Implementasi Kebijakan Kesehatan dan Keselamatan Kerja di Kota Bekasi Oleh : Dr. H. Adjat Daradjat, M.Si. Dosen LB FISIP UNLA
ABSTRACT Implementation of public policies in the field of occupational safety and health in the city of Bekasi felt still not optimal. This is evident from some of the indicators are as follows: the numbers are still high-risk work; including accidents, a lot of companies that do not comply with safety and health norms, and the number of target groups who do not understand the substance and the health and safety benefits to the effectiveness and workfare perusahaan.Peningkatan efficiency including the protection of health and safety, is part of the national development goals. Hence the formulation and establishment of policies relating to it should be done properly, so that the purpose for which is to protect workers and improve their welfare. This research uses descriptive qualitative method. Research informants as many as 10 people. Oenentuan informant research using Teknique snow ball. Secondary data collection using literature, studies and documents using descriptive observation method triangulated approach. Results showed findings reinforce the concept presented Edward III about the factors that influence policy implementation. It needs to be added from the concept is the importance of attention to external factors implementers, namely the political, social and economic environment. The third external factor besides directly influence the effectiveness of safety and health protection.
Pendahuluan Sejak Undang–Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja ditetapkan dan disahkan pada tanggal 12 Januari 1970, hingga saat ini implementasi kebijakan publik di bidang keselamatan dan kesehatan kerja dirasakan masih belum optimal. Hal ini dapat terlihat dari beberapa indikator berikut : a) Masih tingginya angka risiko kerja, seperti jumlah kecelakaan kerja, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, maupun kerusakan lingkungan kerja. Hal ini merupakan akibat dari kesalahan dalam sistem dan prosedur kerja, serta ketidakpatuhan dalam menerapkan standar keselamatan dan kesehatan kerja. b) Masih banyak kelompok sasaran (perusahaan dan tenaga kerja) yang belum mematuhi norma dan standar keselamatan dan kesehatan kerja, sebagaimana ditunjukkan oleh data pelanggaran hasil pemeriksaan pengawasan ketenagakerjaan.
c) Masih terjadi kekeliruan pemahaman pengusaha dan tenaga kerja mengenai makna dan manfaat keselamatan dan kesehatan kerja bagi efektifitas dan efisiensi perusahaan, serta lebih jauh bagi peningkatan kesejahteraan tenagakerja dan masyarakat. Kerugian yang ditanggung akibat kecelakaan tersebut tidak hanya berupa kerugian langsung dalam bentuk kompensasi yang dibayarkan, tetapi juga berupa kerugian tidak langsung, misalnya kehilangan hari atau waktu kerja yang produktif. Karena setiap risiko kerja yang terjadi baik itu kematian, cacat total, kehilangan tangan, kehilangan mata dan sebagainya biasanya disetarakan dengan kehilangan waktu kerja (Simanjuntak, 2004:131)] Salah satu faktor yang menyebabkan angka kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja menjadi tinggi adalah rendahnya tingkat pemahaman pimpinan perusahaan maupun tenaga kerja, mengenai tujuan dan manfaat keselamatan dan kesehatan kerja, serta ketidakpatuhan perusahaan untuk melaksanakan norma dan standar yang berlaku. Jumlah pelanggaran yang menggambarkan tingkat kepatuhan kelompok sasaran terhadap kebijakan keselamatan dan kesehatan kerja tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk : 1) Penyediaan alat pengaman kerja; 2) Penyediaan alat pelindung diri; 3) Mematuhi standar-standar keselamatan kerja yang telah ditetapkan; 4) Membentuk Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja (P2K3); 5) Memberikan pembinaan pada pekerja mengenai langkah– langkah keselamatan kerja; 6) Melaksanakan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3); 7) Melaporkan dalam hal terjadi kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja. Kondisi di atas mengindikasikan terjadinya kesenjangan antara sasaran dan tujuan yang diharapkan, dengan realitas senyatanya yang telah dicapai. Gejala ini oleh Andrew Dunsire dalam Wahab (1997:61) dinamakan dengan implementation gap, yaitu perbedaan antara apa yang diharapkan (direncanakan) oleh pembuat kebijakan, dengan apa yang senyatanya dicapai oleh pelaksana kebijakan. Kesenjangan tersebut menunjukkan ketidakefektifan implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di Indonesia. Di kota Bekasi adanya berbagai permasalahan krusial yang patut diduga merupakan faktor penyebab tidak efektifnya
implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja
tersebut. Beberapa fenomena tersebut adalah : 1)
Kapasitas sumber daya yang dimiliki pemerintah kota Bekasi untuk melaksanakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tidak memadai, seperti : a) jumlah dan kompetensi tenaga
pengawas ketenagakerjaan, b) data mengenai keadaan ketenagakerjaan serta sumber-sumber risiko yang digunakan, c) penempatan tenaga pengawas yang tidak sesuai dengan kemampuan dan kewenangan yang dimilikinya, d) terbatasnya sumber keuangan untuk membiayai kegiatan, serta terbatasnya fasilitas pemeriksaan dan pengujian untuk mendeteksi risiko kerja. 2)
Struktur birokrasi yang menempatkan fungsi pengawasan ketenagakerjaan untuk
mendukung
keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tidak memadai. 3)
Aksesibilitas
maupun
rentang
kendali
antar
tingkatan
pemerintahan
berkurang, yang menyebabkan terhambatnya arus informasi kebijakan. 4)
Sikap para pelaksana yang kurang mendukung, bahkan seringkali kontra produktif terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Keempat faktor di atas merupakan kelemahan yang ditemukan pada kapasitas organisasi
penyelenggara ketenagakerjaan di kota Bekasi. Badan pelaksana merupakan bagian dari sistem kebijakan (Dunn, 1981:46 serta Dye 1987:6), yaitu bagian dari komponen kelembagaan, proses dan perilaku (institution, process and behaviour). Hal yang sama dikemukakan oleh Goggin et all (1990:38) bahwa : “Organizational capacity refers to an institution’s ability to take purposeful action; it is a function of the structural, personnel and resource characteristics of state agencies”, yang menunjukkan bahwa faktor-faktor kapasitas badan pelaksana menjadi penentu terhadap kemampuan bertindak (the state capacity act) dalam keefektifan implementasi kebijakan. Hal tersebut sejalan dengan pemikiran Edwards III mengenai empat faktor kritis (four critical factors) yang mempengaruhi keefektifan implementasi kebijakan publik. Keempat faktor tersebut menurut Edwards III adalah : faktor komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana dan struktur birokrasi. Masalah di atas relevan untuk dilakukan penelitian dengan pertimbangan: 1.
Implementasi kebijakan yang merupakan salah satu dari dimensi kebijakan publik, seringkali menjadi titik lemah dalam penyelenggaraan administrasi negara, khususnya dalam fungsi pelayanan publik serta menyelesaikan urusan-urusan publik. Oleh karena itu perlu diteliti faktor-faktor yang mempengaruhi keefektifan implementasinya.
2.
Perlu diteliti sejauhmana kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja yang bersifat nasional diimplementasikan di kota Bekasi dalam penyelenggaraan otonomi daerah. Karena setiap daerah memiliki kondisi dan karakter yang spesifik, seperti : kemampuan untuk mendapatkan Pendapatan Asli Daerah, keputusan politik untuk menetapkan prioritas
pembangunan, kondisi
sosial, politik,
ekonomi dan budaya daerah yang sangat mempengaruhi pilihan prioritas
pembangunan. Berdasarkan hal tersebut dirumuskan masalah sebagai berikut : Bagaimanakah implementasi pelaksanaan kebijakan tentang keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk memperoleh pemahaman mengenai berbagai permasalahan, hambatan dan tantangan dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi Jawa Barat. Dari aspek praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan bagi dinas terkait maupun pemerintah kota Bekasi, untuk menyempurnakan proses formulasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, maupun dalam merancang strategi implementasi kebijakan di daerah, sehingga dapat menjadi model implementasi kebijakan yang berlaku umum.
Kajian Pustaka 1. Konsep Efektivitas Kebijakan Publik Keefektifan (effectiveness) berasal dari kata efektif, yang berarti terjadi suatu efek atau akibat yang dikehendaki dari suatu perbuatan. Ensiklopedia umum (1977:296) menyebutkan bahwa yang dimaksud keefektifan adalah menunjukkan taraf tercapainya suatu tujuan. Sangat sulit untuk menetapkan definisi keefektifan secara tunggal, karena konsep keefektifan dapat ditinjau dari berbagai perspektif yang berbeda. Setiap jenis atau tahapan proses kegiatan dalam suatu organisasi dapat memberikan pandangan yang berbeda-beda mengenai keefektifan. Hal tersebut dapat dilihat seperti di bawah ini : Pertama, keefektifan organisasi diartikan sebagai pencapaian sasaran-sasaran dari usaha kooperatif. Seperti dikemukakan oleh Barnard (1938:55) : “ What we mean by effectiveness … is the accomplishment of recognized objectives of cooperative effort. The degree of accomplishment indicated the degree of effectiveness”. Kedua, keefektifan organisasi diukur dari sejauhmana ia mencapai tujuan dengan nilai-nilai organisasi yang ada (Etzioni, 1964:18). Ketiga, diukur dari sejauhmana mencapai tujuan organisasi dari tingkat kelayakannya. (Steers, 1985: 5). Keempat, keefektifan berdasarkan tiga pendekatan yang berbeda yaitu pendekatan tujuan, pendekatan teori sistem dan pendekatan multiple constituency. (Gibson, 1996: 38-48).
Kelima,
keefektifan
organisasi
ditinjau
dari
kemampuan
organisasi
untuk
mengeksploitasi
lingkungannya, yaitu untuk mengambil sumber daya yang langka dan bernilai untuk mencapai tujuan organisasi. Hal tersebut seperti dikemukakan oleh Seashare dan Yuchtman dalam Katz dan Kahn (1966:226) : “as the ability of an organization to exploit its environment in the acquisition of scarce of valued resources to sustain its functioning”. Keenam, keefektifan organisasi dipandang sebagai karakteristik struktural dari masing-masing organisasi untuk mencapai keseimbangan tugas dan lingkungannya. Seperti dikemukakan oleh Lawrence dan Lorsch dalam Wexley dan Yulk (1984:289) : “the less effective firms in each case had structural characteristic that were in appropriate in many ways for their respective tasks and environment”. Ketujuh, ukuran keefektifan bagi suatu organisasi pemerintah dapat dilihat dari sejauhmana organisasi pemerintah dapat mencapai tujuan publik yang diinginkan, memenuhi keinginan-keinginan masyarakat dan pelayanan prima. Seperti dikemukakan oleh Epstein (1988:11) : Effectiveness measurement is a method for examining how well a government is meeting the public purposes it is intended to fulfill. Put another way, effectiveness refers to the degree to which services are responsive to the needs and desires of the community. Dengan luasnya makna keefektifan seperti diatas, maka diperlukan ukuran-ukuran yang lebih operasional. Sehingga Epstein (1988:13) mengusulkan 4 (empat) macam ukuran keefektifan sebagai berikut : 1. Measures of community conditions are important measure of effectiveness as they are the most explicit measure of community needs. These are generally the effectiveness measures that are least. Controllable by local services, so it is important to supplement then with other, more controllable measures of effectiveness. 2. Measures of service accomplishment can be more directly lied to a specific service program than can general community conditions. 3. Measures of citizen or client satisfaction and perceptions cover satisfaction with public service and perception of community conditions on the part of citizens in general, or specific clients or target group of particular programs. 4. Measures of the unintended adverse impact of a services create needs or problem that might not otherwise exist, or unintentionally aggravate existing problems.
Kita tidak bisa mengukur keefektifan dari perspektif tujuan saja karena banyak mengandung beberapa kelemahan. Karena disamping adanya berbagai tujuan dalam organisasi, juga sulitnya mengukur
tujuan / sasaran yang tidak jelas kelihatan (intangible) seperti halnya sering terjadi pada organisasi pemerintahan, maupun adanya perbedaan antara tujuan organisasi dengan tujuan anggota organisasi. Oleh karena itu, selain dari perspektif tujuan, maka keefektifan juga dapat dilihat dengan menggunakan model dari perspektif sistem. Hal ini dikemukakan oleh Georgopolous dan Tannenbaum dalam Etzioni (1969: 81) sebagai berikut : For theoritical resources, however it is preferable to look at the concept of organizational effectiveness from the point of view of the system itself of the total organization in question rather than from stand point as some its parts to the larger socciety. Pendekatan teori sistem menekankan pada elemen dasar organisasi, yaitu input-proses-output, serta pengaruh-pengaruh lingkungan yang diadaptasi. Terdapat perbedaan yang cukup mendasar untuk mengukur tingkat keefektifan organisasi pemerintah dengan organisasi usaha. Ukuran keefektifan dalam organisasi publik tidak hanya berdasarkan pencapaian tujuan yang telah ditetapkan, tetapi melibatkan berbagai kriteria lain yang sangat spesifik. Salah satu ukuran keefektifan bisa dilihat dari karakteristik paradigma administrasi negara baru seperti yang diintrodusir oleh Frederickson dalam Bellone (1980: 46-49), dimana nilai-nilai yang akan dimaksimumkan dalam administrasi negara baru adalah : 1.
Daya tanggap (responsiveness) dari pemerintah lebih meningkat terhadap masalah dan keinginan masyarakat.
2.
Lebih meningkatnya peluang bagi para pegawai dan warga negara untuk berpartisipasi dalam pembuatan keputusan (worker and citizen participation in decision making).
3.
Lebih diperhatikannya azas keadilan sosial (social equity) baik dalam penghasilan maupun distribusi hasil pembangunan dan kesamaan pelayanan.
4.
Memperluas peluang bagi warga negara dalam memilih pelayanan yang diharapkannya (citizen choice), sehingga mengurangi monopoli pelayanan oleh pemerintah.
5.
Meningkatnya
tanggungjawab
administrasi
terhadap
keefektifan
program
(administrative
responsibility for program effectiveness) Sedangkan mengenai kriteria keefektifan dalam implementasi kebijakan publik Mazmanian dan Sabatier mengemukakan empat kriteria yaitu : (1) kesediaan kelompok sasaran untuk mematuhi output kebijakan, (2) dampak berupa persepsi dari kelompok sasaran, (3) dampak nyata output kebijakan, dan (4) upaya revisi terhadap kebijakan.
Berdasarkan hasil penelitian di Amerika Serikat, menunjukkan bahwa perilaku patuh pada umumnya berhubungan dengan penilaian individu mengenai untung ruginya jika mematuhi peraturan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rodgers dan Bullock (1980), sebagaimana dikutip oleh Edwards III mengungkapkan hal yang sama, bahwa tingkat kepatuhan seseorang terhadap peraturan perundangundangan merupakan fungsi dari : (1) Kemungkinan bahwa pelanggaran akan mudah dideteksi dan diseret ke pengadilan (2) Tersedianya sanksi-sanksi yang menghukum pelanggaran (3) Sikap kelompok sasaran terhadap keabsahan dari kebijakan (4) biaya bagi kepatuhan yang harus dikeluarkan. Dampak nyata output kebijakan dapat diukur dari berbagai indikator misalnya: (1) perubahan perilaku yang diharapkan, (2) tercapainya suatu keadaan tertentu. Persepsi seseorang mengenai dampak kebijakan merupakan fungsi dari dampak nyata yang diwarnai dengan nilai-nilai orang yang mempersepsinya. Roger Brown (1965) mengemukakan teori disonansi kognitif, yaitu bilamana seseorang tidak sepakat terhadap dampak suatu kebijakan, maka ia akan memandang : (1) dampak tersebut tidak sejalan dengan tujuan kebijakan; (2) kebijakan tersebut merupakan sesuatu yang tidak sah;, dan (3) mempertanyakan keabsahan data (validitas dari dampak tersebut). Terjadinya perbaikan terhadap kebijakan yang dilaksanakan harus dipandang sebagai titik kulminasi dari proses implementasi (Abdul Wahab,1997:108). Karena upaya perubahan pada dasarnya merupakan fungsi dari persepsi terhadap kegiatan badan pelaksana dimasa lalu, terjadinya perubahanperubahan dikalangan masyarakat (termasuk kondisi sosial, ekonomi dan politik), serta perubahan posisi strategis lembaga-lembaga atasan dari badan pelaksana.
2. Konsep dan Kebijakan Perlindungan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah membuat dunia industri berlomba-lomba melakukan efisiensi dan meningkatkan produktivitas dengan menggunakan alat-alat produksi yang semakin kompleks. Makin canggih peralatan yang digunakan, makin besar pula potensi bahaya yang mungkin terjadi. Akibatnya akan makin besar pula peluang terjadinya kecelakaan kerja yang dapat ditimbulkan, apabila seiring dengan meningkatnya penggunaan teknologi tersebut tidak dilakukan penanganan dan pengendalian sebaik mungkin.
Dalam perkembangan pasar bebas dunia, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) telah menjadi isu global dan mempunyai kedudukan strategis, karena selain menyangkut aspek perlindungan tenaga kerja, lingkungan kerja, cara kerja, proses produksi, sangat erat pula kaitannya dengan pelaksanaan lingkungan hidup. Pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja juga merupakan salah satu pilar tegaknya hak azasi manusia (HAM). Hal tersebut dikemukakan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi pada Konvensi Keselamatan dan Kesehatan Kerja Tahun 2000, yang menyatakan : Oleh karena itu diadakannya Keselamatan dan Kesehatan Kerja untuk menciptakan tempat kerja yang aman dan sehat, yang dapat menjadi salah satu penentu kekuatan daya saing perusahaan, karena kualitas pelaksanaan Keselamatan dan Kesehatan Kerja dalam jangka panjang berpengaruh terhadap kualitas manajemen dan kualitas sumber daya manusia, serta efisiensi dan produktivitas perusahaan. Upaya mendorong peningkatan penerapan standar keselamatan dan kesehatan kerja, selain merupakan tugas fungsi instansi ketenagakerjaan, juga merupakan tugas dan fungsi berbagai instansi, antara lain di bidang industri dan perdagangan, di bidang kesehatan, kalangan pengusaha. Seperti dikemukakan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI pada seminar Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja dan Penerapan Standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja Di Era Globalisasi dan Otonomi Daerah (Februari 2002), kebijakan pemerintah mengenai keselamatan kerja di bidang industri dan perdagangan adalah sebagai berikut: 1. Kebijakan di bidang iklim usaha, diantaranya menciptakan aturan yang mendorong dunia usaha untuk memperlakukan tenaga kerja sesuai dengan norma-norma keselamatan dan kesehatan kerja. 2. Kebijakan di bidang lingkungan yaitu ketentuan melakukan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (ANDAL), Rencana Pengelolaan Lingkungan (RKL), Rencana Pemantauan Lingkungan (RPL), Unit Pengelolaan Lingkungan (UKL), Unit Pemantauan Lingkungan(UPL) sesuai dengan masing-masing jenis industri serta pengawasan operasionalnya secara berkelanjutan. 3. Peningkatan pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan keahlian dan keterampilan tenaga kerja dan sekaligus sebagai upaya memperkecil tingkat kecelakaan yang diakibatkan pekerja (human error). 4. Penerapan standar kompetensi jabatan, khususnya bagi jabatan yang dalam pekerjaannya sangat rawan kecelakaan kerja. 5. Penerapan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja bagi industri dan perdagangan, utamanya yang rentan terhadap kecelakaan.
Keselamatan kerja bukan hanya memberi keuntungan kepada pengusaha dan pekerja, tetapi juga bagi kepentingan konsumen. Hal tersebut seperti diatur di dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), Pasal 3 huruf (f) menyatakan: “ Tugas pokok perlindungan konsumen adalah meningkatkan kualitas barang dan/ atau jasa, kesehatan, kenyamanan, keamanan dan keselamatan konsumen ”. Pada kesempatan yang lain Raul Erickson dalam seminar Occupational, Environment, Health and Safety for Sustainable Development yang diselenggarakan di Jakarta pada tahun 1999 menyatakan bahwa keselamatan dan kesehatan kerja sangat besar peranannya dalam upaya meningkatkan produktivitas perusahaan, terutama dapat mencegah korban manusia dan segala kerugian akibat kecelakaan, dan secara positif untuk mewujudkan kualitas hidup masyarakat sesuai dengan tujuan pembangunan. Hasil penelitian yang diselenggarakan oleh Asean Occupational Safety and Health Network (ASEAN OSHNET) tahun 2002 menunjukkan bahwa dari jumlah kecelakaan kerja yang terjadi, secara umum dapat dikualifikasi bahwa kecelakaan yang disebabkan oleh kesalahan manusia (unsafe act) mencapai sebesar 78% dan disebabkan kondisi berbahaya dari peralatan (unsafe condition) sebesar 20% serta faktor lainnya sebesar 2%. Hal itu membuktikan bahwa perilaku manusia merupakan penyebab utama terjadinya kecelakaan di tempat kerja. Berkaitan dengan faktor penyebab terjadinya kecelakaan kerja Payaman Simanjuntak (2003:165) mengidentifikasi penyebab-penyebab sebagai berikut: a. pekerja yang bersangkutan tidak terampil atau tidak mengetahui cara mengoperasikan alat-alat tersebut; b. pekerja tidak hati-hati, lalai, dalam kondisi terlalu lelah atau dalam keadaan sakit; c. tidak tersedia alat-alat pengaman; dan/atau d. alat kerja atau alat produksi yang digunakan dalam keadaan tidak baik atau tidak layak pakai. Seperti dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja berkaitan dengan Pemerintah, Pengusaha dan Masyarakat (tenaga kerja). Oleh karena itu diperlukan prinsip-prinsip pelaksanaan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tingkat nasional, tingkat perusahaan dan tempat kerja. Berikut ini dapat ditampilkan bagan upaya keselamatan dan kesehatan kerja di tingkat nasional, perusahaan dan tempat kerja (Kode Praktis ILO, 2002;9-33).
Tingkat Nasional Kebijakan K3 Utk Industri
Kerangka Hkm & Perundangundangan
Jaminan Sosial Tenaga Kerja
Pengawasan Ketenagakerjaan
Sistem Pelatihan
Pedoman
Tingkat Perusahaan Sistem Manajemen K3
Kebijakan K3
Perlengkapan Yg Aman
Tenaga Kerja Yg Kompeten
Jasa K3
Alat Pelindung Diri
Tempat Berteduh Perumahan & Gizi Kerja
Tingkat Tempat Kerja Perencanaan Lokasi
Seleksi Metode Kerja
Perlengkapan Aman
Organisasi Kerja
Operasi Aman
Catatan : K3 = Keselamatan dan Kesehatan Kerja Sumber : Draft kode Praktek Keselamatan dan Kesehatan Kerja di
Kehutanan (Genewa, ILO, 1997 hal 5)
Gambar : 2.1
Bagi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja tingkat nasional yang harus diperhitungkan Upaya-upaya keselamatan dan kesehatan kerja pada
adalah penyusunan dan penetapan kebijakan dan undang-undang keselamatan dan kesehatan kerja, serta tingkat nasional, perusahaan dan tempat kerja kebijakan implementasinya di lapangan. Kebijakan ini hditinjau atau dievaluasi mengenai sejauhmana keefektifannya dalam mengatasi masalah keselamatan dan kesehatan kerja di lapangan. Mengenai keefektifan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja Payaman (2003:165-181) menyampaikan bahwa keberhasilan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dapat diukur dari : 1.
Jumlah dan frekuensi kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
2.
Tingkat keparahan akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
3.
Tingkat kerugian yang terjadi baik ekonomis maupun non ekonomis;
4.
Jumlah tunjangan dan ganti rugi yang dibayarkan;
5.
Dampak akibat kecelakaan dan penyakit akibat kerja;
6.
Kepatuhan perusahaan dalam melaksanakan norma dan standar keselamatan dan kesehatan kerja;
7.
Kepatuhan tenaga kerja untuk mengikuti prosedur dan mekanisme keselamatan dan kesehatan kerja;
8.
Tingkat pemahaman perusahaan dan tenaga kerja tentang tujuan dan manfaat keselamatan dan kesehatan kerja;
9.
Jumlah kebijakan/peraturan pelaksanaan yang telah ditetapkan tentang keselamatan dan kesehatan kerja. Di lingkungan dunia internasional perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja juga telah
mendapat perhatian yang cukup besar. Hal itu dapat dilihat dari kesungguhan
Organisasi
Ketenagakerjaan Internasional (International Labour organization- ILO) telah mengeluarkan beberapa konvensi mengenai keselamatan dan kesehatan kerja, yaitu: 1. Konvensi No. 120 Tahun 1964, tentang Hygiene dalam Perniagaan dan Kantor-Kantor; 2. Konvensi No.155 Tahun 1981, tentang Keselamatan, Kesehatan dan Lingkungan Kerja; 3. Konvensi No. 174 Tahun 1993, tentang Pencegahan Bencana Kecelakaan Kerja.
Selain itu ILO telah mengeluarkan buku petunjuk Pencegahan Kecelakaan Kerja Industri atau Code Of Practice on the Prevention of Major Industrial Accident, yang menjadi petunjuk praktis dalam penanganan keselamatan dan kesehatan kerja pada perusahaan-perusahaan di setiap Negara. Di Indonesia sendiri perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja telah dimulai sejak jaman Hindia Belanda, melalui Staats Blad Nomor 20 Tahun 1852, diperbaharui dengan Veilegheids reglement staats blad Nomor 25 Tahun 1905, dan terakhir dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang keselamatan kerja. Makna dari Undang-Undang tersebut adalah untuk memberi perlindungan bagi tenaga kerja serta orang-orang yang berada di tempat kerja, agar terhindar dari resiko-resiko kecelakaan, penyakit akibat kerja, peledakan, kebakaran, maupun gangguan dari kondisi dan lingkungan. Sebagaimana dimaklumi, akibat dari risiko tersebut tidak saja merugikan pekerja beserta keluarganya tetapi juga menimbulkan kerugian bagi perusahaan dalam bentuk penambahan biaya produksi, kehilangan waktu dan tenaga. Akibatnya harus ditanggung oleh masyarakat dalam bentuk peningkatan harga jual hasil produksi. Sehubungan dengan itu, dalam rangka untuk lebih menajamkan perlindungan ketenagakerjaan, International Labour Conference ke-87 tahun 1999 dan ke-88 tahun 2000, para utusan tripartit dari seluruh anggota telah menyepakati konsep kerja layak (decent work) dan menerapkannya. Seperti dikutip dari hasil sidang tersebut mengenai kerja layak sebagai berikut: In defining Decent Work (DW), the Director General identified four major components, each reflecting four main resposiblities the ILO has to human beings in the world of work . The first was to promote their fundamental right of work; the second was to increase availability and
quality of productive work; the third was to addres people’s vulnerabilities and contingencies at work or whether they arise from unemployment, loss of livelihood, sickness or old age; the fourth was to ensure social dialoque based on freedom of association and equal participation. Di Indonesia sendiri, kebijakan perlindungan tenaga kerja telah ada sejak lama, bahkan sejak jaman Hindia Belanda. Seperti Staat Blaad No.25 tahun 1921 tentang perlindungan tenaga kerja anak dan wanita, Wervings Ordantie tahun 1936 tentang penempatan tenaga kerja, Undang-Undang Uap tahun 1930, dan lain-lain. Di jaman kemerdekaan makin banyak kebijakan perlindungan tenaga kerja yang telah ditetapkan, seperti Undang-undang Kerja Nomor 1 Tahun 1951 jo. Undang-Undang nomor 12 tahun 1948, UndangUndang Nomor 22 Tahun 1957 tentang Penyelesaian Perselisihan Perburuhan, termasuk Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja. Konsep perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja seperti yang diatur dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1970, bukan hanya untuk mencegah terjadinya resiko-resiko kecelakaan dan penyakit akibat kerja, tetapi lebih jauh untuk meningkatkan produktivitas kerja dan hasil usaha, meningkatkan kesejahteraan pekerja dan pertumbuhan dunia usaha, serta lebih jauh lagi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep dan kebijakan perlindungan tenaga kerja perlu diimplementasikan, agar tujuan kebijakan dapat tercapai sesuai yang diharapkan, termasuk perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Untuk itu telah dibentuk lembaga Pengawas Ketenagakerjaan yang bertugas mengawasi semua kebijakan perlindungan agar ditaati oleh semua pihak. Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan (Labour Inspection in Industry and Commerce), mendorong setiap negara anggota ILO membentuk lembaga yang secara khusus mengawasi pelaksanaan Undang-undang mengenai perlindungan tenaga kerja dengan menyediakan tenaga dan sarana yang memadai. Indonesia sendiri telah meratifikasi Konvensi ILO Nomor 81 Tahun 1947 melalui Undangundang Nomor 21 Tahun 2003. Di samping itu, Indonesia telah memiliki Undang-undang yang mengatur tentang pengawasan ketenagakerjaan yaitu Undang-undang Nomor 3 Tahun 1951 jo Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1948 tentang Pengawasan Perburuhan, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja, serta Peraturan Menteri Tenaga Kerja Nomor 3 Tahun 1984 tentang Pengawasan Ketenagakerjaan Terpadu (Integrated Labour Inspection). Mengenai fungsi dari Pengawas Ketenagakerjaan, Heron dkk, mengatakan:
Labour Inspectors: (1) enforce the labour law and related regulations, (2) advise employers and workers on how to comply with the law, (3) report to superiors on problems and depects not convered by the law.In some countries inspectors perform other functions, including: (1) promoting harmonious relations between employers and workers, (2) investigating, conciliating, and mediating disputes between employers and workers. Pernyataan di atas menunjukan bahwa pengawasan ketenagakerjaan memiliki fungsi penegakan hukum, fungsi edukasi, serta fungsi mediasi dalam hal terjadinya konflik antara pekerja dengan pengusaha. Oleh karena itu prinsip kerja pengawasan ketenagakerjaan adalah bersifat preventif, edukatif, promotif, rehabilitatif serta refresif. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif. Informan penelitian sebanyak 10 orang. Penetuan informan penelitian menggunakan snow ball technique. Pengumpulan data sekunder menggunakan studi kepustakaan, studi dokumen dan observasi. Pengolahan data menggunakan metode analisis deskriptif dengan pendekatan triangulasi.
Hasil Penelitian dan Pembahasan Pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi dinilai masih belum efektif sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa indikator, yaitu : angka kecelakaan kerja dan penyakit kerja masih tinggi,
angka gangguan pada lingkungan kerja masih tinggi,
kondisi dan
lingkungan kerja yang belum mapan, angka penyimpangan dan pelanggaran terhadap norma dan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja masih tinggi, serta pemahaman masyarakat khususnya masyarakat pekerja dan pengusaha mengenai tujuan, manfaat serta substansi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja masih belum mapan. Indikator yang lebih operasional dapat dilihat dari: rendahnya upaya untuk melakukan pencatatan dan upaya-upaya perbaikan terhadap kasus-kasus kecelakaan dan penyakit akibat kerja; rendahnya tingkat pelaksanaan manajemen keselamatan dan kesehatan kerja melalui Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( SMK3); rendahnya pembentukan dan efektifitas fungsi sarana perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, seperti Ahli Keselamatan dan Kesehatan Kerja (AK3), Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja ( P2K3), dokter pemeriksa kesehatan, Tim Penanggulangan Kebakaran, serta rendah dan atau tidak efektifnya penggunaan alat pengaman kerja (safety device) serta alat pelindung diri tenaga kerja.
(safety protection) bagi
Belum efektifnya pelaksanaan kebijakan tersebut disebabkan rendahnya kapasitas organisasi yang dimiliki oleh dinas tenaga kerja yang menangani perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi, mencakup : Pertama, kapasitas komunikasi, yang menggambarkan hubungan antara pemerintah pusat sebagai perumus kebijakan dengan pemerintah provinsi dan kabupaten dan kota, serta komunikasi antara para pengawas ketenagakerjaan sebagai pelaksana dengan pimpinan perusahaan dan tenaga kerja sebagai kelompok sasaran. Kedua, kapasitas sumber daya yang terdiri dari jumlah dan kualitas pengawas ketenagakerjaan, kapasitas informasi, kapasitas kewenangan, kapasitas anggaran, serta fasilitas kerja dan fasilitas sarana untuk melaksanakan pemeriksaan dan pengujian. Ketiga, kapasitas sikap dan perilaku pelaksana dalam melaksanakan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Keempat, kapasitas struktur organisasi (kelembagaan) dari unit kerja yang melaksanakan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Kapasitas komunikasi merupakan hal yang penting dalam keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama ini telah terjadi hambatan komunikasi, terjadi karena : Pertama, tidak konsistennya penyampaian pesan kebijakan, yang disebabkan lemahnya pemahaman pengawas ketenagakerjaan tentang substansi perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja serta pesan yang disampaikan bersifat kontradiktif. Kedua, tidak jelasnya pesan yang disampaikan, sehingga membingungkan pimpinan perusahaan dan tenaga kerja. Ketiga, proses penyampaian pesan kebijakan tidak mengikuti kaidah-kaidah komunikasi. Sehingga terjadi kelemahan pada setiap domain komunikasi, yaitu pada domain komunikator, domain saluran komunikasi, domain proses komunikasi, domain media komunikasi, maupun domain komunikan. Dari tiga dimensi komunikasi kebijakan, maka dimensi konsistensi dalam proses penyampaian pesan maupun konsistensi dari isi pesan yang disampaikan, memiliki pengaruh tertinggi. Hal ini terjadi karena inkonsistensi dalam komunikasi kebijakan mengakibatkan timbulnya kebimbangan dari pimpinan perusahaan, menimbulkan apatisme, bahkan mendorong timbulnya penolakan kebijakan. Kapasitas sumber daya merupakan faktor kedua yang berpengaruh terhadap keefektifan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa selama ini dinas yang menangani ketenagakerjaan di kota Bekasi memiliki kelemahan dalam penyediaan sumber daya, berupa kurangnya jumlah dan kualitas pengawas ketenagakerjaan, kelemahan informasi tentang cara pelaksanaan kebijakan dan data tentang kelompok sasaran, adanya hambatan dalam penggunaan kewenangan pengawas ketenagakerjaan, keterbatasan anggaran yang diperlukan, serta terbatasnya fasilitas kerja dan sarana untuk melakukan pemeriksaan dan pengujian keselamatan dan kesehatan kerja. Kelemahan tersebut selain disebabkan karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki oleh kabupaten dan kota, juga karena lemahnya dukungan politik dari pimpinan kabupaten dan kota serta lembaga
legislatif, sehingga tidak menempatkan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja sebagai prioritas sasaran pembangunan. Sikap dan perilaku pengawas ketenagakerjaan merupakan kapasitas organisasi yang memiliki kaitan terhadap keefektifan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa keefektifan pelaksanaan kebijakan tidak semata-mata ditentukan oleh lancarnya komunikasi, tingkat pemahaman pelaksana tentang substansi kebijakan, serta jumlah sumber daya yang tersedia, tetapi juga oleh faktor-faktor psikologis dari pengawas ketenagakerjaan yang berkaitan dengan nilai kepentingan, latar belakang status sosial, ekonomis, pendidikan maupun nilai budaya. Faktor-faktor psikologis tersebut mempengaruhi sikap pandang, tingkat pemahaman, tingkat partisipasi, kerjasama, kemampuan bertindak dan mengambil keputusan. Oleh karena itu dimensi efek dari sikap pengawas ketenagakerjaan memiliki pengaruh yang lebih besar, karena secara langsung dan tidak langsung mempengaruhi proses pelayanan dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, mempengaruhi pemahaman pimpinan perusahaan dan tenagakerja, serta mempengaruhi tingkat kinerja setiap petugas. Struktur birokrasi dari organisasi pengawasan ketenagakerjaan mempunyai tingkat pengaruh paling kecil terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja pada kabupaten dan kota di Jawa Barat. Hal tersebut menunjukkan bahwa meskipun dengan sangat sederhana, aspek-aspek pengorganisasian dalam pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi seperti pembagian tugas, spesialisasi, rentang kendali, kesatuan komando, maupun formalisasi melalui pembuatan prosedur operasi baku (standard operating procedures) masih dapat dilaksanakan. Dimensi yang paling besar pengaruhnya terhadap keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja adalah dimensi pembagian tugas. Hal tersebut terjadi karena terbatasnya jumlah dan keahlian pengawas ketenagakerjaan yang tersedia, sehingga satu orang pengawas ketenagakerjaan harus menangani lebih dari satu jenis tugas dan tanggung jawab. Untuk mendukung pelaksanaan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja, sebenarnya
telah tersedia
bermacam-macam prosedur operasi, yang ditetapkan dan berlaku secara nasional, seperti prosedur pemeriksaan, pengujian, pemberian ijin dan pengesahan, maupun prosedur dalam tindakan penegakan hukum. Faktor komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana serta struktur birokrasi pada
organisasi
pelaksana perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kota Bekasi, secara simultan
tingkat
keefektifan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, meskipun dengan tingkat pengaruh yang berbeda-beda. Hal tersebut menunjukkan bahwa keempat faktor tersebut mutlak harus tersedia sebagai
kapasitas dari dinas yang menangani ketenagakerjaan di kabupaten dan kota. Apabila salah satu faktor tidak tersedia, akan mempengaruhi tingkat keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Ketersediaan faktor komunikasi, sumber daya, sikap pelaksana serta struktur birokrasi pada dinas yang menangani ketenagakerjaan pada kabupaten dan kota, sangat dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan organisasi, yaitu lingkungan politik yang menunjukkan tingkat dukungan politik dari pimpinan kota Bekasi serta lembaga legislatif terhadap kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja; lingkungan ekonomi, berupa kemampuan pemerintah kabupaten dan kota serta perusahaan untuk membiayai kegiatan; serta lingkungan sosial, yang menunjukkan tingkat apresiasi masyarakat termasuk media massa, mengenai pentingnya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja. Model implementasi kebijakan publik dari Edwards III, berdasarkan penelitian yang telah dilakukan dapat dipandang sesuai (feasible) untuk digunakan dalam mengkaji implementasi kebijakan publik di bidang keselamatan dan kesehatan kerja, meskipun telah terjadi reposisi tingkat pengaruh dari variabel-variabel indikator terhadap variabel-variabel eksogennya. Hal tersebut
menunjukan, bahwa
posisi variabel-variabel indikator bersifat elastis, karena tergantung pada substansi kebijakan yang diteliti serta faktor lingkungan penelitian. Oleh karena itu hasil penelitian
menunjukkan temuan yang
memperkuat konsep yang dikemukakan Edward III, tentang faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan. Simpulan Implementasi kebijakan tentang keselamatan dan kesehatan kerja belum efektif dilaksanakan karena tingkat kecelakaan kerja sangat tinggi. Hal ini karena rendahnya kapasitas organisasi dinas tenaga kerja yang menangani perlindungan dan keselamatan kerja. Faktor komunikasi, sumber daya, struktur birokrasi dan disposisi merupakan faktor yang paling penting dalam implementasi kebijakan kesehatan dan keselamatan kerja di kota Bekasi. Berdasarkan hal tersebut dapat disampaikan saran sebagai berikut : Saran Dalam mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, perlu ditambahkan pentingnya memperhatikan faktor-faktor eksternal pelaksana, yaitu lingkungan politik, lingkungan ekonomi, dan lingkungan sosial. Hal tersebut sangat penting dilakukan, mengingat badan pelaksana kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di Bekasi adalah organisasi publik, yang keberadaan maupun dalam penyediaan kapasitas-kapasitas yang diperlukan sangat dipengaruhi oleh dukungan politik, kemampuan ekonomi daerah,
kemampuan
keuangan perusahaan, serta dukungan masyarakat agar kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja dijadikan prioritas pembangunan. Oleh karena itu perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tingkat pengaruh dari ketiga lingkungan tersebut bagi keefektifan pelaksanaan kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, serta bagi tersedianya kapasitas organisasi. Dalam melaksanakan sosialisasi kebijakan perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja di kabupaten dan kota, perlu ditingkatkan kemampuan dan keterampilan para pengawas ketenagakerjaan dalam melakukan komunikasi, seperti kemampuan dalam merencanakan komunikasi, merancang dan mengemas kebijakan dalam bentuk pesan yang menarik dan mudah difahami, melakukan komunikasi interpersonal, memilih saluran komunikasi dan media yang tepat sesuai kelompok sasaran, memahami kemungkinankemungkinan hambatan komunikasi (noise), serta kemampuan untuk merangsang para penerima pesan agar bersedia menyampaikan umpan balik.
DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahab, Solihin, 1991, Analisis Kebijaksanaan Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara, Jakarta : Bumi Aksara. Anderson, James E, 1979, Public Policy Making, New York : Holt Rinehart and Winston. Anderson, Allan H. and Anna Kyrianov, 1994, Effective Organization Behaviour: A Skill and ActivityBased Approach, London:Blackwell Puslishers. Denhardt, Robert and Edwards T. Jenning S (ed), 1987, The Revitalization of The Public Services, Columbia: University Of Missouri. Dunn, William N. 1981. Public Policy Analysis: an Introduction, New Jersey: Prentice Hall Inc. Englewood Clift. Edwards III, George C. 1980, Implementing Public Policy, Washington DC: Congessional Quartenly Press. Etzioni, Amitai, 1992, Organisasi-Organisasi Modern, terjemahan Suryatim, Jakarta: UI Press. Fitzenz, Jac, 1987, How to Measure Human Resources Management, New York: McGraw-Hill. Frederickson, George, H. 1980, The Lineage of New Public Administration, Alabama, USA : the University of Alabama Press. Gannon, Martin, Martin J., 1979, Organizational Behavior: A Managerial and Organizational Perspective, Boston Toronto: Little Brown and company. Gibson, James. L. et all, 1995. Organizations, eighth edition, Chicago: Richard D. Irwin, Inc.
Goggin, Malcom et all. 1980, Implementation Theory and Practice to Word a Third Generation, Illionis: Scott, Foresman and Company Glenview. Katz, Daniel & Roberth L. Kahn, 1978, The Social Psychology of Organization, New York : John Wiley & Son. Soedjatmoko, 1983, Dimensi Manusia dalam Pembangunan, Jakarta: LP3ES. Steers, Richard M., 1985, Efektifitas Organisasi (Organizational Effectiveness) a Behaviour View, Penterjemah : Magdalena Jamin, Jakarta: Erlangga. Undang-Undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Undang-Undang No. 3 Tahun 1951 tentang Pengawasan Perburuhan Undang-Undang No. 21 Tahun 2004 tentang Retifikasi Konvensi Ilo No. 81 Tahun 1947 tentang Jabatan Inspector. Wibawa, Samodra, 1994, Kebijakan Publik : Proses dan Analisis, Jakarta: Intermedia. Wibawa, Samodra, Yuyun Purbokusumo dan Agus Pramusindo, 1994, Evaluasi Kebijakan Publik, Jakarta: Raja Grafindo. Wieland, George F. and Roberth A. Ullrich, 1976, Organization: Behavior, Design and Change, Illions USA: Richard D. Irwin Homewood. Wijaya, H.A.W., 1992, Titik Berat Otonomi Pada Daerah Tingkat II, Jakarta: Rajawali. Winardi, J., 1987, Pengantar Tentang Sistem Informasi Manajemen, Bandung: Nova.