IJTIHAD KOLEKTIF (Sebagai Wacana Pembumian Teks Al-Qur’an dan Hadits)
Oleh: H.Lukman Arake ﻓﻬذا ﺑﺣث ﯾﺗﻌﻠق ﺑﺎﻻﺟﺗﻬﺎد اﻟﺟﻣﺎﻋﻲ ﻗﺻدت ﻣﻧﻪ إﻟﻘﺎء اﻟﺿوء ﻋﻠﻰ أﻫﻣﯾﺔ اﻻﺟﺗﻬﺎد اﻟﺟﻣﺎﻋﻲ وﺧﺎﺻﺔ ﻓﻲ ﻋﺻرﻧﺎ:ﺗﻣﻬﯾد ﺑﺎﻹﺿﺎﻓﺔ إﻟﻰ ذﻟك ﺗﻘرﯾﺑﻪ ﻟﻸﻓﻬﺎم وﻛﯾﻔﯾﺔ اﻟوﺻول إﻟﯾﻪ وﺑﯾﺎن اﻟﻘواﻋد اﻟﺗﻲ ﺗﺣﻛﻣﻪ ﺣﺗﻰ ﯾﻛون وﺳﯾﻠﺔ ﻟﺗطﺑﯾق.اﻟﺣﺎﺿر ﻧﺻوص اﻟﺷرﯾﻌﺔ اﻹﺳﻼﻣﯾﺔ ﻋﻠﻰ أﻛﻣل وﺟﻪ ﻓﻲ ﻛل ﻣﺟﺎﻻت اﻟﺣﯾﺎة ﺣﺗﻰ ﺗﺣل ﺟﻣﯾﻊ ﻣﺷﺎﻛﻠﻬم اﻻﺟﺗﻣﺎﻋﯾﺔ وﯾﺳﻌد اﻟﻧﺎس وﻓﻘﻧﻲ اﷲ ﻟﻬذا اﻟﻌﻣل وﺟﻧﺑﻧﻰ اﻟﺧطﺄ. ﺑدﻧﯾﺎﻫم ﻓﻲ ﻫذﻩ اﻟﺣﯾﺎة اﻟﺣﺎﺿرة ﻛﻣﺎ ﯾﺳﻌدون ﻋﻧد اﷲ ﻓﻲ اﻟدار اﻷﺧرة اﻟداﺋﻣﺔ اﻟﺧﺎﻟدة .واﻟزﻟل وﻫداﻧﻲ إﻟﻰ طرﯾق اﻟﻬدى واﻟﺻواب إﻧﻪ ﻧﻌم اﻟﻣوﻟﻰ وﻧﻌم اﻟﻧﺻﯾر Kata Kunci: Ijtihad Kolektif, Al-Qur’an, Hadis
I. PENDAHULUAN Dalam wacana pemikiran Islam, ijtihad kolektif merupakan salah satu objek pembahasan para ulama. Oleh karena itu, ijtihad kolektif menempati posisi urgen karena hasilnya dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum (masdar at-tasyri’) yang konstan setelah al-Qur’an dan al-Hadits. Kendati demikian, ijtihad kolektif dalam perkembangannya belum dikenal pada masa Nabi karena seluruh persoalan yang terjadi ketika itu masih ditangani langsung oleh beliau. Di samping itu, secara spesifik Nabi sendiri memang diutus untuk menjelaskan misi rabbani kepada manusia sebagai bentuk implementasi konkrit dari perintah Allah Swt. berikuti: Artinya:”Wahai Rasul (Muhammad) sampaikanlah kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepadamu dari Tuhanmu.”(Qs.Al-Maidah:67).
Hal inilah yang menjadi faktor utama sehingga urgensi ijtihad kolektif pada masa Nabi belum dikenal. Dari sini muncul satu pertanyaan yakni bagaimana bila terjadi satu masalah di kalangan para sahabat yang membutuhkan penyelesaian, sementara Nabi jauh dari mereka, apa yang harus dilakukan? Dalam kondisi seperti ini, para sahabat melakukan ijtihad sebagai pendekatan terhadap makna hukum yang dimaksud. Selanjutnya, ketika bertemu dengan Nabi, mereka pun menceritakan kejadian tersebut kepadanya, dan pada waktu yang sama Nabi akan menjelaskan hukum masalah yang sebenarnya. Sebagai contoh, ketika Amru bin Ash diutus ke salah satu peperangan (perang dzatu as-salasil) pada tahun keenam hijriah. Dalam kondisi yang sangat dingin, Amru bin Ash junub sehingga tidak ada kemungkinan mandi. Melihat hal itu, Amru bun Ash memutuskan bertayammum lalu shalat subuh bersama sahabat yang lain. Sekembalinya dari peperangan, para sahabat kemudian menceritakan hal itu kepada Nabi bahwa Amru bin Ash telah shalat subuh bersama mereka dalam keadaan junub. Amru lalu dipanggil oleh Nabi kemudian bertanya kepadanya, “Hai Amru, apa benar engkau pernah melakukan shalat subuh dalam keadaan junub?” Amru bin Ash menjawab: “Benar ya Rasulallah, tetapi saya bertayammum karena mengingat firman Allah Swt
Artinya: Janganlah engkau membunuh dirimu sendiri, sesungguhnya Allah SWT adalah maha penyayang kepadamu”.(Qs.Annisa’: 29). Mendengar penuturan Amru tersebut, Rasulullah saw, hanya ketawa dan Beliau pun memberikan satu akreditasi bahwa yang dilakukannya itu adalah benar.1
II. PEMBAHASAN
Sketsa Pengertian Ijtihad kolektif Ijtiahad kolektif baru dikenal pada masa sahabat sebagai salah satu cara menentukan konklusi hukum dari suatu problematika hidup yang sedang dihadapi.2 Selain itu, ia telah dijadikan sebagai salah satu pemicu munculnya ijma (konvensi). Para sahabat menjadikan ijtihad kolektif sebagai salah satu cara untuk menghindari kesalahan dalam berijtihad (ijtihad fardi/individual) meski dalam aplikasinya seorang mujtahid tidak berdosa ketika melakukan kesalahan dalam penentuan hukum dari suatu masalah. Oleh karena itu, ijtihad kolektif dapat diartikan sebagai salah satu proses pencarian hukum melalui pendekatan nilai integralistik agama, yaitu al-Qur’an dan al-Hadits.
Syarat-syarat Ijtihad Kolektif Sebelum lebih jauh menggagas syarat-syarat ijtihad kolektif, perlu diketahui bahwa setiap mujtahid dapat diterima fatwanya oleh siapa saja, seperti yang dikatakan oleh Imam al-Gazali.3 ُﻛ ﱡل ُﻣ ْﺟﺗَ ِﻬ ٍد َﻣ ْﻘُﺑ ْو ُل ْاﻟﻔَﺗْ َوى Artinya :”Setiap mujtahid dapat diterima fatwanya.”
Mujtahid itu sendiri terkadang disebut dengan fakih, ahlu ar-Ra’yi wal-Ijtihad, atau ahlul hall wal-‘aqd.4 Di samping itu, para ulama membagi mujtahid ke dalam tiga klasifikasi. Pertama, mujtahid mutlak, yaitu yang mampu melahirkan satu bentuk paradigma atau kaidah-kaidah hukum lalu menjadikan kaidah tersebut sebagai platform (rujukan) dalam setiap konklusi hukum yang dicapainya. Misalnya, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad bin Hambal. Kedua, mujtahid fatwa, yaitu yang memperdalam suatu mazhab tertentu sehingga ia dapat melakukan tarjih dari salah satu pendapat yang ada dalam mazhab tersebut. Ketiga, mujtahid mazhab, yaitu yang hanya mengikuti (muqallid) Imam mazhab tertentu dalam satu persoalan hukum. Secara umum, ia mengetahui dasar-dasar terbentuknya mazhab itu serta kaidah-kaidah hukum yang telah dicetuskan oleh Imam yang diikutinya sehingga bila terjadi satu 1
Abdul Fattah Husain Syaeh, Buhutsun fi Usul al-Fiqh, (Kairo: Dar-al-Ittihad al-Arabi li at-Thiba’ah, 1986), h. 69. Wahbah Zuhaily, Ushul al-Fiqh al-Islami, Jld I. (Bairut: Dar-al-Fikri Bairut, 1986), h. 486. 3 Abu Hamid al Gazali, al-Mustashfa min’Ilmi al-Ushul, Jld I. (Kairo: Matba’ah Musthafa Muhammad,1356 H), h.115 4 Ibid. h.486. 2
masalah yang ia tidak menemukan pendapat Imam yang diikutinya dalam persoalan itu, ia mampu berijtihad sendiri dengan tetap konsisten pada kaidah-kaidah hukum Imam mazhab tersebut.5 Dengan pembagian tersebut maka ada beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi oleh seorang mujtahid, baik mujtahid mutlak, fatwa, maupun mujtahid mazhab ketika ingin melakukan ijtihad secara kolektif atau perorangan. Syarat-syarat Mujtahid Muthlak Pertama: Harus meyakini semua ketentuan yang ada dalam agama sekalipun dengan dalil ijmali (dalil yang menjelaskan satu bentuk persoalan secara global) karena ijtihad itu sendiri merupakan proses pengambilan hukum dari satu masalah berdasarkan dalil-dalil yang ada. Oleh sebab itu, seorang mujtahid harus mengetahui sumber dalil yang ada, baik al-Qur’an, Hadits, Ijma, dan Qiyas. Kedua : Mengetahu bahasa Arab, karena dengan itu ia dapat memahami ayat-ayat tentang hukum atau hadits yang ada kaitannya dengan hal tersebut. Hal ini disebabkan karena suatu dalil, baik dari al-Qur’an maupun hadits, kandungannya tidak terlepas dari bahasa Arab. Dengan demikian, seorang mujtahid tidak akan mungkin dapat menkonklusikan satu masalah kecuali dengan memahami bahasa, baik dari segi arti maupun tarkib-nya (susunan lafal). Ketiga: Di samping mengetahui ayat-ayat hukum dari segi arti dan maknanya, seorang mujtahid juga dituntut untuk mengetahui semua yang ada relasinya dengan hal itu. Misalnya, apakah dalil itu sifatnya umum atau khusus, mujmal (global) atau mufassal (terperinci), mutlak atau muqayyad (menunjukkan suatu batasan tertentu), hakekat atau majazi, atau telah dinasakh atau tidak. Lebih lanjut, mujtahid dimaksud harus mengetahui eksistensi dalil itu sendiri, apakah mengandung arti musytararak (mempunyai beberapa arti) atau muhkam, mutasyabih atau muawwal (yang harus diartikan lain dari arti lafalnya), mufassar, khafiy atau zahir, dan sebagainya. Keempat: Di samping mengetahui hadits-hadits tentang hukum, seorang mujtahid juga harus mengetahui sanadnya (para perawi hadits) dan cara sampainya hadits tersebut kepada generasi setelahnya. Termasuk dalam persyaratan ini, pengetahuan tentang eksistensi hadits itu sendiri, apakah diriwayatkan dengan cara mutawatir atau ahad (yang diriwatkan oleh seorang saja) atau hanya sekedar masyhur. Begitu pula, ia harus mengetahui kondisi para periwayat hadits itu, apakah adil atau tidak sehingga dapat diketahui keabsahannya. Kelima: Seorang mujtahid harus mengetahui kaidah-kaidah ushul fiqh karena ijtihad sendiri tidak dapat dipisahkan dari sebuah kaidah. Lebih dari itu, seorang mujtahid tidak akan mungkin dapat mengistimbatkan satu hukum kecuali dengan kaidah-kaidah yang ada. Keenam: Mengetahui semua permasalahan yang telah disepakati sebelumnya oleh para ulama (al-Masail al-mujma’alaiha) sehingga dalam proses pengistimbatan hukum tidak terjadi
5
As-Syaeh Abdul Jalil al-Qaransyawi, al-Mujaz fi Ushul Fiqh, (Kairo universitas al-Azhar,1965 M) h.291. Lihat juga Abdul Fattah Husain as-Syaeh, op.cit. h.91.
kontradiksi dengan ijma yang telah ada. Oleh karena itu, apabila seorang mujtahid tidak mengetahui persoalan hukum yang telah disepakati, lalu berijtihad dalam masalah yang sama dan menghasilkan konklusi hukum yang kontradiksi dengan yang pertama maka ijtihad tersebut dianggap sebagai suatu hal yang tidak berarti.6 Inilah beberapa kualifikasi yang harus dipenuhi para mujtahid mutlak. Sehingga dengan demikian, dengan melihat kompleksnya masalah tersebut, para ulama menyimpulkan bahwa sekarang ini golongan mujtahid mutlak sudah tidak ada lagi. Syarat-syarat Mujtahid Non-Mutlak Seperti yang dijelaskan sebelumnya bahwa seorang mujtahid harus mengetahui semua bentuk masalah yang ada kaitannya dengan al-Qur’an, hadits atau ijma, di samping syarat yang disebutkan sebelumnya. Walau demikian, tidaklah menjadi suatu keharusan bagi mujtahid (non mutlak) untuk mengetahui semua fiqih. Alasannya adalah bahwa Imam Malik ketika ditanya mengenai empat puluh masalah, beliau hanya menjawab empat, selebihnya beliau mengatakan tidak tahu. Namun, pertanyaan ini dipandang tidak mempengaruhi eksistensi mujtahid itu sendiri.7 Hal ini dikarenakan pada dasarnya apa yang dikatakan oleh Imam Malik tersebut hanyalah cerminan dari rasa tawadu. Perspektif Para Ulama tentang Hasil Ijtihad Kolektif Secara sfesifik, ijtihad kolektif oleh para ulama dianggap sebagai hal yang wajar. Artinya, ijtihad kolektif bukan termasuk hal yang mustahil. Sebagai contoh, para ulama secara kolektif sepakat mengenai pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama kaum muslimin, demikian juga terhalangnya (mahjub) cucu laki-laki dalam masalah warisan oleh anak laki-laki. Kendati demikian, sebagian ulama seperti dari kelompok an-Nadzam dan beberapa ulama Syiah mengatakan bahwa ijma sebagai hasil ijtihad kolektif secara kondusif tidak mungkin terjadi. Alasannya, tidak adanya fasilitator yang dapat dipakai untuk mengetahui secara pasti apakah mujtahid itu benar-benar telah memenuhi kualifikasi yang ada atau tidak. Terlebih untuk menentukan siapa yang telah memenuhi kualifikasi mujtahid masih merupakan hal yang kompleks.8 Pendapat yang mengatakan bahwa ijma sebagai hasil ijtihad kolektif tidak mungkin tercapai seperti yang telah disinggung sebelumnya ternyata tidak hanya disampaikan ulama kelompok anNadzham atau sekelompok Syiah. Dari ulama Ahlussunnah sendiri juga ada yang berpandangan seperti ini, seperti dinukil oleh Ibnu Hazm dari Abdullah bin Muhammad bin Hambal. Beliau (Abdullah) mengatakan: ”Aku pernah mendengar ayahku berkata: Tidaklah seorang mengaku bahwa ini adalah ijma kecuali ia berdusta”.9 Satu pertanyaan yang kemudian muncul adalah benarkah Imam Ahmad bin Hambal mengingkari eksistensi ijma sebagi hasil ijtihad kolektif? Sebenarnya, bila kita mencoba menelusuri sejauh mana pandangan beliau tentang ijma, akan 6
Wahbah az-Zuhaily, op.cit., h 497. Lihat juga Syaeh Abdul Jalil al-Qaransyawi, op.cit., h.292. Syaeh Abdul Jalil al-Qaransyawi, op.cit. h.293. 8 Ibnu Hajib, Mukhtashar Ibnu al-Hajib, Jld III, (Kairo: al-Azhar), h.30. Lihat juga Ibnu Qudamah, Raudatu anNadhir, (Kairo-al-Azhar), h.67. Lihat juga Imam Syauqani, Irsyadul Fuhul, (Kairo: al-Azhar), h.73. Lihat juga Imam al-Amidi, al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam, Jld.I (Kairo: al-Azhar), h.103. 9 Abdul Fattah Husain Assyaeh, op.cit., h.126. 7
ditemukan satu indikasi bahwa beliau tidak menolak ijma. Sebagai bukti, Imam al-Baihaki meriwayatkan komentar Imam Ahmad tentang firman Allah:
Artinya: “Dan apabila dibacakan Al Quran, Maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat” (Qs.Al-A’raf: 204). Imam Ahmad bin Hambal antara lain mengatakan bahwa ayat tersebut telah disepakati oleh para ulama tentang kandungan hukumnya, yaitu kewajiban untuk diam ketika kita melaksanakan shalat ketika al-Qur’an dibaca.10 Pernyataan ini menunjukkan bahwa Imam Ahmad sendiri mengakui adanya ijma sebagai indikasi konkrit dari ijtihad kolektif. Dengan demikian, pernyataan Imam Ahmad yang menafikan adanya ijma sebagai hasil ijtihad kolektif harus dikaji ulang sehingga tidak terjadi kesalahan ketika dihadapkan pada masalah yang erat kaitannya dengan masalah ini. Lebih lanjut, beberapa ulama sudah mencoba untuk memberikan beberapa interpretasi mengenai pernyataan di atas: Pertama: Sebenarnya apa yang dikatakan Imam Ahmad tersebut ditujukan kepada para ulama Mu’tazilah yang mengklaim bahwa semua orang telah sepakat dengan teori-teori hukum yang mereka lontarkan, padahal tidak demikian adanya.11 Kedua: Apa yang dikatakan Imam Ahmad tersebut adalah sebagai bantahan terhadap para ulama yang menetapkan satu konklusi hukum dengan ijma hanya berdasrkan periwayatan sendiri tanpa diperkuat oleh dalil lain yang menunjukkan kebenaran tersebut.12 Ketiga: Maksud Imam Ahmad dari pernyataan tersebut adalah bantahan terhadap sebagian ulama yang hanya melihat pada persoalan semata sehingga ketika tidak menemukan pendapat yang berseberangan dengan pendapatnya dianggaplah masalah itu sebagai ijma, padahal kenyataannya tidak demikian.13 Keempat: Apa yang beliau katakan adalah penegasan tentang eksistensi ijma sukuti (suatu bentuk konvensi yang disampaikan secara tidak transparan). Artinya, satu persoalan yang ditetapkan tidak dengan berdasarkan kesepakatan para ulama secara umum tetapi dengan cara mayoritas, dimana yang yang lain tidak mengatakan setuju namun tidak pula sebaliknya. Dengan demikian, konvensi seperti ini secara hukum belum dapat dikatakan sebagai ijma, karena masih ada kemungkinan-kemungkinan bagi yang tidak berkomentar dan tidak setuju terhadap keputusan hukum yang ada.14 Dengan adanya interpretasi tersebut dapat disimpulkan bahwa Imam Ahmad secara implisit tidak mengingkari kemungkinan terjadinya ijma sebagai pembumian nilai integralistik agama
10 11 12 13 14
Ibid. h.127. Ibid. Ibid. Ibid. Ibid.
melalui ijtihad kolektif. Hal ini juga da melalui ijtihad kolektif. Hal ini juga dapat dilihat dari asas fatwa beliau seperti yang dijelaskan olel Imam Ibnu Qayyim al-Jauziah.15 Memang pada hakekatnya, terjadinya satu konvensi para ulama di masa lalu secara kondusif merupakan suatu hal yang sulit diterima, akibat tersebarnya banyak ulama di berbagai pelosok negeri. Terlebih untuk menampung mereka secara keseluruhan di suatu tempat bukan hal yang mudah karena fasilitas untuk itu, seperti transportasi atau telepon sehingga sangat susah untuk mengadakan rekonsiliasi antara satu dengan yang lain. Namun, barangkali untuk masa sekarang, kendala tersebut tidak lagi menjadi faktor penghalang bagi ulama untuk melakukan ijtihad kolektif. Indikasi konkretnya adalah bahwa di era modern ini fasilitas semakin canggih, termasuk transportasi, dimana seseorang leluasa untuk kemana saja tanpa kesulitan sedikit pun. Dengan majunya teknologi, orang dapat menyaksikan peristiwa secara langsung melalui media elektronik seperti televise dan sebagainya. Oleh sebab itu, adanya fasilitas yang beragam ini dapat dijadikan sebagai wacana oleh para ulama untuk melakukan ijtihad kolektif. Bahkan sekarang ini sudah menjadi fenomena umum dengan banyaknya lembaga Islam internasional yang secara spesifik bergerak di bidang dakwah yang dapat menampung semua ulama di seluruh dunia seperti Rabitatu al-Alam al-Islami yang berpusat di Saudi Arabia. Tata Cara Melakukan Ijtihad Kolektif Secara umum, ada tiga cara yang sering dipakai dalam ijtihad kolektif, sekalipun pada dasarnya pembagian ini bersifat fleksibel. Artinya, yang paling menentukan adalah situasi dimana seorang mujtahid berada. Adapun tiga cara dimaksud adalah sebagai berikut: Pertama: Setiap mujtahid mengetahui persoalan yang ada, lalu berijtihad sendiri-sendiri, kemudian dalam satu kondisi tertentu mereka mengangkat kembali persoalan tersebut dan masing-masing menyampaikan aspirasinya secara transparan. Bila di akhir masalah terjadi konvensi secara keseluruhan dengan satu konklusi hukum maka hasil tersebut dinamakan ijma. Jadi, perlu dibedakan antara tata cara melakukan ijtihad kolektif dengan hasil ijtihad kolektif itu sendiri. Apabila mereka yakni para ulama melakukan ijtihad kolektif, lalu terjadi perbedaan pandangan dalam istimbat hukum maka usaha tersebut tetap dianggap sebagai ijtihad kolektif namun hasilnya tidak dapat digolangkan sebagai ijma secara absolut. Oleh karena itu, sebagian ulama mengatakan bahwa apabila satu persoalan yang dikaji secara kolektif menghasilkan beberapa interpretasi, maka masalah itu disebut dengan “ikhtalafa ahlu al-Ashri ala kaulaini aw aktsar”. Artinya, para mujtahid dalam kurung waktu tertentu telah berbeda pendapat dalam satu masalah, namun dapat dipastikan berapa banyak pendapat tersebut. Katakanlah satu persoalan mempunyai dua konklusi hukum yang berbeda. Contohnya, masalah penyembelihan hewan yang dilakukan seorang muslim tanpa membaca bismillah. Di sini terjadi perbedaan pendapat di kalangan mujtahid. Sebagian ulama mengatakan bahwa sembelihan tersebut secara mutlak halal, baik ia tidak membaca bismillah karena lupa atau sengaja. Sementara itu, pendapat kedua mengatakan bahwa sembelihan itu secara mutlak haram. Nah, dalam kondisi seperti ini apa yang harus kita lakukan?
15
Abdul Fattah Husain Syaeh, Dirasat fi Ushul Fiqh, (Kairo: al-Azhar tt.), h.178.
Kalau kedua hasil ijtihad kolektif tadi belum dianggap sebagai satu ketetapan, artinya masih ada kemungkianan terjadi interpretasi baru setelah itu, maka hal tersebut tidak menjadi masalah. Yang menjadi problem adalah jika hasil ijtihad kolektif itu sudah menjadi sebuah ketetapan hukum, misalnya hanya ada dua persepsi, lalu ada yang mencoba mencari pendapat ketiga sebagai lini dari ketetapan yang sudah ada. Dalam masalah seperti ini hanya ada dua kemungkinan. Pertama, apabila persoalan tersebut sudah jelas, artinya tidak mungkin terjadi lagi perubahan kecuali dalam lingkup kedua hukum tadi, maka yang harus diperhatikan adalah bahwa mayoritas ulama tidak memperbolehkan adanya ijtihad kolektif lain, apabila hanya bertujuan untuk mencari gagasan baru, misalnya dengan mengatakan bahwa hukum sembelihan itu hukumnya haram apabila bacaan basmalah sengaja ditinggalkan, namun apabila ditinggalkan karena lupa maka tetap dianggap halal. Ada pula ulama yang kemudian lebih mempersempit masalah ini, seperti yang dilakukan oleh sebahagian ulama Hanafiah, yaitu dengan mengatakan bahwa ijtihad kolektif yang melahirkan dua bentuk interpretasi yang berbeda dan keduanya sudah ditetapkan akan menjadi satu penguat tidak dibolehkannya setelah itu untuk melakukan ijtihad kolektif dalam persoalan yang sama. Ketentuan itu berlaku, jika hasil ijtihad kolektif sebelumnya terjadi pada masa sahabat. Akan tetapi bila hasil ijtihad kolektif itu terjadi setelah masa sahabat, maka larangan untuk melakukan ijtihad kolektif setelahnya tidak berlaku. Artinya, ijtihad kolektif yang dilakukan setelah itu untuk mencari gagasan baru seperti dalam masalah penyembelihan hewan dengan satu interpretsai baru, yaitu halal bila dalam keadaan lupa dan haram bila disengaja, boleh-boleh saja. Pendapat seperti ini ditegaskan sendiri oleh Imam Abu Hanifah.16 Inilah salah satu contoh eksistensi ijtihad kolektif yang menghasilkan lebih dari dua interpretasi. Kedua: Ijtihad kolektif dapat dilakukan dengan cara semua ulama melakukan ijtihad sendirisendiri dalam masalah yang ada lalu ada yang memutuskan perkara itu melalui fatwa sementara yang lainnya memutuskan dengan cara hukum Qada atau peradilan. Sebagai catatan, dalam kondisi seperti ini para mujtahid tidak mesti berkumpul setelah itu di suatu tempat lalu bersamasama memutuskan masalah yang ada. Akan tetapi, yang penting dapat dipastikan bahwa pendapat masing-masing ulama tersebut menghasilkan satu kesimpulan hukum atau lebih. Barangkali, cara inilah yang dipakai oleh para ulama/mujtahid di masa lalu setelah melihat keterbatasan kondisi yang tidak memungkinkan mereka untuk bertemu atau berkumpul di satu tempat disebabkan kurang fasilitas transportasi dan sebagainya. Sebagai contoh adalah periode hidupnya para ulama empat mazhab. Dengan cara ini, yang penting menjadi catatan adalah jelasnya persoalan yang ada serta adanya pengetahuan tentang semua hasil ijtihad ulama sebelumnya. Setelah mengetahui hal yang dimaksud, masing-masing mereka kemudian melakukan ijtihad, sekalipun dalam kondisi dan tempat domisili yang berbeda-beda dimana sebahagian tinggal di Mesir, sebahagian di Irak, sebahagian di Makkah, dan sebagainya. Akan tetapi, hasil ijtihad mereka tetap dianggap sebagai ijtihad kolektif karena seperti yang dijelaskan sebelumnya, dalam masalah ini harus dibedakan antara bentuk ijtihad kolektif dengan hasil ijtihad itu sendiri. Jika melahirkan satu konklusi hukum maka konvensi itu dinamakan ijma dimana eksistensi hukumnya bersifat konstan sehingga tidak dapat digangu gugat. Akan tetapi, 16
Ibid.h.179.
bila terjadi perselisihan pendapat maka eksistensi persoalan tersebut serta dalam tata cara penyelesaiannya ditempuh mekanisme seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Eksistensi Hasil Ijtihad Kolektif Sebelum menjelaskan lebih jauh mengenai kekuatan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad kolektif, ada baiknya dijelaskan terlebih dahulu pembagian hasil ijtihad kolektif itu sendiri. Secara umum, hasil ijtihad kolektif dapat diklasifikasikan menjadi tiga: Pertama: Hasil ijtihad kolektif yang bersifat menyeluruh. Artinya, secara transparan para mujtahid pada masa tertentu telah melahirkan satu konvensi mengenai satu persoalan hukum yang ada dimana mereka berada dalam satu majelis. Hasil ijtihad seperti ini disebut al-ijma ‘alqauli as-sharih atau kesepakatan umum secara transparan. Di samping dengan cara tadi, bentuk pertama ini bisa juga terjadi dengan cara seorang mujtahid menjelaskan satu perkara hukum demikian juga yang lainnya melakukan hal yang sama, apakah dengan melalui fatwa atau dalam bentuk keputusan di suatu mahkamah (lembaga pengadilan). Apabila dalam hal ini semua mujtahid sepakat dalam menghasilkan satu konklusi hukum, maka hal tersebut juga dinamakan al-ijma al-qauli as-sharih sekalipun tidak ditetapkan dalam satu majelis tertentu. Sebagai contoh, para sahabat nabi sepakat dengan pengangkatan Abu Bakar sebagai khalifah pertama dengan cara membaiat beliau, sementara yang lain menyetujuinya secara lisan. Kedua: hasil ijtihad kolektif yang sifatnya tidak menyeluruh. Artinya, ketika terjadi satu masalah, beberapa mujtahid mencoba mengkajinya sehingga mereka pada akhirnya sepakat dengan satu konklusi hukum walaupun cara penyampaiannya tidak satu dimana sebagian melalui fatwa sementara yang lainnya dengan cara memutuskan masalah itu lewat qadha (putusan peradilan). Akan tetapi, kesepakatan tersebut tidak terjadi dari para ulama secara keseluruhan, karena ternyata masih ada yang sama sekali tidak memberikan komentar sehingga sulit dipastikan apakah mereka setuju atau tidak padahal secara kondusif mereka mempunyai waktu yang cukup untuk ikut menentukan hasil hukum masalah itu. Hasil ijtihad kolektif seperti ini disebut dengan al-ijma as-sukuti atau al-ijma al-qaul ghair sharih (satu bentuk konvensi yang tidak transparan). Ketiga: Hasil ijtihad kolektif dalam bentuk amaliah yang biasa disebut al-ijma al-Amali. Artinya, semua mujtahid di satu masa tertentu sepakat untuk mengaplikasikan satu hukum. Misalnya, apa yang diriwayatkan oleh Ubaidah as-Salmany bahwa sahabat Rasulullah Saw. pernah sepakat untuk melakukan shalat sunnat empat rakaat sebelum Zuhur.17 Dari tiga pembagian tadi, dapat disimpulkan bahwa kekuatan hukum yang dihasilkan oleh ijtihad kolektif tidak terlepas dari dua kategori: Pertama: Apabila ijtihad kolektif itu terjadi secara keseluruhan dari para mujtahid yang ada di seluruh dunia dan mereka sepakat dalam satu bentuk konklusi hukum, maka hasil ijtihad tersebut hukumnya Qath’I (mutlak). Artinya, hukum tersebut wajib diaplikasikan dalam bentuk konkrit dan tidak bisa diabaikan, atau dengan kata lain hukum tersebut wajib diikuti dan sama 17
Abdul Fattah Husain as-Syaeh, Buhutsun fi Usul al-Fiqh, op.cit.,h 181
sekali tidak diperbolehkan bagi siapa saja setelah itu untuk mempersoalkannya kembali atau ingin melahirkan suatu gagasan baru dalam persoalan yang sama dengan melakukan ijtihad.18 Dari penegasan ini dapat dipahami bahwa hasil ijtihad kolektif secara transparan dianggap sebagai ijma yang tidak dapat diganggu gugat. Kendati demikian, ijma itu sendiri tidak tercapai kecuali dengan empat syarat: 1. Adanya beberapa mujtahid ketika terjadi suatu masalah. Hal ini dikarenakan kesepakatan itu sendiri tidak akan terjadi kecuali dengan keberadaan beberapa orang dimana interpretasi mereka bersatu. Dengan demikian, bila di suatu masa tidak ada seorang mujtahid pun, atau ada namun hanya sendiri, maka hasil ijtihad personalnya itu tidak dianggap sebagai ijma. Kondisi seperti ini mirip dengan yang ada pada masa Rasulullah Saw. Dimana beliau dijadikan sebagai satu-satunya rujukan dalam setiap persoalan yang terjadi. 2. Semua mujtahid yang ada pada waktu itu sepakat dengan hukum tersebut tanpa terbatas asalusul atau golongannya. Dengan demikin, bila terjadi satu kesepakatan namun hanya sebatas mujtahid yang berdomisili di Mesir atau Irak misalnya, maka ia dianggap sebagai ijma. Penyebabnya, seperti yang telah dijelaskan, bahwa ijma harus terjadi berdasarkan kesepakatan semua mujtahid yang ada di seluruh dunia pada saat terjadinya masalah tersebut. 3. Semua mujtahid transparan terhadap masalah yang ada. Misalnya, dengan mengeluarkan fatwa, sementara yang lain dengan cara memutuskan perkara (Qadha) dengan menghasilkan keputusan yang sama. Atau bisa juga semuanya berkumpul di satu tempat lalu secara terbuka sepakat terhadap permasalahan dimaksud. 4. Kesepakatan itu harus betul-betul terjadi dari semua mujtahid yang ada. Dengan begitu, apabila kesepakatan itu bersifat suara mayoritas, maka hal itu belum dianggap ijma karena masih ada kemungkinan terjadinya kebenaran di satu sisi sementara di sisi lain mengalami kesalahan sehingga kesepakatan tersebut tidak dapat dianggap sebagai konklusi hukum yang absolut.19 Kesimpulannya, apabila keempat unsur di atas tercapai dalam satu masalah maka hasilnya dapat dianggap sebagai bagian dari hukum yang konstan serta mempunyai nilai yang sakral sehingga tidak bisa diganggu gugat. Lebih lanjut, para mujtahid yang hidup pada masa berikutnya tidak memiliki otoritas untuk menyalahi hukum tersebut dengan cara berijtihad kembali karena ia sudah merupakan satu bentuk ketetapan hukum yang eksistensinya tidak dapat diganggu gugat atau dihapus. Kedua: Bila hasil ijtihad kolektif itu tercapai secara tidak menyeluruh dari para mujtahid, maka hasilnya digolongkan sebagai ijtihad non-Qath’i. Artinya, masalah tersebut masih dapat dipersoalkan atau dikaji ulang dengan melakukan ijtihad baru karena status konklusinya yang masih dianggap zhanni.20 Contoh kongkritnya, ketika para ulama di Indonesia melakukan ijtihad kolektif lalu melahirkan satu kesepakatan tertentu dalam satu masalah, maka apa yang dihasilkan 18
Abdul Fattah Husain as-Syaeh, Dirasat fi Ushul Fiqh, op.cit. h 179. Wahbah Zuhail, op.cit. h.505. 20 Adadu al- Millah Waddin, Syarh ‘Ala Mukhtashar al-Muntaha li Ibnil Hajib, Jld. II (Kairo: al-Matba’ah Amiriyah, tt.), h.35. Lihat juga at-Talmasani al-Maliki, Miftah al-Wushul Ila Bina’al-Furu’ Ala al-Ushul, (Tunis: alMatba’ah al-Ahliyah, 1346 H), h.120 19
itu bisa saja diaplikasikan dalam bentuk pengamalan secara nyata namun hal itu belum dapat dianggap sebagai konvensi seluruh mujtahid karena hanya melibatkan sebagian ulama saja dan tidak mencakup para mujtahid yang ada di belahan dunia lain. Kendati demikian, tidak menutup kemungkinan konklusi hukum tersebut menjadi absolut dan tidak dapat diganggu gugat bila masalah itu diangkat kembali oleh lembaga ulama internasional, Rabitatu al-Alam al-Islami, dengan mengumpulkan semua ulama mujtahid yang ada di seluruh dunia untuk akhirnya melahirkan satu konvensi. Tapi perlu diingat bahwa harus benar-benar diyakini bahwa persoalan tersebut merupakan hasil ijtihad kolektif dari semua mujtahid yang ada dan kejadian seperti ini tidak mustahil tercapai dengan melihat fasilitas yang ada sekarang ini. Contoh lain dari hasil ijtihad kolektif yang sifatnya tidak mutlak adalah seperti yang dilakukan oleh para ulama dulu yang ada di Madinah dengan sebutan ijma ‘ahlil Madinah. Imam Malik mengatakan: ٌع أَ ْھ ِﻞ ْاﻟ َﻤ ِﺪ ْﯾﻨَ ِﺔ ُﺣ ﱠﺠﺔ ُ إِﺟْ َﻤﺎ “Konvensi para ulama Madinah adalah hujjah”. Harus diingat bahwa kehujjahannya hanya bisa diterima apabila kesepakatan tersebut terjadi di kalangan para ulama sahabat atau tabiin, seperti yang dijelaskan Ibnu Hajib.21 Lebih lanjut, ada beberapa interpretasi mengenai makna “hujjah” yang dikatakan Imam Malik itu. Pertama, ada yang mengatakan bahwa hujjah yang dimaksud di sini adalah bahwa riwayat para ulama Madinah lebih diprioritaskan atau lebih kuat daripada yang lain karena para ulama Madinah lebih paham mengenai keadaan Rasulullah. Kedua, bahwa ijma para ulama Madinah hanya dalam persoalan yang sudah masyhur, misalnya masalah adzan atau iqamat.22 Adapun hasil ijtihad kolektif dari bentuk ketiga seperti yang dilakukan oleh para sahabat mengenai empat rakaat sebelum zuhur, sebagaimana yang telah disinggung, hukumnya tidak mutlak. Artinya, boleh saja dan tidak wajib, karena pada dasarnya sudah menjadi kesepakatan sebelumnya bahwa masalah itu hukumnya hanya sunnat. Hubungan Antara Ijtihad Kolektif Dengan Ijtihad Personal (Fardiy) Sebenarnya perbedaan antara ijtihad kolektif dengan ijtihad personal tidak terlalu kontras. Di satu sisi, ijtihad fardiy dalam aplikasinya juga termasuk bagian dari ijtihad kolektif. Contohnya, ketika satu masalah terjadi, lalu masing-masing mujtahid menyampaikan pendapatnya dalam bentuk fatwa dan yang lainnya juga melakukan hal yang sama. Dalam kondisi seperti ini dapat dianggap terjadi ijtihad kolektif karena secara serentak para ulama yang ada mencoba untuk melihat persoalan itu. Di samping itu, juga telah dijelaskan bahwa ijtihad kolektif tidak mesti dengan cara berkumpul di satu tempat lalu masing-masing menyatakan pendapatnya tetapi bisa saja terjadi dengan cara berjauhan. Yang penting mereka secara bersamaan mengkaji persoalan tersebut dalam bentuk ijtihad. Adapun hasil dari penelitian tersebut tergantung pada kesepakatan yang ada. Apabila semua mujtahid sepakat maka hasilnya 21 22
Ibid .h,35. Ibid.
dapat dianggap sebagai konklusi hukum yang konstan. Namun jika hukumnya beragam, maka sifatnya tidak dapat digolongkan absolut. Artinya, kita sebagai masyarakat biasa dapat saja mengambil salah satu pendapat yang ada. Hal seperti ini banyak terjadi dalam bentuk fatwa dimana seorang mufti mengeluarkan satu konklusi hukum dalam masalah tertentu, apakah persoalan itu memang baru atau sama sekali belum pernah terjadi sebelumnya namun terlalu banyak pendapat sehingga ia melakukan tarjih (proses pemilihan antara beberapa pendapat yang berbeda). Hal ini dikarenakan pada dasarnya ulama mengatakan bahwa hasil ijtihad-ijtihad fardi semata-mata tidak wajib hukumnya untuk diambil oleh orang lain kecuali dalam satu kondisi saja, yaitu pada saat tidak ada seorang pun yang mampu mengeluarkan fatwa kecuali ia sendiri. Dalam kondisi seperti ini, para ulama mengatakan bahwa hasil ijtihad fardi tadi wajib diikuti oleh semua. Jadi, hubungan antara ijtihad kolektif dengan ijtihad fardi sangat kuat dengan melihat fenomena yang sering terjadi, dimana masalah-masalah yang ada kadang dimulai dengan ijtihad fardi namun pada akhirnya menjadi salah satu bentuk dari ijtihad kolektif. Sebenarnya, perbedaan antara kedua bentuk ijtihad ini hanya satu, yaitu, ketika satu konklusi hukum yang ditetapkan dengan cara ijtihad kolektif statusnya lebih kuat bahkan tidak menutup kemungkinan menjadi bagian dari hukum ijma yang absolut yang tidak dapat diganggu gugat. Sementara konklusi hukum yang ditetapkan berdasarkan ijtihad fardi seperti fatwa seorang mufti, status hukumnya tidak menjadi suatu kewajiban bagi kita selama masih ada interpretasi lain yang berbeda dengan pendapat yang pertama. Inilah yang disebut oleh para ulama dengan istilah: ﻻَ ﯾَ ِﺠﺐُ اِﺟْ ﺘِﮭَﺎ ُد ْاﻟ ُﻤﺠْ ﺘَ ِﮭ ِﺪ َﻋﻠَﻰ ُﻣﺠْ ﺘَ ِﮭ ٍﺪ آﺧَ َﺮ “Hasil ijtihad seorang mujtahid tidak menjadi keharusan bagi mujtahid yang lain”. Urgensi Ijtihad Kolektif di Zaman Modern Harus diakui bahwa persoalan yang dihadapi oleh umat Islam dewasa ini semakin kompleks. Salah satu di antarannya yang harus mendapatkan perhatian serius adalah masalahmasalah kontemporer yang belum banyak disentuh oleh para ulama dulu. Oleh karena itu, untuk menyikapi masalah itu perlu ada kesamaan dalam berpikir sehingga hasilnya pun mudah dicerna oleh masyarakat biasa. Dengan demikian, ijtihad kolektif dalam menyikapi permasalahan yang ada tidak dapat dinafikan dalam kehidupan kita di masa sekarang. Cuma yang menjadi kendala adalah bagaimana cara yang efektif untuk itu. Apakah harus dengan cara melalui lembaga tertentu ataukah cukup dengan mengangkat masalah yang ada di depan para ulama, kemudian dari sekian pendapat itu, disatukan sebagai hasil ijtihad kolektif atau semacam fatwa jamai, kemudian ditangani oleh sebuah lembaga tertentu yang secara khusus bertugas untuk mensosialisasikan kepada masyarakat secara umum. Di samping itu, untuk menciptakan kesatuan berpikir perlu ada koordinasi antara lembaga-lembaga Islam yang ada sekarang ini. Itu tidak lain kecuali untuk menyatukan persepsi yang sering kali berseberangan antara satu ulama dengan yang lainnya. Fenomena ini pun sudah menjadi satu insting kebanyakan ulama sekarang. Maka dari itu, hal ini sangat penting karena banyak faktor yang dapat mempengaruhi seseorang untuk tampil beda. Dan tidak dapat dihindari kecuali dengan membentuk satu lembaga yang dapat
menampung semua elemen yang ada, sehingga hasil dari setiap kajian permasalahan nantinya akan sangat signifikan. Barangkali inilah yang dilakukan oleh organisasi Islam yang ada sekarang, seperti Rabitah al-Alam al-Islami sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Di samping itu, hukum yang dihasilkan dengan ijtihad kolektif para ulama setidaknya akan mengeluarkan masyarakat dari keterkungkungan hidup secara umum. Artinya, masyarakat tidak akan kebingungan lagi untuk menentukan sikap terhadap permasalahan yang ada. Berbeda dengan masalah yang diselesaikan secara personal, akan mengakibatkan beragamnya pendapat dalam satu masalah sehingga sangat berpengaruh pada masyarakat kita secara umum, karena tidak dapat menentukan pilihan yang sebenarnya. Posisi Lembaga Islam dalam Ijtihad Kolektif Muhammadiyah dan NU merupakan dua lembaga Islam terbesar di Indonesia yang secara spesifik bergerak di bidang dakwah. Dengan begitu, peran positifnya dalam kemajuan masyarakat tidak dapat dinafikan. Di samping itu, beragamnya masalah yang sering muncul di masyarakat menuntut kedua lembaga ini untuk melakukan rekontruksi pemikiran secara khusus atau dengan kata lain meluruskan paham-paham yang kurang konstruktif di kalangan masyarakat. Dari sinilah muncul satu tuntutan akan pentingnya bagi Muhamadiyah dan NU melakukan ijtihad kolektif dalam setiap permasalahan sebagai salah satu bentuk implementasi dari rasa tanggung jawab terhadap keberlangsungan dakwah Islam di Indonesia. Oleh karena itu, dalam melakukan upaya penyelesaian terhadap berbagai persoalan yang ada sebaiknya didasari oleh satu bentuk kerjasama yang baik, sebab bagaimana pun juga harus diakui bahwa kebersamaan adalah merupakan salah satu kunci kekuatan Islam. Bukankah Allah Swt. sendiri telah menegaskan hal tersebut dalam al-Qur’an:
Artinya: “Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan janganlah kamu berbantah-bantahan yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah, sesunguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar”. (Qs. Al-Anfal: 46). Upaya memilihara persatuan ini perlu terus dibina untuk menghindari terjadinya benturan pemikiran diantara kelompok-kelompok umat Islam yang cukup beragam. Dengan demikian, setiap masalah dapat diselesaikan dengan baik dan kekuatan umat Islam di negeri ini dapat terlihat dengan jelas. Semua itu hanya bisa tercipta dengan penyatuan pemikiran secara khusus oleh para ulama tanpa harus melihat identitas lembaga yang diwakilinya. III. Kesimpulan Ijtihad kolektif merupakan salah satu bentuk upaya pembumian nilai-nilai integralitas agama. Oleh karena itu, ia merupakan suatu keharusan di zaman ini untuk dijadikan acuan dalam setiap interaksi pemikiran dalam menyikapi semua problematika yang dihadapi umat Islam dewasa ini. Tantangan yang dihadapi oleh dunia Islam secara umum menuntut adanya kesatuan
langka sehingga apapun hasil dari pemikiran tentang keislaman akan tetap dinilai sebagai suatu hal yang sakral oleh setiap elemen masyarakat selama hal tersebut diselesaikan secar kolektif oleh para ulama. Di samping itu, secara khusus ijtihad kolektif merupakan tawaran bagi para ulama yang ada di Indonesia dalam rangka menghadapi setiap permasalahan yang semakin hari semakin kompleks. Namun demikian, untuk lebih signifikannya wacana ini, perlu ada lembaga khusus yang bergerak menampung semua elemen masyarakat atau ulama sehingga dengan itu setiap persoalan yang ada nantinya benar-benar dapat disikapi secara kolektif. Wallahu a’lam.
DAFTAR PUSTAKA al-Amidi, Imam. al-Ihkam fi Ushul al-Ahkam. (Kairo : al-Azhar, t.th.) al-Gazali, Abu Hamid. Al-Musthafa min ‘Ilmi al-Ushul. (Kairo: Matba’ah Musthafa Muhammad,1356 H). al-Maliki at-Talmasani. Miftah al-Wushul Ila Bina ‘al-Furu’ ‘Ala al-Ushul. (Tunis: al-Matba’ah al-Ahliyah, 1346 H). al-Millah Waddin, Adadu. Syarh ‘Ala Muktashar al-Muntaha Li Ibni Hajib, (Kairo: al-Matba’ah Amiriyah, t.th.) al-Qaransyawi, As-Syaeh Abdul Jalil. al-Mujaz fi Ushul Fiqh. (Kairo: Universitas al-Azhar,1965 M.) Hajib, Ibnu. Mukhtashar Ibni al-Hajib. (Kairo: al-Azhar, t.th.) Qudamah, Ibnu. Raudatu an-Nadhir. (Kairo: al-Azhar,t.th.) Syaeh, Abdul Fattah Husain. Buhutsun fi Usul al-Fiqh. (Kairo: Dar-al-Ittihad al-Arabi li atThiba’ah, 1986.). Dirasat fi Ushul Fiqh. (Kairo: al-Azhar t.th.) Syauqani, Imam. Irsyadul Fuhul. (Kairo:al-Azhar,t.th.) Zuhaily, Wahbah. Ushul al-Fiqh al-Islami. (Bairut: Dar-al-Fikri Bairut, 1986).