IMAJINASI RERAJAHAN DALAM SENI PATUNG UDIK PUTRA ASTHAWAN 2007 04 013 Program Studi S1, Jurusan Seni Patung, Fakultas Seni Rupa dan Desain, Institut Seni Indonesia Denpasar, Jln. Nusa Indah, Denpasar, 80235, Indonesia E-mail :
[email protected]
Abstrak Rerajahan adalah realitas berasal dari tulisan dan gambaran, yang dipergunakan sebagai media komunikasi yang bersifat gaib. Rerajahan memiliki dua sifat yaitu bersifat positif biasanya dipakai oleh masyarakat untuk perlindungan atau menjaga diri dari pengaruh negatif lingkungan sekitar. Sedangkan yang bersifat negatif lebih banyak dimanfaatkan ke pengiwa termasuk ilmu pengeleakan (ilmu hitam). Keindahan gerak garis, bentuk yang aneh dan kadang kala tidak masuk akal serta dihiasi dengan aksara suci di beberapa sudut pada gambar rerajahan penolak bala menimbulkan sugesti imajinatif bagi pencipta untuk mengolah menjadi bentuk – bentuk seni patung dimana dalam perwujudannya berdasarkan pertimbangan unsur-unsur seni rupa. Di dalam memvisualisasikan keindahan rerajahan kedalam wujud karya tiga dimensional, pencipta menyederhanakan bentuk objek yang mengarah kepada keindahan modern. Dalam hal ini, pencipta memainkan garis untuk menciptakan komposisi ruang dan bidang dengan menambahkan permainan tekstur pada area tertentu. Sehingga nantinya tercipta bentuk figur baru tanpa terlepas dari kesan rerajahan yang ingin diwujudkan kedalam bentuk karya patung figuratif. Kata kunci : Rerajahan, imajinasi, seni patung, figuratif
Abstract Rerajahan is reality derived from the writings and images, which is used as a medium of communication that is supernatural. Rerajahan has two properties that are positive are usually used by people for protection or keeping away from the negative influence of the surrounding environment. Whereas the more negative is used to pengiwa including science pengeleakan (black magic). Beauty line motion, bizarre shapes and sometimes unreasonable and decorated with holy script in some corners on images rerajahan repellent reinforcements for creator imaginative suggestibility raises to process a form - a form of sculpture where the realization is based on consideration of the elements of art. In the form of visualizing the beauty rerajahan into three-dimensional works, creator simplifies object shapes that lead to the modern beauty. In this case, the creator of a line to create a composition play space and play areas by adding texture in certain areas. So that created a new form of figures without rerajahan regardless of the impression to be created in the form of works of figurative sculpture. Keywords: Rerajahan, imagination, sculpture, figurative
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
1
Pendapat umum menyebutkan bahwa Bali sangat menarik dikarenakan oleh keindahan alam, kesenian serta kebudayaannya. Oleh karena itu orang menyebutnya Pulau Dewata. Selain terkenal dengan kesenian dan keindahan alam, di Bali banyak terdapat simbol-simbol, diantaranya adalah rerajahan. Dengan keyakinan tersebut, simbol-simbol dibuat dan dipadukan dengan mantra atau ilmu gaib sehingga terwujudlah sebuah rerajahan. Menurut Watra (2008 : 88), rerajahan adalah realitas berasal dari tulisan atau gambaran, yang dipergunakan sebagai media komunikasi yang bersifat gaib. Fungsi dan manfaat rerajahan dalam kehidupan masyarakat Hindu di Bali adalah sebagai : 1. Rerajahan sebagai sarana upakara dalam upacara yadnya (Taksu 2008: 13) antara lain: a. Manusa Yadnya, pemakaian rerajahan ini dimulai sejak mengubur ari-ari sang bayi, yang dirajah adalah batu tempat mengubur ari-ari, buah kelapa, lontar, tujuannya untuk menjaga si bayi dari pengaruh buruk. Setelah itu dilanjutkan dengan upacara pawetonan yakni upacara turun ke tanah, yang dirajah adalah paso (tempat penampungan air dari bahan tanah) saat napak ke pertiwi (saat turun ke tanah) berupa gambar bedawang. Diteruskan ke upacara raja swala, sampai ke potong gigi juga dirajah berupa gambar Sanghyang Semara Ratih yang disebut sebagai rerajahan mudra. Pada upacara potong gigi yang dirajah adalah tulang punggung, lidah, bahu yang bertujuan untuk rasa aman sekaligus sebagai kekuatan penetralisir dari pengaruh buruk. b. Dewa Yadnya, untuk upacara Dewa Yadnya ini yang paling dominan menggunakan rerajahan baik aksara suci maupun gambaran. Yang berupa tulisan atau huruf yakni triaksara, dasaksara dan dasa bayu, sedangkan yang berupa gambar yakni gambar Acintya, Ghana, senjata Nawa Sanga. Dalam upacara Tawur memakai rerajahan Yamaraja. Pada upacara pemlaspas atau pemakuhan menggunakan ulap-ulap.
Gambar 1 : Gambar ulap-ulap pada sanggah kemulan I Wayan Watra (2008 : 56) Foto : Udik Putra, 2012
Gambar 2 : Gambar senjata Dewata Nawa Sanga Ngurah Nala (1993 : 106) Foto : Udik Putra, 2012
I Wayan Watra (2008 : 4) menjelaskan ulap-ulap adalah selembar kain putih dengan ukuran tertentu yang dirajah sebagai sarana upakara, berfungsi untuk menyucikan bangunan rumah dan bangunan Pura, secara spiritual bermakna memohon keselamatan kepada Tuhan / Ida Sang Hyang Widhi. Menurut Watra (2008 : 36-37) bentuk ulap-ulap secara simbolik dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu:
2
Berbentuk manusia dengan berbagai keahliannya, seperti bertangan empat, delapan atau dua belas, berkaki tiga, bermata tiga dan lain-lain. Bentuk binatang, misalnya wujud Barong Ket di Bali merupakan simbol Sang Hyang Siva, Barong Bangkung adalah simbol Dewa Visnu, dan lain-lain. Bentuk separo manusia dan separo binatang, diantaranya Ganesa, putra Sang Hyang Siva yang lahir dari Dewi Uma. Bentuk benda-benda atau huruf tertentu, misalnya matahari atau cakram (roda) simbol Sang Hyang Surya, bulan simbol Dewi Candra. c. Pitra Yadnya, untuk upacara pitra yadnya ada beberapa rerajahan yang digunakan saat upacara berlangsung, seperti saat sewa wedana (ngaben) sampai atma wedana (memukur, maligya). Atma wedana menggunakan rerajahan kajang yang sesuai dengan fungsinya selain itu diisi dengan aksara Ongkara pada daun bringin dan buluh.
Gambar 3 : Rerajahan Kajang Brahmana I Wayan Watra (2008 : 124). Foto: Udik Putra 2012
Rerajahan kajang adalah suratan atau gambaran, tanda-tanda yang mengandung kekuatan gaib sebagai selimut kebesaran orang yang meninggal. Rerajahan kajang dibuat untuk memberi tanda bakti, tanda cinta dari keluarga-keluarga dekat (I Wayan Watra 2008 : 89). d. Bhuta Yadnya, pada upacara ini menggunakan rerajahan Yamaraja untuk upacara tawur sesuai dengan tingkatannya nista, madya dan utama. Rerajahan yang dipakai berupa gambar Dewata Nawa Sanga.
Gambar 4, 5 & 6 : Rerajahan Dewa Iswara, Dewa Brahma dan Dewa Wisnu I Gede Jaman (1999 : 46-52). Foto: Udik Putra 2012
3
e 2.
Rsi Yadnya, rerajahan dipakai untuk pawintenan gede untuk para pemangku pura (orang yang disucikan) maupun kepada umat yang membutuhkan. Untuk para wiku dan sulinggih (orang yang disucikan) rerajahan dipakai pada saat upacara medwijati Rerajahan sebagai sarana usada / pengobatan (Ngurah Nala 1993 : 138-149) antara lain: a. Ratuning Usada adalah kitab atau lontar usada (pengobatan) menguraikan tentang cara mendiagnosis dan terapi penyakit antara lain adalah penyakit panas, dingin (aserep), sakit perut, missing (mencret) dll.
Gambar 7: Rerajahan Anaki Sugian mengobati sakit panas Ngurah Nala (1993 : 140)
b. Usada Wong Agering adalah kitab yang menjelaskan beberapa sarana, mantera untuk menyembuhkan, mengurangi, serta menolak berbagai penyakit.
Gambar 8 : Rerajahan untuk menyembukhan penyakit yang sudah lama diderita Ngurah Nala (1993 : 146)
3.
c. Usada Tatenger Beling adalah kitab yang menjelaskan tentang keluar masuknya Kanda Pat (empat saudara) yang menyertai janin ketika dalam kandungan atau maupun setelah lahir. d. Usada Netra adalah mengulas tentang penyakit mata, perut, kepala, sendi, gatal, dll Rerajahan sebagai sarana pencegahan / penolak bala antar lain: a. Tumbal adalah sebagai sarana pencegahan berbentuk rerajahan yang di grafir di atas lempengan logam atau benda lainnya yang ditanam di pekarangan rumah atau diikat pada ikat pinggang sebagai pekakas (jimat) agar terhindar dari segala penyakit dan niat jahat orang yang memusuhinya (Ngurah Nala 1993 : 1259).
4
b.
Rerajahan Wija Aksara bersal dari tulisan yang umum dikenal adalah Ongkara, Dasa Aksara (sa, ba, ta, a, i, na, ma, si, wa, ya) dan Dasa Bayu (i, ha, ka, sa, ma, ra, la, wa, ya, ung) yang mampu melindungi diri dari segala mara bahaya, asal manusia itu sendiri berada dalam keadaan bersih (Ngurah Nala 1993 : 263).
Gambar 10: Rerajahan Dasa Aksara dan Dasa Bayu Ngurah Nala (1993 : 263) c. Rerajahan Penolak Bala adalah sebagai sarana pencegahan penyakit dan niat jahat dari orang lain berbentuk berajahan yang di gambar atau di grafir kemudian di tanam, di bungkus, di gantung dll disertai sesajen dan mantra sesuai dengan petunjuk
4.
Gambar 11: Rerajahan Sang Hyang Nrawang sebagai pelindung jiwa Gede Jaman (1999 : 120) Rerajahan sebagai sarana mencelakai orang (Ngurah Nala 1993 : 177-185) antara lain: a. Desti adalah suatu kekuatan gaib yang dapat menyebabkan seseorang menjadi sakit. Biasanya menggunakan benda-benda yang berasal dari orang yang akan dibencanai atau dikenai penyakit sebagai medianya, seperti rambut, kuku, pakaian, perhiasan dan lain-lain. Dapat pula sebagai mediator mempergunakan telur, air, angin, kertas, batu, permata, keris dan sebagainya. Benda-benda ini dirajah, sesuai dengan penyakit yang diinginkan menimpa orang yang dikehendaki, kemudian di beri mantera. b. Pepasangan adalah benda yang diisi kekuatan gaib atau magis, serta ditanam di dalam tanah atau disembunyikan secara rahasia ditempat tertentu dengan tujuan untuk membencanai seseorang. Benda tersebut dapat berupa tulang, taring binatang, daun rontal, kertas, kain, rambut dan lain-lain setelah diberi rerajahan berbentuk bhuta-bhuti, aksara suci serta senjata dewata nawa sanga yang disertai mantra.
5
c. Pengeleakan (ilmu hitam) tergolong aji wegig. Aji berarti ilmu, wegig berarti ugig / begig yaitu suatu sifat yang suka mengganggu orang lain (Mantra & Segatri 2000 : 7) rerajahan yang dipakai bergambar rangda, kera dsb.
Gambar 12: Rerajahan Calon Arang sebagai pelengkap formula pengeleakan Gede Jaman (1999 : 70) d. Bebahi / bebai adalah penyakit yang dibuat dari raga janin yang gugur dari kandungan setelah berumur 3 bulan dan catur nyama (empat saudara janin) yang disimpan dalam peti kecil dan dibuatkan sesajen sesuai dengan urutan upakara manusa yadnya. Bebahi juga dibuat dari bagian organ manusia yang mati akibat terbunuh, dengan mengambil sedikit otak, kulit badan, kulit lengan serta kulit kaki pada malam hari disertai dengan sarana berupa alas daun lontar bergambar sosok tubuh manusia dan mantra. Dari beberapa jenis, bentuk dan gambar rerajahan yang telah di ulas sebelumnya, pencipta tertarik dengan rerajahan penolak bala sebagai sumber imajinasi untuk memunculkan ide-ide berupa bentuk-bentuk rerajahan kedalam karya tiga dimensi. Keindahan gerak garis, bentuk yang aneh dan kadang kala tidak masuk akal serta dihiasi dengan aksara suci di beberapa sudut pada gambar rerajahan penolak bala inilah menimbulkan sugesti imajinatif yang mendorong pencipta untuk mengolah menjadi bentuk – bentuk seni patung, dimana dalam perwujudannya berdasarkan pertimbangan rasa gubahan pribadi dengan memasukkan unsur-unsur seni rupa yang disusun secara harmonis sehingga menjadi karya tiga dimensional yang memiliki nilai keindahan. 1.2 Rumusan Masalah Di dalam memvisualisasikan rerajahan sebagai sumber imajinasi dalam seni patung terdapat permasalahan yang berkaitan dengan proses kreatif yaitu: - Bagaimana memvisualisasikan bentuk rerajahan penolak bala yang memiliki kesan magis dalam seni patung figuratif ? 1.3 Batasan Masalah Mengingat begitu luasnya arti, makna dan bentuk rerajahan, maka pencipta membatasi permasalahan hanya pada bentuk fisik karya tiga dimensional rerajahan penolak bala yang divisualisasikan melalui unsur-unsur seni rupa. 1.4 Tujuan Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam proses berkarya diantaranya : a. Untuk mendapatkan hasil visualisasi rerajahan menjadi karya seni patung. b. Mentranspormasikan estetika rerajahan menjadi estetika modern dalam sebuah karya seni patung. 1.5 Manfaat Penciptaan Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam proses berkarya diantaranya: a. Bagi pencipta sendiri dapat menumbuhkan kreativitas berkarya yang memberi wawasan sumber ide yang baru dalam seni patung.
6
b. Bagi lembaga ISI Denpasar dapat menambah keanekaragaman dalam pengungkapan ide, daya cipta dan kreasi. c. Bagi masyarakat khususnya pencipta seni akan menjadikan bahan apresiasi, serta masyarakat pada umumnya. 1.6 Ide Penciptaan Dalam hal ini pencipta terinspirasi untuk memvisualisasikan karya seni patung dari bentukbentuk rerajahan penolak bala. Setelah mengamati dan melihat gambar rerajahan yang mengandung unsur-unsur seni rupa seperti garis, warna, tekstur, ruang dan bidang. II. METODE PENCIPTAAN 2.1 Eksplorasi Dalam hal ini pencipta melihat dan mengamati gambar-gambar rerajahan antara lain rerajahan sebagai sarana upakara dalam upacara Yadnya, rerajahan sebagai sarana usada / pengobatan, rerajahan sebagai sarana pencegahan / penolak bala dan rerajahan sebagai sarana mencelakai orang. Di samping melakukan pengamatan melalui gambar-gambar, pencipta juga melakukan studi kepustakaan dimana pencipta membaca buku-buku ataupun literatur yang ada kaitannya dengan judul yang pencipta angkat. Data lainnya diperoleh dengan memanfaatkan kemajuan teknologi pencipta mencari gambar-gambar maupun literatur di internet yang bisa dijadikan perbandingan dan sumber ide dalam pembuatan karya patung. Gambar rerajahan penolak bala yang akan di imajinasikan ke dalam seni patung :
Gambar 13 & 14: Gambar Rerajahan Penulak Sarva Mrana I Gede Jaman (1999 : 57 & 169). Foto : Udik Putra, 2012
Gambar 15: Gambar Rerajahan Kala Sungsang I Gede Jaman (1999 : 71).
2.2 Improvisasi Improvisasi adalah pengembangan dari eksplorasi yang mengembangkan data yang sudah terkumpul sehingga menjadi ide yang akan diwujudkan ke bentuk tigadimensional dengan eksperimen. Eksperimen merupakan percobaan yang bersistem dan berencana. Percobaan yang dimaksud sebagai proses penyeleksian ide, ide yang sudah melalui tahapan
7
eksplorasi, kemudian dilanjutkan pada tahap percobaan. Dalam proses ini sangat diperlukan eksperimen-eksperimen baik yang menyangkut bahan, teknik dan finishing. Pada tahap ini adalah kelanjutan dari tahap eksplorasi dimana setelah melakukan pengamatan pada objek, terlebih dahulu diawali dengan pembuatan sket dua dimensional. Pembuatan sket ini adalah bertujuan untuk memvisualisasikan bayangan-bayangan atau rekareka ide yang didapat pada eksplorasi. Dengan garis inilah ide-ide tersebut terus diolah sampai mendekati bentuk yang sesuai, tentunya dengan tidak mengabaikan komposisi dan kesatuan bentuk. Sket-sket ini nantinya banyak memberikan alternatif bentuk yang bisa dipilih untuk diwujudkan menjadi karya patung. Gambar sketsa-sketsa karya :
Gambar16: Sketsa karya I yang berjudul Gambar17: Sketsa karya II yang berjudu ”penulak sarwa mrana”. ”kala sungsang” Foto : Udik Putra, 2012 Setelah melakukan percobaan-percobaan dengan sket dua dimensional, pencipta lanjutkan dengan membuat maket atau miniatur. Maket ini pencipta buat dengan bahan lunak / plastisin, disamping karena harganya relatif murah juga mudah untuk dibentuk. Dengan dibuatnya maket ini tentunya akan memudahkan dalam pembentukan pada karya patung. Gambar Maket:
Gambar 39 : Maket karya ”penulak Gambar 40: Maket karya ”kala sarva mrana” sungsang” Foto : Udik Putra, 2012
8
2.3 Bahan dan Alat 2.3.1 Bahan Dalam pembuatan karya Tugas Akhir ini pencipta menggunakan beberapa bahan yaitu : - Besi - Kawat tali - Kawat strimin - Pasir - Semen - Serbuk batu padas - Pigman serbuk - Air secukupnya 2.3.2 -
Alat Adapun alat-alat yang pencipta gunakan dalam proses berkarya yaitu : Tang - Faser Cetok - Gunting Ember - Amplas Kuas
III. PROSES PERWUJUDAN Proses membuat patung mengguanakan bahan beton bertulang pada karya penulak sarwa mrana dan kala sungsang sebagai berikut: Tahap pembentukan kerangka, tahap ini adalah proses membuat rangka dengan besi menjadi kerangka patung dengan memperhitungkan kontruksi dan ketebalan luluh pada saat pembentukan patung. Tahap pengecoran, adalah tahap pengisian luluh pasir campur semen pada bagian dalam kerangka maupun pada bagian luar kerangka, tahapan ini berfungsi mempermudah pekerjaan dalam proses pengglobalan. Tahap pengglobalan adalah proses pembentukan menggunakan adonan luluh pasir campur semen. Proses penghalusan, tahap penghalusan pencipta lakukan dengan adonan luluh pasir campur semen, mill campur semen dan serbuk batu padas campur semen, sampai terwujud bentuk sesuai keinginan. Tahap penyelesaian akhir, tahap ini merupakan rangkaian akhir dalam proses pembuatan karya patung dengan menghaluskan memakai amplas.
9
IV. WUJUD KARYA Karya I
Gambar 83. Judul : Penulak Sarwa Mrana Ukuran : 30 x 30 x 72 cm Bahan : Beton bertulang Tahun : 2012 Foto : Udik Putra Asthawan Aspek Ideoplastis Rerajahan penulak sarva mrana adalah penolak bala terhadap segala hama dan bahaya yang menyerang padi di sawah. Bentuk garis yang lembut dan kaku pada gambar rerajahan ini disertai beberapa ornamen dan aksara suci. Penghayatan atas gambar rerajahan tersebut pencipta mendapat inspirasi untuk mewujudkan sebuah karya patung. Pencipta tertarik dengan lekukan garis yang membentuk sebuah figur lidah terjulur keluar dan memegang dua buah senjata gada, memberikan kesan magis dan perlawanan terhadap sesuatu yang mendekat dan berbahaya. Pengertian judul karya Penulak Sarwa Mrana adalah terdiri dari kata penulak yang artinya adalah penolak, sarwa yang artinya bermacam-macam,
10
sedangkan mrana adalah penyakit atau mara bahaya. Jadi penulak sarwa mrada dapat diartikan sebagai penolakan terhadap segala macam mara bahaya dan penyakit. Aspek Fisikoplastis Karya ini diwujudkan berdiri dengan figur lidah dibuat menjulur panjang ke bawah yang keluar dari lubang yang memenuhi lingkar kepala. Dua buah senjata gada juga divisualisasikan dengan bentuk lekukan yang berulang dan di setiap ujungnya terdapat tiga buah tanduk perlambang sinar suci atau aura kekuatan dari rerajahan tersebut. Karya ini terbuat dari bahan beton bertulang, dengan campuran luluh pasir dan semen ditambah sedikit perep (pewarna untuk adonan luluh) warna hitam, sedangkan tahap finising memoleskan semir sepatu hitam di seluruh permukaan patung selanjutnya dilapisi dengan campuran tanah taro dan lem putih, setelah kering kemudian di amplas. Kesengajaan memilih penyelesaian tersebut bertujuan untuk memunculkan kesan batu alam pada karya ini. Manfaat penciptaan karya ini bagi pencipta adalah memenuhi hasrat untuk melahirkan karya yang unik, kreatif dan imajinatif dengan mengambil ide dari kearifan lokal masyarakat Bali yaitu rerajahan, tanpa merusak estetika tradisinya. Sementara manfaat bagi masyarakat penikmat seni adalah dapat menikmati hasil karya seni dengan kritikan dan masukan yang membangun untuk proses berkarya pencipta kedepannya.
11
Karya II
Gambar 84. Judul : Kala Sungsang Ukuran : 35 x 20 x 95 cm Bahan : Beton bertulang Tahun : 2012 Foto : Udik Putra Asthawan Aspek Ideoplastis Dalam kamus Jawa Kuna – Indonesia (1995 : 1150) kata sungsang berarti terbalik. Rerajahan kala sungsang bergambar raksasa terbalik, berfungsi sebagai pelindung rumah. Bentuk gambar dengan ekspresi wajah menyeramkan disertai sikap terbalik yaitu tangan dan kepala di bagian bawah sementara kaki berada di atas, begitu juga dengan aksara suci yang terdapat pada gambar ditulis terbalik menjadi inspirasi untuk mewujudkan menjadi sebuah karya patung.
12
Aspek Fisikoplastis Karya ini diwujudkan dengan kepala terdapat di bagian bawah dengan memunculkan karakter hidung dan bola mata yang mendelik berupa cembungan setengah lingkaran. Dua buah bulatan besar di atas kepala melambangkan pantat disertai dengan bentuk kaki yang dibuat menyambung untuk mendapatkan kesatuan dan kontruksi patung. Sementara di bagian atas patung muncul tiga buah ujung yang runcing seperti tanduk melambangkan aura atau sinar suci dari rerajahan tersebut. Sementara dibagian tertentu pencipta menambahkan aksara suci dengan bentuk yang bergelombang seolah – olah muncul dari dalam patung bertujuan untuk memunculkan kesan magis dari karya ini. Karya yang berjudul kala sungsang ini terbuat dari bahan beton bertulang dengan penyelesaian memakai adonan luluh serbuk batu padas campur semen dengan finising di amplas dan di tekstur halus menggunakan gergaji besi secara merata dan terakhir dilapisi lem putih cair untuk mengikat debu dari bahan tersebut. V. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan 1. Bentuk-bentuk gambar rerajahan penolak bala dengan berbagai estetikanya merupakan ranah yang sangat menarik dijadikan sumber imajinasi dalam penciptaan karya-karya patung, dalam hal ini berwujud patung figuratif. 2. Wujud patung figuratif yang diciptakan merupakan hasil dari imajinasi melalui pertimbangan unsur dan struktur seni rupa. 5.2 Saran Bagi masyarakat penikmat seni khususnya generasi muda hendaknya lebih kreatif lagi dalam menggali sebuah imajinasi dari kearifan lokal masyarakat Bali, yang akan diwujudkan menjadi sebuah karya seni patung. VI. DAFTAR RUJUKAN - Jaman, I Gede. (1999), Fungsi dan Manfaat Rerajahan dalam Kehidupan, Paramita, Surabaya. - Mantara Putra, I Gusti Ketut & Sugatri Putra, Gusti. (2000), Penangkal Ilmu Hitam, Santi Wahana, Denpasar. - Nala, Ngurah. (1993), Usada Bali, PT. Upada Sastra, Denpasar. - Surawati, Ni Made. (9 Januari 2008), ”Makna Magis dan Seni dalam Rerajahan” Taksu. - Watra, I Wayan. (2008), Ulap-Ulap dan Rerajahan dalam Agama Hindu di Bali, Paramita, Surabaya.
13
14