IMPLEMENTASI KAFᾹ ’AH DALAM PERSPEKTIF PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) (Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera di DPW PKS Sulawesi Selatan) TESIS
OLEH: AHMAD NUH TAMANG NIM 11780011
PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2014
i
IMPLEMENTASI KAFᾹ ’AH DALAM PERSPEKTIF PARTAI KEADILAN SEJAHTERA (PKS) (Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera di DPW PKS Sulawesi Selatan) Diajukan untuk mengikuti Ujian Tesis pada Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhsiyah Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang Pada Semester Genap tahun Akademik 2013/2014 OLEH: AHMAD NUH TAMANG NIM 11780011
Pembimbing:
Dr. H. Fadil Sj. M.Ag. NIP.19651231 199203 1046
Dr. Hj. Umi Sumbulah, M. Ag NIP. 19710826 199803 2 002
PROGRAM MAGISTER AL-AHWAL AL-SYAKHSHIYYAH SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MAULANA MALIK IBRAHIM MALANG 2014
ii
LEMBAR PERSETUJUAN Tesis dengan judul ”Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahterah di DPW PKS Sulawesi Selatan)”. telah diperiksa dan disetujui untuk diuji,
Batu, 20 April 2014
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. Fadil Sj,M. Ag NIP. 19651231 199203 1 046
Dr. Hj. Umi Sumbulah, M. Ag NIP. 19710826 199803 2 002
Mengetahui Ketua Program Magister Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Dr. H. Fadil Sj, M. Ag NIP. 19651231 199203 1 046
iii
LEMBAR PENGESAHAN Tesis dengan judul “Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera di DPW PKS Sulawesi Selatan)”, telah diuji dan dipertahankan didepan sidang dewan penguji pada tanggal 24 April 2014. Susunan Dewan Penguji
Tanda Tangan
1. Dr. Zaenul Mahmudi, MA NIP. 19730603 199903 1 001
(
2. Prof. Dr. H. Kasuwi Saiban, MA NIP. 0702085701
(
3. Dr. H. Fadil Sj, M.Ag NIP. 19651231 199203 1 046
(
4. Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag NIP. 19710826 199803 2 002
(
) (Ketua)
) (Penguji Utama)
) (Penguji)
) (Sekretaris)
Mengetahui Direktur PPs,
Prof. Dr. H. Muhaimin, MA NIP. 19561211 198303 1 005
iv
LEMBAR PERNYATAAN ORIGINALITAS PENELITIAN Saya yang bertanda tangan di bawah ini: Nama
: Ahmad.Nuh tamang
Nim
: 11780011
Program Studi
: Al-Ahwal Al-Syakhshiyyah
Alamat
: Jl.Batara Bira, Kelurahan Pai, Baddoka Mas Blok C No 6
Makassar, Sulawesi Selatan Judul Penelitian
: Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan
Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahterah di DPW PKS Sulawesi Selatan)” Menyatakan dengan sebenarnya bahwa dalam hasil penelitian saya ini tidak terdapat unsur-unsur penjiplakan karya penelitian atau karya ilmiah yang pernah dilakukan atau dibuat oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis dikutip dalam naskah ini dan disebutkan dalam sumber kutipan dan daftar pustaka. Apabila di kemudian hari ternyata hasil penelitian ini terbukti terdapat unsur-unsur penjiplakan dan ada klaim dari pihak lain, maka saya bersedia untuk diproses sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan tanpa paksaan dari siapapun.
Batu, 20 April 2014 Hormat saya,
Ahmad.Nuh Tamang NIM: 11780011
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmannirrohim Dengan memanjatkan puja dan puji syukur kehadirat Allah swt. dimana atas limpahan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya yang dilimpahkan serta dengan dibekali kesehatan lahir dan batin, sehingga penulis dapat menyusun sebuah tesis dengan judul: “Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera di DPW PKS Sulawesi Selatan)”, yang masih jauh dari kesempurnaan dan akan dijadikan persyaratan untuk memperoleh gelar M.Hi (Magister Hukum Islam). Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita baginda Nabi Muhammad SAW, para keluarga, shahabat dan para pengikutnya, yang telah membawa petunjuk kebenaran bagi seluruh umat manusia yaitu AdDinul Islam dan yang kita harapkan safa‟atnya di dunia dan di akhirat. Penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada seluruh pihak yang membantu dalam pelaksanaan tugas akhir ini, baik secara langsung maupun tidak langsung, yaitu: 1. Bapak Prof. Dr. Mudjia Rahardjo, M.Si selaku Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang, dan para Pembantu Rektor. 2. Bapak Prof. Dr. H. Muhaimin, M.A selaku Direktur Program Pascasarjana UIN Maliki Malang, dan para Asisten Direktur atas segala layanan dan fasilitas yang telah diberikan selama penulis menempuh studi. 3. Bapak Dr. H. Fadil, M.Ag selaku Ketua Program Studi al-Ahwal alSyakhsiyyah Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. 4. Bapak Dr. H. Fadil, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing I, atas bimbingan, saran, kritik, dan koreksinya dalam penulisan tesis ini. 5. Ibu Dr. Hj. Umi Sumbulah, M.Ag, selaku Dosen Pembimbing II,. atas bimbingan, saran, kritik, dan koreksinya dalam penulisan tesis ini.
vi
6. Dosen penguji, baik penguji proposal maupun tesis yang telah memberikan saran, kritik, masukan serta koreksi. 7. Semua Dosen dan staf TU program PascasarjanaUIN Maliki Malang yang tidak mungkin disebutkan satu persatuyang telah banyak memberikan wawasan keilmuan dan kemudahan-kemudahan selama menyelesaikan program studi. Semoga Allah SWT melipat gandakan amal kebaikan kepada beliau, Amin. 8. Kepada kedua Orang tuaku tercinta H. Muhammad Tamang dan Hj. Asni Mappeare serta Kakak-kakakku yang senantiasa memberikan lautan kasih sayang, motifasi dan do‟a dalam proses perjalanan studi ini. Semoga eksistensi penulis sebagai anak shaleh dan Qurrata A‟yun dapat menjadi investasi amal jariyah buat beliau didunia dan diakhirat. Aamiin Ya Rabbal „alamiin. 9. Istri tercinta Asmah Yetie.S.Kp Ns, yang senantiasa selalu memberi motivasi dan doa‟nya dalam proses perjalanan studi ini. 10. Para elit Partai Keadilan Sejahtera DPW Sulawesi Selatan seperti : Bapak Muh. Taslim,Amd, Bapak R. Irwan Waji, Bapak Jumadil Muhammad,.Ss, Ibu Susy Smita.P, ST, Ibu Dwi Susilarsih, S.S, Ibu Ir. Ida Royani Rahim, S.Pdi dan Ibu Linda, SPt yang telah bersedia diwawancarai oleh penulis, semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang lebih besar, amin. 11. Para dewan asatidzah Ponpes Daruttauhid Malang, khususnya kepada guru kami al-ustadz Toha Abdullah Abdun, al-ustadz Husein Abdullah Abdun dan al-ustadz Sholeh Abdullah Abdun, , yang senantiasa selalu memberi motivasi
vii
dan doa‟nya dalam proses perjalanan studi ini. 12. Seluruh kawan seperjuanganku di Sekolah Pascasarjana Program al-Akhwal al-Syakhsiyah UIN Maliki Malang angkatan 2011, terikasih atas kebersamaan dan motivasi kalian semua. 13. Kepada semuanya yang telah membantu penulisan tesis ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu, penulis mengucapkan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya, semoga Allah SWT. Membalas kebaikan dan bantuan yang telah mereka berikan selama penulisan ini berlangsung. Apabila terdapat kekurangan dan kekhilafan dalam penulisan tesis ini mohon dimaafkan. Semoga tesis ini dapat membuka cakrawala yang lebih luas bagi pembaca serta menambah pengetahuan dan semoga bermanfaat untuk kita semua. Aamiin. Penulis menyadari sepenuh dan seteguh hati bahwa penyelesaian tugas akhir ini masih jauh dari kata sempurna karena keterbatasan kemampuan, pengetahuan, wawasan dan pengalaman penulis. Untuk itu penulis sangat mengharap kritik dan saran rekonstruksi dari semua kalangan dan pihak untuk kematangan dimasa yang akan datang.
Batu, 20 April 2014 Hormat saya,
Ahmad Nuh Tamang,Lc
viii
ABSTRAK Tamang, Ahmad, Nuh,. 2014.“Implementasi Kafā’ah Dalam Perspektif Partai Keadilan Sejahtera (PKS).(Studi Pandangan Elit Partai Keadilan Sejahtera di DPW PKS Sulawesi Selatan)”, Tesis. Prodi Studi Al-Ahwal Al-Syakhsyiyah Sekolah Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Malang. Dosen pembimbing: (1) Dr. H.Fadil Sj. (II) Dr.Hj. Umi Sumbulah M. Ag. Kata Kunci : Kafā‟ah, PKS, Implementasi Kafā`ah merupakan Salah satu pertimbangan yang dianjurkan agama Islam ketika hendak melangsungkan perkawinan. Kafā`ah sendiri dalam perkawinan, merupakan “faktor lain” yang tidak digolongkan sebagai rukun perkawinan, yang turut menunjang terciptanya kebahagiaan pasangan suami istri dan menjamin perempuan dari kegagalan dalam berumah tangga. Pada praktiknya, dalam suatu komunitas tertentu, kafā`ah sering kali diidentikkan dengan penggolongan atau pengelompokan atas suatu komunitas esklusif. Dalam pra-riset penelitian ini, peneliti mendapati sebuah fenomena bahwa para elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan memberikan perhatian secara penuh terhadap kader-kader mereka dalam memilih jodoh dengan sesama kader partai mereka. Terkait perkawinan di kalangan kader PKS di Sulawesi selatan yang memiliki kecenderungan menikah sesama kader. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pandangan elit PKS di DPW Sulsel tentang makna kafa‟ah dan bagaimana penerapannya di kalangan kader inti partai tersebut. Jenis Penelitian ini adalah field research dengan pendekatan kualitatif. pengumpulan data memakai metode wawancara dan dokumentasi. Analisis dilakukan dengan teknik deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, pandangan sekufu tidaknya seseorang selain dilihat dari aspek agamanya juga mengacu pada aspek ekonomi serta latar belakang keluarga dan pemahamannya terhadap tarbiyah. Penerapan kafa‟ah pada awal berdirinya partai ditandai dengan kecenderungan pernikahan sesama kader. Pernikahan sesama kader ini tujuannya demi keberlangsungan misi dakwah, pengokohan organisasi dan langkah awal untuk mencapai masyarakat islami. Namun, ditemukan pula kader yang menikah dengan non kader PKS. Tidak masalah jika ada kader menikah dengan non kader, asal tidak menghalangi pasangannya ikut kegiatan-kegiatan dakwah di PKS. Kedua, Pernikahan sesama kader membawa dampak positif berupa kesolidan khususnya di level kekuatan mesin politik PKS sehingga membantu pemenangan-pemenangan dalam pilkada, sedangkan dengan non kader membuat binaannya menjelaskan kepada pasangannya informasi-informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS.
ix
مستخلص البحث
حزب العدالَِة والر ِ ِ ِ الكفاءة يف منظوِر ِ وجهات نَظ ِر ِكبَا ِر فاى ِية ,دراسات متانج ,أمحد ,نوح ,2014 ,تَطبيقُ َ َ َّ ِ رللس إدارِة احملليَِّة بسلويسي جنوبية ِ ٌ . العدالة و الر ِ زب ِ ِ مسؤويل ِح ِ فاىية يف ِ البخخيَّ ِة, ااحو ِال ث ٌّي َ للي ببعبة ْ َْ ّ
ِ جبامع ِة موالنا مالك إبراىيم اإلسالمية احل ِ ِ ااو ُل :الدكتور احلاج كومية مبالنج , ادلبرف َّ ُ ُ كلية الدراسات العليا َ َ فاضل,ادلاجستري.و ادلبرفة الثانية :الدكتورة احلاجة أمي ُسنبلة ,ادلاجسترية.
الكلمات الرئيسية :الكفاءة ,حزب العدالة و الرفاىية ,التطبيق تأسيس الزو ِاج اإلسالمي ,و من ِ الكفاءة من النظريات ِ ِ ادلعلوم أهنا تُعترب " امال آخرا" وليست ادلهلة يف الفبل يف احلياةِ ِ ني يف احلياةِ ِ لد ًة أو رْكنا يف قد الزواج .وجتلب سعاد َة الزوج ِ من ِ الزوجية وتَ ْ ض َل ُن لللرأة َ ُ ُ ِ ِ الزوجية .ويف الواا ِق اليومي أن الكفاء َة يف ُْرلتَل ٍق ُم َع َّ ٍ ث ابل خ َل الباح ُ ادلنحخ ِرَ .ح َ ني تدخل اد ًة يف ضل ِن ااتل ِق َ َ ِ ِ ِ ِ البحث الظواىر بأن كبار مسؤويل ِ جنوبية أ طوا إىتلاما كامال ا ضائهم يف الرفاىية يف سلويسي العدالة و حزب َ َ ِ ِ ِ ِ تفضيل الزو ِاج بعضهم اإلجتاىات يف ت بينهم اختيا ِر ِ الزوج أو الزوجة من ض ْل ِن أ ضائهم .يف ىذه القضية حخلَ ْ ُ بعضا.
ِ ِ ِ ِ وجهات نظ ِر كبا ِر مسؤويل ِ الرفاىية يف سالويسي جنوبية العدالة و حزب اذلدف يف ىذا ُ البحث معرفةُ ِ ِ ِ ِ ِ ِ البحث ُىو دراسة ميدانية مق ادلستخدم يف ىذا ادلنهج َ ْن معع الكفاءة وكيفية تَطبيقها َ َ بني أ ضاء احلزب .إن َ ِ هنج نو ي .كان أسلوب مجق البيانات يف ىذا البحث ادلقابالت اغر ِ التحاليل البحث والوثائق .واد متت اض ُ باستخدام التخويري النو ية.
النتائج من ىذا البحث ىي :ااوىل ,وجهات النظر ن كفءىم يف الزواج ينظر اليها من جانب الديين وكذالك من اجلوانب االاتخادية و ظروف ائلية وفهلهم ن الرتبية .تطبيق الكفاءة يف بداية تأسيس احلزب يفضلون الزواج فيلا بينهم حىت إ تاد بينهم ىذا التطبيق.ىدف الزواج فيلا بني أ ضاء احلزب ىى استدامة مهلة ِ ِ ِ مق غ ِري ااتل ِق اإلسالمي .ولكن ُوجد ْبع ُ ض أ ضائهم متزوج َ الد وي وتقوية ادلنظلة و اخلطوة ااوىل لتحقيق َ أ ضائهم .أما اضية زو ِاج أ ِ إشكال فيو ِ ضاء ِ ببرط دم منق زوجتو مباركة أنبطة َ احلزب مق غري أ ضائهم فالَ ُ الد وية يف حزب العدالة و الرفاىية .الثانية :زواج أ ضاء احلزب بعضهم بعضا يؤثر تأثري اإلجيايب يف صالبة
ادلنظلة احلزبية وخخوصا لى مستوى اوة احملرك السياسية احلزبية مما يسا د لى الفوز يف االنتخابات احمللية, ِ ِ ِ ِ ادلتعلقة ِ الرفاىية إىل أزو ِاج ِهم الذين ليسوا العدالة و زب اخلاطئة بينلا الزواج بغري ضو يسا د يف بيان ادلعلومات من ِض ْل ِن أ ضائهم.
x
ABSTRACT Tamang, Ahmad, Nuh. 2014. Implementation of Kafā'ah in Perspective Prosperous Justice Party (PKS) (Study of Views of the Prosperous Justice Party (PKS) Elites in DPW of PKS at South Sulawesi) Thesis. Prodi Study of Al-Al-Syakhsyiyah ahwal State Islamic University Graduate School (UIN) Malang. Supervisor: Dr.. H.Fadil Sj and Dr.Hj. Umi Sumbulah M.Ag Keywords: Kafaah, PKS, Implementation Kafā`ah is one of consideration that Islam encouraged when they wanted to establish a marriage. Kafa `ah in a marriage, is the "other factors" that are not part of an essential principle of marriage, which contributed to the creation of happiness of the couple and ensure women of failure in marriage. In practice, in the community, Kafa `ah is often identified by the classification or grouping of the exclusive community. In the pre-research of this study, researcher has founded a phenomenon that elites Prosperous Justice Party (PKS) South Sulawesi gives attention to their cadres to choose a mate in the fellow party cadres. Related the marriage among PKS cadres in South Sulawesi who have a tendency to marry fellow cadres. The object of this study is determine the views of the elite of PKS in South Sulawesi about the meaning pf kafa‟ah and how it is applied in the core of the party cadres. This study is a type of field research with qualitative approach. The collection of dates is interviews method and documentation method. The analysis was done by using descriptive qualitative. The results show that first, the equivalent view of whether someone other than the views of the religious aspect also refers to family background and his understanding tarbiyah. Application of kafa'ah at the beginning of the wedding party is characterized by a tendency among cadres. Gay marriage is the goal cadre proselytizing mission for the continuation, strengthening the organization and the first step to achieving an Islamic society. However, it was also found that cadres who married non PKS cadres. It does not matter if there are married to non-cadre cadre, the condition does not preclude their partners participate in the proselytizing activities of PKS. Second, cadres Gay marriage a positive impact on the level of force solidity particular political machine that helped PKS awardwinning in the elections, while the non-cadre explains to his partner make their surrogate information that is not true concerning about PKS.
xi
MOTTO
dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir. (Qs. Ar. Ruum (30) : 21)
xii
PERSEMBAHAN Tesis ini khusus penulis dedikasikan kepada: Ayahanda: H.Muhammad Tamang & Ibunda: Hj. Asni Mappeare
Semoga Allah SWT menjadikan penulisan tesis ini menjadi amal jariyah bagi Penulis dan semua kebaikannya penulis persembahkan untuk mereka berdua.
Guru Kami : Al-Magfūr lahu Murabbi Rūhina al-Mukarram al-Ustadz Abdullah Awad Abdun
xiii
DAFTAR ISI Halaman Sampul ................................................................................................ i Halaman Judul .................................................................................................... ii Lembar Persetujuan ........................................................................................... iii Lembar Pengesahan ........................................................................................... iv Lembar Pernyataan ........................................................................................... v Kata Pengantar .................................................................................................. vi Abstrak ............................................................................................................... ix Motto .................................................................................................................... xii Persembahan ...................................................................................................... xii Daftar Isi .............................................................................................................. xiv Transliterasi ......................................................................................................... xvii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1 A. Konteks Penelitian .............................................................................. 1 B. Fokus Penelitian ................................................................................... 4 C. Tujuan Penelitian ................................................................................. 5 D. Manfaat Penelitian ............................................................................... 5 E. Originalitas Penelitian........................................................................... 5 F. Definisi Istilah ...................................................................................... 11 BAB II KAJIAN PUSTAKA ............................................................................. 12 A. Kafā`ah dalam Hukum Islam .............................................................. 12 1. Makna Kafā’ah dalam Perkawinan Islam ........................................ 12 2. Kedudukan Kafā`ah dalam Perkawinan ........................................... 18 3. Kriteria Kafā`ah perspektif Fuqaha .................................................. 22 4. Orang yang Berhak Menentukan Kafā’ah ....................................... 30 5. Waktu berlakunya Kafā’ah ............................................................... 31 B. Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dan Prinsip Egalitarian Terhadap Konsep Al-Kafā’ah .................................................................................... 33 1. Tinjauan Normatif ........................................................................... 33 2. Tinjauan Historis Kontekstual Al-Kafā’ah ...................................... 36 C. Kontekstualisasi Ajaran Islam PKS : Fiqhul wahyi dan Fiqhul waqi‟ . 41 xiv
D. Sistem Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera ........................................ 45 BAB III METODE PENELITIAN ................................................................... 57 A. Lokasi Penelitian ................................................................................. 57 B. Kehadiran Peneliti ............................................................................... 57 C. Jenis Penelitian .................................................................................... 58 D. Pendekatan Penelitian .......................................................................... 58 E. Data dan Sumber Data ......................................................................... 59 F. Pengumpulan Data ............................................................................... 61 G. Analisis Data ....................................................................................... 62 H. Penegecekan Keabsahan Data .............................................................. 65 BAB IV PAPARAN DATA ............................................................................... 67 A. Setting Penelitian: PKS Sulawesi Selatan ........................................... 67 B. Paparan Data Tentang Makna dan Penerapan Kafā’ah Bagi Kader PKS ....................................................................................................... 69 1. Makna Kafā`ah Menurut kader Inti PKS Sulsel .............................. 69 2. Penerapan Kafā`ah Bagi Kader PKS Sulsel ................................... 74 BAB V ANALISIS: MEMAHAMI MAKNA DAN PENERAPAN KAFA‟AH DALAM PERSPEKTIF KADER PKS ................................................................. 89 A. Makna Kafā`ah Menurut Kader Inti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulsel ................................................................................................... 90 B. Penerapan Kafā`ah Perspektif Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulsel ......................................................................................... 97 1. Pernikahan Dengan Kader (se-fikrah) ............................................ 97 2. Pernikahan Dengan Non Kader ...................................................... 101 3. Implikasi Pernikahan Dengan Sesama Kader dan Non Kader ....... 102 BAB VI PENUTUP ............................................................................................ 105 A. Kesimpulan ............................................................................................ 105 B. RefleksiTeoritis ...................................................................................... 106 C. Rekomendasi Penelitian ......................................................................... 107
xv
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 109 LAMPIRAN-LAMPIRAN
xvi
PEDOMAN TRANSLITERASI A. Transliterasi Translit yang digunakan dalam penulisan tesis ini berdasarkan pedoman sebagai berikut: Latin
Arab
Latin
Arab
ض
Tidak
Dl
ا
ditambahkan Th
ط
B
ب
Dh
ظ
T
ت
ع
Ts
ث
Gh
غ
J
ج
F
ف
H
ح
Q
ق
Kh
خ
K
ك
D
د
L
ل
Dz
ذ
M
م
R
ر
Koma menghadap ke atas
xvii
N
ن
Z
ز
W
و
S
س
H
ه
Sy
ش
Y
ي
Sh
ص
B. Vokal, Panjang, dan Diftong Pada dasarnya, dalam setiap penulisan bahasa Arab dalam bentuk tulisan latin vocal fathah ditulis dengan “a” kasrah dengan “i”, dhammah dengan “u” sedangkan bacaan panjang masing-masing ditulis dengan cara berikut: Vokal (a) panjang = â
misal: قالmenjadi : qâla
Vokal (i) panjang = î
misal: قيلmenjadi : qîla
Vokal (u) panjang = û
misal: دونmenjadi : dûna
Khusus bacaan ya’nisbat, maka tidak boleh digantikan dengan “I”, melainkan tetap ditulis dengan “iy” supaya mampu menggambarkan ya’ nisbat diakhirnya. Sama halnya dengan suara diftong, wawu dan ya’ setelah fathah ditulis dengan “aw” dan “ay, sebagaimana contoh berikut: Diftong (aw) = و
misal = قولmenjadi= qawlun
Diftong (ay) = ي
misal = خيرmenjadi = khayrun
xviii
C. Ta’Marbuthah Ta‟ marbuthah ditransliterasikan dengan “t”, jika berada ditengah-tengah kalimat, namun jika seandainya Ta‟ Marbuthah tersebut berada diakhir kalimat, maka ditransliterasikan dengan menggunakan “h”, misalnya menjadi alrisalat li al-mudarrisah.
xix
الرسالة لللدرسة
BAB I PENDAHULUAN A. Konteks Penelitian Perkawinan merupakan langkah awal pembentukan sebuah keluarga yang membutuhkan pasangan yang serasi dan memiliki keterpaduan dalam merangkai hubungan diantara mereka serta segenap keluarga mereka. Sehingga jika keduanya berasal dari kelas atau golongan yang tidak setara, dikhwatirkan akan terjadi kesulitan dalam mewujudkan hubungan yang harmonis yang pada akhirnya berujung pada bubarnya perkawinan. Kafā‟ah merupakan salah satu pertimbangan yang dianjurkan agama Islam ketika
hendak
melangsungkan
perkawinan.
Kafā`ah
sendiri
dalam
perkawinan, merupakan “faktor lain” yang tidak digolongkan sebagai rukun perkawinan, yang turut menunjang terciptanya kebahagiaan pasangan suami istri dan menjamin perempuan dari kegagalan dalam berumah tangga.1 Secara konvensional, tidak ada kewajiban secara tekstual pelaksanaan kafā`ah dalam perkawinan Islam. Kafā‟ah dianjurkan menjelang pelaksanaan perkawinan, namun tidak menentukan sah dan tidaknya perkawinan. maka hendaknya pihak suami se-kufu‟ dengan istrinya pada saat dilangsungkannya akad nikah, selama pihak istri dan walinya tidak bersepakat dalam keharusan adanya kesetaraan.2
1 2
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 97 Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, al-Akhwal al-Syaksiyah Fi al-Syariah al-Islamiyah, Ma a‟ al-Isyarah Ila Muqabiliha Fi al-Syara‟I al-Ukhra, (Bairut : al-Maktabah al-Ilmiyah, 2003), hlm.106
1
Kesetaraan yang dikandung dalam beberapa literatur diasumsikan sebagai pertimbangan ideal dalam kelangsungan perkawinan. Hal ini, karena ketimpangan yang terjadi dalam perkawinan, akan menimbulkan masalah yang berkelanjutan dan besar kemungkinan menjadi sebuah awal sebuah perceraian. Literatur fiqih klasik menentukan standarisasi kafā`ah pada pihak perempuan. Hal ini berangkat dari pemahaman konvensional yang mengatakan bahwa status sosial pihak perempuan menjadi standarisasi kafā`ah disebabkan posisinya sebagai obyek peminangan. Sehingga memunculkan istilah dalam perkawinan “laki-laki yang tidak sekufu”, (jika kurang status sosialnya) karena standarisasi kafā`ah terdapat pada perempuan.3 Pada praktiknya, dalam suatu komunitas tertentu, kafā`ah sering kali diidentikkan dengan penggolongan atau pengelompokan atas suatu komunitas esklusif. Dalam pra-riset tesis ini, peneliti mendapati sebuah fenomena bahwa para elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan memberikan perhatian secara penuh terhadap kader-kader mereka dalam memilih jodoh dengan sesama kader partai mereka, sehingga bagi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan hampir dipastikan tidak melakukan perkawinan dengan laki-laki maupun perempuan di luar anggotanya. Bahkan dalam mencari pasangan bagi kader-kadernya, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) mempunyai biro jodoh yang terstruktur dengan rapi, dimana biro ini 3
Amir Syarifudin, Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat Dan UndangUndang Perkawinan, (Jakarta: Kencana, 2009), hlm. 141.
2
berfungsi menjodohkan antara ikhwān dan akhwāt PKS. Lembaga ini bernama BKKBS atau Biro Kordinasi Keluarga Bahagia Sejahtera.4 Keterangan di atas, merupakan keterangan secara global. Terdapat fakta bahwa para elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan memberikan perhatian secara penuh terhadap kader-kader mereka dalam memilih jodoh dengan sesama kader partai mereka, sehingga bagi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan hampir dipastikan tidak melakukan perkawinan kecuali diantara mereka ada kesatuan fikrah (ideologi). Perkawinan se-fikrah ini pada praktiknya, dalam suatu pandangan sering kali bertentangan dengan konsep egalitarianisme yang mengusung kesetaraan dalam perkawinan. Prinsip egalitarian merupakan konsep kesetaraan dalam Islam yang mempunyai landasan dalil yang kuat. Hal ini dapat dilihat dalam firman-Nya yaitu:
5
“Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Berbicara mengenai perkawinan di kalangan kader PKS di Sulawesi Selatan yang memiliki kecenderungan menikah sesama kader, memunculkan 4
Habib Nanang, Perjodohan di Kalangan Aktivis Halaqoh Tarbiyah di Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul (UIN Jogjakarta, 2007) 5 QS. Al-Ḥujurāt: 13.
3
beberapa pertanyaan, apakah ikhwān atau akhwāt yang menikah sesama kader merata dilakukan oleh semua jenjang keanggotaan PKS atau tidak, karena di satu sisi, di internal kader PKS terdapat jenjang keanggotaan, seperti kader pendukung, kader inti, ahli, purna dan seterusnya.6 Pertanyaan yang muncul kemudian bagaimana peran murabbi/ah(Pembina) dalam proses mencarikan pasangan
bagi
kader
PKS
di
Sulawesi
Selatan.
Apakah
sebatas
merekomendasikan atau ikut campur seperti halnya orang tua dari kader PKS yang akan menikah. Dan jika kemudian seorang kader memilih menikah dengan orang non kader PKS, apakah kader tersebut mendapat semacam sanksi organisasi atau justru dibiarkan begitu saja. B. Fokus Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menentukan fokus penelitian sebagai berikut: 1. Apa makna kafā`ah bagi kader Inti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan ? 2. Bagaimana penerapan kafā`ah bagi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan ? C. Tujuan Penelitian Sebagaimana lazimnya sebuah karya tulis yang berorientasi terhadap pengembangan keilmuan maka penelitian ini mempunyai tujuan penelitian, adapaun penelitian ini adalah sebagai berikut:
6
Djony Edward, Efek Bola Salju PKS, (Bandung: Harakatuna, 2006), hal. 19
4
1. Untuk mengetahui makna kafā`ah bagi kader inti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan . 2. Untuk mengetahui penerapan kafā`ah bagi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan. D. Manfaat Penelitian 1. Kegunaan Teoritis a. Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khazanah keilmuan serta mampu memberikan pemahaman hal yang baru pada kader PKS seperti apa implementasi konsep kafā`ah di Dewan Pengurus Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan refrensi bagi peneliti-peneliti selanjutnya khusunya tentang konsep kafā`ah. 2. Kegunaan Praktis a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat tersendiri khususnya pada kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan dan simpatisan PKS. b. Hasil penelitian ini diharapkan memberikan kontribusi kajian keilmuan bagi akademisi, khusunya bagi mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Maulana Malik Ibrahim Malang. E. Originalitas Penelitian Topik penelitian kafā`ah dalam suatu komunitas keagamaan sudah banyak yang mengkaji baik dalam bentuk tesis, skripsi maupun yang telah
5
dipublikasi ke dalam jurnal ilmiah, seperti yang peneliti jabarkan di bawah ini: 1. Faisol Rizal.7 Penelitian yang dilakukan lebih difokuskan terhadap pandangan kiai pesantren Kab. Jombang terhadap konsep kafā`ah dalam Islam, serta penerapannya dalam keluarga pesantren Kab. Jombang. Dari penelitian tersebut disimpulkan adanya dua varian dalam teori kafā`ah yaitu teori berlandaskan teori pemilihan pasangan dan teori kafā`ah berlandaskan fikih klasik. Adapun praksis kafā`ah di pesantren terdapat tiga corak, yaitu kafā`ah berdasar ilmu pengetahuan, kafā`ah berdasar nasab dan kafā`ah berdasar agama. 2. Putri Paramadina.8 Peneliti menyimpulkan bahwa kafā`ah yang terjadi pada masyarakat Arab Al-Habsyi adalah suatu prinsip yang sudah dipegang sejak leluhur mereka. Tinjaun hukum Islam terhadap hal ini diperbolehkan asalkan merupakan adat („urf) yang tidak bertentangan dengan kaidah Islam, implikasi yang terjadi dilapangan bahwa apabila ada yang melanggar prinsip kafā`ah tersebut maka tidak secara langsung akan mendapatkan sanksi moral dari keluarga sendiri. 3. Zulhamdani.9 Hasil penelitian yang dilakukan menghasilkan kesimpulan bahwa Ahmadiyah Qodian memandang kesamaan, kesederjatan tersebut dalam hal kesamaan aqidah atau kerohanian yaitu kesamaan dalam satu 7
Faisol Rizal. Tesis. 2012. Dengan judul Implementasi Kafā`ah Dalam Keluarga Pesantren (Studi Penerapan Kafā`ah Kiai Pesantren Kab. Jombang). Program Magister al-Ahwal al-Syakhshiyah Progam Pascasarjana Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang 8 Putri Paramadina, Kafa'ah Pada Tradisi Perkawinan Masyarakat Arab Al-Habsyi Di Kabupaten Pemalang (IAIN Walisongo, 2010) 9 Zulhamdani, Konsep Kafā`ah dalam Perkawinan Ahmadiyah Qodian dan Lahore Perspektif Ulama Syafi‟iyyah. (UIN Jogjakarta, 2010)
6
agama dan golongan (jama'ah). Dasar Hukum kafā`ah dalam hal samasama satu jama'ah Ahmadiyah yaitu persyaratan secara organisatoris dalam SK No. 009/SK/87, Tanggal 20 Februari 1898. Hak dan wewenang dalam menentukan kafā`ah dalam perkawinan Ahmadiyah Qodian adalah wali, perempuan calon pengantin, dan ada wewenang dari Amir (pemimpin kerohanian) secara organisatoris. Sedangkan Kafā`ah dalam pandangan Ahmadiyah Lahore hanya agama saja, sedangkan nasab, pekerjaan dan status sosial hanyalah pelengkap yang sifatnya kondisional. Hak dan wewenang dalam menentukan kafā`ah bagi Ahmadiyah lahore adalah hak perempuan dan walinya. Tak lupa Zul menyarankan, bahwa dalam mencari jodoh itu hendaknya jangan terjebak oleh fanatisme terhadap suatu golongan saja. Sehingga hal itu akan menimbulkan
kekurangharmonisan
ketika
berinteraksi
sosial
di
masyarakat. 4. Sulhani Hermawan.10 Kesimpulan dari kajiannya adalah; prinsip maslahat dan egalitarian haruslah ada dalam perkawinan. Dalam konteks kafā`ah, nilai normatif mendukung kafā`ah. Sebaliknya, prinsip egalitarian justu menolaknya. Simpulan lain berupa persepsi bahwa kafā`ah merupakan formulasi ulama berdasar waktu dan lokus yang spesifik. Hal ini menisyaratkan bahwa perubahan sosial juga berpengaruh terhadap konsepsi kafā`ah. kesimpulan lain mengatakan bahwa kafā`ah
10
Sulhani Hermawan. Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan Dengan Prinsip Egalitarian Dalam Hukum Perkawinan Islam; Kajian Normatif Dan Historis Kontekstual Tentang Konsep Fiqh Al-Kafā`ah (Surakarta; STAIN Surakarta) jurnal ilmiah.
7
dan
egalitarianisme
merupakan
dua
hal
yang
berbeda
dalam
penerapannya. Dilihat dari beberapa penelitian terdahulu, terdapat persamaan antara penelitian yang dilakukan oleh Faisol Rizal, Putri Paramadina, Zulhamdani dan Sulhaini Hermawan yaitu fokus penelitian pada hal kafā`ah, dan mengenai perbedaannya penelitian yang akan peneliti tindak lanjuti yaitu seputar Implementasi kafā`ah di Kalangan Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan. Dari beberapa penelitian terdahulu penulis sistematisasikan dalam bentuk tabel sebagai berikut : Tabel 1.1 : Originalitas Penelitian No
Nama dan Judul Penelitian
1
Faishol Rizal Implementasi Kafā`ah Dalam Keluarga Pesantren (Studi Penerapan Kafā`ah Kiai Pesantren Kab. Jombang)
2
3
Fokus Penelitian Pandangan Kiai pesantren Kab. Jombang Terhadap Konsep Kafa‟ah
Hasil Penelitian
Ada dua varian dalam teori kafā`ah yaitu teori berlandaskan teori pemilihan pasangan dan teori kafā`ah berlandaskan fikih klasik. Putri Paramadina - Kafa'ah Kafa‟ah pada Prinsip Kafa‟ah Pada Tradisi Perkawinan Masyarakat merupakan suatu Masyarakat Arab Al-Habsyi Arab al-Habsyi prinsip yang sudah Di Kabupaten Pemalang. di Pemalang dipegang sejak turun temurun. Jika ada yang melanggar prinsip kafā`ah tersebut maka tidak secara langsung akan mendapatkan sanksi moral dari keluarga sendiri. Zulhamdi - Konsep Kafā`ah Kafa‟ah Ahmadiyah Qodian
8
dalam Perkawinan Ahmadiyah Ahmadiyah Qodian dan perspektif Lahore Perspektif Ulama Ulama Syafi‟iyyah.
4
Sulhani Hermawan Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan Dengan Prinsip Egalitarian Dalam Hukum Perkawinan Islam; Kajian Normatif Dan Historis Kontekstual Tentang Konsep Fiqh AlKafā`ah
Kajian Normatif Dan Historis Kontekstual Tentang Konsep Fiqh Al-Kafā`ah
5
Ahmad Nuh - Implementasi Kafa‟ah di Kalangan Kader Inti di DPW PKS Sulawesi selatan
Konsep Kafaah di Kalangan Kader Inti PKS
9
memandang kesetaraan dalam hal kesamaan aqidah atau kerohanian yaitu kesamaan dalam satu agama dan golongan (jama'ah). Sedangkan Kafā`ah dalam pandangan Ahmadiyah Lahore hanya agama saja, sedangkan nasab, pekerjaan dan status sosial hanyalah pelengkap yang sifatnya kondisional. Dalam konteks kafā`ah, nilai normatif mendukung kafā`ah. Sebaliknya, prinsip egalitarian justu menolaknya. Simpulan lain berupa persepsi bahwa kafā`ah merupakan formulasi ulama berdasar waktu dan lokus yang spesifik. Hal ini menisyaratkan bahwa perubahan sosial juga berpengaruh terhadap konsepsi kafā`ah. Pertama,pandangan sekufu tidaknya seseorang selain dilihat dari aspek agamanya juga mengacu pada latar
belakang keluarga dan pemahamannya terhadap tarbiyah. Tidak masalah jika ada kader menikah dengan non kader, asal tidak menghalangi pasangannya ikut kegiatan-kegiatan dakwah di PKS. Kedua, Pernikahan sesama kader membawa dampak positif berupa kesolidan khususnya di level kekuatan mesin politik PKS sehingga membantu pemenanganpemenangan dalam pilkada, sedangkan dengan non kader membuat binaannya menjelaskan kepada pasangannya informasi-informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS.
10
F. Definisi Istilah 1.Kafā‟ah : Kesamaan derajat (martabat); dapat diartikan dengan setaraf.11 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan kata kafā`ah dengan definisi kesetaraan dalam perkawinan. 2. Kader : Di Partai Keadilan Sejahtera (PKS), seseorang bisa disebut kader apabila rutin mengikuti pengajian pekanan dan aktif dalam kegiatan-kegiatan PKS, dan terikat oleh sistem kaderisasi.12 3. Murabbi/ah : Pembina atau guru dakwah pada kelompok kecil. Murabbi/ah melakukan tarbiyah melalui halaqah. Lawan kata murrabi adalah muttarabbi, yakni anggota halaqah yang dibina oleh para pembina/murabbi.13
11
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta; Balai Pustaka. 2005) hlm. 608.Dalam perihal perkawinan , kafā‟ah diartikan dengan keseimbangan dan kesetaraan. Lihat Ibnu Mandzūr, Lisānul „arab, Jilid V (Dār al-ma‟ārif : Tt) hlm 3892
حسبها و دينها و َ ومنه الكفاءة يف النكاح وهو أن يكون الزوج مساويا للمرأة يف, النظري واملساوي: الكفؤ .نسبها وبيتها وغري ذالك 12
Ernanto Joko, wawancara, Malang, 25 Maret 2013 Tim Departemen Kaderisasi PKS, Manejemen Tarbiyah bagi Anggota Pemula (Bandung: Syamil, 2003). 13
11
BAB II KAJIAN PUSTAKA A. Kafā’ah Dalam Hukum Islam 1. Makna Kafā`ah dalam perkawinan Islam Makna kafā`ah menurut etimologi adalah sama (al-mumāṡalah) dan setara (al-musāwa), dikatakan, si fulan setara dengan si fulan, maksudnya sebanding. Diantaranya adalah sabda Rasulullah saw :
و َ َا َور ُ ُاو الَّل ِيو َ لَّل و الَّليُو َلَْن ِيو َ َ لَّل َوو:َ ْن و َ ْن ِ و ْن ِ و ُ َْن ٍ و َ ْن وَِ ِيو َ ْن و َ ِّد ِو َ َوا 1 )ملسل نوتتكفأودم ئه و(ر و مح و ود د “Dari „Amru bin Syu‟aib dari bapaknya dari kakeknya berkata; berkata Rasulullah SAW: Darah orang-orang Islam itu setara”(HR. Aḥmad dan Abū Dāwud) Maksud hadis ini adalah sebanding, maka darah orang yang rendah derajatnya sama dengan darah orang yang tinggi derajatnya. Begitupun dalam firman Allah SWT, 2
ملويَ ُك ْن واَيو ُكف و ح
“Tidak suatu pun yang sama dengan-Nya” Maksud dari potongan ayat وا ً ُك ْفdiatas adalah, tidak ada bandingannya. Secara etimologi kafā`ah adalah sama, sesuai dan setara. Sehingga yang dimaksud dengan kafā‟ah„ dalam perkawinan adalah kesamaan antara calon suami dan
1 2
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 7, hlm. 388, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28 QS. Al-IKhlaṣ : 4
1
calon isteri, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sama dalam akhlak dan kekayaan.3 Kafā`ah merupakan salah satu kajian yang disyariatkan atau diatur dalam perkawinan Islam, akan tetapi tidak ditemukan dalil yang jelas dan spesifik tentang kafā`ah. Oleh karena itu, kafā`ah menjadi perbincangan mengenai posisi kafā`ah dan kriterianya dalam perkawinan. Para ulama Imam Madzhab berbeda pendapat dalam memberikan pengertian kafā‟ah„ dalam perkawinan. Perbedaan ini terkait dengan perbedaan ukuran kafā‟ah„ yang mereka gunakan. Menurut ulama Hanafiyah, kafā‟ah„ adalah persamaan laki-laki dengan perempuan dalam nasab, Islam, pekerjaan, merdeka, nilai ketakwaan dan harta.4 Dan menurut ulama Mālikiyyah, kafā‟ah„ adalah persamaan laki-laki dengan perempuan dalam agama dan selamat dari cacat yang memperoleh seorang perempuan untuk melakukan khiyar terhadap suami.5 Sedangkan menurut ulama Syafi‟iyah, kafā‟ah„ adalah persamaan suami dengan isteri dalam kesempurnaan atau kekurangannya baik dalam hal agama, nasab, merdeka, pekerjaan dan selamat dari cacat yang memperbolehkan seorang perempuan untuk melakukan khiyār terhadap suami. Dan menurut ulama Hanābilah, kafā‟ah„ adalah persamaan suami dengan isteri dalam nilai ketakwaan,pekerjaan, harta, merdeka, dan nasab.6 Dalam istilah fuqaha, kafā`ah dapat diartikan :
ِ ْيو َازْن َ ْن ص َ ٍةو َ ْيودفْن ً واِل َ ِرويفو ُُم ْن ٍر َ مل َ ثَلَةُو ْن ُ وَمْن
3
Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Jilid 2, (kairo: dār al-Fath, 2000 M), hlm.93-94. Abdur Rahman Al-Jaziri, Kitab Al-Fiqh ‟Ala Al-Mazahib Al-Arba‟ah, Juz 4(Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1999), hlm. 53. 5 Al-Jazīri, Kitab Al-Fiqh, hlm 56-57. 6 Wahbah, Zuhaily, Al-Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu Juz 9, h. 6747 4
2
“Kesetaraan diantara suami- istri yang dapat menghilangkan rasa malu dalam perkara-perkara yang khusus”. Maksud dari perkara-perkara yang khusus dalam pengertian diatas menurut mazhab Maliki, kesetaraan dalam agama dan haal yaitu keselamatan dari cacat/aib yang membuatnya memiliki pilihan. Menurut mayoritas fuqaha kesetaraan dalam agama, nasab, kemerdekaan, dan profesi. Dan ditambahkan oleh mazhab hanafiy dan mazhab hambaliy kesetaraan dalam kemakmuran dari segi harta.7 Kata kufu` atau derivasinya yaitu kafā`ah dalam perkawinan mencakup pengertian bahwa perempuan mempunyai sifat atau naluri yang sama dengan laki-laki dalam banyak aspek. Kafā`ah mengandung arti sifat yang ditemui dalam perempuan, yang sifat tersebut ikut diperhitungkan dalam perkawinan, haruslah ada pada laki-laki yang mengawininya, karena wanita akan dirugikan jika menikah dengan laki-laki yang tidak setara dengannya. Berbeda jika lakilaki yang menikah dengan wanita yang statusnya berada dibawahnya.8 Meskipun masalah keseimbangan itu tidak diatur dalam Undang-Undang Perkawinan atau dalam Al-Qur‟an, akan tetapi masalah tersebut sangat penting untuk mewujudkan suatu rumah tangga yang harmonis dan tentram, sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri, yaitu ingin mewujudkan suatu keluarga yang bahagia berdasarkan cinta dan kasih sayang sehingga masalah
7
Wahbah al-Zuhaily, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, jilid VII(Damaskus : Dār al-fikr, 1985), hlm 229. 8 Salim bin Abdul Ghani Al-Rafi‟i, Ahkam Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Li Al-Muslimin Fi Al-Gharbi. Beirut; Dar Ibn Hazm. hlm 330
3
keseimbangan dalam perkawinan ini perlu diperhatikan demi mewujudkan tujuan perkawinan.9 Menurut Wahbah al-Zuhailiy Kafā`ah dianggap penting dalam perkawinan karena ini menyangkut kelangsungan hidup antara pasangan suami istri. Yaitu terwujudnya persamaan dalam perkara sosial demi memenuhi kestabilan dalam kehidupan suami-istri sehingga dalam kacamata „urf pihak perempuan dan walinya tidak dipermalukan dengan pernikahan tersebut.10 Telah banyak penelitian yang dilakukan oleh para fuqaha mengenai hal kafā`ah, baik dalam bentuk buku, kitab, artikel, dan skripsi. Dalam Fiqh alSunnah al-Sayyid Sābiq, dijelaskan bahwa kufu` dalam pernikahan memang diperlukan, yaitu: laki-laki sebanding dengan calon isteri, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam tingkat kekayaan. Dia berpendapat bahwasannya antara laki-laki dan perempuan sebanding.11 Dari definisi yang telah diterangkan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kafā‟ah„ merupakan keseimbangan atau kesepadanan antara calon suami dan isteri dalam hal-hal tertentu, yaitu agama, nasab, pekerjaan, merdeka dan harta. Dalam hadis juga disebutkan dalil kafā`ah dalam beberapa kriteria, yang hendaknya diperhatikan menjelang perkawinan. Hadis tersebut berbunyi:
9
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam, Soemiyati dan Undang-undang Perkawinan,(Jakarta: Liberty, 1982) hlm 4. 10 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 229-230. 11 Sayyid Sabiq, Fiqh, hlm 94.
4
َّل َّل ِ َّل انِّدس ءُ ِوِل ْنَرَ ٍعواِ َ ِِلَ و َ ِِلَ َسبِ َه و َ َ ل و اليُو َلَْنيو َ َ ل َ و َ َاوتُْنن َك ُحو ِ و12)تويَ َ كو(ر و ود د ِ َذ تو ا ِّدي ِ وتَ َِ ْن
انَّلِبو وهَيْن ََةو َ ْن و ِ ِّد ُ َ ْن و َِِب َ َِ َ ِِلَ و َ اِ ِينِ َه وفَ اْن َف ْنو
Dari Abu Hurairah, dari Nabi bersabda: wanita dinikahi karena empat, yaitu harta,nasab, kecantikan dan agamanya. Pilihlah wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu akan berbahagia. (HR. Abu Dāwud) Hadis Nabi di atas menjelaskan bahwa terdapat hierarki pemilihan calon pasangan perempuan ditinjau dari sisi tujuan pokok perkawinan yaitu: a. Pemilihan istri dari segi kepemilikan harta. Tipikal ini berfungsi pemenuhan kebutuhan material, yang membantu memecahkan kesulitan hidup yang bersifat material. b. Pemilihan istri berdasar pada nasabnya. Nasab merupakan pemilihan kedua setelah kekayaan dalam hal memilih pasangan. Tipikal ini berguna bagi seseorang yang mementingkan nasab, juga untuk meraih posisi, baik untuk kemulyaan atau derajad tertentu. c. Pemilihan istri berdasarkan kecantikan. Tipikal ini berdasar pada sifat biologis kecantikan. Hal ini bertujuan untuk menjaga dari penyimpangan dalam berumah tangga. Kecantikan diasumsikan sebagai faktor yang memenuhi kebutuhan bersenang-senang, sehingga akan menjaga dari penyimpangan. Akan tetapi, faktor kecantikan ini bukanlah faktor utama. Hal ini berdasar hadis Nabi yang berbunyi:
َ ْن و َْنب ِو الَّل ِيو ْن ِ و َ ْن ٍ و َ َاو َ َا َور ُ ُاو الَّل ِيو َ لَّل و الَّليُو َلَْن ِيو َ َ لَّل َ َوَلوتَ َزَّل ُ و ِ ِ وح ْنسنُ ُه َّل و ْنَنويُْن ِديَ ُه َّل و َََلوتَ َزَّل ُ ُه َّل ِوِل ْنَم َ ِلِِ َّل وفَ َ َس و ْنَم َ ُِلُ َّل و ُ انِّدس ءَوِلُ ْنسن ِه َّل وفَ َ َس َ 12
Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 5, hlm. 426, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28
5
ِ ْنَنوتُطْنغِ ه َّل و اَ ِك وتَزَّل ه َّل و لَ و ا ِّدي ِ و َِلَمةٌوخ م ءو د ءو َذ ت ودي ٍ و َ ُ ُ َ َ ُ َ ْن ُ ُ َ َ َ َ ْن َ ُ َ ْن 13 )(ر و وم ي.َفْن َ ُو “Dari Adullah bin Umar berkata: Berkata Rasulullah SAW Janganlah engkau menikahi perempuan karena kecantikannya, barangkali kecantikannya menjadi menolak, dan janganlah engkau menikahi karena hartanya, barangkali hartanya menjadikan ia berlaku curang, tetapi nikahilah karena agamanya, dan sungguh seorang budak perempuan yang hitam legam yang beragama baik itu lebih utama.(HR. Ibnu Mājah) Pemilihan istri berdasar agamanya. Rasulullah memposisikan tipikal ini sebagai tipikal utama dalam pemilihan pasangan. Hal ini karena faktor agama merupakan faktor yang urgen. Faktor keagamaan merupakan faktor yang unggul dalam pemilihan pasangan, melibihi faktor lainnya. Karena perempuan yang berkualitas secara keagamaan, meski kurang cantik secara fisik, agama merupakan hal yang patut dan perlu untuk dipertimbangkan.14 Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan, maka ia harus memperhatikan empat perkara yaitu hartanya, derajatnya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Namun Nabi Muhammad SAW sangat menekankan faktor agama untuk dijadikan pertimbangan dalam memilih pasangan. Segolongan ulama ada yang memahami faktor agamalah yang dijadikan pertimbangan karena didasarkan pada penekanan sabdanya : ”fadzfar bidzāti
13 14
Muhammad bin Yazid, Sunan Ibnu Mājah, juz 5, hlm. 457, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28 Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga; Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, judul asli Nidzam AlUsrah Fi Al-Islam, alih bahasa Nur Khozin (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 41-48.
6
al-dīn”, segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan (nasab) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan.15 2. Kedudukan Kafā`ah Dalam Perkawinan Tidak disebutkan secara jelas tentang konsep kafā‟ah„ perkawinan dalam al-Qur‟an membuat para fuqaha berbeda pendapat dalam masalah ini, yaitu apakah kafā‟ah„ penting dalam sebuah perkawinan atau tidak.. Dalam persyaratan kafā`ah dalam perkawinan, fuqaha terbagai dalam dua pendapat : Pendapat pertama: Ibnu Hazm berpendapat bahwa kafā‟ah„ tidak penting dalam sebuah perkawinan, menurutnya antara orang Islam yang satu dengan orang Islam yang lainnya adalah sama (sekufu‟). Semua orang Islam asalkan dia tidak pernah berzina, maka ia berhak kawin dengan semua wanita muslimah yang tidak pernah berzina.16 Berdasarkan firman Allah SWT QS. AlHujurat ayat 10 :
و17ووو “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara”. Begitu juga dengan ats-Tsauri, Hasan al-Bashri, dan al-Khurkhi dari mazhab Hanafi berpendapat bahwa sesungguhnya kafā`ah bukan suatu syarat. Bukan syarat sahnya perkawinan serta bukan pula syarat kelaziman. Sehingga perkawinan sah dan lazim tampa mempedulikan apakah si suami setara dengan si istri maupun tidak.18 Adapun alasan mereka berdasarkan firman Allah Swt : 15
Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtashid ,Jilid II (Bairūt: Dār al-Jail, 1989) hlm. 34 16 Sayyid Sabiq, Fiqh, hlm 94. 17 Al-hujarat :10 18 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 230.
7
19
وووو
“Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu” Dari ayat-ayat di atas dapat disimpulkan bahwa semua manusia sama dalam hak dan kewajiban, tidak ada keistimewaan antara yang satu dengan lainnya kecuali dengan takwa. Dan mereka juga menyatakan bahwa penghormatan dan penghargaan terhadap darah seseorang dalam hukum pidana ialah sama saja. Jika yang membunuh adalah orang yang terhormat dan yang dibunuh adalah orang jelata, maka hukuman qishash tetap dijalankan. Jika kekufu‟an diterapkan dalam hukum pidana Islam, maka begitu pula ketentuan dalam perkawinan seharusnya tidak diterapkan.20 Dalil –dalil diatas terbantahkan, dengan argumen, bahwasanya manusia sama dalam hak-hak dan kewajiban dan mereka tidak saling lebih utama kecuali dengan ketakwaan. Sedangkan selain ketakwaan yang berdasarkan nilai keperibadian yang berlandaskan tradisi dan adat manusia, maka pasti manusia saling memiliki perbedaan. Ada perbedaan dalam sisi rezeki dan kekayaan. Sebagaimana firman Allah SWT : وووووو 21
“Dan Allah melebihkan sebahagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezki” Adapun alasan mereka bahwa Jika kekufu‟an diterapkan dalam hukum pidana Islam, maka begitu pula ketentuan dalam perkawinan seharusnya tidak 19
QS. Al-hujarat: 13 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 231. 21 QS an-Nahl: 71. 20
8
diterapkan, terbantahkan dengan alasan bahwa ini merupakan qias ma‟al faariq karena kesetaraan dalam qishash dalam persoalan pidana untuk kemaslahatan manusia dan untuk menghalangi orang yang mempunyai kehormatan berani membunuh orang yang tidak setara dengannya. Sedangkan kesetaraan dalam perkawinan untuk mewujudkan kebahagiaan suami istri, dan kemaslahatan tersebut hanya bisa terwujud dengan disyariatkannya kesetaraan dalam perkawinan.22 Pendapat kedua23, yaitu pendapat mayoritas para Fuqaha, termasuk diantara mereka adalah empat Imam mazhab, bahwa kafā`ah merupakan syarat keladziman dalam sebuah perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan,24 Adapun dalil yang mereka pakai sebagai pijakan argument adalah : 1. Hadis rasulullah saw :
َ ْن و َلِ ِّديو ْن ِ و َِِبوطَ اِ ٍ و َّل َن َور ُ َاو الَّل ِيو َ لَّل و الَّليُو َلَْن ِيو َ َ لَّل َ و َ َاواَيُويَ و َلِ ُّيو تو تو ِلميُو ذ و َ ْن وح َ َ ْن و اصالةو ذ و تَ ْن: ثالثوَلوتؤخ وه َ ت و ن زوةُ ذ 25 )ُكفؤ (ر و ارتمذي Dari „Ali bin Abi Thalib, bahwasanya Rasulullah berkata kepadanya :“wahai „Ali tiga perkara yang tidak boleh ditangguhkan; shalat jika telah tiba waktunya, jenazah jika telah datang, dan perempuan yang belum menikah jika mendapati orang yang setara dengannya.”(riwayat Tirmīdzi)
22
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 231-232. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 232-233. 24 Maksud dari “syarat keladziman dalam sebuah perkawinan, bukan syarat sahnya perkawinan” adalah nikah sah apabila tidak terdapat kafa‟ ah diantara keduanya, akan tetapi pihak yang mempunyai wewenang dalam penentuan kafa‟ah mempunyai hak untuk menolak akad dan meminta faskh, lihat Salim bin Abdul Ghani Al-Rafi‟i, lihat Ahkam Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Li Al-Muslimin Fi Al-Gharbi. hlm 332 25 Muhammad Bin „īsa, Sunan Tirmidzi, juz 4, hlm. 244, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28 23
9
2. Pijakan argumen yang lain adalah dalil ma‟qul atau rasio. mereka berpendapat bahwa kehidupan rumah tangga sepasang suami isteri akan bahagia dan harmonis jika ada kekufu‟an antara keduanya. kafā‟ah diukur dari pihak perempuan bukan dari pihak laki-laki, karena biasanya pihak perempuan yang mempunyai derajat tinggi akan merasa terhina bila menikah dengan laki-laki yang berderajat rendah. Berbeda dengan laki-laki, ia tidak akan merasa hina bila ia menikah dengan perempuan yan berderajat rendah darinya.26 Apabila seorang perempuan yang berderajat tinggi menikah dengan laki-laki yang lebih rendah derajatnya, berdasarkan adat kebiasaan, si isteri akan merasa malu dan hina dan si suami seharusnya menjadi kepala rumah tangga yang dihormati akan menjadi rendah dan merasa kurang pantas berdiri sejajar dengan si isteri, dan pada akhirnya, keharmonisan dan kebahagiaan rumah tangga yang merupakan tujuan utama perkawinan tidak akan tercapai.27 Dikalangan ulama Hanafiyah terdapat perbedaan pendapat tentang kedudukan kafā‟ah dalam perkawinan. Mereka mengatakan bahwa kafā‟ah merupakan syarat lazim (kelangsungan) sebuah perkawinan. Tetapi menurut ulama Hanafiyah muta‟akhirin, kafā‟ah menjadi syarat sah perkawinan dalam kondisi-kondisi tertentu, yaitu : a. Apabila seorang perempuan baligh berakal menikahkan dirinya sendiri dengan seorang laki-laki yang tidak sekufu‟ atau dalam perkawinan itu 26 27
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 233. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 233.
10
terdapat unsur penipuan, maka dalam hal ini wali dari kelompok ashabah seperti ayah dan kakek berhak untuk tidak menyetujui perkawinan sebelum terjadinya akad. b. Apabila seorang wanita yang tidak cakap bertindak hukum, seperti anak kecil atau orang gila, dinikahkan oleh walinya selain ayah atau kakek dengan orang yang tidak sekufu‟, maka aperkawinan itu fasiq karena tugas wali terkait dengan kemaslahatan anak perempuan tersebut, menikahkan anak perempuan itu dengan orang yang tidak sekufu‟ dipandang tidak mengundang kemaslahatan sama sekali. c. Apabila seorang ayah dikenal sebagai orang yang pilihannya selalu buruk, menikahkan anak perempuan yang belum atau tidak cakap bertindak hukum dengan seorang yang tidak sekufu‟ maka pernikahannya menjadi batal.28 3. Kriteria Kafā`ah Perspektif Fuqaha’ 1.
Agama Dalam hukum perkawinan Islam, para ulama mempunyai perspektif tersendiri tentang konsep agama, seperti terjaganya seorang dari perbuatan keji serta tetap konsisten dalam menegakkan hukum-hukum agama. Agama dalam hal ini dimaksudkan sebagai ketidakfasikan. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa seorang laki-laki yang fasiq tidak sekufu‟ dengan perempuan yang shalihah. Rasulullah SAW. bersabda :
28
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 235.
11
ِ و َِِب ِ ِ ِ وم ْن و َ َ َا َور ُ ُاو الَّليو َ لَّل و الَّليُو َلَْنيو َ َ لَّل َو و َذ و َ ءَ ُك ْن:وح ٍِتو اْن ُ َزِِنِّدو َ َاو َ َ ْن ِ تَ ض َن ِ ودينَيُو َ ُخلَُقيُوفَأَنْن ِك ُح ُوَِّلَلوتَ ْنف َلُ وتَ ُك ْن وفِْنت نَةٌ ِويفو ْنِل ْنَر ضو َ فَ َس ٌدو َ اُ ويَ َور ُ َاو ْن َ ْن ِ الَّل ِيو ِ ْننو َك َنوفِ ِيو َ َاوِذَ و ء ُك وم وتَ ض َن و.ت ومَّل ٍو َ ودينَيُو َ ُخلَُقيُوفَأَنْن ِك ُح ُوثََال َث َ َ ْن َ ْن ْن َ ْن َ و29)(ر و ارتم ذي ”Dari Abu Hātim al-Muzani berkata; berkata Rasulullah SAW:Jika datang kepadamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, maka kawinkanlah, jika kamu tidak berbuat demikian aka terjadi fitnah dan kerusakan di atas bumi”, sahabatnya bertanya, ”ya Rasulullah, apabila di atas bumi diteruskan fitnah dan kerusakan ?” jawab beliau, ”Jika dating kepada kamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, hendaknya kawinkan ia” (Jawaban Rasulullah ini diulang sebanyak 3 kali)”.(HR. Tirmīdzi) Hadits di atas ditujukan kepada para wali agar mengawinkan perempuanperempuan yang diwakilinya dengan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Bila mereka tidak mau mengawinkan dengan laki-laki yang berakhlak luhur, tetapi memilih laki-laki yang berkedudukan tinggi atau keturunan mulia atau yang berharta, maka dapat menimbulkan fitnah dan kerusakan bagi perempuan tersebut dan walinya. Dalam Al-Qur‟an surat As-Sajdah ayat 18, Allah swt berfirman : ووو ووووو “Apakah orang-orang beriman itu sama dengan orang-orang yang fasik? mereka tidak sama”. Ayat di atas menjelaskan bahwa seorang muslim yang shaleh sama (sekufu‟) dengan muslimah shalihah. Dan seorang muslim yang shaleh tidak
29
Tirmidzi, Al-Jami‟ As-Sahih Juz 3, h. 395
12
sama (sekufu‟) dengan seorang yang fasiq. Selanjutnya dalam Al-Qur‟an surat al-Hujurat ayat 13 :
……و.وو وووو…و.. “…..Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu”. Dari ayat al-Qur‟an di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kedudukan manusia itu sama di hadapan Allah, yang satu dengan yang lain tidak ada bedanya, sama-sama terbuat dari air mani. Kemudian Rasulullah susul ajaran persamaan manusia itu dengan perintahnya kepada Abu Huzaifah untuk menikahkan Salim dengan anak perempuan saudaranya yang bernama Hindun binti Al-Walīd bin Utbah bin Rabi‟ah (bangsawan). Padahal Sālim itu adalah hamba sahaya. Sudah dikemukakan lebih dahulu sebuah hadis : yang artinya ”(wajiblah kamu memilih perempuan yang beragama). 2. Nasab Jumhur ulama (Hanafiyah, Syafi‟iyah, dan Hanābilah) selain Mālikiyyah berpendapat bahwa nasab merupakan salah satu hal yang paling penting dan masuk dalam kafā‟ah, karena ada beberapa alasan mendasar yang mengilhami mereka, seperti banyaknya orang Islam, khususnya orang muslim arab yang sangat fanatik dalam menjaga keturunan dan golongan mereka. Alasan mereka memasukkan nasab dalam kafā‟ah„ berdasarkan hadits Nabi SAW. :
13
و َ َا َور ُ ُاو هللو ل و هللو ل يو لَّل:و و ُ َ ورضيو هللو نه و ا بو ُ َو ا ْنك ِف ءو ه و ً و ب و قب ٍ و ر و ٍ و مل يلو كف ءو ه و ً و ب و قبِْن ٍ و ِ و30)(ر و اب هقي.ج م وح َّل َ َلوح ئكو َ ر و ٍو ”Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma berkata; berkata Rasulullah Orang arab satu dengan lainnya sekufu‟. Satu kabilah sekufu‟ dengan kabilah yang sama, satu kelompok sekufu‟ dengan kampung yag sama, antara sesama laki-laki diantara sekufu‟ kecuali tukang jahit atau bekam”. (HR. Al-Baihaqi). Maksud dari hadits di atas adalah bahwa orang arab sepadan dengan orang arab, orang arab tidak sekufu‟ dengan selain orang arab, kabilah yang satu sekufu‟ dengan kabilahnya, bekas budak sekufu‟ dengan bekas budak. Jadi seseorang yang dianggap sekufu‟ jika ia dari golongan yang sama. Menurut ulama Hanafiyah, nasab (keturunan) dalam kafā‟ah hanya dikhususkan pada orang-orang arab. Dengan demikian suami dengan isteri harus sama kabilahnya. Jika seorang suami dari bangsa Quraisy, maka nasabnya sebanding dengan perempuan yang berasal dari bangsa Quraisy. Dari sini diketahui bahwa laki-laki selain bangsa arab tidak sebanding dengan perempuan Quraisy dan perempuan arab. Orang arab yang bukan dari kabilah Quraisy tidak sebanding dengan perempuan Quraisy. Adapun menurut ulama Syafi‟iyah, orang arab sebanding dengan Quraisy lainnya kecuali dari Bani Hasyim dan Muthalib karena tidak ada orang Quraisy yang sebanding dengan mereka (Bani Hasyim dan Bani Muthalib). Dan yang menjadi pertimbangan dalam hal nasab adalah bapak. Sedangkan ulama
30
Ahmad Bin Husain al-Baihaqi, Sunan al-baihaqi al-kubra, juz 7, hlm. 134, al-Maktabah alSyamilah versi 3.28
14
Hanafiyah berpendapat bahwa golongan Quraisy sebanding dengan Bani Hasyim. Golongan Mālikiyyah berpendapat seperti yang dijelaskan dalam kitab ”Al-Fiqh Islam Wa Adillatuhu” bahwa dalam Islam tidak ada perbedaan antara satu golongan dengan dengan golongan yang lain, bagi orang arab maupun non-arab yang terpenting bagi golongan Mālikiyyah adalah keimanan dan ketakwaan seseorang terhadap Allah SWT.31 3. Merdeka Yang dimaksud merdeka di sini adalah bukan budak (hamba sahaya). Jumhur ulama selain Mālikiyyah memasukkan merdeka dalam kafā‟ah berdasarkan Al-Qur‟an surat an-Nahl ayat 75 :
وووووووووووووو
و32وووو وووو “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang Kami beri rezki yang baik dari Kami, lalu Dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan, Adakah mereka itu sama?” Dalam ayat di atas dijelaskan bahwa seorang budak dimiliki oleh tuannya dan dia tidak dapat melakukan sesuatu pun termasuk menafkahkan hartanya sesuai dengan keinginannya kecuali atas perintah tuannya. Akan tetapi orang merdeka bebas melakukan sesuatu sesuai dengan keinginannya tanpa menunggu perintah dari siapapun. Jadi, budak laki-laki tidak sekufu‟ dengan 31
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 243.; M. Baqir al-Hasbi, Fiqih Praktis,(Bandung: Mizan, 2005) hlm. 49-50 32 QS:an-Nahl ayat 75
15
perempuan merdeka. Budak laki-laki yang sudah merdeka tidak sekufu‟ dengan perempuan yang merdeka sejak asalnya.33 Menurut mayoritas fuqaha yang terdiri dari Mazhab Hanafi, syafi‟i dan Hambali, seorang budak walaupun status kemerdekaannya setengah tidak sebanding dengan perempuan yang merdeka, meskipun dia adalah bekas budak yang telah dimerdekakan, karena dia memiliki kekurangan akibat perbudakan. Adapun mazhab Maliki tidak mensyaratkan kemerdekaan dalam kafā‟ah.34 4. Harta Yang dimaksud dengan harta adalah kemampuan seseorang (calon suami) untuk memberikan mahar dan nafkah kepada isterinya. Menurut ulama Hanafiyah dan Hanābilah, harta merupakan hal yang penting dalam kehidupan rumah tangga sehingga harta dianggap penting untuk dimasukkan dalam kriteria kafā‟ah„. Berdasarkan hadits Nabi SAW. :
ِ ِ ِ بو ْنَه ِ و ا ُّنْن َ و و و َُيْن َ َةو َ ْن وَِ يو َ َاو َ َا َور ُ ُاو الَّليو َ لَّل و الَّليُو َلَْنيو َ َ لَّل َوو َّلنو ْن َ َح َس ِ ِ و35) (ر و مج. ا وه َذ و اْن َ ُو َ اَّلذيويَ ْنذ َهبُ َنوِاَْني ”Dari Buraīdah dari ayahnya berkata: berkata Rasulullah SAW Sesungguhnya kebangsawanan seseorang di dunia adalah mereka yang mempunyai harta”. (HR. Ahmad). Ulama Hanafiyah dan Hanābilah mengatakan bahwa yang dianggap sekufu‟ adalah apabila seorang laki-laki sanggup membayar mahar dan nafkah
33
Sayyid Sabiq, Fiqh, hlm 97. Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 242-243. 35 Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, h. 423 34
16
kepada isterinya. Apabila tidak sanggup membayar mahar dan nafkah atau salah satu diantara keduanya, maka dianggap tidak sekufu‟.36 Menurut Abu Yusuf (salah satu sahabat Abu Hanīfah) yang dianggap sekufu‟ dalam harta adalah kesanggupan memberi nafkah bukan membayar mahar. Sebab ukuran yang mudah dilakukan dan kemampuan seseorang untuk memberi nafkah itu tidak dapat dilihat dari keadaan bapaknya.37 Adapun ulama Mālikiyyah dan sebagian ulama Syafi‟iyah menentang penggolongan harta dalam kriteria kafā‟ah„. Menurut mereka harta merupakan sesuatu yang bisa hilang. Menurut Wahbah al-Zuhailiy pendapat inilah yang paling benar dengan alasan bahwa, memasukkan harta dalam ukuran kafā‟ah„ sama halnya mengajari atau mendidik umat Islam untuk tidak berakhlak terpuji seperti yang diajarkan Nabi SAW.38 5. Pekerjaan Yang dimaksud dengan pekerjaan adalah adanya mata pencaharian yang dimiliki seseorang untuk dapat menjamin nafkah keluarga.39 Jumhur ulama selain Mālikiyyah sepakat memasukkan pekerjaan dalam perangkat kafā‟ah berdasarkan hadits Nabi SAW :
و َ َا َور ُ ُاو هللو ل و هللو ل يو لَّل:و و ُ َ ورضيو هللو نه و ا بو ُ َو ا ْنك ِف ءو ه و ً و ب و قب ٍ و ر و ٍ و مل يلو كف ءو ه و ً و ب و قبِْن ٍ و ِ و40)(ر و اب هقي.ج م وح َّل َ َلوح ئكو َ ر و ٍو 36
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246. H. M. Rasyidi, Keutamaan Hukum Islam, h. 79 38 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246. 39 Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , h. 846 40 Ahmad Bin Husain al-Baihaqi, Sunan al-baihaqi al-kubra, juz 7, hlm. 134, al-Maktabah alSyamilah versi 3.28 37
17
”Dari Ibnu Umar radhiallahu „anhuma berkata; berkata Rasulullah Orang arab satu dengan lainnya sekufu‟. Satu kabilah sekufu‟ dengan kabilah yang sama, satu kelompok sekufu‟ dengan kampung yag sama, antara sesama laki-laki diantara sekufu‟ kecuali tukang jahit atau bekam””. (HR. Al-Baihaqiy). Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa seseorang yang mempunyai pekerjaan terhormat sekufu‟ dengan orang yang mempunyai pekerjaan terhormat juga. Begitu juga sebaliknya, seseorang yang mempunyai pekerjaan terhormat tidak sekufu‟ dengan seseorang yang pekerjaannya tukang bekam. Menurut jumhur ulama pekerjaan seorang laki-laki minimal mendekati pekerjaan keluarga keluarga wanita. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, penghasilan laki-laki harus sebanding dengan penghasilan pihak keluarga perempuan sesuai dengan adat yang berlaku. Apabila menjahit menurut adat lebih tinggi derajatnya dibanding menenun, maka penjahit itu tidak sebanding dengan anak penenun, maka penjahit itu tidak sebanding dengan anak penenun. Menanggapi permasalahan ini golongan Mālikiyyah berpendapat tidak ada perbedaan mengenai pekerjaan, semua itu dapat berubah sesuai dengan takdir Allah, sehingga pekerjaan bagi ulama Mālikiyyah tidak dimasukkan dalam kriteria kafā‟ah.41 Menurut
Wahbah
al-Zuhaily
yang
dijadikan
landasan
untuk
mengklasifikasikan yang dimaksud pekerjaan dalam hal ini adalah tradisi. Nilai sebuah pekerjaan akan berbeda dengan berbeda tempat dan waktu. Bisa jadi suatu profesi dianggap rendah di suatu waktu akan tetapi bisa menjadi
41
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246-247.
18
mulia di waktu yang lain. Demikian juga bisa jadi sebuah profesi dipandang hina disebuah negeri dan dipandang tinggi dinegeri yang lain.42 6. Seimbang dari segi fisik atau tidak cacat Murid-murid Syafi‟i dari riwayatnya Ibnu Nasir dari Mālik bahkan salah satu syarat kufu‟ ini adalah selamat dari cacat. Bagi laki-laki yang mempunyai cacat jasmani yang menyolok itu tidak sekufu‟ dengan perempuan sehat dan normal. Jika cacatnya pandangan lahiriyah, seperti buta, laki-laki yang seperti ini tidak sekufu‟ dengan perempuan sehat, tetapi kurang disukai menurut pandangan lahiriah, seperti buta, tangan buntung atau perawakannya jelek. Dalam hal ini ada dua pendapat. Rauyāni berpendapat bahwa lelaki seperti ini tidak kufu‟ dengan perempuan sehat, tetapi golongan Hanafi dan Hanbali tidak menerima pendapat ini. Ibnu Qudamah dalam kitabnya Al-mugnhi berpendapat bahwa terhindar dari cacat tidak termasuk dalam syarat kufu‟, tidak seorangpun menyalahi pendapat ini, yaitu kawinnya orang yang cacat itu tidak batal. Akan tetapi hak pilihan (khiyār) terdapat pada istri bukan pada walinya, yaitu hak untuk tidak membatalkan pernikahannya, karena kerugian menyangkut akan dirinya. Wali boleh mencegah perkawinan apabila anak gadisnya kawin dengan laki-laki yang berpenyakit kusta, gila, selain cacatcacat tersebut tidak dianggap sebagai ukuran kafā‟ah .43 4. Orang Yang Berhak Menentukan Kafā’ah Para fuqaha sepakat bahwa yang berhak menentukan kafā‟ah adalah seorang perempuan dan walinya, karena menurut mereka seorang perempuan 42 43
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 247. Sayyid Sabiq, Fiqih, hlm.99.; Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 247.
19
dan walinya biasanya akan merasa terhina bila menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu‟. Sedangkan laki-laki yang terpandang tidak akan merasa terhina bila menikah dengan perempuan yang status sosialnya lebih rendah darinya. Dalam menentukan kafā‟ah„, antara wali dengan anak perempuan yang akan menikah mempunyai hak yang sama. Apabila seorang wali mengawinkan anaknya anak perempuan tersebut menganggap calon suaminya tidak sekufu‟ dengannya. Maka ia boleh mengajukan fasakh nikah. Begitu juga sebaliknya, jika seorang anak perempuan menikah dengan laki-laki yang tidak sekufu‟ dan walinya tidak merestui, maka wali boleh mengajukan fasakh nikah. Golongan Mālikiyyah berpendapat bahwa wali dapat merusak perkawinan anak perempuannya selama belum didukhul(digauli) oleh suaminya. Jika antara keduanya telah melakukan hubungan badan. Maka pernikahan tersebut tidak dapat fasahk. Sedangkan menurut ulama Hanafiyah dan Syafi‟iyah, pernikahan itu dapat difasahk sebelum anak perempuan itu hamil atau melahirkan.44 5. Waktu Berlakunya Kafā’ah Waktu yang ditetapkan untuk menentukan apakah calon-calon mempelai telah sekufu‟ atau belum, itu letaknya pada waktu akan dilaksanakan akad nikah. Berlakunya kafā‟ah yaitu dinilai pada waktu terjadinya akad. Apabila keduanya berubah sesudah terjadinya akad, maka tidak mempengaruhi akad karena syarat akan diteliti pada waktu akad. Sehingga tidak disyariatkan keberlangsungan kesetaraan setalah akad, karena mempertahankan krateriakrateria kafā‟ah dalam diri suami setelah akad sesuatu yang susah diwujudkan.
44
Sayyid Sabiq, Fiqih, hlm.99
20
Oleh karena itu ketika terwujud kesetaraan dalam perkawinan pada saat akad, kemudian kreteria-kreteria kafā‟ah tidak terdapat dalam diri suami kecuali Islam maka prkawinan keduanya tidak di fasakh.45 Oleh sebab itu apabila seseorang pada waktu akad mempunyai pencaharian yang terhormat, mampu memberi nafkah atau orangnya sholeh, kemudian berubah menjadi hina, tidak sanggup memberi nafkah atau fasiq terhadap perintah Allah SWT dan semuanya itu terjadi setelah dilangsungkan perkawinan, maka akadnya tetap berlaku. Untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan sesudah dilangsungkan pernikahan, maka hendaknya pihak yang mempunyai hak dalam menentukan kafā‟ah„ menyatakan pendapatnya tentang kedua mempelai pada saat akad nikah. Dan sebaliknya persetujuan tentang kafā‟ah ini dicatat oleh pihak-pihak yang berhak sehingga dapat dijadikan sebagai alat bukti seandainya ada pihak yang akan menggugat di kemudian hari. Hal semacam ini mengandung hikmah supaya perkawinan yang dilangsungkan itu betul-betul diteliti terlebih dahulu dan seorang yang akan mau menikah harus mempunyai niat yang sungguh-sungguh agar tidak ada penyesalan dalam pernikahan. Dalam Fiqh al-Sunnah Sayyid Sābiq menjelaskan bahwa kufu‟ diukur ketika berlangsungnya akad nikah. Jika selesai akad nikah terjadi kekurangankekurangan, hal itu tidaklah mengganggu dan tidak dapat membatalkan sedikitpun apa yang sudah terjadi, serta tidak mempengaruhi hukum akad nikahnya. Jika pada waktu berlakunya akad nikah, suami memiliki pekerjaan 45
Muhammad Muhyiddin abdul Hamid, al-Akhwal al-Syaksiyah Fi al-Syariah al-Islamiyah, Ma a‟ al-Isyarah Ila Muqabiliha Fi al-Syara‟I al-Ukhra, al-Maktabah al-Ilmiyah, Bairut, tt. hlm 106.
21
terhormat dan mampu memberi nafkah istrinya atau dia seorang yang salah, tetapi di kemudian hari ada perubahan, misalnya pekerjaannya kasar, atau tidak mampu lagi memberi nafkah, atau setelah kawin berbuat durhaka kepada Allah, maka akad nikahnya tetap sah seperti sebelumnya. Memang masa itu berbolak-balik dan manusia tidak selamanya langgeng keadaannya dalam satu sifat saja. Karena itulah istri harus dapat menerima kenyataannya, bersabar dan bertaqwa kepada Allah. Karena sabar dan bertakwa kepada Allah merupakan watak orang-orang yang besar.46 B. Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dan Prinsip Egalitarian Terhadap Konsep al-Kafā’ah 1. Tinjauan Normatif Berdasarkan kategorisasi kemaslahatan yang bersifat ashliyyah dan tabi‟ah, pensyariatan kafā‟ah digunakan untuk mewujudkan adanya maqashid tabi‟ah. Hal ini karena tujuan kafā‟ah adalah untuk menciptakan rumah tangga yang dipenuhi dengan sakinah, mawaddah wa rahmah, menghilangkan adanya cela atau aib sosial, dan menghindarkan bahaya fisik dan sosial yang mungkin timbul. Menurut para pendukungnya, baik dari madzhab Hanafiyah,Mālikiyyah, Syafi‟iyah, maupun Hanābilah, kesepadanan antara calon suami dengan calon istri dan keluarga calon istri secara sosial dan keagamaan merupakan sebuah jalan yang harus ditempuh untuk mewujudkan maqāshid yang dimaksudkan di atas. Sedangkan apabila ditinjau dari pengaruh kekuatan mashlahah terhadap kepentingan umum, maka konsep kafā‟ah dapat dikategorikan sebagai salah satu mukmilat al-hajiyah, 46
Sayyid Sabiq, Fiqih, hlm.99
22
karena bertujuan untuk mewujudkan mashlahah hajiyah yang berupa menciptakan kelanggengan perkawinan, keharmonisan rumah tangga, pembagian cinta, kasih sayang dan ketenangan. 47 Dari sudut pandang sandaran dalil secara langsung, konsep kafā‟ah dibangun di atas dalil-dalil hadits. Maka, kemaslahatan yang ingin dicapai melalui konsep ini adalah mashlahah mu‟tabarah dan bukan mashlahah mulghah. Namun, hadits-hadits pendukung kafā‟ah, terutama yang bersifat sosial adalah hadits-hadits yang berada dalam tingkatan dhanni al-wurud dan dhanni al-dilalah, karena dinilai sebagai hadits dla‟if atau hasan li ghairih.48 Oleh karena itu, mashlahah dari pensyariatan kafā‟ah yang bersifat social adalah mashlahah dhanniyyah. Sementara itu, konsep yang bersifat religious didukung oleh hadits hasan dan hadits shahih, namun bukan hadits mutawatir, sehingga dinilai memiliki kekuatan yang dhanni, dan kekuatan mashlahah-nya bersifat dhanniyyah. Dengan demikian, kemaslahatan yang ada di dalam konsep kafā‟ah dinilai sebagai mashlahah dhanniyyah. Konsep al-kafā‟ah yang bersifat sosial mendapatkan pertentangan dari beberapa ahli fiqh berdasarkan argumentasi kesetaraan hak asasi manusia, terutama hak untuk mengikatkan diri di dalam ikatan perkawinan. Aturan ini dinilai telah menegasikan prinsip egalitarian yang telah dibangun oleh Islam,
47
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan dengan Prinsip Egalitarian Dalam Hukum Perkawinan Islam”, http://sulhanihermawan.files.wordpress.com/2010/01/al kafaah.pdf, diakses tanggal 10 september 2013. 48 Para ulama menilai hadits-hadits tentang al-kafa‟ah umumnya dla‟if. Ibn Humam, seorang tokoh penting Hanafiyah, misalnya mengakui tentang hal itu. Namun, dia buru -buru menambahkan bahwa meskipun dla‟if, karena ada berbagai jalur riwayat yang saling menguatkan, maka tingkatannya naik menjadi hasan. Dan oleh karena itu, maka hadits tersebut bisa di jadikan sebagai hujjah. Lihat, Ibn Humam al-Hanafi, Syarh Fath al- Qadir, jilid III, hlm. 292.
23
padahal prinsip egalitarian benar –benar didasarkan pada dalil yang kuat. Oleh karenanya, konsep kafā‟ah terutama yang bersifat sosial, tidak bisa menjadi sebuah aturan hukum. Hak untuk menilai status dan kesebandingan seseorang adalah hak Allah semata dan bukan hak manusia.49 Selain argumentasi egalitarian secara umum, konsep kafā‟ah yang bersifat sosial juga mendapatkan penolakan dari dalil khusus egalita rian tentang perkawinan. Ada beberapa dalil hadits yang menceritakan tentang penentangan Nabi Muhammad terhadap pertimbangan “status sosial” seseorang untuk masuk ke dalam sebuah ikatan perkawinan. Dalil-dalil tersebut antara lain adalah hadits tentang per kawinan Fatimah Binti Qays, Seorang perempuan dari bangsawan Quraisy yang cantik, dengan Zaid bin Usāmah, seorang bekas budak, atas nasehat Nabi Muhammad SAW. Selain itu, hadits tentang lamaran Bilal, seorang bekas budak non-Arab yang berkulit hitam, pada seorang perempuan anshar yang cukup terpandang dan adanya perintah Nabi Muhammad SAW untuk menerimanya, serta perkawinan Abu Hindun, seorang tukang bekam, dengan perempuan Bani Bayadlah, yang merupakan bangsawan Arab yang kaya atas perintah Nabi Muhammad SAW.50 Berdasarkan prinsip egalitarian secara umum dan secara khusus di bidang perkawinan, jelas bahwa ketidaksekufuan dalam hal keturunan, kekayaan, ras, fisik, profesi, status kemerdekaan dari perbudakan dan hal -hal yang bersifat sosial lainnya menurut Islam tidak bisa menjadi pertimbangan yang berarti 49 50
al-Dzahabi, al-Syari‟ah al-Islamiyyah…, hlm. 130-131. Sayyid Sabiq, Fiqih Sunnah, hlm.95.
24
dan bisa diabaikan. Lebih jauh lagi, tentu konsep kafā‟ah tidak bisa (tidak perlu) menjadi sebuah aturan hukum yang memiliki kekuatan mengikat. Namun, konsep kafā‟ah yang bersifat moral keagamaan, agaknya tidak mendapatkan pertentangan yang berarti dari para ulama fiqh, bahkan didukung, berdasarkan argumentasi prinsip kemaslahatan perkawinan yang dinilai tidak bertentangan dengan prinsip egalitarian dalam Islam.51 Meski demikian, semua konsep kafā‟ah, baik yang bersifat sosial maupun moral keagamaan, dan baik yang sudah diatur di dalam fiqh maupun di dalam aturan perundangan di beberapa negara Muslim, masih menyisakan pertanyaan. Hal ini terjadi apabila dikaitkan dengan rumusan Universal Declaration of Human Rights (UDHR) tahun 1948. Konsep dan aturan kafā‟ah dapat dinilai bertentangan dengan kesetaraan hak untuk menikah yang ditetapkan sebagai hak absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Secara jelas, pasal 16 ayat (1) UDHR menyatakan, “ Men and women of full age without any limitation due to race, nationality, or religion, have the right to marry and to find a family. They are entitled to equal rights as to marriage, during marriage and its dissolution.”52 2. Tinjauan Historis Kontekstual al-Kafā’ah Al-kafā‟ah memiliki kesejarahan panjang di dalam hukum perkawinan, terutama apabila dikaitkan dengan operasional prinsip kemaslahatan perkawinan dan prinsip egalitarian. Pembahasan kali ini akan dimulai dari
51 52
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 6 Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 6
25
masa arab pra-Islam sampai pada masa berkembangnya madzhab-madzhab fiqh Islam. Pada masa arab pra-Islam, sebagaimana di tempat lain dan di masa yang lain, terdapat gambaran ideal tentang calon pasangan hidup. Gambaran ideal calon istri adalah perempuan terhormat dari keturunan yang baik (meski tidak selalu harus kaya), baik budi, muda, perawan, subur (tidak mandul), cantik, sopan, pintar, penuh kasih sayang, jujur, cakap, enerjik, produktif, lemah lembut dan periang. Sedangkan gambaran ideal calon suami adalah laki-laki muda dari keturunan luhur bangsa Arab, penyanyang, jujur, pandai bergaul, menyenangkan, murah hati, berani, terhormat dan sosial. Calon suami yang ideal harus memiliki status sosial yang sepadan dalam hal keturunan, kemul iaan, dan kemasyhuran.53 Al-kafā‟ah kemudian menjadi tuntutan keharusan dan pertimbangan utama dalam perkawinan, dan bahkan menjadi tradisi asli orang Arab. Poin yang sering dipersyaratkan adalah keturunan, harta kekayaan, mahar dan hal -hal sosial lainnya. Sistem aristokrasi, kebangsawanan, stratifikasi sosial dan sebagainya merupakan pupuk bagi tumbuhnya sistem al-kafā‟ah, dengan didasarkan pada kemaslahatan perkawinan, individual dan kolektif.54 Pada awal Islam, ternyata konsep al-kafā‟ah masih berlaku, meski kemudian, menurut Ziadeh, ditentang secara kuat oleh al -Qur‟an dan Nabi Muhammad. Islam berusaha menghapuskan konsep kafā‟ah yang bersifat sosial dan menggantinya dengan konsep kafā‟ah yang bersifat moral 53 54
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 7 Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 7
26
keagamaan, yaitu dalam bentuk kesalehan dalam keberagamaan dan ketaqwaan. Hambatan sosial dibuka dan masyarakat dibiasakan untuk memahami kesekufuan dalam keberagamaan, sehingga menjadi watak masyarakat Islam. Sikap egalitarian Islam ini kemudian tumbuh di kalangan masyarakat Madinah dan bahkan menjadi sebuah sunnah. Inilah agaknya yang menyebabkan penduduk Madinah tidak terlalu mempersoalkan kafā‟ah di dalam perkawinan. Seiring dengan itu menjadi bisa dipahami mengapa Imam Malik tidak menyebut -nyebut kafā‟ah yang bersifat sosial di dalam alMuwaththa‟.55 Pada masa kemunculan madzhab fiqh, kafā‟ah menjadi sebuah ketentuan yang khas di dalam madzhab fiqh lama yang ada di Kufah. Kafā‟ah menjadi usaha untuk melindungi kepentingan wali di dalam perkawinan demi menjaga nama baik keluarga. Hal ini karena perempuan dewasa yang berada di bawah perwalian memiliki hak dan kebebasan mandiri untuk menikahkan dirinya sendiri. Tokoh utama di balik hal ini adalah Nu‟man bin Tsabit Abu Hanifah (wafat 150 H) yang merupakan pendiri madzhab Hanafiyah yang muncul di Kufah.56 Meskipun Abu Hanifah memberikan hak dan kebebasan menikah bagi perempuan yang dewasa, namun beliau juga memberikan keleluasaan kepada wali nikah untuk mempertimbangkan dan menilai kesekufuan di dalam diri calon suami. Selain itu Abu Hanifah juga memberikan penekanan untuk
55
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan, hlm 7 Kamil Muhammad Muhammad „Uwaidlah, al-Imam Abu Hanifah Nu‟man bin Tsabit al Tamimi al-Kufi Faqih Ahl al-„Iraq wa Imam Ashhab al-Ra‟y, cet. I (Beirut: Dar al-Kutub al-„Ilmiyyah, 1992), hlm. 12. 56
27
menjadikan kafā‟ah sebagai salah satu syarat nikah, agar perempuan yang akan diperistri dan walinya tidak jelek reputasinya gara-gara perkawinan tersebut.57 Di Kūfah, Abu Hanīfah menemukan masyarakat yang sangat beragam dan kompleks dengan kesadaran kelas yang tinggi, yang tidak dirasakan oleh masyarakat Madinah. Di Kufah, kelompok-kelompok etnis bercampur-baur, tradisi urbanisasi telah lama ada, Arab dan non-Arab berhadap-hadapan, diferensiasi sosial benar -benar memiliki hasil. Menurut Ziadeh, ini merupakan faktor penting dikembangkannya konsep kafā‟ah oleh madzhab Hanafiyyah dan kemudian menyebar ke daerah lain serta diadopsi oleh madzhab-madzhab lain dan ketentuan perundangan di beberapa negara Islam.58 Tetapi, faktor Kufah dan Iraq yang kompleks bukan satu -satunya faktor penting dikembangkannya kafā‟ah oleh Hanafiyah. Di Maroko, sebagaimana di Kufah, masalah - masalah sosial, kesebandingan keluarga dan ekonomi tetap bertahan dan dilestarikan, namun kesekufuan status sosial tidak menjadi aturan hukum. Fakta lain, lingkungan Kufah agaknya tidak mempengaruhi Sufyan al -Tsauri (wafat 161 H), seorang faqih Arab yang hidup di Kufah semasa Abu Hanifah, beliau menolak konsep kafā‟ah yang bersifat sosial, dengan argumentasi prinsip egalitarian. Mensikapi hal ini, Al-Sarakhsyi menyatakan bahwa al-Tsauri menunjukkan kerendahan hatinya dan menyamakan dirinya seperti orang non-Arab, sebaliknya Abu Hanifah, yang 57 58
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 8 Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 8
28
asli Persia, mendudukkan orang Arab di atas non-Arab karena juga menunjukkan kerendahan hatinya.59 Faktor penting lain yang tidak bisa dikesampingkan adalah sistem perkawinan Hanafiyah yang liberal (meski juga pengaruh dari lingkungan yang liberal), yang berupa kebebasan menikah seorang perempuan dewasa tanpa campur tangan wali. Al-kafā‟ah dimaksudkan untuk melindungi kepentingan keluarga perempuan secara sosial. Apabila calon suami tidak sekufu, maka persetujuan wali menjadi mutlak adanya. Berbeda dengan Mālikiyyah, yang menjadikan wali menjadi unsur penting di dalam sebuah perkawinan, sehingga secara otomatis tidak memerlukan konsep al-kafā‟ah yang bersifat sosial sebagai aturan hukum.60 Analisis ini bisa membantu menjelaskan juga mengapa al-Syāfi‟i hanya membicarakan al-kafā‟ah dengan aturan umum dan para pengikut madzhabnya melanjutkan pembicaraan secara lebih luas dan detail. Al-Syafi‟i berargumen bahwa al-kafā‟ah lebih bertujuan untuk melindungi calon istri dari akad nikah yang tidak “benar” daripada melindungi kepentingan wali dari rasa malu akibat perkawinan orang yang berada di bawah perwaliannya. Dan kedua tujuan tersebut (bukan salah satu saja) merupakan basis utama argumentasi kemaslahatan perkawinan dari konsep kafā‟ah.61 Kalau demikian, maka secara historis kontekstual, kafā‟ah muncul sebagai tuntutan yang wajar, sebagai respon terhadap kondisi sosial kemasyarakatan yang berkembang dan kemudian muncul sebagai aturan hukum, sebagai 59
Syamsuddin al-Sarakhsyi, Kitāb al-Mabsut (Lebanon: Dar al-Ma‟rifah, 1989), jilid , hlm. 22-23. Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 8 61 Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 9 60
29
akibat logis dari aturan hukum perkawinan lain yang sudah ditetapkan. Pendek kata, argumentasi kemaslahatan perkawinan dan argumentasi egalitarian diterapkan secara berbeda, karena perbedaan respon terhadap situasi sosial kemasyarakatan dan logika hukum yang sudah ada.62 C. Kontekstualisasi Ajaran Islam PKS : Fiqhul Wahyi dan Fiqhul Waqi’ Sebagai rangkaian dari kemoderatan berfiqih dalam menghadapi tantangan perubahan yang terjadi terus-menerus, PKS mengakui pentingnya kontekstualisasi hukum Islam. Akan tetapi kontekstualisasi disini difahami dengan makna yang khas. Kontekstualisasi tidak dimaknai sebagai perubahan atas hukum agama karena kondisi dan tempat, tetapi kontekstualisasi diterapkan dalam rangka implementasi hukum-hukum tersebut ditengah masyarakat. Yang berubah karena konteks bukanlah hukumnya, melainkan cara menerapkannya.63 Menurut Anis Matta, PKS menyadari bahwa tantangan dakwah akan terus berkembang, demikian juga situasi masyarakat serta masalah-masalah yang mereka hadapi juga mengalami perkembangan. Oleh karena itu, PKS berpandangan bahwa untuk tetap mempertahankan kemurnian islam serta relevansinya pada segala zaman maka ijtihad yang berkesinambungan tidak bisa ditawar-tawar lagi.64 Bagi PKS, Islam memberi ruangan yang luas bagi akal setiap muslim untuk berijtihad. Ajaran Islam yang tidak terpengaruh dengan perubahan ruang dan waktu, khususnya dengan masalah-masalah aqidah, dan masalah-masalah 62
Sulhani Hermawan,” Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan,hlm 10 M. Imdadun Rahmat, Ideologi Politik PKS (Yogyakarta:LKiS,2009), hlm 175. 64 Anis Matta, Dari Gerakan ke Negara, (Jakarta: Fitrah Rabbani, 2006), hlm.59. 63
30
ibadah dan hukum perdata (seperti hukum waris) pada umumnya telah dijelaskan dengan sangat rinci dalam Al-Qur‟an dan as-Sunah. Sementara bagian bagian dari ajaran islam yang terpengaruh oleh perubahan ruang dan waktu, khususnya dalam bidang mu‟amalat, pada umumya dibahas dengan cara menetapkan beberapa kaidah dasar tentang masalah tersebut, untuk kemudian diikuti proses ijtihad dalam kerangka kaidah dasar itu, dengan memproses penetapan hukumnya lewat persatuan ruang dan waktu.65 Hukum-hukum islam yang sangat terpengaruh dengan ruang dan waktu, biasanya selalu dijelaskan dengan menyertakan alasan(illat), yang melandasi pemberlakuan hukum tersebut. Oleh karena itu perubahan dapat terjadi karena perubahan waktu dan ruang, namun tetap mengacu pada illat tersebut.66 Dalam konteks ijtihad ini, para mujtahid ini diharuskan memiliki dua pengetahuan sekaligus : pertama Pengetahuan akan kehendak kehendak Allah yang tercantum dalam Al-Quran dan as-Sunnah. Kedua Pengetahuan tentang realitas-realitas kehidupan masyarakat menusia. Jika yang pertama disebut fiqhul wahyi(fiqh wahyu) maka yang kedua disebut dengan fiqhul waqi‟(fiqh realitas). Fiqh wahyu adalah syarat pencapaian kebenaran, sedangkan fiqh realitas adalah syarat pencapaian ketepatan. Oleh karena itu, pemahaman dan penguasan haruslah dengan kadar kedalaman dan keluasan yang sama. Kedua fiqh ini masing-masing memiliki strukturnya sendiri-sendiri. Untuk mempermudah mengetahui sturktur fiqh wahyu, ilmu ini merujuk pad al-Quran dan as-Sunnah serta sirah
65 66
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.176. Anis Matta, Dari Gerakan…hlm.60.
31
Nabawiyyah(sejarah Nabi) sebagai sumber utamanya, ilmu alatnya adalah bahasa Arab, ilmu metodologinya adalah ushul fiqh dan qowaid al-fiqh, Ilmu bantu tambahannya adalah tarikh(Sejarah), sedangkan out put-nya adalah fiqh.67 Disisi lain, fiqh realitas mempunyai wilayah yang sangat luas dan dinamis. Ilmu induk dari fiqh realitas adalah semua ilmu yang membicarakan manusia atau yang biasa kita sebut ilmu-ilmu humaniora, mulai dari ilmu sosiologi, politik, ekonomi bisnis, antropoilogi, kedokteran dan seterusnya. Ilmu alatanya tentu saja adalah bahasa-bahasa yang berlaku. Akan tetapi yang paling dinamis adalah wilayah peristiwa-peristiwa kehidupan yang mengisi ruang dan waktu kehidupan ummat manusia. Itulah beberapa fakta yang harus dipahami untuk mendapatkan pemahaman yang utuh dan akurat tentang konteks penerapan wahyu. Selain keseluruhan ilmu itu, seorang mujtahid dakwah harus terlibat secara langsung dalam kencah pergaulatan kehidupan.68 Tabiat ijtihad dakwah, seperti “mengharamkan” pemisahan antara kedua fiqh itu (Fiqhul wahyu dan fiqhul waqi‟), sekarang ini biasa dikenal dengan pendekatan tekstual dan kontekstual. Alasannya, hubungan antara keduanya adalah hubungan saling tergantung, bukan hubungan saling melengkapi. Jika seorang mujtahud dakwah hanya menguasai salah satunya, misalnya hanya fiqh wahyu, maka kesalahan terbesar yang mungkin dia lakukan adalah mengeluarkan fatwa yang benar
pada muatanya namun
tidak
tepat
pada konteksnya.
Demikian juga sebaliknya jika seorang mujtahid hanya menguasai fiqh realitas
67 68
Anis Matta, Dari Gerakan…hlm.60-61. M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.177.
32
saja maka kesalahan terbesar yang dialakukan adalah bahwa fatwa-fatwanya cenderung tunduk dibawah tekanan realitas, tuntutan kepentingan sesaaat, terlalu longgar atau terlalu keras, terlalu cair atau terlalu reaktif. Pemisahan antara kedua fiqh ini adalah kelemahan ilmiah yang berakibat fatal bagi kelangsungan dakwah. Institusi adalah simbol ketangguhan ilmiah dalam dakwah, sekaligus merupakan mata air yang selalu memberikan energi yang mendinamisasi dakwah serta memberinya ruang gerak yang luas.69 Terkait dengan kontekstualisasi islam, Abu Ridho mengatakan bahwa kontekstualisasi tersebut terbatas pada aplikasi ajaran dan hukum-hukum Islam, bukan sebagai pertimbangan dalam memproduk pemahaman ajaran islam atau istimbath (Penggalian) hukum islam. Memahami konteks itu penting bagi PKS agar pemikiran-pemikiran atau pemahaman-pemahaman Islam diaplikasi secara konstekstual. Aplikasi yang konstekstual dalam perspektif PKS adalah memahami ayat –ayat Al-quran kemudian diaplikasikan sesuai dengan konteks dan persoalan kekinian, bukan dalam pengertian menjadikan konteks kekinian sebagai acuan atau dalil melegitimasi dalil sesuatu yang telah ada.70 Oleh karena itu kaidah ushul fiqh yang berbunyi Al-hukmu yaduuru ma‟a „Illatihi wujudan wa „Adaman (ketentuan hukum berubah bersama ada atau tidaknya illat(sebab), dipahami oleh kalangan PKS-menurut Persepsi Abu Ridhohanya berlaku dari sisi Aplikasi bukan ketentuan hukum sendiri. Sebagai contoh ketentuan bahwa yang mencuri dipotong tangan. Ketentuan ini tidak bisa berubah,
69 70
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.178. M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.179.
33
ada atau tidaknya illatnya. Akan tetapi apakah dalam rangka penerapan potong tangan itu berlaku pada semua konteks dan keadaan, ini yang bisa berubah. Dalam hal ini, Umar bin Khattab pernah tidak menerapkan potong tangan pada kasuskasus tertentu. Demikian yang dimaksud dengan kontektualisasi oleh PKS, yaitu kontekstual dalam penerapan dari hukum-hukum itu sendiri.71 Dalam penerapan ajaran dan hukum Islam dikalangan PKS terdapat dua macam ketentuan : Fiqh al-ahkam dan Fiqh ad-da‟wah. Fiqh al-ahkam berkaitan dengan pemahaman atau hukum hukum tentang sesuatu yang harus dilakukan atau harus ditinggalkan. Sedangkan Fiqh ad-da‟wah berkaitan dengan sesuatu yang bisa dilakukan atau yang tidak dilakukan. Jika yang pertama berkaitan dengan sesuatau yang tidak bisa ditawar maka yang kedua terkait dengan sesuatu yang mungkin (atau tidak mungkin) untuk dilakukan atau diterapkan. Sebagai contoh : Hukum potong tangan. ketentuan Potong tangan bagi PKS tidak bisa diubah, dan itu merupakan wilayah fiqh al-ahkam. Akan tetapi dalam kehidupan sekarang dimana yang berlaku bukan hukum Islam maka ketentuan itu belum bisa diterapkan. Terkait dengan hal tersebut, PKS bisa menerima keadaan itu. Itulah peran Fiqh ad-da‟wah.72 D. Sistem Kaderisasi Partai Keadilan Sejahtera Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah salah satu partai di Indonesia yang berbasis kader. Oleh karena itu orang menyebutnya partai kader. Sebuah partai dinamakan partai kader bila di dalamnya ada proses kaderisasi yang meliputi; recruiting (perekrutan), maintenance (pemeliharaan dan pembinaan), developing 71 72
M. Imdadun Rahmat, Ideologi… hlm.179-180. Anis Matta, Dari Gerakan…hlm.63-64.
34
(pengembangan) bakat dan potensi kader. Proses kaderisasi di tubuh PKS terlihat berjalan dengan baik semenjak didirikannya pada tahun 1998 pasca tumbangnya rezim orde baru hingga sekarang. Maka tidaklah heran bila dari waktu ke waktu, jumlah kadernya bertambah banyak seiring dengan meningkatnya popularitas partai ini. PKS menggunakan modus operandi Jamaah Tarbiyah untuk memperbesar peluang mendapatkan kader baru.73 PKS memakai dua strategi dalam merekrut kader. Yang pertama adalah pola rekrutmen individual (al-da'wah al-fardhiyyah), atau bentuk pendekatan orang per orang, meliputi komunikasi personal secara langsung. Calon kader yang akan direkrut diajak berpartisipasi dalam forumforum pembinaan rohani yang diorganisir PKS seperti usrah (keluarga), halaqah (kelompok studi), liqa‟ (pertemuan mingguan), rihlah (rekreasi), mukhayyam (perkemahan), daurah (pelatihan intelektual) dan nadwah (seminar). Yang kedua adalah pola rekrutmen institusional (al-da'wah al'amma). PKS berafiliasi dengan berbagai organisasi sayap yang berstatus formal atau tidak formal, sehingga partai dapat memanfaatkan institusi-institusi ini untuk meraup kader potensial.74 Tarbiyah merupakan Proses Membangun Habitus kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Proses tarbiyah bukan hanya tulang punggung proses kaderisasi di PKS, namun lebih dari itu, ia adalah proses inti dalam pembentukan habitus dakwah yang dimulai sejak awal Jemaah Tarbiyah berkiprah sebagai gerakan
73
Damanik, Ali Said. Fenomena Partai Keadilan: Transformasi 20 Tahun Gerakan Tarbiyah di Indonesia. Jakarta: Teraju. http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera diakses tanggal 12 januari 2013. 74 Muhtadi, Burhanuddin (2012). Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta, Indonesia: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG)
35
keagamaan (religious movement). Walaupun kemudian Jemaah Tarbiyah memilih mentransformasi dirinya menjadi PKS, konstruksi ”Partai Dakwah” yang sampai saat ini belum dilepaskan menunjukkan bahwa habitus dakwah tersebut tetap penting dan tidak dapat dikesampingkan, walaupun habitus politik kekuasaan pun semakin menguat.75 Bagaimana Jemaah Tarbiyah/PKS memahami dakwah dalam konteks sebuah gerakan keagamaan? Platform PKS memberikan rumusan sebagai berikut: ”Dakwah Islam pada hakekatnya merupakan aktifitas terencana untuk mentransformasi individu dan masyarakat dari kehidupan jahiliyah ke arah kehidupan yang mencerminkan semangat dan ajaran Islam. Proses transformasi individu yakni pembentukan pribadi-pribadi muslim sejati (shakhsiyyah islamiyah) dilakukan dalam kerangka transformasi sosial. Oleh karena itu pribadi-pribadi itu mesti memperkaya kualitas dirinya untuk mengemban amanah dakwah (syakhsiyyah da‟iyyah), sehingga mampu berperan aktif dalam melakukan transformasi sosial” 76 Uraian di atas menunjukkan bahwa Jemaah Tarbiyah/PKS memahami dakwah dalam dimensi perubahan mendasar, bukan saja di tataran individu, namun juga di tingkat masyarakat, bahkan Negara. Sebagai ”Partai Dakwah”, kekuatan kader adalah kekuatan utama, sehingga
dapat
dipahami
jika
kaderisasi
dengan
tarbiyah
sebagai
tulangpunggungnya dipandang sebagai sesuatu yang sangat penting. Platform PKS menegaskan sebagai berikut: ”Kekuatan utama Partai Dakwah adalah para kader dakwah itu sendiri. Dakwah membangun kekuatan SDM dalam suatu jaringan dan barisan, kesamaan fikrah, kesatuan gerak dan langkah, dan kejelasan visi dan misi
75
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, desertasi, Depok Universitas Indonesia 2011, hlm. 174 76 Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Memperjuangkan Masyarakat Madani: Edisi Gabungan Falsafah Dasar Perjuangan dan Platform Kebijakan Pembangunan PK Sejahtera. (2007) hlm.36
36
yang diembannya melalui suatu orkestra kepemimpinan yang cerdas, tangguh dan amanah” 77 Tarbiyah nukhbawiyah (pendidikan dan pembinaan kader, selanjutnya disebut tarbiyah) merupakan tulang punggung proses kaderisasi di Jemaah Tarbiyah/PKS, di mana ia dipahami sebagai upaya untuk membangun sosok syakhshiyyah islamiyyah (pribadi muslim yang memahami dan menjalankan ajaran Islam secara kāffah, menyeluruh, integral), syakhshiyyah da‟iyah (pribadi yang bekerja mendakwahkan Islam), syakhshiyyah ijtima‟iyyah (pribadi yang memiliki kiprah nyata dalam bermasyarakat), dan syakshiyyah dauliyah (pribadi yang mampu turut berperan dalam mengelola negara). Secara lebih spesifik, dalam konteks persoalan-persoalan kontemporer yang dihadapi oleh Jemaah Tarbiyah setelah menjadi partai, seorang informan memandang tarbiyah sebagai sebuah mekanisme pendewasaan, di mana para kader diajak untuk membangun cita-cita besar yang terkait dengan bangsa dan umat Islam secara keseluruhan, sekaligus berlatih mengelola perasaan mereka ketika berhadapan dengan hal-hal yang tidak disukai, perbedaan pendapat, ketidaksepahaman, dan ketidakpuasan, sehingga berbagai gejolak yang timbul relatif lebih mudah untuk diatasi.78 Tarbiyah terdiri dari tarbiyah dzatiyah dan tarbiyah jama‟iyyah. Tarbiyah dzatiyyah adalah proses pembinaan diri yang dilakukan oleh masing-masing pribadi kader, misalnya dengan melakukan ibadah-ibadah ritual yang sunnah (dianjurkan), seperti qiyamu lail (shalat malam), puasa sunnah, zikir, membaca Al Qur-an, dan lain-lain. Tarbiyah jama‟iyyah adalah proses pembinaan yang
77 78
Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, Memperjuangkan , hlm.36. Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 174.
37
dilakukan oleh jemaah. Tarbiyah jama‟iyyah dilakukan bertingkat-tingkat berdasarkan jenjang keanggotaan masing-masing kader.79 Menurut Bab III Pasal 5 Anggaran Rumah Tangga PKS, partai ini memiliki enam jenjang keanggotaan, yang terbagi ke dalam dua jenis keanggotaan, yaitu Anggota Pendukung dan Anggota Inti. Anggota Pendukung terdiri dari Anggota Pemula (Tamhidi) dan Anggota Muda (Muayyid). Sedangkan Anggota Inti terdiri dari Anggota Madya (Muntasib), Anggota Dewasa (Muntazhim), Anggota Ahli (‟Amil), dan Anggota Purna (Mutakhasis). Pertemuan pekanan dalam kelompok-kelompok kecil beranggotakan maksimum 12 orang adalah sarana tarbiyah yang utama. Untuk Anggota Pendukung kelompok tersebut dinamakan halaqah yang dikelola oleh murabbi/ah, dan untuk Anggota Inti dinamakan usrah yang dipimpin oleh naqib. Pengelola tarbiyah (murabbi/ah, naqib) setidaknya berada satu tingkat di atas para peserta tarbiyah yang dikelolanya. 80 Ketua Dewan Syariah PKS Surahman Hidayat mengungkapkan bahwa, untuk menjamin kadernya militan, pengurus PKS mengharuskan setiap kader intinya memiliki halaqoh atau pengajian beranggotakan 18-20 orang. Selain itu, pengajian rutin juga harus dihadiri oleh para kader.81 Jika dicermati, terlihat salah satu karakter utama tarbiyah, yaitu tadarruj, di mana pembebanan kepada para kader PKS dan pembangunan komitmen dilakukan secara bertahap, mulai dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang khusus,
79
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 176. Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 176 81 http://www.tempo.co/read/news/2013/02/11/078460485/Hanya-PKS-dan-PDIP-yang-MurniPartai-Kader diakses tanggal 12 januari 2013. 80
38
dari yang mudah ke yang sulit, dari yang lebih penting ke yang penting, dan dari hal-hal yang sudah disepakati ke hal-hal yang masih diperselisihkan di kalangan kaum muslimin. Di jenjang-jenjang yang lebih awal para peserta diajak dan diminta berkomitmen kepada ajaran Islam secara umum. Semakin tinggi marhalah anggota yang bersangkutan komitmen tersebut dibuat semakin spesifik kepada Jemaah Tarbiyah/PKS. Di samping itu, semakin tinggi jenjang keanggotaan, semakin terintegrasi pula kehidupan kader ke dalam jemaah/partai.82 Definisi tiap jenjang keanggotaan, serta karakter dan tujuan tarbiyah pada masing-masing jenjang terdapat pada tabel dibawah ini83 : Tabel 2.1 : Jenjang Keanggotaan dan Tujuannya Definisi
Tujuan
Pemula (Tamhidi) Seseorang yang
1.Memperkenalkan prinsip-prinsip umum Islam, baik
memiliki sifatsifat
aqidah, syariah, maupun akhlaq.
terpuji,perangai
2.Memunculkan
Islam asasi, tidak
berkomitmen kepada prinsip-prinsip Islam.
terkotori oleh syirik 3.Memperkokoh
lingkungan
yang
kecenderungan
sesuai
peserta
untuk
untuk
dan tidak memiliki
berkomitmen kepada prinsip-prinsip Islam.
hubungan dengan
4.Mengembangkan sifat-sifat terpuji dan perangai Islam
institusi yang
asasi yang ada
memusuhi Islam.
pada peserta melalui kajian terhadap ilmu-ilmu marhalah (bidang studi). 5.Membentuk berbagai kecenderungan dan orientasiorientasi positif menuju penyebarluasan fikrah (pola pikir) Islam, dan memberikan perhatian kepada berbagai
82 83
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 176-177. Diolah dari buku Manhaj Tarbiyah (Lembaga Kajian Manhaj Tarbiyah, 2007), hlm 63-70.
39
problematika dunia Islam 6.Meneliti tingkat kredibilitas berbagai kecenderungan dan orientasiorientasi positif yang dimiliki oleh peserta tersebut. Muda (Muayyid) Seorang tamhidi
1.Menguasai ilmu-ilmu dan nilai-nilai yang diambil dari
yang mendukung
Qur-an, sunnah, dan sirah salafush shalih sesuai dengan
fikrah, memiliki
marhalah-nya.
perhatian untuk
2.Mengenal sejumlah besar tokoh-tokoh Islam, ulama, dan
menyebarluaskannya, mujahid yang berkhidmat untuk Islam. memiliki
perhatian 3.Mengetahui urgensi dan keharusan beramal jama‟i
terhadap
untuk berkhidmat demi Islam dan kaum muslimin.
problematika
4.Memiliki kemampuan untuk memilih jemaah yang dapat
kaum muslimin
mewujudkan pemahaman Islam yang benar.
secara umum, dan
5.Menghiasi diri dengan akhlaq Islam dan bertata krama
mempelajari
dengan adab-adabnya,baik lahir maupun batin.
sebagian daripada
6.Menanamkan perhatian untuk menyebarluaskan fikrah
konsep-konsep
Islam dan perhatian kepada berbagai problematika kaum
asasi dakwah.
muslimin. 7. Menanamkan kebiasaan untuk indibath (disiplin) dan tidak menyianyiakan waktu.
Madya (Mumtashib) Seseorang yang
1.Memperkokoh pengetahuan peserta mengenai urgensi
memenuhi segala
dan kemestian komitmen ilmiah dan manajerial.
persyaratan muayyid 2.Memperhatikan berbagai hakikat dan nilai-nilai yang dan berada di dalam
ada
dalam
manhaj
pada
aspek
pemahaman
dan
barisan pada tangga penguasaan. pertama
keterikatan 3.Membekali peserta dengan berbagai kemahiran yang
di mana ia
menjadi sasaran pada ilmu-ilmu marhalah, kegiatan-
melaksanakan
kegiatannya, serta pelatihanpelatihannya.
40
berbagai tugas
4.Mengembangkan berbagai orientasi dan kecenderungan
dakwah yang
positif
dibebankan
pengorbanan untuk dakwah.
kepadanya
berupa
perhatian,
obsesi,
semangat,
dan
dan 5. Memikul tanggung jawab dan tugas kerja-kerja dakwah
membela dakwah.
yang dibebankan kepada peserta dengan memperhatikan aspek ketelitian dan itqan (profesionalisme). 6. Berperan serta aktif dalam membentuk rumah tangga dan masyarakat yang Islami. 7. Merealisasikan rukun-rukun dan adab-adab usrah.
Dewasa (Muntazhim) Muntashib yang
1.Memperkokoh berbagai kemahiran yang diperoleh pada
melaksanakan
marhalah
semua tugas dan
fprofesionalismenya.
beban yang
2.Memberikan perhatian terhadap berbagai hakikat, nilai,
diminta disertai
dan kemahiran yang menjadi target pada ilmu-ilmu
pengenalan
marhalah serta pelatihanpelatihannya.
terhadap berbagai
3.Memberikan berbagai kemahiran yang ditargetkan pada
keadaan gerakan
marhalah
dakwah
muntasib
ini
dengan
dan
cara
meningkatkan
melaksanakan
berbagai
dan kegiatan, dan ikut serta secara aktif dalam berbagai
sejarahnya, dan ia
pelatihan.
merupakan batu
4.Berkorban secara
bata asasi di
berbagai tugas dan beban yang diminta darinya.
dalamnya.
5.Istifadah
(mengambil
pemahaman,
isti‟ab
maksimal
dalam melaksanakan
manfaat)
(penguasaan),
berdasarkan analisis,
dan
penggalian dari sejarah gerakan dakwah dan berbagai kondisi yang dilaluinya. 6.Berkomitmen
terhadap
berbagai
pedoman
dan
keputusan yang dikeluarkan oleh berbagai institusi gerakan dakwah.
41
7.Bekerja
dengan
bersungguh-sungguh
untuk
menyempurnakan berbagai unsur keteladanan pada diri dan rumah tangganya. Ahli (’Amil) Seorang
1.Memperkokoh segala hal yang telah dipelajari pada
muntazhimin yang
marhalah muntazim.
telah memiliki
2.Memberikan perhatian terhadap berbagai hakikat, nilai,
keahlian dan
dan kemahiran, berikut dalil-dalil syar‟i-nya.
berjanji setia
3.Memberikan berbagai kemahiran yang ditargetkan pada
untuk bekerja
ilmu-ilmu dan kegiatan-kegiatan marhalah ini dengan
sesuai dengan
berbagai pelatihannya.
nizham asasi
4.Berkomitmen dengan sempurna kepada sasaran nilai-
(pedoman
nilai marhalah yang berupa mazahir sulukiyah (tampilan
pokok) gerakan
perilaku).
dakwah, serta
5.Mengembangkan berbagai kecenderungan dan orientasi
mengerahkan
positif untuk hal-hal yang menjadi konsekuensi marhalah,
secara efektif
baik
diri dan
pengorbanan.
hartanya.
6.Menyiapkan dan memberikan keahlian untuk menjadi
berupa
beban,
tanggung
jawab,
maupun
da‟i yang teladan yang mencerminkan dakwah, baik pada aspek pemikiran maupun pengamalan, baik pada dirinya sendiri, maupun dalam rumah tangganya, dengan cara merealisasikan rukun-rukun baiat dan segala hal yang terkandung di dalamnya, yang berupa pokok-pokok, maupun kewajiban-kewajiban. 7.Membantu peserta dengan segala hal yang memberinya ruang penuh untuk berkontribusi, efektifitas pelaksanaan, dan produktifitas. 8.Melatih dan memberikan keahlian kepada peserta, serta membekalinya dengan berbagai kemahiran leadership dan
42
manajemen rabbani (yang berorientasi ketuhanan). Purna (Mutakhasis/Mas’ulin) Seorang ‟amil
1.Menghiasi peserta dengan sifat-sifat pemimpin yang
yang memiliki
menjadi teladan, dan berbagai seni kepemimpinan yang
keahlian ilmiah
termaktub dalam risalah-risalah yang khusus untuk itu.
dan syar‟iyah
2.Melakukan pekerjaan-pekerjaan yang bernilai tinggi dan
(syariat Islam),
berpengaruh besar untuk berkhidmat kepada gerakan
dan kesiapan
dakwah dengan penuh keikhlasan dan totalitas.
untuk memimpin
3.Membekali diri dengan berbagai ilmu yang bermanfaat
serta melaksanakan
dalam rangka menunaikan amal-amal yang dituntut oleh
beban-beban
syarikat untuk merealisasikan tujuan-tujuan gerakan
kepemimpinan itu.
dakwah. 4.Membekali diri dengan berbagai hakikat, nilai, dan kemahiran yang termaktub dalam manhaj marhalah mutakhasis. 5.Mewakafkan kehidupan umum dan khususnya untuk dakwah, dan menyiapkan rumah tangganya untuk itu secara kontinyu dan berkesinambungan.
Halaqah merupakan sarana tarbiyah yang sangat penting, karena melalui sarana inilah pembinaan para anggota pendukung dilakukan secara intensif untuk mempersiapkan mereka menjadi Anggota Inti. Pertemuan halaqah biasanya dilakukan satu pekan sekali, selama 2-4 jam, bertempat di rumah murabbi/ah atau anggota halaqah, atau tempat-tempat lain, seperti mesjid/mushalla. Setiap pertemuan halaqah dibuka oleh seorang anggota yang berperan sebagai mas‟ul jalsah (pembawa acara) dengan menyebut nama Allah, bismillahirahmanirrahiim, dan memanjatkan rasa syukur kepada Allah atas segala nikmatNya, khususnya nikmat iman, Islam, dan ukhuwwah (persaudaraan). Setelah itu, para anggota
43
halaqah akan membaca Al Qur-an secara bergiliran, biasanya masing-masing satu halaman, dilanjutkan dengan tadabbur (pembahasan) beberapa ayat Al Qur-an yang sebelumnya dibaca, oleh murabbi/ah atau salah satu anggota halaqah yang ditunjuk. Kemudian murabbi/ah akan menyampaikan kalimat-kalimat pembukaan yang berisi motivasi, menggaris bawahi hal-hal penting dari pertemuan sebelumnya, atau memberikan apresiasi atas prestasi kolektif maupun individual.84 Murabbi/ah lalu melanjutkan dengan talaqqi madah (penyampaian materi). Untuk jenjang tamhidi dan muayyid, salah satu materi pokok halaqah adalah rasmul bayan (panah penjelasan), materi dasar-dasar keislaman yang disajikan dalam bentuk bagan/skema. Rasmul bayan disusun oleh Ustadz Hilmi Aminuddin sebagai ijtihad untuk mempermudah proses penyampaian materi, sekaligus mempercepat perluasan dakwah. Materi-materi rasmul bayan terdiri dari 99 bagan/skema yang dikelompokkan menjadi beberapa judul, yaitu ma‟na asy syahadatain (makna dua kalimat syahadat), ma‟rifatullah (mengenal Allah), ma‟rifaturrasul (mengenal rasul), ma‟rifatul Islam (mengenal Islam), ma‟rifatul insan (mengenal manusia), mariatul Qur-an (mengenal Al Qur-an), al ghazwul fikr (perang pemikiran), golongan syaitan (hizb asy syaithan), qadhiyyatud da‟wah (problematika dakwah), al haqqu wal bathil (kebenaran dan kebatilan), takwinul
ummah
(pembentukan
umat),
at
tarbiyyatul
Islamiyyah
(pendidikan/pembinaan Islam), dan fiqh ad da‟wah (pemahaman dakwah). Materi-materi tarbiyah tersebut sebenarnya dapat disampaikan dengan berbagai
84
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 179.
44
cara dan sarana yang sesuai, namun skema/bagan materi dalam Bahasa Arab yang dituliskan di whiteboard merupakan sarana yang lazim digunakan di banyak halaqah. Berdasarkan skema/bagan tersebut murabbi/ah akan menyampaikan materi dengan merujuk kepada ayat-ayat Al Qur-an, hadits Nabi, dan bahan-bahan lain yang relevan, dan kemudian mutarrabbi akan mengajukan pertanyaanpertanyaan.85 Dalam halaqah juga dialokasikan waktu untuk mutaba‟ah (evaluasi) terhadap realisasi berbagai program dan tugas para anggota halaqah, termasuk pelaksanaan ibadah harian mereka. Dengan demikian, mutaba‟ah ini merupakan penghubung antara tarbiyah dzatiyah dengan tarbiyah jama‟iyyah. Di bagian akhir, kadang-kadang ada peserta yang menyampaikan qadhayya yang kemudian didiskusikan bersama. Sejauh mana kedekatan yang sudah terbangun dalam sebuah halaqah akan menentukan sejauh mana para anggotanya terbuka untuk menyampaikan persoalan-persoalan mereka dalam kelompok. Halaqah ditutup dengan membaca hamdalah (pujian pada Allah, alhamdulillahi rabbil ‟alamin), istighfar (permohonan ampun pada Allah), dan doa penutup majelis.86 Tarbiyah memiliki arti pembinaan atau pendidikan berbasis kelompok kecil di bawah bimbingan seorang murabbi/ah yang dilakukan sebagai kegiatan non formal yang merupakan posisi kunci bagi pengkaderan pks, tarbiyah merupakan kegiatan inti dalam proses kaderisasi pks, keberhasilan tarbiyah dilakukan oleh murabbi/ah akan menghasilkan kader yang sangat solid terhadap partai. 85 86
Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 179-180. Arief Munandar, Antara Jemaah dan Partai Politik, hlm. 181.
45
BAB III METODE PENELITIAN A. Lokasi Penelitian Lokasi penelitian yang dilakukan oleh peneliti dilakukan di Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan. Alasan mengapa memilih Sulawesi selatan karena peneliti dalam pra-riset mendapati di sini ada kecenderungan kader PKS menikah sesama kader, akan tetapi ada temuan dilapangan bahwa meski menikah sesama kader, jumlah pertumbuhan kader PKS di provinsi ini bukannya stagnan, melainkan makin pesat. Ditambah lagi saat ini Presiden PKS, Anis matta berasal dari Sulawesi Selatan. B. Kehadiran Peneliti Untuk mendapatkan data-data yang valid dan obyektif tehadap apa yang diteliti maka kehadiran peneliti dilapangan dalam penelitian kualitatif mutlak diperlukan. Kehadiran peneliti sebagai pengamat langsung terhadap kegiatankegiatan yang akan diteliti sangat menentukan hasil penelitian, maka dengan cara penelitian lapangan sebagai pengamat penuh secara langsung pada lokasi penelitian peneliti dapat menemukan dan mengumpulkan data secara langsung. Jadi dalam penelitian ini, insrtumen penelitian adalah peneliti sendiri yang sekaligus sebagai pengumpul data. Sedangkan instrument-instrumen yang lain merupakan instrument pendukung atau instrumen pelengkap oleh karena itu kehadiran peneliti dilapangan sangatlah diperlukan. Adapun tujuan kehadiran peneliti dilapangan adalah untuk mengamati secara langsung keadaan-keadaan atau kegiatan-kegiatan yang berlangsung,
1
fenomena-fenomena sosial. Hal tersebut dimaksudkan untuk mengamati langsung apakah kejadian-kejadian tersebut akan berbeda jauh atau relevan dengan hasilhasil penelitian yang diperoleh dari hasil wawancara. Dari jenisnya penelitian ini adalah field research (penelitian lapangan), dimana dalam penelitian ini nantinya akan menitikberatkan pada hasil pengumpulan data yang peneliti peroleh dari lapangan atau subjek penelitian yang peneliti tentukan.1 Penelitian lapangan (field research) adalah penelitian yang dilakukan secara langsung di mana objek yang diteliti yaitu kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan untuk memperoleh pandangan elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang implementasi konsep kafā`ah, bagaimana peran serta dan kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar PKS. C. Pendekatan Penelitian Jenis pendekatan penelitian ini adalah jenis pendekatan kualitatif.2 data yang dikumpulkan berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka.3
Jadi
dalam penelitian ini penulis berusaha semaksimal mungkin mendeskripsikan suatu gejala peristiwa, kejadian yang terjadi pada masa sekarang atau mengambil masalah-masalah aktual sebagaimana adanya pada penelitian. Dilaksanakan
1
Ibid. Hlm. 26 Adapun yang dimaksud dengan pendekatan kualitatif adalah prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati, Lexy Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,1999), hlm. 3 3 Ibid, 6 2
2
dengan pendekatan konseptual dan analisis terhadap permasalahan yang diambil dengan membandingkan data-data di lapangan dengan konsep-konsep baik dari buku-buku, majalah-majalah, makalah, maupun dari sumber lain dengan kalimat yang tersusun secara sistematis. Dengan metode tersebut akan diperoleh gambaran secara mendalam mengenai peristiwa dan fakta yang ada. D. Data dan Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini adalah subjek dari mana data diperoleh. Peneliti menggunakan wawancara dalam pengumpulan data, yaitu mewawancarai informan untuk merespon atau menjawab pertanyaan-pertanyaan peneliti, baik pertanyaan tertulis maupun lisan, selanjutnya peneliti menggunakan teknik observasi, sumber datanya bisa berupa benda, gerak, atau proses sesuatu. Peneliti juga menggunakan dokumentasi, yaitu dokumen-dokumen yang menjadi sumber data, sedang isi catatan adalah objek penelitian atau variabel penelitian.4 Untuk mendukung kegiatan penelitian ini, dilakukan pengumpulan data yang bersumber dari : 1. Data Primer Data primer adalah data empirik diperoleh secara langsung informan kunci dengan menggunakan wawancara langsung untuk mendapatkan data dari kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan untuk memperoleh pandangan elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang implementasi konsep kafā`ah, bagaimana peran serta dan kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan 4
Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendeketan Praktek, Edisis Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta. Hlm, 102.
3
pasangan kadernya dan implikasinya jika seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar PKS. Peneliti akan terjun secara langsung melakukan kunjungan dari rumah ke-rumah dari setiap subjek penelitian terpilih dengan teknik observasi dan wawancara. Sumber data primer, yang terdiri dari subyek penelitian yang terdiri dari beberapa elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan. Berikut ini informan yang akan peneliti wawancarai: Tabel 3.1 : Informan dan Jabatannya No
1
Informan Muhammad.Taslim,Amd
Jabatan Sekertaris Majelis Pertimbangan Wilayah Dewan Pimpinan Wilayah Partai Keadilan Sejahterah Sul-sel
2
Jumadil Muhammad,Ss
3
Irwan Waji
Deputi thullabi DPW PKS Sulawesi selatan Ketua
Bidang
Kaderisasi
DPD
PKS
Makasar 4
5
6 7
Susy Smita.P, ST
Ketua Bidang Perempuan DPW PKS Sulawesi selatan
Dwi Susilarsih, S.Si
Ketua
Bidang
Perempuan
DPD
PKS
Kaderisasi
DPD
PKS
Makasar Ir. Ida Royani Rahim,
Angt.
S.Pdi
Makassar
Linda taslim,Spt
Kader inti PKS
4
Bidang
2. Data sekunder Data sekunder ialah data yang bukan diusahakan sendiri pengumpulannya oleh peneliti, misalnya dari biro statistik, majalah, keterangan-keterangan atau publikasi lainnya.5 Jadi data sekunder berasal dari tangan kedua, ketiga, dan seterusnya, artinya melewati satu atau lebih pihak yang bukan peneliti sendiri. Berkaitan dengan hal ini maka data sekunder yang digunakan dalam penelitian ini berupa jurnal-jurnal ilmiah atau buku-buku yang ditulis orang non kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terkaitan dengan fokus penelitian. E. Pengumpulan Data Untuk menentukan data yang diperlukan, maka perlu adanya prosedur atau teknik pengumpulan data agar bukti-bukti dan fakta-fakta yang diperoleh sebagai data-data objektif, valid serta tidak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari keadaan yang sebenarnya. Dalam pengumpulan data skripsi ini, penulis menggunakan teknik atau metode sebgai berikut: 1. Wawancara (interview) Dalam penelitian ini Wawancara (interview) adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua belah pihak, yaitu pewawancara
(interviewer)
yang mengajukan
pertanyaan
dan
yang
diwawancarai (interviewer) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
5
Marzuki, Metodologi Riset (Jogjakarta: PT. Prasetia Widya Pratama, 2002), hlm. 56.
5
Wawancara digunakan oleh peneliti untuk menilai keadaan seseorang. Dalam wawancara tersebut dapat dilakukan secara individu maupun dalam bentuk kelompok, sehingga peneliti mendapatkan data informasi yang otentik. Dalam penelitian ini nantinya peneliti akan mewawancarai elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan untuk memperoleh data seputar masalah pandangan elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep kafā`ah, dan bagaimana peran serta atau kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS). 2. Dokumentasi Metode dokumentasi adalah pengumpulan data melalui peninggalan tertulis seperti arsip-arsip atau dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah penelitian. Dalam penelitian ini, metode dokumentasi digunakan untuk membaca atau mempelajari arsip, catatan atau dokumen yang berkaitan dengan fokus penelitian. Seperti database kader Partai Keadilan Sejahtera PKS Sulawesi Selatan. F. Analisis Data Dalam penelitian ini, data-data yang telah diperoleh di lapangan, akan diolah berdasarkan langkah-langkah sebagaimana berikut: 1. Editing Peneliti melakukan penelitian kembali atas data-data yang telah diperoleh dari lapangan, baik data primer maupun data sekunder yang berkaitan
6
pandangan elit atau pengurus Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
di DPW
Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep kafā`ah, dan bagaimana peran serta atau kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya, terutama pada aspek kelengkapan data, kejelasan makna, kesesuaian serta relevansinya dengan kelompok data yang lain, dengan tujuan apakah data-data pandangan elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep kafā`ah, bagaimana peran serta dan kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
tersebut sudah mencukupi untuk
memecahkan permasalahan yang sedang diteliti atau belum, dan untuk mengurangi kesalahan serta kekurangan data dalam penelitian, dan berusaha meningkatkan kualitas data penelitian. 2. Classifying Peneliti melakukan pengelompokan seluruh data-data penelitian, baik data yang diperoleh dari hasil observasi maupun data hasil wawancara (interview) yang berkaitan dengan pandangan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep kafā`ah, dan bagaimana peran serta atau kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar PKS, agar lebih mudah dalam melakukan pembacaan dan penelaahan data sesuai dengan kebutuhan
7
yang diperlukan. Hal ini dilakukan karena para subjek penelitian penelitian tentunya sangat berbeda-beda dalam memberikan informasi. Oleh karena itu, peneliti mengumpulkan data-data yang telah diperoleh tersebut dan selanjutnya memilih mana data yang akan dipakai sesuai dengan kebutuhan. 3. Verifying Peneliti melakukan pengecekan ulang terhadap data-data yang telah diperoleh dan diklasifikasikan tersebut mengenai pandangan elit Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di DPW Sulawesi Selatan tentang makna kafā`ah dan implementasi konsep kafā`ah dan bagaimana peran serta dan kewenangan murabbi/ah atau murabbi/ahah dalam memilihkan pasangan kadernya dan apa dampaknya jika seorang kader lebih memilih mencari jodoh di luar PKS, agar akurasi data yang telah terkumpul itu dapat diterima dan diakui kebenarannya oleh segenap pembaca. Dalam hal ini, peneliti menemui kembali para subjek penelitian yang telah diwawancarai pada waktu pertama kalinya, kemudian peneliti memberikan hasil wawancara untuk diperiksa dan ditanggapi, apakah data-data tersebut sudah sesuai dengan apa yang telah diinformasikan oleh mereka atau tidak. 4. Analysing Peneliti melakukan analisis data-data penelitian dengan tujuan agar data mentah yang telah diperoleh tersebut bisa lebih mudah untuk dipahami. Adapun analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis deskriptif kualitatif, yaitu analisis yang menggambarkan keadaan atau status fenomena dengan kata-kata atau kalimat, kemudian dipisah-pisahkan menurut
8
kategori untuk memperoleh kesimpulan, sehingga pada akhirnya dapat diperoleh gambaran yang jelas mengenai implementasi kafā`ah di kalangan kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Sulawesi Selatan. 5. Concluding Langkah terakhir adalah pengambilan kesimpulan dari data-data yang telah diolah untuk mendapatkan suatu jawaban.6 dimana peneliti sudah menemukan jawaban-jawaban dari hasil penelitian yang dilakukan. Peneliti pada tahap ini membuat kesimpulan-kesimpulan penting yang kemudian menghasilkan gambaran secara ringkas dan jelas. G. Pengecekan Keabsahan Data Dalam proses pengecekan keabsahan data7 dalam penelitian ini menggunakan teknik triangulasi, yaitu teknik pemeriksaan data memanfaatkan sesuatu yang lain di luar data tersebut bagi keperluan pengecekan atau sebagian data pembandingan terhadap data dari sumber lainnya8.Jadi triangulasi dilakukan dengan cara membandingkan dan mengecek suatu informasi yang diperoleh dari informan yang satu ke informan lainnya. Dalam memperoleh kevaliditasan data dengan teknik tringulasi dapat dicapai dengan jalan:9 a. Membandingkan data hasil pengamatan dengan data hasil wawancara 6
Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi (Bandung: Sinar Baru Algasindo, 2000), hlm. 89. 7 Pengecekan keabsahan data sangat perlu dilakukan agar data yang dihasilkan dapat dipercaya dan dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Pengecekan keabsahan data merupakan cara untuk mengurangi kesalahan dalam proses perolehan data penelitian yang tentunya akan berpengaruh terhadap hasil akhir suatu penelitian. Lihat: M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data Analysis, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep R. Rohidi,Jakarta: UIPress, 1992, hal. 330. 8 M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data Analysis, hal. 330. 9 M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data Analysis, hal. 330.
9
b. Membandingkan apa yang dikatakan orang di depan umum dengan apa yang dikatakan secara pribadi c. Membandingkan apa yang dikatakan orang-orang tentang situasi penelitian dengan apa yang dikatakan sepanjang waktu d. Membandingkan keadaan-keadaan dan perspektif seseorang dengan berbagai pendatang dan pandangan masyarakat e. Membandingkan hasil wawancara dengan isi suatu dokumen Pada intinya terkait dengan hal ini peneliti berusaha me-rechek hasil penelitian dengan jalan membandingkannya dengan berbagai sumber, metode, atau teori.Adapun yang peniliti lakukan adalah:10 a. Mengajukan berbagai macam pertanyaan b. Mengeceknya dengan berbagai sumber data
10
Lexy.J.Moelong, Metodologi……., hal. 326
10
BAB IV PAPARAN DATA TENTANG MAKNA DAN IMPLEMAENTASI KAFA’AH KADER PKS SULAWESI SELATAN A. Setting Penelitian: PKS Sulawesi Selatan PKS Sulawesi Selatan di dunia maya bisa jadi kurang populer jika dibandingkan dengan PKS Jawa Barat, PKS di Piyungan, Jogjakarta maupun PKS Surabaya. Namun, pasca peristiwa dugaan menerima dana dari Fathonah, tersangka kasus suap kuota impor daging dan isu Ketua KPK Abraham Samad pernah menjadi caleg di PKS.1, nama DPW PKS Sulsel ramai jadi bahan pembicaraan baik di media cetak maupun dunia maya. Ilham Arief Sirajuddin yang merupakan Calon Gubernur Sulsel yang diusung beberapa partai, termasuk PKS; mengaku ketika dipanggil KPK, ada aliran uang dari Fathanah ke Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) PKS Sulsel. Menurutnya, Fathanah merupakan salah satu tokoh besar di Sulsel. Ia kenal dengan Fathanah juga sudah lama. Fathanah juga kerap berhubungan dengan tokoh-tokoh PKS di Sulsel. Ia juga meminta Fathanah untuk menjembataninya dengan tokoh-tokoh PKS tersebut. Namun ia membantah jika ada aliran uang antara Fathanah ke rekening miliknya.2 Kasus Fathonah hingga kini masih berjalan di pengadilan tipikor, Jakarta. Sedangkan isu Abraham, kata Ketua DPW PKS Sulsel Akmal Pashluddin hanya tercatat masuk daftar calon sementara (DCS). Pada Pemilu Legislatif 2009, nama Abraham sempat masuk dalam deretan calon sementara, namun tidak lama kemudian dia mengundurkan diri. Masih 1
“Hidayat: Abraham Samad Pernah Jadi Caleg PKS 2004” detik.com, edisi 4 Februari 2013 “Wali Kota Makasar: Ahmad Fathanah Kirim Uang ke DPW PKS Sulsel” republika.co.id edisi Senin 6 Mei 2013 2
1
menurut Akmal, Samad mengundurkan diri dari pencalonan legislative karena tidak setuju dengan sistem suara terbanyak untuk penetapan calon.3 Keberadaan PKS di provinsi ini sudah ada sejak partai ini bernama Partai Keadilan (PK). Ketua DPW yang pertama adalah Surya Darma yang menjabat hanya setahun. Dilanjutkan Qayyim Munarka untuk periode 1999-2004 dan Najamuddin Marahamid untuk periode 2004-2010. Sekarang ini PKS Sulsel dipimpin oleh Akmal Pashluddin yang dipercaya pada periode 2010-2015.4 Dengan sistem kaderisasi yang bagus, PKS Sulsel mampu mengantarkan kader terbaiknya seperti Tamsil Linrung, Andi Rakhmat dan Anis Matta melenggang ke Jakarta. Andi Rakhmat saat ini menjadi anggota DPR di komisi hukum sedangkan Anis Matta menduduki posisi puncak dalam PKS sebagai Presiden partai. Anis menggantikan Luthfi Hasan yang terseret kasus kuota impor daging. Perkembangan PKS di Sulsel khususnya di kota Makasar cukup pesat. Ditandai dengan
dua hal: Pertama, menjamurnya institusi pendidikan Islam
seperti Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT), Ma’had, Lembaga zakat dan Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI). Misalnya STAI al-Azhar yang dikelola oleh salah seorang kader inti PKS di Makasar. Menurut Sekretaris Majlis Pertimbangan Wilayah (MPW) DPW PKS Sulsel, Muhammad Taslim, Meskipun dikelola kader sendiri, tetapi STAI al-Azhar sifatnya independen dan tidak dibawah naungan PKS.5 Kedua, Masifnya aksi kolektif yang dilakukan kaderkader PKS di sana. Misalnya bakti sosial yang digelar tiap milad PKS, bulan 3
“Abraham Samad tak Pernah Jadi Caleg PKS” republika.co.id edisi 4 Februari 2013. Lihat video “PKS sulsel dari masa ke masa” diunduh dari you tube tgl 25 Juli 2013. 5 Wawancara via telpon dengan Muhammad Taslim tgl 10 September 2013. 4
2
romadhan dan awal tahun baru hijriah. Bakti sosial ini didukung oleh banyaknya kader wanita PKS yang berprofesi sebagai dokter dan perawat. B. Paparan Data Tentang Makna dan Penerapan Kafā’ah Bagi Kader PKS Tesis ini fokus utamanya pada dua rumusan masalah yaitu makna kafā`ah bagi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan. Kemudian Bagaimana penerapan kafā`ah bagi kader inti PKS Sulsel. Sekaligus akan disertakan seperti apa dampak dari penerapan kafā`ah bagi kader maupun partai sebagai institusi politik. Setelah berhasil mewawancarai sekitar tujuh informan yang keseluruhannya kader inti di DPW PKS Sulsel, peneliti menjabarkan hasil wawancara sesuai dengan rumusan masalah: 1. Makna Kafā`ah Menurut kader Inti PKS Sulsel Secara umum, sebagaimana pengamatan penulis, terkait dengan hasil wawancara yang penulis temukan di lapangan dengan beberapa kader inti PKS Sulsel, bahwa dari ketujuh informan yang penulis wawancarai hanya empat kader inti yang mengutarakan pemahaman mereka tentang makna kafā’ah, sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa asumsi mereka tentang makna kafā’ah terdapat empat macam, yaitu pertama; menjadikan Agama sebagai kriteria dalam penenntuan kafā’ah, Kedua; Menjadikan ekonomi dan background keluarga sebagai kriteria dalam penentuan kafā’ah, Ketiga; menjadikan pendidikan sebagai kriteria kafā’ah dan yang keempat adalah menjadikan tarbiyah sebagai kriteria dalam penentuan kafā’ah. Yang lebih detailnya akan penulis deskripsikan sebagai berikut;
3
a. Menjadikan Agama Sebagai Kriteria Sekaligus Tolak Ukur Kafā’ah Sebagaimana fakta yang penulis temukan di lapangan, bahwa diantara para informan yang menyampaikan gagasan argumentasinya tentang agama sebagai tolak ukur utama adalah Muhamad Taslim. Dalam perspektif Taslim yang merupakan Sekertaris Majelis Pertimbangan Wilayah (MPP) DPW PKS Sulsel tersebut memandang bahwa agama merupakan titik tolak utama yang dipertimbangkan dalam sebuah perkawian. Seperti yang dijelaskan Taslim dalam wawancaranya pada tanggal 9 September 2013 di kediamanya: “Kafā’ah dalam pemilihan pasangan merupakan sesuatu yang sangat penting untuk pasangan dalam menjalani kehidupan rumah tangga, kalau kafā’ah cuma ada dalam suami saja atau sebaliknya bisa saja kehidupan rumah tangga bisa pincang. Kriteria yang pertama adalah agama, secara prinsip pernikahan merupakan tanggung jawab orang tua terhadap anaknya, meskipun anaknya juga mempunyai hak untuk memilih, serta memberikan masukan kepada orang tuanya dalam memilih pasangan.”6 Apa yang disampaikan oleh Taslim dalam wawancaranya dengan penulis di atas tentu sangat selaras dengan ketentuan yang telah disebutkan oleh Hadits dan pendapat fiqih klasik. b. Menjadikan Ekonomi dan Background Keluarga Sebagai Kriteria Kafā’ah Argumentasi yang coba dibangun oleh Muhammad Taslim nampak sangat berbeda dengan Kader inti lainnya yaitu Linda. Menurut Linda sebagai kader inti PKS memandang bahwa kafā’ah yang terkait dengan proses pemilihan pasangan perlu dilihat dari keadaaan ekonominya dan aspek background keluarganya. Sebab ekonomi merupakan salah satu pilar 6
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013).
4
dalam keluarga yang harus dipenuhi. Sebagaimana hasil wawancara kami dengan Linda di kediamanya pada tanggal 12 september 2013. menurutnya “Kafā’ah dalam proses pemilihan pasangan dilihat dari beberapa aspek, yang pertama adalah latar belakang keluarga yang kedua keadaan sosial ekonomi dan yang ketiga dari segi fikroh, yang ketiga ini bisa menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan sesama kader.”7 Hal tersebut senada juga dengan apa yang diutarakan oleh Ida Royani tentang argumentasi yang coba dibangun bahwa aspek background keluarga (nashab) dalam perkawinan merupakan kriteria penting yang tidak boleh diabaikan. Berikut wawancara yang telah penulis lakukan dikediamanya; “Di dalam proses pemilihan pasangan nanti dilihat, apakah ini sekufu’ atau tidak, antara ikhwah dan akhwāt, dari data tersebut nanti dilihat, apakah ikhwah ini sekufu’ dari sisi tarbiyahnya, pendidikannya dan latarbelakang keluarganya8 Dari kedua argumentasi tersebut nampaknya Linda dan Ida Royani lebih realistis dalam menyampaikan alasanya. Hal itu dikarenakan tadisi masyarakat Bugis Makasar yang sampai hari ini masih berpegang teguh tentang
ekonomi
dan
nasab
merupakan
kriteria
yang
harus
dipertimbangkan dalam memilih pasangan. c. Pendidikan Sebagai Kriteria Kafā’ah Masih menurut Ida Royani bahwa selain alasan ekonomi yang dijadikan sebagai tolak ukur dalam perkawinan, ternyata Pendidikan juga menjadi tolak ukur ketidak kafā’ahan seseorang. Sebab Pendidikan di era
7 8
Linda, wawancara (Makassar ,12 September 2013) Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)
5
modern ini merupakan suatu tolak ukur dalam perkawinan yang tidak bisa dihindari di tengah kebutuhan akan pendidikan yang begitu tinggi. Hal tersebut sebagaimana yang diungkapkan oleh kader inti Ida Royani, bahwa pemilihan kriteria pendidikan oleh Ida Royani dikarenakan binaannya yang di dalam liqa sebagian besar berasal dari kader yang berpendidikan. Sebagaimana hasil wawancara penelti; “Di dalam proses pemilihan pasangan nanti dilihat, apakah ini sekufu’ atau tidak, antara ikhwah dan akhwāt, dari data tersebut nanti dilihat, apakah ikhwah ini sekufu’ dari sisi tarbiyahnya, pendidikannya dan latarbelakang keluarganya. Jadi yang maju dulu adalah pembinanya, makanya ikhwah dulu itu, ketika prosesnya sudah sampai kesepakatan dengan orang tua akhwāt, baru ikhwahnya memberitahu orang tuanya. Tapi si akhwātnya juga akan mensosialisasikan kepada keluarganya, bahwa kondisi calon suaminya seperti ini, jadi ketika murabbi datang meminta, tidak akan terjadi debat yang panjang,”9 Alasan pendidikan sebagai tolak ukur dalam kafā’ah merupakan sebuah kewajaran kultural. Karena kultur masyarkat makassar merupakan kultur pendidikan. d. Tarbiyah Sebagai Kriteria Kafā’ah Selain dua kriteria antara ekonomi dan pendidikan Ida royani juga mengatakan, bahwa sekufu’ atau tidaknya seseorang dilihat dari tarbiyahnya, dan latar belakang keluarga. Tarbiyah yang dimaksud disini bukan “pendidikan” seperti yang dipahami orang diluar PKS, tetapi berapa lama yang bersangkutan ikut tarbiyah sebagai wadah kaderisasi PKS; dimana salah satu aktivitasnya pengajian pekanan (liqa’).
9
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)
6
“Di dalam proses pemilihan pasangan nanti dilihat, apakah ini sekufu’ atau tidak, antara ikhwah dan akhwāt, dari data tersebut nanti dilihat, apakah ikhwah ini sekufu’ dari sisi tarbiyahnya, pendidikannya dan latarbelakang keluarganya. Jadi yang maju dulu adalah pembinanya, makanya ikhwah dulu itu, ketika prosesnya sudah sampai kesepakatan dengan orang tua akhwāt, baru ikhwahnya memberitahu orang tuanya. Tapi si akhwātnya juga akan mensosialisasikan kepada keluarganya, bahwa kondisi calon suaminya seperti ini, jadi ketika murabbi datang meminta, tidak akan terjadi debat yang panjang,”10 Dwi Susilarsih juga mengamini dengan apa yang disampaikan oleh Ibu Ida Royani bahwa aspek tarbiyah sebagai kriteria utama dalam memilih pasangan. Ini disebabkan misi dakwah sebagai prioritasnya. “Dalam memilih pasangan dulu itu karena kita yakin ketsiqohan dakwah kita bahwa pasangan kita mendukung juga kegiatan kita, karena proritas utama kami adalah dakwah. Kriteria utama kami adalah pemahamannya dalam tarbiyah (berada dalam lingkup kita), bukan masalah pekerjaan.”11 Proses pemilihan pasangan dengan kriteria tarbiyah atau se-fikrah juga diamini oleh kader inti yang lain seperti Linda. Sebagaimana hasil wawacara yang penulis lakukan, sebagai berikut; “Kafā’ah dalam proses pemilihan pasangan dilihat dari beberapa aspek, yang pertama adalah latar belakang keluarga yang kedua keadaan sosial ekonomi dan yang ketiga dari segi fikroh, yang ketiga ini bisa menjadi pertimbangan dalam memilih pasangan sesama kader.”12 Dari paparan data tentang makna kafaah para kader PKS Sulsel yang sudah penulis sajikan dan deskripsikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan yang telah penulis sistematisasian dalam bentuk tabel sebagai berikut; 10
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013) Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) 12 Linda taslim wawancara (Makassar ,12 September 2013) 11
7
Tabel 4.1: Makna Kafā’ah bagi Kader Inti PKS Sulsel: No
Kriteria Kafā’ah
Nama Informan
1
Taslim
2
Linda
Agama sebagai kriteria utama Background
keluarga,
keadaaan
ekonomi dan se-fikrah Tarbiyahnya, aspek pendidikan dan 3
Ida Royani latar belakang keluarga Pemahamannya
4
dalam
tarbiyah,
Dwi Susilarsih bukan masalah pekerjaan
2. Penerapan Kafā`ah Bagi Kader PKS Sulsel Berdasar pengamatan peneliti terkait dengan Penerapan kafā`ah menurut kader PKS Sulsel, dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan kafā`ah tersebut terbagi menjadi tiga bagian, yaitu Penerapan Pernikahan dengan sesama kader (se-fikrah), pernikahan dengan non kader dan implikasi pernikahan dengan kader dan non kader. Dapat penulis deskripsikan sebagai beriikut; a. Pernikahan Dengan Sesama Kader (se-fikrah) Salah satu Asumsi yang beredar di luar PKS adalah terdapat kecenderungan kader PKS menikah dengan sesama kader PKS. Peneliti menanyakan fenomena tersebut kepada para informan. Sebagian informan sepakat menilai dan punya pemahaman bahwa pernikahan sesama kader itu bagian dari keberlangsungan misi dakwah, pengokohan organisasi,
8
supaya saling memahami peran masing-masing serta langkah awal untuk mencapai masyarakat Islami. Seperti yang diutarakan pak Irwan. Beliau menilai pernikahan sesama kader selain misi dakwah juga untuk strategi pengokohan organisasi. “Pernikahan sesama kader adalah bagian dari kelangsungan dakwah dan bisa dipandang sebagai strategi dalam pengokohan, karena organisasi ini harus ditunjang oleh keluarga yang kokoh demi kelanjutannya.”13 Pandangan serupa dijelaskan dengan oleh pak Jumadil bahwa membangun rumah tangga yang bermuatan misi dakwah salah satu jalan pintasnya yaitu menikah sesama kader, meskipun kata beliau ada pilihan untuk menikah dengan non kader. Hal tersebut sebagaimana hasil wawancara yang telah penulis lakukan; “Pemilihan pasangan dengan kriteria sesama kader (dalam artian kafā’ah sesama kader) bisa dibilang sesuatu yang Awla atau merupakan proritas, lebih kepada doktrin di awal, bahwa ada baiknya membangun rumah tangga itu adalah membangun rumah tangga dakwah. Sehingga jalan pintasnya adalah menikah dengan kader yang sama-sama kader dakwah, meskipun pada faktanya bukan menjadi pakem, karena disana ada ruang untuk menikah diluar kader.”14 Jawaban yang cukup menarik juga diuraikan oleh ibu Susy Smita yang kini menjabat Ketua bidang Perempuan (Bidpuan) di DPW PKS Sulsel. Menurutnya menikah sesama kader merupakan langkah awal menuju masyarakat Islam yang PKS idamkan. Sebagaimana hasil wawancara yang telah penulis lakukan di lapngan;
13 14
R. Irwan Waji, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013). Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013)
9
“Yang perlu digaris bawahi bahwa kenapa didalam PKS tetap mengatur dalam artian mengarahkan kader menikah dengan kader karena bagi kami itu merupakan langkah awal untuk mencapai masyarakat islami. Adapun tahapan-tahapan untuk menciptakan masyarakat islami dimulai dari, individu islami, membentuk keluarga islami sehingga bisa berdampak terciptanya masyarakat yang islami.”15 Dari beberapa jawaban yang diisampaikan oleh para Informan di atas dapat penulis sistematisasikan dalam bentuk tabel sebagai berikut; Tabel 4.2: Pernikahan Sesama kader PKS di Sulsel: No. 1
Nama Informan
Argumentasi Misi dakwah juga untuk strategi
Irwan
pengokohan organisasi 2
Sebagai jalan pintas membangun
Jumadil
rumah tangga dakwah 3
Langkah awal menuju masyarakat
Susy Smita
Islam
Namun dalam proses pencarian data ini, peneliti menemukan kader inti yang lain ingin kader binaannya menikah dengan sesama kader. Seperti Linda yang mendorong kadernya menikah dengan sesama kader demi kepentingan dakwah. Sebagaimana hasil wawancara yangg penulis lakukan di lapangan; “Sebagai seorang murabbi/ah yang mempunyai binaan, pasti dia akan mencarikan binaannya yang terbaik, dan diusahakan sefikrah artinya sama dalam memandang dakwah itu pada visi dan misinya. Saya mendorong sekali binaan-binaan saya menikah sesama kader, alasannya untuk kepentingan dakwah, karena dalam dakwah itu
15
Susy Smita, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
10
pasangan harus saling mendukung karena basic dalam dakwah itu adalah keluarga.”16 Pandangan yang kurang lebih sama diutarakan juga oleh bapak Irwan dan bapak Jumadil. Dalam perspektif Irwan menikah sesama kader berfungsi untuk pengokohan dalam struktur oragnisasi PKS. Sebagaimana hasil wawancara yang penulis lakukan di lapngan; “Kami sebagai murabbi/ah sangat menganjurkan menikah sesama kader, karena ada jaminan dalam pengokohan dalam struktur organisasi ini”17 Jumadil pun juga berargumen kalau di internal PKS masih banyak kader yang lebih baik buat apa mencari non kader. Di internal, tidak ada istilah pacaran, jadi menurut bapak Jumadil, beliau menyerahkan sepenuhnya kepada murabbinya ketika dulu menikah dengan istrinya. Sebagaimana hasil wawancara yang penulis lakukan dengan Jumadil; “Kalau memang di internal kami ada yang lebih baik, ngapain juga memilih diluar kader. Kita diinternal kader tidak ada pacaran sehingga untuk memudahkan menuju akses tersebut dengan menghubungi Pembina(murabbi), dan kami bisa merasa tenang dan menjamin kalau dipilihkan oleh Pembina, dibandingkan pilihan orang tua, karena mereka satu sisi yang kebetulan tidak sepaham dengan kita.”18 b. Pernikahan Dengan Non Kader Pernikahan sesama kader atau dengan non kader tentunya ada peran seorang murabbi/ah. Namun sejauh mana peran para murabbi/ah juga peneliti telusuri. Terkait hal ini para informan memberi dua model jawaban. Pertama, dulu ketika era Partai keadilan, peran murabbi/ah
16
Linda taslim wawancara (Makassar ,12 September 2013) R. Irwan Waji, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013). 18 Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013) 17
11
dominan, tetapi sekarang tidak begitu dominan khususnya ketika ada kader yang ingin menikah dengan non kader. Kedua, peran murabbi/ah yang sifatnya kondisional. Seperti yang nanti diutarakan Taslim. Tidak masalah seorang kader PKS khususnya para akhwatnya menikah dengan non kader asal yang hanif. Seperti yang dijelaskan oleh Ibu Ida Royani dalam wawancaranya. “Dulu murabbi/ah yang dominan, orangtua memasrahkan kepada murabbi/ah, tapi sekarang mungkin ada pergeseran nilai, diantaranya ada beberapa akhwāt kemungkinan rasa malunya sudah berkurang, dulu pada masa kami, rasa malu akhwāt-akhwāt sangat tinggi, Jadi untuk saat ini kita sebagai Pembina, yang kita pikirkan bagaimana akhwāt ini menikah, walaupun itu bukan kader yang penting dia laki-laki yang hanif. Dan yang lebih penting, dari awal harus ada perjanjian, bahwa suaminya ini mengetahui kalau calon istrinya adalah kader PKS, sehingga tidak ada pelarangan untuk mengikuti tarbiyah atau kegiatan-kegiatan PKS setelah menikah,”19 Kader inti PKS lainnya seperti Susi Smita juga menegaskan bahwa peran murabbi/ah hanya mengarahkan dan tidak memaksa. Sebagaimana yang disampaikan oleh Susi Smita dalam wawancara yang penulis lakukan di kediamannya; “murabbi/ah akan tetap berusaha untuk mengarahkan serta membantu kader untuk menikah sesama kader sehingga ada kesamaan fikroh, tetapi ini bukan merupakan paksaan atau harga mati”20 Pada aras yang sama peran murabbi/ah dalam proses pernikahan seorang kader menjadi kriteria yang harus dipertimbangkan, dalam kaitan ini Dwi Susilarsih mengutarakan hal serupa, bahwa seorang murabbi/ah hanya 19 20
Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013) Susy Smita, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
12
mengarahkan dan tidak ada paksaan harus menikah sesama kader karena tergantung tingkat pemahaman kader dan juga faktor jodoh di tangan Allah SWT. Sebagaimana hasil wawancara yang penulis lakukan di lapangan; “Murabbi/ah sangat mendorong kadernya untuk menikah sesama kader, tapi tidak serta merta ini berjalan mulus, kembali kepada tingkat pemahaman kader tersebut. Ketika ada kader menikah diluar kader bagi kami tidak menjadi masalah, karena murabbi/ah cuma mengarahkan saja, dan yang kita pahami bahwa jodoh itu Allah yang tentukan. Mungkin ini yang terbaik bagi dia.”21 Kader inti PKS, Muhammad Taslim punya pandangan kondisional alias moderat dibanding istrinya, Linda yang ingin binaannya menikah sesama kader saja. Muhammad Taslim memiliki dua sudut pandang terkait pernikahan sesama kader yang konteksnya memperkuat misi dakwah dan menikah dengan non kader dengan misi ekspansi dakwah. Menikah dengan sesama kader mengharuskan se-fikrah, sedangkan dengan non kader asal punya suatu kreteria-kreteria dasar dalam Islam. Hal tersebut sebagaimana Muhammad Taslim sampaikan dalam wawancaranya; “Memperkuat dakwah dalam naungan sefikrah itu memang cara yang baik tapi tergantung konteksnya, kalau memang konteksnya ekspansi maka ini bukan menguatkan tapi memperluas dakwah. Bagi saya kalau konteksnya perluasan, maka menikahkan dengan non kader merupakan salah satu cara yang baik, meskipun ada resikonya, tapi orang yang berdakwah dengan resiko tinggi pahalanya juga besar, dan di lapangan kita melihat banyak tokohtokoh masyarakat yang mempunyai potensi dan dipandang justru simpati dengan pks karena anaknya menikah dengan kader PKS. Kalau saya yang pertama sebagai satu kategori sangat menganjurkan, tentu pertama mencarikan pasangan diinternal yang sefikrah yang sudah siap menikah, karena bagaimanapun juga 21
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013)
13
ketika saya mempunyai binaan laki-laki tentu saya carikan binaan yang sudah terbina, karena banyak memang akhwāt yang belum menikah, dan yang kedua jika tidak ada yang cocok bagi dia, maka tidak masalah menikah dengan non kader, tapi dengan catatan punya suatu kreteria-kreteria dasar dalam Islam”22 Para informan yang rata-rata sebagai murabbi/ah dan mempunyai binaan mengatakan tidak masalah jika ada kader menikah dengan orang di luar jamaah, asal tidak menghalangi pasangannya ikut kegiatan-kegiatan dakwah di PKS. Seperti yang diutarakan oleh Linda , Dwi susilarsih dan Susi Smita di lapangan; Menurut Linda “Ada akhwāt menerima pinangan laki-laki yang bukan kader itu dengan satu syarat tidak menghalanginya nanti dalam kegiatan-kegiatan dakwah di tarbiyah PKS, walaupun nanti dalam pelaksanaannya merupakan tanggungjawab istri untk mentarbiyahkan suaminya, tapi kita juga memahami bahwa hidayah itu dari Allah, jadi ini cuma upaya saja.”23 Menurut Dwi Sularsih “Binaan yang Menikah diluar kader tidak jadi masalah yang penting dia hanif dan tidak menghalanginya mengikuti kegiatan-kegiatan kepartaian misalnya, bahkan lebih bagus lagi kalau dia bisa merekrut orang lain masuk PKS.”24 Menurut Susi Smita “Ketika ada kader menikah dengan non kader tidak menjadi masalah, dengan syarat pasangannya yang bukan kader tidak menghalangi pasangannya dalam kegiatankegiatan dakwah PKS. Kita menghindari hal-hal mendoktrin, dan kader yang akan menikah dengan non kader tetap konsultasi dengan murabbi/ahnya. Apalagi sekarang banyak akhwat yang belum menikah.”25 Dari paparan data yang disampaikan oleh para informan di atas dapat penuliis simpulkan dalam bentuk tabel sebagai berikut;
22
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013). Linda taslim wawancara (Makassar ,12 September 2013) 24 Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) 25 Susy Smita, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) 23
14
Tabel 4.3: jika ada kader menikah dengan orang di luar PKS: No
Argumentasi
Nama Informan
Asal tidak melarang pasangannya aktif di 1
Linda kegiatan tarbiyah/PKS Yang penting Hanif dan tidak melarang
2
Dwi susilarsis pasangan ikut kegiatan kepartaian Kader yang menikah dengan orang diluar PKS, tetap berkonsultasi dengan muroobi. Meminta
3
Susi asmiwati pasangan yang bukan kader tidak melarang untuk aktif di kegiatan partai
Apakah jika seorang kader PKS menikah dengan non kader akan mendapatkan perlakuan khusus bahkan bisa juga kena sanksi oleh murabbi/ahnya? Para informan dengan tegas tidak ada sanksi karena menikah itu hak pribadi. Muhammad Taslim menjelaskan sebagai berikut: “Sanksi tidak ada, karena kita memahami bahwa pada prinsipnya itu kewajiban orang tua, kami cuma mengarahkan, sehingga jika ada kader ingin menikah pasti kami kordinasikan dulu dengan orang tuanya. Ketika orang tua menyerahkan kepada anaknya, baru kami sebagai murabbi/ah mencarikan pasangan untuk dia. Menikah itu hak pribadi dan kewajiban struktur cuma mengarahkan.”26 Darimana anjuran menikahkan sesama kader ini, Apakah tertera di AD/ART ataukah muncul dari murabbi/ah? Seorang informan menjawab 26
Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013).
15
hal ini tidak ada di dalam AD/ART, melainkan inisiatif para murabbi/ah. Seperti yang dikatakan oleh Dwi Susilarsih: “Ini tidak ada dalam AD/ART, kemungkinan ini inisiatif-inisiatif murabbi/ah untuk mencarikan yang terbaik buat binaannya karena pengaruhnya nanti ke dakwah.”27 Hal senada jga diiungkapkan Irwan Waji dalam wawancaranya dengan penulis di lapangan; “Tidak ada AD/ART yang mengatur ini. Kita sebagai murabbi/ah menganggap bahwa itu merupakan cara berpikir kita dalam melihat perjuangan serta keterlibatan kita dalam organisasi ini”28 Bahkan Muhammad Taslim juga menyampaikan jawaban yang sama dengan Dwi Sularsih dan Irwan Waji. Sebagaimana dalam wawancaranya; “Ini tidak ada di AD/ART, cuma pertimbangan kemaslahatan saja.”29 Dari
beberapa
inisiatif
para
murabbi/ah
sempat
dulunya
memunculkan sebuah lajnah bernama tim munākahat. Namun keberadaan lajnah tersebut sekarang sudah tidak ada lagi. Sebagaimana hasil wawancara yang penulis lakukan di lapangan; “Dulu memang ada lajnah munākahat di internal, tapi sekarang sudah tidak ada, apalagi menikah itu urusan luas, apalagi saya kira ini merupakan kebijakan global dalam jamā’ah yang adakalanya meluas tapi bukan berubah ya, dan dituntut untuk berintraksi dengan dunia luar secara terbuka, meskipun ajaran terbuka itu sudah ada”30
27
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) R. Irwan Waji, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013). 29 Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013). 30 Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013) 28
16
Dari beberapa uraian data yang disampaikan oleh para informan di atas dapat peneliti sistematisasikan dalam benntuk tabel sebagai berikut; Tabel 4.4: Anjuran menikah sesama kader, Aturan AD/ART atau Inisiatif Murabbi/ah? No
Nama Informan
Argumentasi Tidak
1
Dwi susilarsis
ada
AD/ART,
aturan
khusus
melainkan
di
inisitif
murabbi/ah 2
Tidak ada aturan di AD/ART yang
Irwan
mengatur ini 3
Tidak ada di AD/ART, Cuma
Muhammad. Taslim
pertimbangan kemaslahatan saja
c. Implikasi Pernikahan Dengan Sesama Kader dan Non Kader Sejatinya apa yang kita lakukan termasuk buah dari sebuah tradisi akan membawa dampak bagi pelakunya. Dalam hal ini penerapan kafā’ah di kalangan PKS Sulsel sedikit banyak ada dampaknya terutama bagi kader dan organisasi. Diantaranya seperti yang dijelaskan oleh Linda; “Dampaknya sangat berpengaruh signifikan, ketika ada masalah politik dia bisa mengkomunikasikan dengan keluarga masingmasing, sehingga bisa kerja sama yang baik karena sama-sama memahami tugas sebagai kader. Suara PKS memang ada pengaruhnya cuma tidak signifikan, tapi kita harus memahami bahwa dakwah bukan hanya sampai dalam urusan politik saja, jadi ketika dia bisa mengkomunikasikannya dengan yang bukan kader atau eksternal berarti dia sudah menjalankan tugasnya sebagai kader. Dukungan suami istri sangat mempengaruhi kerja-kerjanya di masyarakat.”31
31
Linda, wawancara (Makassar ,12 September 2013)
17
Informan seperti Dwi Sularsih yang merupakan ketua Bidang Perempuan Dewan Pengurus Daerah (DPD) kota Makassar mengatakan kepada peneliti bahwa pernikahan sesama kader membawa efek kesolidan. Beliau menuturkan: “Dampak politik bisa lebih solid, dan kita bisa kuat di keluarga masing-masing, sehingga ketika sama-sama kader ketika ada masalah dikepartaian tidak membutuhkan waktu untuk menjelaskan lagi..”32 Penerapan kafā’ah di kalangan kader inti membawa dampak bagi kesolidan khususnya di level kekuatan mesin politik PKS sehingga membantu
pemenangan-pemenangan dalam
pilkada. Seperti
yang
dijelaskan oleh Muhammad Taslim: “Dampak politiknya solid, dari segi mobilisasi itu mudah, dalam pemenangan-pemenangan pilkada atau legislatif mereka solid, karena satu suara. Sedangkan dalam politik kan kita butuh suara. Yang kedua mereka solid dalam bekerja, meskipun mereka bukan caleg misalnya tapi dia rela bekerja untuk memenangkan kader PKS. Dan yang bisa melakukan kerja-kerja yang tampa biaya hanya kader-kader militan seperti ini.”33 Selain membawa dampak bagi kesolidan khususnya di level kekuatan
mesin
politik
PKS
sehingga
membantu
pemenangan-
pemenangan dalam pilkada, juga bisa menjadi penyemangat bagi kader, sehingga menjadi kader yang kuat dan tangguh karena dukungan dari pasangannya, sebagaimana yang diutarakan Ida Royani: “semangat dakwahnya menjadi kuat karena pasangannya mendukung aktivitasnya di PKS. Itulah mengapa kami menikahkan kader dengan kader”34
32
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) Muhammad Taslim, Wawancara ( Makassar, 09 september 2013). 34 Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013) 33
18
Kader inti Jumadil ketika peneliti wawancarai memberi jawaban bahwa dampak pernikahan sesama kader atau nikah dengan di luar kader punya efek kepada raihan suara dan produktifitas dakwah di PKS. Bagi beliau itu sesuatu hal yang relatif. “Kalau dikaitkan dengan suara, ini relatif ya, tidak bisa juga dibilang kalau menikah di luar kader bisa berdampak positif, begitupun sebaliknya menikah dengan sesama kader juga bisa terkesan ekslusif, karena pada faktanya ada yang sesama kader jadi produktif dakwahnya, tapi ada juga yang tidak berbuat apa-apa.”35 Dari beberapa uraian yang disampaikan oleh para informan di atas, penulis telah berhasil sistematisasikan dalam bentuk tabel sebagai berkut; Tabel 4.5: Implikasi Pernikahan Dengan Kader : No
Nama Informan
Implikasi Dampak ke perolehan suara PKS
1
Linda
memang ada pengaruhnya cuma tidak signifikan Pernikahan sesama kader membawa
2
Dwi Suliarsis efek kesolidan, Timbul kesolidan khususnya di
3
level kekuatan mesin politik PKS
Taslim
sehingga membantu pemenanganpemenangan dalam pilkada Menikah
4
berdampak
Jumadil
di
luar positif,
kader
bisa
begitupun
sebaliknya menikah dengan sesama kader juga bisa terkesan ekslusif. 5
semangat dakwahnya menjadi kuat
Ida rohyani
karena pasangannya mendukung
35
Jumadil Muhammad, wawancara (Makassar, 31 Juli 2013)
19
aktivitasnya di PKS. Itulah mengapa kami menikahkan kader dengan kader.
Informan seperti Dwi Sularsih mengatakan kepada peneliti bahwa pernikahan dengan non kader membuat binaannya menjelaskan kepada pasangannya informasi-informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS. “Seperti saya yang mempunyai binaan yang nikah bukan kader, tentu dia harus menjelaskan lagi kepada pasangannya ketika ada informasi yang kurang jelas karena kita juga tidak perlu menelan mentah-mentah informasi-informasi tersebut. akan tetapi berbeda ketika pasangan sesama kader.”36 Menurut Ida rohyani yang merupakan mantan tim munākahat kader PKS Sulsel mempunyai jawaban sedikit berbeda dalam hal dampak pernikahan dengan non kader. Dampak lebih dirasakan pada kalangan akhwat PKS yang mana semangat dakwahnya berguguran karena pasangannya tidak mendukung aktivitasnya di PKS. “Pengalaman dilapangan ketika akhwāt menikah diluar kader, semangatnya berguguran, alasan utamanya karena suami yang tidak mendukung. Tapi kalau kader dengan kader itu akan saling mendukung, itu memang tujuan awal kami kenapa menikahkan kader dengan kader.”37
Seperti yang telah disebutkan di atas bahwa Muhammad Taslim yang merupakan kader inti PKS, punya pandangan kondisional tentang pernikahan kader dengan non kader, yaitu jika konteksnya misi ekspansi dakwah maka menikah dengan non kader merupakan salahsatu solusinya, 36 37
Dwi Susilarsih, wawancara (Makassar, 29 Juli 2013) Ida royani, wawancara (Makassar, 28 Juli 2013)
20
dengan syarat non kader tersebut mempunyai suatu kreteria-kreteria dasar dalam Islam. “Memperkuat dakwah dalam naungan sefikrah itu memang cara yang baik tapi tergantung konteksnya, kalau memang konteksnya ekspansi maka ini bukan menguatkan tapi memperluas dakwah. Bagi saya kalau konteksnya perluasan, maka menikahkan dengan non kader merupakan salah satu cara yang baik, meskipun ada resikonya, tapi orang yang berdakwah dengan resiko tinggi pahalanya juga besar”38 Dari beberapa uraian yang disampaikan oleh para informan di atas, penulis telah berhasil mensistematisasikan dalam bentk tabel sebagai berikut; Tabel 4.6: Dampak Pernikahan Dengan Non Kader : No
Nama Informan
Implikasi Menikah dengan non kader membuat binaannyamenjelaskan
1
Dwi Suliarsis
kepada pasangannya informasiinformasi yang tidak benar yang menyangkut PKS Dampak lebih dirasakan pada kalangan
akhwat
menikah
dengan
semangat 2
PKS, non
jika kader,
dakwahnya
berguguran karena pasangannya
Ida rohyani
tidak mendukung aktivitasnya di PKS.
Itulah
menikahkan
mengapa kader
kami dengan
kaderkader membuat binaannya menjelaskan 38
Muhammad Taslim, Wawancara ( Bone, 09 september 2013).
21
kepada
pasangannya
informasi-
informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS kalau
memang
ekspansi
maka
menguatkan dakwah.
Bagi
konteksnya 3
Muhammad Taslim
tapi
konteksnya ini
bukan
memperluas saya
kalau
perluasan,
maka
menikahkan dengan non kader merupakan salah satu cara yang baik, meskipun ada resikonya, tapi
orang
yang
berdakwah
dengan resiko tinggi pahalanya juga besar
22
BAB V ANALISIS DATA MEMAHAMI MAKNA DAN PENERAPAN KAFA’AH DALAM PERSPEKTIF KADER PKS A. Makna Kafā`ah Menurut Kader Inti Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulsel Berdasar hasil penelitian dari bab sebelumnya, Makna kafā`ah bagi kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulawesi Selatan dapat disimpulkan bahwa asumsi mereka tentang makna kafā’ah terdapat empat macam, yaitu Agama sebagai kriteria kafā’ah, Ekonomi dan
background keluarga sebagai kriteria
kafā’ah, Pendidikan sebagai kriteria kafā’ah dan Tarbiyah sebagai kriteria kafā’ah. 1. Agama Sebagai Kriteria Kafā’ah Sebagaimana yang penulis ungkapkan di muka, bahwa makna kafā’ah menurut Wahbah al-Zuhailiy merupakan kesetaraan dalam perkawinan di antara suami- istri yang dapat menghilangkan rasa malu dalam perkaraperkara yang khusus. Adapun maksud dari perkara-perkara yang khusus dalam perspektif Mazhab Maliki dalam pengertian yang diungkapkan oleh Wahbah al-Zuhaily tersebut merupakan kesetaraan dalam agama dan haal yaitu keselamatan dari cacat/aib yang membuatnya memiliki pilihan. Sementara menurut mayoritas Fuqaha kafaah dimaknai sebagai kesetaraan agama, nasab, kemerdekaan, dan profesi. Selain ketentuan di atas, mazhab
1
Hanafi dan mazhab Hambali
menambahkan makna kesetaraan sebagai
kemakmuran dari segi harta.1 Pada aras yang sama, Muhammad Taslim sebagai sekertaris Majelis pertimbangan wilayah DPW PKS Sulsel memaknai kafā’ah pada pengertian kesetaraan agama. Hal ini sejalan dengan hadits Nabi yang menganjurkan untuk memprioritaskan agama sebagai titik tolak dalam memilih pasangan. Rasulullah memposisikan tipikal ini sebagai tipikal utama dalam pemilihan pasangan. Hal ini karena faktor agama merupakan faktor yang penting. Dalam hadis juga disebutkan dalil kafā`ah dalam beberapa kriteria, yang hendaknya diperhatikan menjelang perkawinan. Hadis tersebut berbunyi:
َّ ِ َّ َّ َ َِّب ِّساءُ ِِل َْربَ ٍع لِ َم ِاِلَا َو ِِلَ َسبِ َها ِّ َِع ْن أَِِب ُىَريْ َرَة َع ْن الن َ صلى اللوُ َعلَْيو َو َسل َم قَ َال تُْن َك ُح الن 2 ِ ِ ِِ ِ )ت يَ َ اك (رواه أبو داود ْ ََو َِ َماِلَا َول ين َها َااْ َ ْر بِ َذات ال ِّي ِن تَ ِرب Dari Abu Hurairah, dari Nabi bersabda: wanita dinikahi karena empat, yaitu harta,nasab, kecantikan dan agamanya. Pilihlah wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu akan berbahagia. (HR. Abu Dāwud)
Dalam hadits di atas dijelaskan bahwa jika seorang laki-laki akan menikahi seorang perempuan, maka ia harus memperhatikan empat perkara yaitu hartanya, derajatnya (nasabnya), kecantikannya, dan agamanya. Namun Nabi Muhammad SAW, sangat menekankan faktor agama untuk dijadikan pertimbangan dalam memilih pasangan. didasarkan pada penekanan sabdanya
1 2
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, (Damaskus : Dār al-fikr, 1985), hlm 229. Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 5, hlm. 426, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28
2
: ”fadzfar bidzāti al-dīn”( Pilihlah wanita yang taat kepada agamanya, maka kamu akan berbahagia). Faktor kesetaraan agama merupakan faktor yang unggul dan utama dalam pemilihan pasangan, melebihi faktor lainnya. Karena perempuan yang berkualitas secara keagamaan, meski kurang cantik secara fisik, agama merupakan hal yang patut dan perlu untuk dipertimbangkan.3 Dalam hukum perkawinan Islam, para ulama fiqih mempunyai perspektif tersendiri tentang konsep agama, seperti terjaganya seorang dari perbuatan keji serta tetap konsisten dalam menegakkan hukum-hukum agama. Agama dalam hal ini dimaksudkan sebagai ketidak fasikan. Dalam hal ini ulama sepakat bahwa seorang laki-laki yang fasiq tidak sekufu’ dengan perempuan yang shalihah. Rasulullah Muhammad SAW. bersabda :
ِ ِ ُ قَ َال رس: اِت الْمزِِنِّ قَ َال إِذَا َجاءَ ُك ْم َم ْن صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم َ ُ ٍ َع ْن أَِِب َح َ ول اللَّو َُ ِ ض ْو َن ِدينَوُ َو ُخلَُقوُ َأَنْ ِك ُحوهُ إََِّّل تَ ْ َعلُوا تَ ُك ْن ِْت نَةٌ ِِف ْاِل َْر ول َ اد قَالُوا يَا َر ُس ٌ ض َوَ َس َ تَ ْر ِ ٍ ث مَّر ِ ِِ ِ .ات َ اللَّو َوإِ ْن َكا َن يو قَ َال إِ َذا َجاءَ ُك ْم َم ْن تَ ْر َ َ ََ ُض ْو َن دينَوُ َو ُخلَُقوُ َأَنْك ُحوه 4 )(رواه الرتميذي ”Dari Abu Hātim al-Muzani berkata; berkata Rasulullah SAW:Jika datang kepadamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, maka kawinkanlah, jika kamu tidak berbuat demikian aka terjadi fitnah dan kerusakan di atas bumi”, sahabatnya bertanya, ”ya Rasulullah, apabila di atas bumi diteruskan fitnah dan kerusakan ?” jawab beliau, ”Jika dating kepada kamu laki-laki yang agama dan akhlaknya kamu sukai, hendaknya kawinkan ia” (Jawaban Rasulullah ini diulang sebanyak 3 kali)”.(HR.Tirmīdzi) 3 4
Ali Yusuf As-Subki, Fiqh Keluarga.., hlm. 41-48. Tirmidzi, Al-Jami’ As-Sahih Juz 3, h. 395
3
Hadits di atas memberikan signal kuat kepada para wali agar mengawinkan perempuan-perempuan yang diwakilinya dengan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Bila mereka tidak mau mengawinkan dengan lakilaki yang berakhlak luhur, tetapi memilih laki-laki yang berkedudukan tinggi atau keturunan mulia atau yang berharta, maka dapat menimbulkan fitnah dan kerusakan bagi perempuan tersebut dan walinya. Masih menurut Muhammad Taslim Ayah dari keempat anak ini, bahwa kriteria agama dalam kafā’ah bukan untuk mencari seorang istri saja tapi berlaku juga pada seorang wanita yang akan mencari calon suami. Apa yang dikonstruksikan oleh Taslim merupakan model dari pola kafā’ah yang ideal yang penulis wawancarai. 2. Ekonomi dan Background Keluarga Sebagai Kriteria kafā’ah Dalam persoalan kafā’ah, Linda memberi kriteria terkait dengan aspek ekonomi. Boleh jadi aspek kesetaraan ekonomi dalam perspektif Linda bertujuan untuk kebaikan si calon istri dan anaknya di masa depan. Hal tersebut tentunya dilatar belakangi oleh biaya pernikahan yang cukup tinggi di Sulsel. Seperti untuk melangsungkan lamaran, upacara pernikahan dan resepsi sedikitnya diperlukan biaya 50 juta hingga 100 juta. Hal ini sudah menjadi standarisasi yang sudah mentradisi yang memang sudah mengakar kuat dalam sistem prilaku masyarakat Sulsel, sehingga PKS sendiri sebagai pengamat gerakan islam sekaligus sebagai gerakan revival tidak berdaya untuk merubah tradisi tersebut. Karena dalam konsepsi kader PKS Al ‘ādatu Muhakkamatun
4
merupakan sebuah kewajaran dalam hukum Islam dan sangat ditoleran dalam pelaksanaanya . Konsepsi kafa’ah ekonomi yang diutarakan oleh Linda menurut penulis mempunyai bentuk kesamaan perspektif dengan mazhab Hanafiyah dan Hanabilah yang mengharuskan keberadaan harta sebagai tolak ukur kafa’ah dalam sebuah perkawinan. Dalam perspektif ke dua mazhab tersebut harta merupakan kemampuan seseorang (calon suami) untuk memberikan mahar dan nafkah kepada isterinya. Sehingga dalam perspektif mereka harta merupakan hal yang penting dalam kehidupan rumah tangga dan eksistensinya menjadi sebuah condititio sinequonon untuk dimasukkan dalam kriteria kafā’ah‘. Hal tersebut Berdasarkan hadits Nabi SAW. :
ِ ُ عن ب ري َ ةَ عن أَبِ ِيو قَ َال قَ َال رس َّ صلَّى اللَّوُ َعلَْي ِو َو َسلَّ َم اب أ َْى ِل ال ُّنْيَا ْ إن أ َ ول اللَّو َ َح َس ْ َ ْ َُ َُ 5 ) (رواه أمج. ال ُ الَّ ِذي يَ ْذ َىبُو َن إِلَْي ِو َى َذا الْ َم ”Dari Buraīdah dari ayahnya berkata: berkata Rasulullah SAW Sesungguhnya kebangsawanan seseorang di dunia adalah mereka yang mempunyai harta”. (HR. Ahmad). Sebagaimana yang dikatakan Ibnu Rusyd yang mengutip pendapat Ulama Hanafiyah dan Hanābilah mengatakan bahwa yang dianggap sekufu’ adalah apabila seorang laki-laki sanggup membayar mahar dan nafkah kepada isterinya. Apabila tidak sanggup membayar mahar dan nafkah atau salah satu diantara keduanya, maka dianggap tidak sekufu’.6 Sehingga perkawinanya
5 6
Imam Ahmad bin Hanbal, Musnad Imam Ahmad bin Hanbal, h. 423 Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid , hlm. 34
5
harus direeksaminasi dengan tujuan supaya ada kesakinahan antara mereka berdua dalam rumah tanggahnya. Pada aras yang lain, ulama Mālikiyah dan sebagian ulama Syāfi’iyyah menentang penggolongan harta dalam kriteria kafā’ah. Menurut mereka harta merupakan sesuatu yang bisa hilang. Menurut Wahbah al-Zuhaily pendapat inilah yang paling benar dengan alasan bahwa, memasukkan harta dalam ukuran kafā’ah sama halnya mengajari atau mendidik umat Islam untuk tidak berakhlak terpuji seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW.7 Atau dalam perspektif mikro, Aspek kafa’ah ekonomi sebagaimana yang diutarakan oleh Linda merupakan salahsatu kriteria kafā’ah seperti yang diperspektifkan oleh para Fuqaha yaitu adanya pekerjaan bagi suami, Yang mana maksud dari term pekerjaan tersebut merupakan adanya mata pencaharian yang dimiliki seseorang untuk dapat menjamin nafkah keluarga.8 Menurut jumhur ulama pekerjaan seorang laki-laki minimal mendekati pekerjaan keluarga keluarga wanita. Sedangkan menurut golongan Hanafiyah, penghasilan laki-laki harus sebanding dengan penghasilan pihak keluarga perempuan sesuai dengan adat yang berlaku. Menanggapi permasalahan ini golongan Mālikiyyah berpendapat tidak ada perbedaan mengenai pekerjaan, semua itu dapat berubah sesuai dengan takdir Allah, sehingga pekerjaan bagi ulama Mālikiyyah tidak dimasukkan dalam kriteria kafā’ah.9 Menurut Wahbah al-Zuhaily, kafā’ah juga bisa dipahami dengan kafā’ah seacara basic-background profesinya. latar belakang profesinya dijadikan 7
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246. Abdul Azis Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam , h. 846 9 Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 246-247. 8
6
landasan kafā’ah. Untuk mengklasifikasikan yang dimaksud pekerjaan dalam hal ini adalah tradisi. Nilai sebuah pekerjaan akan berbeda dengan berbeda tempat dan waktu. Bisa jadi suatu profesi dianggap rendah di suatu waktu akan tetapi bisa menjadi mulia di waktu yang lain. Demikian juga bisa jadi sebuah profesi dipandang hina disebuah negeri dan dipandang tinggi di negeri yang lain.10 Apa yang menjadi perspektif ulama fiqih di atas sangat selaras dengan pendapat kader PKS di Sulsel. Hal itu sebagaimana yang peneliti amati di lapangan bahwa seorang murabbi/ah/ (Pembina) akan mempertimbangkan pekerjaan atau profesi binaannya dalam memilihkan pasangan, dari daftar riwayat hidup yang berisi kreteria pasangan yang diidamkan. Sebagai contoh ketika binaan yang akan dipilihkan pasangan profesinya adalah dokter, maka tugas murabbi/ahnya memilihkan yang yang tidak jauh dari profesi tersebut. Sehingga apa yang diinginkan untuk membentuk keluarga dakwah yang sakinah bisa terwujud. akan tetapi perlu diketahui bahwa pemilihan pasangan yang seprofesi oleh kader PKS sesuatu yang sifatnya pengarahan saja, sehingga memungkinkan kader PKS yang tidak seprofesi bisa saja dipasangkan, jika tujuan perkawinan itu bisa terwujud. 3. Pendidikan Sebagai Kriteria Kafā’ah Ida Royani yang merupakan anggota kaderisasi Dewan Pengurus Daerah PKS kota Makassar menyertakan aspek pendidikan dalam kriteria kafā’ah. Peneliti menduga, kriteria dari ibu Ida royani dikarenakan binaannya yang di
10
Wahbah al-Zuhaili, al-Fiqh, hlm 247.
7
dalam liqo yang sebagian besar berasal dari kalangan berpendidikan. Pendidikan di era modern ini merupakan suatu tolak ukur dalam perkawinan yang tidak bisa dihindari di tengah kebutuhan akan pendidikan yang begitu tinggi. Sehingga alasan pendidikan sebagai tolak ukur dalam kafā’ah merupakan sebuah kewajaran kultural. Karena kultur masyarakat makassar merupakan kultur pendidikan. 4. Tarbiyah Sebagai kriteria Kafā’ah Ibu Dwi Susilarsi sebagai kader PKS militan, memberikan pemakanaanya tentang konsepsi kafā’ah dengan kesetaraan secara ideologis-manhajiyah. Dalam perspektifnya kafā’ah ideologis-manhajiyyah merupakan adanya kesefahaman dalam manhaj Tarbiyah. Adapun
yang dimaksud manhaj
tarbiyah yang dimaksud oleh Dwi Susilarsi sebagaimana terimplementasikan dalam bentuk pengajian pekanan atau liqo yang dilakukan oleh PKS. Masih dalam perspektifnya bahwa apabila orang tua pada masa kini umumnya memandang status pekerjaan dalam memilih calon pendamping bagi anak perempuannya, maka ibu Dwi memberi semacam kemudahan dengan tidak mengacu pada status kemapanan dalam profesi si calon suami. Akan tetapi bila melihat jawabannya ini, peneliti menyimpulkan jika tarbiyah dipakai sebagai kriteria, maka Dwi memiliki kecenderungan untuk memilihkan kader binaannya dalam liqo untuk menikah dengan kader.. Dari ketiga kader inti PKS yang peneliti wawancarai tersebut, menurut pengamatan peneliti mereka mempunyai kesamaan cara pandang bahwa aspek kafa’ah tarbiyah
maupun se-fikrah merupakan prioritas utama. Dan tak
8
ketinggalan juga latar belakang keluarga menjadi kriteria selanjutnya dalam tolak ukur kafa’ah. B. Penerapan Kafā`ah Perspektif Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Sulsel 1. Pernikahan Dengan Kader (se-fikrah) Dari berbagai konsepsi yang dikemukakan oleh para informan di atas, pada aras yang lain peneliti menemukan sebagian informan seperti R. Irwan Waji yang merupakan Ketua Kaderisasi DPD PKS kota Makasar, begitupun dengan Jumadil dan Susy Smita memandang kader yang menikah dengan sesama kader punya tujuan penting bagi PKS yakni misi dakwah. Dakwah yang dimaksud PKS adalah dakwah rabbaniyah yang rahmatan lil’alamin, yaitu dakwah yang membimbing manusia mengenal tuhannya dan dakwah yang ditujukan kepada seluruh umat manusia dengan landasan-landasan ideologis seperti as-syumuliyah, reformatif (al-islah), konsisten hingga berorientasi masa depan.11 Dari sini peneliti pahami bahwa dalam membentuk bangunan keluarga yang tentunya sakinah mawaddah wa rahmah, PKS inginnya membentuk keluarga sebagai tim dakwah. Selain itu bermanfaat juga untuk pengokohan organisasi. Seorang kader yang aktif di agenda-agenda atau kegiatan partai butuh dukungan dan pengertian dari pasangannya. Pasangan yang tepat dalam hal ini adalah kader PKS juga. Pernikahan sesama kader ini tujuan lainnya adalah terbentuknya Masyarakat Islami. Masyarakat islami ini dibutuhkan untuk menggapai misi mihwar dauly yang merupakan bagian dari 4 orbit dakwah yang kini dijalankan
11
Lihat buku Manhaj tarbiyah 1433 H hal 37
9
PKS di Indonesia.12 Peneliti belum mengetahui apakah masyarakat Islami ini ujung-unjungnya mengarah ke pembentukan negara islam atau tidak. Pernikahan sesama kader tidak lepas dari peran para murabbi/ah. Peran murabbi/ah dominan ketika awal pembentukan Partai keadilan (PK). Berarti pada masa-masa tersebut kondisinya masih eksklusif. Bagi partai, di masa PK terbentuk butuh pengokohan internal partai dimana jalan pintasnya dengan pernikahan sesama kader. Informan seperti Jumadil pun berargumen kalau di internal PKS masih banyak kader yang lebih baik buat apa mencari non kader. Peneliti cukup paham atas jawaban Jumadil karena pengalaman beliau yang menyerahkan sepenuhnya kepada Murabbinya ketika dulu menikah dengan istrinya. Jadi adakalanya seorang murabbi/ah mengarahkan seorang binaannya supaya menikah dengan sesama kader juga dipengaruhi oleh pengalaman pribadinya. Pernikahan se-fikrah dalam internal kader PKS menurut Muhammad Taslim bisa dikondisikan, tergantung dari sudut pandang mana kita melihanya. Muhammad Taslim memiliki dua sudut pandang terkait pernikahan sesama kader Pertama: memperkuat misi dakwah atau pengokohan, jadi ketika ada binaan laki-laki yang siap menikah akan dicarikan akhwat yang sudah terbina, seperti halnya batu bata yang sudah disiapkan dan hanya tinggal menata saja. Yaitu kader-kader yang sudah dibekali ilmu keagamaan dalam bingkai tarbiyahnya sudah ada, hanya tinggal menata untuk membangun mahligai rumah tangga. Jadi konsep ajarannya adalah ketika berumahtangga dibangun 12
Tentang orbit dakwah PKS. Lihat MPP PKS, Memperjuangkan Masyarakat Madani: Falsafah dasar dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS, (Jakarta: Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera, 2008), hal 35
10
dengan visi dan misi yang sama maka keluarga yang diidam-idamkan yaitu sakinah, mawaddah, warahmah akan lebih cepat terwujud. Lebih khusus lagi adalah semangat dakwah yang tidak luntur karena motivasi dari pasangan hidup yang sama. Kedua: misi ekspansi dakwah. Menikah dengan non kader dengan syarat punya suatu kreteria-kreteria dasar dalam Islam. Kembali kepada pernikahan sesama kader, kebiasaan seperti ini bukanlah dari AD/ART partai, melainkan inisiatif dari para murabbi/ah dengan pertimbangan maslahat. Maslahat-nya peneliti tafsirkan lebih kepada kader dan struktur partai. Bagi kader maslahat-nya pada kelancaran dalam mengikuti agenda-agenda partai, sedangkan untuk partai sendiri sisi maslahat-nya pada kesolidan. Inisiatif dari para murabbi/ah di PKS Sulsel sempat memunculkan sebuah lajnah bernama tim munākahat. Namun keberadaan lajnah tersebut sekarang sudah tidak ada lagi. menurut Ida Royani untuk saat ini diserahkan kepada murabbi/ah masing-masing kader. Keberadaan lajnah atau semacam lembaga yang fungsinya sebagai wadah bagi para murabbi/ah untuk menikahkan dengan sesama kader disetiap daerah punya aneka macam nama. Seperti di PKS piyungan, Jogjakarta yang terdapat Badan kordinasi keluarga Bahagia Sejahtera (BKKBS)13 dan di Malang bernama unit keluarga sejahtera (UKS). Dari penelusuran dilapangan peneliti temukan proses model perjodohan sesama kader ini dimulai dengan memasukkan daftar riwayat hidup ke lembaga tersebut. Selanjutnya akan dicarikan yang cocok dengan kriteria yang 13
Habib Nanang, Perjodohan di Kalangan Aktivis Halaqoh Tarbiyah di Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul (UIN Jogjakarta, 2007)
11
diidamkan. Proses berikutnya adalah mempertemukan kedua belah pihak untuk ta’aruf. Ta’aruf yang dimaksud adalah mempertemukan dua kader tersebut dengan ditemani oleh murabbi atau orang yang dipercaya. Setelah ta’aruf yang memakan waktu paling lama sebulan, dilangsungkan pernikahan. Dalam internal kader PKS diketahui bahwa mereka memiliki jenjang keanggotaan yang berbeda, yang perlu dicermati adalah pertimbangan murabbi/ah dalam pemilihan pasangan untuk binaannya, selain pertimbangan se-fikrah ada juga pertimbangan jenjang keanggotaan. Menurut Bab III Pasal 5 Anggaran Rumah Tangga PKS, partai ini memiliki enam jenjang keanggotaan, yang terbagi ke dalam dua jenis keanggotaan, yaitu Anggota Pendukung dan Anggota Inti. Anggota Pendukung terdiri dari Anggota Pemula (Tamhidi) dan Anggota Muda (Muayyid). Sedangkan Anggota Inti terdiri dari Anggota Madya (Muntasib), Anggota Dewasa (Muntazhim), Anggota Ahli (’Amil), dan Anggota Purna (Mutakhasis). Menurut Linda ketika ada akhwāt atau kader wanita yang sudah siap untuk dilamar maka seorang murabbi/ah akan memberikan pertimbangan dengan mengusahakan akhwāt tersebut menikah dengan ikhwan yang selevel dengannya dalam perkaderan atau di atas jenjang akhwāt tersebut. Jika tidak ada, maka murabbiah akan mengarahkan kepada ikhwan yang selevel keanggotaannya pada jenjang anggota Muda (Muayyid).14
14
Linda, wawancara (via telepon 19 Maret 2014)
12
2. Pernikahan Dengan Non Kader Dalam tahap ekspansi dakwah, peran murabbi/ah tidak lagi dominan. Kader tidak harus menikah dengan sesama kader. Berarti para murabbi/ah ini dalam perjalanan waktu telah mengalami sebuah “pergeseran” yang dipengaruhi faktor eksternal seperti era keterbukaan dan semakin banyaknya orang yang bergabung dengan PKS. Di tahap ekspansi dakwah, menikah dengan non kader tidak masalah dengan syarat dia hanif15dan tidak melarang pasangannya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan kepartaian seperti yang dijelaskan Ida royani sebagai mantan devisi munakahat kader PKS Sulsel. Dalam sudut pandang yang lain, Aco yang merupakan salah satu kader ormas Islam yang bukan dari internal partai PKS yang menikah dengan akhwāt kader PKS, bahwa walaupun secara pemahaman agama dia dan istrinya ada sedikit benturan, akan tetapi dia selalu memahami bahwa inilah konskuensi yang harus dihadapinya ketika menikah dengan kader PKS, yaitu tidak menghambat atau melarang istrinya untuk mengikuti kegiatan-kegiatan kepartaian.16 Menikah dengan non kader jika konteksnya untuk ekspansi dakwah; peneliti anggap ini merupakan pilihan rasional. Khususnya untuk menambah perolehan suara maupun mengenalkan profil partai kepada keluarga dari pasangan yang non kader PKS. Jika menikah dengan kader saja, maka partai ini akan stagnan perkembangannya. 15 16
Maksud dari hanif menurut kader PKS adalah adanya kecendrungan pada kebaikan. Aco , wawancara (Makassar, mesjid bait al-afiat, 12 desember 2013)
13
Aspek interest lain yang peneliti temukan dari konstruksi kafā’ah di kader inti PKS Sulsel ini apabila ada binaannya yang menikah dengan non kader, tetap harus dikonsultasikan dengan para murabbi/ah. Murabbi/ah fungsinya di partai sebagai guru sekaligus orang tua. Boleh jadi murabbi/ah memberikan pandangan-pandangan maupun motivasi untuk binaannya yang sudah mantap memilih pasangan yang non kader. Selain itu, kader yang menikah dengan non kader tidak ada sanksi maupun perlakuan khusus dari partai karena itu hak pribadi. 3. Implikasi Pernikahan Dengan Kader dan Non Kader Penerapan kafā’ah di kalangan PKS Sulsel sedikit banyak ada dampaknya terutama bagi kader dan organisasi. Khusus kader terdapat dua dampak baik positif maupun negatif. Positifnya jika menikah dengan sesama kader, tidak akan terjadi salah paham maupun kendala ketika pasangannya aktif di kegiatan PKS. Sisi negatifnya itu, pernikahan sesama kader kesannya bagi orang luar PKS adalah ekslusif dan itu bertentangan dengan slogan keterbukaan partai yang lama dideklarasikan sejak Mukernas Bali pada tahun 2008. Pernikahan dengan non kader juga punya sisi positifnya yaitu pertambahan raihan suara dan sekaligus untuk menjelaskan kepada pasangannya informasiinformasi yang tidak benar yang menyangkut PKS. Informasi yang dipandang kurang akurat sering kali datang dari media mainstream yang kebanyakan dimiliki petinggi Parpol. Sehingga konten beritanya menyudutkan dan tidak berimbang. Sisi negatifnya menikah dengan non kader lebih dirasakan pada kader perempuan. Resikonya setelah berumah tangga dengan non kader ada
14
dua: tidak boleh aktif di dalam kegiatan partai dan yang paling parah adalah berpindah ke lain organisasi. Ini biasanya terjadi pada kader perempuan yang menikah dengan kader organisasi Islam lain, seperti organisasi HTI. Sebagaimana diketahui publik, di kehidupan sehari-hari, dua organisasi ini bersaing keras dalam melebarkan pengaruhnya khususnya di kampus. Bagi organisasi, penerapan kafā’ah di kalangan kader inti membawa dampak bagi kesolidan khususnya di level kekuatan mesin politik PKS sehingga
membantu
pemenangan-pemenangan
dalam
pilkada.
Dalam
mengarungi kancah perpolitikan nasonal, PKS sangat mengandalkan kekuatan kadernya. Sebagai contoh sewaktu peneliti menyaksikan pilwali di Makassar, kader-kader sangat militan dalam mempromosikan kandidat dari PKS baik door to door maupun melalui bakti sosial berupa pengobatan gratis. Sebelum pemilu 2014 para kader PKS gencar melakukan sosialisasi caleg yang diusung oleh partai, seperti yang peneliti temukan di lapangan yaitu adanya kegiatan yang biasa mereka sebut Direct Selling, silaturahmi ke rumahrumah warga untuk mengenalkan caleg PKS. Dalam aplikasinya kegiatan ini juga melibatkan akhwāt- akhwāt atau kader wanita yang sudah menikah, dengan tantangan yang begitu besar untuk merealisasikan kegiatan ini, yang kadang menyita waktu. Tentu ketika akhwāt yang sudah menikah tersebut, mendapatkan persetujuan, bahkan motivasi dari suami. Ini menjadi mudah karena suami pun mempunyai visi dan misi yang sama atau se-fikrah. Selain itu ketika kampanye terbuka di Stadion Gelora Bung Karno pada 16 Maret 2014, PKS mampu memadati stadion tersebut dengan bermodalkan
15
militansi para kadernya. Berbeda dengan partai lain yang tidak sanggup mendatangkan ratusan ribuan kadernya untuk memadati stadion tersebut
16
BAB VI PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil wawancara dan analisis yang peneliti lakukan tentang implementasi konsep kafā’ah di kalangan kader inti PKS Sulsel. Maka peneliti menyajikan dua kesimpulan sebagai jawaban dari rumusan masalah. Yang akan penulis uraikan sebagai berikut: 1. Makna kafā’ah dalam perspektif Kader inti PKS dapat dilihat dari sekufu’ tidaknya seseorang selain dilihat dari aspek agamanya juga mengacu pada kondisi ekonomi serta latar belakang keluarga, aspek pendidikan dan pemahamannya terhadap tarbiyah. Tarbiyah yang dimaksud adalah manhaj tarbiyah yang dimiliki PKS. Manhaj tarbiyah ini terimplementasikan dalam bentuk pengajian pekanan/liqa’ beserta kurikulumnya. 2. Adapun Penerapan kafā’ah dalam perspektif kader PKS Sulsel pada awal sejarah berdirinya memang ditandai dengan kafā’ah sesama kader tarbiyah. Pernikahan sesama kader ini tujuannya demi keberlangsungan misi dakwah, pengokohan organisasi dan langkah awal untuk mencapai masyarakat islami. Akan tetapi ditemukan pula kader yang menikah dengan non kader PKS. Hal tersebut tidak menjadi masalah jika ada kader yang menikah dengan non kader. Dengan ketentuan tidak menghalangi pasangannya ikut kegiatan-kegiatan dakwah di PKS. Pernikahan sesama kader membawa dampak positif berupa soliditas partai, khususnya di level
1
kekuatan mesin politik PKS sehingga dapat membantu pemenanganpemenangan dalam pilkada, sedangkan dengan non kader membuat binaannya menjelaskan kepada pasangannya informasi-informasi yang tidak benar yang menyangkut PKS. Sisi negatifnya menikah dengan non kader lebih dirasakan pada kader perempuan. Resikonya setelah berumah tangga dengan non kader ada dua: pertama: tidak boleh aktif di dalam kegiatan partai dan yang kedua berpindah ke organisasi Islam yang lain. B. Refleksi Teoritis Dalam sebuah kajian akademis, dinamika tesis anti tesis merupakan sebuah kewajaran akademis yang tidak bisa dihindari. Sehingga dalam penelitian ini perlu penulis sampaikan terkait refleksi teoritis konsepsi kafā’ah kader PKS Sulsel dalam memaknai dan penerapanya. Hal ini penulis lakukan dalam rangka memperkuat tesis kader inti PKS tentang kafā’ah bahkan meng-anti tesis konsepsi tersebut Adapun implikasi teoritis dari beberapa temuan penelitian yang penulis uraikan di Bab lima, adalah sebagai berikut: Pertama: temuan dalam penelitian ini memperkuat anggapan tentang konsepsi kafā’ah kader PKS yang mengharuskan satu fikrah-tarbiyah. Sebab sebagaimana yang penulis paparkan dalam analisis penelitian tesis ini, bahwa hampir semua informan sepakat tentang konsepsi kafaah se-fikrah seperti yang sudah banyak terjadi pada kader partai mereka. Adapun argumentasi yang mereka bangun dalam mentradisikan kafā’ah se-fikrah-tarbiyah adalah untuk
2
masifitas dakwah mereka dalam rekruitmen kader dan soliditas kelompok mereka. Kedua: Pada aras yang lain, temuan dalam tesis ini juga berimplikasi teoritis untuk mendekonstruksi ketentuan kafā’ah yang selama ini seolah-olah diskaralkan dalam partai PKS. Akan tetapi setelah terjadi transformasi ideologi partai PKS menjadi partai terbuka, maka kafā’ah yang menjadi konsepsi pakem para elit kader PKS, sekarang konsepsi tersebut menjadi sesuatu yang profan untuk dilakukan oleh para kader PKS. Hal ini sebagaimana temuan penulis di lapangan bahwa dari beberapa informan banyak informan yang berargumentasi bahwa kafā’ah se-fikrah menjadi alasan nomer dua setelah adanya kafā’ah dalam persoalan agama, ekonomi, pendidikan dan backround keluarga. Ketiga: Dari segi implementasinya, konsepsi kafā’ah di PKS tidak diatur secara organisatoris sebagaimana di kalangan Ahmadiyah. Bahkan seorang kader yang menikah dengan non kader pun tidak akan mendapat sanksi sosial seperti pada komunitas Arab. Akan tetapi ketika kader menikah dengan non kader PKS, diberlakukan syarat asalkan tidak melarang pasangannya ikut kegiatan-kegiatannya PKS. Dari sini bisa dikatakan kader PKS Sulsel menerapkan “kafā’ah bersyarat”. Kafā’ah bersyarat ini membawa dampak terhadap kesolidan dan raihan suara partai. C. Rekomendasi Penelitian 1. Dari hasil penelitian ini diharapkan para Pembina di DPW PKS Sulsel untuk mendorong binaannya khususnya (kader laki-laki) untuk menikah
3
dengan non kader. Karena dalam penelitian ini terbukti pernikahan dengan non kader punya sisi positif untuk raihan suara partai dan pemenuhan ambisi partai untuk menggapai posisi 3 besar di pemilu legislatif 2014. 2. Dari hasil penelitian ini direkomendasikan bahwa Pengurus DPW PKS seyogyanya berani mendekonstruksi tradisi kafā’ah secara ekonomi di Makassar yang menelan biaya tinggi. Sebagaimana yang diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW.
4
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’ān al-Karīm
Abdul Hamid, Muhammad Muhyiddin, 2003. al-Ahwal al-Syakhshiyah fi alSyariat al-Islamiyah, Beirut : al-Maktabah al-Ilmiyah AD/ART PKS yang direvisi pasca Munas II di Jakarta pada Mei 2011 AD/ART PKS yang disahkan Musyawarah Majelis Syura III pada 26 November 2005 Al-Hasbi, M. Baqir,. 2005.Fiqih Praktis, Bandung: Mizan Al-Jaziri, Abdur Rahman, 1999. Kitab Al-Fiqh ’Ala Al-Mazahib Al-Arba’ah, Bairut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah Al-Sarakhsyi, Syamsuddin, 1989. Kitab al-Mabsut Lebanon: Dar al-Ma’rifah Al-Sarkhasyi, Syamsuddin, 1989. Kitab al-Mabsut. Lebanon: Dar al-Ma’rifah Arikunto, Suharsimi. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendeketan Praktek, Edisi Revisi V. Jakarta : Rineka Cipta As-Subki, Ali yusuf, 2010. Fiqh Keluarga; Pedoman Berkeluarga Dalam Islam, judul asli Nidzam Al-Usrah Fi Al-Islam, alih bahasa Nur Khozin Jakarta: Amzah David Pearl, 1987. A Text Book on Muslim Personal Law, edisi II London: Croom Helm Departemen Pendidikan Nasional, 2005. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta; Balai Pustaka. Edward, Djoni, 2007 Efek Bola Salju PKS, Bandung: Harakatuna, Ghazaly, Abd. Rahman, 2006. Fiqh Munakahat, Jakarta: Kencana
1
Hermawan. Sulhani, Pertentangan Prinsip Kemaslahatan Perkawinan Dengan Prinsip Egalitarian Dalam Hukum Perkawinan Islam; Kajian Normatif Dan Historis Kontekstual Tentang Konsep Fiqh Al-Kafā`ah, Surakarta; STAIN Surakarta M.B. Miles & A.M. Hubermen, An Expended Source Book: Qualitative Data Analysis, Analisis Data Kualitatif, terj. Tjetjep R. Rohidi,Jakarta: UIPress, 1992 Malik, Abi, 1996. Bada’i’ al-Shana’i’ fi Tartib al-Syara’i’, Beirut: Dar al-Fikr Mandzūr, Ibnu,Tt. Lisānul ‘arab, Dār al-ma’ārif Manhaj Tarbiyah 1433 H (Jakarta: Lembaga kajian manhaj tarbiyah) Marzuki, 2002, Metodologi Riset Jogjakarta: PT. Prasetia Widya Pratama Matta, Anis, 2007. Integrasi Politik dan Dakwah, Jakarta: Arah Press Matta, Anis. 2006. Dari Gerakan ke Negara. Jakarta: Fitrah Rabbani Moleong, Lexy, 1999. Metodologi Penelitian Kualitatif Bandung: PT. Remaja Rosdakarya MPP PKS, 2008. Memperjuangkan Masyarakat Madani: Falsafah dasar dan Platform Kebijakan Pembangunan PKS, Jakarta: Majelis Pertimbangan Pusat Partai Keadilan Sejahtera Muhammad ‘Uwaidlah, Kamil Muhammad, 1992. al-Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit al Tamimi al-Kufi Faqih Ahl al-‘Iraq wa Imam Ashhab alRa’y, cet. I, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd, Bidayah al- Mujtahid wa Nihāyah alMuqtashid ,Jilid II (Bairūt: Dār al-Jail, 1989) Muhtadi, Burhanuddin.2012. Dilema PKS: Suara dan Syariah. Jakarta, Indonesia: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) Munandar, Arief, 2011. Antara Jemaah dan Partai Politik: Dinamika Habitus Kader Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Dalam Arena Politik Indonesia Pasca Pemilu 2004, desertasi, Depok Universitas Indonesia
2
Nana Sudjana dan Ahwal Kusuma, 2002, Proposal Penelitian di Perguruan Tinggi Bandung: Sinar Baru Algasindo Nanang, Habib, 2007. Perjodohan di Kalangan Aktivis Halaqoh Tarbiyah di Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul, UIN Jogjakarta Paramadina, Putri, 2010. Kafa'ah Pada Tradisi Perkawinan Masyarakat Arab AlHabsyi Di Kabupaten Pemalang, Semarang: IAIN Walisongo Rahmat, M. Imdadun, 2009. Ideologi Politik PKS. Yogyakarta:LKiS Rizal, Faisol, 2012. Dengan judul Implementasi Kafā`ah Dalam Keluarga Pesantren: Studi Penerapan Kafā`ah Kiai Pesantren Kab. Jombang. Program Magister al-Ahwal al-Syakhshiyah Progam Pascasarjana UIN Malang Salim bin Abdul Ghani Al-Rafi’i, Ahkam Al-Ahwal Al-Syakhsiyyah Li AlMuslimin Fi Al-Gharbi. Beirut; Dar Ibn Hazm. Sapto Waluyo, 2005. Kebangkitan politik Dakwah, Bandung: Syamil Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, 2000, kairo: dār al-Fath Soemiyati, 1982, Hukum Perkawinan Islam, Jakarta: Liberty Syarifudin, Amir, 2009. Hukum Perkawinan Islam Di Indonesia; Antara Fiqh Munakahat Dan Undang-Undang Perkawinan, Jakarta: Kencana Tim Departemen Kaderisasi PKS, 2003. Manejemen tarbiyah bagi Anggota Pemula, Bandung: Syaamil Wahbah al-Zuhaili, 1985, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, Damaskus : Dār al-fikr Zaidi, Nur Hasan (ed), 2007. Mereka Bicara PKS, Bandung: Fitrah Rabanni Zulhamdani, 2010. Konsep Kafā`ah dalam Perkawinan Ahmadiyah Qodian dan Lahore Perspektif Ulama Syafi’iyyah. UIN Jogjakarta Elektronik Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud,, al-Maktabah al-Syamilah versi 3.28
3
Ahmad Bin Husain al-Baihaqi, Sunan al-baihaqi al-kubra, al-Maktabah alSyamilah versi 3.28 Abu Dawud Sulaiman, Sunan Abu Dawud, juz 7, hlm. 388, al-Maktabah alSyamilah versi 3.28 Internet http://www.tempo.co/read/news/2013/02/11/078460485/. republika.co.id edisi 4 Februari 2013. detik.com, edisi 4 Februari 2013 republika.co.id edisi Senin 6 Mei 2013 http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera
4