III.. HASIL DAN D PEM MBAHASA AN
3 3.1.
Hasiil Ekstraksi Tanaman Renddemen padaa setiap tanaaman uji yaang diekstraak dengan etanol e 95%
d disajikan paada Gambarr 4. Rendemen meruppakan perbaandingan anntara bobot e ekstrak yangg dihasilkan dengan bobot awal yangg digunakann dan dinyataakan dalam p persen (Harrborne 20066).
Berdasaarkan hasil penelitian yang telah dilakukan,
r rendemen tiaap bahan ujii cukup beraggam (Lampiiran 8), hal inni diduga kaarena setiap t tanaman meemiliki komp posisi bahan aktif yang berbeda b yangg dapat terlaarut dengan p pelarut yangg tepat. Farrrel (1990) menyatakann bahwa daalam prosess ekstraksi, k komposisi, w warna, arom ma dan renddemen yang dihasilkan akan a dipeng garuhi oleh j jenis, ukuraan dan tingkkat kematanngan bahan baku, jeniss pelarut, suuhu, waktu
Rendemen Ekstrak (%)
e ekstraksi dann metode ekkstraksi. 18 8 16 6 14 4 12 2 10 0 8 6 4 2 0
Tanaman n uji
G Gambar 4. Reendemen darri masing-m masing ekstraaksi etanol taanaman.
Gam mbar 4 menu unjukkan juumlah rendeemen ekstraak tiap tanaaman yang d diekstraksi dengan d etannol 95%. Ketapang (T. catappa) c (155,20%), jam mbu monyet ( occidenttale) (16,200%), cebrengg (G. sepium) (12,40% (A. %), petai (P.. speciosa) ( (10,03%), kiimanila (C. alata) a (9,10% %) memilikii nilai rendem men yang reelatif tinggi a apabila dibaandingkan deengan rendem men ekstrakk tanaman laainnya. Nilaii rendemen
11
tanaman yang relatif rendah di antaranya adalah kunyit putih (C. zedoaria) (1,40%), babandotan (A. conyzoides) (2,06%), dan sirih (P. betle) (2,60%). Metode ekstraksi yang dipergunakan pada penelitian ini adalah dengan cara maserasi atau perendaman. Menurut Harborne (2006), maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut organik yang dilakukan pada temperatur ruang. Proses ini menguntungkan untuk isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman akan terjadi pemecahan dinding sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel, sehingga senyawa metabolit sekunder di dalam sitoplasma akan larut dalam pelarut organik melalui proses difusi. Pelarut etanol 95% (Pro Analis) dan akuabides digunakan sebagai bahan pelarutnya dengan perbandingan 1:10 (w/v). Suliantari (2009), memaparkan bahwa penggunaan etanol sebagai pelarut adalah dengan alasan etanol merupakan pelarut yang relatif aman digunakan dalam bahan pangan. Meskipun menurut beberapa penelitian pelarut yang sangat efektif untuk mengekstraksi komponen aktif dari bahan alam adalah metanol, tetapi metanol merupakan senyawa toksik apabila terhisap maupun terserap pada permukaan kulit. Oleh sebab itu metanol tidak diizinkan digunakan dalam bahan pangan. Cowley (1973) dalam Fadhilla (2010), melaporkan bahwa perbandingan bahan dan pelarut dapat mempengaruhi hasil ekstraksi, dan pebandingan yang baik antara bahan dan pelarut adalah 1:10, di mana konsentrasi pelarut akan mempengaruhi ekstrak. Sampel tanaman yang akan diekstraksi dibuat dalam bentuk serbuk kering. Hal ini bertujuan untuk memaksimumkan luas permukaan bahan dan menyeragamkan ukuran partikel agar mempermudah kontak antara bahan dengan pelarutnya, sehingga ekstraksi dapat berlangsung dengan baik (Harborne 2006).
3.2
Penyediaan Bakteri Setelah dilakukan uji pewarnaan Gram dan uji biokimia menunjukkan
bahwa kedua bakteri yang digunakan adalah bakteri A. hydrophila (A) dan S. agalactiae (B). Nielsen et al. (2001), yang melaporkan bahwa A. hydrophila merupakan bakteri Gram negatif, motilitas (+), oksidase (+), katalase (+), indol (+), fermentatif, hemolisis (+). Dan Evans et al. (2002), memaparkan bahwa S. agalactiae merupakan bakteri Gram positif, motilitas (-), fermentatif, katalase
12
(-), oksidase (-), D-mannitol (-), hemolisis (-), bile salt 40% (+), pertumbuhan di NaCl 6,5% (+), aesculin hydrolysis (-), dan berbentuk kokus. Hasil pengujian disajikan pada Tabel 2 di bawah ini:
Tabel 2. Hasil identifikasi bakteri. Isolat
Morfologi Koloni
Uji Biokimia
Warna
Elevasi
Tepian
Gram
Motilitas
O/F
katalase
oksidase
gelatinase
A
Krem
cembung
halus
-
+
F
+
+
+
B
Putih
cembung
halus
+
-
F
-
-
+
3.3
Pengujian Sensitivitas Antibakteri Tanaman Tahapan awal untuk mengetahui ada atau tidaknya aktivitas senyawa
antibakteri dari tanaman, dilakukan uji kualitatif dengan metode kertas cakram Kirby Bauer. Hasil maserasi tanaman dengan pelarut etanol 95% dan ddH2O diujikan terhadap bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. 30
Zona Hambat (mm)
25 20 15 S. agalactiae
10
A. hydrophila
5
Kontrol pelarut (etanol 95%)
A. occidentale
Chlorampenicol
T. catappa
P. niruri
A. comzoides
E. elatior
P. scutellaroides
C. esculenta
T. diversifolia
P. speciosa
L. leucocephala
C. alata
E. inulaefolium
P. betle
G. sepium
C. xanthorriza
C. zedoaria
C. domestica
A. sativum
0
Tanaman Uji
Gambar 5. Aktivitas antimikroba berbagai tanaman uji hasil ekstraksi dengan etanol 95% pada konsentrasi 100 mg/mL terhadap bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae.
13
Gambar 5 menunjukan bahwa pada konsentrasi 100 mg/mL atau 2000 µg/kertas cakram hasil ekstraksi etanol 95%, diameter hambat pada masingmasing ekstrak tanaman berbeda-beda terhadap bakteri uji. Dari 18 tanaman pada pengujian kualitatif ini, 15 tanaman (83,0%) terdapat zona hambat pada bakteri S. agalactiae dan 4 tanaman (22,2%) pada bakteri A. hydrophila. Ekstrak tanaman yang menunjukkan zona hambat baik pada A. hydrophila dan S. agalactiae adalah tanaman sirih (P. betle), kimanila (C. alata), jawer kotok (P. scutellaroides), dan jambu monyet (A. occidentale). Nilai zona hambat keempat ekstrak tanaman tersebut pada S. agalactiae lebih besar daripada A. hydrophila. Tanaman sirih (P. betle) menunjukan nilai zona hambat tertinggi dibandingkan ekstrak tanaman lainnya baik pada bakteri S. agalactiae yaitu sebesar 18,9±0,09 mm ataupun pada bakteri A. hydrophila yaitu sebesar 8,28±0,141 mm.
30 Zona hambat (mm)
25 20 S. agalactiae
15
A. hydrophila
10 5 Chlorampenicol
Kontrol pelarut (Akuabides)
A. accidentale
P. niruri
T. catappa
A. comzoides
P. scutellaroides
E. elatior
C. esculenta
T. diversifolia
L. leucocephala
C. alata
P. speciosa
P. betle
E. inulaefolium
G. sepium
C. zedoaria
C. xanthorriza
A. sativum
C. domestica
0
Tanaman uji
Gambar 6. Aktivitas antimikroba berbagai tanaman uji hasil ekstraksi dengan ddH2O pada konsentrasi 100 mg/mL terhadap bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae. Gambar 6 di atas memperlihatkan bahwa untuk tanaman dengan konsentrasi 100 mg/mL yang diekstrak dengan pelarut ddH2O terdapat 5 macam tanaman (27,7%) yang terdapat zona hambat pada S. agalactiae yaitu bawang putih (A. sativum), sirih (P. betle), kirinyuh (E. inulaefolium), kimanila (C. alata),
14
kipahit
(T. diversifolia). Tanaman sirih (P. betle) dan kimanila (C. alata),
konsisten terdapat zona hambat baik pada tanaman yang diekstrak dengan etanol 95% ataupun ddH2O pada bakteri S. agalactiae. Zona hambat untuk kloramfenikol pada bakteri S. agalatiae adalah sebesar 28±0,172 mm, sedangkan zona hambat untuk bakteri A. hydrophila adalah sebesar 18,05±0,08 mm. Kontrol pelarut pada kedua jenis pelarut tersebut tidak menunjukkan zona hambat. Corner dan Beuchat (1984) dalam Elgayyar et al. (2000), memaparkan perbedaan kemampuan aktivitas penghambatan ekstrak dari tanaman terhadap bakteri uji ke dalam kategori menghambat kuat apabila zona penghambatan >11 mm, sedang (>6 - <11 mm) dan penghambatan rendah apabila kurang dari 6 mm. Berdasarkan hasil pada Gambar 5 di atas dapat dikatakan bahwa daya hambat untuk ekstrak etanol 95% terhadap bakteri S. agalactiae, yang termasuk ke dalam kategori sedang adalah bawang putih (A. sativum) (6,6±0,05 mm), kunyit
(C.
domestica)
(6,9±0,01
mm),
petai
cina
(L.
leucocephala)
(9,8±0,05 mm), combrang (E. elatior) (6,4±0,03 mm), babandotan (A. conyzoides) (7,7±0,04 mm), ketapang (T. catappa) (7,8±0,01 mm), jambu monyet (A. occidentale) (9,0±0,01 mm), kimanila (C. alata) (10,4±0,3 mm), sedangkan yang termasuk ke dalam kategori kuat adalah kunyit putih (C. zedoaria) (15,4±0,09 mm), temulawak (C. xanthorriza) (13,7±0,05 mm), sirih (P. betle) (18,9±0,09 (T.
mm),
diversifolia)
kirinyuh (16,9±0,05
(E.
inulaefolium)
mm),
jawer
(12,4±0,1 kotok
(P.
mm),
kipahit
scutellaroides)
(13,9±0,05 mm), meniran (P. niruri) (13,5±0,95 mm). Untuk ekstrak etanol 95% terhadap bakteri A. hydrophila, sebanyak 4 macam ekstrak tanaman yang menghasilkan zona hambat termasuk ke dalam kategori sedang, yaitu sirih (P. betle) (8,28±0,141 mm), kimanila (C. alata) (6,74±0,017 mm), jawer kotok (P. scutellaroides) (6,32±0,033 mm), jambu monyet (A. occidentale) (6,72±0,021 mm). Sedangkan untuk Gambar 6 aktivitas antimikroba berbagai tanaman uji hasil ekstraksi dengan ddH2O pada konsentrasi 100 mg/mL untuk S. agalactiae semuanya termasuk ke dalam kategori sedang yaitu
bawang putih (A. sativum) (6,13±0,005 mm), sirih (P. betle)
(6,71±0,041 mm), kirinyuh (E. inulaefolium) (6,43±0,043 mm), kimanila (C. alata) (6,9±0,012 mm), kipahit (T. diversifolia) (6,9±0,012 mm).
15
Ekstrak etanol 95% dibandingkan dengan ddH2O berdasarkan data di atas memberikan hasil aktivitas antibakteri yang relatif tinggi, hal ini diduga karena adanya perbedaan jumlah bahan aktif pada masing-masing ekstrak. Ekstrak etanol konsentrasinya merupakan hasil dari perbandingan rendemen ekstrak kasar hasil evaporasi dengan pelarut. Sedangkan untuk ekstrak ddH2O, seperti pada umumnya konsentrasinya berasal dari perbandingan serbuk ekstrak dengan pelarut. Selain itu juga diduga karena ekstrak dari maserasi etanol memiliki lebih banyak komponen bioaktif yang terambil daripada ekstrak ddH2O. Etanol memiliki nilai kepolaran lebih rendah dibandingkan dengan ddH2O, dalam hal ini diduga etanol lebih efektif untuk melarutkan bahan aktif pada tanaman uji. Bahan dan senyawa kimia akan mudah larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya. Sehingga pemilihan pelarut yang efektif akan melarutkan bahan aktif dengan hasil yang maksimal. Berdasarkan Khopkar (2003), prinsip pelarutan yang dipakai pada metode ini adalah like dissolves like artinya pelarut polar akan melarutkan senyawa polar dan pelarut non polar akan melarutkan senyawa non polar. Di bawah ini merupakan tabel jenis pelarut untuk ekstraksi komponen bioaktif:
Tabel 3. Jenis-jenis pelarut untuk ekstraksi komponen bioaktif. Air
Etanol
Metanol
Antosianin Pati Tanin Saponin Terpenoid Polipeptida Lectin
Tanin Polifenol Poliasetilen Flavonol Terpenoid Sterol Alkaloid Propolis
Antosianin Terpenoid Saponin Tanin Xantosillin Totarol Quassinoid Lakton Flavon Phenone Polifenol
Kloroform Dikloro Eter Aseton Metanol Terpenoid Terpenoid Alkaloid Flavonol Flavonoid Terpenoid Coumarin Asam Lemak
Keterangan : *Sumber : Cowan (1999) Tingkat
kepolaran
mempengaruhi
penghambatan
terhadap
sel.
Berdasarkan Kanazawa et al. (1995), suatu senyawa yang memiliki polaritas optimum akan mempunyai aktivitas antimikroba maksimum, karena untuk interaksi suatu senyawa antibakteri dengan bakteri diperlukan keseimbangan
16
hidrofilik-lipofilik (HLB: hydrophilic lipophilic balance). Polaritas senyawa merupakan sifat fisik senyawa antimikroba yang penting. Sifat hidrofilik diperlukan untuk menjamin senyawa antimikroba larut dalam fase air yang merupakan tempat hidup mikroba ; tetapi senyawa yang bekerja pada membran sel hidrofobik memerlukan pula sifat lipofilik sehingga senyawa antibakteri memerlukan keseimbangan hidrofilik-lipofilik untuk mencapai aktivitas yang optimal. Menurut Davidson dan Brannen (1993) dalam Fadhila (2010), semakin menurun polaritas (mendekati non-polar) akan semakin efektif menghambat bakteri Gram positif dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Berdasarkan Best (1999)
dalam
Parhusip
(2006),
senyawa
antibakteri
dapat
menembus
lipopolisakarida (LPS) dari dinding sel bakteri Gram negatif. Molekul-molekul yang lebih bersifat hidrofilik akan lebih mudah melewati LPS dibandingkan dengan yang hidrofobik. Di bawah ini beberapa sifat pelarut organik untuk ekstraksi : Tabel 4. Beberapa sifat pelarut organik untuk ekstraksia. Pelarut
Polaritas (e)
Karbondioksida Pentana Heksanab Toluenb Benzenb Etil asetat Aseton Propan-2-ol Etanol Metanolb Air
0,000 0,000 0,000 0,290 0,320 0,380 0,470 0,630 0,680 0,730 0,900
Konstanta Dielektrik 1,840 2,000 2,400 2,300 6,000 20,700 18,300 24,300 32,600 78,500
Titik didih (C°) -56,600 36,200 68,700 11,050 80,100 77,100 56,200 82,300 78,300 64,800 100,000
Kelarutan dalam air (%) 0,010 0,010 0,046 0,058 9,800 Larut Larut Larut Larut
Keterangan : a b
Sumber : Houghton and Raman (1998) dalam Parhusip 2006 bukan pelarut bahan pangan
Bakteri Gram positif tidak memiliki lapisan LPS, sehingga fungsi penghalangnya tidak ada, akibatnya molekul senyawa antibakteri yang bersifat hidrofilik maupun hidrofobik cenderung dapat melewatinya. komponen dasar dinding sel bakteri Gram positif adalah peptidoglikan yang salah satu penyusunnya adalah asam amino D-alanin yang bersifat hidrofobik sehingga
17
kesensitifan bakteri Gram positif lebih besar terhadap senyawa antibakteri yang cenderung non-polar. Pada bakteri Gram positif, 90% dinding selnya terdiri lapisan peptidoglikan, sedangkan pada bakteri Gram negatif hanya sekitar 5-20%. Struktur dinding sel bakteri Gram negatif disajikan pada Lampiran 9, sedangkan untuk Gram positif pada Lampiran 10. Aktivitas antibakteri dari hasil ekstraksi dengan ddH2O ataupun etanol 95% untuk bakteri S. agalactiae lebih besar dibandingkan dengan bakteri A. hydrophila hal ini diduga juga berkaitan dengan struktur sel bakteri itu sendiri. Menurut Frazier dan Westhoff (1983) dalam Fadhilla (2010), beberapa faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri adalah: (1) jenis, jumlah, umur, (2) konsentrasi zat antibakteri, (3) suhu dan waktu kontak, (4) sifat fisik-kimia substrat, seperti: pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis dan jumlah zat terlarut, koloid dan senyawa-senyawa lainnya. Menurut Cowan (1999), mekanisme penghambatan pertumbuhan mikroba yang disebabkan oleh bahan antimikroba adalah dengan cara bereaksi dengan dinding dan membran sel sehingga mengakibatkan gangguan pada senyawa penyusunnya, peningkatan permeabilitas membran sel yang mengakibatkan kehilangan komponen penyusun sel, inaktivasi enzim metabolik dan destruksi material genetik. Terjadinya proses tersebut karena pelekatan senyawa antimikroba pada permukaan sel atau senyawa berdifusi ke dalam sel. Antibiotik yang dipergunakan sebagai kontrol adalah kloramfenikol 10 µg/ kertas cakram, berdasarkan hasil uji kualitatif pada bakteri A. hydrophila dan S. agalactiae masing-masing nilai zona hambatnya adalah 19,7 mm dan 27.2 mm. Prescott dan Klein (2009) dalam Fadhilla (2010), memaparkan bahwa kondisi bakteri terhadap kloramfenikol dibagi tiga yaitu yang memiliki diameter 12 mm termasuk resisten, 13-17 mm termasuk intermediet dan lebih dari 18 mm merupakan bakteri yang sensitif. Kloramfenikol bekerja melalui penghambatan sintesis protein sehingga menghambat translasi dan traskripsi material genetik. Mekanisme penghambatan kloramfenikol dengan cara mengganggu pelekatan asam amino pada rantai peptida yang baru pada subunit 50S ribosom, dengan mengganggu daya kerja
18
peptidil transferase. Akibatnya proses perbanyakan dan pembelahan sel terganggu (Jawetz 1996). Bakteri A. hydrophila adalah bakteri Gram negatif, panjang (1,0 – 1,5) µm, lebar (0,7 – 0,8) µm, motil, bergerak dengan sebuah flagella berbentuk batang dan motil yang tersebar di perairan tawar, bakteri ini merupakan patogen penting pada berbagai budidaya ikan yang menyebabkan kondisi fatal seperti hemorrhagic septicaemia, asymptomatic septicaemia, epizootic ulcerative syndrome, busuk ekor dan sirip serta dropsy. Bakteri ini juga dilaporkan sebagai penyebab kematian masal pada beberapa spesies budidaya, yaitu ikan mas (Cyprinus carpio L, Labeo rohita ), snakehead gurame (Channa striatus), Labeo rohita, Channa
punctatus,
dan
ikan
lele
(Clarias
gariepinus
Bloch
atau
Clarias batrachus). Bakteri ini mampu memproduksi berbagai macam toksin (Thune 1993 dalam Singh et al. 2007). Berdasarkan karakteristik fenotip oleh Evans et al. (2002), di antaranya adalah S. agalactiae merupakan bakteri Gram positif berbentuk kokus, oksidasi negatif, katalase negatif, mampu tumbuh dalam media bile salt 40% dan NaCl 6.5 %, tidak mampu menghidrolisis esculin dan D-mannitol. Isolat S. agalactiae dari otot daging bersifat non-hemolitik terhadap media agar darah. Menurut Eldar et al. (1994), gejala klinis yang ditunjukkan oleh ikan yang terinfeksi adalah berenang lemah, cara berenang tidak normal, eksoptalmia pada mata, warna tubuh yang menghitam.
3.4
Uji Minimum Inhibitory Concentration (MIC) Berdasarkan uji kualitatif terhadap kandungan bioaktif dari berbagai
tanaman yang diekstraksi dengan etanol 95% dan ddH2O, hanya yang menunjukkan adanya zona hambat yang digunakan untuk uji lanjutan penentuan MIC. Pengujian MIC terhadap A. hydrophila dan S. agalactiae dilakukan dengan metode kontak atau macrodilution methods. Berdasarkan Pankey dan Sabath (2004), MIC dinyatakan sebagai konsentrasi terendah ekstrak tanaman uji yang dapat menghambat pertanaman mikroba sebanyak 90%-99% (1 log koloni dari jumlah koloni awal).
19
Berdasarkan cara kerjanya, antibakteri dibedakan menjadi dua, yaitu bakteriostatik dan bakterisida. Antibakteri bersifat bakteriostatik bekerja dengan cara menghambat perbanyakan populasi bakteri dan tidak mematikan sedangkan bakterisida bekerja membunuh bakteri. Bakteriostatik bisa bertindak sebagai bakterisida dalam konsentrasi tinggi (Schunak et al. 1990 dalam Parhusip 2006). Tabel 5 merupakan hasil dari uji kontak dari berbagai macam tanaman uji yang diekstrak dengan etanol 95% tehadap bakteri S. agalactiae. Jumlah bakteri dalam CFU/mL terdapat pada Lampiran 11. Tabel 5 menunjukkan bahwa konsentrasi 0 mg/mL dinyatakan sebagai kontrol dengan jumlah koloni berkisar antara 9-9,1 log koloni/mL.
Tabel 5. Jumlah bakteri (log koloni/mL) pada MIC ekstraksi etanol 95% terhadap S. agalactiae. Jenis ekstrak tanaman No.
Konsentrasi tanaman uji (mg/mL) 25,000
12,500
6,250
3,130
1,562
0,781
0,390
0,195
0,095
0,000
7,0
8,5
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,1
1
A. sativum
6,3
2
C. domestica
4,4
5,6
6,6
8,2
8,2
9,0
9,0
9,0
9,0
9,1
3
C. zedoaria
4,9
5,05
6,1
6,6
7,1
9,3
9,0
9,0
9,0
9,0
4
C. xanthorriza
4,4
5,5
6,6
6,7
7,6
8,0
9,0
9,0
9,0
9,0
5
P. betle
4,3
5,6
5,8
6,2
7,5
9,2
9,0
9,0
9,0
9,3
6
E. inulaefolium
5,3
6,3
6,7
6,9
7,2
8,0
9,0
9,0
9,0
9,1
7
C. alata
5,9
7,1
7,3
7,6
9,2
9,2
9,0
9,0
9,0
9,0
8
L. leucocephala
6,8
6,9
7,9
8,8
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,1
9
T. diversifolia
5,4
5,8
5,9
6,0
7,9
8,5
9,1
9,0
9,0
9,0
10
E. elatior
6,1
7,1
7,9
8,7
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,1
11
P. scutellaroides
4,1
4,8
6,6
6,6
6,6
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
12
A. comzoides
5,5
6,7
7,7
8,7
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,1
13
P. niruri
4,7
5,7
6,1
6,0
7,2
8,0
9,0
9,0
9,0
9,1
14
T. catappa
4,8
5,98
6,6
7,9
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,1
15
A. occidentale
5,9
6,5
6,6
7,6
8,4
8,7
9,0
9,0
9,0
9,4
Jumlah koloni awal sebesar 6 log koloni/mL. Jumlah bakteri yang dikontakkan dengan berbagai konsentrasi ekstrak tanaman memiliki hasil yang berbeda-beda. Nilai MIC pada ekstrak etanol 95% pada S. agalactiae yang konsentrasinya 25 mg/mL terdapat 6 tanaman. Tanaman tersebut adalah kunyit (C. domestica) yang menurunkan 1,6 log koloni/mL, kunyit putih (C. zedoaria) 1,1 log koloni/mL, temulawak (C. xanthorriza) 1,6 log koloni/mL, sirih (P. betle)
20
1,7 log koloni/mL, meniran
(P. niruri) 1,3 log koloni/mL, ketapang (T. catappa)
1,2 log koloni/mL. Jawer kotok (P. sctutellaroides) nilai MIC-nya berada pada konsentrasi 12,5 mg/mL yang telah menurunkan 1,2 log koloni/mL. Sedangkan 8 tanaman lainnya diduga nilai MIC-nya di atas 25 mg/mL. Tabel 6 di bawah ini merupakan hasil dari uji kontak dari berbagai macam tanaman uji yang diekstrak dengan etanol 95% tehadap bakteri A. hydrophila. Jumlah bakteri dalam CFU/mL terdapat pada Lampiran 12.
Tabel 6. Jumlah bakteri (log koloni/mL) pada MIC ekstraksi etanol 95% terhadap A. hydrophila. No.
Jenis ekstrak tanaman
Konsentrasi tanaman uji (mg/mL) 25,000
12,500
6,250
3,130
1,562
0,781
0,390
0,195
0,095
0,000
1
P. betle
5,9
6,7
6,7
8,9
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,1
2
C. alata
7,9
8,7
8,9
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,1
3
P. scutellaroides
9,0
9,2
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,1
4
A. occidentale
7,6
8,6
8,7
9,4
9,0
9,0
9,0
9,0
9,0
9,4
Tabel 6 menunjukkan bahwa pada ke empat tanaman uji meskipun pada konsentrasi maksimal yaitu 25 mg/mL tidak terdapat nilai MIC-nya. Sirih (P. betle) hanya menurunkan 0,1 log koloni /mL, sedangkan untuk ekstrak tanaman lainnya, jumlah bakterinya berada di atas 6 log koloni/mL yang merupakan jumlah bakteri awal. Tabel 7 merupakan hasil dari uji kontak dari berbagai macam tanaman uji yang diekstrak dengan ddH2O tehadap bakteri S. agalactiae.
Tabel 7. Jumlah bakteri (log koloni/mL) pada MIC ekstraksi ddH2O terhadap S. agalactiae. No.
Jenis ekstrak tanaman
1 2 3 4 5
A. sativum P. betle E. inulaefolium C. alata T. diversifolia
Konsentrasi tanaman uji (mg/mL) 25,000
12,500
6,250
3,130
1,562
0,781
0,390
0,195
0,095
0,000
6,9 5,9 6,6 7,9 7,8
9,0 8,2 8,0 9,3 9,0
9,0 9,0 9,0 9,3 9,0
9,0 9,0 9,0 9,0 9,0
9,0 9,0 9,0 9,0 9,0
9,0 9,0 9,0 9,0 9,0
9,0 9,0 9,0 9,0 9,0
9,0 9,0 9,0 9,0 9,0
9,0 9,0 9,0 9,0 9,0
9,1 9,2 9,0 9,3 9,3
Berdasarkan pada Tabel 7 di atas, pada konsentrasi maksimal yaitu 25 mg/mL tidak satu pun ekstrak tanaman yang mengurangi jumlah bakteri 1 log
21
koloni dari koloni awal. Ekstrak sirih (P. betle) hanya menurunkan 0,1 log koloni/mL dari jumlah koloni awal. Jumlah bakteri dalam CFU/mL dapat dilihat pada Lampiran 13. Diagram jumlah bakteri untuk masing-masing pelarut dalam log koloni/mL terdapat pada Lampiran 14, 15 dan 16 sedangkan untuk dokumentasi uji terdapat pada Lampiran 17, 18 dan 19. Berdasarkan data pada Tabel 5 dan 6 di atas, Gram positif lebih sensitif terhadap esktrak etanol 95% dibandingkan dengan Gram negatif. Secara umum, ekstrak etanol 95% menghambat lebih besar pada bakteri Gram positif dibanding Gram negatif. Tanaman sirih (P. betle), kimanila (C. alata), jawer kotok (P. scutellaroides), jambu monyet (A. occidentale) merupakan tanaman yang menunjukkan zona hambat pada uji kualitatif baik pada bakteri S. agalactiae ataupun A. hydrophila. Pada uji MIC ini, jumlah bakteri A. hydrophila yang dihambat cenderung lebih sedikit apabila dibandingkan dengan S. agalactiae. Menurut Parhusip (2006), nilai MIC dan minimum bactericidal concentration (MBC) senyawa antibakteri pada tanaman berbeda-beda tergantung jenis mikroba. Nilai MIC senyawa antibakteri yang lebih rendah menunjukkan bakteri lebih rentan terhadap komponen tersebut. Cowan (1999), menyatakan adanya porin pada membran terluar pada bakteri Gram negatif membatasi difusi berbagai macam antibiotik dan berbagai macam obat terpompa kembali pada transmembran yang juga akan memompa keluar zat antimikroba melalui proses efflux aktif yang karena itu akan membuat resistensi pada Gram negatif. Menurut Pelczar dan Chan (2005), struktur dinding sel bakteri Gram positif lebih sederhana sehingga memudahkan zat antibakteri untuk masuk ke dalam sel dan menemukan sasaran untuk bekerja, dibanding bakteri Gram negatif yang memiliki 3 lapisan. Hasil uji kontak bakteri S. agalactiae dengan hasil ekstraksi dengan ddH2O menunjukkan bahwa jumlah bakteri yang dihambat nilainya lebih sedikit dibandingkan dengan ekstrak etanol 95%, pada jenis tanaman yang sama. Hal ini diduga karena konsentrasi bahan aktif yang terekstrak oleh ddH2O relatif sedikit apabila dibandingkan dengan etanol. Selain itu juga karena terkait dengan struktur dinding sel bakteri Gram positif yang bersifat hidrofobik sehingga zat antibakteri yang bersifat mendekati nonpolar lebih menghambat. Brannen dan Davidson
22
(1983) dalam Parhusip (2006), melaporkan bahwa secara umum penurunan polaritas dari senyawa antibakteri akan lebih efektif menghambat pertumbuhan bakteri Gram positif dibandingkan dengan bakteri Gram negatif. Adanya perbedaan jumlah bahan aktif pada masing-masing ekstrak dan diduga ekstrak dari maserasi etanol 95% memiliki lebih banyak komponen bioaktif yang terambil daripada ekstrak ddH2O. Misalnya senyawa kurkumin yang terdapat pada kunyit (C. domestica). Jurenka (2009), melaporkan bahwa kurkumin merupakan lipofilik polifenol yang hampir tidak dapat larut dalam air. Cutler dan Wilson (2004), melaporkan apabila bawang putih diekstrak dengan menggunakan air maka terdapat beberapa kerugian diantaranya adalah allisin dapat bereaksi dengan air dan berubah menjadi senyawa diallyl disulphide, di mana senyawa ini tidak menunjukkan level aktivitas antibakteri yang sama dengan allisin. Menurut Ansel (1989) dalam Fadhilla (2009), dengan pertimbangan murah, mudah di dapat serta dilakukan, air dipilih dalam suatu ekstraksi sederhana. Air dalam proses ekstraksi melarutkan gom, amilum, pigmen, dan tanin. Akan tetapi sebagian besar zat dan senyawa organik dari tumbuhan tidak dapat larut dengan baik dalam pelarut polar seperti air. Metode kontak langsung pada medium cair merupakan sebuah pengujian kuantitatif yang kemudian dilakukan platting untuk mengetahui seberapa banyak bakteri yang masih hidup. Berdasarkan data-data pada setiap ekstrak tanaman di atas, terdapat beberapa ekstrak tanaman yang apabila dalam uji kualitatif zona hambatnya termasuk ke dalam zona sedang (misal : kunyit (C. domestica), zona hambat: 6,9 mm) menunjukkan nilai MIC yang relatif sama dengan tanaman yang memiliki zona hambat tinggi (misal: sirih (P. betle), zona hambat: 18,9 mm). Hal ini diduga karena akibat adanya perbedaan laju difusi senyawa antimikroba pada medium padat dan cair. Senyawa antimikroba pada uji kualitatif kertas cakram lajunya akan terhambat oleh agar yang padat dalam medium. Berdasarkan Frazier dan Westhoff (1983) dalam Fadhilla (2010), salah satu faktor yang mempengaruhi aktivitas antibakteri adalah sifat fisik-kimia substrat, seperti: pH, kadar air, tegangan permukaan, jenis dan jumlah zat terlarut, koloid dan senyawa-senyawa lainnya. Menurut Radiati (2002), dalam penelitian yang telah dilakukannya menyatakan bahwa pada pengujian aktivitas antimikroba ekstrak diklorometan
23
jahe dengan difusi sumur memerlukan konsentrasi yang lebih tinggi yaitu 90 mg/mL, dibandingkan dengan pengujian metode kontak (5-20 mg/mL) terhadap bakteri Escherichia coli, Salmonella typhi, dan Vibrio cholera. Sirih (P. betle) dari hasil uji MIC yang berasal dari ekstrak ddH2O ataupun ekstrak etanol 95%, sensitif terhadap bakteri Gram positif ataupun Gram negatif. Dibandingkan tanaman lain, sirih (P. betle) menunjukkan aktivitas antibakteri yang lebih baik. Menurut Martindale (1982) dalam Suliantari (2009), kavikol pada sirih (P. betle) mempunyai daya antimikroba lima kali lebih kuat dari fenol biasa. Tabel 8 merupakan contoh berbagai konsentrasi dari beberapa penelitian herbal yang sudah dilakukan hingga tahap in vivo dan dibandingkan dengan nilai MIC dari penelitian ini.
Tabel 8. Beberapa penelitian herbal yang telah dilakukan pada tahap in vivo. Tanaman Ketapang (T. catappa)
Bentuk bahan Hasil eksraksi dengan H2O
Meniran (P. niruri) + Bawang putih (A. sativum)
Serbuk tanpa di ekstrak
Sirih (P. betle) + Daun Jambu biji (Psidium guajava) + Sambiloto (Andrographis paniculata)
Hasil eksraksi dengan H2O
Konsentrasi
Bakteri
Sumber
Nilai MIC penelitian ini 25.000 mg/L
PC = 60.000 mg/L PG = 120.000 mg/L A : Injeksi Meniran (P. niruri) : PG = 10.000 mg/L Bawang putih (A. sativum) PG = 40.000 mg/L A : Melalui pakan Sirih (P. betle) PG = 6666,7 mg/L Daun Jambu biji (Psidium guajava) PG = 66666,7 mg/L Sambiloto (Andrographis paniculata) PG = 66666,7 mg/L A : Melalui pakan
A. hydrophila
Ashry (2007)
A. hydrophila
Ayuningtyas (2008)
Meniran (P. niruri) : 25.000 mg/L
A. hydrophila
Sutama (2002)
Sirih (P. betle) 25.000 mg/L
Keterangan : A: Aplikasi; PG: Pengobatan; PC: Pencegahan
Berdasarkan Tabel 8 yang disajikan dapat terlihat bahwa konsentrasi sirih (P. betle) dan meniran (P. niruri) pada tahap in vivo nilai konsentrasinya di bawah nilai MIC, hal ini diduga karena adanya penggabungan bahan sehingga daya antibakterinya memiliki efek sinergi, yang saling melengkapi satu sama lain. Apabila akan diaplikasikan sebagai antibakteri pada kegiatan budidaya, maka konsentrasi ekstrak sebaiknya di atas nilai konsentrasi MIC dan di bawah nilai toksisitas, agar tidak membahayakan organisme budidaya dan penggunaan bahan
24
yang lebih efisien. Berdasarkan Anonim (2012), Kombinasi dari beberapa herbal memiliki efek sinergi yang saling melengkapi dan bahkan menambah daya khasiatnya, akan tetapi kombinasi zat aktif dalam beberapa jenis herbal juga dapat berinteraksi untuk membuat ramuan herbal menjadi lebih beracun daripada menggunakan satu jenis herbal. Tabel 9 di bawah ini merupakan kandungan senyawa bioaktif pada tanaman yang diuji aktivitas antibakterinya. Sebagian besar tanaman memiliki komponen-komponen senyawa bioaktif yang diantaranya ada yang berfungsi sebagai zat antibakteri. Tabel 9 menunjukkan senyawa-senyawa utama dari tanaman. Sebagian besar senyawa antimikroba pada tanaman yang diuji berasal dari golongan senyawa fenolik.
Tabel 9. Kandungan bahan aktif pada tanaman yang diuji. No. 1 2 3
Tanaman Kunyit (C. domestica) Ketapang (T. catappa) Kipahit (T. diversifolia)
4
Babandotan (A. conyzoides)
5
Kirinyuh (E. inulaefolium)
6 7
Meniran (P. niruri) Temu lawak (C. xanthorrhiza)
8
Talas (C. esculenta)
9
Sirih (P. betle)
10
Kunyit putih (C. zedoaria)
11
Kimanila (C. alata)
12 13
Jawer kotok (P. scutellaroides) Combrang (E. elatior)
14
Jambu monyet (A. occidentale)
15
Cebreng (G. sepium)
16
Petai (P. speciosa)
17
Bawang putih (A. sativum)
18
Petai cina (L. leucocephala)
Kandungan bahan aktif Kurkuminoid, minyak atsiri (Jurenka 2009) tannin, saponin, flavonoids, alkaloid, dan fenol (Ilory et al. 2007) glycosides, tannin, flavonoid, terpenoid (Vijayan et al. 2009) alkaloid, coumarins, flavonoids, chromenes, benzofurans, sterol, dan terpenoid (Kamboj dan Saluja 2008) alkaloid, flavonoid, senyawa fenolik, saponin, tannin, 4-hydroxibenzoic acid, dan glikosida (Ujowundu et al. 2011) flavonoids, alkaloid, terpenoid, lignin, polifenol, tannin, kumarin, saponin (Venugopalan et al. 2011) minyak atsiri, saponin, flavonoid, tannin (Mangunwardoyo et al. 2012) sterols,flavonoids,glycosides, tannins, karbohidrateand Vitamin A and C (Desmukh et al. 2010) minyak atsiri dengan komponen fenolik dan kavikol (Martindale 1982 dalam Suliantari 2009) Minyak atsiri zingiberon, sineol, prokurkumenol, kurkumenol, kurkumol, epikurmenol, kurkumadiol, zederona,isofuranogermakrena (Sumarny 2006) alkanoids, sequiterpen, diterpens, tripene saponin, tripene aglycouts, flavonoids, sterol, coumarin, quinines, monoterpens (Ilory 2011) minyak atsiri, alkaloida, eugenol, etil salisilat, thymol, zat alkaloida (Asiamaya 2000 dalam Yuningsih 2007) Flavonoids dan senyawa fenolik (Chiang et al. 2010) flavonoid dan senyawa fenolik seperti asam fenolik, stilbenes, tannin, lignin (Chermahini dan Madjid 2011) flavanoids, triterpenoid ,saponins, stigmastanol,glucoside, rhamnogalactoside of kaempferol, coumarin, coumaric acid andmelilotic acid (Reddy dan Jose 2010) Polysulfides, senyawa fenolik,terpenoid (Salman et al. 2006 dalam AlRokayan et al. 2012) allisin, ajoene, dialil sulfida, dialil disulfida, yang termasuk dalam golongan senyawa tiosulfinat (Cutler dan Wilson 2004) tannin, terpenoid, steroid, flavonoid, saponin, mimosin, vitamin E, senyawa fenolik (Chew et al. 2011)
Berdasarkan Buck (2001), kerja dari senyawa fenol sebagai senyawa antimikroba adalah dengan membentuk ikatan pada permukaan sel kemudian berpenetrasi ke dalam sel sasaran dengan cara difusi pasif pada bakteri Gram
25
positif, sedangkan pada bakteri Gram negatif adalah dengan mengganggu ikatan hidrofobik. Kim dan Yamamoto (1996), melaporkan pada konsentrasi rendah, fenolik akan mempengaruhi membran sel sedang pada konsentrasi lebih tinggi akan dapat masuk ke dalam menyerang sitoplasma sel bakteri. Senyawa-senyawa utama antimikroba tanaman disajikan pada Tabel 10 di bawah ini.
Tabel 10. Senyawa-senyawa utama antimikroba dari tanaman (Cowan 1999). Kelas Fenolik
Subkelas Fenolik sederhana Asam fenolik Quinon
Contoh Catechol Epicatechin Asam cinnamic Hypericin Chrysin
Flavonoid Abyssinone Flavon
Flavonol Tanin
Totarol Ellagitannin
Mekanisme Mengikat substrat Merusak membran sel Mengikat adhesion kompleks pada dinding sel, inaktif enzim Mengikat adhesion kompleks pada dinding sel Inaktif enzim Menghambat enzim reverse transcriptase Mengikat protein Mengikat pada adhesion Menghambat enzim Mengikat substrat Mengganggu kompleks dinding sel Merusak membran sel Metal ion complexation Interaksi dengan DNA eukariotik
Warfarin Coumarin
Merusak membran sel
Terpenoid, Esensial oil
Capsaicin
Alkaloid
Berberine Piperin
Lectin dan polipeptida
Mannose-spesifik agglutinin Fabatin
Polycatylen
8S-Heptadeca-2(Z), 9(Z)diene-4,6diyne-1,8-diol
Mengganggu sintesis DNA dan dinding sel Block viral fussion atau adsorpsi Membentuk jembatan disulfida
Senyawa fenolik akan menempel pada membran sel dan menjadi bagian dari membran sel tersebut sehingga akan menyebabkan terganggunya lapisan fosfolipid dari membran sel. Pada bakteri Gram positif kation berfungsi untuk menghubungkan asam teikoat, jika terlepasnya ikatan kation akan menyebabkan masuknya senyawa antibakteri ke dalam sel. Mg2+ dan Ca2+ yang terdapat pada
26
bagian fosfolipid berfungsi menghubungkan fosfolipid dan grup karboksil membran, menjaga kestabilan bakteri, dengan adanya kebocoran ion-ion tersebut maka kestabilan membran akan terganggu yang selanjutnya akan menyebabkan kematian bakteri (Hurst et al. 1974). Selain merusak membran sel, senyawa fenolik berfungsi sebagai antimikroba dengan cara mendenaturasi protein sel (Jurenka 2009). Antimikrobial utama pada bawang putih adalah allisin yang termasuk golongan senyawa tiosulfinat (Cavallito dan Bailley 1944 dalam Ramya et al. 2009). Grup tiosulfinat (gugus S(=O)S ) pada allisin menimbulkan reaksi dengan variasi dari gugus SH- yang berisi enzim di dalam sel bakteri, dan allisin dilaporkan memiliki batas target potensial. Allisin dilaporkan mencegah sistem pembentukan asetil CoA, untuk menghambat sintesis protein, dan sasaran RNA polimerase dan hal ini juga yang menyebabkan allisin bertanggung jawab sebagai agen antibakterial (Cutler dan Wilson 2004). Interaksi senyawa antibakteri dapat menyebabkan sejumlah perubahan atau kerusakan pada sel bakteri. Pada konsentrasi yang tidak mematikan, bakteri akan mengalami luka (injury), terjadi sejumlah perubahan dan kerusakan struktur sel bakteri yang akhirnya dapat mempengaruhi fungsi metabolisme sel, pada kerusakan yang parah akan menyebabkan kematian (Cowan 1999).
27