II TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Usaha Peternakan Ayam Broiler Usaha peternakan ayam broiler telah banyak berkembang di Indonesia.
Hal ini ditandai dengan kecenderungan peningkatan jumlah produksi daging ayam broiler di berbagai daerah di Indonesia dari tahun 2006 hingga tahun 2011 (Lampiran 1). Menurut Rasyaf (2010), galur murni ayam broiler sudah ada sejak tahun 1960. Namun, di Indonesia ayam broiler baru populer secara komersial pada tahun 1980. Perkembangan usahaternak ayam broiler didukung oleh semakin meningkatnya jumlah penduduk dan total pendapatan per kapita. Selain itu, harga daging ayam broiler pun cukup terjangkau bagi masyarakat sehingga lebih banyak dikonsumsi dibandingkan jenis daging hewan lainnya. Seiring
dengan
perkembangan
ilmu
pengetahuan
dan
teknologi,
menjadikan waktu pemeliharaan yang dibutuhkan dalam membudidayakan ayam broiler semakin singkat, yakni rata-rata pada umur 35 hari, ayam broiler sudah dapat dipanen. Hal ini mengakibatkan semakin banyak investor (peternak) yang berminat untuk membudidayakan ayam broiler. Waktu pemeliharaan ayam broiler yang cukup singkat, mengimplikasikan jumlah modal yang telah ditanamkan akan cepat kembali. Selain itu, peternak pun masih dapat memperoleh penerimaan tambahan dari produk sampingan ayam broiler, yaitu kotoran ayam yang dapat dijual untuk dimanfaatkan sebagai pupuk kandang. Tabel 5. Perkembangan Performa Ayam Broiler Umur 35 Hari No. Tahun Bobot (Kg)
FCR
1.
< 1980
1,0 – 1,2
1,9 – 2,0
2.
1980
1,2 – 1,4
1,8 – 1,9
3.
1990 – 2000
1,4 – 1,6
1,7 – 1,8
4.
>2000
>1,6
<1,7
Sumber : Santoso dan Sudaryani (2009)
Menurut Santoso dan Sudaryani (2009), performa ayam broiler di Indonesia terus menagalami perkembangan yang baik. Berdasarkan Tabel 5, bobot ayam broiler umur 35 hari semakin mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, hingga pada usia tersebut ayam broiler sudah dapat dipanen. Selain itu, nilai FCR
(Feed Convertion Ratio) yang dihasilkan dari tahun ke tahun pun semakin kecil. Hal ini mengindikasikan bahwa usahaternak ayam broiler di Indonesia semakin efisien, yaitu untuk menghasilkan bobot rata-rata ayam broiler yang cukup besar membutuhkan penggunaan pakan yang lebih sedikit. Sistem agribisnis ayam broiler di Indonesia melipuuti subsistem hulu, subsistem onfarm, subsistem hilir, dan subsistem penunjang. Sistem agribisnis tersebut saling terintegrasi satu sama lain secara ke depan (forward) maupun ke belakang (backward), dan ke atas (upstream) maupun ke bawah (downstream). Serangkaian sistem agribisnis ayam broiler tersebut dilakukan untuk memberikan dan atau menciptakan nilai tambah. Subsistem agribisnis hulu ayam broiler meliputi seluruh aktivitas pengadaan sarana produksi ternak yang terdiri dari, lahan, kandang, DOC (Day Old Chick), pakan, peralatan, mesin, obat-obatan, vitamin, vaksin, bahan bakar, dan tenaga kerja. Subsistem agribisnis onfarm meliputi keseluruhan aktivitas yang berkaitan langsung dengan proses budidaya ataupun produksi ayam broiler dan menggunakan sarana produksi ternak dari subsistem agribisnis hulu. Aktivitas yang berkaitan langsung dengan proses budidaya ayam broiler meliputi aktivitas pemanasan dan pembesaran. Subsistem agribisnis hilir ayam broiler meliputi aktivitas-aktivitas distribusi dan pengolahan produk yang dihasilkan oleh subsistem onfarm. Pada subsistem agribisnis hilir, aktivitas diawali dengan proses pemanenan, pemasaran, dan pengolahan ayam broiler. Subsistem penunjang merupakan subsistem yang mendukung dan berperan langsung terhadap seluruh kegiatan yang ada pada subsistem hulu, subsistem onfarm, dan subsistem hilir. Subsistem penunjang terdiri dari aktivitas-aktivitas yang dijalankan oleh lembagalembaga penunjang seperti, lembaga keuangan, hukum, informasi dan komunikasi, transportasi, pendidikan, dan penelitian 2.2.
Faktor-faktor Produksi Budidaya Ayam Broiler Menurut Santoso dan Sudaryani (2009), faktor-faktor produksi yang perlu
diperhatikan dalam pembudidayaan ayam broiler antara lain, kandang, DOC, pakan, vaksin, dan tenaga kerja.
13
2.2.1. Kandang Kandang merupakan faktor produksi pertama yang harus diperhatikan oleh peternak. Menurut Jayanata dan Harianto (2011), jenis kandang ayam broiler berdasarkan konstruksi dindingnya dibedakan menjadi kandang terbuka dan kandang tertutup. Namun, Jayanata dan Harianto (2011) menambahkan bahwa penggunaan jenis kandang terbuka lebih banyak dipilih oleh peternak. Beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh peternak dalam proses penyediaan kandang antara lain : 1. Lokasi Kandang Lokasi kandang yang baik adalah terletak jauh dari pemukiman penduduk dan peternakan lain. Menurut Santoso dan Sudaryani (2009), jarak antara kandang dengan pemukiman penduduk adalah minimal 500 meter, sedangkan jarak dengan peternakan lain minimal 1.000 meter. Lokasi kandang yang jauh dari pemukiman penduduk
dimaksudkan
agar
aktivitas
penduduk
tidak
mengganggu
keberlangsungan budidaya ayam broiler ataupun sebaliknya, budidaya ayam broiler tidak menimbulkan efek eksternalitas negatif kepada penduduk. Di samping itu, lokasi kandang yang jauh dari peternakan lain, merupakan salah satu upaya antisipasi penyebaran penyakit yang didatangkan dari peternakan lain. Menurut Setiawan (2010), lokasi yang berada di sekitar hutan atau yang dipenuhi oleh banyak pohon, sangat cocok untuk dijadikan sebagai tempat peternakan unggas, khususnya ayam broiler. Ketersediaan air, saluran listrik, dan kondisi infrastruktur juga harus diperhatikan oleh peternak dalam memilih lokasi pendirian kandang, guna mendukung kelancaran budidaya ayam broiler. 2. Kapasitas Kandang Ukuran kandang sangat mempengaruhi kapasitas pemeliharaan ayam broiler. Menurut Rasyaf (2010), kapasitas pemeliharaan ayam broiler dapat disesuaikan dengan lokasi peternakan. Kapasitas pemeliharaan yang disarankan bagi peternakan ayam broiler yang berada di dataran rendah adalah sebanyak 8 – 9 ekor per meter persegi. Kapasitas pemeliharaan yang disarankan bagi peternakan ayam broiler yang berada di dataran tinggi adalah sebanyak 11 – 12 ekor per meter persegi. Oleh karena itu, para peternak ayam broiler sebaiknya
14
menyesuaikan lokasi peternakan, jumlah ayam broiler yang akan dipelihara, dan luas kandang yang dimiliki. 3. Ventilasi Kandang Menurut Rasyaf (2010), semakin tinggi suhu di dalam kandang, umur, dan bobot ayam broiler, maka semakin banyak jumlah udara segar yang dibutuhkan. Oleh karena itu, pengaturan ventilasi sangat dibutuhkan untuk mengatur sirkulasi udara di dalam kandang. Rasyaf (2010) menyatakan pengaturan sirkulasi udara dapat dilakukan melalui ventilasi buatan berupa kipas angin. Kipas angin tersebut berfungsi mengeluarkan udara kotor dan beracun ke luar kandang, dan menghembuskan udara bersih dan segar masuk ke dalam kandang. 4. Peralatan Kandang Peralatan kandang menurut Santoso dan Sudaryani (2009) antara lain meliputi, instalasi listrik, instalasi air minum, tempat pakan, alas kandang, pemanas ruangan, tirai kandang, dan pelindung indukan (brooder guard). Jenis pemanas yang seringkali digunakan oleh peternak ayam broiler yaitu pemanas listrik, pemanas gas, pemanas batu bara, dan pemanas minyak tanah. 5. Gudang Gudang berfungsi sebagai tempat penyimpanan pakan, obat-obatan, dan peralatan serta perlengkapan kandang lainnya. Oleh karena itu, gudang sebaiknya berada dekat dengan kandang untuk memudahkan akses dalam pengangkutan input-nput yang diperlukan. Jarak antara gudang dengan kandang menurut Santoso dan Sudaryani (2009) adalah sekitar 10 meter. 2.2.2. DOC (Day Old Chick) DOC adalah bibit ayam atau anak ayam yang baru berusia satu hari. Kualitas DOC sangat menentukan kelangsungan dan hasil produksi usahaternak ayam broiler. Menurut Jayanata dan Harianto (2011), DOC yang berkualitas baik memiliki ciri-ciri berasal dari indukan yang berkualitas, DOC sehat, bebas dari penyakit, aktif bergerak, lincah, tidak terlihat lesu, tubuh gemuk dan berbentuk bulat, berbulu bersih dan mengkilat, mata terlihat tajam dan cerah, lubang anus bersih dan tidak terdapat kotoran, tidak terdapat bekas luka dan tidak cacat, serta bobot tubuh minimal 37 gram atau rata-rata sebesar 40 gram.
15
Dalam pemeliharaannya, DOC sangat membutuhkan keadaan yang steril, sehingga kebersihan kandang harus terjaga saat penerimaan DOC. Selain itu menurut Jayanata dan Harianto (2011), DOC juga membutuhkan suhu yang lebih hangat dibandingkan ayam broiler yang telah menginjak usia dewasa. Oleh karena itu sebelum penerimaan DOC, hendaknya pemanas ruangan telah dinyalakan terlebih dahulu. Menurut Solihin (2009), harga DOC cenderung sering mengalami kenaikan dan berfluktuasi akibat ketersediaan DOC yang tidak terkontrol serta masih minimnya regulasi yang mengatur keseimbangan antara penawaran dan permintaan DOC. Ketidakseimbangan antara jumlah permintaan dan penawaran DOC yang tersedia dapat mempengaruhi tingkat harga DOC. 2.2.3. Pakan Keberhasilan usahaternak ayam broiler menurut Jayanata dan Harianto (2011), ditentukan oleh kualitas pakan yang diberikan, disamping sifat genetik yang dimiliki ayam broiler dan manajemen yang diterapkan oleh peternakan. Sifat khas ayam broiler yang memiliki laju pertumbuhan yang cepat harus didukung oleh pemberian jenis pakan yang berkualitas dan dalam jumlah yang cukup. Jenis pakan yang diberikan harus disesuaikan dengan umur ayam broiler. Hal ini dikarenakan setiap jenis pakan memiliki kandungan nutrisi yang berbeda, sesuai dengan jumlah nutrisi yang diperlukan pada setiap fase pertumbuhan ayam broiler. Adapun Santoso dan Sudaryani (2009) telah menggolongkan tiga jenis pakan berdasarkan kandungan nutrisinya. Tabel 6. Jenis Pakan Berdasarkan Kandungan Nutrisi No. Jenis Pakan Umur Protein (%) Ayam Broiler (Hari)
Energi Metabolisme (kkal/kg pakan)
1.
Prestarter
1–7
23 – 24
3.050
2.
Starter
8 – 28
21 – 22
3.100
3.
Finisher
29 – panen
18 – 20
3.200 – 3.300
Sumber : Santoso dan Sudaryani (2009)
Berdasarkan Tabel 6, energi terbesar dapat diperoleh dari jenis pakan finisher, yaitu sekitar 3.200 – 3.300 kilo kalori per kilogram, yang diberikan pada 16
saat ayam broiler berumur 29 hari hingga memasuki waktu panen. Kandungan protein tertinggi terdapat pada jenis pakan prestarter, yaitu sebesar 23 – 24 persen. Jenis pakan prestarter diberikan pada saat ayam broiler berumur 1 – 7 hari. Hal ini menunjukkan bahwa kandungan protein lebih banyak dibutuhkan oleh ayam broiler pada usia tersebut, karena protein berperan secara langsung dalam mendukung pertumbuhan ayam broiler. Penggunaan jumlah pakan yang tidak berimbang dengan bobot rata-rata ayam broiler dapat mengakibatkan kerugian bagi peternak. Hal ini dikarenakan biaya terbesar dari total biaya produksi bersumber dari biaya pembelian pakan. Menurut Santoso dan Sudaryani (2009), biaya untuk pakan ayam broiler menempati kontribusi terbesar, yaitu sekitar 70 persen dari total biaya produksi. Oleh karena itu, efisiensi penggunaan pakan perlu diperhatikan oleh peternak ayam broiler. Efisiensi penggunaan pakan dapat dilakukan dengan menambahkan probiotik dan herbal. Jayanata dan Harianto (2011) juga menambahkan bahwa peternak ayam broiler dapat mencampurkan probiotik pada air minum yang diberikan, yang dapat dilakukan sejak tahap awal pemeliharaan. Menurut Jayanata dan Harianto (2011), probiotik dapat menghambat pertumbuhan patogen di dalam tubuh, meningkatkan daya cerna, dan meningkatkan pertumbuhan bobot tubuh. Pemberian probiotik dapat mengoptimalkan pertumbuhan ayam broiler sehingga mampu mengefisiensikan penggunaan pakan. Efisiensi penggunaan pakan diharapkan mampu mengurangi dampak dari kenaikan harga pakan yang seringkali berfluktuasi dan sangat mempengaruhi tingkat pendapatan. Menurut Solihin (2009), harga pakan yang cenderung naik dan berfluktuasi dipengaruhi oleh kondisi tingkat harga bahan baku pembuatan pakan. 2.2.4. Obat-obatan, Vaksin, dan Vitamin Penggunaan obat-obatan, vaksin, dan vitamin sangat dibutuhkan untuk mengatasi
penyakit,
meningkatkan
kekebalan
tubuh,
dan
menunujang
pertumbuhan ayam broiler. Menurut Aziz (2009), obat-obatan, vaksin, dan vitamin dapat digunakan sebagai alternatif manajemen risiko produksi pada usahaternak ayam broiler. Namun menurut Aziz (2009), harga obat-obatan, 17
vaksin, dan vitamin juga dapat mengalami kenaikan dan berfluktuasi sehingga harus digunakan seefisien mungkin dan sesuai dengan aturan penggunaan. Pemberian obat pada peternakan ayam broiler menurut Rasyaf (2010) terdiri dari kelompok obat khusus untuk penyakit yang disebabkan oleh Salmonella sp., kelompok obat Sulfonamides, kelompok obat antibiotika, dan kelompok obat khusus untuk mengobati penyakit berak darah. Menurut Jayanata dan Harianto (2011), para perternak ayam broiler dapat melakukan pengobatan secara herbal dengan menggunakan jahe, kunyit, kencur, daun sirih, temulawak, ataupun bawang puti, sebagai alternatif pengganti obat-obatan kimia. Bahanbahan herbal tersebut dapat dicampur pada pakan ataupun air minum ayam broiler. Jayanata dan Harianto (2011) juga menyatakan bahwa penggunaan herbal dapat membantu meningkatkan daya tahan tubuh ayam broiler terhadap serangan penyakit. Menurut Santoso dan Sudaryani (2009), vaksin adalah penyakit yang telah dilemahkan dan dimasukkan ke dalam tubuh ayam broiler guna meningkatkan kekebalan tubuh dalam melawan penyakit. Pemberian vaksin dapat dilakukan melalui tetes mata, penyuntikan, dan pencampuran dengan air minum. Santoso dan Sudaryani (2009) mengelompokkan vaksin menjadi dua jenis yaitu, vaksin aktif dan vaksin inaktif. Vaksin aktif adalah vaksin yang berisi virus hidup, namun virus tersebut telah dilemahkan. Setelah tiga hari penggunaan vaksin ini, kekebalan tubuh ayam broiler dapat ditingkatkan. Vaksin inaktif adalah vaksin yang berisi virus yang dilemahkan dan dicampur dalam emulsi minyak dan bahan stabilisator, untuk memperoleh tingkat kekebalan tubuh yang lebih lama dan stabil. Anita dan Widagdo (2011) menyatakan bahwa vitamin merupakan nutrien organik yang dibutuhkan untuk mendukung berbagai fungsi biokimia yang tidak disintesis oleh tubuh. Vitamin sangat berguna untuk mendukung proses pertumbuhan dan meningkatkan daya tahan tubuh ayam broiler. Seperti halnya manusia, ayam broiler juga membutuhkan jenis vitamin A, B, C, D, E, dan K. Kandungan vitamin tersebut biasanya sudah terdapat di dalam pakan yang diberikan kepada ayam broiler. Hasil penelitian Kusnadi (2006) menyebutkan penambahan vitamin C dengan tingkat suplementasi sebesar 250 ppm yang
18
dicampur pada air minum, dapat membantu meningkatkan konsumsi pakan dan pertambahan bobot tubuh ayam broiler. Menurut Kusnadi (2006), pemberian vitamin C tersebut sangat efektif pada kondisi cuaca yang panas karena pada kodisi tersebut dapat menurunkan jumlah konsumsi pakan akibat penimbunan panas yang terlalu banyak di dalam tubuh ayam broiler. 2.2.5. Tenaga Kerja Peternakan ayam broiler memerlukan sejumlah tenaga kerja yang dapat disesuaikan dengan banyaknya jumlah budidaya ataupun jenis teknologi yang diterapkan. Menurut Rasyaf (2010), peternakan ayam broiler terdiri dari beberapa jenis tenaga kerja, yaitu tenaga kerja tetap, tenaga kerja harian, serta tenaga kerja harian lepas dan kontrak. 1. Tenaga Kerja Tetap Pada umumnya, tenaga kerja tetap pada peternakan skala kecil dijabat oleh peternak itu sendiri dan sekaligus berperan sebagai pemilik modal, sedangkan pada peternakan skala menengah maupun besar dijabat oleh pihak-pihak yang ahli di dalam bidangnya. Pihak-pihak tersebut terdiri dari tenaga lapang kandang yang bertugas sebagai pemberi pakan, administrasi, dan pemasaran, sehingga gaji yang mereka terima dimasukkan sebagai biaya tetap produksi. Tenagga kerja tetap terikat dengan peraturan yang diterapkan dan harus menetap di peternakan. 2. Tenaga Kerja Harian Tenaga kerja harian biasanya terdiri dari pekerja kasar yang bertugas membersihkan kandang, membersihkan tempat pakan dan minuman, mengangkut pakan, dan membersihkan rumput di sekitar areal kandang. Pekerjaan-pekerjaan tersebut dilakukan secara rutin. Tenaga kerja harian diberi upah harian sesuai dengan jumlah hari kerja yang dijalankan. Tenaga kerja harian tidak terikat dengan aturan yang diterapkan dan tidak menetap di peternakan. 3. Tenaga Kerja harian Lepas dan Kontrak Tenaga kerja harian lepas dan kontrak hanya bekerja untuk menyelesaikan pekerjaan sementara, sehingga sudah tidak ada ikatan jika telah menyelesaikan pekerjaannya. Tenaga kerja semacam ini banyak digunakan pada saat kegiatan panen ayam broiler berlangsung.
19
Menurut Aziz (2009), perekrutan tenaga kerja yang berasal dari masyarakat di sekitar peternakan ayam broiler dapat dilakukan untuk mengurangi terjadinya risiko sosial yang muncul dari lingkungan masyarakat sekitar. Pelibatan masyarakat sekitar sebagai tenaga kerja di peternakan ayam broiler dapat menjadikan masyarakat setempat merasa dihargai atas keberadaannya di dalam lingkungan usahaternak ayam broiler. 2.3.
Pola Usaha Budidaya Ayam Broiler Menurut Santoso dan Sudaryani (2009), usaha budidaya ayam broiler
dapat dibedakan menjadi pola usaha mandiri dan pola kemitraan. 1. Pola Usaha Mandiri Pada pola usaha mandiri, seluruh usaha budidaya ayam broiler dilakukan sendiri (secara mandiri) oleh peternakan tersebut. Dalam hal ini, peternakan mendatangkan langsung input-input yang dibutuhkan secara langsung dan menerapkan sistem manajerialnya sendiri, sehingga total biaya produksi ditanggung langsung oleh peternak. Pada pola usaha mandiri, seluruh bentuk risiko yang terjadi harus ditanggung oleh peternak karena besarnya kuntungan maupun kerugian diterima langsusng oleh peternak, akibat tidak menjalin kerjasama dengan pihak lain. Secara umum, pola usaha mandiri lebih peka terhadap total produksi, fluktuasi harga ayam broiler dan harga input-input di pasaran. 2. Pola Usaha Kemitraan Menurut Santoso dan Sudaryani (2009), peternak ayam broiler yang menerapkan pola usaha kemitraan, tidak perlu mengeluarkan seluruh biaya, karena pola ini merupakan bentuk kerjasama yang dilakukan dengan pihak lain, seperti pabrik pakan, poultry shop, maupun peternak besar (perusahaan). Santoso dan Sudaryani (2009), membagi pola usaha kemitraan menjadi pola inti plasma, pola sewa kandang dan peralatan, dan pola investor. Pada pola inti plasma, pihak inti yaitu pabrik pakan, poultry shop, maupun peternak besar (perusahaan), wajib menyediakan berbagai sarana produksi seperti DOC (Day Old Chick), vaksin, pakan, dan manajemen budidaya. Selain itu, pihak inti berhak menjual hasil produksi peternakan dengan harga kontrak/harga pasar, sedangkan peternak (plasma) wajib menyediakan kandang beserta peralatannya, dan tenaga kerja. 20
Pada pola kemitraan sewa kandang dan peralatan, peternak tidak perlu mengeluarkan modal untuk menyediakan kandang dan peralatannya. Pada kemitraan pola investor, pemilik modal dapat memberikan modalnya kepada peternak untuk membeli tanah dan membuat kandang (tanah dan kandang tetap menjadi milik investor). Menurut Christiawan (2002), pola kemitraan seperti yang dikembangkan pada penelitiannya, yaitu PT Mitra Asih Abadi melalui peternakan inti rakyat (PIR), merupakan bentuk kerjasama yang saling menguntungkan anatara pihak inti (perusahaan) dan plasma (peternak). Pola PIR yang diterapkan oleh PT Mitra Asih Abadi meliputi penyediaan sarana produksi peternakan oleh perusahaan inti, seperti DOC, pakan, obat/vaksin, pemberian jaminan pemasaran hasil produksi peternak dengan harga garansi, dan pemberian bimbingan teknis dan pengawasan secara kontinyu kepada peternak plasma. Manfaat yang dapat diperoleh dari pola usaha kemitraan adalah dapat menciptakan lapangan kerja baru, menciptakan keadilan dan pemerataan pendapatan bagi peternak plasma, dapat menciptakan harga jual ayam broiler yang ideal untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, dan dapat meminimalisasi risiko yang dihadapi oleh peternak, seperti risiko produksi, risiko pemerolehan dan harga beli input, dan risiko harga penjualan ayam broiler. 2.4.
Tinjauan Penelitian Terdahulu yang Relevan Tingkat pendapatan yang diperoleh para peternak plasma ayam broiler
menurut Maulana (2008) terbagi menjadi tiga skala. Pada skala I (2.500 – 4.999 ekor), tingkat pendapatan sebesar Rp 435,85 per kilogram bobot hidup. Pada peternak dengan skala II (5.000 – 13.999 ekor) memperoleh pendapatan sebesar Rp 388,59 per kilogram bobot hidup, sedangkan pada peternak skala III (14.000 – 37.000 ekor) memperoleh pendapatan sebesar Rp 580,96 per kilogram bobot hidup. Nilai R/C tertinggi diperoleh peternak skala III, yaitu sebesar 1,07 yang mengindikasikan bahwa setiap Rp 1,00 biaya yang dikeluarkan, maka peternak akan memperoleh penerimaan sebesar Rp 1,07. Hal ini mengindikasikan bahwa para peternak plasma memperoleh keuntungan dari usahaternak ayam broiler yang dijalankannya. Usahaternak ayam broiler memang memiliki potensi untuk meningkatkan tingkat pendapatan para peternak. Namun, hasil analisis risiko yang dilakukan 21
oleh Aziz (2009) pada peternakan ayam broiler di Desa Tapos, menghasilkan nilai expected return sebesar Rp 5.768.199,00, yang menggambarkan bahwa pendapatan bersih yang diharapkan dapat diperoleh peternak pada waktu mendatang adalah sebesar Rp 5.768.199,00 (cateris paribus). Nilai standard deviation yang diperoleh adalah sebesar Rp 10.095.088,00, mencerminkan bahwa risiko yang dihadapi pada setiap periode produksi mendatang adalah sebesar Rp 10.095.088,00 (cateris paribus). Nilai coefficient variation yang diperoleh sebesar 1,75 menunjukkan bahwa risiko yang ditanggung oleh peternakan ayam broiler tersebut adalah sebesar 175 persen dari setiap return yang diterima (cateris paribus). Hal ini mengindikasikan bahwa usahaternak ayam broiler menghadapi risiko yang cukup besar sehingga harus ditangani oleh peternak. Menurut Aziz (2009), risiko-risiko yang berpengaruh langsung terhadap pendapatan peternakan ayam broiler di Desa Tapos meliputi risiko harga, risiko produksi, dan risiko sosial. Manajemen risiko yang diterapkan oleh peternakan tersebut meliputi manajemen risiko harga, manajemen risiko produksi, dan manajemen risiko sosial. Manajemen risiko harga yang diterapkan adalah dengan melakukan proses pemanenan pada saat waktu yang tepat. Manajemen risiko produksi yang diterapkan adalah melalui proses persiapan kandang, proses budidaya, dan proses pemanenan, guna mengurangi tingkat mortalitas. Manajemen risiko sosial yang diterapkan adalah dengan melibatkan partisispasi masyarakat sekitar dalam kegiatan produksi, seperti dengan perekrutan pekerja dari masyarakat sekitar, pemberian biaya sosial, dan kontribusi dalam kegiatan sosial dalam bentuk kerja bakti. Risiko harga seringkali terjadi pada usahaternak ayam broiler, baik yang terjadi pada harga sarana produksi ternak maupun harga jual ayam broiler. Salah satu risiko harga sarana produksi ternak yang cukup mempengaruhi kelangsungan usahaternak ayam broiler adalah terjadinya fluktuasi harga DOC. Menurut Siregar (2009), pola pergerakan harga DOC dipengaruhi oleh kondisi penawaran dan permintaan di pasar. Berdasarkan hasil analisis GARCH, risiko harga DOC ayam broiler dipengaruhi oleh volalitas dan varian harga DOC broiler pada periode sebelumnya dengan tanda positif. Hal ini mengindikasikan bahwa jika terjadi peningkatan harga DOC broiler pada periode sebelumnya, maka akan
22
meningkatkan risiko harga DOC broiler pada periode berikutnya. Menurut Siregar (2009), persentase besarnya risiko harga DOC yang dihadapi oleh PT Sierad Produce Tbk, selaku perusahaan penghasil DOC, adalah sebesar 14,53 persen, sedangkan risiko harga DOC layer hanya sebesar 7,70 persen. Hal ini menunjukkan bahwa PT Sierad Produce Tbk menghadapi tingkat risiko harga DOC broiler yang lebih tinggi dibandingkan dengan risiko harga DOC layer. Siregar (2009) menyatakan, strategi yang dilakukan oleh PT Sierad Produce Tbk dalam mengatasi risiko harga DOC adalah dengan melakukan pemusnahan DOC dan telur tetas, seta menjual DOC dengan harga yang lebih murah jika terjadi kelebihan produksi. Namun, Siregar (2009) menganggap strategi ini belum tepat karena dapat menimbulkan biaya baru sihingga belum mampu menstabilkan harga jual DOC PT Sierad Produce Tbk. Menurut Siregar (2009), PT Sierad Produce Tbk dapat menerapkan strategi untuk mengatasi risiko harga DOC dengan melakukan perencanaan produksi dan penjualan dengan menganalisis pola harga jual DOC secara rutin dan menjadikan harga jual DOC pada periode sebelumnya sebagai dasar untuk memprediksi harga jual DOC pada periode selanjutnya. Selain itu, PT Sierad Produce Tbk dapat meningkatkan kemitraan dengan para peternak sehingga dapat melakukan pencatatan data permintaan DOC. Menurut Solihin (2009), risiko produksi pada usahaternak ayam broiler disebabkan oleh adanya perubahan cuaca, wabah penyakit, dan kualitas sarana produksi ternak, sedangkan risiko harga diakibatkan adanya fluktuasi harga sarana produksi ternak yang cenderung terus meningkat pada setiap periode produksi. Fluktuasi harga juga terjadi pada harga jual ayam broiler di pasaran. Berdasarkan hasil analisis risiko yang dilakukan Solihin (2009) di CV AB Farm, nilai Coefficient Variation yang diperoleh adalah sebesar -2,63 persen. Artinya, setian Rp 1,00 return yang diperoleh CV AB Farm akan menghasilkan risiko sebesar Rp 2,63. Nilai batas bawah pendapatan yang diperoleh CV AB Farm adalah sebesar -Rp 111.107.708,00. Nilai tersebut menunjukkan bahwa kemungkinan risiko terendah atau kerugian terendah yang dialami CV AB Farm pada setiap periode mendatang adalah sebesar –Rp 111.107.708, cateris paribus. Indeks Prestasi Produksi rata-rata yang diperoleh selama tujuh periode produksi adalah 203 yang
23
menghasilkan pendapatan sebesar –Rp 124.356.104,00, sedangkan Indeks Prestasi standar yang seharusnya diperoleh adalah sebesar 301 dengan nilai pendapatan Rp 310.615.119,00. Artinya, telah terjadi penyimpangan risiko produksi yang dihadapi CV AB Farm sebesar 98 atau 32,6 persen yang berisiko menurunkan pendapatan sebesar Rp. 342.290.546,00. Menurut Solihin (2009), manajemen risiko yang dapat diterapkan oleh CV AB Farm adalah dengan memproduksi pakan secara mandiri, melakukan kontrol kandang secara ketat, melakukan konsultasi
klinis,
memperketat
biosecurity,
memperbaiki
manajemen
perkandangan, dan membentuk kelompok peternak sebagai sarana informasi dan diskusi. Risiko prooduksi yang terjadi pada setiap usahaternak ayam broiler dipengaruhi oleh adanya sumber-sumber riisiko pada setiap peternakan. Menurut Pinto (2011), terdapat empat jenis sumber risiko produksi pada usahaternak ayam broiler, yaitu kepadatan ruang, perubahan cuaca, hama predator, dan penyakit. Berdasarkan hasil perhitungan tingkat probabilitas dengan menggunakan metode z-score yang dilakukan oleh Pinto (2011), sumber risiko produksi hama predator memiliki tingkat probabilitas tertinggi yaitu sebesar 38,4 persen, disusul oleh probabilitas sumber risiko produksi kepadatan ruang sebesar 33,7 persen, sumber risiko penyakit sebesar 33 persen, dan perubahan cuaca sebesar 12,5 persen. Hasil perhitungan dampak dari sumber-sumber risiko dengan menggunakan metode Value at Risk (VaR) yang dilakukan oleh Pinto (2011) menghasilkan sumber risiko penyakit memberikan dampak terbesar pada tingkat keyakinan 95 persen, disusul sumber risiko kepadatan ruang, perubahan cuaca, dan hama predator. Menurut Pinto (2011) terdapat dua strategi alternatif risiko produksi yang dapat diterapkan oleh para peternak, yaitu strategi preventif dan strategi mitigasi. Strategi preventif yang diusulkan yaitu memakai ventilasi buatan, meningkatkan kedisiplinan anak kandang, menjaga perlakuan yang bersifat operasional, dan memakai jaring kawat di seluruh bagian kandang. Strategi mitigasi yang diusulkan yaitu dengan menggunakan obat dan vaksin secara selang-seling. Penelitian ini memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian Maulana (2008), Aziz (2009), Siregar (2009), Solihin (2009), dan Pinto (2011). Persamaan pada penelitian ini adalah meneliti komoditi yang sama dengan
24
penelitian-penelitian sebelumnya, yaitu komoditi ayam broiler. Namun, Siregar (2009) memilih DOC broiler dan layer sebagai objek penelitiannya. Perbedaan mendasar antara penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan oleh Maulana (2008), Aziz (2009), Siregar (2009), Solihin (2009), dan Pinto (2011) adalah penelitian ini dilakukan pada lokasi dan waktu yang berbeda. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Maulana (2008) adalah kedua penelitian menganalisis pendapatan usahaternak ayam broiler. Namun, penelitian ini menambahkan analisis risiko serta pengaruhnya terhadap pendapatan yang diperoleh peternak ayam broiler. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Aziz (2009) dan Solihin (2009) yaitu dalam hal manganalisis risiko usahaternak ayam broiler. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Aziz (2009) dan Solihin (2009) terletak pada skala usaha peternak, identifikasi risiko yang dihadapi, serta metode analisis yang digunakan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Siregar (2009) dan Pinto (2011) adalah menganalisis risiko dan menggunakan metode analisis risiko Value at Risk (VaR). Namun, terdapat perbedaan objek penelitian khususnya pada penelitian Siregar (2009) yang menganalisi DOC broiler dan layer, sedangkan penelitian ini menganalisis objek penelitian komoditi ayam broiler. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Pinto (2011) terletak pada analisis risiko produksi usahaternak ayam broiler, yang menganalisis tingkat probabilitas dan dampak dari sumber-sumber risiko produksi. Namun, penelitian ini tidak hanya menganalisis tingkat probabilitas dan dampak risiko saja, melainkan juga menganalisis ukuran risiko produksi yang dihadapi yaitu dengan menggunakan analisis hasil yang diharapkan (expected return), analisis varian (variance), analisis simpangan baku (standard deviation), dan analisis koefisien variasi (coefficient variation). Beberapa penelitian terdahulu tersebut, dapat dijadikan sebagai acuan pada penelitian ini dan dirangkum dalam Tabel 7.
25
Tabel 7. Penelitian Terdahulu yang Relevan Penulis Judul Metode Analisis
Tujuan
Menganalisis mekanisme Analisis kemitraan inti-plasma, Deskriptif, mengetahui manajemen Analisis ternak Pendapatan, dan pemeliharaan kemitraan inti-plasma, Analisis R/C menghitung pendapatan dan nilai R/C peternak plasma.
Muhammad Lucky Maulana (2008)
Analisis Pendapatan Peternak Ayam Ras Pedaging Pola Kemitraan Inti-Plasma (Studi Kasus Peternak Plasma dari Tunas Mekar farm di Kecamatan Nanggung Kabupaten Bogor, Jawa Barat)
Faishal Abdul Aziz (2009)
Analisis Risiko dalam Analisis Risiko Menganalisis pengaruh terhadap Analisis risiko Usahaternak Ayam dan pendapatan, Broiler (Studi Kasus Deskriptif menganalisis alternatif Usaha Peternakan X di manajemen risiko yang Desa Tapos, diterapkan. Kecamatan Tenjo, Kabupaten Bogor)
Yusni Rahmadani Siregar (2009)
Analisis Risiko Harga Day Old Chick (DOC) Broiler dan Layer pada PT Sierad Produce Tbk Parung, Bogor
Muhamad Solihin (2009)
risiko Risiko Prooduksi dan Analisis Risiko Menganalisis dan risiko Analisis produksi Harga serta dan harga, menganalisis Pengaruhnya terhadap Deskriptif tigkat pendapatan, Pendapatan peternakan menganalisis pengaruh Ayam Broiler CV AB risiko terhadap Farm Kecamatan pendapatan, Bojonggentengmenganalisis alternatif Sukabumi strategi menghadapi risiko produksi dan risiko harga.
Bona Pinto (2011)
Analisis Risiko Analisis dan Produksi pada Deskriptif Peternakan Ayam Analisis Risiko Broiler Milik Bapak Restu di Desa Cijayanti, Kecamatan Babakan Madang, Kabupaten Bogor
Analisis Kualitatif dan Analisis Risiko Model ARCHGARCH dan Perhitungan VaR (Value at Risk)
Menganalisis risiko harga DOC layer dan broiler, menganalisis alternatif strategi risiko harga.
Mengidentifikasi sumber-sumber risiko produksi, menganalisis besarnya probabilitas dan dampak risiko produksi, dan menganalisis alternatif strategi yang diterapkan untuk mengatasi risiko produksi yang dihadapi.
26