II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1
Pariwisata Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, pariwisata adalah segala hal yg
berhubungan
dengan
perjalanan
untuk
rekreasi;
pelancongan;
turisme.
Berpariwisata berarti melancong; bertamasya. Pariwisata adalah industri gaya baru yang mampu menyediakan pertumbuhan ekonomi yang cepat dalam hal kesempatan kerja, penghasilan, taraf hidup, dan dalam mengaktifkan sektor produksi lain di dalam negara penerima wisatawan. Pariwisata juga merupakan sektor yang kompleks, meliputi industri-industri dalam arti yang klasik, seperti misalnya industri kerajinan tangan dan industri cenderamata. Penginapan dan transportasi secara ekonomi juga dipandang sebagai industri (Wahab, 1992). Selanjutnya Wahab (1992) menjelaskan pariwisata sebagai suatu gejala yang terwujud dalam beberapa bentuk. Pertama, menurut jumlah orang yang bepergian, terdiri dari pariwisata individu dan pariwisata rombongan. Kedua, menurut maksud bepergian, terdiri dari pariwisata rekreasi atau pariwisata santai, pariwisata budaya, pariwisata pulih sehat, pariwisata sport, dan pariwisata temu wicara. Ketiga, menurut alat transportasi, terdiri dari pariwisata darat, tirta, dan dirgantara. Keempat, menurut letak geografis, terdiri dari pariwisata domestik nasional, pariwisata regional, dan pariwisata internasional. Kelima, menurut umur, terdiri dari pariwisata remaja dan dewasa. Keenam, menurut jenis kelamin terdiri dari pariwisata pria dan wanita. Ketujuh, menurut tingkat harga dan tingkat sosial terdiri dari pariwisata taraf lux, menengah, dan jelata. Menurut Wardiyanta (2006), pengembangan pariwisata di suatu tempat dapat menimbulkan implikasi yang beragam, mulai dari yang positif, yakni
23
menguntungkan sampai yang negatif, yakni merugikan. Hal ini dapat menjadi sumber permasalahan penelitian pariwisata yang potensial. Oleh karena keberadaannya memiliki banyak dimensi, maka untuk dapat memahaminya secara menyeluruh dapat menggunakan berbagai pendekatan ilmu, antara lain manajemen, sosiologi, sejarah, politik, antropologi, psikologi, lingkungan, hukum, dan lain-lain. Terdapat sepuluh pendekatan yang digunakan dalam penelitian pariwisata, yaitu pendekatan institusional, pendekatan produk, pendekatan historis, pendekatan manajerial, pendekatan ekonomis, pendekatan sosiologis, pendekatan hukum, pendekatan geografis, pendekatan budaya, dan pendekatan interdisipliner. 2.1.1 Permintaan Wisata Unsur-unsur penting dalam permintaan wisata menurut Damanik dan Weber (2006) adalah wisatawan dan penduduk lokal yang menggunakan sumberdaya (produk dan jasa) wisata. Basis utamanya adalah ketersediaan waktu dan uang pada kelompok tersebut. Waktu luang, uang, sarana dan prasarana merupakan permintaan potensial wisata. Permintaan potensial ini harus ditransformasikan menjadi permintaan riil, yakni pengambilan keputusan wisata. Pengambilan keputusan berlangsung secara bertahap, mulai dari tahap munculnya kebutuhan, kesediaan untuk berwisata, sampai keputusan itu sendiri. Masingmasing fase ini mempunyai kegiatan yang spesifik. Faktor kepribadian, daya tarik ODTW (Obyek dan Daya Tarik Wisata), ketersediaan sumberdaya, jarak dan kondisi lingkungan wisata, semuanya ikut menentukan keputusan tersebut. Namun, terkadang dalam beberapa kasus diketahui bahwa keputusan wisatawan untuk berwisata kerap kali tidak terpengaruh oleh jarak obyek wisata dengan tempat tinggal (Ross, 1994).
24
2.1.2 Penawaran Wisata Elemen penawaran wisata sering disebut sebagai triple A’s yang terdiri dari atraksi, aksesibilitas, dan amenitas. Secara singkat atraksi dapat diartikan sebagai objek wisata (baik yang bersifat tangible maupun intangible) yang memberikan kenikmatan kepada wisatawan. Atraksi dapat dibagi menjadi tiga, yakni alam, budaya, dan buatan. Atraksi alam meliputi pemandangan alam, udara sejuk dan bersih, hutan perawan, sungai, gua, dan lain-lain. Singkatnya, pemandangan alam, kekayaan flora dan fauna. Atraksi budaya meliputi peninggalan sejarah seperti candi dan adat-istiadat masyarakat. Adapun atraksi buatan dapat dimisalkan Kebun Raya Bogor, Taman Safari, Taman Margasatwa Ragunan, Taman Impian Jaya Ancol, Disneyland, dan sebagainya. Unsur lain yang melekat dalam atraksi ini adalah hospitally, yakni jasa akomodasi atau penginapan, restoran, biro perjalanan, dan sebagainya (Damanik dan Weber, 2006). Aksesibilitas mencakup keseluruhan infrastruktur transportasi yang menghubungkan wisatawan dari, ke, dan selama di daerah tujuan wisata (Inskeep, 1994) dalam (Damanik dan Weber, 2006). Lebih lanjut Damanik dan Weber menjelaskan bahwa amenitas adalah infrastruktur yang sebenarnya tidak langsung terkait dengan pariwisata tetapi sering menjadi bagian dari kebutuhan wisatawan seperti bank, penukaran uang, telekomunikasi, usaha persewaan (rental), penerbit dan penjual buku panduan wisata, seni pertunjukan (teater, bioskop, pub, dan lainlain) dapat digolongkan ke dalam bagian ini. Pariwisata rekreasi adalah pariwisata yang maksud kepergiannya untuk memulihkan kemampuan fisik dan mental setiap peserta wisata dan memberikan
25
kesempatan rileks bagi mereka dari kebosanan dan keletihan kerja selama di tempat rekreasi (Wahab, 1992). Pariwisata rekreasi lebih ke arah mencari hiburan. Soekadijo (2000) menjelaskan bahwa untuk menjalani hidupnya menurut alam, manusia dibekali dengan kemampuan untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya, yang dapat diklasifikasikan menjadi kebutuhan fisik, psikis, dan sosial. Kebutuhan fisik itu antara lain makan, dan minum, beristirahat, kesehatan, mandi, dan sebagainya. Diantara kebutuhan psikis dapat disebut hasrat ingin tahu, hasrat untuk menyelidiki, kebosanan yang menimbulkan keinginan untuk mencari kesenangan, dan lainnya. Mengenai kebutuhan sosial, Plato sudah mengatakan bahwa manusia itu suatu ”zoon politicon”, makhluk sosial dengan hasrat untuk berkawan dan yang hanya dapat mencapai kesempurnaannya dalam pergaulan dengan sesama manusia. Manusia merasa perlu atau merasa terdorong untuk mengadakan perjalanan ke suatu tempat dimana hasratnya secara konkret diharapkan akan dapat dipenuhi. Hasrat pembawaan dalam bentuknya yang konkret, yang berupa keperluan atau dorongan atau alasan tertentu itulah yang dimaksud dengan motif perjalanan atau motif wisata. Sudah tentu motif perjalanan itu berbeda menurut tingkat kebudayaan orang yang mengadakan perjalanan. Makin tinggi kebudayaannya, makin beraneka ragam kebutuhan orang dan makin beraneka ragam pula motif perjalanannya. Sedangkan apa yang diharapkan akan dapat memenuhi keperluan atau motif itu disebut atraksi wisata (Soekadijo, 2000). 2.2
Konservasi Eksitu Menurut Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006
tentang Lembaga Konservasi dijelaskan bahwa konservasi eksitu adalah konservasi tumbuhan dan atau satwa yang dilakukan di luar habitat alaminya.
26
Muntasib (2003) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk konservasi eksitu antara lain kebun binatang, kebun raya, arboretum, taman hutan raya, taman safari, kebun botani, taman burung, taman kupu-kupu, dan berbagai penangkaran satwa. Konservasi eksitu dimaksudkan untuk ikut mendorong pengembangan konservasi flora dan fauna dengan cara : 1.
Pada periode tertentu flora dan fauna hasil konservasi eksitu dapat dilepaskan kembali ke habitat alaminya untuk memelihara jumlah dan variabilitas genetik (terpeliharanya keanekaragaman genetik) di dalam populasinya di alam atau biasa disebut restocking.
2.
Hasil-hasil penelitian dari populasi eksitu dapat memberikan manfaat sebagai dasar-dasar biologi untuk menentukan strategi atau upaya-upaya konservasi baru.
3.
Populasi eksitu dapat digunakan untuk atraksi satwa, seperti di kebun binatang atau taman safari.
4.
Hasil pengembangan populasi di kawasan konservasi eksitu dapat digunakan untuk berbagai keperluan penelitian sehingga tidak perlu mengganggu populasi di alam.
5.
Kawasan konservasi eksitu juga dapat digunakan sebagai tempat atau media pendidikan dan penelitian bagi masyarakat. Selanjutnya Muntasib (2003) juga menjelaskan meskipun konservasi eksitu
memberikan manfaat dalam membantu perlindungan jenis, namun ada beberapa keterbatasan/kekurangan jika dibandingkan dengan konservasi insitu, yaitu : 1.
Ukuran populasi dalam kawasan konservasi eksitu biasanya terbatas.
2.
Variasi genetis (keanekaragaman genetis) terbatas karena populasi yang kecil.
27
3.
Kemampuan spesies (jenis) agar tetap bertahan hidup berkurang karena biasanya segala kebutuhan hidupnya tersedia sehingga tidak ada kemampuan mencari (berjuang) untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
4.
Mudah beradaptasi dengan perubahan lingkungan buatan sehingga ketika dilepas ke alam yang sebenarnya maka daya hidupnya sangat menurun.
5.
Biasanya terkonsentrasi pada tempat-tempat tertentu saja, sehingga lebih tahan terhadap gangguan dan mudah terancam akan perubahan atau tekanan lingkungan
6.
Untuk menjaga keberlanjutan konservasi eksitu, maka diperlukan dana dan biaya yang besar, fasilitas yang memadai, dan tenaga terlatih. Ketiga hal tersebut seringkali menjadi masalah utama pelaksanaan konservasi eksitu, terutama biaya pengelolaannya yang sangat besar.
2.3
Kebun Binatang Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang
Lembaga Konservasi menjelaskan bahwa kebun binatang adalah suatu tempat atau wadah yang mempunyai fungsi utama sebagai lembaga konservasi yang melakukan upaya perawatan dan pengembangbiakan berbagai jenis satwa berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan satwa dalam rangka membentuk dan mengembangkan habitat baru, sebagai sarana perlindungan dan pelestarian jenis melalui kegiatan penyelamatan, rehabilitasi dan reintroduksi alam dan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana rekreasi yang sehat. Menurut Direktorat Jenderal Kehutanan (1977), kebun binatang adalah satu-satunya tempat dimana penduduk kota dapat menyaksikan satwa liar dan
28
segala aspek hidupnya, misalnya bentuk dan tingkah lakunya, (etologi), termasuk kegiatan-kegiatan yang dapat dilakukan terhadap satwa tersebut yaitu penelitian dan studi-studi. Dengan demikian, kebun binatang merupakan sarana penghubung satu-satunya antara masyarakat dan satwa liar. Kebun binatang menurut peragaannya dapat digolongkan dalam tiga kategori, yaitu bentuk manageri, bentuk peragaan satwa yang di tempatkan disuatu tempat/kurungan atau ruang yang berpagar, dan bentuk taman margasatwa. Bentuk manageri berupa kumpulan satwa yang ditempatkan dalam kurungan sempit, bentuk ini sudah tidak digunakan lagi sedangkan bentuk taman margasatwa mempertontonkan satwa pada keadaan mendekati habitat alaminya dan diusahakan menurut jenis satwanya. Fungsi kebun binatang dalam SK Dirjen Kehutanan No. 20/Kpts/DJ/1978 adalah untuk perlindungan dan pelestarian satwa liar, sarana pendidikan dan penelitian ilmiah, sarana rekreasi dan hiburan alamiah. Tugas pokok kebun binatang antara lain melakukan penangkaran satwa liar untuk menghindari kepunahan, memperagakan binatang untuk kepentingan pendidikan budaya ilmiah, penelitian, dan rekreasi, serta memberi pelayanan kepada pengunjung dan menjaga keamanan serta keselamatannya. Salah satu landasan yuridis teknis pemanfaatan sumberdaya alam pada umumnya atau satwa pada khususnya adalah Undang-Undang No.4 Tahun 1982 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menegaskan antara lain: (1) Sumberdaya alam dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat (Pasal 10 ayat 1), dan (2) Konservasi sumberdaya alam adalah pengelolaan sumberdaya alam yang
29
menjamin pemanfaatannya secara bijaksana dan bagi sumberdaya terbaharui menjamin
kesinambungan
persediaannya
dengan
tetap
memelihara
dan
meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya (Pasal 1, ayat 11). 2.4
Taman Margasatwa Taman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia ialah tempat untuk
bersenang-senang. Margasatwa menurut Departemen Pendidikan dan Kebudayaan memiliki arti perlindungan terhadap binatang liar yang perlu dilestarikan keberadaannya. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi menjelaskan bahwa taman satwa adalah kebun binatang yang melakukan upaya perawatan dan pengembangbiakan terhadap jenis satwa yang dipelihara berdasarkan etika dan kaidah kesejahteraan satwa sebagai sarana perlindungan dan pelestarian jenis dan dimanfaatkan sebagai sarana pendidikan, penelitian, pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta sarana rekreasi yang sehat. Peragaan yang dilakukan di dalam taman margasatwa bertujuan untuk mengusahakan suatu keadaan lingkungan yang mendekati keadaan habitat alamiahnya. Kebun binatang di dunia pada masa sekarang ini lebih mengarah kepada bentuk taman margasatwa. Hal ini disebabkan karena tuntutan kebutuhan yang lebih modern untuk lebih meningkatkan fungsi kebun binatang. Kriteria taman satwa dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.53/MENHUT-II/2006 tentang Lembaga Konservasi meliputi : a.
Koleksi satwa yang dipelihara sekurang-kurangnya 2 kelas, baik yang dilindungi maupun yang tidak dilindungi undang-undang dan atau
30
ketentuan Convention of International Trade on Endangered Spesies of Flora Fauna (CITES) b.
Memiliki lahan seluas sekurang-kurangnya 1 (satu) hektar
c.
Memiliki ketersediaan sumber air dan pakan yang cukup
d.
Memiliki sarana pemeliharaan satwa, antara lain: kandang pemeliharaan, kandang perawatan, kandang karantina, kandang pengembangbiakan/ pembesaran dan prasarana pendukung pengelolaan satwa yang lain
e.
Memiliki Kantor Pengelola dan sarana pengelolaan pengunjung
f.
Tersedia tenaga kerja sesuai bidang keahliannya antara lain tenaga medis, ahli biologi konservasi, kurator, perawat, dan tenaga keamanan
2.5
Badan Layanan Umum (BLU) Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 23 Tahun
2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, pada Bab I Pasal 1 Ayat 1 tentang Ketentuan Umum dijelaskan bahwa Badan Layanan Umum (BLU), adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas. Pada ayat 2 dijelaskan bahwa Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) adalah pola pengelolaan keuangan yang memberikan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat untuk meningkatkan
pelayanan
kepada
masyarakat
dalam
rangka
memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana diatur
31
dalam Peraturan Pemerintah ini sebagai pengecualian dan ketentuan pengelolaan keuangan negara pada umumnya. Selanjutnya di dalam Peraturan Pemerintah yang sama, pada Bab IV tentang Standar dan Tarif Layanan bagian pertama tentang Standar Layanan, Pasal 8 dijelaskan bahwa instansi pemerintah yang menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) menggunakan standar pelayanan minimum, yang ditetapkan oleh menteri/ pimpinan lembaga/ gubernur/ bupati/ walikota sesuai dengan kewenangannya dengan mempertimbangkan kualitas layanan, pemerataan dan kesetaraan layanan, biaya serta kemudahan untuk mendapatkan layanan. Sedangkan pada bagian kedua tentang Tarif Layanan ayat 1 dijelaskan bahwa BLU dapat memungut biaya kepada masyarakat sebagai imbalan atas barang/jasa layanan yang diberikan, pada ayat 5 dijelaskan bahwa tarif layanan sebagaimana dimaksud harus mempertimbangkan: a.
kontinuitas dan pengembangan layanan;
b.
daya beli masyarakat;
c.
asas keadilan dan kepatutan; dan
d.
kompetisi yang sehat Pengelolaan BLU dari sisi keuangan sangat terkait dengan sumber
pendapatannya. Dalam Peraturan Pemerintah yang sudah disebutkan di atas, pada Bab V bagian ketiga tentang Pendapatan dan Belanja, Pasal 14 Ayat 1 dijelaskan bahwa penerimaan anggaran yang bersumber dari APBN/APBD diberlakukan sebagai pendapatan BLU. Ayat 2 menjelaskan bahwa pendapatan yang diperoleh dari jasa layanan yang diberikan kepada masyarakat dan hibah tidak terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan operasional
32
BLU. Ayat 3 menjelaskan bahwa hibah terikat yang diperoleh dari masyarakat atau badan lain merupakan pendapatan yang harus diperlakukan sesuai dengan peruntukan. Pendapatan pada ayat (2) dan (3) dilaporkan sebagai pendapatan negara bukan pajak kementerian/lembaga atau pendapatan bukan pajak pemerintah daerah. Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU menyatakan bahwa BLU adalah alat untuk meningkatkan kinerja pelayanan publik melalui penerapan manajemen keuangan berbasis pada hasil, dan bukanlah semata-mata sarana untuk mengejar
fleksibilitas
dalam
pengelolaan
keuangan.
Sehingga
untuk
meningkatkan pelayanan kepada masyarakat/publik dengan tarif/harga layanan yang terjangkau masyarakat dengan kualitas layanan yang baik, cepat, efisien dan efektif dapat diterapkan. Pengelolaan Keuangan BLU dengan fleksibilitas berupa keleluasaan untuk menerapkan praktik-praktik bisnis yang sehat. BLU harus dikelola secara profesional seperti bisnis, oleh karena itu, pegawai BLU harus tenaga profesional. Tenaga profesional ini bisa PNS maupun Non PNS. Komposisi jumlah PNS maupun Non PNS dalam suatu BLU dapat disesuaikan dengan kebutuhan. Salah satu agenda reformasi keuangan negara menurut Direktorat Pembinaan Pengelolaan Keuangan BLU adalah adanya pergeseran dari pengganggaran tradisional menjadi pengganggaran berbasis kinerja. Dengan basis kinerja ini, arah penggunaan dana pemerintah tidak lagi berorientasi pada input, tetapi pada output. Perubahan ini penting dalam rangka proses pembelajaran untuk menggunakan sumber daya pemerintah yang makin terbatas, tetapi tetap dapat memenuhi kebutuhan yang makin tinggi. BLU ini diharapkan dapat menjadi
33
langkah awal dalam pembaharuan manajemen keuangan di sektor publik, sehingga mampu meningkatkan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. 2.6
Penelitian Terdahulu Wibawa (2005) menganalisis permintaan wisata dan menduga surplus
konsumen pengunjung Taman Margasatwa Ragunan menggunakan pendekatan kontingensi. Diperoleh hasil bahwa jumlah rata-rata kesediaan membayar pengunjung TMR dengan asumsi kualitas lingkungan yang lebih baik adalah Rp 8.240,00/orang/tahun. Nilai total kesediaan membayar dari seluruh pengunjung sebesar Rp 26.102.722.000,00 pertahun. Nilai total menunjukkan besarnya nilai manfaat rekreasi TMR berdasarkan kesediaan membayar pengunjung. Surplus konsumen yang terbentuk pada kondisi TMR yang lebih baik kualitasnya pada harga tiket Rp 3.000,00/orang adalah Rp 16.178.063.500,00/ tahun dengan rata-rata Rp 5.100,00/orang. Surplus konsumen ini didapat dari selisih nilai manfaat rekreasi dan penerimaan yang diperoleh TMR dari hasil penjualan tiket dalam kurun waktu lima tahun terakhir. Penelitian lainnya dilakukan oleh Zulkarnain (2001), yaitu mengenai karakteristik pengunjung dan pendugaan permintaan rekreasi di Kebun Binatang Ragunan. Umumnya, pengunjung yang datang adalah laki-laki (65,15%), dengan kisaran umur terbanyak berada pada selang 20-29 tahun (57,58%). Sebagian besar berasal dari daerah Jakarta Selatan (49,93%) dan Botabek (24,24%). Tingkat pendidikan
rata-rata
adalah
perguruan
tinggi/akademi
(48,48%),
dan
SLTA/sederajat (45,45%). Pekerjaan pokok pengunjung umumnya adalah pegawai swasta (50,00%), dengan pendapatan pokok terbanyak berkisar antara Rp
34
750.000,00-Rp 1.000.000,00 perbulan (27,27%). Sebanyak 72,73 % dari total responden mengaku telah berkeluarga sedangkan selebihnya belum menikah. Model permintaan rekreasi dibentuk berdasarkan hasil regresi linear berganda terhadap delapan faktor yang diduga mempengaruhi tingkat kunjungan wisata di lokasi Kebun Binatang Ragunan antara lain, jenis kelamin, umur, tingkat pendidikan, pekerjaan pokok, status perkawinan, tempat tinggal, pendapatan , dan biaya rekreasi. Peubah yang berpengaruh nyata pada taraf 95% adalah pekerjaan pokok, status perkawinan, tempat tinggal, pendapatan pokok, dan biaya rekreasi rata-rata. Pada tahun 2006, Mulyani menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi kunjungan wisatawan ke kawasan wisata Pantai Carita Kabupaten Pandeglang. Karakteristik wisatawan di tempat wisata tersebut adalah kelompok muda (sebagian besar masih berumur 20 tahunan), dengan pekerjaan utama sebagai pegawai swasta dan pendapatan kurang dari Rp 12.000.000,00 per tahun. Sebagian besar wisatawan di Pantai Carita berasal dari Jakarta dan tingkat pendidikan akhir SLTA. Umumnya responden merupakan bagian dari rombongan wisata teman dengan jumlah rombongan yang bervariasi. Berdasarkan hasil analisis, faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan ke Kawasan Wisata Pantai Carita untuk responden yang tidak menginap adalah biaya perjalanan, pendapatan, jarak tempuh, dan pendapatan keluarga. Sedangkan faktor-faktor yang mempengaruhi jumlah kunjungan ke Kawasan Wisata Pantai Carita untuk responden yang menginap adalah biaya perjalanan, biaya penginapan, tingkat pendidikan, waktu luang, jumlah rombongan, jarak tempuh, dan daya tarik.
35
Selanjutnya Dewi (2005) di dalam skripsinya dengan judul Fungsi Permintaan Taman Safari Indonesia (TSI) dengan Metode Biaya Perjalanan, memperoleh hasil bahwa sebagian besar responden berjenis kelamin perempuan, berumur 22-35 tahun, berpendidikan tinggi, memiliki pekerjaan pegawai swasta dengan pendapatan diatas Rp 12 juta per tahun dan berasal dari daerah Jakarta, Depok, Bogor, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek). Biaya perjalanan yang dikeluarkan oleh pengunjung berkisar antara Rp 45.000,00-Rp 625.000,00 per orang per kunjungan. Sebagian besar pengunjung mengeluarkan biaya perjalanan antara Rp 112.500,00-Rp 225.000,00 per orang per kunjungan (43,48%). Biaya perjalanan total dari 92 responden sebesar Rp 16.084.675,00 per kunjungan, dengan komponen biaya terbesar adalah biaya transportasi yaitu Rp 5.884.587,00 (36,37% dari total biaya perjalanan). Biaya transportasi per orang sebesar Rp 63.528,00.
36