BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Farmakologi Dimenhidrinat (mabuk perjalanan) Dimenhidrinat (dramamine) adalah senyawa yang khusus digunakan untuk mabuk perjalanan dan muntah karena kehamilan. Berdasarkan mekanisme kerjanya senyawa ini dikelompokkan sebagai antikolinergika. Obat-obatan ini efektif terhadap segala jenis muntah, dan banyak digunakan pada mabuk darat dan mual kehamilan (Tjay, 2002). Dimenhidrinat memiliki rumus kimia C17H21NO.C7H7CIN4O2, memiliki daya berat molekul 469,97. Dimenhidrinat berbentuk serbuk hablur putih, tidak berbau, sukar larut dalam air, mudah larut dalam etanol dan kloroform, dan agak sukar larut dalam eter (Ditjen POM, 1995). Mual dan muntah merupakan manifestasi dari berbagai keadaan, seperti kehamilan, mabuk perjalanan, obstruksi saluran pencernaan, ulkus peptikum, toksisitas obat, infark miokard, gagal ginjal, dan hepatitis. Mekanisme fisiologik yang menyebabkan terjadinya mual dan muntah ini belum seluruhnya diketahui. Koordinasi aktifitas gerakan yang kompleks dari lambung dan otot-otot abdomen terletak di “pusat muntah”, yang berlokasi di dalam formasi retikularis dimedula. Pusat muntah menerima masukan dari chemoreceptor trigger zone (CTZ) yang berlokasi dilantai ventrikel ke empat, aparatus vestribular, dan daerah lain-lain. CTZ memberikan respon terhadap rangsangan kimia, seperti obat kemoterafi kanker, yang jelas terbukti melalui aktifitas reseptor dopamin atau serotonin (Tehuteru, 2007).
Mual didefenisikan sebagai sensasi tidak enak yang bersifat subjektif yang berhubungan dengan keinginan untuk muntah. Muntah adalah ekspulsi dengan tenaga penuh dari isi gaster. Retching adalah ketika tidak ada isi lambung yang keluar walaupun dengan kekuatan otot untuk mengeluarkannya. Semua ini merupakan mekanisme pertahanan yang penting untuk mencegah penimbunan toksin. Stimulus yang bisa mencetus mual dan muntah berasal dari olfaktori, visual, vestibular dan psikogenik. Kemoreseptor pada CTZ memonitor level substansi di darah dan cairan serebrospial dan faktor-faktor lainnya juga bisa mencetuskan terjadinya Post Operatif Nausea and Vomiting (PONV).
2.2.Pengertian Obat Obat adalah zat aktif yang berasal dari tumbuhan, hewan, maupun sintetis yang dalam dosis tertentu dapat digunakan untuk preventif (profilaksis), rehabilitas, terapi, dan diagnosa terhadap suatu keadaan penyakit pada manusia maupun hewan. Namun zat aktif tersebut tidak dapat dipergunakan begitu saja sebagai obat, terlebih dahulu harus dibuat dalam bentuk sediaan pil, tablet, kapsul, sirup, suspensi, suppositoria, dan salep. Meskipun dapat menyembuhkan penyakit, obat dapat menimbulkan keracunan jika digunakan dalam dosis berlebih. Namun bila dosisnya dibawah dosis terapi, obat tidak dapat menghasilakan efek terapi (Anief, 2007).
2.3 Sediaan Tablet Tablet adalah sediaan padat kompak, dibuat secara kempa cetak, dalam bentuk tabung pipih atau sirkuler, kedua permukaannya rata atau cembung, mengandung satu jenis obat atau lebih dengan atau tanpa zat tambahan. Sediaan tablet mengandung bahan obat dengan atau tanpa bahan pengisi. Sebagian besar tablet dibuat dengan cara pengempaan dan merupakan bentuk sediaan yang paling banyak digunakan. Tablet kempa dibuat dengan memberikan tekanan tinggi pada serbuk atau granul menggunakan cetakan baja. Tablet dibuat dengan berbagai ukuran, bentuk, dan penandaan permukaan tergantung pada desain cetakan (Ditjen POM, 1995). Tablet merupakan bahan obat dalam bentuk sediaan padat yang biasanya dibuat dengan penambahan bahan tambahan farmasetika yang sesuai. Tablet dapat berbeda-beda ukuran, bentuk, berat, kekerasan, ketebalan, daya hancur, dan aspek lainnya tergantung pada cara pemakaian tablet dan metode pembuatannya, umumnya tablet digunakan pada pemberian obat secara oral (Ansel, 1989).
2.4 Bahan-Bahan Tambahan dalam Sediaan Tablet Komposisi umum tablet adalah zat khasiat, bahan pengisi, bahan pengikat, bahan pengembang dan bahan pelicin. Kadang-kadang dapat di tambahkan pewangi (flavoring agent), bahan pewarna (coloring agent), bahan pemanis dan bahan lain yang cocok (Ansel, 1989).
2.4.1
Bahan Pengisi Menurut Lachman (1994), bahan pengisi ditambahkan untuk mendapatkan
berat yang di inginkan, terutama apabila bahan obat dalam jumlah yang kecil. Bahan-bahan yang di gunakan sebagai bahan pengisi antar lain laktosa, sukrosa, manitol, sorbitol, avicel, bolus alba, dan kalsium sulfat. Bahan pengisi harus memenuhi beberapa kriteria yaitu: a. tidak toksik b. harus tersedia dalam jumlah yang cukup disemua negara tempat produk itu di buat. c. harganya relatif murah. d. tidak boleh saling berkontra indikasi (misalnya, sukrosa), atau karena komponen (misalnya, natrium) dalam tiap segmen atau bagian dari populasi. e. secara fisiologi harus inert dan netral. f. stabil secara fisika dan kimia, baik dalam kombinasi dengan berbagai obat atau komponen tablet lain. g. bebas dari segala jenis mikroba. h. tidak boleh mengganggu warna. i. Tidak boleh mengganggu bioavabilitas obat. 2.4.2 Bahan Pengikat Bahan pengikat ditambahkan untuk mengikat komponen-komponen tablet agar bersatu membentuk granul sehingga lebih baik sifat alirnya dan lebih mudah dicetak menjadi tablet. Bahan pengikat yang digunakan tergantung pada sifat
fisika dan kimia bahan obat, daya ikat yang diperlukan, dan tujuan pemakaian tablet (Lachman, 1994). 2.4.3 Bahan Pengembang Bahan pengembang digunakan untuk memecahkan tablet menjadi partikelpartikel kecil sehingga kerja bahan berkhasiat dipercepat. Beberapa bahan pengembang mempunya afinitas yang besar terhadap air, dan akan mengembang sehingga pengembangnya akan memecahkan tablet. Bahan pengembang lain memecahkan tablet dengan cara mengembang dan mengeluarkan tenaga seperti pada tablet effervescent (Lachman, 1994). 2.4.4 Bahan Pelicin Menurut Voigt (1987), bahan pelicin ditambahkan untuk memudahkan pendorongan tablet ke atas dan keluar ruang cetak melalui pengurangan penggesekan antara dinding dalam lubang ruang cetak dengan permukaan sisi tablet. Talkum dan kalsium atau magnesium stearat merupakan bahan pelicin yang paling banyak digunakan dalam tablet. Bahan pelicin ditambahkan dengan tujuan untuk: a. meningkatkan daya alir granul-granul pada corong pengisi; b. mencegah melekatnya masa pada punch dan die; c. mengurangi pergesekan antara butir-butir granul; d. mempermudah pengeluaran tablet dari die; Magnesium atau kalsium stearat adalah pelicin yang umum dipergunakan, sering dipakai pada konsentrasi < 1% serta talkum yang dipakai pada konsentrasi 1-5% (Soekemi, 1987).
Menurut Lachman et al (1994), tablet mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: a.
tablet memiliki kemampuan terbaik dari semua bentuk sediaan oral untuk ketepatan ukuran serta variabilitas kandungan yang paling rendah;
b.
tablet memiliki biaya pembuatannya lebih rendah;
c.
tablet sediaan yang ringan dan kompak;
d.
tablet mudah dan murah untuk dikemas serta dikirim;
e.
pemberian tanda pengenal produk pada tablet paling mudah dan murah, tidak memerlukan langkah pengerjaan tanbahan bila menggunakan permukaan cetak yang bermonogram atau berhiasan timbul;
f.
mudah ditelan serta paling kecil kemungkinan tertinggal di tenggorokan, terutama bila bersalut yang memungkinkan pecahnya atau hancurnya tablet tidak segera terjadi;
g.
tablet bisa dijadikan produk dengan profil pelepasan khusus, seperti pelepasan di usus atau produk lepas lambat; Selain mempunyai keuntungan atau keunggulan, tablet juga mempunyai
kerugian, antara lain: a.
beberapa obat tidak dapat dikempa menjadi padat dan kompak, tergantung pada keadaan amorfnya, flokulasi, atau rendahnya berat jenis.
b.
obat sukar dibasahkan. lambat melarut, absorbsi optimimnya tinggi melalui saluran cerna atau setiap kombinasi dari sifat diatas akan sukar atau tidak mungkin
diformulasi
dipabrikasi
dalam
menghasilkan bioavabilitas obat cukup.
bentuk
tablet
yang masih
c.
obat yang rasanya pahit dan bau tidak dapat dihilangkan, atau obat yang peka terhadap
oksigen
atau
kelembaban
udara
perlu
pengapsulan
atau
penyelubungan dulu sebelum dikempa (bila mungkin) atau memerlukan penyalutan dulu. Pada keadaan ini kapsul dapat merupakan jalan keluar yang tebaik serta lebih murah.
2.5 Evaluasi Tablet Untuk mendesain tablet serta selanjutnya memantau kualitas produk obat, evaluasi secara kuantitatif serta penetapan sifat kimia, fisika dan bioavabilitas tablet harus dilakukan. Menurut Farmakope Indonesia Edisi V (2014), pengujian yang dilakukan untuk memastikan mutu tablet adalah sebagai berikut: a. Uji Kekerasan Tablet harus memiliki kekuatan atau kekerasan agar dapat bertahan terhadap berbagai guncangan pada saat pengepakan, dan pengangkutan. Uji ini dilakukan dengan menggunakan alat yang disebut hardness testert, pengujian dilakukan dengan meletakkan tablet diantara alat penekan dan puch dan dijepit dengan memutar sekrup pengatur sampai tanda lampu menyala, lalu ditekan tombol sehingga tablet pecah. Tekanan ditunjukkan pada skala yang tertera. Umumnya kekuatan tablet berkisar 4 – 8 kg. b. Uji Keseragaman Sediaan Tablet harus memenuhi uji keseragaman sediaan. Keseragaman bobot ini ditetapkan untuk menjamin keseragaman bobot tiap tablet yang dibuat. Tablet-
tablet yang bobotnya seragam diharapkan akan memiliki kandungan bahan obat yang sama, sehingga akan mempunyai efek terapi yang sama. c. Uji Waktu Hancur Uji ini dimaksudkan untuk menetapkan kesesuaian batas waktu hancur yang tertera dalam masing-masing monografi, kecuali pada etiket dinyatakan bahwa tablet dirancang untuk pelepasan obat terkendali dan diperlambat. Uji waktu hancur tidak menyatakan bahwa sediaan atau bahan aktifnya terlarut sempurna. Interval waktu hancur yaitu 5 – 30 menit. Sediaan dinyatakan hancur sempurna bila tidak ada sisa sediaan yang tidak larut tertinngal pada kasa. d. Uji Kerenyahan Uji kerenyahan dilakukan untuk mengetahui kerenyahan tablet. Tablet yang rapuh dan akan mengurangi kandungan zat berkhasiatnya sehingga akan mempengaruhi efek terapi. Kerenyahan ditandai sebagai massa seluruh partikel yang berjatuhan dari tablet. Uji ini dilakukan alat yang disebut roche friabilitor yang terdiri dari sebuah tabung yang berputar ke arah radial disambungkan sebuah bilang lengkung. Tablet dimasukkan kedalam wadah tersebut, saat wadah berputar tablet akan bergulir jatuh sampai pada putaran berikutnya di pegang kendali oleh bilah. Pengujian mengamati kerusakan dari tablet tersebut. Pemutaran dilakukan 100 kali dengan persyaratan tablet tidak boleh kehilangan berat lebih dari 0,8%. e. Disolusi Disolusi adalah proses pemindahan molekul obat dari bentuk padat ke dalam larutan suatu medium. Uji disolusi digunakan untuk mengetahui persyaratan disolusi yang tertera dalam monografi pada sediaan tablet, kecuali
pada etiket dinyatakan bahwa tablet harus dikunyah atau tidak memerlukan uji disolusi. Uji ini juga bertujuan untuk jumlah zat aktif yang terlarut dan memberi efek terapi didalam tubuh. Pengujian dilakukan untuk, menjamin keseragaman satu bets, menjamin bahwa obat akan memberikan efek terapi yang diinginkan, dan diperlukan dalam rangka pengembangan suatu obat baru. f. Penetepan Kadar Zat Berkhasiat Penetapan kadar ini dilakukn untuk mengetahui apakah tablet memenuhui persyaratan kadar sesuai dengan etiket. Bila kadar obat tersebut tidak memenuhi persyaratan, berarti obat tersebut tidak memiliki efek terapi yang baik dan tidak layak dikonsumsi. Penetapan kadar dilakukan dengan menggunakan cara-cara yang sesuai tertera pada monografi antara lain Farmakope Indonesia.
2.6 Disolusi Disolusi adalah proses dimana suatu zat menjadi terlarut dalam suatu pelarut. Saat ini disolusi dipandang sebagai salah satu uji pengawasan mutu yang paling penting dilakukan pada sediaan farmasi. Uji disolusi dikembangkan untuk menunjukkan pelepasan obat dari tablet dan
memastikan keseragaman laju
pelepasan dari tiap batch sehingga menjamin bioavaibilitas dan efektivitas secara klinis. Pada uji disolusi dapat diketahui partikel-partikel obat akan melepas bahan obat dalam larutan dengan kecepatan tertentu. Cepatnya melarut obat atau tablet menentukan berapa kadar bahan berkhasiat yang terlepas kedalam darah, oleh karena itu laju disolusi berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dari tablet dan perbedaan bioavabilitas dari berbagai formula (Lachman, 1994).
Obat yang telah memenuhi persyaratan kekerasan, waktu hancur, kekerasan, keseragaman bobot dan penetapan kadar, belum dapat menjamin bahwa suatu obat memenuhi efek terapi, karena itu uji disolusi harus dilakukan pada setiap produksi tablet. Kecepatan disolusi obat merupakan tahap pembatas kecepatan sebelum obat berada dalam darah (Syukri, 2002). 2.6.1 Alat Uji Disolusi Menurut Farmakope Indonesia IV (1995), uji disolusi dapat dilakukan dengan menggunakan dua tipe alat, yaitu : 1.
Alat 1 (Metode Basket) Alat terdiri dari wadah tertutup yang terbuat dari kaca bahan transparan
lain yang inert, dilengkapi dengan suatu motor atau alat penggerak. Wadah tercelup sebagai dalam penangas sehingga dapat mempertahankan suhu dalam wadah 37o ± 0,5o selama pengujian berlangsung, bagian dari alat termasuk lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan, goncangan, atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat perputaran alat pengaduk. Wadah disolusi dianjurkan berbentuk silinder dengan dasar setengah bola, tinggi 160-175 mm, diameter dalam 98-106 mm, dengan volume sampai 1000 ml. Batang logam berada pada posisi tertentu sehingga sumbunya tidak lebih dari 2 mm, berputar dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur mempertahankan kecepatan alat. 2.
Alat 2 (Metode Dayung) Sama seperti alat 1, tetapi pada alat ini digunakan dayunng yang terdiri
atas daun dan batang logam sebagai pengaduk. Batang dari dayung tersebut
sumbunya tidak lebih dari 2 mm dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Jarak antara daun dan bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung. Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam ke dasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Pada uji disolusi partikel-partikel obat akan dilepaskan dari sediaan ke dalam larutan dengan kecepatan tertentu. Pada tahap satu (S1), enam tablet diuji dan hasilnya diterima bila semua tablet memberi hasil tidak kurang dari batas pada monograf (Q) ditambah 5% Bila S1 tidak dipenuhi, enam tablet tambahan diuji lagi (S2). Hasilnya dapat diterima bila hasil rat-rata dari ke-12 tablet lebih besar atau sama dengan Q, dan tidak ada satu pun yang lebih kecil dari Q - 15% Bila tetap tidak terpenuhi, 12 tablet tambahan diuji lagi. Hasilnya dapat diterima bila nilai rat-rata ke-24 tablet lebih besar atau sama dengan Q, dan tidak lebih dari dua tablet yang lebih kecil dan Q - 15% (Ditjen POM, 2014). 2.6.2 Faktor yang Mempengaruhi Laju Disolusi Menurut Syukri (2002), ada tiga faktor yang mempengaruhi laju disolusi dari bentuk sediaan biasanya yaitu: a. faktor yang berkaitan dengan sifat fisikokimia obat Sifat-sifat fisikokimia dari obat yang mempengaruhi laju disolusi meliputi kelarutan, bentuk kristal, serta ukuran partikel. Sifat-sifat fisikokimia lain seperti kekentalan berperan terhadap munculnya permasalahan dalam disolusi.
b. faktor yang berkaitan dengan formulasi sediaan Formulasi sediaan berkaitan dengan bentuk sediaan, bahan tambahan dan cara pengolahan. Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung pada kecepatan pelepasan bahan aktif yang tergantung di dalamnya. c. faktor yang berkaitan dengan alat uji disolusi dan parameter uji Faktor ini sangat dipengaruhi oleh lingkungan selama percobaan yang meliputi kecepatan pengadukan, suhu medium, pH medium dan metode uji yang dipakai. Pengadukan mempengaruhi penyebaran partikel-partikel dan tebal lapisan difusi sehingga memperluas permukaan partikel yang kontak dengan pelarut.
2.7 Spektrofotometri 2.7.1
Definisi Spektrofotometri uv-visible adalah pengukuran serapan cahaya didaerah
ultraviolet (200-400 nm) dan sinar tampak (400-800 nm) oleh suatu senyawa. Absorbansi spektofotometri uv-visible adalah istilah yang digunakan ketika radiasi ultraviolet dan cahaya tampak diabsorbsi oleh molekul yang diukur. Alatnya disebut uv-visible spektrofotometri. Sfektrofotometri uv-visible adalah salah satu instrumen yang digunakan dalam menganalisa suatu senyawa kimia. Spektrofotometri umumnya digunakan karena kemampuannya dalam menganalisa begitu banyak senyawa kimia serta kepraktisannya dalam hal preparasi sampel apabila dibandingkan dengan beberapa metode analisa (Rohman, 2007).
2.7.2 Instrumen Menurut Rohman (2007), spektrofotomete uv-visibel memiliki komponenkomponen yang meliputi: a. sumber sinar Sumber sinar yang digunakan untuk daerah UV adalah lampu hidrogen atau lampu deuterium pada panjang gelombang dari 190-350 nm. Sementara lampu halogen kuarsa atau lampu tungsten digunakan untuk daerah visibel pada panjang gelombang antara (350-900 nm). b. monokromator Monokromator digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam komponenkomponen panjang gelombangnya. Komponen berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang gelombang dilewatkan pada sampel sebagai pemindahan instrumen melewati spektrum. c. optik Optik memecah sumber sinar sehingga lampu melewati 2 kompartemen. Suatu larutan blanko dapat digunakan dalam satu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau spektrum sampel. Blanko dalam spektrofotometri adalah pelarut yang digunakan untuk melarutkan sampel atau pereaksi.