19
II. TINJAUAN TEORI DAN KERANGKA PEMIKIRAN
2.1. Tinjauan Teoritis
2.1.1
Pengertian dan Batasan Industri Pengolahan Pengertian industri terbagi menjadi dua lingkup, yaitu mikro dan makro.
Secara mikro, industri adalah kumpulan dari perusahaan-perusahaan yang menghasilkan barang-barang yang homogen atau barang-barang yang mempunyai sifat substitusi. Dari segi pembentukan pendapatan yang cenderung bersifat makro, industri adalah kegiatan ekonomi yang menciptakan nilai tambah. Lipsey, et al, 1997 mendefiniskan industri sebagai sekumpulan perusahaan yang sejenis. Sementara itu, Dumairy (1996) menjelaskan bahwa industri mempunyai dua pengertian, yaitu: Pertama, industri dapat diartikan sebegai himpunan perusahaan-perusahaan sejenis. Kedua, industri dapat pula diartikan sebagai suatu sektor ekonomi yang di dalamnya terdapat kegiatan produktif yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi atau barang setengah jadi. Lebih lanjut dijelaskan bahwa sektor industri diyakini sebagai sektor yang dapat memimpin sektor lain dalam suatu perekonomian menuju kemajuan. Produk industri selalu memiliki term of trade yang tinggi atau lebih menguntungkan serta menciptakan nilai tambah yang lebih besar dibandingkan produk-produk sektor lainnya. Industri pengolahan adalah suatu kegiatan ekonomi yang melakukan kegiatan mengubah suatu barang dasar secara mekanis, kimia atau dengan tangan sehingga menjadi barang jadi atau setengah jadi dan atau barang yang kurang nilainya menjadi barang yang lebih tinggi nilainya, dan sifatnya lebih dekat
20
kepada pemakai akhir (Badan Pusat Statistik, 2004). Dalam beberapa literatur dijelaskan bahwa industri pengolahan diartikan sebagai aktivitas ekonomi yang mengubah barang dasar yang bernilai rendah menjadi barang setengah jadi atau barang jadi yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Badan Pusat Statistik (2002) membagi industri pengolahan kedalam dua kelompok besar yaitu: 1) Industri Migas dan 2) Industri Bukan Migas. Industri Migas meliputi: a) industri pengilangan minyak bumi, dan b) industri gas alam cair. Adapun Industri Bukan Migas mencakup: a) industri makanan, minuman dan tembakau; b) industri tekstil, barang kulit dan alas kaki; c) industri barang kayu dan hasil hutan lain; d) industri barang kertas dan barang cetakan; e) industri pupuk, kimia dan barang dari karet; f) industri semen dan barang galian bukan logam; g) industri logam dasar, besi dan baja; h) industri alat angkut, mesin dan peralatan; dan i) industri barang lainnya. Lebih lanjut Badan Pusat Statistik (2004) menjelaskan bahwa perusahaan industri pengolahan dibagi dalam empat golongan yaitu: (1) golongan industri besar, apabila jumlah tenaga kerja 100 orang atau lebih; (2) golongan industri sedang, apabila jumlah tenaga kerja sebanyak 20-99 orang, (3) golongan industri kecil, apabila jumlah tenaga kerja sebanyak 5-19 orang; dan (4) golongan industri rumah tangga, apabila jumlah tenaga kerja sebanyak 1-4 orang. Dalam aktivitas industri terdapat pihak-pihak yang memiliki peran dan keterkaitan dengan industri. Pada dasarnya setiap pihak (pengusaha, pekerja, pemerintah dan masyarakat) secara langsung atau tidak langsung memiliki kepentingan terhadap berkembangnya suatu industri. Hubungan antara pengusaha, pekerja, pemerintah dan masyarakat dinamakan dengan hubungan industrial
21
(industrial relation). Jadi keseluruhan hubungan kerjasama yang terkait dengan proses produksi di suatu perusahaan atau industri merupakan hubungan industrial. Industri bagi pemerintah dan masyarakat mempunyai arti yang sangat penting karena merupakan bagian dari sektor ekonomi yang berfungsi menghasilakan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Di sisi lain bagi pekerja, berkembangnya industri akan membuka peluang terciptanya kesempatan kerja yang lebih luas. Dengan demikian maka setiap pihak pada dasarnya mempunyai kepentingan dan tanggung jawab atas kelengsungan dan keberhasilan setiap industri. Oleh karena itu, setiap pihak perlu berperan untuk mendorong terciptanya hubungan industrial yang harmonis agar setiap industri dapat mencapai kinerja terbaiknya.
2.1.2. Fluktuasi Ekonomi dan Kebijakan Stabilisasi
2.1.2.1. Fluktuasi Ekonomi Keseimbangan perekonomian terbentuk pada saat perpotongan kurva permintaan agregat (aggregate demand, AD) dan kurva penawaran agregat (aggregate supply, AS). Dalam jangka panjang, perekonomian berada pada perpotongan kurva penawaran agregat jangka panjang dan kurva permintaan agregat. Karena harga-harga telah disesuaikan pada tingkat yang berlaku maka kurva penawaran agregat jangka pendek juga memotong titik keseimbangan tersebut. Keseimbangan yang dicapai pada jangka panjang akan tercapai pada tingkat output alamiah (full-employment). Kondisi full employment (Y*) dalam keseimbangan jangka panjang ditunjukan pada Gambar 4.
22
P
LRAS SRAS1 (Pe=P1)
P1
AD1 Y*
Output (Y)
Sumber: Mankiw, 2003. Gambar 4. Aggregat Demand-Aggregat Supply dalam Keseimbangan Jangka Panjang
Sementara itu, dalam jangka pendek keseimbangan pada kondisi full employment terkadang tidak dapat terpenuhi. Ketidakseimbangan dari kondisi full employment pada jangka pendek atau yang lebih dikenal dengan siklus bisnis terjadi karena adanya guncangan (shock) dalam perekonomian. Guncangan yang terjadi dapat disebabkan oleh guncangan pada sisi AD ataupun AS. Guncangan tersebut membuat kondisi full employement dapat tidak tercapai. Guncangan pada sisi AD misalnya adalah: lonjakan investasi, lonjakan konsumsi, peningkatan dalam nilai tukar secara mendadak, dan pemotongan suku bunga yang tidak diprediksi (Mankiw, 2003). Suatu lonjakan pada sisi AD, misalnya: lonjakan investasi, akan menggeser kurva AD ke kanan. Pergesearan AD ke kanan menyebabkan tingkat output dan harga relatif meningkat (unexpected inflation). Lebih lanjut, dengan pergeseran AS ke kiri maka
23
keseimbangan kembali pada tingkat alamiah dengan tingkat harga yang lebih tinggi (Gambar 5).
P
LRAS
SRAS1 (Pe=P3) SRAS1 (Pe=P1)
P3 P2 P1 AD2 AD1 Y*
Output (Y)
Sumber: Mankiw, 2003. Gambar 5. Guncangan Pada Permintaan Agregat: Lonjakan Investasi
Sementara itu, guncangan pada sisi AS misalnya adalah peningkatan harga minyak secara mendadak dan penemuan teknologi baru. Guncangan akibat dari peningkat harga minyak akan menggeser AS ke kiri. Keseimbangan baru terbentuk pada tingkat output yang lebih rendah (stagnasi) dan harga yang lebih tinggi (inflasi). Dengan demikian guncangan kenaikan harga minyak tersebut menyebabkan terjadinya stagflasi (Gambar 6). Krisis finansial global yang saat ini terjadi merupakan salah satu bentuk dari guncangan dalam perekonomian. Akibat krisis sub prime mortgage yang terjadi sejak 2007 itu, sejumlah lembaga keuangan di dunia bangkrut. Secara makro, kerugian yang ditimbulkan oleh dampak krisis di AS terlihat dari turunnya tingkat pertumbuhan ekonomi dunia. Rendahnya tingkat pertumbuhan ekonomi dunia itu tentunya akan sangat berpengaruh terhadap sektor riil di negara yang
24
memiliki portofolio ekonomi yang besar dengan AS dan negara-negara yang terkena dampak secara signifikan dari krisis di AS tersebut.
P
LRAS SRAS2 (Pe=P2) SRAS1 (Pe=P1)
P2 P1
AD1 Y*
Output (Y)
Sumber: Mankiw, 2003. Gambar 6. Guncangan Pada Penawaran Agregat: Lonjakan Harga Minyak
Secara teoritis, Indonesia merupakan negara yang termasuk dalam small open economy. Dengan demikian berbagai guncangan yang terjadi dalam perekonomian global akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Krisis di AS akan berpengaruh terhadap Indonesia paling tidak melalui dua jalur atau transmisi: (1) perdagangan atau ekspor impor dan (2) pasar keuangan. Melalui jalur perdagangan, krisis AS akan mempengaruhi neraca perdagangan (ekspor-impor). Penurunan ekspor produk industri Indonesia ke AS dan negara-negara lain yang juga terkena dampak krisis akan menyulitkan industri dalam negeri dalam menjual produknya. Apabila kesulitan tersebut tidak dapat diatasi maka dapat mendorong industri untuk mengurangi volume produksi dan melakukan rasionalisasi (PHK). Secara agregat penurunan produksi industri dan
25
penyerapan tenaga kerja akan menyebabkan turunnya produk nasional dan meningkatnya pengangguran. Dari jalur keuangan, Indonesia berpotensi mengalami penurunan capital inflows, terutama dari investasi portofolio. Indonesia masih belum menjadi tempat yang atraktif bagi investasi langsung (foreign direct investment/FDI). Dengan demikian, jika kepercayaan tidak terpelihara dengan baik, rupiah dan pasar modal menjadi tidak terkendali yang lambat laun akan mempengaruhi kinerja sektor riil.
2.1.2.2. Kebijakan Stabilisasi Kebijakan stabilisasi adalah kebijakan yang ditujukan untuk mengurangi tekanan fluktuasi ekonomi jangka pendek. Alternatif kebijakan yang dapat ditempuh untuk mengatasi fluktuasi jangka pendek adalah berupa kebijakan fiskal dan kebijakan moneter. Tujuan utama kebijakan fiskal dan moneter adalah mempertahankan agar perekonomian berada dalam keseimbangan permintaan dan penawaran dan mempertahankan tingkat harga yang terjadi (Branson and Litvack, 1981). Upaya untuk menjaga keseimbangan tersebut diperlukan karena apabila terjadi ekses permintaan, akan menyebabkan inflasi. Sebaliknya permintaan yang kurang mencukupi akan mendorong terjadinya pengangguran dan deflasi. Ekspansi fiskal melalui belanja pemerintah (G) merupakan bagian dari pengeluaran agregat (AE). Seberapa besar kebijakan fiskal (melalui peningkatan pengeluaran pemerintah) akan meningkatkan output, tergantung pada besaran multiplier effect (Branson and Litvack, 1981). Permasalahan mendasar pada negara berkembang adalah masalah current account deficit (external imbalance) dan tingginya tingkat pengangguran dan inflasi (internal imbalance). Untuk mengatasi masalah unemployment diperlukan
26
tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi.
Namun kebijakan ekspansi untuk
meningkatkan pertumbuhan, seringkali menyebabkan permintaan tumbuh lebih cepat dibandingkan dengan kapasitas supply. Hal ini berdampak pada masalah external balance, yaitu:
(1) meningkatnya impor, sementara ekspor turun
sehingga memperlebar external imbalance, dan (2) excess demand menyebabkan inflasi meningkat yang berpengaruh pada memburuknya keunggulan kompetitif negara di lingkup internasional, dengan demikian semakin memperburuk external imbalance.
Sehingga tujuan meningkatkan employment justru seringkali
berdampak pada memburuknya current account pada balance of payment (BOP) (Hossain dan Chowdhury, 2001). Efektivitas kebijakan fiskal pada perekonomian terbuka tergantung pada derajad mobilitas kapital dan kondisi exchange rate. Kebijakan fiskal pada kurs flexibel dan mobilitas kapital sempurna ditunjukan pada Gambar 7. Ekspansi fiskal akan menggeser IS ke kanan dari IS 0 ke IS 1 , sehingga meningkatkan suku bunga domestik (id) dan pendapatan nasional (Y. Hal ini menggeser internal balance dari titik A ke titik B. Pergeseran IS 0 ke IS 1 akan meningkatkan aggregate demand. Hal ini mengakibatkan peningkatan harga (P). Peningkatan P mengakibatkan penurunan konsumsi (C), penurunan ekspor (X) dan meningkatkan impor (M). Hal ini mengakibatkan kurva IS mengalami crowding out (bergeser ke kiri dari IS 1 ke IS 0 ). Peningkatan id mengakibatkan peningkatan net inflow (Capital Inflow), sehingga capital account mencapai
surplus. Peningkatan Y mengakibatkan
peningkatan impor (M), sehingga dengan demikian net ekspor (NX) menurun sehingga current account defisit. Pada kondisi dimana mobilitas modal sempurna,
27
maka slope kurva BP datar. Pada kondisi ini peningkatan sedikit id memberikan peningkatan capital inflow (CI) yang sangat besar, sehingga surplus capital account ditambah defisit current account memberikan surplus Balance of Payment (BP). Surplus BP mengakibatkan apresiasi nilai tukar, hal ini mengakibatkan penurunan NX. Penurunan NX mengakibatkan pergeseran kurva IS kembali ke IS 0 , sehingga internal balance kembali ke titik A.
id
LM B
i0
A
BP IS1 IS0
Y0
Y (Output)
Sumber: Branson and Litvack, 1981. Gambar 7. Ekspansi Fiskal dengan Aliran Modal Sempurna dan Kurs Fleksibel Alternatif kebijakan yang dapat ditempuh untuk mencapai keseimbangan internal dan eksternal adalah kebijakan moneter. Kebijakan Moneter (monetary policy) adalah kebijakan yang dilakukan pemerintah atau otoritas moneter dengan menggunakan peubah jumlah uang beredar dan tingkat bunga (interest rates). Di Indonesia kebijakan moneter dijalankan oleh suatu otoritas moneter. Bank Indonesia dan Pemerintah secara bersama-sama diberikan amanat oleh UndangUndang untuk mengelola aspek moneter dalam perekonomian Indonesia.
28
Pada kondisi kurs fleksibel dan mobilitas kapital sempurna (perfect capital mobility), ekspansi moneter akan menggeser LM ke kanan dari LM 0 ke LM 1 , sehingga menurunkan id dan meningkatkan Y (Gambar 8). Hal ini menggeser internal balance dari titik A ke titik B. Pergeseran LM 0 ke LM 1 akan meningkatkan aggregate demand. Hal ini mengakibatkan peningkatan harga (P). Peningkatan P mengakibatkan penurunan konsumsi (C), penurunan ekspor (X) dan meningkatkan impor (M). Hal ini mengakibatkan kurva IS bergeser ke kiri.
id
LM0 LM1
i0
A
C
BP
B IS2 IS0 IS1 Y0
Y1
Y (Output)
Sumber: Branson and Litvack, 1981. Gambar 8. Ekspansi Moneter dengan Aliran Modal Sempurna dan Kurs Fleksibel Penurunan id mengakibatkan penurunan CI yang besar, sehingga capital account defisit. Peningkatan Y mengakibatkan peningkatan impor sehingga NX menurun (current account defisit). Dengan demikian terjadilah defisit BP. Defisit BP yang besar mengakibatkan depresiasi nilai tukar, sehingga mendorong peningkatan NX yang besar. Peningkatan NX mengakibatkan pergeseran kurva IS ke kanan ke IS 2 , sehingga internal balance bergeser dari titik B ke titik C.
29
2.1.3. Teori Produksi dan Minimisasi Biaya Secara teoritis, industri yang merupakan kumpulan dari perusahaanperusahaan, merupakan agen ekonomi yang diasumsikan berorientasi pada maksimisasi profit. Nicholson (1997) menjelaskan bahwa tujuan perusahaan adalah mengubah input menjadi output dalam suatu proses produksi. Model abstrak yang menjelaskan hubungan antara input dan output industri disebut fungsi produksi. Apabila q merepresentasikan jumlah output dalam suatu periode tertentu, dan diasumsikan hanya dua input yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut yaitu K (merepresentasikan kapital yang digunakan) dan L (input tenaga kerja) maka persamaan fungsi produksinya adalah: q = f (K, L) ............................................................................................ (2.1) Lebih lanjut, Nicholson (1997) menjelaskan bahwa perusahaan merupakan suatu unit produksi yang bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan ekonomi. Keuntungan ekonomi tersebut didefinisikan sebagai: π = TR(q) - TC(q) ...…………………………………………………. (2.2) Dimana TR(q) adalah jumlah penerimaan dan TC(q) adalah biaya ekonomi dan keduanya merupakan fungsi dari tingkat output yang diproduksi. Perusahaan akan memilih tingkat produksi yang menghasilkan tingkat keuntungan yang terbesar. Perusahaan yang akan memaksimumkan keuntungan akan berproduksi pada tingkat output dimana tambahan penerimaan (MR) dari menjual satu unit tambahan sama dengan tambahan biaya (MC) untuk menghasilkan unit tambahan tersebut. Secara matematis, keuntungan maksimal akan dicapai perusahaan apabila: MR = MC .............................................................................................. (2.3)
30
Lebih lanjut terkait dengan penyerapan TK (input lainnya), teori ekonomi menjelaskan bahwa permintaan industri terhadap TK (input lainnya) adalah merupakan permintaan turunan (derived demand). Artinya adalah bahwa permintaan terhadap TK (input lainnya) akan ditentukan oleh berapa banyak output yang akan diproduksi. Dengan mensubstitusi q = f(K, L) dalam persamaan 2.2. maka fungsi keuntungan dapat dituliskan sebagai berikut: π = TR(K,L) – TC (K,L) …………………………………………….. (2.4) First order condition untuk maksimasi fungsi keuntungan tersebut adalah: ∂π ∂TR ∂TC = − =0 ∂K ∂K ∂K ∂π ∂TR ∂TC = − =0 ∂L ∂L ∂L
....................................................................... (2.5)
Persamaan (2.5) menunjukan bahwa untuk memaksimumkan keuntungan, perusahaan seharusnya menggunakan setiap input sampai tingkat dimana penerimaan tambahan dari satu unit tambahan sama dengan tambahan biaya yang dikeluarkan. Apabila kemudian diasumsikan bahwa perusahaan merupakan price taker dalam hal penjualan dan pembelian input, maka:
∂TR/∂K = ∂(P.q)/∂K = P. ∂q/∂K = P.MPk ∂TR/∂L = ∂(P.q)/∂L = P. ∂q/∂L = P.MPl ∂TC/∂K = v ∂TC/∂L = w ……………………………..………………………..…... (2.6) Dimana v menunjukan tingkat sewa kapital dan w adalah tingkat upah. Dengan mensubstitusikan persamaan (2.6) ke persamaan (2.5) maka akan diperoleh:
31
P.MPk = v atau NPMk = v P.MPl = w atau NPMl = w …………...………………………..…..... (2.7) Persamaan (2.7) menunjukan bahwa perusahaan berproduksi secara optimal apabila nilai produk marjinal dari kapital (NPMk) dan tenaga kerja (NPMl) sama dengan besarnya nilai sewa kapital dan upah tenaga kerja. Dalam bentuk yang lain persamaan (2.7) dapat dituliskan menjadi sebagai berikut: MPk = v/P MPl = w/P …………………………..……………………………….. (2.8) Persamaan (2.8) menunjukan bahwa perusahaan akan memperoleh laba maksimum apabila mempekerjaan/menggunakan input sampai nilai produk marginal dari input tersebut sama dengan rasio harga input terhadap output. Nicholson (1997) juga menjelaskan bahwa dalam memproduksi sejumlah output tertentu (q 0 ) maka perusahaan akan mengkombinasikan input pada tingkat biaya yang minimum. Minimisasi biaya pada tingkat produksi tertentu dapat diturunkan dari fungsi keuntungan. Fungsi keuntungan dari perusahaan adalah: π = wL + vK + λ (q 0 – f(K, L)) ............……………………………….. (2.9) First order condition untuk minimisasi biaya adalah: ∂π /∂L = w - λ(∂f/∂L) = 0 ….............….…………………………….. (2.10) ∂π/∂K = v - λ(∂f/∂K) = 0 ...................…....………………………….. (2.11) ∂π /∂λ = q 0 - f(K,L) = 0 ..........……...........………………………….. (2.12) Dengan membagi persamaan 2.10. dengan 2.11. maka akan diperoleh: w ∂f / ∂L = = RTS ( L untuk K ) v ∂f / ∂K
......……………...........………….. (2.13)
32
Persamaan 2.13 menunjukan bahwa kombinasi input dengan biaya minimum akan tercapai apabila rate of technical substitution (RTS) dari kedua input sama dengan rasio harga kedua input tersebut.
2.1.4. Teori Keseimbangan Umum Konsep dasar ekonomi keseimbangan umum didasarkan pada konsep pareto optimum yang dicapai oleh setiap agen ekonomi. Agen ekonomi meliputi produsen, konsumen, investor dan pemerintah. Produsen merupakan agen ekonomi yang mewakili sisi produksi dan diasumsikan ingin memaksimumkan keuntungan. Sementara itu, konsumen mewakili sisi konsumsi yang diasumsikan ingin memaksimumkan kepuasan (utilitas). Nicholson
(1997)
menjelaskan
bahwa
produsen
berada
dalam
keseimbangan bila Marginal Rate of Technical Substitution (MRTS) dari input yang digunakan sama dengan rasio harga input. Untuk kasus dua input (misalnya: tenaga kerja dan kapital) maka keseimbangan dicapai ketika
MRTS1k =
w1 w2
dimana w 1 adalah harga faktor L (tenaga kerja) dan w 2 adalah harga faktor K (modal). Apabila terdapat dua perusahan yang menghasilkan dua produk yang berbeda dan dengan menggunakan dua input tersebut maka keseimbangan produksi akan dicapai ketika : MRTS1k = MRTS1k =
w1 . w2
Keseimbangan simultan yang dicapai (untuk kasus dua input dan dua ouput) dapat dijelaskan melalui Diagram Edgeworth. Keseimbangan simultan antar dua produk tercapai pada saat isokuan produk 1 bersinggungan dengan
33
isokuan produk 2. Titik-titik singgung tersebut membentuk kurva yang disebut Kurva Kontrak atau Contract Curve (CC). Disisi konsumsi, permintaan konsumen ditentukan oleh harga relatif barang 1 dan barang 2. Untuk menyesuaikan sektor penawaran dengan sektor permintaan, maka digunakan konsep Kurva Kemungkinan Produksi (KKP). KKP adalah kumpulan titik-titik yang menggambarkan transformasi dari satu produk menjadi produk lain melalui alokasi faktor produksi. Slope dari KKP disebut sebagai Marginal Rate of Product Transformation (MRPT). Pada pasar persaingan sempurna kondisi keseimbangan terjadi ketika: MRPT12 =
P1 P2
Pada sisi konsumsi, kepuasan maksimal akan dicapai konsumen ketika tingkat konsumsi marginal (Marginal Rate of Substitution/MRS) yang dicapai dari konsumsi barang sama dengan rasio harga barang. Untuk kasus dua barang maka keseimbangan konsumsi dicapai ketika: MRS12 =
P1 . P2
Lebih lanjut, Nicholson (1997) menjelaskan bahwa Keseimbangan sektor produksi dan konsumsi tercapai pada saat MRPT12 = MRS12 =
P1 P2
.
MRPT
menunjukkan tingkat transformasi suatu produk terhadap produk lain. MRS menunjukkan sejauh mana konsumen mau mempertukarkan suatu komoditi dengan komoditi lainnya. Keseimbangan terjadi jika transformasi produksi sesuai dengan tingkat substitusi konsumsi atau MRPT = MRS. Pengertian keseimbangan umum adalah bahwa kombinasi output dalam perekonomian harus optimal baik dari sudut produsen maupun konsumen. Keseimbangan umum ditunjukkan pada Gambar 9.
34
Analisis
keseimbangan
umum
pada
dasarnya
adalah
penentuan
keseimbangan harga dan kuantitas antar-pasar yang secara simultan saling mempengaruhi. Kondisi di dalam satu pasar dapat mempengaruhi penetapan harga dan kuantitas keseimbangan pasar lainnya. Hal itu dapat dikarenakan barang dari salah satu pasar merupakan input bagi pasar lainnya atau antara kedua pasar tersebut terdapat hubungan saling substitusi atau komplemen. Dalam analisis keseimbangan umum tidak hanya dilakukan analisis pencapaian keseimbangan pada suatu pasar barang atau jasa tetapi juga efeknya terhadap keseimbangan di pasar lainnya.
P Slope ∆X 2* = − X ∆X 1*
X2
C
* 1
PX * 2
C*
P x21
Slope
x2*
PX ∆X 2 =− 1 ∆X 1 PX 2
P* x22
C C*
x11
x1*
U2 U1
P O
U3
x12
X1
Sumber : Nicholson, 1997. Gambar 9. Keseimbangan Sektor Produksi dan Konsumsi
2.2. Tinjauan Studi Terdahulu 2.2.1. Tinjauan Studi Volatilitas Studi terkait volatilitas variabel ekonomi telah dilakukan antara lain oleh Rahutami (2008). Rahutami (2008) melakukan studi terkait dengan volatilitas
35
nilai tukar. Studi yang dilakukan bertujuan untuk mengamati daya dukung ekonomi makro, terutama berkaitan dengan kondisi volatilitas nilai tukar di ASEAN. Studi tersebut juga dimaksudkan untuk menganalisis kesiapan ASEAN dalam melakukan integrasi keuangan untuk mengurangi volatilitas nilai tukar. Pengukuran volatilitas dilakukan dengan menggunakan moving average standard deviation (MASD). Hasil studi menunjukan bahwa dalam ASEAN, Indonesia merupakan negara yang mengalami pergerakan mata uang domestik terhadap US$ yang paling fluktuatif. Lebih lanjut diungkapkan bahwa adanya volatilitas mata uang domestik negara-negara ASEAN terhadap US$ dan volatilitas Rupiah terhadap mata uang negara-negara ASEAN yang cenderung tinggi berimplikasi terhadap biaya yang tinggi dalam transaksi perdagangan sehingga mengurangi manfaat dari integrasi perdagangan. Penelitian terkait volatilitas nilai tukar yang dihubungkan dengan integrasi perdagangan juga telah dilakukan oleh Goeltom dan Suardhini (1997). Sementara itu, studi volatilitas nilai tukar yang dikaitkan dengan sektor industri telah dilakukan oleh Kandilov (2011).
Studi yang dilakukan
menggunakan model GARCH. Hasil studi yang diperoleh menunjukan bahwa volatilitas nilai tukar memberikan dampak yang negatif terhadap investasi perusahaan. Studi volatilitas yang terkait harga komoditi telah dilakukan antara lain oleh Jordan et al (2007) dan Balcom (2010). Jordan et al (2007) melakukan studi yang ditujukan untuk mengukur tingkat volatitilias dari lima komoditi pertanian yaitu: gandum, kedelai, jagung putih, jagung kunig dan bunga matahari. Dalam studi tersebut digunakan model ARIMA dan ARCH-GARCH. Hasil studi yang diperoleh menunjukan bahwa sebagian komoditi memiliki tingkat volatilitas yang konstan yaitu gandum dan kedelai. Sementara itu, volatilitas harga jagung putih,
36
jagung kuning dan bunga matahri bervariasi antar waktu (time varying). Lebih lanjut hasil studi mengungkapkan bahwa jagung putih merupakan komoditi dengan tingkat volatiltas tertinggi. Balcom (2010) dalam studinya menganalisis volatilitas pada harga komoditi pertanian. Hasil studi yang diperoleh menunjukan bahwa hampir semua komoditi memiliki trend stokastik yang signifikan dan sebagian besar komoditas memiliki komponen siklis. Lebih lanjut diungkapkan bahwa volatilitas masa lalu adalah prediktor signifikan dari volatilitas saat ini dan volatilitas harga minyak merupakan prediktor yang bermakna terhadap volatilitas komoditas pertanian. Dengan pertumbuhan sektor biofuel, harga komoditas dan harga minyak menjadi lebih terhubung, sehingga peran harga minyak di dalam menentukan volatilitas bahkan lebih kuat di masa depan. Studi terkait pengaruh shock harga minyak dalam perekonomian telah dilakukan antara lain oleh Mehrara dan Sarem (2009) serta Lescaroux dan Mignon (2009). Salah satu tujuan dari studi Mehrara dan Sarem (2009) adalah untuk menganalisis apakah terdapat hubungan kausalititas antara shock harga dan pertumbuhan output. Dengan menggunakan Grangger Causality Test berhasil diungkapkan bahwa terdapat hubungan kausalitas yang kuat antara shock harga minyak dengan pertumbuhan output dalam perekonomian Iran dan Arab Saudi. Lebih lanjut juga diungkapkan bahwa untuk kasus Indonesia, proksi minyak menunjukkan pengaruh terhadap output baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara itu, Lescaroux dan Mignon (2009) dalam studinya menggunakan Grangger Causality Test untuk analisis jangka pendek dan time series cointegration test untuk analisis jangka panjang. Hasil studi tersebut mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara harga minyak dan berbagai variabel makro.
37
Studi terkait dampak perubahan suku bunga dalam perekonomian antara lain telah dilakukan oleh Odhiambo (2009) dan Duburcq (2010). Odhiambo (2009) menggunakan cointegrasi dari error correction model. Hasil studi
menunjukan bahwa ada dampak positif yang kuat dari kebijakan liberalisasi suku bunga riil terhadap pasar finansial. Sementara itu, Duburcq (2010) menggunakan model VECM dalam studi yang dilakukannya. Hasil studi mengungkapkan bahawa impulse respon membuktikan bahwa perekonomian yang menganut regim fixed exchange rate tidak mengalami kehilangan otonomi keuangan yang lebih besar dibandingkan perekonomian yang menganut regim floating exchange rate. 2.2.2. Tinjauan Studi Dinamika Industri Kajian terkait dengan industri telah dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Pitelis dan Antonakis (2003) melakukan kajian terkait dengan industri pengolahan dan daya saing untuk kasus di Greece. Isu utama dari kajian tersebut adalah terkait dengan perdebatan deindustrilisasi dan pentingnya industri pengolahan. Berdasarkan isu tersebut, tujuan studi yang dilakukan adalah menguji hipotesi
deindustrialisasi. Temuan dari kajian menunjukan bahwa perubahan
share industri pengolahan memiliki dampak positif dan signifikan terhadap daya saing. Lebih lanjut disimpulkan bahwa hasil tersebut mendukung pentingnya industri pengolahan dalam komposisi output Greeke. Oliveira dan Fortunato (2006)
melakukan kajiannya mengenai
pertumbuhan perusahaan dan kendala likuiditas. Kajian tersebut menguji bagaimana kendala likuidatas yang dihadapi oleh perusahaan akan mempengaruhi pertumbuhan perusahaan pengolahan di Portugis. Studi tersebut dilakukan terhadap
semua
skala
perusahaan,
termasuk
usaha
kecil.
Hasil
studi
38
mengungkapkan bahwa perusahaan yang relatif lebih kecil dan lebih muda akan lebih sulit menghadapi kendala likuiditas dibandingkan dengan perusahaan yang realatif lebih mapan. Studi terkait dengan kendala finansial terhadap industri juga dilakukan oleh Scellato (2007) yang mengkaji tentang kendala finansial hubungannya dengan aktivitas inovasi. Hasil dari kajian tersebut mengungkapkan bahwa hanya perusahaan dengan kendala finansial yang lebih rendah yang akan secara kontinu dapat mempertahankan profil paten sepanjang waktu. Kajian tersebut juga mengungkapkan bahwa pasar kapital yang tidak sempurna dalam perekonomian Italia, khususnya pada perusahaan skala medium, cenderung menghambat inefisiensi dalam memulai aktivitas penelitian dan pengembangan (R&D). Audretsch, Houweling dan Thurik (2000) mengkaji tentang kelangsungan hidup (survival) perusahaan. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan disimpulkan bahwa
kemungkinan
keberlangsungan
perusahaan
didasarkan
atas
dua
karakteristik khusus yang meliputi karakteristik perusahaan dan lingkungan industri. Terkait karakteritik perusahaan diperoleh hasil bahwa keberlanjutan perusahaan meningkat sejalan dengan usia dan ukuran industri. Lebih lanjut disimpulkan bahwa dinamika industri yang terjadi di banyak negara relatif sama meskipun ada perbedaan besar dalam hal organisasi/kelembagaan perusahaan dan kebijakan. Dinamika industri lebih ditentukan oleh pengetahuan dan kondisi teknologi yang ada dalam perusahaan/industri dan sedikit ditentukan oleh perbedaan kelembagan yang ada antar negara. Sementara itu, studi yang dilakukan oleh Dunne dan Hughes (1994) menunjukan bahwa tingkat pertumbuhan
39
perusahaan pengolahan dan volatilitas memiliki hubungan yang negatif dengan ukuran dan umur perusahaan. Cabral dan Mata (2003) mengembangkan model pertumbuhan perusahaan yang didasarkan atas investasi dan akses terhadap kapital. Model tersebut memprediksikan bahwa adanya kendala kapital akan menyebabkan distribusi ukuran perusahaan menjadi lebih tidak simetris. Kendala kapital yang lebih buruk akan membuat distribusi perusahaan menjadi lebih tidak simetris. Intuisi dibalik hasil tersebut adalah perusahaan kecil dengan peluang investasi yang baik secara periodik tidak akan dapat meningkatkan sumberdaya untuk mengekploitasi peluang tersebut. Studi terbaru yang dilakukan terkait dengan kinerja industri di Indonesia adalah yang dilakukan oleh Oktaviani, et al (2007) yang meneliti tentang analisis kinerja, keragaan ekonomi dan prospek industri pengolahan. Penelitian yang dilakukan menggunakan beberapa model ekonometrika yaitu model panel, VAR dan analisis trend. Kesimpulan dari studi yang dilakukan oleh Oktaviani et al (2007) antara lain adalah bahwa pada industri besar, output industri merupakan faktor yang mempunyai pengaruh paling besar dalam meningkatkan Price Cost Margin (PCM) industri, diikuti oleh faktor efisiensi. Output industri dan efisiensi merupakan faktor yang berpengaruh positif dan signifikan terhadap PCM industri untuk hampir semua kelompok industri. Temuan ini menunjukkan bahwa industri pengolahan skala besar belum mencapai skala ekonomi. Output industri secara agregat masih bisa meningkat tanpa mengurangi keuntungan yang diterima oleh pelaku industri. Faktor yang mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap
40
penurunan tingkat keuntungan perusahaan pada industri pengolahan adalah pengeluaran untuk tenaga kerja. Namun pada beberapa sektor industri, faktor bahan baku dan penolong serta bahan bakar dan pelumas menjadi faktor yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap penurunan tingkat keuntungan perusahaan pada industri.
2.2.3. Tinjauan Studi Aplikasi Model Ekonomi Keseimbangan Umum Aplikasi model CGE telah digunakan untuk mengkaji berbagai isu perekonomian seperti liberalisasi perdagangan (Oktaviani, 2000; Chemingui, 2000; dan Mehlum, 2004;), Foreign Direct Investment (Lee dan Dominique, 2001; dan Maldonado, Oktavio dan Marcos, 2004), dan industri (Oktaviani, 2008; dan Bautista, Sherman, dan Moataz, 1999). Aplikasi model CGE yang saat ini juga banyak dikembangkan adalah terkait dengan isu perubahan iklim (Rosson, 2001; dan Berritela, et al, 2004). Aplikasi dari beberapa model CGE tersebut akan diuraikan pada bagian berikut. Mehlum (2004) menggunakan Model CGE yang diaplikasikan dalam menganalisis sumber-sumber dari fluktuasi pertumbuhan. Dalam kajian ini, capital stocks dikalibrasi dan fungsi permintaan investasi menjadi bagian analisis dampak jangka menengah dari liberalisasi perdagangan. Tujuan dari studi adalah menganalisis dinamika dalam jangka pendek dan menengah dari liberalisasi perdagangan. Hasil studi menunjukkan bahwa respon investasi menjadi kunci dari efek liberalisasi perdagangan baik dalam jangka pendek maupun jangka menengah. (1) Dalam jangka pendek, positif respon dari investasi akan meningkatkan permintaan impor. Pada regim fixed exchange rate maka keseimbangan current account menjadi lebih buruk. Jika keseimbangan current
41
account dipertahankan tetap maka, devaluasi menjadi suatu keharusan, upah unskilled labor akan turun. (2) Dalam jangka menengah, respon positif dari investasi akan menciptakan pertumbuhan yang merupakan prasyarat bagi peningkatan keseimbangan perdagangan. Chemingui (2000) menggunakan model CGE multi-regional yang bersifat dynamic recursive. Pergerakan kapital antar region didasarkan atas produktivitas kapital. Tujuan dari studi yang dilakukan adalah mengukur liberalisasi perdagangan terhadap jumlah aliran modal (FDI)
dampak dari yang masuk ke
Tunisia sehubungan terbentuknya free trade area dengan Uni Eropa. Hasil dari studi menunjukkan bahwa potensi investasi dapat dihasilkan dari hubungan kerjasama antara Tunisia dan Uni Eropa. Hubungan bilateral antara Tunisia dan Uni Eropa menarik lebih banyak FDI inflows masuk ke Tunisia baik dari Uni Eropa ataupun wilayah lain. Peningkatan pembiayaan dan technical assistance oleh Uni Eropa menjadi salah satu manfaat utama dari hubungan tersebut. Radulescu dan Michael (2005) menggunakan dynamic CGE untuk menganalisis dampak dari penerapan dual income tax di German terhadap formasi capital, investasi dan kesejahteraan. Ciri utama dari model yang dikembangkan adalah intertemporal investment model dan model tradisonal Ramsey untuk sisi rumah tangga. Hasil dari studi menunjukkan bahwa penerapan dual income tax yaitu proportional capital income tax sebesar 30 persen dan progressive labor income tax sebesar 35 persen mendorong investasi lebih besar atau terjadi peningkatan akumulasi capital. Dibandingkan dengan nilai steady state, capital stock dan GDP meningkat masing-masing sebesar 5.80 persen dan 3.30 persen serta konsumsi meningkat sebesar 2.80 persen. Kesejahteraan, yang diukur dalam
42
equivalent variation, meningkat sebesar 1.60 persen. Pendorong utama pertumbuhan ini adalah karena adanya penurunan besar dalam biaya capital sebagai hasil dari penurunan pajak Lee dan Dominique (2001) menganalisis dampak dari liberalisasi perdagangan dan Investasi APEC terhadap Output dan saling mempengaruhi antara FDI dan perdagangan. Model yang digunakan dikembangkan dari model CGE yang dibentuk oleh van der Mensbrugghe (2000). Pembedaan antara aktivitas perusahaan domestik dan asing merupakan ciri utama dari model, dan dengan memasukkan FDI dalam model. Hasil
studi menunjukkan bahwa
liberalisasi FDI memberikan tambahan manfaat yang lebih besar bagi perekonomian APEC dibandingkan dengan liberalisasi perdagangan. Pada sector manufaktur diketahui bahwa FDI dan trade memiliki hubungan komplemen pada APEC region. Liberalisasi perdagangan mendorong peningkatan aliran masuk dan aliran keluar FDI stocks, adapun liberalisasi FDI mendorong peningkatan impor dan ekspor manufaktur. Maldonado, Octavio dan Marcos (2004) menganalisis foreign reserve loss yang diharapkan dan aktual terjadi. Model yang digunakan adalah model CGE statis, meskipun demikian dipertimbangkan satu tipe efek dinamis yaitu: endogenous foreign capital flows. Hasil dari analisis komparatif statis dalam model dengan endogenous capital flow dan steady state berbeda dengan model konvensional yang tidak memiliki ciri tersebut.
Model dengan endogenous
capital flow menunjukkan peningkatan yang signifikan dalam foreign savings inflow dan perjanjian kerjasama memiliki pengaruh yang besar dan berkelanjutan terhadap GDP.
43
Oktaviani et al (2006) dalam Oktaviani (2008) menganalisis dampak perubahan variabel ekonomi terhadap sektor industri. Model CGE yang digunakan dalam menganalisis adalah CGE recursive dynamic. Model yang dikembangkan merupakan kombinasi dari model ORANI-F (Horridge et al, 1993), INDOF (Oktaviani, 2000), WAYANG (Wittwer, 1999), dan ORANIGRD (Horridge, 2002). Hasil studi menunjukan bahwa kenaikan tarif dasar listrik menyebabkan penurunan output domestik pada sektor industri prioritas. Namun demikian penurunan output domestik tidak secara otomatis diikuti dengan penurunan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, peningkatan produktivitas sebagian besar industri prioritas berdampak positif terhadap kinerja ekonomi pada tingkat mikro. Peningkatan produktivitas meningkatkan output sebagian besar besar sektor, termasuk sepuluh industri prioritas. Studi Bautista, Sherman dan Moataz (1999) menggunakan analisis multiflier SAM dan model CGE untuk menganalisis alternatif pertumbuhan industri pasca krisis tahun 1997. Hasil analisis menunjukan bahwa industrialisasi pertanian memiliki keterkaitan makro yang kuat yang mendorong peningkatan GDP.
2.3. Kerangka Pemikiran
2.3.1. Kerangka Model
2.3.1.1. Model ARCH-GARCH ARCH (Autoregressive Conditional Heteroscedasticity), pertama kali dipopulerkan oleh Engle (1982). ARCH adalah sebuah konsep tentang fungsi autoregresi yang mengasumsikan bahwa varians berubah terhadap waktu dan nilai varians tersebut dipengaruhi oleh sejumlah data sebelumnya.
Model ini
44
dikembangkan terutama untuk menjawab persoalan adanya volatilitas pada data ekonomi dan bisnis, khususnya dalam bidang keuangan. Dalam metode OLS, error diasumsikan homoskedastis, yaitu variansi dari error konstan dan terdistribusi normal dengan rata-rata nol. Menurut Engle (1982), varian tergantung dari varian dimasa lalu sehingga heteroskedastisitas dapat dimodelkan dan varian diperbolehkan untuk berubah antar waktu. Misalkan Y 1 , Y 2 , ..., Y t merupakan deret waktu pengamatan return dan (Y t ) adalah sebuah proses yang mengikuti persamaan ARMA (p,q). Dalam bentuk persamaan ditulis sebagai (Firdaus, 2006): Y t – Φ 1 Y t-1 – Φ 2 Y t-2 - ... - Φ p Y t-p = ε t – θ 1 ε t-1 – θ 2 ε t-2 - ... - θ q ε t-q ........... (2.14) dimana ε t adalah white noise. Persamaan tersebut dapat ditulis : (Φ p B) Y t = (θ q B) ε t ..........……………………………………............. (2.15) dimana B adalah operator backshift. Jika q = 0 ARMA (p,q) sama dengan proses autoregressive dengan orde-p, AR(p), yang dapat ditulis dalam bentuk persamaan sebagai berikut : Y t = φ + Φ 1 Y t-1 + Φ 2 Y t-2 + ... + Φ p Y t-p + ε t .........…………………… (2.16) dengan E(εt) = 0 σ2, untuk t = τ E (εt, ε τ ) = 0, untuk selainnya
Proses memiliki persamaan varians stasioner jika
45
1-Φ 1 Y1– Φ 2 Y2 - ... – Φ p Yp = 0. Peramalan linier yang optimal dari Y t untuk proses AR(p) adalah: Ê (Y t |Y t-1 , Y t-2 , ... ) = φ + Φ 1 Y t-1 + Φ 2 Y t-2 + ... + Φ p Y t-p ……………..(2.17) dimana Ê (Y t |Y t-1 , Y t-2 , ... ) menunjukkan proyeksi linier dari Y t terhadap konstanta dari (Y t-1 , Y t-2 , ... ). Jika rataan bersyarat dari Y t berubah-ubah pada tiap titik waktu mengikuti persamaan di atas dan proses tersebut memiliki peragam yang stasioner, maka rataan tak bersyarat dari Y t adalah konstan sebagai berikut: E (Y t ) = φ / (1 - Φ 1 - Φ 2 - ... - Φ p ) ..............……..…………….…….. (2.18) Dalam persamaan ini tidak hanya peramalan terhadap Y t saja, melainkan juga peramalan varians. Varians yang berubah-ubah pada setiap titik waktu juga mempunyai implikasi terhadap validitas dan efisiensi dalam estimasi parameter (φ, Φ 1 , Φ 2 ,..., Φ p ). Walaupun persamaan (2.14) berimplikasi bahwa varians bersyarat dari ε t adalah konstan sebesar σ2, namun pada kenyataannya varians bersyarat dari ε t dapat berubah-ubah terhadap titik waktu. Satu pendekatan yang digunakan untuk mendeskripsikan kuadrat dari εt yang mengikuti proses AR (m): ε t = ξ + α 1 ε2 t-1 + α 2 ε2 t-2 + ... + α m ε2 t-m + ω t ................……………… (2.19) peubah ω t adalah proses white noise yang baru, dengan E(ω t ) = 0 λ
, untuk t = τ
2
E(ωt , ω τ ) = 0, untuk selainnya
46
Karena ε t juga merupakan residual dari peramalan Y t , persamaan di atas berimplikasi bahwa proyeksi linier kuadrat residual dari ramalan Y t terhadap m kuadrat residual peramalan sebelumnya adalah sebagai berikut: E (ε2 t | ε2 t-1 , ε2 t-2 , ...) = ξ + α 1 ε2 t-1 + α 2 ε2 t-2 + ... + α m ε2 t-m …………… (2.20) Proses white noise yang memenuhi persamaan (2.6) dikenal sebagai model Autoregressive Conditional Heteroscedasticity dengan orde m atau ARCH (m). Proses ini dinotasikan : εt ~ ARCH (m) Persamaan ini sering juga ditulis sebagai berikut: h t = ξ + α 1 ε2 t-1 + α 2 ε2 t-2 + ... + α m ε2 t-m …..…..……………………… (2.21) dimana h t = E (ε2 t |ε2 t-1 , ε2 t-2 , ... ) yang sering disebut sebagai ragam. Proses ε t ~ ARCH (m) dicirikan oleh ε2 t = h t .Vt; dimana Vt ~ N (0,1). Lebih umum lagi dapat diperlihatkan sebuah proses dimana ragam bersyaratnya tergantung pada jumlah beda kala terhingga dari ε2 t-j h t = ξ + π(L) ε2 t ……………………………………………………. (2.22) dengan ∞
π ( L) = ∑ π j L2 j =1
kemudian π(L) diparameterisasi sebagai rasio dari 2 orde polinomial terhingga :
π ( L) =
α ( L) α ( L)1 + α 2 ( L) 2 + α 3 ( L)3 + ........ + α m ( L) m = 1 1 − δ ( L) 1 − δ1 ( L)1 − δ 2 ( L) 2 − δ 3 ( L)3 − ........ − δ r ( L) r
dimana diasumsikan bahwa akar dari 1−δ (L) = 0. Jika persamaan di atas dikalikan dengan 1−δ (L), maka diperoleh persamaan sebagai berikut :
47
[1−δ (L)] h t = [1−δ (L) ] ξ + α (L) ε2t atau h t = к + δ 1 h t-1 + δ 2 h t-2 + ... + δ r h t-r + α 1 ε2 t-1 + α 2 ε2 t-2 + ... + α m ε2 t-m .. (2.23) untuk к = [1 - δ1 – δ2 - ... – δr] ξ. Persamaan (2.23) dikenal sebagai model General Autoregressive Conditional Heteroscedasticity dengan orde r dan orde m yang biasa dinotasikan sebagai ε t ~ GARCH (r, m). Pada persamaan (2.23) dapat diketahui bahwa varian terdiri dari 3 komponen: (1) komponen pertama adalah varian yang konstan (к); (2) komponen kedua adalah varian pada periode sebelumnya (h t-r ); dan komponen ketiga adalah volatilitas pada periode sebelumnya (ε2 t-m ).
2.3.1.2. Model Keseimbangan Umum Model keseimbangan umum adalah model ekonomi yang menganalisis perekonomian secara menyeluruh. Model tersebut menjelaskan bahwa suatu perekonomian terdiri dari beberapa pasar yang saling berinteraksi. Perubahan yang terjadi di suatu pasar akan diikuti dengan penyesuaian pada pasar-pasar lainnya. Keseimbangan umum akan tercapai apabila permintaan dan penawaran pada setiap pasar mencapai keseimbangan. Oktaviani (2008) menjelaskan bahwa berbeda dengan model ekonomi parsial, model keseimbangan umum (Computable General Equilibrium/CGE) dapat menganalisis pasar secara lengkap dan saling berinteraksi satu sama lain. Lebih lanjut, Oktaviani (2008) menjelaskan bahwa model keseimbangan umum (CGE) merupakan model makroekonomi yang mengintegrasikan mikroekonomi dan makroekonomi. Model struktural CGE dibangun dengan dasardasar teori ilmu mikroekonomi dimana tingkah laku agen-agen ekonomi
48
dijelaskan secara spesifik dan detil dalam bentuk sistem persamaan (behavioral equations). Model CGE merubah struktur general equlibrium Walras, yang diperkenalkan oleh Kenneth Arrow dan Gerald Debreu pada tahun 1950, dari abtraksi ekonomi ke dalam model ekonomi aktual dengan menspesifikasikan fungsi produksi dan fungsi demand yang digabungkan dengan data untuk menggambarkan kondisi real perekonomian. Model CGE merupakan pengembangan lebih lanjut dari model I-O, model Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE) dan mengkombinasikannya dengan ekonometrika. Model CGE digunakan secara luas dalam membahas masalahmasalah yang meliputi industri, investasi, perdagangan internasional, perencanaan pembangunan, pembiayaan publik, lingkungan dan pengelolaan sumberdaya, penyesuaian struktural dan transisi ke perekonomian pasar. Dalam model CGE, banyak transaksi diestimasi secara empirik baik melalui estimasi ekonometrika maupun melalui penelitian-penelitian dan studi literatur sebelumnya. Keterbatasan data sering menjadi kendala dalam pengembangan model CGE di Indonesia, sehingga pengembangan CGE memerlukan dukungan dari berbagai disiplin ilmu. Setiap model mempunyai keunggulan dan keterbatasan. Keunggulan model CGE adalah (Oktaviani, 2008): 1.
Dibandingkan dengan model keseimbangan parsial, model CGE sudah memasukkan semua transaksi antara pelaku-pelaku ekonomi secara keseluruhan, baik di pasar faktor produksi maupun pasar komoditi. Sehingga dampak dari suatu kebijakan akan dapat dianalisis pengaruhnya secara
49
kuantitatif terhadap kinerja ekonomi baik secara makro maupun secara sektoral (Horison, 1997). 2.
Dibandingkan dengan model Input Output (I-O), model CGE sudah memasukkan kemungkinan substitusi antara faktor produksi sehingga jika terjadi perubahan harga relatif dari suatu faktor produksi, produsen akan merubah komposisi penggunaan faktor produksi ke arah faktor produksi yang harganya relatif lebih murah. Sedangkan pada model I-O substitusi antara faktor produksi tidak dimungkinkan. Selain itu, pada model I-O dampak dari suatu kebijakan hanya dapat dianalisis di tingkat industri, sedangkan pada model CGE dampak kebijakan dapat dianalisis pada tingkat institusi, distribusi pendapatan diantara golongan rumah tangga, distribusi pendapatan diantara faktor produksi primer, neraca perdagangan dan sebagainya (Horison, 1997). Lebih lanjut, Wobs (2001) menyatakan bahwa pada model CGE harga sudah dimasukkan sebagai variabel endogen, sedangkan pada model I-O harga dianggap sebagai variabel eksogen.
3.
Dibandingan dengan Social Accountinng Matrix (SAM) atau Sistem Neraca Sosial Ekonomi (SNSE), model CGE sudah memasukkan persamaan non linier. Disamping itu, pada model CGE harga sudah dimasukkan sebagai variabel endogen. Sedangkan pada SAM sistem persamaan yang digunakan adalah persamaan linier dengan asumsi model Leontif, sehingga substitusi antara faktor tidak dimungkinan dan seperti pada model I-O, pada model SAM harga merupakan variabel eksogen. Perbedaan lainnya adalah pada SAM diasumsikan penawaran komoditi dan faktor produksi elastis sempurna,
50
sedangkan pada CGE diasumsikan ada pembatasan supply (Bautista et al, 1999). 4.
Dibandingkan dengan model makro ekonometrika, model CGE dapat mengacu pada tahun tertentu (particular benchmark years), sedangkan pada model makro ekonometrika data yang digunakan merupakan data deret waktu sehingga tidak dapat diaplikasikan pada tahun tertentu. Disamping itu dengan menggunakan model CGE hubungan antara makro ekonomi dangan mikroekonomi dapat diketahui, sementara pada model makro ekonometrika analisis dan dampak hanya dapat dilakukan di tingkat makro (Horison, 1997). Sementara itu, CGE juga memiliki sejumlah keterbatasan, yaitu
(Oktaviani, 2008): 1. Asumsi utama dalam model CGE mengenai struktur pasar adalah pasar persaingan sempurna (PPS) dengan kondisi constant return to scale, sehingga untuk komoditi dengan pasar non-PPS asumsi ini menjadi keterbatasan model. 2. Adanya ketergantungan model CGE pada parameter benchmark yang dikalibrasi, karena model CGE tidak dapat mengestimasi parameter-parameter tersebut. Sehingga untuk parameter-parameter tertentu biasanya diambil dari penelitian terdahulu. Permasalahannya kadang-kadang data tersebut, terutama di negara-negara berkembang tidak tersedia. 3. Model CGE terlalu kompleks dan terlalu banyak menggunakan asumsi, sehingga akan muncul permasalahan black box sehingga sulit untuk menerangkan jika hasil estimasi yang didapat tidak sesuai dengan teori ekonomi atau prediksi yang diharapkan.
51
4. Tidak seperti model ekonometrika, pada model CGE tidak ada validitas terhadap pengolahan, sehingga bagi orang-orang yang mengutamakan kevalidan dalam model merasa akan sangat riskan menggunakan model CGE. Validitas model dan data base ditunjukan dengan pemenuhan asumsi keseimbangan umum dan signifikansi dari parameter yang digunakan. 5. Model CGE tidak dapat menangkap perubahan perekonomian yang sangat besar (tidak dapat menganalisis perubahan persentase lebih dari 100 persen).
2.3.2. Kerangka Pemikiran Operasional Industri pengolahan merupakan sektor yang dominan dalam perekonomian Indoensia. Kontribusi industri dalam perekonomian ditunjukan dalam hal pembentukan PDB, penyerapan tenaga kerja serta pembentukan devisa melalui ekspor. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukan bahwa kontribusi sektor industri terhadap PDB pada tahun 2009 adalah sebesar 26.16 persen. Sementara itu, dalam penyerapan tenaga kerja kontribusi sektor industri adalah 12.24 persen dan kontribusi dalam ekspor adalah sebesar 73.69 persen dari total nilai ekspor non-migas. Kontribusi sektor industri yang relatif besar dalam perekonomian merupakan implikasi dari kinerja sektor industri tersebut. Kinerja yang dicapai sektor industri tentunya dipengaruhi oleh berbagai faktor yang meliputi faktor internal dan eksternal. Perkembangan yang terjadi pada internal dan eksternal faktor akan mempengaruhi kinerja sektor industri. Agar pertumbuhan yang dicapai sektor industri pengolahan dapat ditingkatkan/dipertahankan maka
52
menjadi penting untuk mengantisipasi berbagai perubahan yang terjadi dalam perekonomian. Dinamika yang terjadi dalam perekonomian global dan nasional pada tahun 2008 memberikan peluang sekaligus tantangan bagi perkembangan sektor industri pengolahan di Indonesia. Pada akhir tahun 2007 sampai dengan awal 2008, dinamika perekonomian distimulus dengan terjadinya krisis enerji global yang memicu peningkatan harga minyak dunia. Harga minyak dunia meningkat dari kisaran 60-65 US$ per barrel pada pertengahan tahun 2007 melonjak di atas 100 US$ per barrel pada awal tahun 2008. Di dalam negeri kenaikan harga minyak dunia direspon oleh pemerintah dengan menaikan harga BBM jenis premium dan solar yaitu dari Rp 4 000/liter menjadi Rp 6 000/liter. Peningkatan harga
BBM tersebut menjadi ganjalan yang sangat serius bagi pemulihan
perekonomian nasional, tidak terkecuali bagi sektor industri pengolahan. Dampak kenaikan harga BBM terhadap sektor industri pengolahan tentunya akan mempengaruhi struktur biaya produksi. Sementara itu terhadap rumah tangga, kenaikan harga BBM cenderung akan menurunkan daya beli masyarakat. Peningkatan dalam biaya produksi di satu sisi dan penurunan daya beli masyarakat di sisi yang lain sebagai konsekuensi kenaikan harga BBM pada akhirnya akan cenderung mendorong industri untuk melakukan pengurangan volume produksi dan rasionalisasi (PHK) karyawan. Dengan demikian dapat dipahami bahwa dalam perspesktif makro ekonomi, perubahan variabel harga BBM akan cenderung diikuti oleh penurunan volume produksi berbagai kelompok industri dan sektor perekonomian lainnya. Perubahan tersebut secara agregat akan menyebabkan turunnya total produksi/pendapatan nasional dan mendorong
53
peningkatan pengangguran. Kondisi tersebut merupakan kondisi yang tentunya tidak diharapkan baik oleh pemerintah, masyarakat maupun pengusaha. Lebih lanjut, perkembangan yang terjadi pada bulan-bulan terakhir tahun 2008 adalah terjadinya penurunan harga minyak di pasaran internasional dan sudah direspon oleh pemerintah dengan menurunkan harga BBM dalam negeri. Pada bulan Desember 2008 Pemerintah memutuskan untuk menurunkan harga BBM jenis premium dan solar dari Rp 6 000/liter menjadi Rp 5 000/liter yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 2009. Selanjutnya pemerintah kembali menurunkan harga kedua jenis BBM tersebut dari Rp 5 000/liter menjadi Rp 4 500/liter. Namun demikian, tekanan terhadap perekonomian nasional dan sektor industri justru muncul akibat dari krisis keuangan di Amerika Serikat. Krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat diprediksikan akan mulai terasa dampaknya terhadap perekonomian dan industri Indonesia pada awal tahun 2009. Krisis keuangan di Amerika Serikat (AS) mengakibatkan menurunnya permintaan (impor) masyarakat AS terhadap produk industri, termasuk yang berasal dari Indonesia. Penurunan pasar ekspor Amerika Serikat terhadap produk industri pengolahan Indonesia memberikan tekanan terhadap berbagai industri pengolahan. Sejumlah industri merespon guncangan yang terjadi dengan melakukan rasionalisasi karyawan. Sementara itu, pemerintah menghimbau agar industri yang selama ini merupakan industri yang berorientasi ekspor untuk juga mengembangkan pasar domestik. Disamping itu, pemerintah juga mengambil sejumlah kebijakan untuk memberikan insentif kepada dunia usaha (industri) agar dapat terus berproduksi dalam situasi saat ini. Berbagai kebijakan yang ditempuh pemerintah dalam mendorong dunia usaha antara lain adalah dengan menurunkan
54
harga BBM dalam negeri untuk industri, pemberian stimulus fiskal (pemotongan pajak) dan penurunan BI Rate. Disamping guncangan yang disebabkan oleh kenaikan harga BBM dan krisis keuangan global, perekonomian kita juga pernah mengalami krisis moneter yang terjadi pada tahun 1997. Krisis moneter yang kemudian diikuti dengan krisis multidimensi tersebut menyebabkan nilai tukar rupiah terdepresiasi secara signifikan. Gejolak yang terjadi dalam nilai tukar tersebut juga sangat mempengaruhi kondisi makroekonomi Indonesia dan pertumbuhan sektoral di tanah air. Sektor industri merupakan salah satu sektor yang juga menghadapi tekanan pada saat krisis tersebut berlangsung. Berbagai fenomena yang terjadi dalam perekonomian secara langsung akan tercermin pada fluktuasi berbagai variabel ekonomi. Fluktuasi suatu variabel ekonomi seperti: harga minyak dunia, harga ekspor industri, suku bunga dan nilai tukar (devaluasi riil) akan berdampak terhadap kondisi makro ekonomi dan kinerja sektor-sektor perekonomian, termasuk sektor industri pengolahan. Semakin besar volatilitas suatu variabel maka akan memberikan dampak yang juga semakin besar terhadap kinerja makroekonomi dan sektoral. Untuk mengukur volatilitas suatu variabel ekonomi maka dilakukan analisis volatilitas dengan model ARCH-GARCH. Peningkatan suku bunga akan sangat menyulitkan sektor industri terkait dengan biaya modal yang semakin tinggi sehingga dapat mempengaruhi likuiditas perusahaan. Hal tersebut dapat menghambat pertumbuhan investasi pada sektor industri. Lebih lanjut, akan menyebabkan penurunan total investasi dalam perekonomian. Mankiw (2003) menjelaskan bahwa terdapat hubungan yang
55
negatif antara tingkat suku bunga dengan investasi. Sejumlah peneliti yang telah mengkaji keterkaitan kendala likuiditas dan pertumbuhan industri antara lain adalah Scellato (2007) dan Oliveira dan Fortunato (2006). Oktaviani (2008) secara khusus telah mengkaji dampak perubahan tingkat suku bunga terhadap sektor industri di Indonesia. Seperti halnya peningkatan suku bunga, kenaikan harga BBM akan memberatkan sektor industri karena akan meningkatkan biaya produksi. Peningkatan biaya produksi tersebut akan cenderung mendorong perusahaan untuk mengurangi volume produksi. Lipsey et al (1997) menjelaskan bahwa penawaran output perusahaan akan dipengaruhi oleh sejumlah faktor, salah satunya adalah harga input. Peningkatan harga input akan cenderung menurunkan jumlah penawaran perusahaan. Sementara itu, fluktuasi harga ekspor industri juga diprediksi akan turut mempengaruhi pertumbuhan sektor industri. Fluktuasi harga tersebut akan memberikan insentif bagi sektor industri untuk berproduksi.
Industri yang
harganya meningkat akan memperoleh insentif yang lebih besar dengan menghasilkan produksi lebih banyak. Adapun penguatan nilai tukar (devaluasi riil) akan cenderung menurunkan daya saing produk dalam negeri. Penguatan nilai tukar domestik terhadap mata uang asing akan menyebabkan harga relatif produk nasional menjadi lebih mahal dibandingkan produk negara pesaing. Dengan demikian, daya saing produk nasional akan mengalami penurunan dan menjadi lebih rendah dibandingkan produk negara pesaing. Penurunan daya saing tersebut akan membuat produkproduk yang dihasilkan menjadi kurang diminati. Penurunan daya saing produk
56
nasional akan menyebabkan pasar domestik lebih didominasi oleh produk impor. Sementara itu di pasar internasional, penurunan daya saing tersebut akan dapat menyebabkan penurunan ekspor produk nasional. Konsekuensi dari penurunan daya saing tersebut pada akhirnya akan menyebabkan pertumbuhan industri akan mengalami perlambatan atau bahkan mengalami kemunduran. Porter (1998) menyatakan bahwa keunggulan suatu negara bergantung pada kemampuan perusahaan-perusahaan di dalam negara tersebut untuk berkompetisi dalam menghasilkan produk yang dapat bersaing di pasar. Lebih lanjut dijelaskan bahwa daya saing dapat diidentifikasikan dengan produktifitas, yakni tingkat output yang dihasilkan untuk setiap input yang digunakan. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa berbagai dinamika yang terjadi pada perekonomian nasional ataupun global akan tercermin pada volatilitas sejumlah variabel ekonomi. Seberapa besar volatilitas yang terjadi akan mempengaruhi sektor industri pengolahan dan makroekonomi Indonesia, tentunya akan bergantung kepada seberapa besar volatilitas yang terjadi. Khusus bagi sektor industri pengolahan dampak dari volatilitas tersebut juga akan ditentukan oleh karakteristik industri itu sendiri. Untuk kelompok industri tertentu, volatilitas suatu variabel ekonomi akan memberikan dampak yang sangat besar terhadap pertumbuhan output industri tersebut sedangkan bagi industri yang lain pengaruhnya relatif lebih kecil. Dengan demikian menjadi suatu hal yang penting untuk memetakan (mapping) kelompok industri berdasarkan sensitivitasnya terhadap volatilitas suatu variabel ekonomi tertentu. Pemetaan kelompok industri dimaksudkan untuk memberikan panduan bagi Pemerintah dalam menentukan skala prioritas industri apa yang seharusnya
57
diselamatkan terlebih dahulu ketika terjadi volatilitas yang besar pada suatu variabel ekonomui tertentu. Hal ini terkait dengan peran Pemerintah sebagai regulator sekaligus fasilitator dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Pemerintah sangat berkepentingan terhadap pertumbuhan sektor industri pengolahan. Berbagai kebijakan akan ditempuh Pemerintah dalam mendorong pertumbuhan sektor industri pengolahan baik pada saat perekonomian berada dalam pertumbuhan normal dan terlebih pada saat perekonomian sedang mengalami tekanan (krisis). Terdapat sejumlah kebijakan yang dapat ditempuh Pemerintah untuk mendorong kinerja industri pengolahan. Namun yang seringkali menjadi pertanyaan adalah kebijakan seperti apa yang dinilai lebih efektif dalam mendorong pertumbuahan sektor industri pengolahan, khususnya pada saat terjadinya krisis perekonomian. Untuk menganalisis dampak volatilitas variabel ekonomi terhadap sektor industri pengolahan maka digunakan model CGE. Model CGE yang digunakan adalah model CGE recusive dynamic yang dikembangkan oleh Oktaviani (2000) atau yang lebih dikenal dengan Model INDOF.
Devarajan et al (1994)
mengungkapkan bahwa dibandingkan dengan model keseimbangan parsial, pendekatan keseimbangan umum dapat menangkap lebih baik kaitan intersektoral dan makroekonomi. Model keseimbangan umum memberikan analisis yang lebih rinci mengenai dampak suatu kebijakan terhadap kondisi sektoral. Model INDOF digunakan untuk mensimulasi dan mengukur dampak volatilitas variabel ekonomi terhadap kinerja sektoral, khususnya sektor industri pengolahan, dan makroekonomi Indonesia. Dampak volatilitas terhadap kinerja sektoral diukur berdasarkan indikator kinerja sektoral yang meliputi: output,
58
tingkat harga, ekspor, impor dan penyerapan tenaga kerja. Sementara itu, dampak volatilitas variabel ekonomi terhadap kinerja makroekonomi diukur berdasarkan indikator-indikator yang meliputi GDP riil, konsumsi rumah tangga, investasi, ekspor, dan impor. Lebih lanjut, berdasarkan analisis dampak tersebut akan dirumuskan rekomendasi kebijakan yang dinilai dapat mendorong kinerja sektor industri pengolahan dan makroekonomi Indonesia. Secara skematis kerangka pendekatan analisis yang dilakukan ditunjukan pada Gambar 10.
2.4. Hipotesis Penelitian Berdasarkan landasan teori dan penelitian terdahulu, maka hipotesis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1.
Variabel harga minyak dunia, harga ekspor industri, suku bunga riil dan devaluasi riil merupakan variabel ekonomi yang volatile.
2.
Volatilitas variabel harga minyak dunia, suku bunga riil dan devaluasi riil berdampak negatif terhadap kinerja sektor industri pengolahan dan makroekonomi Indonesia.
3.
Volatilitas harga ekspor industri berdampak positif terhadap kinerja sektor industri pengolahan dan makroekonomi Indonesia.
19
Dinamika Perekonomian Nasional dan Global
- Awal 2008: Krisis Energi (Kenaikan Harga BBM) - Akhir 2008-2009: Krisis Keuangan AS Analisis Volatilitas: Model ARCHGARCH
Volatilitas Variabel Suku Bunga
Harga Minyak Dunia
Biaya Modal
Biaya Produksi
Harga Ekspor Industri
Devaluasi Riil
Daya Saing
Kinerja Makro Ekonomi
Kinerja Sektor Industri Output
Harga
Ekspor
Impor
Penyerapan TK
Harga
Ekspor
Impor
Investasi
GDP
Kinerja Sektor Lainnya
Output
Konsumsi
Ekspor r
Impor
Analisis Dampak Volatilitas: Model CGE INDOF
Penyerapan TK
Rekomendasi Kebijakanan bagi Sektor Industri Pengolahan dan Makroekonomi Indonesia
59
Gambar 10. Kerangka Pemikiran Operasional