IMPLEMENTASI PELAYANAN PUBLIK DALAM RANGKA PEMENUHAN PUBLIC GOODS Oleh : Romi Sukma, S.H. Staf BKD Provinsi Sumatera Barat
I. Pendahuluan Pengurangan nilai publicness dari lembaga-lembaga publik di Indonesia menjadi fenomena tersendiri. Isu efisiensi dan way of work dari institusi makro di sektor publik yang bermasalah selalu mengemuka bila menyinggung reduksi penyediaan public goods dalam pemenuhan public needs. Penyediaan public goods adalah kewajiban negara, namun kenyataannya barang publik serupa yang disediakan swasta memiliki kualitas dan pelayanan yang lebih baik. Misalnya saja, kualitas dan kapasitas tempat tidur yang disediakan rumah sakit swasta jauh lebih baik dan lebih banyak. Dari tahun ke tahun daya tampung perguruan tinggi swasta juga lebih tinggi bila dibandingkan dengan perguruan tinggi negeri. Apalagi masyarakat dengan kemampuan daya beli yang lebih, membutuhkan pelayanan dan kualitas barang publik yang tinggi. Pada tahap ini, peluang yang diberikan negara terhadap swasta dalam penyediaan barang publik tidak menjadi masalah. Masyarakat jadi memiliki lebih banyak opsi dalam memilih barang publik yang mereka inginkan. Namun jika swasta sudah mendominasi atau menguasai penyediaan barang publik padahal senyatanya penyediaan itu seharusnya dilakukan sepenuhnya oleh negara, maka ini yang menjadi masalah. Negara tidak cukup hanya menjadi pengatur atau pengawas penyediaan barang publik. Negara tidak bisa menjadikan dalih efisiensi untuk mereduksi peran kepublikannya dengan memberikan ruang yang terlalu luas bagi pasar. II. Penyediaan Barang Publik Oleh Pemerintah Walaupun barang publik tidak selalu diartikan sebagai barang yang diproduksi oleh Pemerintah, namun pada awalnya karena sifat barang publik yang unik, ia menjadi tidak mungkin dialokasikan ke dalam mekanisme pasar. Sebagai contoh sistem hukum, pertahanan nasional, pemerintahan, marka jalan, lampu lalu lintas dan sebagainya. Kemudian negara dalam prakteknya tidak mungkin menerapkan prinsip-prinsip manajemen bisnis karena kebijakan yang nantinya dikeluarkan harus benar-benar didasarkan respon atas public affairs dan perwujudan public needs, sehingga tidak mungkin di satu sisi mengizinkan negara bergelut dengan kalkulasi profit karena negara tidaklah sama dengan perusahaan besar. Begitupun sebaliknya bahwa seorang pengusaha tidak bisa menjadi seorang pemberi formulasi dalam kebijakan ekonomi (Krugman, 2010). Karena sifat barang publik yang unik inilah maka muncul dua alasan mengapa sebaiknya barang publik penyediaannya dilakukan oleh Pemerintah, yang pertama yaitu tidak
boleh ada unsur persaingan dalam mendapatkan barang publik. Masyarakat seharusnya diberikan keleluasaan dalam memperoleh atau menggunakan barang publik. Dalam mengkonsumsi barang publik, seseorang tidak berhak menghalangi orang lain untuk ikut mengkonsumsinya. Kemudian yang kedua adalah penghargaan masyarakat terhadap barang publik. Masyarakat tidak boleh mengeluarkan sejumlah uang dalam memanfaatkan barang publik yang tersedia. Penghargaan masyarakat terhadap kualitas penyediaan barang publik dapat diukur dengan tingkat kepuasan dalam penggunaannya dan sejauh mana kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga dan memilikinya. Misalnya dalam pemanfaatan ruang terbuka hijau (RTH). Intensitas pengunjung yang datang setiap hari dapat menunjukkan tingkat kepuasan pengunjung atas tempat tersebut serta kesadaran masyarakat untuk ikut menjaga kebersihan dan kenyamanannya juga merupakan suatu penghargaan yang tidak dapat dinilai dengan uang. Pembatasan atas kegunaan dan manfaat suatu barang publik dapat mengurangi total kesejahteraan masyarakat yang ingin menikmatinya. III. Kendala Dalam Penyediaan Barang Publik Oleh Pemerintah Kendala utama penyediaan barang publik oleh negara adalah masalah efisensi dan akuntabilitas. Penyediaan barang publik oleh negara yang tidak efisien menjadi legitimasi masuknya pihak swasta untuk ikut serta dalam penyediaannya. Keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh pemerintah sering menjadi masalah dalam penyediaan barang publik. Keterbatasan ini menyebabkan pemerintah tidak mampu menyediakan barang publik secara optimal sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat (Spackman, 2002). Institusi publik di tengah masalah kelembagaan, sistem manajemen dan pengaruh politik yang ada menjadi penyebab inefisiensi dan terhambatnya optimalisasi pelayanan publik. John T. Dunlop menggambarkan sepuluh aspek organisasi manajemen publik (Lane, 1986). Aspek-aspek ini yang menjadi kendala dalam mencapai efisiensi dan produktivitas kebanyakan organisasi publik, sebagai berikut: 1. Perspektif Waktu Institusi publik di Indonesia tidak bisa melepaskan dirinya dari pengaruh politik lima tahunan. Secara praktek, target-target kegiatan yang disusun oleh beberapa institusi publik akan sulit tercapai hanya dalam tempo sesingkat itu. Sebagai contoh, agenda reformasi birokrasi yang dicanangkan oleh Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi baru sedikit terasa efek baiknya bagi pelaksanaan birokrasi di daerah tapi sudah dibatasi oleh kalender politik lima tahunan. 2. Lamanya Menjabat Kalender politik lima tahunan juga membatasi masa kerja pejabat tinggi dan pimpinan pada organisasi publik. Padahal banyak agenda-agenda reformasi yang tidak bisa dilaksanakan hanya dalam tempo lima tahun. Kendalanya bila pejabat setelahnya memiliki visi dan misi yang berbeda, maka agenda itu akan terhenti begitu saja.
3. Ukuran Keberhasilan Sangat sulit menentukan indikator keberhasilan pimpinan organisasi publik. Indikator keberhasilan saat ini hanya didasarkan pada serapan anggaran, yang justru tidak sedikit masuk ke kantong-kantong individu. 4. Kendala Kepegawaian Pegawai negeri lebih tidak bisa diharapkan untuk bekerja lebih efisien, produktif, dan jujur, sedangkan yang ada di pikirannya hanya bertahan hidup dengan gaji yang kecil. 5. Kesamaan dan Efisiensi. Di sektor publik tekanan lebih diberikan kepeda peningkatan kesamaan manfaat dari suatu program publik untuk berbagai kelompok masyarakat. 6. Proses Publik Sorotan yang lebih luas kepada organisasi publik baik dari masyarakat luas maupun lembaga pengawas eksternal seperti Ombudsman, membuat inefisiensi di organisasi publik semakin terlihat karena tidak adanya pembenahan yang dilakukan secara serius dari tahun ke tahun. 7. Peranan Media Massa Organisasi publik harus senentiasa berhadapan dengan media massa yang meliput aktivitas dan melaporkan kinerjanya. 8. Persuasi dan Pengarahan Pejabat publik cenderung bersikap kompromis terhadap tekanan yang saling berlawanan. 9. Dampak Legislatif dan Judisial Pejabat publik seringkali menerima pengawasan dari legislatif atau bahkan dipengaruhi oleh keputusan peradilan. 10. Misi Misi pemerintah sering terlalu abstrak, kurang operasional dibanding organisasi swasta (misalnya mencari untung, memperluas pasar, atau menjaga kelangsungan organisasi). Selain itu, M. Shamsul Haque juga menyebutkan beberapa poin yang menjadi hambatan lembaga publik dalam mewujudkan publicness dalam perannya menyediakan barang publik atau layanan publik, diantaranya (Haque, 2001) : 1. Kekuasaan yang berlebihan dari lembaga publik 2. Kurangnya akuntabilitas 3. Representasi dalam lembaga publik 4. Public needs tidak terwujud 5. Sulitnya kases 6. Depolitisasi di kalangan masyarakat IV. Kartu Indonesia Sehat sebagai Barang Publik dari Pemerintah Sektor kesehatan menghasilkan barang publik yang unik. Campur tangan negara untuk menjamin masyarakatnya mendapatkan pelayanan kesehatan yang optimal merupakan tanggung jawab publicness yang besar dan luas. Oleh karena itu, walaupun Indonesia
membuka diri terhadap pengaruh globalisasi dengan diberikannya keleluasaan bagi swasta untuk memproduksi barang publik pada sektor ini, namun Pemerintah tetap memberlakukan suatu jaminan kesehatan untuk melindungi seluruh penduduknya. Dengan sistem ini peran negara terbilang cukup besar dalam mengelola sektor kesehatan terutama dalam hal pembiayaan. Tujuannya tidak lain adalah untuk melindungi seluruh masyarakat khususnya masyarakat yang kurang mampu. Kartu Indonesia Sehat (KIS) adalah inisiatif Pemerintahan Jokowi-JK. Melalui KIS ini, anggaran kesehatan akan ditanggung oleh APBN dengan jumlah besaran 5 % dari APBN. Dengan anggaran itu, KIS akan menjadi penyempurna layanan jaminan kesehatan yang sebelumnya sudah ada, jangkauan pesertanya akan lebih luas hingga menyentuh masyarakat tuna wisma, penghuni panti sosial, dan bayi yang baru lahir. KIS tidak hanya meng-cover biaya pengobatan, tetapi juga biaya pencegahan termasuk edukasi kepada masyarakat. Menurut Ketua Tim Media Center Jokowi-JK, Zuhairi Misrawi, ada beberapa hal penting yang terkandung dalam KIS. KIS akan membangun sistem yang dimulai dengan perbaikan data penduduk, terutama menyangkut masyarakat miskin dan tidak mampu. Masyarakat miskin yang dimaksud dalam pemerintahan Jokowi-JK adalah mereka yang penghasilannya sama dengan atau lebih kecil dari upah minimum kota/ kabupaten. Selanjutnya, dengan dijalankannya KIS, maka APBD kesehatan tidak lagi digunakan untuk jaminan kesehatan sosial bagi masyarakat miskin dan tidak mampu. APBD Kesehatan bisa dioptimalkan untuk peningkatan fasilitas kesehatan dan insentif tenaga kesehatan. Kemudian, KIS juga akan memberi kepastian peningkatan kesejahteraan bagi tenaga kesehatan, terutama menyangkut status kerja dan upah bagi tenaga kesehatan. V. Reduksi Peran Negara Dalam Penyediaan Barang Publik Selain
beberapa
permasalahan
penyediaan
barang
publik
sebagaimana
disampaikan sebelumnya, berkurangnya peran Pemerintah dalam menyediakan barang publik juga dapat disebabkan oleh faktor eksternal organisasi atau institusi publik itu sendiri. Pengaruh kekuatan global yang ditunjukkan dengan kemenangan kekuatan pasar, diterima bahkan diadopsi Pemerintah melalui reorientasi kebijakan berupa deregulasi, privatisasi dan liberalisasi. Privatisasi dan perdagangan bebas telah menjadi semboyan-semboyan baru yang menggantikan nasionalisasi dan substitusi impor (Fukuyama, 2004). Dengan semakin meluas dan bebasnya ruang pasar ini, para pemilik komoditas memperoleh suatu otonomi privat. Pengertian positif „privat‟ muncul dengan mengacu pada konsep kekuasaan yang bebas mengendalikan property yang dikelola dengan cara-cara kapitalis (Habermas, 2012). Namun kekuatan pasar dengan besarnya pengaruh kepentingan ekonomi di dalamnya, mampu menggiring dalih keterbatasan kemampuan negara dalam pemenuhan public goods untuk tetap berputar pada isu efisiensi dan akuntabilitas. Masuknya pengaruh pasar pada kondisi negara yang tidak efisien dan tidak akuntabel tersebut dinilai sebagai momen yang tepat. Negara pun mengamini bahwa pasar dianggap sebagai solusi permasalahan inefisiensi.
Pada sisi ini, efisiensi penyediaan barang publik sulit dilakukan dengan mengandalkan mekanisme pasar. Karena bersifat nonrival dan nonexcludable, maka upaya memisahkan individu-individu yang tidak membayar tidak hanya sulit dilakukan tetapi juga memerlukan biaya tinggi. Solusinya adalah pemerintah memproduksi atau menyediakan sendiri barang publik atau memberikan subsldi kepada sektor swasta untuk memproduksi barang publik pada tingkat output yang efisien sesuai dengan demand (permintaan) dari semua orang yang mendapatkan manfaat dari barang publik itu (Murti, 2003). Sebelum mereduksi perannya tersebut, pemerintah sebaiknya mempertimbangkan mutu, biaya pengawasan yang akan dikeluarkan, dan struktur pasar yang berlaku di Indonesia. Apakah dimungkinkan adanya hubungan kemitraan dengan pihak swasta untuk barang publik tertentu. Pengurangan peran ini hanya bisa terjadi bila terbukti peran organisasi atau institusi publik dalam menyediakan barang publik selama ini betul-betul sudah tidak bisa diharapkan lagi karena berbagai permasalahan yang melingkupinya. Pemerintah harus dapat memastikan betul bahwa penyediaan barang publik yang dilakukan swasta dilakukan karena motif sosial bukan semata-mata mencari keuntungan. Dalam melakukan aktivitasnya, kewenangan organisasi swasta diberikan dan dibatasi oleh otoritas ekonomi (Pesch, 2008). VI. Penyediaan Barang Publik oleh Swasta Sebagai Alternatif Pelayanan Publik Agar organisasi swasta memenuhi publicness dalam penyediaan barang publik, Chandler mengatakan bahwa pimpinan sebuah organisasi swasta harus mampu mengelola berbagai aspek, seperti opini publik, tujuan penyediaan yang tidak jelas, dan tendensi monopolistik (Pesch, 2008). Beberapa alasan yang mendasari mengapa pembiayaan oleh pihak swasta lebih dipilih dibandingkan dengan pemerintah dalam penyediaan barang publik adalah (Spackman, 2002): 1. Easing macroeconomic constraints Ketidakmampuan Pemerintah dalam pembiayaan sektor publik. Kondisi ini hanya berlaku di negara berkembang, sedangkan di negara maju harus didasari oleh pertimbangan efisiensi. 2. Bypassing controls on public service investment Adanya kontrol publik terhadap akuntabilitas pengeluaran publik di berbagai sektor. Sejumlah sektor tertentu dapat mengalami overinvestment, sebaliknya sektor lainnya yang merupakan barang publik mengalami underinvestment (misalnya jalan, rumah sakit dan lain-lain). Dengan keterlibatan pihak swasta hal tersebut dapat diatasi. 3. Evading formal constraints on borrowing or spending Alasan ini terkait dengan batasan rasio hutang terhadap PDB. 4. Semi-privatisation of self-financing projects Kemudahan menaikan tarif (iuran atau pajak), karena harus menyesuaikan dengan kontrak yang telah disepakati dengan pihak swasta. 5. Capital rationing as an instrument for change
Keterlibatan pihak swasta dapat menciptakan cost-effective service delivery. Selain itu, penyediaan barang publik oleh swasta lebih cepat dibandingkan jika melihat kemampuan anggaran yang dimiliki pemerintah. 6. More effective monitoring by private financiers Sistem monitoring penyediaan barang publikoleh pihak swasta yang lebih efektif. 7. The contractual benefits of long-term capital at risk Komitmen jangka panjang terhadap financial risk. 8. Enforcement of whole life costing Desain penyediaan barang publik yang berorientasi jangka panjang, sehingga menghasilkan kualitas barang publik yang lebih baik (efisien). Di samping itu, kepublikan (publicness) dipandang sebagai kunci dalam memahami perilaku organisasi dan manajemen di semua organisasi, tidak hanya organisasi pemerintahan. Organisasi swasta pada derajat tertentu dipengaruhi oleh otoritas publik, dan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh organisasi pemerintah, misalnya kontrol media massa, tidak adanya bottom line, pengaruh politik dalam pengambilan keputusan, dialami juga oleh organisasi swasta (Bozeman, 1987). Penyediaan barang publik oleh swasta dapat mendorong pertumbuhan barang publik yang lebih cepat sehingga meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Hal ini dilihat dari keinginan individu atas konsumsi jangka pendek dibandingkan dengan konsumsi jangka panjang. Namun di balik itu, adanya jaminan peningkatan kesejahteraan masyarakat juga diikuti dengan meningkatnya biaya yang harus ditanggung oleh masyarakat dalam bentuk pajak, iuran, dan lain-lain. Swasta memiliki cara tersendiri dalam mengatasi pengaruh eksternalitas dan sifat unik yang dimiliki oleh barang publik. Misalnya penyediaan saluran televisi yang pada awalnya merupakan barang publik yang dapat dinikmati oleh banyak orang, kemudian dikembangkan sistem periklanan oleh swasta. Selain itu, dikenal pula TV kabel yang siarannya hanya dapat dinikmati oleh mereka yang membeli layanan itu. Bila penyediaan barang publik sepenuhnya diserahkan kepada swasta, maka masyarakat akan menanggung beban biaya yang lebih tinggi. Pihak swasta bersifat menghindari variability risk karena adanya asymmetric reward, sehingga semakin tinggi tingkat uncertainty (revenue risk) dari suatu penyediaan barang publik, maka biaya penyediaan barang publik oleh pihak swasta akan lebih tinggi dibandingkan jika disediakan oleh pemerintah (Spackman, 2002). Keterlibatan pihak swasta masih dilatarbelakangi pertimbangan ketidakmampuan anggaran. Bila tidak adanya keinginan politik Pemerintah dalam merancang pola hubungan publik-swasta dalam penyediaan barang publik, selama itu pula sistem penganggaran akan terganggu dan implementasi kebijakan atas penyediaan barang publik tidak akan dilaksanakan dan dihargai.
Salah satu contoh kasus yang harus menjadi pelajaran bagi pemerintah dalam hal pengelolaan dan penyediaan Good Public adalah penentuan kenaikan tarif tol. Fenomena ini bisa dikatakan sebagai salah satu akibat dari diserahkannya keleluasaan penyediaan barang publik secara perlahan kepada swasta. Ini adalah sebuah kebijakan privatisasi oleh negara yang dilaksanakan secara terstruktur. Privatisasi tol ini merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mengurangi perannya pada sektor bisnis yang bertujuan untuk lebih memberdayakan perekonomian masyarakat. Privatisasi jalan tol dimulai melalui sistem pelelangan di pasar modal untuk mendapatkan investor sebagai pelaksana atau pengoperasi layanan tol. Jasa Marga yang kemudian terpilih diberikan hal pengelolaan dari Pemerintah. Hak ini merupakan jalan masuk yang sah menurut hukum yang dapat dimiliki oleh organisasi swasta untuk ikut mengelola barang publik. Hak pengelolaan ini diberikan melalui perjanjian atau kontrak antara pihak jasa marga dengan Pemerintah. Karena bersifat kontrak, maka Pemerintah seharusnya berhak menentukan hal-hal apa saja yang diinginkan atau tidak diinginkan masuk dalam perjanjian tersebut atau dengan kata lain seharusnya Pemerintah juga memiliki hak untuk menentukan apa yang terbaik dan tidak untuk masyarakat maupun Pemerintah sendiri. Beberapa argumen yang mendukung privatisasi Jasa Marga didasarkan pada akar teori kegagalan pemerintah dalam mengelola perekonomian (government failure), teori property rights, hubungan principal-agent, dan masalah insentif. Paling tidak, ada tiga teori paling klasik sebagai esensi dan urgensi privatisasi Jasa Marga, sebagai berikut : 1. Teori monopoli. Secara sederhana dikatakan bahwa Jasa Marga dalam banyak kasus sering menerima privilege monopoli. Akibatnya, Jasa Marga sering terjerumus menjadi tidak efisien karena hak istimewa ini. Esensinya, perusahaan swasta dimiliki oleh individu-individu yang bebas untuk menggunakan, mengelola, dan memberdayakan asset-asset privatnya. Konsekuensinya, mereka akan mendorong habis-habisan usahanya agar efisien. 2. Property rights Property rights swasta telah menciptakan insentif bagi terciptanya efisiensi perusahaan. Sebaliknya, Jasa Marga tidak dimiliki oleh individual, tetapi oleh “negara”. Dalam realitas, pengertian “negara” menjadi kabur dan tidak jelas. Jadi, seolah-olah Jasa Marga “tanpa pemilik”. Akibatnya jelas, manajemen Jasa Marga menjadi kekurangan insentif untuk mendorong efisiensi. 3. Teori principal-agent. Dalam teori ini diungkapkan bagaimana peta hubungan antara principal (pemilik Jasa marga adalah pemeritah). Sedangkan di sektor swasta, manajemen perusahaan (sebagai agen) sudah jelas tunduk dan loyal kepada pemilik atau pemegang saham (shareholders). VII. Kesimpulan Faktor kunci yang menentukan apakah suatu barang publik diproduksi oleh organisasi publik atau organisasi swasta adalah yang mana lebih efisien dalam pasar. Dalam beberapa
studi kontemporer terbukti bahwa swasta dapat menyediakan barang publik secara lebih efisien. Namun karena dua sifat barang publik yang unik, maka sebaiknya penyediaan barang publik dilakukan oleh pemerintah. Dua sifat itu yang pertama adalah tidak boleh ada unsur persaingan dalam mendapatkan barang publik, dan yang kedua terkait dengan penghargaan masyarakat terhadap barang publik. Masalah efisiensi karena keterbatasan anggaran pemerintah menjadi kendala penyediaan barang publik oleh pemerintah. Bergelutnya pemerintah pada masalah keterbatasan ditambah pula pengaruh kekuatan global yang memenangkan pasar, serta reorientasi kebijakan pemerintah menuju deregulasi, privatisasi, dan liberalisasi membuat penyediaan barang publik oleh swasta menjadi terbuka lebar. Penyediaan barang publik oleh swasta diyakini dapat mendorong pertumbuhan barang publik lebih cepat dan berkualitas. Namun bersamaan dengan itu, bila penyediaan barang publik dilakukan sepenuhnya oleh swasta, konsekuensinya masyarakat harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk menikmati barang publik tersebut. Pemerintah harus lebih berani mengeluarkan berbagai kebijakan yang melindungi masyarakatnya dan melindungi negara dengan cara bersikap tegas dalam hubungannya dengan organisasi swasta yang melanggar prinsip publicness dalam penyediaan barang publik.
Daftar Pustaka Bozeman, Barry. 1987. All Organization are Public : Bridging Public and Private Organizational Theories. San Francisco : Jossey Bass Fukuyama, Francis. 2004. The End of History and The Last Man: Kemenangan Kapitalisme dan Demokrasi Liberal. Yogyakarta: Qalam. Habermas, Jurgen. 2012. Ruang Publik : Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Yogyakarta : Kreasi Warna. Haque, M. Shamsul. 2001. The Diminishing Publicness of Public Service Under The Current Mode of Governance. Public Administration Review. Vol. 61 (1). Hal. 65-82. Krugman, Paul. 2010. Negara Bukan Perusahaan : Mengapa Kebijakan Ekonomi Tidak Bisa Dirumuskan oleh Pengusaha. Tangerang : Marjin Kiri. Lane, Frederick S. 1986. Current Issues in Public Administration (third edition). New York : St. Martin‟s Press. Murti, Bhisma. 2003. Intervensi Pemerintah Dalam Ekonomi Campuran : Penyediaan Public Goods dan Pengaturan Private Goods di Sektor Kesehatan. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan. Vol. 06 (4). Hal. 167175. Pesch, Udo. 2008. The Publicness of Public Administration. Administration and Society. Vol. 40 (2). Hal. 170-193. Spackman, Michael. 2002. “Public-private partnerships: lessons from the British approach”. Economic Systems. Vol. 26. Hal. 283-301.