah maraknya industri dalam penebangan dan pemanfaatan hasil hutan. Hal ini juga tidak terlepas dari kebijakan pemerintah yang menerapkan aturan ketat mengenai izin usaha dalam kegiatan industri kehutanan sehingga menjadikan sebagian pihak yang tidak bertanggung jawab melakukan kegiatan illegal logging sebagai pilihan. Berkaitan dengan pemanfaatan hasil hutan, Kalimantan Timur dikenal sebagai salah satu penghasil kayu terbesar di Indonesia, dimana produksi tertinggi pernah dicapai pada tahun 1978/1979 yaitu sebanyak 10.158.552,80 m3 atau 40,63% dari produksi kayu dari seluruh Indonesia pada saat itu. (http://forda-mof.org/) Disamping adanya upaya pemerintah dalam melindungi dan menjaga kawasan hutan Indonesia, sebagai lembaga internasional non-pemerintah yang fokus terhadap masalah-masalah tentang konservasi, penelitian dan restorasi lingkungan, lembaga internasional World Wide Fund (WWF) saat ini juga turut berupaya menangani permasalahan dan perlindungan hutan di seluruh dunia, termasuk hutan di Indonesia. Berkaitan mengenai perlindungan hutan, saat ini WWF memiliki sebuah program yang dinamakan Global Forest and Trade Network atau GFTN, Global Forest & Trade Network (GFTN) ini adalah salah satu program inisiatif WWF dalam mencapai pengelolaan hutan berkelanjutan melalui proses sertifikasi yang diaplikasikan dalam bentuk pendampingan terhadap perusahaan industri kehutanan. Program ini bertujuan untuk mendorong kegiatan pengelolaan hutan lestari dan memastikan bahwa jutaan hektar hutan menjadi independen dan tersertifikasi secara kredibel serta memiliki sebuah jaminan dimana hutan dikelola dengan baik dan produk mereka berasal dari penebangan hutan yang legal dan berkelanjutan Saat ini GFTN Indonesia memiliki 28 anggota (17 perusahaan/trade participants dan 11 HPH/ forest participants). Program GFTN Indonesia mulai dilaksanakan di Kalimantan Timur pada tahun 2006, kegiatan pendampingan GFTN pada saat itu pertama kalinya di Kalimantan Timur terhadap perusahaan industri kayu yang bernama PT. Sumalindo Jaya Lestari II.(gftn.panda.org) 246

Implementasi Global & Trade Network WWF Indonesia di Kaltim (M.Arie Pratama)

Sampai saat ini program GFTN masih terus dilakukan melalui pendampingan terhadap perusahaan industri kehutanan yang ada di Kalimantan Timur. Perusahaan tersebut salah satunya yakni PT. Ratah Timber. PT. Ratah Timber merupakan sebuah perusahaan dampingan GFTN yang terletak di Provinsi Kalimantan Timur tepatnya di Kutai Barat. PT. Ratah Timber saat ini merupakan salah satu perusahaan kehutanan terbesar di Kalimantan Timur. Perusahaan ini bergerak dibidang produksi kayu logs dengan berbagai jenis kayu seperti meranti, bangkirai, nyatoh dan lain-lain. Dalam sejarahnya, PT. Ratah Timber memulai kegiatan usahanya pada tahun 1970 berdasarkan Keputusan Menteri Pertanian pada saat itu dengan SK HPH No:526/Kpts/Um/11/1970 dengan luas areal saat itu 125.000 ha. Perusahaan ini mulai menjadi dampingan GFTN sejak tahun 2009 dan tercatat masih aktif hingga saat ini.(ratah.co.id) Keberadaan WWF melalui programnya yakni GFTN dirasa menjadi sangat penting, dikarenakan pada saat ini kegiatan industri hutan terus meningkat dari waktu ke waktu seiring meningkatnya kebutuhan pembangunan masyarakat. Seperti yang diketahui bahwa program GFTN diharapkan dapat membantu mengurangi dampak dan mencegah kerusakan hutan yang ada di Kalimantan Timur khususnya pada areal konsensi hutan yang dimiliki oleh industri yang bergerak dalam bidang kehutanan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa masih terdapat hambatan-hambatan yang terjadi dalam implementasi program GFTN di Kalimantan Timur yakni di PT. Ratah Timber. Pengetahuan mengenai hambatan dan bagaimana implementasi program GFTN di PT. Ratah Timber menjadi penting untuk diketahui dan hal ini juga menjadi alasan penulis untuk meneliti lebih jauh mengenai implementasi program GFTN Indonesia oleh WWF Indonesia dalam mendorong kelestarian hutan di Kalimantan Timur, khususnya di PT. Ratah Timber. Kerangka Dasar Teori Konsep Implementasi Kebijakan Implementasi kebijakan merupakan tahap yang krusial dalam proses kebijakan publik. Suatu program kebijakan harus diimplementasikan agar mempunyai dampak atau tujuan yang diinginkan. Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian yang luas, merupakan tahap dari proses kebijakan segera setelah penetapan undang-undang. Implementasi dipandang secara luas mempunyai makna pelaksanaan undang-undang di mana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan dalam upaya untuk meraih tujuan-tujuan kebijakan atau programprogram. Menurut Van Meter dan Horn mengenai konsep implementasi kebijakan menerangkan bahwa implementasi kebijakan dapat diartikan dengan tindakantindakan yang dilakukan oleh individu-individu (dan kelompok) pemerintah dan swasta yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan sasaran yang telah 247


ditetapkan.https://www.academia.edu/6688520/IMPLEMENTASI_KEBIJAKAN _PUBLIK) Menurut Grindle, bahwa implementasi merupakan proses umum tindakan administratif yang dapat diteliti pada tingkat program tertentu. Proses implementasi baru akan dimulai apabila tujuan dan sasaran telah ditetapkan, program kegiatan telah tersusun dan dana telah siap serta telah disalurkan.(Merile S. Grindle 1980:7) Proses implementasi sendiri setidaknya terdapat tiga unsur penting yang saling terkait dan mutlak, yaitu, (Hoogerwerf:1983) : 1. Adanya Program atau kebijakan yang dilaksanakan 2. Target Groups, yaitu kelompok masyarakat yang menjadi sasaran, dan diharapkan dapat menerima manfaat dari program tersebut berupa perubahan atau peningkatan. 3. Unsur pelaksana (implementor), baik organisasi atau perorangan, yang bertanggung jawab atas pengelolaan, pelaksanaan, dan pengawasan dari proses implementasi tersebut. Kemudian berkaitan dengan pelaksana atau implementor menurut Lester dan Stewart, kebijakan dapat diklasifikasikan sebagai berikut yaitu: (1) Birokrasi, (2) Lembaga Legislatif, (3) Lembaga Peradilan, (4) Kelompokkelompok penekan, (5) Komunitas Organisasi. Green Politics Politik hijau merupakan ideologi politik yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat yang berkelanjutan secara ekologis yang berakar pada kepedulian terhadap lingkungan hidup, keadilan sosial dan kehidupan demokrasi yang dibangun dari perilaku dan budaya yang dimiliki setiap individu. (https://www.academia.edu/6110045/Politik_Hijau) Green politics dibangun berdasarkan dua konsep utama, yaitu keberlanjutan ekologis (ecological sustainability) serta desentralisasi tata kelola lingkungan, menjadi jalan alternatif bagi penyelesaian masalah lingkungan (www.bangazul.com/politik-hijau-atau-green-politics) Istilah ekologi politik secara etimologis berasal dari dua kata, yaitu ekologi dan politik. Ekologi difokuskan pada konteks sumberdaya alam. Artinya membahas ekologi berarti membahas sumberdaya alam. Sementara itu, istilah politik pada konteks ini berarti “kekuasaan”. Oleh karena itu secara sederhana ekologi politik mencermati persoalan sumberdaya alam sebagai persoalan sosial-politik. Yang dituntut dengan paradigma keberlanjutan ekologi adalah sebuah perubahan mendasar dalam kebijakan nasional, yang memberi prioritas pada kelestarian bentuk-bentuk kehidupan di planet ini, demi mencapai keberlanjutan ekologi. Jadi, yang menjadi sasaran utama bukan pembangunan itu sendiri, melainkan mempertahankan dan melestarikan ekologi serta seluruh kekayaan bentuk-bentuk kehidupan di dalamnya (A. Sonny Keraf 2006:187) 248


Menurut Bryant dan Bailey bahwa ekologi politik fokus pada usaha mempelajari sumber, kondisi, dan implikasi politik dari perubahan lingkungan hidup. Berkaitan dengan ecological sustainability, Naess mendefinisikan apa yang disebutnya dengan “keberlanjutan ekologi yang luas” sebagai ganti dari pembangunan berkelanjutan. Keberlanjutan ekologi ini akan dicapai kalau benar-benar dilakukan perubahan mendasar dalam kebijakan politik ekonomi menyangkut pertumbuhan ekonomi dan gaya hidup masyarakat yang konsumtif. Bahkan keberlanjutan ekologi ini akan dicapai pada level global kalau kebijakan di tingkat global benar-benar melindungi kekayaan dan keanekaragaman bentuk-bentuk kehidupan di planet ini.(www.bangazul.com/politik-hijau-atau-green-politics/) Metode Penelitian Dalam penelitian ini digunakan data-data primer dan sekunder melalui hasil wawancaradan hasil telaah pustaka melalui studi literatur (library research) yang dianalisis dengan analisis kualitatif, dimana permasalahan digambarkan berdasarkan fakta-fakta yang ada beserta sumber-sumber yang telah diperoleh baik dari pernyataan pihak yang berkompeten maupun sumber-sumber tertulis dan data yang terkumpul akan dihubungkan demi mendukung permasalahan yang diteliti. Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif yang digunakan untuk menggambarkan dalam hal ini implementasi program GFTN Indonesia oleh WWF Indonesia di Kalimantan Timur sepanjang tahun 20092014. Hasil Penelitian Pulau Kalimantan merupakan pulau terbesar ketiga di dunia yang terkenal dengan hutan tropisnya. Pulau ini memiliki luas sekitar 743.330 km2 dengan luas hutannya yang mencapai 40,8 juta hektar(http://file.upi.edu). Hutan Kalimantan dikenal dengan keanekaragaman hayatinya yang paling banyak di dunia. Menurut WWF, Pulau Kalimantan diperkirakan memiliki setidaknya 222 spesies mamalia (44 darinya khas), 420 burung yang menetap (37 khas), 100 amphibi, 394 ikan (19 khas), dan 15.000 tumbuhan (6.000 khas), lebih dari 400 dari yang telah ditemukan sejak tahun 1994. (http://world.mongabay.com/indonesian/borneo.html) Dengan luas hutan yang mencapai 40,8 juta hektar, pulau Kalimantan merupakan wilayah yang memiliki kawasan hutan terluas di Indonesia(profauna.net). Sumber daya hutan merupakan unsur lingkungan yang menjadi poin penting bagi kelangsungan hidup negara Indonesia. Ironisnya, pertumbuhan sektor kehutanan yang sangat pesat dan menggerakkan ekspor bagi perekonomian di tahun 1980-an dan 1990-an dicapai dengan mengorbankan hutan karena praktek kegiatan kehutanan yang tidak lestari sama sekali. Konsekuensinya, Indonesia tercatat sebagai negara penyumbang emisi terbesar ketiga di dunia yang berasal dari penebangan hutan yang 249


berlebihan dengan laju deforestasi mencapai 2 juta ha per tahun (http;//www.kompas.com/kompas-cetak/0309/16/opini/563606.htm). Saat ini WWF Indonesia merupakan salah satu organisasi konservasi terbesar yang ada di Indonesia dan merupakan bagian independen dari jaringan WWF global. Sesuai dengan visi dan misi WWF Global sebagai lembaga konservasi yang menaruh perhatian terhadap lingkungan, saat ini WWF memiliki sebuah program yang bernama Global Forest And Trade Management (GFTN). Adanya program GFTN diharapkan dapat mendukung upaya pengelolaan hutan lestari yang dilakukan oleh perusahaan pengolah kayu, IUUPHK dan pihak-pihak lain yang terkait dalam industri pemanfaatan hasil hutan.( Global Forest and Trade Network Kaleidoskop 2009) Membahas mengenai isu lingkungan pada saat ini tentu tidak bisa dilepaskan dari pembahasan mengenai hutan. Terkait dengan kehutanan, permasalahan illegal logging merupakan salah satu permasalahan serius yang menjadi topik perbincangan dalam isu lingkungan global. Melalui konferensi maupun dalam forum internasional telah banyak dibahas terkait upaya maupun tindak lanjut untuk menjaga kelestarian hutan yang berkesinambungan sesuai dengan prinsip ecological sustainability. Hal ini pernah diungkapkan dalam suatu pembahasan yang merupakan salah satu langkah penting dalam upaya awal menjaga kelestarian hutan yakni melalui terselenggaranya International Tropical Timber Organizations pada tahun 1990 yang berlangsung di Bali. Dalam pertemuan ini dihadiri oleh 59 negara yang termasuk dalam negara produsen maupun konsumen kayu, pertemuan ini menghasilkan kesepakatan dibentuknya suatu prosedur pengelolan hutan sebagai salah satu langkah menjaga kelestarian hutan melalui prisnsip keberlanjutan yakni dengan sertfikasi ecolabelling yang SFM (sustainable forest management) Implementasi Program GFTN Indonesia di PT. Ratah Timber Adanya program sertifikasi sustainable forest management semacam FSC merupakan salah bentuk sertifikasi hutan yang mengedepankan prinsip keberlanjutan hutan lestari melalui penerapan standar yang diwujudkan dalam pengelolan pemanfaatan hasil hutan. WWF Indonesia sebagai bagian dari jaringan WWF Internasional yang konsen pada issue lingkungan, juga berusaha untuk melakukan sebuah pendekatan yang memiliki tujuan untuk mempertahankan nilai-nilai lingkungan dan memberi keuntungan ekonomi maupun sosial, disamping juga sebagai tujuan utama WWF Indonesia dalam membantu mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari bagi setiap partnernya yang berkomitmen terhadap kelestarian lingkungan, dalam hal ini adalah PT. Ratah Timber. GFTN Indonesia berupaya mengimplementasikan program dengan melihat bahwa industri atau perusahaan yang bergerak dalam bidang pemanfaatan hasil hutan merupakan lingkup terkecil dari sebuah bagian usaha 250


untuk menjaga kelestarian hutan yang memiliki peran vital dalam konsensi kehutanan terkait kegiatan perusahaan tersebut dalam memanfaatkan hasil hutannya untuk menjaga bagaimana pengelolaan hutan dengan baik agar tetap sejalan dengan menjaga kelestarian lingkungan yang ada. Dengan keikutsertaan perusahaan dalam program GFTN, akan ada keuntungan yang didapat perusahaan melalui keanggotannya tersebut. Keuntungan ekonomi dan sosial yang berusaha untuk dicapai GFTN bagi merupakan keuntungan yang diwujudkan oleh GFTN dengan memfasilitasi partner atau anggotanya agar dapat mengembangkan kerjasama yang lebih luas dalam pasar Internasional dalam lingkup global khususnya dalam jaringan global GFTN yang tersebar di beberapa negara lainnya Bergabungnya PT. Ratah Timber secara resmi sebagai anggota GFTN pada tanggal 11 Februari 2010, dicapai melalui kesepakatan yang diwujudkan dalam bentuk Participation Agreement antara WWF Indonesia dengan PT. Ratah Timber. Dengan adanya kesepakatan tersebut, implementasi program GFTN mulai dilaksanakan di PT. Ratah Timber secara bertahap untuk diarahkan agar dapat memenuhi standar yang dikembangkan oleh Lembaga Sertifikasi Internasional dalam skema voluntary yaitu sertifikasi FSC dengan GFTN Indonesia yang memiliki fungsi sebagai pendamping PT. Ratah Timber dalam pencapaian proses sertifikasi tersebut. Keinginan PT. Ratah Timber dalam mengikuti sertifikasi hutan merupakan upaya dari visi mereka dalam mencapai pengelolaan hutan lestari baik melalui skema mandatory (PHPL-SVLK) yang diterapkan Pemerintah maupun mengikuti skema voluntary melaui lembaga sertifikasi internasional yakni FSC (Forest Stewardship Council) disamping menjadi keuntungan tersendiri bagi PT. Ratah Timber untuk menjual hasil pemanfaatan hutannya terhadap industri pengolah kayu yang ada di Indonesia untuk kemudian dijual di dalam maupun di luar negeri. Upaya yang dilakukan oleh PT. Ratah Timber tersebut merupakan sebuah langkah signifikan untuk lebih mengembangkan sistem pengelolaan hutan mereka secara lebih baik dengan standar sertifikasi yang bertaraf internasional melalui sertifikasi FSC. Alasan lain yang menjadikan PT. Ratah Timber berkeinginan untuk bergabung sebagai anggota GFTN adalah kebutuhan mereka terhadap proses pemenuhan sertifikasi FSC sebagai respon terhadap permintaan kayu yang bersertifikat FSC yang pada umumnya diinginkan oleh buyer yang berada di luar negeri. Dalam hal ini PT. Ratah Timber, memiliki kewajiban untuk memenuhi proses sertifikasi FSC sebagai industri penyuplai bahan baku kayu kepada PT. Tirta Mahakam selaku industri pengolah kayu yang menjual hasil olahan kayu tersebut untuk dijual ke pasar luar negeri khususnya di negaranegara Asia seperti China, dan Jepang maupun di beberapa negara Eropa. Beberapa unsur yang terdapat dalam Implementasi Program GFTN berdasarkan konsep Implementasi Kebijakan yakni diantaranya GFTN sebagai sebuah program, yang kemudian diikuti dengan perusahaan atau industri yang 251


bergerak di bidang pemanfaatan hasil hutan sebagai target groups dalam program GFTN Indonesia dan WWF Indonesia bertindak sebagai implementor atau unsur pelaksana. Sebagai sebuah program yang diinisasikan oleh WWF, GFTN Indonesia merupakan sebuah kebijakan atau tujuan dari WWF Indonesia dalam menjaga kelestarian ekologi serta fungsi hutan dengan menyediakan kesempatan dan kerjasama bagi setiap industri atau perusahaan dalam mencapai sistem pengelolaan hutan lestarinya dengan lebih baik dengan menekankan pada sistem sustainable forest management. Dalam hal pencapaian implementasinya, GFTN Indonesia memfokuskan program terhadap perusahaan maupun industri yang bergerak dalam bidang pemanfaatan hasil hutan. Sebagai sebuah program yang dinisiasikan oleh WWF Indonesia, GFTN Indonesia melakukan kerjasama dengan PT. Ratah Timer sebagai wujud dari komitmen perusahaan PT. Ratah Timber dalam mencapai pengelolaan hutan lestari melalui sertifikasi FSC. Melalui adanya kerjasama ini, diharapkan program GFTN Indonesia dapat diimplementasikan dengan baik oleh PT. Ratah Timber. Proses awal implementasi dimulai saat perusahaan ini bergabung sebagai anggota GFTN pada tahun 2008 dengan mengajukan aplikasi keanggotaan GFTN kepada WWF Indonesia Berdasarkan proses selanjutnya WWF Indonesia melakukan penyaringan awal terhadap perusahaan dengan menunjuk Global Forest Service sebagai konsultan untuk melakukan baseline audit. Baseline audit merupakan proses yang dilakukan untuk memotret kondisi awal PT. Ratah Timber terhadap standar FSC. meliputi; legalitas, Management plan, Change of Custody (lacak balak), Comercial, Social Environment. Hal ini dilakukan sebagai bagian dari unit analisis dalam implementasi program GFTN, untuk menetapkan serta menjabarkan aturan-aturan yang harus dipenuhi dalam proses sertifikasi FSC. Base Line Audit dilakukan untuk mencari gambaran kondisi awal PT. Ratah Timber terhadap standar FSC, dimana setelah diadakannya Base Line Audit dibuat laporan berupa Pre Evaluation untuk menutup kekuarangankekurangan yang dimiliki oleh PT. Ratah Timber terhadap standar FSC, baik itu dalam segi manajemen lapangan maupun di dalam perusahaan, kemudian manajemen social berkaitan dengan hubungan antar orang perorangan di perusahaan maupun hubungan perusahaan dengan penduduk setempat yang berada di sekitar kawasan hutan konsensi mereka. Akhirnya pada tahun 2010 dicapai sebuah kesepakatan secara resmi oleh GFTN Indonesia terhadap PT. Ratah Timber sebagai anggota mereka. Pada tahap pertama dalam proses implementasi programnya, GFTN Indonesia melakukan Pre Assesment yang bertujuan untuk menyusun langkah perbaikan yakni Certification Action Plan yang diperlukan untuk menutup kekurangan atau kondisi PT. Ratah Timber yang belum memenuhi standar FSC. Misal dengan beberapa bagian kecil dari kekurangan yang didapat setelah dilakukannya Baseline Audit, baik itu standar keselamatan pekerja perusahaan 252


meliputi helm safety, safety jacket sampai bagaimana mengelola kegiatan pemanfaatan hasil hutan dengan proses yang paling minim dalam meminimalisir dampak buruk terhadap ekosistem didalam hutan. Pada tahap Pre Assesment WWF Indonesia menggandeng SGS Qualifor, yakni auditor yang bertindak sebagai tim penilai independent (certification body) dalam proses sertifikasi FSC yang dilakukan oleh PT. Ratah Timber dengan pendampingan oleh GFTN Indonesia. SGS Qualifor merupakan sebuah lembaga sertifikasi yang diakreditasi dan ditunjuk langsung oleh FSC untuk melakukan penilaian dan pemberian sertifikasi kepada perusahaan yang mengikuti proses menuju sertifikasi FSC. 1. Tahap Pre Assesment Tahapan Pre Assesment ini adalah tahapan penilaian awal oleh SGS Qualifor sebagai lembaga auditor FSC terhadap PT. Ratah Timber. Tahapan ini dilakukan untuk menilai PT. Ratah Timber dalam rangka pemenuhan sertifikasi FSC serta ketika dimana hasil dari Pre Assement ini telah diketahui maka dalam tahap pemenuhan kekurangan terhadap standar FSC yang terdapat di PT. Ratah Timber dilakukan dalam bentuk perbaikan melalui Certification Action Plan. Selain dalam bentuk pengelolaan hutan yang bersifat kinerja di lapangan, GFTN Indonesia juga memberikan training dan transfer knowledge kepada perusahaan tentang pengenalan jenis flora fauna dalam studi Hight Conservation Value Forest (HCVF) untuk mempelajari dan mengimplementasikan manajemen konservasi terhadap perlindungan habitat/satwa endemik hewan langka dan tumbuhan yang ada di dalam area hutan perusahaan atau konsensi. Serta Social Impact Assesment (SIA) yang bertujuan untuk management pengelolaan hutan di lingkungan perusahaan bersama dengan masyarakat setempat yang tinggal di sekitar kawasan hutan perusahaan. Secara umum, beberapa tinjauan utama atas hasil yang bisa diidentifikasi dari tahap Pra Asessment ini dapat diklasifikasikan sebagai berikut: Pada tahap pra Asessment ini beberapa hal yang menjadi perhatian oleh lembaga penilai sertifikasi yakni SGS Qualifor, masih ditemukan beberapa kekurangan yang utamanya terdapat pada kegiatan perusahaan di lapangan. Dalam tahap pemenuhan sertifikasi ini beberapa kekurangan tersebut menjadi bahan evaluasi untuk selanjutnya dilakukan tindakan penyelesaian atau penutupun kekurangan tersebut yang dinamakan Certification Action Plan a. Studi Kawasan Bernilai Konservasi Tinggi (KBKT)/HCVF dan PRA SIA kampung-kampung sekitar areal perusahaan belum pernah dilakukan. Dalam tahapan ini GFTN Indonesia melakukan penampungan dan training kepada para pekerja yang berada di lapangan untuk mengetahui dan mempelajari mengenai Studi KBKT serta PRA SIA (sosial) terhadap perilaku masyarakat sekitar. Studi ini dilakukan untuk mengidentifikasi adanya satwa endemik serta

253


umumnya keanaekragaman flora dan fauna yang ada di areal konsensi hutan perusahaan. Melalui adanya penutupan kekurangan dengan Certification Action Plan, pada saat ini studi HCVF dan rencana pengelolaan beserta pemantauan sudah dilakukan oleh perusahaan demikian juga studi PRA dan SIA di kampung sekitar. Hal ini juga membantu memudahkan perusahaan untuk mengelola areal konsensinya secara lebih baik terutama terkait hubungan antar perusahaaan terhadap masyarakat di sekitar areal konsensi. b. Meski beberapa regulasi international sudah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia namun perusahaan belum mengacunya sebagai legal standing. Dalam hal ini beberapa kaitan mengenai regulasi atau peraturan yang bertaraf Internasional baik itu melalui ISO atau ITTO (International Timber Tropical Organizations) belum sepenuhnya menjadi acuan yang diterapkan di PT. Ratah Timber sehingga program GFTN Indonesia melalui program sertifikasi FSC yang bertaraf Internasional menjadi langkah penting bagi perusahaan dalam kegiatan pengelolaan hutannya. Akan tetapi pada saat ini regulasi international (Kode praktis dan konvensi ILO, Daftar Cites, IUCN, dll) sudah menjadi legal standing yang wajib bagi perusahaan. c. Standar Keselamatan di tempat kerja terutama Alat Pelindung Diri (APD) bagi pekerja di lapangan kurang mendapat perhatian dari perusahaan. Ditemukannya beberapa kekurangan kelengkapan dalam standar keamanan pekerja di lapangan menjadi salah satu fokus utama pendampingan GFTN Indonesia dalam rangka pemenuhan sertifikasi FSC. APD (Alat Pelindung Diri) bagi setiap pekerja saat ini sudah dipenuhi dan dilengkapi oleh perusahaan. Hal ini diarahkan sebagai pendukung bagi kinerja pekerja di lapangan terutama dalam aspek keamanaan dan keselamatan kerja yang berstandar sesuai dengan prinsip dan kriteria FSC d. Fasilitas bagi pekerja belum seluruhnya dipenuhi oleh perusahaan. Beberapa fasilitas yang masih dianggap memiliki kekurangan oleh standar sertifikasi FSC, juga menjadi perhatian penting oleh FSC. Seperti kelengakapan job site bagi pekerja lapangan maupun fasilitas-fasilitas lainnya. Sebagai salah satu acuan dalam prisnsip dan kriteria FSC melalui kelengkapan fasilitas pekerja, setelah diadakannya kegiatan Certification Action Plan maka pada saat ini fasilitas pekerja terutama di job site sudah dilengkapi seperti: KM/WC dan sarana olah raga sudah dilengkapi oleh perusahaan dengan cukup memadai. e. Alat-alat kerja yang mendukung kegiatan pengelolaan dan pemantauan lingkungan masih sangat minim. Hal ini juga menjadi bagian penting terhadap pola kegiatan pengelolaan hutan yang dilakukan pekerja di lapangan.Peralatan kerja untuk monitoring lingkungan sudah dilengkapi dengan berbagai alat pendukung yang memadai bagi dari sektor kinerja di lapangan maupun sktor pengawasan kegiatan di areal konsensi hutan. f. SOP (Standar Operasional Prosedur) yang ada tidak dijalankan dengan konsisten dan belum ter-update sesuai dengan regulasi yang ada sekarang. 254


Masih banyak kekurangan yang ditemukan dalam Standar Operasional Prosedur di PT. Ratah Timber sebelum adanya dampingan GFTN Indonesia, hal ini berkaitan pula terhadap minimnya acuan regulasi yang diterapkan di dalam perusahaan. g. Penanganan Limbah B-3 dan sampah anorganik di lokasi kerja sangat buruk dan tidak terkendali. Beberapa masalah terkait kebersihan lingkungan menjadi fokus utama GFTN Indonesia dalam usaha memenuhi sertifikasi FSC ini. Pada saat ini WWF Indonesia melalui GFTN turut membantu perusahaan didalam mengatasi persoalan limbah pabrik yang apabila tidak dikelola dengan dengan benar, tentu akan berakibat luas terhadap ekosistem, khususnya terhadap tanaman-tanaman yang memiliki nilai keanekaragaman hayati. Limbah B3 dan sampah anorganik mulai dikendalikan dan ditangani sesuai aturan yang berwawasan lingkungan demi meminimalisir dampak buruk terhadap lingkungan sekitar, seperti tanah, dan lain-lain. h. Penggunaan pestisida di persemaian belum sesuai standar, baik dari jenis serta penggunaan dari pestisida tersebut. Belum adanya aturan yang betul-betul sesuai tentang bagaimana penggunanaan pestisida dalam kerja di lapangan terkait penggunaan bahan kimia yang bisa saja mengganggu ekosistem tumbuhan yang lainnya. Hal ini turut menjadi perhatian GFTN Indonesia didalam membantu perusahaan didalam sistem penggunaan pestisida yang baik dimana penggunaan pestisida dikurangi secara bertahap hingga ‘Zero Pesticide’. Hal ini ditujukan untuk mengurangi dampak kimiawi dari penggunaan pestisida yang berlebihan. i. Pembuatan jalan hutan tidak memperhatikan dampak erosi yang ditimbulkan. Dalam hal pembuatan jalan sarat (jalan tempat traktor pengangkut kayu bulat) masih ditemukan kekurangan terkait dalam usaha mengurangi dampak yang ditimbulkan di dalam hutan. Hal ini menjadi poin lain yang harus diperhatikan oleh perusahaan untuk meminimalisir dampak kerusakan yang terjadi di dalam arel konsensi hutan. GFTN Indonesia turut serta membantu melakukan identifikasi wilayah secara benar sebelum diadakannya pemetaan untuk pembuatan jalan jutan secara benar. Pembuatan Jalan hutan dilengkapi drainase yang baik dan pembuatan ‘sediment trap’ pada setiap aliran yang menuju ke sungai untuk meminimalkan dampak erosi saat ini sudah menjadi priotitas utama perusahaan apabila akan dilakukan lagi pembuatan jalan hutan untuk Rancangan Kerja di tahun kegiatan berikutntya. j. Pembuatan gorong-gorong pada main road masih sebatas menggunakan tumpukan kayu lubang. Minimnya perhatian mengenai jalur air juga tidak terlepas dari perhatian GFTN Indonesia. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir dampak kerusakan tanah apabila air menumpuk di satu atau beberapa titik. Pada saat ini pemenuhan kriteria dan prinsip FSC mengenai infrastruktur yang sebagaimana seharusnya sudah diaplikasikan perusahaan melalui pembuatan jembatan dan gorong-gorong pada jalan utama yang sekarang sudah menggunakan kontruksi besi. 255


k. Implementasi RIL (Reduction Impact Logging) hanya dalam skala demplot /uji coba pada beberapa petak tebang saja, dan tidak dilakukan keseluruhan aspek dalam Implemetasi RIL. Pada saat ini setelah adanya proses pendampingan GFTN Indonesia, perencanaan RIL (Reduction Impact Logging) sudah diimplementasikan pada semua petak tebang dan di evaluasi pada akhir kegiatan. Dinamika hutan telah dimonitoring sebelum dan sesudah pemanenan hutan secara menyeluruh. Dengan adanya monitoring pula akan memudahkan evaluasi bagai rangkaian kerja selanjutnya. 2. Tahap Main Assesment Setelah melalui tahapan Pre Assesment kemudian beralih ke tahapan Main Assesment atau penilaian utama. Pada tahapan ini penilaian juga dilakukan kembali oleh SGS Qualifor, tahapan ini adalah tahapan utama penilaian SGS Qualifor untuk menilai hasil dari kegiatan Certification Action Plan yang sudah dijalankan oleh PT. Ratah Timber yang didampingi oleh GFTN Indonesia, dilakukan secara berkala dalam usaha memenuhi kekurangan yang terdapat di PT. Ratah Timber. Sehingga setelah semua terpenuhi pada tanggal 4-8 Oktober dilakukan tahap Main Assesment yang dilakukan kembali oleh lembaga sertifikasi SGS Qualifor untuk menilai perkembangan perusahaan dalam proses sertifikasi secara garis besar sehingga pada penilaian tersebut ditemukan 8 CARs Major dan 22 Cars Minor. Cars Major dan Cars Minor merupakan sebuah nilai identifikasi dari SGS Qualifor berkaitan kekurangan yang masih terdapat atau terjadi lingkup perusahaan, dengan kata lain CARs Major merupakan kesalahan atau kekurangan yang memiliki dampak besar terhadap perusahaan dalam sistem penilaian sertifikasi, sedangkan CARs Minor merupakan kebalikan dari CARs Major yang merupakan kesalahan dalam kategori kecil. Sehingga penutupan CARs Major oleh perusahaan PT. Ratah Timber dilakukan 6 bulan setelah main assesment dengan mengkonfirmasi Action Plan kepada SGS Qualifor 1 bulan sebelumnya, sedangkan CARs Minor harus sudah ditutup 1 tahun berikutnya pada saat evaluasi pertahun (Surveillance) 1. Dan SGS Qualifor kembali melakukan Assessment kembali terhadap pemenuhan CARs Major oleh PT. Ratah Timber Akhirnya pada tanggal 15 Maret 2013, SGS Qualifor sebagai lembaga sertifikasi dan penilai mengeluarkan sertifikat FSC kepada PT. Ratah Timber yang berlaku sejak tanggal dikeluarkannya sertifikat tersebut sampai dengan 14 Maret 2018 atau berjangka waktu 5 tahun. Berikut ini tahapan Implementasi Program GFTN Indonesia terhadap PT. Ratah Timber terhitung sejak tahun 2010 sampai tahun 2013. Dalam pencapaian kinerja dalam produksi terdapat beberapa peningkatan pencapaian yang didapat oleh PT. Ratah Timber setelah mendapatkan dampingan GFTN Indonesia Setelah melalui berbagai proses pendampingan yang secara resmi dimulai sejak tahun 2010, PT. Ratah Timber memperoleh 256


berbagai macam kemajuan, terutama di bidang unit manajemen, disamping itu perbaikan pencapaian produksi pun cukup dirasa memiliki dampak yang nyata setelah adanya pendampingan dari GFTN Indonesia, hal tersebut bisa dilihat pada hasil Realisasi Produksi. Pada hasil tersebut dapat dilihat bahwa PT. Ratah Timber dapat dikatakan memiliki realisasi produksi yang cukup stabil bahkan cenderung menigkat dalam pencapaian target produksi RKTnya. RKT adalah Rancangan Kerja Tahunan yang berisi tentang target produksi yang sudah ditetapkan melalui awal rancangan kerja diawal setiap tahun dimana sebelumnya sudah melalui proses dan persetujuan pemerintah, baik penentuan petak lahan yang akan dipakai maupun jumlah target produksi dari setiap petak lahan yang sudah ditentukan tersebut. Dalam Rancangan tersebut tiap tahunnya PT. Ratah Timber memiliki target produksi yang sudah ditetapkan sejak awal sebelum kegiatan produksi tahunan dimulai, contoh pada tahun 2012 PT. Ratah Timber memiliki target produksi yang sudah ditetapkan yakni sekitar 64.966 m3 dengan pencapaian realisasi yang didapat yakni sekitar 60.629 m3 atau jika dipresentasekan mencapai 93% dalam realisasi produksinya. Perbaikan kinerja dan aspek di lapangan pun turut membantu dalam pecapaian realiasasi produksi untuk terus stabil dalam memenuhu RKT yang telah ditetapkan. Dalam hal ini bisa dipahami bahwa bukan berarti pencapaian produksi yang terus meningkat menjadi indikator bahwa kerusakan hutan menjadi aspek yang paling mendapatkan kerugian. Hal ini bisa dipahami bahwa dalam sebuah industri kehutanan, ketidakmampuan sebuah perusahaan dalam menerapkan pengelolaan yang baik pun turut menjadi andil dalam sebuah kerusakan hutan, disamping itu maraknya tindak illegal logging pun tidak menutup kemungkinan bahwa setiap perusahaan yang tidak dapat mencapai pemenuhan produksinya atau jauh dibawah RKT dapat melakukan tindak jual beli terhadap oknum masyarakat yang berkerjasama pihak-pihak perusahaan yang tidak bertanggung jawab pula. Dengan adanya kegiatan pendampingan GFTN Indonesia ini diharapkan dapat menekan hal-hal tersebut, dimana salah satu contohnya dapat terimplementasi dengan baik di PT. Ratah Timber bahwa dengan pengelolaan hutan yang baik serta lestari pun dapat memberikan manfaat yang lebih baik pula dalam berbagai elemen yang terdapat di perusahaan. Hambatan dalam Implementasi Program GFTN Indonesia di PT. Ratah Timber. Dalam menjalani proses pendampingan GFTN Iindonesia terhitung sejak 2010 sampai saat ini, disamping adanya perbaikan dan perkembangan dalam unit manajemen di dalam perusahaan juga ditemukan pula beberapa hambatan khususnya terkait kepada pelaksanaan implementasi program di lapangan. Ada beberapa hal yang menjadi fokus dalam pelaksanaan implementasi program GFTN bagi Perusahaan PT. Ratah Timber. Secara garis besar, terdapat dua hambatan

257


utama yang terjadi di dalam implementasi program GFTN Indonesia di PT. Ratah Timber, yakni: a. Kemampuan perusahaan di dalam mengikuti program GFTN Indonesia, khususnya dari segi biaya dan jumlah pekerja yang ada di lapangan. b. Keterbatasan Perusahaan didalam menjual kayu log yang sudah bersertifikat FSC menjadi salah satu poin yang saat ini menjadi perhatian perusahaan. Hal ini merupakan salah satu dampak terkait kebijakan pemerintah dalam melarang penjualan kayu log secara langsung untuk diekspor keluar negeri. Dari dua garis besar hambatan yang pertama, bisa disimpulkan bahwa dalam proses implementasi GFTN ini, perusahaan diwajibkan harus terus menerus melakukan perbaikan secara konsisten untuk mengatasi berbagai macam permasalahan yang ada dalam pengelolaan. Dan disatu sisi bahwa pengelolaan dan perbaikan dalam proses implementasi ini juga membutuhkan biaya operasional yang tidak sedikit. Disamping itu kegiatan Implementasi Best Management Practice menjadi hambatan tersendiri bagi perusahaan terhadap kinerja di lapangan apabila ada pekerja lapangan yang baru dan diwajibkan menguasai implementasi best management yang sewaktu-waktu bisa menetapkan standar kerja yang baru. Disamping adanya hambatan yang dialami Perusahaan, terdapat beberapa dampak mengenai perubahan serta pencapaian yang didapat oleh PT. Ratah Timber sebagai anggota GFTN Indonesia. Terkait keterbatasan perusahaan menjual kayu log langsung untuk diekspor, menjadi hambatan tersendiri bagi perusahaan didalam mengembangkan bisnisnya langsung ke negara luar. Hal ini dikarenakan sejak 8 Oktober tahun 2001 ekspor log (kayu bulat) dan Bahan Baku Serpih (BBS) dihentikan berdasarkan Keputusan Bersama Menteri Kehutanan (Menhut) No. 1132/Kpts-II/2001 dan Menteri Perdagangan dan Perindustrian (Menperindag) No. 292/MPP/Kep/10/2001. Larangan ekspor log tersebut semakin kuat dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 34 tahun 2002 tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan dan Penggunaan Kawasan Hutan, khususnya dalam pasal 76 yang menyatakan ekspor log dan BBS dilarang. Mengenai keputusan pemerintah untuk melarang penjualan ekspor kayu log langsung merupakan salah satu langkah pemerintah disamping untuk menekan mudahnya tindak illegal logging yang terjadi, juga sebagai inisiatif pemerintah yang didalam meningkatkan harga jual hasil kayu dengan mendorong perusahaan kayu yang ada untuk mengembangkan industrinya dengan mengolah hasil kayu agar nilai jual kayu tersebut bisa lebih tinggi jika dibandingkan dengan hanya menjual kayu log yang belum diolah sama sekali. Hal ini pun secara tidak langsung cukup membatasi langkah PT. Ratah Timber untuk menjual kayu lognya ke pasar luar negeri, Akan tetapi dikarenkan kebutuhan perusahaan untuk memenuhi permintaan buyernya yang dalam hal ini PT. Tirta Mahakam selaku industri pengolah kayu yang menjual hasil olahan kayu tersebut ke untuk pasar eskpor, sehingga mengharuskan PT. Ratah Timber untuk turut serta “berbenah diri: sebagai perusahaan penyuplai bahan baku mentah yakni dengan kayu lognya agar dapat mengkuti program sertifikasi FSC.

258


KESIMPULAN Keterkaitan antara WWF Indonesia melalui program GFTN-nya dalam rekonsiliasi dan usaha perbaikan lingkungan di hutan Kalimantan Timur merupakan bagian dari implementasi program GFTN di Indonesia. Jika dikaitkan dengan pendekatan pada bab pendahuluan, maka apa yang ditempuh oleh WWF Indonesia melalui program GFTN merupakan bagian dari kesepakatan WWF Indonesia terhadap anggotanya yakni perusahaan-perusahaan yang memiliki komitmen dalam menjaga kelestarian hutannya. Implementasi Program GFTN di PT. Ratah Timber merupakan salah satu bagian dari adanya kesepakatan tersebut, kesepakatan yang dijalin oleh PT. Ratah Timber dengan GFTN Indonesia merupakan upaya kedua belah pihak dalam rangka menjalankan pengelolaan hutan lestari dengan prinsip ecological sustainability melalui sistem sertifikasi FSC. Jika dipahami lebih jauh dalam implementasi program GFTN Indonesia di PT. Ratah Timber dalam pencapaian tujuan program untuk membantu perusahaan mencapai pengelolaan hutan yang berbasis sistem sertifikasi FSC bisa dikatakan berhasil dengan dicapainya sertifikasi FSC yang didapat oleh perusahaan, akan tetapi secara garis besar proses yang dialami oleh perusahaan dalam mencapai sebuah sertifikasi hutan tidaklah mudah entah apakah itu sistem voluntary ataupun mandatory dikarenakan berbagai hambatan yang dialami oleh perusahaan. Baik dalam sistem manajemen maupun persoalan kemampuan perusahaan dalam mengikuti program sertifikasi seperti persoalan di lapangan misalnya kelengkapan dan keamanan pekerja di lapangan, ketersediaan fasilitas maupun persoalan finansial. Disamping itu juga dikarenakan perusahaan tidak dapat menjual hasil kayu lognya langsung ke pasar luar negeri dikarenakan aturan pemerintah, menjadikan perusahaan PT. Ratah Timber cukup terkendala untuk mengembangkan kegiatan pasarnya secara langsung ke luar negeri. Untuk itu dukungan dari berbagai pihak sangat dibutuhkan dalam membangun koordinasi yang baik untuk mendukung upaya sertifikasi hutan lestari secara baik. Keberadaan WWF Indonesia sebagai lembaga konservasi lingkungan dengan program GFTNnya juga diharapkan dapat memberikan kontribusi yang nyata dalam mengatasi isuisu persoalan lingkunagn yang ada melalui berbagai macam paradigma dalam isu lingkungan ini, sebagai contoh pandangan isu lingkungan dalam “kacamaata” industri yang baik.

259


DAFTAR PUSTAKA Buku: Grindle, Merille S. 1980. Politics and Policy Impelementation In the Third World, Princeton University Press, Newyork. Hoogerwerf. 1983. Ilmu Pemerintahan. Jakarta. Erlangga Prof. Drs. Budi Winarno, MA, PhD. 2012.Kebijakan Publik, Jakarta, C A P S. A. Sonny Keraf. Desember 2006. Pembangunan berkelanjutan atau Keberlanjutan Ekologi, tersedia di Etika Lingkungan, Penerbit Buku Kompas, Jakarta. Jurnal/Majalah: Kaleidoskop GFTN Tahun 2009, WWF Indonesia. Seminar / Wawancara / Press Release: Poppy (Staff / Officer Balai Pemantapan Kawasan Hutan Kaltim Dirjen Kemenhut). 25 Oktober 2014. Perubahan Tutupan Hutan Kaltim. Kantor BPKH Samarinda. Riska (Forest Officer East Kalimantan GFTN Indonesia). 15 April 2014. Kerjasama Global Forest and Trade Network dengan Forest Stewardship Council. Kantor WWF Samarinda. Syachraini (Forest Officer East Kalimantan GFTN Indonesia). 22 November 2014. Latar Belakang GFTN dan Program GFTN. Kantor WWF Samarinda. World Wide Web: Hutan Kalimantan tersedia di http://world.mongabay.com/indonesian/borneo.html diakses pada tanggal 15 Januari 2015 GFTN - Indonesia, tersedia di http://www.wwf.or.id, diakses pada tanggal 14 April 2014. Illegal Logging: Penyebab dan Dampaknya, tersedia di http;//www.kompas.com/kompas-cetak/0309/16/opini/563606.htm, diakses pada tanggal 10 Februari 2015 Implementasi Kebijakan Publik, tersedia di https://www.academia.edu/6688520/IMPLEMENTASI_KEBIJAKAN_P UBLIK, diakses pada tanggal 15 Januari 2015. Perlunya Pengembangan HTI, tersedia di http://forda-mof.org/, diakses pada tanggal 4 Oktober 2014. Politik Hijau, tersedia di https://www.academia.edu/6110045/Politik_Hijau. Diakses pada tanggal 20 September 2014. Politik Hijau atau Green Politics, tersedia di www.bangazul.com/politik-hijau-ataugreen-politics/. Diakses pada tanggal 20 September 2014. Sejarah dan Latar belakang Perusahaan PT. Ratah Timber, tersedia di Ratah.co.id, diakses pada tanggal 19 November 2014. Tentang Hutan Kalimantan, tersedia di http://www.profauna.net/id, di akses pada tanggal 8 April 2014.

260

IMPLEMENTASI PROGRAM GLOBAL FOREST AND TRADE NETWORK OLEH WORLD WIDE FUND INDONESIA DI KALIMANTAN TIMUR TAHUN (STUDI KASUS PT

Recommend Documents