Implementasi Perencanaan Pajak Melalui Transfer Pricing atas Intra Group Services Pada Perusahaan Multinasional Berbentuk Subsidiary Company Almizzi Valderani Yunitianti dan Ning Rahayu Ilmu Administrasi Fiskal Program Ekstensi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Kampus UI, Depok, 16424, Indonesia Email:
[email protected]
Abstrak Perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional khususnya yang berbentuk subsidiary company salah satunya adalah melalui transfer pricing. Praktik transfer pricing yang lazim dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah pemberian jasa atau yang disebut dengan intra group services. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran mengenai implementasi perencanaan pajak perusahaan multinatisonal yang berbentuk subsidiary company dengan skema transfer pricing atas intra group services dan permasalahan yang timbul akibat dari penerapan skema tersebut. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis data kualitatif. Data kualitatif didapatkan melalui studi literatur dan wawancara mendalam. Hasil penelitian ini adalah dalam melakukan implementasi perencanaan pajak melalui skema transfer pricing atas intra group services perusahaan harus memerhatikan mengenai manfaat komersial atas pemberian jasa tersebut dan apakah biaya atas intra group services yang dibebankan telah sesuai dengan prinsip harga pasar wajar. Selanjutnya kewajiban untuk melakukan dokumentasi ini oleh wajib pajak harus digunakan sebaik mungkin karena ini merupakan suatu kesempatan bagi wajib pajak untuk membela skema transfer pricing yang dilakukan. Permasalahan yang timbul akibat implementasi skema transfer pricing atas intra group services adalah timbulnya perbedaan presepsi antara wajib pajak dan otoritas pajak karena peraturan yang belum terlalu detail mengatur mengenai transfer pricing khususnya atas transaksi intra group services.
Tax Planning Through the Implementation of transfer Pricing on Intra Group Services in Subsidiary Company ABSTRACT Tax planning by multinational companies especially in the form of subsidiary company through transfer pricing. Transfer pricing practices commonly by multinational companies is the provision of services or the so-called intra-group services. This study aims to provide an overview of the implementation tax planning of transfer pricing schemes on intra-group services in subsidiary company and the problems arising from the implementation of the scheme. The method used was a qualitative study with qualitative data analysis. Qualitative data obtained through the study of literature and in-depth interviews. The results of doing this is through the implementation of tax planning schemes on intra-group services companies should pay attention to the commercial benefits of the provision of such services and whether the cost of the intra-group services are charged in accordance with the principle of a fair market price. Furthermore obligation to make documentation must be used by the taxpayer as possible because this is an opportunity for taxpayers to defend transfer pricing scheme. Problems arising from the implementation of the scheme on intra-group transfer pricing services is differences in perception between the taxpayer and the tax authorities because of the regulations concerning transfer pricing in particular on intra-group transactions services has not been properly regulated. Keywords: Tax Planning, Transfer Pricing, Intra Group Services
Pendahuluan
Saat ini, bisnis dan investasi mempersubur tumbuh dan berkembangnya perusahaan multinasional. Bagi negara tujuan investasi terutama bagi negara berkembang seperti Indonesia, investasi yang dilakukan perusahaan multinasional dengan strategi aliansinya dapat memperluas dan memperbesar akses negara setempat terhadap pasar internasional. Tuntutan pasar, persaingan, serta perubahan di setiap aspek lingkungan bisnis mendorong perusahaan untuk membangun keunggulan agar bisa bersaing, mendapatkan laba, serta bertumbuh secara terus menerus (Hutabarat dan Huseini, 2012, p. 264). Dalam meningkatkan daya saing dan peningkatan efisiensi tersebut, suatu perusahaan yang berada dalam satu group apakah karena kepemilikan atau penguasaan, baik yang berskala nasional, regional maupun global pastilah melakukan suatu perencanaan atas strategi bisnis, taktis dan operasional yang telah dikaji dan dipertimbangkan secara seksama (Gunadi, 2007, p. 222). Menurut Suandy salah satu hal yang mempengaruhi keputusan bisnis dari suatu perusahaan adalah pajak, baik mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung. Suatu keputusan bisnis yang baik jika berhubungan dengan pajak bisa menjadi keputusan bisnis yang kurang baik, begitu juga sebaliknya. Dari segi ekonomi, pajak merupakan pemindahan sumber daya dari sektor privat (perusahaan) ke sektor publik yang mempengaruhi daya beli (purchasing order) atau kemampuan belanja (spending power) dari suatu perusahaan (2011, p. 1). Maka dari itu sebagai wajib pajak yang rasional tentu akan selalu berusaha untuk meminimalkan beban, termasuk beban pajak. Dalam menekan beban pajak, suatu perusahaan menggunakan skema-skema transaksi keuangan yang ada di dalam dunia bisnis, apalagi jika terjadi kekosongan
peraturan perundang-undangan terhadap skema-skema penghindaran
pajak (tax avoidance) tersebut (Darussalam, et. all., 2010, p. 197). Transaksi perdagangan lintas batas 60% nya merupakan transaksi antar perusahaan di dalam satu group perusahaan multinasional (Rohatgi, 2002, p. 412). Perusahaan multinasional melakukan usahanya di berbagai negara yang masing-masing mempunyai tata hukum dan hukum pajak tersendiri (Soemitro, 1986, p. 170). Sehingga menjadikan perusahaan multinasional memiliki keunggulan atas perusahaan lokal karena memiliki fleksibilitas geografis lebih besar dalam menentukan lokasi produksi dan sistem distribusi, perusahaan multinasional
berkesempatan
untuk
melakukan
penghindaran
pajak
dengan
memanfaatkan perbedaan sistem perpajakan suatu negara (internasional tax avoidance).
cara
Upaya-upaya dalam meminimalisasi beban pajak disebut dengan perencanaan pajak (tax planning). Menurut Sumarsan istilah perencanaan pajak mencakup penataan strategis untuk meminimalkan kewajiban pajak dan perencanaan pajak yang dilakukan oleh suatu perusahaan merupakan hal yang diperbolehkan oleh pemerintah (2012, p. 117). Menurut Darussalam dan Septriadi perencanaan pajak yang dikaitkan dengan tax avoidance merupakan skema yang legal karena tidak melanggar ketentuan perpajakan (2008, p. 3). Perencanaan pajak yang biasanya diakukan oleh perusahaan multinasional adalah melalui skema transfer pricing. Dalam suatu perusahaan multinasional, hampir sebagian besar transaksi dan aktivitas ekonomi terjadi antar perusahaan dalam satu group tersebut. Kebijakan transfer pricing yang dilakukan meliputi penghitungan harga, imbalan atau persyaratan dagang (term of trade), pembiayaan dan pelaksanaan bisnis antar anggota. Transfer pricing berkaitan erat dengan harga transaksi barang, jasa, atau harta tak berwujud yang harganya ditetapkan oleh perusahaan multinasional dengan maksud untuk mengalokasikan penghasilan antar perusahaan multinasional tersebut dengan tujuan menurunkan laba kena pajak di negara yang mempunyai tarif pajak tinggi dan mengalihkan labanya di negara lain yang tarif pajaknya rendah atau bahkan nol (Suandy,
69-75). Masalah transfer pricing merupakan masalah
internasional karena banyak negara mempunyai kepentingan, terutama negara berkembang yang dalam transaksi tersebut sering menjadi negara sumber (penghasilan). Gambar 1 Transfer Pricing sebagai Isu Penting Perpajakan
Survei yang dilakukan oleh Ernst and Young menunjukkan bahwa transfer pricing merupakan isu yang dianggap paling penting bagi para tax director dari perusahaanperusahaan global yang disurvei. Secara global, 30% tax director perusahaan multinasional di seluruh dunia menganggap transfer pricing sebagai isu penting dari perpajakan dan mendominasi pekerjaan pajak tax director (Ernst & Young’s, 2010). Gambar 1 menunjukan bahwa isu mengenai transfer pricing menjadi isu utama dalam perpajakan dibandingkan dengan isu-isu pajak lainnya.
Perusahaan multinasional dalam memperlebar jangkauan pasarnya melakukan perluasan kegiatan perdagangan ke manca negara dengan membentuk cabang, anak, holding company, dan/atau kantor perwakilan (head quarter) untuk memperkuat aliansi strategis guna mempertahankan dan menumbuh kembangkan pangsa pasar ekspor dan impor di berbagai negara (Gunadi, 2007, p. 221). Di Indonesia pajak merupakan salah satu sumber penerimaan penting yang digunakan untuk membiayai pengeluaran negara dan merupakan sumber penerimaan terbesar dalam APBN, ini terlihat dalam kurun waktu 2009-2012 penerimaan yang bersumber dari pajak berkontribusi rata-rata 70% terhadap total pendapatan negara dan hibah dan terus meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan surveI yang dilakukan Ernst and Young transfer pricing yang mendapat sorotan utama dalam pemeriksaan adalah transfer pricing atas jasa antar perusahaan terafiliasasi (intracompany atau intra-group services). Gambar 2 berikut ini mengambarkan bahwa jasa administrasi atau jasa manajemen merupakan jenis transfer pricing yang paling banyak diperiksa oleh otoritas pajak di berbagai negara. Otoritas pajak membidik transaksi intercompany dalam rangka untuk melindungi dan memperluas potensi penerimaan pajak. Gambar 2 Transfer Pricing yang Paling menjadi Sorotan Saat Pemeriksaan Pajak
Hampir semua perusahaan multinasional melakukan transaksi pemberian jasa kepada perusahaan groupnya (intra-group services) (Darussalam dan Septriadi, 2008, p. 185). Jasa yang diberikan oleh perusahaan induk bisa berupa jasa administrasi, jasa teknik, keuangan, ataupun jasa komersial. Jasa yang diberikan oleh perusahaan induk harus sesuai dengan prinsip harga pasar wajar. Namun, dalam praktik berdasarkan berbagai alasan dan pertimbangan suatu perusahaan melakukan transfer pricing atas pemberian jasa dilakukan dengan tidak mencerminkan harga sebenarnya. Di lain pihak, pemerintah menghendaki agar harga yang dihitung pada tiap transaksi antar perusahaan berdasarkan pada prinsip harga pasar wajar (arm’s length principle) (Gunadi, 2007, p. 224). Kesulitan dalam penerapan arm’s
length pada intra-group services adalah bahwa perusahaan-perusahaan yang mempunyai hubungan istimewa sering melakukan transaksi yang tidak dilakukan oleh pihak-pihak yang tidak independen (Feinschreiber, 2004, p. 149). Saat ini sekitar sepertiga perdagangan barang dunia merupakan perdagangan antar perusahaan multinasional. Namun, praktik transfer pricing dapat menimbulkan permasalahan bagi perusahaan multinasional yang melakukan praktik transfer harga tersebut khususnya atas pemberian jasa antar perusahaan yang terafiliasi di Indonesia belum ada peraturan yang memadai mengenai penentuan harga pasar wajar untuk transaksi jasa. Hal ini akan menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak dan perbedaaan persepsi dengan otoritas pajak yang menganggap bahwa skema transfer pricing ini dapat mendistorsi penerimaan dari sektor perpajakan. Berdasarkan uraian pada latar belakang masalah dan tema utama penelitian, maka beberapa permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana implementasi perencanaan pajak dengan skema transfer pricing atas intra group services pada perusahaan multinasional berbentuk subsidiary company? 2. Apakah permasalahan yang timbul dalam implementasi perencanaan pajak dengan skema transfer pricing atas intra group services? Tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk memberikan gambaran mengenai implementasi perencanaan pajak perusahaan multinatisonal yang berbentuk subsidiary company dengan skema transfer pricing atas intra group services dan memberikan gambaran permasalahan apa sajakah yang timbul dalam implementasi perencanaan pajak melalui skema transfer pricing atas intra group services. Tinjauan Teoritis 1. Subsidiary Company Menurut Soemitro usaha perusahaan multinasional yang dilakukan di berbagai negara dapat berupa (1988, p. 164), cabang atau branch dan anak perusahaan atau subsidiary. Menurut Soemitro subsidiary merupakan anak perusahaan yang merupakan badan hukum yang berdiri sendiri terlepas dari perusahaan induknya dan lazimnya didirikan berdasarkan hukum yang berlaku di negara tempat pendirian. Anak perusahaan wajib melakukan pembukuan tersendiri yang terlepas dari pembukuan perusahaan induknya. Tapi, dikarenakan perusahaan multinasional itu ada di bawah kekuasaan dan pengawasan perusahaan induknya (ekonomis, finansial maupun kebijaksanaan) maka masih terbuka jalan untuk dilakukan
manipulasi yang dapat mengakibatkan sebagian laba yang diperoleh subsidiary luput dari pengenaan pajak di negara tempat berdirinya perusahaan tersebut (1988, p. 170). 2. Perencanaan Pajak Perencanaan merupakan salah satu fungsi penting dalam manajemen karena perencanaan memegang peranan yang sangat strategis dalam pembayaran pajak perusahaan dengan benar. Pembayaran pajak yang benar tidak akan membebani arus kas perusahaan dan laba bersih perusahaan. Perencanaan pajak sebagai bagian dari manejemen pajak yang merupakan suatu usaha menyeluruh yang dilakukan terus-menerus oleh wajib pajak agar semua hal yang berkaitan dengan urusan perpajakan dapat dikelola dengan baik, ekonomis, efektif dan efisien, sehingga dapat memberikan kontribusi maksimum bagi kelangsungan usaha wajib pajak tanpa mengorbankan kepentingan negara (Santoso, 2007, p. 22). Terdapat 3 syarat utama yang harus diperhatikan dalam menyusun suatu perencanaan pajak yang baik, yakni (Rahayu, 2007, p. 10): 1. tidak melanggar ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku 2. secara bisnis masuk akal (reasonable), dalam arti perencanaan pajak yang dibuat dapat dilaksanakan 3. didukung oleh bukti-bukti pendukung yang valid dan relevan Perencanaan pajak internasional membantu mengurangi beban pajak kumulatif group perusahaan multinasional dengan minimalisasi beban dan biaya administrasi yang kecil berdasarkan ketentuan yang berlaku. Perencanaan pajak internasional berusaha untuk meminimalisir beban pajak setelah mempertimbangkan biaya suatu transaksi, struktur manajemen dan risiko bisnis yang ada. Tanpa perencanaan pajak yang baik suatu perusahaan multinasional akan memikul kelebihan pembayaran pajak dan tambahan dari biaya pemenuhan kewajiban pajak. Menurut Rohatgi perencanaan pajak internasional adalah seni mengatur transaksi lintas batas dengan prinsip pajak intenasional untuk mencapai pembayaran pajak yang efektif dan berdasarkan dengan hukum (2002, p. 339). Menurut Spitz, Perencanaan pajak internasional merupakan perencanaan pajak yang menambahkan faktorfaktor dari luar sebagai tambahan terhadap perencanaan pajak nasional (1983, p.2). Perencanaan pajak internasional berhadapan dengan sistem perpajakan dua atau lebih negara. Setiap negara mempunyai peraturan dan tarif pajak yang berbeda untuk berbagai jenis sumber penghasilan dan perlakuan yang berbeda untuk setiap subjek penghasilan. 3. Transfer Pricing Pada saat suatu perusahaan memperluas usahanya baik dalam negeri atau ke luar negeri secara praktis pada waktu bersamaan muncul masalah transfer pricing atas transfer
barang dan jasa antar anggota group perusahaan (Gunadi, 2009, p. 280). Transfer pricing adalah istilah ekonomi yang merujuk pada penentuan harga transasksi antara pihak yang mempunyai hubungan istimewa (Rohatgi, 2002, p. 412). Selanjutnya menurut Gunadi, transfer pricing merupakan jumlah harga atas penyerahan barang atau imbalan atas penyerahan jasa yang telah disepakati oleh kedua belah pihak dalam transaksi finansial maupun transaksi lainnya yang dilakukan melalui kepemilikan,misalnya antara induk dengan anak perusahaan atau antarperusahaan afiliasinya (Gunadi, 2007, p. 222). Istilah transfer pricing sering disebut juga dengan istilah intercompany pricing, intercorporate pricing, interdivisional pricing, atau internal pricing. Beberapa motivasi melakukan transfer pricing di Indonesia, antara lain pengurangan objek pajak (terutama pajak penghasilan), pelonggaran pengaruh pembatasan kepemilikan luar negeri, penurunan pengaruh depresiasi rupiah, menguatkan tuntutan kenaikan harga atau proteksi terhadap saingan impor, mempertahankan sikap low profile atau konservatisme tanpa mempedulikan tingkat keuntungan usaha, pengamanan perusahaan dari tuntutan atas imbalan prestasi pimpinan atau kesejahteraan karyawan dan kepedulian lingkungan dan memperkecil akibat pembatasan, dan ketidakpastian atas risiko kegiatan usaha perusahaan luar negeri. Motivasi pajak atas transfer pricing dilaksanakan dengan memindahkan penghasilan dari negara dengan beban pajak tinggi ke negara dengan beban pajak rendah. (Gunadi, 2007, p. 222-223). 4. Intra Group Services Praktik transfer pricing terjadi dalam rangka transaksi penjualan harta berwujud, pengalihan harta tidak berwujud, penyerahan jasa, transaksi finansial, berbagai bentuk kontrak usaha, dan cost sharing atau cost contribution arrangements (Gunadi, 2007, p. 224). Praktik transfer pricing yang lazim dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah pemberian jasa atau yang disebut dengan intra group services. Menurut Mehta an intra group services is a service performed by one member of a multinational group for the benefit of one or more related members of the same group (2005, p. 254). Intra group services merupakan pemberian jasa yang dilakukan salah satu anggota dari perusahaan multinasional untuk keuntungan satu atau lebih perusahaan dalam satu group. Pemberian jasa tersebut dapat dilakukan oleh induk perusahaan atau sister company atau pihak lainnya yang memiliki hubungan istimewa.Penetuan harga transfer sebaiknya sama degan harga yang dijual kepada pihak yang tidak memiliki hubungan istimewa. Akan tetapi, dalam dunia bisnis yang nyata hanya sedikit perusahaan yang menerapkan ini. Berapa jumlah harga yang dihitung atas transfer barang dan jasa antarperusahaan dalam satu group pada umumnya tergantung kepada
politik (kebijakan) harga pimpinan. Dalam transaksi jasa untuk mengetahui jumlah pembebanan biaya yang sebenarnya atas intra group services digunakan dua metode, yaitu motode direct charge dan metode indirect charge. 1. Metode Direct Charge Metode direct charge dapat diterapkan ketika atas pemberian jasa tersebut dapat diidentifikasi jumlah biaya yang dikeluarkan (Mehta, 2005, p. 262). Jadi, metode direct charge diterapkan jika jasa yang diberikan kepada afiliasinya sama dengan jasa yang dilakukan kepada pihak independen (Darussalam dan Septriadi, 2008, p. 186). Identifikasi pemberian jasa apa yang dilakukan serta dasar pembayaran dari pemberian jasa merupakan prasyarat dalam penerapan metode ini. 2. Motode Indirect Charge Penetuan harga atas intra group services dengan menggunakan metode indirect charge digunakan untuk pemberian jasa yang dilakukan kepada lebih dari satu perusahaan di dalam group perusahaan multinasional (Mehta, 2005, p. 262). Cost allocation dan apportionment merupakan contoh dari penggunaan metode direct charge. Metode ini digunakan ketika terdapat kesulitan dalam mengindentifikasikan suatu jasa secara khusus (Darussalam dan Septriadi, 2008, p. 186). Metode Penelitian Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif digunakan karena dapat memberikan pemahaman menyeluruh atas penerapan perencanaan pajak dalam meminimalkan beban pajak penghasilan melalui skema transfer pricing pada perusahaan multinasional yang berbentuk subsidiary company dan memberikan gambaran mengenai permasalahan-permasalahan yang timbul dari penerapan perencanaan pajak melalui skema transfer pricing. Salah satu ciri dari penelitian kualitatif adalah digunakannya metode-metode kualitatif. Metode yang sering digunakan pada penelitian kualitatif adalah pengamatan, wawancara, atau penalahaan dokumen (Lexy J. Moleong, 2007, p. 9). Untuk memperoleh data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian ini digunakan beberapa metode pengumpulan data sebagai berikut: 1. Studi Kepustakaan (Library Research)
Studi kepustakaan yang dilakukan melalui pengumpulan berbagai macam literatur yang berkaitan dengan penelitian, seperti buku, undang-undang, jurnal dan artikel baik cetak maupun elektronik yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang diteliti 2. Studi Lapangan (field research) Salah satu teknik field research yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah dengan melalui wawancara mendalam terhadap subjek pihak-pihak yang kompeten (key informants) Sebelumnya peneliti merumuskan pokok permasalahan lalu membuat sistematika penelitian agar penelitian yang dilakukan lebih terarah. Dalam penelitian ini peneliti mengumpulkan data-data dan informasi yang sebanyak-banyaknya terkait dengan penelitian baik berupa data empiris maupun hasil wawancara yang relevan dengan penelitian ini. Analisis data dilakukan sejalan dengan pengumpulan data, tidak ada aturan baku untuk menganalisis data kualitatif. Data yang berasal dari wawancara dianalisis secara deskriptif dan diilustrasikan dengan contoh-contoh, termasuk kutipan-kutipan dan rangkuman dari dokumen dianalisis secara verbal (Lexy J. Moleong, 2007, p. 36). Studi kepustakaan dilakukan dengan mempelajari dan menelaah berbagai literature untuk mengumpulkan sebanyak mungkin pengetahuan yang berhubungan dengan pokok permasalahan yang dapat diterapkan dalam penelitian yang dilakukan. Agar penelitian menjadi fokus dan terarah peneliti membatasi penelitian ini pada implementasi perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional yang berbentuk anak perusahaan (subsidiary company) di Indonesia dan perencanaan pajak melalui skema transfer pricing atas jasa antar perusahaan terafiliasasi (intracompany atau intra-group services). Hasil Penelitian dan Pembahasan Perusahaan multinasional khususnya yang berbentuk subsidiary company melakukan usahanya di berbagai negara yang masing-masing mempunyai rezim perpajakan yang berbeda. Subsidiary merupakan anak perusahaan yang didirikan berdasarkan hukum negara tempat pendiriannya, sehingga subsidiary merupakan bahan hukum yang berdiri sendiri terlepas dari induknya, namun subsidiary secara ekonomi merupakan satu entitas dengan induknya, jadi subsidiary masih di bawah penguasaan induk. Rezim perpajakan suatu negara dibuat untuk menarik investor menanamkan modal di negaranya, maka rezim perpajakan akan dibuat sedemikian rupa oleh pemerintah suatu negara untuk menarik investasi, hal ini
dilakukan dengan kebijakan tarif pajak yang rendah sampai dengan pemberian insentif pajak. Motivasi yang mendasari dilakukannya suatu perencanaan pajak adalah kebijakan perpajakan, undang-undang, dan administrasi perpajakan. Salah satu perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional dapat melalui skema transfer pricing. Transfer pricing yang dilakukan oleh perusahaan multinasional merupakan alat untuk memobilisasi laba usaha untuk tujuan usahanya. Pada perusahaan multinasional barang dan jasa ditransfer antar perusahaan di dalam group tersebut yang memiliki yurisdiksi pajak yang berbeda-beda. Harga dari barang dan jasa tersebut sangat berpengaruh terhadap jumlah pajak yang nantinya dibayar perusahaan secara global. Transfer pricing merupakan salah satu strategi yang efektif untuk bersaing di pasar dalam rangka memperebutkan sumber daya yang terbatas. Skema transfer pricing sebagai salah satu alat (tools) perencanaan pajak dari perusahaan multinasional. Di sisi lain, bagi pemerintah skema transfer pricing yang diterapkan oleh perusahaan multinasional ini dapat merugikan negara karena Indonesia sering kali menjadi negara dimana transfer pricing dibebankan. Intra group services dan transfer intangibles property termasuk dalam kategori transaksi khusus karena terdapat perlakuan khusus untuk kedua transaksi tersebut. Perlakuan khusus ini maksudnya adalah untuk intangibles property dilihat mengenai eksistensinya terlebih dahulu sebelum menentukan harga pasar wajar, begitu juga perlakuan untuk intra group services terdapat benefit test untuk pemberian jasa yang dilakukan antar perusahaan afiliasi. Transaksi khususnya banyak diterapkan dalam rangka perencanaan pajak karena skema transaksinya yang lebih sulit dimonitor dibandingkan transaksi standar, seperti penjualan tangible. Kemudian substansi jasa belum tentu mudah untuk dianalisa karena pemberian jasa selain sulit untuk dimonitor, juga pemberian jasa biasanya memiliki karakteristik tersendiri. Dalam melakukan perencanaan pajak yang harus diperhatikan salah satunya adalah apakah skema yang dibuat tidak melanggar ketentuan-ketentuan perpajakan yang berlaku. Prinsip kewajaran dan kelaziman usaha yang dijabarkan sebelumnya juga wajib untuk diterapkan atas transaksi jasa yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa. Berdasarkan PER-32/PJ/2011 Pasal 14 pada ayat 2 atas transaksi jasa dianggap memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sepanjang memenuhi ketentuan, yaitu: 1. Penyerahan atau Perolehan Jasa Benar-Benar Terjadi Menentukan apakah intra group services telah dilakukan atau diserahkan oleh pemberi jasa dilihat dari apakah pemberian jasa tersebut memberikan manfaat ekonomis atau
komersial bagi penerima jasa atau tidak. Manfaat ekonomis merupakan manfaat yang diukur dengan uang atau berupa penghasilan. Perusahaan harus dapat menjelaskan mengenai manfaat ekonomis yang didapatkannya dari suatu transaksi jasa dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Berdasarkan OECD Transfer Pricing Guidelines untuk mengetahui adanya manfaat ekonomis dari intra group services bagi penerima jasa dapat ditentukan berdasarkan dua pertanyaan berikut: 1. Apakah perusahaan independen dalam situasi yang sama (comparable circumstances) bersedia untuk membayar atas penyerahan jasa jika dilakukan oleh perusahaan lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa? 2. Apakah perusahaan yang independen tersebut dapat melakukan sendiri aktivitas jasa tersebut? Manfaat ekonomis biasanya dilihat dari sisi penghasilan saja, apakah jasa yang diberikan dapat mengenjot penerimaan, tapi sebenarnya manfaat ekonomis dapat dilihat dari dua sisi, yaitu dari sisi penghasilan serta beban, jadi manfaat ekonomis dapat saja bentuknya menambah penerimaan, tetapi juga bisa dengan pemberian jasa tersebut membuat beban yang dikeluarkan menjadi lebih efisien, jadi manfaat ekonomis terlihat dari perbedaan dari sebelum diberikan jasa dan setelah diberikan jasa. Selain itu, adanya manfaat ekonomis dapat dibuktikan dengan adanya agreement antara pihak pemberi dan penerima jasa. Dalam agreement tersebut, antara lain berisikan mengenai jenis jasa yang akan diberikan, manfaat atas pemberian jasa tersebut, serta kewajiban dari para pihak dalam transaksi pemberian jasa tersebut. Adanya agreement pada praktiknya akan sangat penting sebagai salah satu pembuktian adanya manfaat ekonomis dari pemberian jasa tersebut, dan agreement juga bisa menjadi salah satu dokumentasi transfer pricing wajib pajak. Penentuan adanya manfaat ekonomis oleh otoritas pajak dilakukan ketika pemeriksaan pajak dengan cara melakukan analisis Fungsi, Aset, dan Risiko (FAR) dari perusahaan multinasional tersebut. Analisis fungsi ini dilakukan untuk mendapatkan identifikasi yang akurat terhadap karateristik usaha wajib pajak serta lawan transaksinya. Dengan mengetahui karateristik usaha wajib pajak dan lawan transaksinya, maka akan diketahui juga tingkat risiko yang ditanggung dan profit yang seharusnya diterima. Analisis fungsi yang dilakukan pemeriksa pajak ini apabila dikaitkan dengan manfaat ekonomis adalah pemeriksa pajak dapat mengetahui jasa-jasa apakah yang sesuai dengan karakteristik perusahaan tersebut.
2. Harga Pasar Wajar untuk Transaksi Jasa Setelah dibuktikan bahwa jasa telah benar-benar dilakukan tahap selanjutnya adalah menentukan harga pasar wajar untuk transaksi intra group services yang diberikan. Dalam menentukan nilai transaksi pemberian jasa yang dilakukan antara pihak yang memiliki hubungan istimewa, terlebih dahulu ditetapkan metode yang akan digunakan dalam pembebanan nilai transaksi melalui metode direct dan indirect charge. Penentuan harga atas intra group services dengan metode direct charge di lapangan sangat sulit untuk dilakukan karena atas transaksi pemberian jasa kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa biasanya jasa yang diberikan mempunyai karakteristik khusus dan manfaat yang diberikan oleh jasa tersebut belum tentu sama. Dalam hal transaksi jasa yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa dapat dilakukan identifikasi jenis transaksinya secara spesifik, langkah penerapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha untuk transaksi jasa tersebut adalah sebagai berikut: 1. Melakukan analisis kesebandingan dan menentukan pembanding; 2. Menentukan metode penentuan harga transfer yang tepat; 3. Menerapkan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha berdasarkan hasil analisis kesebandingan dan metode penentuan harga transfer yang tepat ke dalam transaksi yang dilakukan antara wajib pajak dengan pihak yang mempunyai hubungan istimewa 4. Mendokumentasikan setiap langkah dalam menentukan harga wajar atau laba wajar sesuai dengan ketentuan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Metode yang digunakan untuk penilaian kewajaran nilai transaksi jasa adalah metode perbandingan harga antara pihak yang independen (Comprable Uncontroled Price), Cost Plus Method, Transactional Profit Method. Bentuk-bentuk pemberian jasa kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa bisa berbentuk pemberian jasa teknik, jasa manajemen, inter group coordination arrangements, atau sharing overhead costs dari induk perusahaan. Pada transaksi yang wajar, perusahaan atas transaksi pemberian jasa hanya akan menagih atas harga jasa yang telah diberikan untuk mendapatkan keuntungan dan tidak menjadikan pemberian jasa semata-mata sebagai biaya. Intra group services dapat disediakan oleh induk perusahaan, perusahaan yang didirikan khusus sebagai service center perusahaan group, atau anggota lain dari perusahaan group tersebut. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya bahwa dalam menentukan nilai transaksi pemberian jasa yang dilakukan antara pihak yang memiliki hubungan istimewa digunakan metode direct dan indirect. Sedangkan untuk pembebanan (charging based) atas pemberian
intra group services bisa melalui presentase dari sales atau turn over, fixed amount setiap bulan,dan actual cost, yaitu biaya sebenarnya yang dikeluarkan untuk pemberian jasa. Allocation key untuk pembebanan intra group services apakah berdasarkan sales atau actual cost disesuaikan dengan nature dan penggunaan jasa oleh penerima jasa. Pada pemberian intra group services apabila pembebanan atas jasanya berdasarkan actual cost tidak ada masalah yang menjadi masalah adalah apabila pembebananya ditambah dengan mark up. Berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut mengenai skema transfer pricing atas intra group services melalui skema pemberian jasa manajemen oleh induk perusahaan kepada anak perusahaan, pendirian service center, dan cost sharing atas IT Software. a.
Pemberian Jasa manajemen oleh Induk Perusahaan kepada Anak Perusahaan Jasa manajemen merupakan pemberian jasa dengan ikut serta secara langsung dalam
pelaksanaan atau pengelolaan manajemen. Pemberian jasa manajemen oleh induk perusahaan dapat berbentuk pelatihan, legal atau accounting support, marketing, atau sistem. Gambar 5.1 merupakan skema pemberian intra group services yang berbentuk jasa manajemen dalam rangka supervisi pembukuan anak perusahaan. Gambar 3 Skema Intra Group Services atas Jasa Manajemen Induk Perusahaan Tenaga Ahli
Jasa Supervisi Pembukuan
Anak Perusahaan Sumber: Olahan Penulis dari Wawancara Mendalam
Ilustrasi Gambar 3 adalah tenaga ahli dikirim oleh induk perusahaan untuk datang ke Indonesia melakukan pemberian jasa sesuai yang diperjanjikan yaitu jasa manajemen dalam rangka supervisi untuk pembukuan akuntansi, tenaga ahli tersebut bertugas untuk mengecek pembukuan anak perusahaan tersebut, bagaimana praktek penyelengaraan pembukuan dan pemberian rekomendasi mengenai proses akuntansi perusahaan. Untuk ilustrasi Gambar 3 dalam menentukan nilai transaksi pemberian jasa digunakan metode indirect. Pembebanan atas pemberian jasa manajemen dapat dilakukan dengan actual cost atau menambah mark up. Untuk gambar 3 pembebanan melalui actual cost dilihat dari kehadiran tenaga ahli di perusahaan tersebut selama berapa hari dan berapa akomodasi yang dikeluarkan selama tenaga ahli tersebut berada di Indonesia, maka atas pengeluaran tersebut
ditagihkan kepada perusahaan dan oleh perusahaan dibayar atas biaya-biaya tersebut dibayarkan semua. Namun, bisa saja pembebanannya dengan actual cost ditambah dengan mark up. Pemberian mark up harus disesuaikan dengan fungsi dari perusahaan pemberi jasa dan expected benefit dari jasa yang diberikan. Pembebanan atas jasa juga dapat berdasarkan turn over, misalnya jasa yang diberikan oleh induk perusahaan merupakan jasa marketing, sehingga allocation key yang cocok yaitu berdasarkan turn over. b.
Pendirian Service Center Perusahaan multinasional lebih memilih untuk menyediakan jasa antar group
perusahaan dibandingkan dengan menggunakan jasa pihak ketiga. Dalam rangka penyediaan jasa tersebut dapat dilakukan oleh induk perusahaan atau perusahaan induk mendirikan perusahaan khusus yang bertugas menjadi service center dari group perusahaan multinasional. Jasa yang disentralisasi disesuaikan dengan tipe bisnis dan struktur organisasi group. Jasa yang diberikan oleh service center dapat berbentuk jasa administrasi, jasa finansial, jasa dalam bidang produksi, distribusi atau marketing dan jasa pemberian pelatihan. Service center dapat juga digunakan oleh induk perusahaan untuk menjaga intangible property perusahaan. Gambar 5.2 merupakan skema pemberian intra group services dimana perusahaan induk mendirikan perusahaan yang berfungsi sebagai service center. Gambar 4 Skema Intra Group Services dengan Pendirian Service Center
Induk Perusahaan
A
B
Service Center
Sumber: Olahan Penulis dari Wawancara Mendalam
Ilustrasi Gambar 4 adalah perusahaan induk
mendirikan perusahaan jasa yang
bertugas sebagai pemberi jasa untuk perusahaan dalam groupnya jadi fungsi perusahaan tersebut sebagai service center. Services center tersebut menyediakan jasa untuk anak perusahaan group tersebut, yaitu A dan B. Perusahaan yang berfungsi sebagai service center bisa saja tidak hanya memberikan jasa kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa saja
(cost center), tetapi bisa juga kepada pihak ketiga yang independen (profit center). Jasa yang diberikan oleh service center merupakan jasa yang apabila dilakukan oleh perusahaan lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa bersedia untuk membayar atas penyerahan jasa tersebut. c.
Skema Costs Sharing atas IT Software Cost sharing didasarkan pada pemikiran bahwa group perusahaan dapat secara
bersama-sama membagi pengeluaran dan biayanya dibagi kepada para anggota berdasarkan manfaat yang diperoleh. Cost sharing yang dilakukan oleh subsidiary berbeda dengan alokasi biaya kantor pusat kepada bentuk usaha tetap (BUT). Alokasi biaya kantor pusat merupakan biaya administrasi yang dikeluarkan kantor pusat berkaitan dan dalam rangka untuk menunjang usaha atau kegiatan BUT yang bersangkutan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara (3M) penghasilan. Biaya administrasi yang dikeluarkan kantor pusat setinggitingginya adalah sebanding dengan besaran peredaran usaha atau kegiatan BUT di Indonesia terhadap seluruh peredaran usaha atau kegiatan perusahaan di seluruh dunia. Gambar 5.3 merupakan skema pemberian intra group services dengan skema cost sharing atas IT (information technology) software. Gambar 5 Skema Cost Sharing atas IT Software Induk Perusahaan
A
B
IT Provider
C
Sumber: Olahan Penulis Dari Wawancara Mendalam
Ilustrasi Gambar 5 adalah Group perusahaan R melakukan perjanjian pengadaan IT software, kesepakatan untuk IT keseluruhan group dilakukan antara perusahaan induk dengan perusahaan IT provider. Nantinya setiap perusahaan dalam group tersebut dibebani untuk membayar untuk IT Software tersebut. Pembebanan untuk skema pada Gambar 5 dengan menggunakan metode indirect. Ketika melakukan perjanjian pengadaan IT dengan IT provider berapa yang dikeluarkan perusahaan induk, lalu dibebankan kepada anak perusahaannya sesuai dengan manfaat yang diperoleh, misalnya dibagi berdasarkan jumah software yang digunakan oleh setiap subsidiary. Kemudian apabila ditambah suatu mark up, maka harus digunakan mark up yang wajar sesuai dengan fungsi perusahaan pemberi jasa.
Misalnya untuk skema Gambar 5 mark up yang sesuai atas mark up wajar perusahaan agen karena induk perusahaan bertindak sebagai penghubung antara subsidiary dan IT provider. Atas skema intra group services yang diterapkan perusahaan multinasional tersebut ketika dilakukan pemeriksaan, hal pertama yang akan dilakukan oleh pemeriksa adalah menentukan apakah terdapat manfaat ekonomis atas pemberian jasa dari induk perusahaan kemudian menentukan apakah atas jasa yang diberikan oleh perusahaan induk dapat dilakukan sendiri oleh subsidiary atau tidak, dan apakah terdapat duplikasi atas jasa yang diberikan oleh induk perusahaan dan pihak ketiga. Berikut akan dijelaskan mengenai permasalahan apa saja yang dapat timbul akibat dari implementasi perencanaan pajak dengan skema transfer pricing atas intra group services. 1. Ketidaktahuan Subsidiary Perusahaannya
Company
Mengenai
Kebijakan
Transfer
Pricing
Desain dari perencanaan pajak pada perusahaan multinasional berada di tangan perusahaan induk (holding company) dan dibuat untuk setiap level perusahaan multinasional guna meminimalkan beban pajak kumulatif groupnya tersebut. Namun, hal ini berakibat bahwa yang mengetahui secara jelas bagaimana perencanaan pajak yang dilakukan oleh perusahaan multinasional adalah induk perusahaan tersebut. Ketidaktahuan subsidiary bahwa perusahaan induk melakukan skema transfer pricing atas transaksi dengan perusahaan induknya dapat berdampak ketika subsidiary diperiksa tidak dapat memberikan penjelasan mengenai skema transfer pricing tersebut. Seperti yang diketahui bahwa dua hal yang harus diperhatikan pada pemberian intra group services adalah apakah jasanya benar-benar jadi dan apakah harga yang dibebankan merupakan harga pasar wajar. Apabila perusahaan tidak mengetahui
bahwa perusahaannya melakukan skema transfer pricing saat dilakukan
pemeriksaan akan sulit untuk menjelaskan manfaat ekonomis atas transaksi intra group services, apalagi menentukan harga pasar wajarnya. 2. Pengetahuan Pemeriksa Pajak yang Belum Merata Mengenai Transfer Pricing Kecenderungan pemeriksa pajak untuk melakukan koreksi atas transaksi intra group services dapat diakibatkan karena pemahaman pemahaman mengenai transaksi transfer pricing yang belum luas dan merata antara Kantor Pelayanan Pajak yang satu dengan Kantor Pelayanan Pajak yang lainnya. Ketidakmerataan pemahaman fiskus khususnya pemeriksa pajak terhadap skema transfer pricing dapat menyebabkan perbedaan penerapan peraturan antar Kantor Pelayanan Pajak atas beberapa kasus transaksi transfer pricing yang sama. Hal
disebabkan salah satunya karena transfer pricing di Indonesia merupakan ilmu yang masih dianggap baru dan baru menjadi concern beberapa tahun ini, sehingga masih banyak otoritas pajak yang belum menguasai transfer pricing. Selanjutnya pemeriksa pajak pada DJP yang dapat menangani kasus transfer pricing masih terbatas dibandingkan dengan jumlah wajib pajak yang diperiksa, serta pemeriksa pajak yang ada tersebut belum memiliki pengetahuan yang cukup mengenai transaksi transfer pricing. 3. Kurang Detailnya Peraturan yang Mengatur Mengenai Transfer Pricing Khususnya Mengenai Intra Group Services Penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi apabila terdapat manfaat ekonomis dari jasa tersebut.
Berdasarkan OECD Transfer Pricing Guidelines chapter 7.6 untuk
mengetahui adanya manfaat ekonomis dari intra group services bagi penerima jasa ditentukan dengan dua pertanyaan, yaitu apakah perusahaan independen bersedia untuk membayar atas penyerahan jasa jika dilakukan oleh perusahaan yang tidak mempunyai hubungan istimewa dan apakah perusahaan yang independen tersebut dapat melakukan sendiri aktivitas jasa tersebut. Namun, dalam peraturan perpajakan belum dijelaskan mengenai manfaat ekonomis seperti apa yang dapat membuktikan bahwa jasa telah benar-benar terjadi, hal ini dapat mengakibatkan perbedaan persepsi antara wajib pajak dan pemeriksa pajak mengenai apakah manfaat ekonomis itu. Karena bisa saja terjadi bahwa menurut wajib pajak jasa tersebut memberikan manfaat ekonomis, tetapi menurut pemeriksa pajak pemberian jasa tersebut tidak memberikan manfaat ekonomis. Selanjutnya mengenai transaksi yang tidak memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha hanya diatur mengenai share holder activity sedangkan untuk jenis jasa lain, seperti duplication services, incidental benefit, passive association benefit, dan on call services yang menurut OECD Transfer Pricing Guidelines chapter 7 yang seharusnya tidak ditagihkan belum diatur di dalam PER-32/PJ/2011. Sebenarnya ini bisa saja menjadi salah satu loopholes untuk melakukan perencanaan pajak tapi pemeriksa pajak dalam melakukan pemeriksaan sekarang tidak berpatokan pada PER-32/PJ/2011 saja tapi juga pada OECD guidelines. Namun, OECD hanyalah suatu guidelines, seharusnya jenis jasa tersebut diatur dalam suatu peraturan perpajakan. Selanjutnya pada PER-32/PJ/2011 belum diatur secara jelas mengenai dokumentasi atas intra group services, seperti dokumentasi apa yang harus dibuat oleh wajib pajak untuk membuktikan bahwa transaksi jasanya merupakan transaksi yang boleh dibebankan sesuai
dengan ketentuan perpajakan. Pada pasal 18 PER-32/PJ/2011 hanya menjelaskan bahwa wajib pajak dapat menentukan sendiri jenis dan bentuk dokumen yang disesuaikan dengan bidang usahanya sepanjang dokumen tersebut mendukung penggunaan metode penentuan harga wajar atau laba wajar yang dipilih. OECD Transfer Pricing Guidelines mengingatkan bahwa otoritas pajak harus memberikan perhatian besar terhadap biaya dan beban administrasi yang harus ditanggung wajib pajak dalam mempersiapkan dokumentasi atas transfer pricing.
Kesimpulan Berdasarkan uraian dan pembahasan di bab sebelumnya, maka dapat ditarik beberapa simpulan atas implementasi perencanaan pajak dengan transfer pricing atas intra group services pada perusahaan multinasional berbentuk subsidiary company, sebagai berikut: 1.
Dalam Pasal 14 PER-32/PJ/2011, transaksi jasa dianggap memenuhi prinsip kewajaran dan kelaziman usaha sepanjang memenuhi ketentuan bahwa penyerahan atau perolehan jasa benar-benar terjadi dan nilai transaksi jasa berdasarkan nilai pasar wajar. Dalam penentuan apakah jasa benar-benar terjadi, wajib pajak membuktikan bahwa transaksi jasa yang diberikan oleh induk perusahaan terdapat manfaat ekonomis. Pembuktian atau dokumentasi untuk transaksi jasa salah satunya dengan adanya agreement yang berisikan antara lain jenis jasa yang diberikan, manfaat jasa tersebut untuk pihak yang menerima, serta kewajiban para pihak. Untuk penentuan harga pasar wajar transaksi jasa menggunakan tiga metode, yaitu Comprable Uncontroled Price, Cost Plus Method, dan Transactional Profit Method. Penggunaan metode disesuaikan dengan kondisi wajib pajak.
2.
Permasalahan-Permasalahan yang timbul dalam implementasi perencanaan pajak dengan
skema transfer
pricing atas intra
group
services
adalah
kurangnya
pengetahuan pemeriksa pajak mengenai transaksi transfer pricing sehingga menyebabkan dilakukannya koreksi, ketidaktahuan subsidiary bahwa perusahaannya melakukan skema transfer pricing karena transfer pricing policy biasanya ada di induk perusahaan, dan yang terakhir adalah kurang detailnya peraturan yang mengatur mengenai transfer pricing sehingga sering memunculkan sengketa pajak antara fiskus dan wajib pajak.
Saran Bagi Pihak Wajib Pajak: 1.
Sebelum menerapkan suatu skema, perusahaan sebaiknya melakukan riset mengenai kemungkinan apa saja yang akan terjadi apabila wajib pajak menerapkan skema transfer pricing atas intra group services tersebut.
2.
Dalam penerapan skema tersebut diperhatikan mengenai dokumentasi transfer pricing. Wajib pajak harus menyiapkan bukti-bukti yang dapat digunakan untuk membuktikan bahwa transaksi pemberian jasa yang diberikan oleh pihak yang memiliki hubungan istimewa adalah benar-benar terjadi dan harga transaksi tersebut merupakan harga pasar wajar dan sesuai dengan karakteristik perusahaan.
Bagi Pihak Otoritas Pajak: Berdasarkan siaran pers DJP akan dilakukan penyusunan Rancangan Peraturan Menteri Keuangan (RPMK) tentang transfer pricing. Diharapkan Peraturan Menteri Keuangan tersebut dapat secepatnya dikeluarkan dan memuat lebih detail menenai transfer pricing atas intra group services dengan menambahkan contoh-contoh kasus mengenai transfer pricing atas intra group services dan proses pembuktian manfaat ekonomis serta penentuan harga pasar wajar. Daftar Referensi
Darussalam dan Danny Septriadi. (2008). Konsep dan aplikasi cross border transfer pricing untuk tujuan perpajakan. Jakarta: Danny Darussalam Tax Center. Ernst & Young’s. (2010).
Global transfer pricing survey addressing the challenges of
globalization . Feinschreiber, Robert. (2004). Transfer pricing methods: An application guide. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc. Feinschreiber , Robert and Margaret Kent. (2012). Transfer pricing handbook: Guidance for the OECD Regulations. New Jersey: John Wiley & Sons, Inc.
Gunadi. (2007). Pajak internasional. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Hutabarat, Jemlsy dan Martani Husein. (2012). Strategi: Pendekatan komprehensif dan terintegrasi. Jakarta: UI Press. Mehta, Narayan. (2005). Formulating an intra group management fee policy: An analysis from a transfer pricing and international tax perspective. Amsterdam: IBFD. Moleong, Lexy J. (2007). Metodologi penelitian kualiatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Rahayu, Ning dan Iman Santoso. (2007). Bunga rampai perpajakan Indonesia. Jakarta: Fisip UI Press. Rohatgi, Roy. (2002). Basic international taxation. New York: Kluwer Law Internasional. Soemitro, Rochmat. (1986). Hukum pajak internasional Indonesia. Bandung: PT Eresco. Spitz, Barry. (1983). Internasional tax planning. London: Butterworths. Suandy, Erly. (2011). Perencanaan pajak (edisi 5). Jakarta: Salemba Empat. Sumarsan, Thomas. (2012). Tax review dan strategi perencanaan pajak. Jakarta: PT. Indeks.