II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tinjauan Konsep dan Teori 2.1.1. Konsep dan Pengertian Desentralisasi Berdasarkan UU Nomor 22 Tahun 1999 dan UU Nomor 25 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, dijelaskan mengenai pengertian desentralisasi. Desentralisasi (otonomi daerah) adalah penyerahan wewenang oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang selanjutnya dijelaskan bahwa daerah tersebut disebut daerah dengan kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu, berwenang mengurus kepentingan masyarakat di daerahnya menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan NKRI. Menurut Saragih (2003), UU Otonomi Daerah telah ditegaskan bahwa dalam rangka pelaksanaan asas desentralisasi dibentuk dan disusun daerah propinsi, daerah kabupaten dan daerah kota yang berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi rmasyarakat. Wewenang daerah kabupaten dan kota sebagai daerah otonom sudah diatur secara tegas, disebutkan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh daerah kabupaten dan daerah kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan, industri dan perdagangan, penanaman modal, lingkungan hidup, pertahanan, koperasi dan tenaga kerja. Pada hakekatnya, pelaksanaan otonomi daerah menurut Ritonga (2001) merupakan penyerahan kewenangan pemerintah pusat kepada daerah untuk mengelola potensi yang ada di daerah, yang diikuti dengan penyerahan personil,
9
prasarana, pembiayaan dan dokumen. Selain itu, hubungan keuangan antara pusat dan daerah menyangkut masalah keadilan diwujudkan dengan alokasi dana bagi hasil, sedangkan pemerataan diimplementasikan dengan alokasi umum dan pembagian sumberdaya yang ada. Hubungan tersebut menyangkut pembagian kekuasaan dan pemerintahan. Hak untuk mengambil keputusan mengenai anggaran pemerintah merupakan unsur yang sangat penting dalam menjalankan kekuasaan. Elmi (2002) menyatakan bahwa pada garis besarnya konsep desentralisasi dapat dibedakan menjadi tiga bagian besar, yaitu : desentralisasi politik, desentralisasi administrasi dan desentralisasi fiskal. Ketiganya saling berkaitan erat satu sama lain, dan seharusnya dilaksanakan bersama-sama agar berbagai tujuan otonomi daerah seperti peningkatan kualitas layanan publik tidak terbengkalai. Tujuan utama dari kebijakan desentralisasi adalah di satu pihak dalam rangka mendukung kebijakan makro nasional yang bersifat strategis dan di lain pihak dengan desentralisasi kewenangan pemerintahan ke daerah, maka daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang signifikan. Selain itu otonomi daerah bertujuan untuk : 1) Mempercepat pembangunan ekonomi daerah yang efektif dan kuat dengan memberdayakan pelaku dan potensi ekonomi daerah. 2) Mempercepat pembangunan pedesaan dalam rangka pemberdayaan masyarakat terutama petani dan nelayan melalui penyediaan prasarana, pembangunan sistem agribisnis, industri kecil dan kerajinan rakyat, pengembangan kelembagaan, penguasaan teknologi dan pemanfaatan sumber daya alam.
10
3) Meningkatkan kualitas sumber daya manusia di daerah sesuai dengan potensi dan kepentingan daerah melalui penyediaan anggaran pendidikan yang memadai. 4) Meningkatkan pembangunan di seluruh daerah berlandaskan prinsip desentralisasi dan otonomi daerah.
2.1.2. Kebijakan Fiskal Kebijakan fiskal adalah kebijakan penyesuaian di bidang pengeluaran dan penerimaan untuk memperbaiki keadaan ekonomi. Kebijakan ekonomi diharapkan mengarah pada kondisi perekonomian yang lebih baik dengan jalan mengubah penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Pemahaman lain dari kebijakan fiskal adalah kebijakan penggunaan pajak, pinjaman masyarakat dan pengeluaran masyarakat oleh pemerintah untuk tujuan stabilisasi dan pembangunan. Kebijakan fiskal ini merupakan sarana untuk menggalakkan pembangunan ekonomi yang bertujuan: (1) meningkatkan laju investasi, (2) mendorong investasi optimal secara sosial, (3) meningkatkan kesempatan kerja, (4) meningkatkan stabilitas ekonomi di tengah ketidakstabilan internasional, (5) menanggulangi inflasi, (6) meningkatkan dan mendistribusikan pendapatan nasional (Jhingan, 2000). Instrumen kebijakan fiskal adalah pajak, pengeluaran pemerintah dan pembayaran transfer. Artinya, dalam melaksanakan kebijakan fiskal maka variabel-variabel tersebut bisa diubah-ubah besarnya sesuai dengan tujuan. Jika pemerintah ingin menciptakan stabilitas harga, maka kebijakan fiskal diusahakan kontraktif. Hal itu ditandai dengan penurunan pengeluaran
pemerintah
atau
peningkatan pajak. Dengan demikian permintaan agregat di dalam perekonomian
11
akan turun dan dapat mengurangi kemungkinan terjadinya kenaikan harga. Sebaliknya, jika pemerintah ingin meningkatkan tingkat lapangan kerja untuk mengurangi pengangguran, maka kebijakan fiskal yang ditempuh adalah bersifat ekspansif. Dimana pengeluaran pemerintah dinaikkan atau pajak diturunkan. Hal ini akan meningkatkan permintaan agregat dalam perekonomian sehingga terjadi ekspansi dalam perekonomian.
2.1.3. Desentralisasi Fiskal Menurut Elmi (2002), desentralisasi fiskal diartikan sebagai pelimpahan kewenangan di bidang penerimaan yang sebelumnya tersentralisasi baik secara administrasi dan pemanfaatannya diatur atau dilakukan oleh pemerintah pusat. Setidaknya terdapat empat agen yang berperan penting dalam desentralisasi fiskal, yaitu : pemerintah pusat, unit-unit administratif lokal, pemerintah daerah dan penduduk setempat atau entitas politik. Desentralisasi fiskal merupakan salah satu mekanisme transfer dana dari APBN dalam kaitannya dengan kebijakan keuangan negara yaitu untuk mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan dan memberikan stimulus terhadap
aktivitas
perekonomian
masyarakat,
maka
dengan
kebijakan
desentralisasi fiskal diharapkan akan menciptakan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah yang sepadan dengan besarnya kewenangan urusan pemerintahan yang diserahkan kepada daerah otonom. Desentralisasi juga merupakan suatu bentuk pemindahan tanggung jawab, kekuasaan dan wewenang dari tingkat pemerintahan pusat kepada pemerintahan daerah. Keputusan untuk melakukan desentralisasi dikarenakan faktor pemerintah daerah yang lebih dekat
12
dengan masyarakat di daerahnya. Sebab disatu sisi apabila desentralisasi dilakukan akan berpengaruh secara langsung dan nyata terhadap masyarakat itu sendiri. Desentralisasi fiskal menjadi salah satu “pilar” dalam memelihara kestabilan kondisi ekonomi nasional, karena dengan adanya transfer dana ke daerah akan mendorong aktivitas perekonomian masyarakat di daerah. Desentralisasi fiskal dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan investasi, dapat pula mendorong pertumbuhan melalui efisiensi alokasi sumberdaya pada level daerah. Wujud desentralisasi fiskal berupa : (1) pembagian peran dan tanggung jawab antar pemerintah, (2) transfer pembiayaan dari pemerintah pusat ke daerah, (3) penguatan sistem penerimaan dan sistem pelayanan publik pemerintah lokal, (4) privatisasi badan usaha milik negara, yang terkadang merupakan tanggung jawab lokal, (5) penyediaan jaring pengaman (safety net), dan (6) ekspansi penerimaan lokal melalui pajak (Ebel, 1999; Rondinelli, 1997 dalam Yuliyati, 2002).
2.1.4. Manfaat dan Kerugian Desentralisasi Fiskal Menurut
Prud’Homme
(1994)
dalam
Yuliyati
(2002),
pentingnya
desentralisasi fiskal menjadi wacana dua kelompok yang berbeda argumentasi. Pertama: desentralisasi fiskal itu penting karena dapat meningkatkan efisiensi ekonomi, efisiensi biaya, perbaikan akuntabilitas dan peningkatan mobilisasi dana. Kelompok kedua : tak satupun dari manfaat tersebut yang akan berhasil dicapai oleh negara yang preferensi penduduknya hampir tidak mungkin diakomodir dalam anggaran pemerintah dan kapasitas kelembagaan pemerintah
13
daerah mendekati nihil. Dari perspektif ini, desentralisasi fiskal nampaknya cenderung meningkatkan biaya, mengurangi efisiensi pelayanan pemerintah dan mungkin bisa menyebabkan kesenjangan yang lebih parah serta ketidakstabilan makroekonomi. Beberapa dampak langsung terhadap pemerintah daerah seperti yang ditulis oleh Sinaga, et al (2005) adalah : 1) Bagi hasil dari pemerintah pusat makin besar seperti : Bagi hasil Sumber Daya Alam (BHSDA), Bagi Hasil Pajak (BHTX), DAU dan DAK. 2) Kewenangan menarik pajak dan retribusi. 3) Kebebasan menggunakan anggaran dasar dalam arti tanpa menunggu petunjuk dari pusat. 4) Kewenangan menerbitkan peraturan daerah (perda) dalam kepentingan pembangunan daerah. 5) Kewenangan melakukan pinjaman. Sedangkan menurut Kaho (2003) dalam Hermani (2007), ada beberapa kerugian yang bisa ditimbulkan akibat desentralisasi fiskal yaitu : 1) Karena besarnya organ-organ pemerintah maka struktur pemerintahan menjadi kompleks sehingga mempersulit koordinasi. 2) Keseimbangan dan keserasian antar kepentingan dan daerah dapat lebih mudah terganggu. 3) Khusus mengenai desentralisasi teritorial, dapat menimbulkan apa yang disebut daerahisme. 4) Keputusan yang diambil dapat memakan waktu yang cukup lama.
14
5) Dalam menyelenggarakan desentralisasi diperlukan biaya
yang lebih
banyak.
2.1.5. Konsep Kinerja Perekonomian Daerah Kinerja perekonomian daerah
menggambarkan
kondisi perekonomian
daerah yang tercermin dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan laju pertumbuhan ekonomi. Dalam penelitian ini, menggunakan pendekatan analisis makroekonomi dalam sistem ekonomi tertutup untuk melihat hubungan ekonomi regional dengan keuangan daerah. Kondisi perekonomian suatu daerah tercermin dalam PDRB. Asumsi perekonomian tertutup yaitu suatu negara atau daerah tidak melakukan perdagangan dengan negara atau daerah lain yang memiliki tiga penggunaan untuk barang dan jasa yang dihasilkannya. Menurut Mankiw (2003), tiga komponen PDRB ditunjukkan dengan identitas pos pendapatan, sebagai berikut : Y = C + I + G .........................................................................................(2.1) Y = PDRB = C + I + G ..........................................................................(2.2) dimana : C
: Pengeluaran untuk konsumsi
I
: Pengeluaran untuk investasi
G
: Pengeluaran pemerintah
Berdasarkan model di atas, rumah tangga memiliki arti sebagai output perekonomian. Perusahaan dan rumah tangga menggunakan sebagai output untuk investasi dan pemerintah membeli sebagian output untuk kepentingan publik.
15
Oleh sebab itu, di dalam perekonomian tertutup PDRB dialokasikan di antara ketiga penggunaan tersebut.
2.1.5.1. Konsumsi Rumah Tangga Menurut Mankiw (2003) menyatakan bahwa konsumsi agregat merupakan salah satu komponen penentu tingkat kegiatan ekonomi dari pengeluaran agregat yang mendorong kenaikan pendapatan nasional/daerah. Tingkat konsumsi masyarakat ditentukan oleh pendapatan rumah tangga dan besarnya permintaan konsumsi tergantung pada kecenderungan untuk memgkonsumsi atau Marginal Propensity to Consume (MPC) yang dirumuskan sebagai berikut : MPC = ∆C /∆Yd ....................................................................................(2.3) dimana : C
: Konsumsi
Yd
: Pendapatan Disposable
Antara pendapatan dan konsumsi ada investasi, dimana apabila tingkat investasi yang dibutuhkan relatif sedikit dan turun, maka tingkat permintaan agregat akan menurun (Mankiw, 2003). Investasi menurun mengakibatkan kesempatan
kerja
menurun,
sehingga
penduduk
kehilangan
sebagian
pendapatannya, yang pada akhirnya akan menurunkan jumlah konsumsi barang di dalam perekonomian. Demikian juga sebaliknya, konsumsi akan meningkat pada tingkat investasi yang tinggi, karena kesempatan kerja akan meningkat dan menambah pendapatan masyarakat. Dapat disimpulkan bahwa konsumsi dan pendapatan mempunyai hubungan yang positif. Selain pendapatan, faktor lain
16
yang menentukan jumlah konsumsi adalah jumlah kekayaan, tingkat suku bunga, kondisi perekonomian dan distribusi pendapatan. Tingkat konsumsi rumah tangga dipengaruhi oleh daya beli yang dimiliki oleh rumah tangga, yaitu jumlah pendapatan yang siap untuk dibelanjakan (disposable income). Disposable income adalah pendapatan kotor dikurangi dengan pajak pendapatan. Yd = Y – Tx ..........................................................................................(2.4) dimana : Yd
: Pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income)
Y
: Pendapatan nasional
Tx
: Pajak
Rumah tangga dalam menggunakan pendapatannya memiliki pilihan yaitu antara konsumsi saat ini atau menabung. Penentuan pilihan antara konsumsi dan menabung dipengaruhi oleh beberapa faktor antara lain tingkat suku bunga, nilai aset, ketidapastian dan lain-lain. Namun dalam penelitian ini pendekatan yang digunakan adalah pendekatan yang sederhana dimana : C = a + b Yd ...........................................................................................(2.5) S = Yd – C .............................................................................................(2.6) S = Yd – a – b Yd ..................................................................................(2.7) S = -a + (1 – b) Yd .................................................................................(2.8) dimana : C
: Nilai Konsumsi
Yd
: Pendapatan yang siap dibelanjakan (disposable income)
S
: Tabungan
17
A
: Autonomous consumption
Model (2.5) di atas menyatakan bahwa konsumsi adalah fungsi dari disposable income. Hubungan antara konsumsi dan disposable income disebut fungsi konsumsi. Apabila nilai MPC berkisar antara nol dan satu, sehingga jika terjadi kenaikan pendapatan disposable income sebesar satu rupiah, maka akan meningkatkan konsumsi kurang dari satu rupiah dan sisanya akan digunakan untuk menabung. Nilai penjumlahan MPC dan MPS (magrinal propensity to save) adalah satu. Oleh sebab itu, tingkat konsumsi tidak hanya dipengaruhi disposable income, tetapi juga dipengaruhi oleh suku bunga. Peningkatan suku bunga akan mendorong masyarakat untuk menabung dan mengurangi tingkat konsumsinya.
2.1.5.2. Investasi Investasi merupakan salah satu komponen yang penting dalam Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan merupakan unsur yang paling penting dalam meningkatkan perekonomian. Ada beberapa faktor yang menyebabkan besar kecilnya suatu investasi, faktor-faktor tersebut adalah tingkat suku bunga, penyusutan, kebijakan perpajakan dan perkiraan/peramalan tentang penjualan serta kebijakan ekonom (Nopirin, 1996) Menurut Mankiw (2003) menyatakan bahwa fungsi investasi mengaitkan jumlah investasi pada tingkat bunga riil. Model yang mengaitkan investasi pada tingkat suku bunga riil adalah sebagai berikut : I = I (r) ...................................................................................................(2.9) Tingkat suku bunga riil adalah tingkat bunga nominal yang dikoreksi karena pengaruh inflasi, sedangkan tingkat suku bunga nominal adalah tingkat bunga
18
yang biasa dilaporkan atau tingkat bunga yang investor bayar untuk meminjam uang. Jika tingkat suku bunga nominal adalah 8 persen dan tingkat inflasi 3 persen, maka tingkat suku bunga riil adalah 5 persen. Dengan demikian investasi tergantung pada tingkat suku bunga riil, karena tingkat suku bunga riil merupakan biaya pinjaman. Kurva fungsi investasi miring ke bawah, artinya ketika tingkat suku bunga riil (r) naik, maka semakin sedikit investasi (I) yang menguntungkan. Tingkat bunga riil (r)
I = I (r)
Investasi (I) Gambar 2.1. Fungsi investasi pada tingkat bunga riil Sumber : Mankiw, 2003
2.1.5.3. Pengeluaran Pemerintah Pengeluaran pemerintah adalah komponen ketiga dari permintaan terhadap barang dan jasa. Menurut Dornbusch (2008) menyatakan bahwa pengeluaran pemerintah merupakan belanja pemerintah untuk barang dan jasa. Komponen ini termasuk
beberapa
hal
seperti
pengeluaran
pertahanan nasional, biaya
pemeliharaan jalan oleh pemerintah negara bagian dan lokal, serta gaji pegawai pemerintah. Jumlah pengeluaran pemerintah dipengaruhi oleh proyeksi jumlah pajak yang diterima, tujuan ekonomi yang ingin dicapai dan pertimbangan politik dan keamanan.
19
2.1.6. Potensi Keuangan Daerah Menurut Saragih (2003), keuangan daerah merupakan bagian penting dalam pelaksanaan kaitannya dengan kebijakan desentralisasi fiskal. Ada tiga bentuk pertanggungjawaban pengelolaan (manajemen) keuangan (daerah) jika dilihat dari aspek kewenangan yang dimiliki oleh pemerintah daerah dalam hal keuangan daerah, yaitu sebagai berikut : 1) Pertanggungjawaban dalam kerangka pelaksanaan desentralisasi. 2) Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas pembantuan. 3) Pertanggungjawaban dalam kerangka tugas dekosentrasi. Potensi keuangan daerah adalah kekuatan yang ada di suatu daerah untuk menghasilkan sejumlah penerimaan tertentu. Di dalam PP Nomor 105 Tahun 2000, pengertian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah yang dapat dinilai dengan uang termasuk di dalamnya segala bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut dalam kerangka APBD. Komponen-komponen penerimaan daerah yang mempunyai peluang untuk ditingkatkan kontribusinya terhadap APBD Kota Magelang apabila faktor-faktor pendukungnya juga dioptimalkan. Jadi, istilah potensi dalam penelitian ini sangat erat dengan sumber-sumber penerimaan APBD yang memiliki peluang untuk dioptimalkan. Keberhasilan kinerja keuangan daerah dapat tercermin dari pos-pos penerimaan. Semakin besar porsi penerimaan daerah dari PAD, maka semakin kecil juga ketergantungan daerah terhadap APBN. Kinerja keuangan yang efisien dapat dilihat dari rasio penerimaan terhadap pengeluaran, apabila rasio
20
penerimaan terhadap pengeluaran lebih besar dari tahun sebelumnya maka semakin efisien pengeluarannya.
2.1.7. Sumber-Sumber Penerimaan Daerah Pendapatan daerah dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah tidak hanya bersumber dari APBN, tetapi juga berasal dari sumber-sumber pendapatan sendiri yang digali dari potensi daerah. Menurut Saragih (2003), sebelum dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 dan UU No 25 Tahun 1999, sumber keuangan daerah, baik provinsi, kabupaten maupun kota menurut UU Nomor 5 Tahun 1974 adalah sebagai berikut : (1) Penerimaan asli daerah (PAD) ; (2) Bagi hasil pajak dan non-pajak; (3) Bantuan pusat (APBN) untuk daerah tingkat I dan tingkat II; (4) Pinjaman daerah; (5) Sisa lebih anggaran tahun lalu; (6) Lain-lain penerimaan daerah yang sah. Setelah berlakunya undang-undang otonomi daerah sesuai dengan pasal 79 UU Nomor 22 Tahun 1999 serta pasal 5 dan 6 UU Nomor 25Tahun 1999, sumber pendapatan daerah terdiri atas sebagai berikut : (1) Pendapatan asli daerah (PAD) yang terdiri dari : pajak daerah, retribusi daerah, bagian pemerintah daerah dari hasil keuntungan perusahaan milik daerah (BUMD) dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; (2) Dana perimbangan, yang terdiri atas : dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus; (3) Pinjaman daerah; (4) Lain-lain pendapatan daerah yang sah. Salah satu perbedaan yang signifikan di antara sebelum dan sesudah diberlakukannya undang-undang otonomi daerah adalah, bahwa ketentuan lama menyebutkan adanya bantuan pusat kepada daerah baik provinsi dan daerah
21
kabupaten maupun kota melalui kebijakan dana instruksi Presiden (inpres) dan subsidi daerah otonom (SDO) serta desa tertinggal (IDT) (1994-1995). Sedangkan ketentuan dalam undang-undang tentang otonomi daerah yang baru, bantuan pusat dihapuskan dan digantikan dengan dana perimbangan yang intinya bahwa daerah otonom yang menerima dana perimbangan memiliki kewenangan penuh untuk mengelola dan menggunakannya.
2.1.7.1. Pendapatan Asli Daerah (PAD) Menurut Bratakusumah dan Solihin (2004) menyatakan bahwa pendapatan asli daerah (PAD) adalah penerimaan yang diperoleh daerah dari sumber-sumber dalam wilayahnya sendiri yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pendapatan asli daerah
merupakan semua penerimaan daerah yang berasal dari sumber ekonomi asli daerah. Pendapatan asli daerah terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan penerimaan dinas-dinas, laba bersih perusahaan daerah, dan penerimaan lain-lain.
2.1.7.1.1. Pajak Daerah Menurut UU Nomor 34 Tahun 2000, pajak daerah merupakan iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi dan badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan
yang
berlaku,
yang
digunakan
untuk
membiayai
penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Artinya bahwa pajak daerah adalah iuran wajib yang dipaksakan kepada setiap orang (wajib
22
pajak) tanpa kecuali dan diperuntukkan bagi penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah. Pajak daerah dibagi menjadi dua, yaitu pajak daerah provinsi dan pajak daerah kabupaten atau kota. Jenis pajak daerah provinsi terdiri atas pajak kendaraan bermotor (PKB), bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB) dan pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB). Sedangkan jenis pajak daerah kabupaten atau kota terdiri dari : pajak hotel dan restoran, pajak penerangan jalan, pajak reklame, pajak hiburan, pajak pengambilan dan pengolahan bahan galian golongan C serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan. Menurut Jhingan (2000), dalam rangka meningkatkan pembangunan ekonomi suatu negara pajak dapat dipergunakan untuk : (1) membatasi konsumsi, dengan mentransfer sumber konsumsi ke investasi, (2) meningkatkan dorongan untuk menabung dan menanam modal, (3) mentransfer sumber dari masyarakat ke pemerintah sehingga memungkinkan adanya investasi, (4) memodifikasi pola investasi, (5) mengurangi ketimpangan ekonomi dan (6) memobilisasi surplus ekonomi.
2.1.7.1.2. Retribusi Daerah Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan. Sebagaimana halnya pajak, retribusi daerah merupakan salah satu pendapatan asli daerah yang diharapkan menjadi salah satu sumber pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan daerah, untuk meningkatkan dan memeratakan kesejateraan
23
masyarakat. Daerah kabupaten/kota diberi peluang dalam menggali potensi sumber-sumber keuangannya dengan menetapkan jenis retribusi selain yang telah ditetapkan, sepanjang memenuhi kriteria yang telah ditetapkan dan sesuai dengan aspirasi masyarakat. Menurut Saragih (2003), perbedaan antara pajak daerah dan retribusi daerah tidak hanya didasarkan atas objeknya, tetapi juga perbedaan atas pendekatan tarif. Oleh sebab itu, tarif retribusi bersifat fleksibel sesuai dengan tujuan retribusi dan besarnya biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah masing-masing untuk melaksanakan atau mengelola jenis pelayanan publik di daerahnya. Semakin efisien pengelolaan pelayanan publik di suatu daerah, maka semakin kecil tarif retribusi yang dikenakan. Jenis retribusi daerah menurut UU Nomor 34 Tahun 2000 terdiri atas retribusi jasa umum, retrubusi jasa usaha dan retribusi perizinan tertentu. Jenis retribusi yang semakin banyak dikenakan kepada masyarakat merupakan beban bagi masyarakat lokal. Oleh karena itu, kebijakan retribusi daerah sering menimbulkan kontroversi di daerah, baik sebelum maupun sesudah otonomi daerah. Hal ini disebabkan pemerintah daerah memungut retribusi tanpa ada imbalan langsung yang dirasakan masyarakat.
2.1.7.1.3. Bagian Laba Perusahaan Daerah Laba bersih perusahaan daerah merupakan keuntungan bersih yang diperoleh oleh perusahaan daerah atau BUMD atas jasa dan layanan yang telah diberikan oleh perusahaan tersebut. Posisi perusahaan daerah di era otonomi
24
daerah sebenarnya sangat penting dan strategis sebagai salah satu institusi milik daerah dalam meningkatkan penerimaan PAD. Pembinaan dana pengembangan BUMD merupakan wewenang pemerintah daerah atas restu DPRD. Memang dalam tahap awal otonomi daerah, tidak banyak yang dapat diharapkan dengan kehadiran BUMD untuk menambah kas daerah selama BUMD tersebut rugi terus. Kendati kekayaan BUMD terpisah dari kekayaan daerah dalam APBD, tetapi bisa saja pemda sewenang-wenang melakukan ekspansi usaha BUMD dengan menggunakan dana APBD. Hal inilah yang dapat menyebabkan kebangkrutan keuangan daerah, termausk krisis anggaran daerah. Oleh karena itu, pengelolaan keuangan BUMD harus terpisah dan dilakukan secara professional sebagaiman perusahaan swasta lainnya (Saragih, 2003).
2.1.7.2. Dana Transfer Dana transfer merupakan sumber pendapatan daerah yang berasal dari APBN untuk mendukung pelaksanaan kewenangan pemerintahan daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi kepada daerah, yaitu terutama penigkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik. Dana transfer terdiri dari dana otonomi khusus, dana penyesuaian dan dana perimbangan. Dalam UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah dijelaskan bahwa dana perimbangan terdiri atas dana bagi hasil, dana alokasi umum dan dana alokasi khusus.
25
2.1.7.2.1. Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil merupakan merupakan bagian dari dana perimbangan dimana sumber penerimaannya berasal dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang diperoleh pemerintah daerah berasal dari pemerintah pusat dan propinsi. Dana bagi hasil yang bersumber dari pemerintah pusat terdiri dari atas : pajak bumi dan bangunan (PBB), bea perolehan atas hak tanah dan bangunan dan penerimaan sumber daya alam. Selain itu, dana bagi hasil yang berasal dari propinsi terdiri atas : pajak kendaraan bermotor (PKB) atau bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB), pajak bahan bakar kendaraan bermotor (PBBKB) serta pajak pemanfaatan air bawah tanah dan pajak pemanfaatan air permukaan.
2.1.7.2.2. Dana Alokasi Umum Dana alokasi umum adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk membiayai kebutuhan pengeluarannya dalam rangka pelaksanaan desentralisasi (Bratakusumah dan Solihin, 2004). Dana alokasi umum berfungsi sebagai faktor pemerataan
fiskal
antara
daerah-daerah
serta
memperkecil
kesenjangan
kemampuan fiskal atau keuangan antar daerah.
2.1.7.2.3. Dana Alokasi Khusus Dana alokasi khusus adalah dana yang berasal dari APBN, yang dialokasikan kepada daerah untuk membantu membiayai kebutuhan tertentu dan bertujuan untuk membiayai kebutuhan-kebutuhan khusus daerah. Dana alokasi khusus digunakan khusus untuk membiayai investasi pengadaan dan/atau
26
peningkatan dan/atau perbaikan prasarana dan sarana fisik dengan umur ekonomis yang panjang. Pengelolaan dana alokasi khusus kepada daerah ditetapkan oleh Menteri Keuangan selama memperhatikan pertimbangan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Derah, Menteri teknis terkait dan instansi yang membidangi perencanaan pembangunan nasional. Pemeriksaan atas penggunaan dana alokasi khusus oleh daerah dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku (Bratakusumah dan Solihin, 2004).
2.1.7.3. Pinjaman Daerah Pinjaman daerah merupakan salah satu sumber penerimaan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi, yang dicatat dan dikelola dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Dana pinjaman merupakan pelengkap dari sumber-sumber penerimaan daerah yang ada dan ditujukan untuk membiayai pengadaan prasarana daerah atau harta tetap lain yang berkaitan dengan kegiatan yang
bersifat
meningkatkan
penerimaan
yang
dapat
digunakan
untuk
mengembalikan pinjaman serta memberikan manfaat bagi pelayanan masyarakat.
2.2. Penelitian Terdahulu Beberapa penelitian telah dilakukan lebih jauh tentang keuangan daerah, serta dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan dan kinerja ekonomi daerah. Yuliati (2002) melakukan penelitian tentang Potensi Keuangan Daerah, Derajat Desentralisasi Fiskal dan Dampaknya terhadap Kinerja Ekonomi Daerah di Kabupaten Tegal, Kabupaten Brebes, dan Kota Tegal. Data yang digunakan
27
berupa data time series dari tahun 1982 hingga tahun 1999. Alat analisis yang digunakan adalah SAS 6.0 menunjukkan bahwa kinerja ekonomi daerah lebih didorong oleh kecenderungan mengkonsumsi daripada
investasi. Kebijakan
desentralisasi fiskal dari sisi penerimaan mempengaruhi kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah, dan jika dibarengi dengan kebijakan peningkatan pengeluaran berdampak positif terhadap total penerimaan keuangan pemerintah daerah dan perekonomian. Peluang untuk meningkatkan penerimaan daerah dipengaruhi oleh elastisitas pendapatan perkapita, kesesuaian basis pajak dengan basis ekonomi, elastisitas permintaan jasa publik, elastisitas harga publik, dan tingkat kebutuhan pengeluaran daerah. Yudhoyono (2004) melakukan penelitian tentang dampak penerapan kebijakan fiskal (pengeluaran dan penerimaan) terhadap pengangguran dan kemiskinan. Data yang digunakan berupa data time series dari tahun 1984 hingga tahun 2003. Alat analisis yang digunakan adalah persamaan simultan dan SAS 6.0. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rejim pemerintahan berpengaruh nyata terhadap kinerja perekonomian. Pemerintahan orde baru cenderung menurunkan PDB dan mengakibatkan kemiskinan meningkat. Hasil simulasi menunjukkan bahwa peningkatan pengeluaran pemerintah untuk pembangunan infrastruktur berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja, sehingga dapat mengurangi pengangguran. Hasugian (2006) melakukan penelitian tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja keuangan daerah dan kemiskinan di kabupaten dan kota Provinsi Jawa Barat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kemandirian fiskal, kinerja fiskal dan profil kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal di
28
Jawa Barat. Data yang digunakan berupa data sekunder dari tahun 1998-2004. Alat analisis yang digunakan adalah panel data dan eviews. Hasilnya menunjukan bahwa tingkat kemandirian daerah semakin rendah sesudah implementasi desentralisasi fiskal. Kontribusi DAU selama periode analisis (2001-2004) masih sangat tinggi, secara umum kontribusi DAU sangat tinggi dengan menyumbang rata-rata 60-90 persen dari penerimaan daerah. Hermani (2007) meneliti tentang dampak desentralisasi
fiskal terhadap
perekonomian kota Tegal dan Kabupaten Brebes. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kinerja fiskal, kinerja keuangan dan tingkat kemiskinan sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal. Data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1998 sampai tahun 2003. Alat analisis yang digunakan adalah persamaan simultan dan SAS 6.0 adalah kebijakan desentralisasi fiskal di kedua kota tersebut sangat berpengaruh terhadap kinerja fiskal daerah. Kebijakan peningkatan DAU, PAD, dan dana bagi hasil menunjukkan dampak yang besar terhadap peningkatan kinerja fiskal dan perekonomian daerah tersebut serta bisa mengurangi tingkat kemiskinan. Irdhania (2009) meneliti tentang dampak desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan kabupaten Bogor. Tujuan dari penelitian ini adalah menganalisis dampak desentralisasi fiskal terhadap potensi keuangan dan kinerja perekonomian. Data yang digunakan adalah data time series dari tahun 1997 hingga tahun 2007. Alat analisis yang digunakan persamaan simultan dan eviews serta hasilnya menunjukkan bahwa penerapan kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh negatif dan nyata secara statistik terhadap penerimaan retribusi Kabupaten Bogor, sedangkan dana transfer dipengaruhi
29
secara positif dan nyata. Penerapan desentralisasi fiskal tidak mempengaruhi variabel potensi keuangan lainnya secara signifikan. Penulis melakukan penelitian mengenai dampak penerapan desentralisasi fiskal terhadap kinerja perekonomian dan potensi keuangan Kota Magelang dengan pertimbangan bahwa wilayah penelitian akan memberikan hasil yang berbeda. Pada penelitian ini, penulis hanya membahas dari sisi penerimaan saja yang berasal dari komponen pendapatan daerah yaitu pendapatan asli dan dana bagi hasil. Penulis hanya membahas dana alokasi secara umum dan tidak secara khusus. Periode penelitian ini dari tahun 1995 hingga tahun 2011.
2.3. Kerangka Pemikiran Pelaksanaan otonomi daerah berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU Nomor 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan pusat daerah, yang memberikan keleluasaan bagi pemerintah daerah untuk mengelola, mengatur dan memanfaatkan sumber keuangan daerah dalam rangka meningkatkan kinerja perekonomian daerah. Hal ini menjadi acuan dalam mengembangkan kerangka pemikiran yang digunakan dalam melakukan analisis potensi keuangan dan kinerja ekonomi daerah Kota Magelang. Analisis kinerja ekonomi dan potensi keuangan daerah dilakukan secara deskriptif dan permodelan persamaaan simultan. Analisis deskriptif dilakukan untuk mengetahui kondisi kinerja ekonomi daerah sebelum dan sesudah desentralisasi fiskal, untuk mengetahui perkembangan dan kontribusi masing-masing komponen APBD terhadap total pendapatan daerah serta untuk mengetahui tingkat kemampuan keuangan daerah.
30
Indikasi dari kemajuan perekonomian daerah adalah tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Kinerja ekonomi Kota Magelang dinilai berdasarkan PDRB yang ditinjau dari konsumsi rumah tangga masyarakat Kota Magelang, investasi daerah dan pengeluaran pemerintah daerah. Potensi keuangan daerah sangat berkaitan erat dengan kinerja ekonomi daerah. Identifikasi potensi keuangan daerah yang baik tercermin oleh anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD). Potensi keuangan daerah tercermin dari PAD dan dana perimbangan. Komponen PAD terdiri dari pajak daerah, retribusi daerah dan laba usaha daerah, sedangkan dana perimbangan yaitu dana bagi hasil.
Otonomi Daerah Kota Magelang
Desentralisasi Fiskal
Kinerja Perekonomian (PDRB) : C, I, G
Potensi Keuangan Daerah : Komponen PAD, Bagi Hasil
Analisis Ekonometrika: Model Persamaan Simultan (Metode 2SLS)
Analisis Deskriptif Kualitatif
Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Kinerja Perekonomian dan Potensi Keuangan Kota Magelang Gambar 2.2. Keranga Pemikiran
31
Ir
I
PDRB
C
INF
LTR OTHER
G
LTR
TRS
LOR
OTH
VEH
SHR
PDRBC
POP
NTAX
REC
HTL
TAX
PRS
WTR
PRFT
INT
D
: Variabel eksogen
: Variabel endogen
Gambar 2.3. Bagan Alir Model Kinerja Keuangan dan Potensi Keuangan
32
2.4. Hipotesis Penelitian Berdasarkan perumusan masalah dan tujuan penelitian yang pertama dapat dihipotesiskan bahwa : 1) Penerapan desentralisasi fiskal diharapkan memberikan dampak positif pada kinerja perekonomian Kota Magelang. Kinerja perekonomian dapat dilihat dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB), yang terdiri
atas
oleh konsumsi rumah tangga, investasi dan pengeluaran konsumsi pemerintah. a.
Variabel PDRB, jumlah populasi dan dummy desentralisasi fiskal diduga berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi rumah tangga, sedangkan inflasi mempengaruhi konsumsi secara negatif.
b. Variabel PDRB dan dummy desentralisasi fiskal diduga berpengaruh positif terhadap tingkat investasi daerah. Sedangkan variabel suku bunga rill berpengaruh negatif terhadap investasi daerah. c. Variabel PDRB, total penerimaan daerah dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap pengeluaran pemerintah. Variabel inflasi berpengaruh negatif terhadap pengeluaran pemerintah. 2) Penerapan desentralisasi fiskal juga diharapkan membawa perubahan yang positif pada potensi keuangan daerah. Potensi keuangan daerah bersumber dari pajak daerah, retribusi, laba bersih perusahaan daerah dan dana bagi hasil pajak dan bukan pajak. a.
Variabel PDRB perkapita, jumlah penduduk, jumlah kamar hotel, jumlah
perusahaan,
inflasi
dan
dummy
desentralisasi
berpengaruh positif terhadap tingkat penerimaan pajak daerah.
fiskal
33
b. Variabel PDRB perkapita, jumlah pertumbuhan pengunjung tempat rekreasi, inflasi dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan retribusi daerah. c.
Variabel PDRB perkapita, jumlah penduduk, jumlah konsumsi air minum, tingkat suku bunga dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan laba bersih perusahaan daerah.
d.
Variabel PDRB perkapita, jumlah kendaraan bermotor, inflasi dan dummy desentralisasi fiskal berpengaruh positif terhadap penerimaan bagi hasil pajak bukan pajak daerah.