II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Air Sebagai Barang Ekonomi Air sebagai komoditas ekonomi pertama kali dideklarasikan pada International Conference on Water and Environment di Dublin pada tahun 1992, meskipun perdebatan antara air sebagai barang privat murni (purely private goods) atau barang publik (public goods) belum mencapai kata sepakat. Menurut Perry et al. (1997), air dikategorikan sebagai barang ekonomi karena air memenuhi kriteria sebagaimana definisi ilmu ekonomi, yaitu ilmu yang mempelajari prilaku manusia dalam hubungannya dengan pemenuhan kebutuhan dan sumberdaya langka yang mempunyai berbagai alternatif kegunaan. Air memenuhi kebutuhan manusia dari untuk minum, mandi dan cuci hingga untuk irigasi, rekreasi, kebutuhan lingkungan, dan pembuangan limbah. Dalam banyak kasus, sumberdaya air bersifat langka dalam arti air tidak dapat sepenuhnya memenuhi seluruh alternatif penggunaannya secara simultan. Briscoe (1996) mendefinisikan air sebagai barang ekonomi dalam arti “private goods” dimana air diperlakukan sama seperti barang lainnya, mekanisme distrbusi/alokasi diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar (competitive market). Perry et al. (1997) berpendapat bahwa air sekaligus sebagai barang publik dan barang ekonomi. Meskipun dalam banyak kasus air dapat diperlakukan sebagai barang ekonomi murni, namun peran air sebagai kebutuhan dasar, barang yang sangat bernilai, dan sebagai sumberdaya sosial, ekonomi, finansial dan lingkungan, menyebabkan sumberdaya ini lebih sebagai barang publik (public goods) dimana sumberdaya ini memerlukan pengelolaan pasar secara ekstra (extra-market management) agar dapat memenuhi kebutuhan masyarakat secara efektif dan efisien.
16 Mekanisme distribusi/alokasi sumberdaya dan penetapan harga menjadi lebih komplek. Beberapa alasan mengapa air dapat digolongkan sebagai barang publik adalah: 1. Air bersih adalah kebutuhan dasar yang harus tersedia dalam jumlah cukup bagi setiap orang. 2. Air yang digunakan sebagai irigasi dapat dikatakan sebagai upaya untuk menurunkan biaya pangan bagi orang miskin, dan pada kondisi tertentu, harus disubsidi. 3. Air memenuhi kebutuhan ekologi, lingkungan,dan kebutuhan estetika, sehingga tidak seharusnya dialokasikan untuk kebutuhan lain hanya karena didasarkan atas kemauan membayar (willingness to pay). Dalam terminologi ekonomi, dipercaya bahwa pada tingkat ketersediaan minimal tertentu, air adalah barang publik atau barang sosial, dimana ketersediannya bagi kelompok masyarakat tertentu, atau untuk tujuan tertentu, pada tingkat harga di bawah harga pasar akan memberikan benefit/manfaat lebih besar bagi seluruh masyarakat. Setelah tingkat ketersediaan minimal tersebut terpenuhi, maka selebihnya air dapat didistribusikan dan dialokasikan melalui mekanisme pasar. Alokasi sumberdaya air didasarkan pada nilai dari “consumer’s sovereignty”, seperti berapa besarnya harga konsumen siap, mau, dan mampu membayarnya. Kriteria “consumer’s sovereignty” sepenuhnya mengabaikan distribusi pendapatan masyarakat. Jika masyarakat miskin tidak mampu membayar satu unit air dengan harga yang dibayarkan masyarakat kaya, maka masyarakat miskin akan menerima alokasi air lebih sedikit, meskipun tambahan alokasi tersebut memiliki marginal value (utility) lebih besar.
17 2.1.1 Nilai Sumberdaya air Tiga faktor penting berkaitan dengan sumberdaya air yaitu nilai (the value of water), biaya (the use cost of water) dan biaya opportunitas sumberdaya air (the opportunity cost of water). Sebagai barang ekonomi air memiliki nilai bagi pengguna yang mau membayar. Nilai air (water value) bagi penggunanya adalah jumlah maksimum konsumen mau membayar (willingness to pay) penggunaan sumberdaya air. Untuk barang ekonomi normal (normal economic goods) yang diperdagangkan pada pasar bersaing sempurna (perfect competition market), nilai tersebut dapat diukur dengan mengestimasi luas area di bawah kurva permintaan. Namun karena pasar untuk air terkadang tidak eksis atau sangat tidak sempurna (imperfect market), maka tidaklah mudah untuk menentukan nilai air bagi pengguna yang berbeda. Gibbons (1986) membangun metode hodgepodge digunakan untuk mengestimasi nilai sumberdaya air bagi pengguna akhir yang berbeda. Metode ini meliputi: (1) mengestimasi kurva permintaan dan mengintegralkan area dibawahnya dan mengevaluasi transaksi pasar, (2) mengestimasi fungsi produksi, dan mensimulasikan kehilangan output yang diakibatkan pengurangan penggunaan satu unit sumberdaya air, (3) mengestimasi biaya pengadaan air jika sumberdaya air yang ada sekarang tidak lagi tersedia (opportunity cost), and (4) menanyakan (dengan metode “contigent valuation”) berapa pengguna memberi nilai terhadap sumberdaya air tersebut. Estimasi tersebut di atas dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti jenis penggunaannya, pendapatan dan karakteristik pengguna lainnya, lokasi ketersediaan sumberdaya, musim dan waktu, kualitas dan ketergantungannya terhadap supply. Studi empiris juga telah dilakukan oleh Gibbons (1986), Moore and Willey (1991), dan Shah (1993), menunjukkan bahwa nilai air di sektor pertanian dan hydropower lebih rendah dibandingkan pada penggunaan pada industri dan rumah
18 tangga perkotaan (municipal). Sedang penggunaan untuk tujuan lingkungan seperti untuk menjaga daerah rawa, kelestarian flora dan fauna, dan untuk menjaga aliran sungai, mempunyai nilai diantara penggunaan untuk pertanian dan rumahtangga perkotaan. Pada sektor pertanian, penggunaan untuk komoditas yang memiliki nilai tinggi, memberikan nilai lebih tinggi kepada sumberdaya air.
2.1.2 Biaya Penyediaan Air Biaya penyediaan air dapat dibedakan menjadi dua kelompok, pertama adalah biaya pembangunan infrastruktur dan biaya operasional yang diperlukan untuk menyimpan, mengolah dan mendistribusikan air. Menurut
Briscore (1996)
kelompok biaya ini disebut sebagai Use cost. Kedua, adalah biaya kesempatan (opportunity cost) yang terjadi ketika satu pengguna mengunakan air, dan oleh karenanya mempengaruhi penggunaan sumberdaya oleh pengguna lainnya. Contohnya, penggunaan air lebih banyak untuk kebutuhan rumahtangga perkotaan, akan mempengaruhi kuantitas dan kualitas air yang tersedia bagi irigasi pertanian di daerah hilir sehingga menimbulkan biaya bagi penggunanya (petani). Secara teknis opportunity cost dapat didefinisikan sebagai nilai air dari alternative penggunaan terbaik atau dengan nilai tertinggi. 1. Use Cost Terdapat tiga konsep dalam mendefinisikan use cost. Pertama adalah konsep “historical cost” dimana pengguna dikenakan biaya penggunaan air sebesar biaya yang diperlukan untuk membangun konstruksi reservoir (dam) dari mana pengguna memperoleh distribusi air. Konsep kedua adalah “replacement cost pricing” dimana biaya yang dikenakan kepada pengguna sebesar biaya perbaikan dari asset yang mengalami kerusakan atau penyusutan akibat
19 pemenuhan kebutuhan air bagi pengguna. Beberapa ahli berpendapat bahwa nilai aset, dalam hal ini dam, kurang tepat diukur dengan nilai historisnya karena sering kali nilai ini terdistorsi dengan adanya intervensi pemerintah, sehingga konsep replacing cost pricing lebih tepat untuk diterapkan. Konsep ketiga adalah biaya marginal (marginal cost) dimana tarif terhadap air tidak didasarkan atas biaya yang diperlukan untuk memproduksi air (average cost), namun atas dasar biaya yang diperlukan jika kapasitas produksi yang ada harus diperbesar untuk menghasilkan tambahan satu unit (meter kubik) tambahan produksi air. Ketika kurva biaya relatif datar, maka perbedaan antara average cost dan marginal cost adalah tidak penting. Ketika kurva biaya turun (terjadi ketika terdapat economies of scale), marginal cost lebih rendah dari average cost. Akan tetapi untuk air mentah (raw water) keadaannya adalah sebaliknya, karena sumberdaya air terdekat dan termurahlah yang akan digunakan terlebih dahulu, oleh karenanya kurva biaya selalu meningkat, dan marginal cost lebih tinggi dari average cost.
2. Biaya Kesempatan (Opportunity Cost) Mengukur biaya opportunitas air relatif sulit, hal ini memerlukan pendekatan sistem dan asumsi-asumsi yang cukup berani tentang dampak riil dan respon dari penggunaan air ini. Sebagai contoh, pengukuran opportunity cost yang dilakukan oleh Gibbons (1986) pada Colombia River Basin di Barat Laut Amerika, dimana biaya opportunitas air yang digunakan untuk irigasi diestimasi dengan mengukur kehilangan pendapatan dari penurunan produksi pembangkit listrik tenaga air karena alokasi air lebih banyak diperuntukkan bagi kepentingan irigasi. Biaya opportunitas memiliki karakteristik: (1) berhubungan dengan nilai non-transitive, (2) meningkat secara substansial sejalan dengan makin intensifnya
20 penggunaan, (3) eksistensi dan dikenakannya biaya opportunitas dapat menimbulkan konflik antar pengguna, kecuali terdapat mekanisme kelembagaan yang mengakui/menyepakati adanya biaya ini, dan mekanisme kelembagaan tersebut dapat memastikan bahwa biaya ini diperhitungkan oleh pengguna.
2.1.3 Pengaruh waktu Terhadap Manfaat dan Biaya Manfaat dan biaya yang timbul karena pemanfaatan sumberdaya dapat terjadi pada periode waktu yang berbeda, oleh karenanya waktu memiliki peran penting dalam perhitungan keduanya.
Pendekatan terhadap masalah ini adalah dengan
menghitung nilai sekarang (present value) dari manfaat dan biaya penggunaan air. Alokasi sumberdaya air selama periode waktu tertentu adalah efisien jika alokasi tersebut memaksimumkan nilai kini dari benefit bersih yang diterima dari berbagai kemungkinan alokasi selama periode waktu tersebut.
Secara matematik dapat
diperoleh dengan mengevaluasi diskonto penjumlahan dari seluruh benefit dikurangi biaya selama umur proyek atau periode analisis, dapat dirumuskan:
dimana B t adalah benefit, dan C t adalah biaya pada t periode, T menunjukkan total R
R
R
R
waktu (misal dalam tahun) dalam suatu peiode analisis, dan r adalah discount rate. Pilihan terhadap discount rate tergantung pada opportunity cost dari kapital dan dapat memperhitungkan unsur resiko didalamnya.
2.2 Alokasi Optimal Sumberdaya Air Alokasi sumberdaya air merupakan bagian terpenting dalam pengelolaan sumberdaya air. Sejak dulu sumberdaya air dialokasikan atas dasar kriteria sosial
21 yang dibangun oleh masyarakat dengan jalan memastikan bahwa air harus tersedia bagi kebutuhan pokok manusia, untuk sanitasi dan produksi makanan. Masyarakat menginvestasikan kapitalnya untuk membangun infrastruktur bagi alokasi sumberdaya air untuk keperluan tersebut.
Pemerintah telah berperan secara
substansial dalam alokasi sumberdaya air, dimana alokasi yang dilakukan pemerintah merupakan alokasi publik, tidak mempertimbangkan efisiensi ekonomi. Kemudian, perubahan pada masyarakat, termasuk perubahan dan berkembangnya pemahaman terhadap air sebagai barang ekonomi dan bagaimana barang tersebut harus didistribusikan, menyebabkan munculnya pandangan baru tentang air dan bagaimana air dialokasikan. Sumberdaya air yang terdiri dari sumberdaya air permukaan (sungai, danau, reservoir), air tanah, dan potensi air laut yang didesalinasi (dengan adanya teknologi) adalah input penting dari kegiatan berbagai sektor ekonomi, seperti sektor domestik, pertanian, industri, pembangkit listrik tenaga air (hydropower), rekreasi dan lingkungan di berbagai lokasi (hulu dan hilir). Pesatnya pertumbuhan jumlah penduduk, meningkatnya standar hidup, dan menurunnya ketersediaan sumberdaya air (baik dalam kuantitas maupun kualitas) menyebabkan kompetisi dan tekanan penggunaan sumberdaya air makin meningkat, berakibat pada meningkatnya kepentingan untuk mengalokasikan sumberdaya air secara lebih efisien.
Oleh
karena itu penting untuk membangun kriteria efisiensi ekonomi yang dapat mengakomodir kepentingan semua pihak.
2.2.1 Kriteria Efisiensi Alokasi Sumberdaya Air Meningkatnya kelangkaan, kompetisi dan konflik antar pengguna sumberdaya air menyebabkan makin pentingnya alokasi sumberdaya secara efisien. Konsen
22 terhadap peningkatan efisiensi dan efektivitas pengelolaan sumberdaya air memerlukan perhatian lebih besar terhadap issue-isue seperti property right (hak milik), hak lingkungan, dan dasar sosial ekonomi yang menjadi fondasi dalam alokasi sumberdaya air. Alokasi sumberdaya air antar sektor dapat dipandang dari sudut pandang ekonomi seperti sebagai portofolio sebuah proyek investasi. Air merupakan sumberdaya (kapital) yang terbatas, sektor ekonomi menggunakan sumberdaya tersebut untuk menghasilkan pendapatan (return). Efisiensi ekonomi alokasi sumberdaya air berkaitan dengan besarnya tingkat kesejahteraan yang dapat dihasilkan bagi seluruh pengguna. Pengguna akan mengkonsumsi air sepanjang benefit atau manfaat yang diperoleh dari tambahan 1 unit penggunaannya lebih besar dari biaya yang dikeluarkan. Konsumsi akan mencapai kondisi optimal pada saat marginal benefit sama dengan marginal cost. Rp/m3 (b)
(a) SUPPLY Marginal Cost
P*
P1
A
B C
DEMAND Marginal Benefit
S*
3
M /tahun
S*
S1
Gambar 1. Konsumsi Optimal dan “Deadweight Loss Jika Harga Air Lebih Rendah di Harga Keseimbangan. Gambar 1(a) menunjukkan bahwa konsumsi optimal adalah sbesar S*, tingkat konsumsi dimana marginal benefit sama dengan marginal cost. Jika harga air ditetapkan lebih rendah (Gambar 1b), misalnya pada P1, maka konsumsi akan
23 meningkat menjadi sebesar S1, dimana pada tingkat konsumsi ini peningkatan biaya (ditunjukkan oleh area S*ABS1) melebihi peningkatan benefit (ditunjukkan oleh area S*ACS1) sehingga terjadi kehilangan net benefit (disebut sebagai deadweight loss) sebesar ABC (daerah yang diarsir). Pada kondisi dimana air dihargai sama dengan marginal costnya, dan air digunakan pada tingkat dimana marginal cost sama dengan marginal benefit, maka masyarakat secara keseluruhan akan mencapai tingkat kesejahteraan yang maksimal. Pada konteks multi pengguna, alokasi sumberdaya secara ekonomi adalah efisien jika manfaat marginal (marginal benefit) dari penggunaan sumberdaya tersebut sama untuk semua sektor, pada kondisi ini kesejahteraan masyarakat maksimum. Dengan kata lain, benefit dari tambahan penggunaan satu unit sumberdaya adalah sama antar sektor. Jika tidak, maka masyarakat akan menjadi lebih sejahtera jika mengalokasikan lebih banyak sumberdaya ke sektor yang memiliki benefit atau return tertinggi. Pada kasus antar pengguna, wilayah dan waktu, alokasi sumberdaya secara optimal dapat diterangkan sebagai berikut:
1. Prinsip-prinsip alokasi antar pengguna dan wilayah: Kasus surface water Ketika terdapat satu sumber air dan beberapa pemakai pada lokasi yang berbeda, maka biaya marginal dari air di daerah sumber (hulu) hanyalah sebesar biaya operasional peralatan untuk mengalirkan tambahan air 1 unit satuan (mungkin sangat kecil) ditambah user cost (rent + besar bunga + penyusutan) penambahan 1 unit kapasitas sumber air (Chakravorty and Raumasset, 1991). Alokasi sumberdaya air yang efisien bagi pemakai yang dekat dengan sumber air memerlukan syarat bahwa biaya marginal dari penggunaan sumberdaya air tersebut besarnya sama dengan manfaat marginal yang diperoleh pemakai. Jika
24 pemakainya adalah petani, misalnya, manfaat marginal adalah sama dengan nilai tambahan produk yang dihasilkan dari tambahan satu unit penggunaan air. Biaya marginal penggunaan air pada lokasi yang jauh adalah biaya marginal untuk memproduksi air, besarnya sama dengan biaya marginal di atas, ditambah dengan biaya marginal transportasi untuk mengangkut air dari sumber kepada pengguna. Biaya marginal transportasi merupakan biaya guna (user cost) dari setiap tambahan kapasitas angkut yang diperlukan untuk mengangkut tambahan unit air ditambah nilai air yang hilang selama dalam masa pengangkutan (melalui penguapan, kebocoran,dan perkolasi). Idealnya system pengangkutan
didisain
sehingga
meminimisasikan
biaya
transportasi
sedemikian rupa sehingga biaya marginal dari unit penurunan kehilangan air pada saat pengangkutan sama dengan nilai benefit dari air yang di selamatkan dari kehilangan. Secara ringkas, alokasi yang efisien memerlukan
kondisi
dimana net marginal benefit pada setiap lokasi dalam system distribusi air, setelah dikurangi biaya transportasi, sama dengan marginal cost penyediaan air pada sumber air dari system tersebut. Gambar 2
menjelaskan alokasi optimal dari air permukaan untuk 2
wilayah. Satu wilayah terletak di daerah hulu (headwork) yang tidak memerlukan biaya transportasi, dan sub distrik lainnya terletak pada lokasi lebih jauh dengan biaya transportasi proporsional terhadap jarak.
25
P
S=MC D
P* D D1 q1 q2 Q*
D2
Q
Gambar 2. Efisiensi Alokasi Antar Pengguna atau Wilayah
Kurva D1 dan D2 merupakan kurva permintaan netto terhadap air untuk lokasi 1 dan 2 setelah dikurangi biaya transoportasi. Kurva DD merupakan permintaan gabungan dari dua lokasi tersebut, dan S adalah supply air yang bersifat inelastis. Harga efisiensi adalah P*, harga dimana kurva permintaan air gabungan berpotongan dengan kurva penawaran air, sedang total pemakaian air pada kondisi efisien adalah sebesar Q*. Konsumen di kedua wilayah membeli air pada tingkat harga P* (perbedaan harga hanya disebabkan oleh perbedaan biaya transportasi), sehingga tingkat konsumsi optimal pada masing-masing wilayah terjadi pada saat garis harga P* memotong masing-masing kurva permintaan kedua wilayah tersebut, yaitu terjadi pada q1 dan q2. Terdapat banyak mekanisme institusional untuk mencapai atau paling tidak mendekati alokasi efisien. Mekanisme alokasi air yang terdesentralisasi, khususnya penetapan harga air dan perdagangan air, lebih disukai dari pada mekanisme yang tersentralisasi, seperti “water rationing”. Penetapan harga air akan mencapai alokasi efisien jika harga marginal dari setiap pemakai adalah (diatur) sama bagi setiap pengguna di setiap lokasi. Harga marginal antar lokasi (intramarginal price) tidak perlu diatur. Sebagai contoh, pengelola sumberdaya
26 air mungkin dapat mencapai efisiensi dan berkeadilan dengan menerapkan block pricing, dimana salah satu bentuk tersederhananya adalah tidak menarik tarif terhadap sejumlah kebutuhan mendasar tertentu, kemudian menetapkan harga efisiensi lokasi untuk pemakaian berikutnya. Jika secara substansial terdapat ketidaklinearan dalam biaya produksi dan transportasi, maka marginal cost tergantung pada jumlah yang dikonsumsi, dimana otoritas pengelola mungkin sulit untuk dapat mengestimasinya tanpa mengetahui skedul marginal benefit dari pengguna (yang mungkin beragam). Masalah ini akan dapat teratasi dalam jangka panjang, dengan jalan kombinasi antara estimasi dan observasi terhadap jumlah yang dikonsumsi. Institusi yang secara informal agak lebih kurang diperlukan/kurang penting adalah perdagangan air. Pengelola sumberdaya air harus dapat memperkirakan agar hak penguasaan atas air konsisten dengan efisiensi dan keadilan. Perdagangan harus tetap dapat menjaga efisiensi tanpa mengurangi rasa keadilan. Namun karena air di tempat yang berbeda mempunyai nilai yang berbeda, maka otoritas pengelola air harus menetapkan aturan dan standar perdagangan yang tepat. Meskipun, sebagai contoh, air di angkut/dialirkan dengan pipa dan kebocoran dapat diabaikan, maka perdagangan dapat dilakukan atas dasar satu lokasi ke lokasi lain dan pengguna dapat membayar tambahan biaya transportasi atas biaya kepemilikan sumberdaya air tersebut.
Pada kondisi yang berlawanan, seandainya
kebocoran tidak dapat diabaikan, sehingga biaya transportasi juga termasuk nilai air yang hilangan selama pengangkutan, maka perdagangan dapat dilakukan atas dasar seluruh jumlah air (jumlah kotor) yang dialirkan (air pada sumber). Pemakai berhak menerima alokasi seluruh air yang dialirkan,
27 dikurangi dengan jumlah yang bocor selama pengangkutan. Sebagai alternatif, perdagangan juga dapat dilakukan dalam bentuk jumlah air yang diterima, namun otoritas pengelola harus menetapkan besarnya nilai tukar (harga) yang akan menghasilkan kondisi yang sama.
2. Prinsip-prinsip Alokasi Intertemporal yang Efisien: Kasus Ground Water Pada kasus air tanah (ground water), total biaya marginal dari air sama dengan biaya ekstraksi marginal (marginal extraction cost), termasuk user cost dari konstruksi sumur dan marginal user cost dari terjadinya deplesi air tanah. User cost dari deplesi air tanah terdiri dari kehilangan nilai kini manfaat (present value of benefit forgone) dari ekstraksi sumberdaya air pada masa mendatang, karena sumberdaya air tersebut diekstraksi sekarang. Salah satu kehilangan tersebut adalah menurunnya nilai kini dari hilangnya kapital yang akan diperoleh dari mengkonservasi satu unit sumberdaya.
Kehilangan lainnya adalah
kehilangan nilai kini dari keharusan mengekstraksi air dari sumur yang lebih dalam, karena semakin banyak air yang diekstraksi pada waktu sekarang akan makin turun permukaan air tanah pada masa mendatang. Gambar 4 memberi ilustrasi tentang ekstraksi optimal ground water pada 2 periode. Permintaan meningkat dari D1 pada periode 1 ke D2 pada periode 2, dan total marginal cost meningkat dari TMC1 pada periode 1 ke TMC2 pada periode 2. Karena slope kurva total marginal cost meningkat (upward sloping), namun tidak vertical, dan karena adanya tendensi demand meningkat lebih besar dari total marginal cost dari satu period ke periode berikutnya, maka efisiensi harga mungkin meningkat lebih rendah.
28
TMC2 P2
TMC1
P1
D2 D1 Q
Q1 Q2
Gambar 3. Efisiensi Alokasi Sumberdaya Air Antar Waktu
Pada kasus seperti pada Gambar 3, perdagangan air dapat menjadi efisien dengan membiarkan konstraksi ke atas. Nilai pertukaran sumberdaya air pada waktu yang berbeda dapat di set berdasarkan ratio harga efisiensi (full marginal cost) antar periode.
3. Alokasi Sumberdaya Antar Distrik dan Intertemporal Pada kasus dua daerah yang masing-masing memiliki sumber air berasal dari air tanah dan air permukaan, dan jika diasumsikan biaya transportasi antar dua daerah tersebut sama dengan nol, maka alokasi sumberdaya air yang efisien dapat diilustrasikan pada Gambar 4. P D
P*
S1
S2
ST
P1
D
P2 D2
D1 Q
Q2
Q1
Gambar 4. Efisiensi Alokasi Sumberdaya Air Antar Wilayah, dan Waktu
29 Gambar 4 menjelaskan alokasi optimal untuk dua kasus, kurva permintaan di daerah 1 adalah D1, dan kurva permintaan di daerah 2 adalah D2. Demikian juga kurva total marginal cost (TMC) atau supply untuk setiap daerah adalah S1 dan S2.
Dalam kasus jika biaya transportasi antar dua daerah tidak
diperkenankan mahal, maka solusi optimal berada pada titik perpotongan antara kurva demand dan kurva TMC (S) di masing-masing daerah. Harga pada tingkat efisiensi di daerah 1 (P1) lebih tinggi dibandingkan di daerah 2 (P2). Jika diasumsikan bahwa biaya transportasi antar daerah sama dengan nol, total permintaan dua daerah (DD) merupakan penjumlahan horisontal dari demand pada distrik 1 dan distrik 2. Total Marginal cost juga merupakan penjumlahan horisontal dari supply groundwater (S1) dan surface water (S2), sehingga total supply kedua distrik adalah ST. Dalam kasus ini, maka air sejumlah S2-Q2 dapat diangkut dari distrik 2 ke distrik 1 agar kondisi efisiensi tercapai di kedua daerah, yaitu saat harga P*.
2.2.2 Syarat Alokasi Sumberdaya Air Agar sumberdaya air dapat dialokasikan secara optimal diperlukan persyaratan atau kriteria sebagai berikut (Howe et al., 1986): 1. Fleksibilitas dalam mengalokasikan supply, sehingga sumberdaya dapat bergeser dari satu penggunaan ke penggunaan lain, dan dari satu tempat ke tempat lain sesuai dengan perubahan permintaan. Hal ini memungkinkan disanakannya nilai marginal benefit pada setiap penggunaan. 2. Keamanan atau kepastian kepemilikan dari pengguna, sehingga pengguna dapat menggukur penggunaan sumberdaya secara efisien, kepastian disini tidak
30 bertentangan dengan fleksibilitas selama terdapat cadangan sumberdaya yang mencukupi kebutuhan. 3. Pengguna membayar sumberdaya sesuai dengan opportunity cost riil sehingga permintaan lain dan efek eksternalitas dapat diperhitungkan. Hal ini memungkinkan alokasi sumberdaya memperhitungkan kebutuhan lingkungan dengan mempertimbangkan nilai non pasar (non market value) dari penggunaan tersebut (misalnya untuk memberi habitat pada satwa liar). Hal ini juga memungkinkan penggunaan sumberdaya untuk kegiatan yang memiliki nilai alternatif tertinggi. 4. Hasil proses alokasi sumberdaya dapat diprediksi, sehingga alokasi terbaik dapat diwujudkan, dan ketidak pastian (uncertainty), khususnya untuk biaya transaksi, dapat diminimalisir. 5. Pemerataan dalam proses alokasi sumberdaya harus jelas bagi pengguna yang prospektif. Memberi kesempatan yang sama bagi seluruh pengguna potensial untuk mendapat manfaat yang sama dari penggunaan sumberdaya. 6. Alokasi sumberdaya dapat diterima secara politik dan publik, sehingga alokasi sumberdaya
memberi nilai dan memiliki tujuan, dan oleh karenanya dapat
diterima oleh seluruh segmen dalam masyarakat. Selain kriteria-kriteria di atas, beberapa kriteria juga dikemukakan oleh Winpenny (1994) sebagai berikut: 1. Effisien dan efektif, sehingga alokasi sumberdaya dapat merubah dari kondisi atau situasi yang tidak diinginkan, seperti deplesi air tanah dan polusi air, ke arah pencapaian tujuan kebijakan yang diinginkan.
31 2. Feasibilitas dan sustainabilitas administrasi, mekanisme alokasi sumberdaya dapat diimplementasikan, dan dampak kebijakan dapat berlanjut dan terus berkembang.
2.2.3 Mekanisme Alokasi Sumberdaya Air Efisiensi ekonomi alokasi sumberdaya air (Dinar et al., 1999 ) terjadi ketika marginal benefit dari setiap penggunaan adalah sama untuk setiap sektor. Syarat tersebut menjamin tercapainya kesejahteraan yang maksimum (Pareto efficiency). Alokasi sumberdaya air kepada sektor yang berbeda dapat dipandang murni dari sudut pandang ekonomi, sama seperti dalam mengelompokkan projek investasi. Dalam kasus ini, sumberdaya air merupakan sumberdaya langka yang digunakan oleh sector ekonomi, dan memberikan pemghasilan (return). Terdapat beberapa mekanisme dalam alokasi sumberdaya air, Menurut Dinar (1999) dan Ford et al. (2001) alokasi sumberdaya air sebagai barang ekonomi dapat dilakukan melalui mekanisme marginal pricing dan pasar air. 1. Marginal Cost Pricing Mekanisme Marginal Cost Pricing (MCP) merupakan mekanisme terbaik (first best solution) dalam alokasi sumberdaya. Mekanisme alokasi sumberdaya dilakukan dengan menetapkan harga air atas dasar besarnya marginal cost dari supply unit terakhir sumberdaya air, termasuk biaya eksternal. Alokasi sumberdaya air pada tingkat harga per unit (the marginal value of water) sama dengan biaya marginal (marginal cost) merupakan alokasi yang memenuhi kondisi efisien secara ekonomi, dan optimal secara sosial. Harga air yang ditetapkan termasuk harga (biaya) untuk mengumpulkan, mengangkut ke tempat pengolahan, mengolah air hingga memenuhi standar
32 kualitas yang diinginkan, distribusi kepada konsumen (Spulber dan Sabbaghi, 1994), dan monitoring serta menjaga agar sistem dapat berjalan (Dinar, 1999). Harga air biasanya tidak termasuk biaya headworks (meskipun seharusnya diperhitungkan). Harga air juga memperhitungkan biaya (atau manfaat) sosial, meskipun sulit untuk dihitung. Jika terdapat biaya lebih tinggi untuk mengalokasikan air kepada pengguna yang satu dibandingkan kepada pengguna lainnya, maka harga dapat dideferensiasi (Tietenberg, 1988; Apulber dan Sabbaghi, 1994). Meskipun air memiliki nilai kelangkaan (dimana besarnya tergantung pada lokasi dan waktu) namun nilai tersebut tidak selalu terrefleksi dalam harga yang dibayarkan konsumen. Mekanisme penetapan harga ini memilki keuntungan dalam mencapai efisiensi ekonomi pada tingkat terbaik (first best solution), dan dapat menghindarkan tendensi adanya penilaian atau pemberian harga terlalu rendah (undervalue) terhadap sumberdaya, sehingga menghindarkan penggunaan yang berlebihan (over exploitation). Namun kelemahan metode ini terletak pada sulitnya mendefinisikan biaya marginal itu sendiri (Dinar,1999), terutama dalam mengumpulkan informasi yang diperlukan untuk mengestimasi dan memonitor benefit dan biaya berkaitan dengan penggunaan sumberdaya. Hal ini disekarenakan 3 alasan yaitu: 1. Marginal cost bersifat multi-dimentional, melibatkan banyal input seperti kuantitas dan kualitas air. 2. Marginal cost bervariasi menurut waktu kapan diperhitungkan (short-run dan long- run)
33 3. Marginal cost bervariasi tergantung pada apakah permintaan meningkat secara permanen atau temporer. Komposisi antara fixed cost dan variable cost jangka pendek dan jangka panjang sangat mempengaruhi marginal cost. Kelemahan lain adalah bahwa mekanisme marginal cost pricing dalam alokasi sumberdaya cenderung mengabaikan asas pemerataan. Pada kondisi meningkatnya kelangkaan sumberdaya, harga akan meningkat, sehingga akan berdampak negatif bagi masyarakat golongan pendapatan rendah.
Asas
pemerataan harus menjadi perhatian utama ketika biaya marginal mendorong harga meningkat di atas kemampuan masyarakat goolongan pendapatan rendah. Dalam prakteknya, mekanisme penetapan harga atas dasar biaya marginal sulit diimplementasikan karena memerlukan monitoring dalam skop yang luas, sehingga relatif sulit dan mahal untuk dilaksanakan. Selain itu konsep ini juga relatif sulit dipahami oleh pengambil kebijakan (United Nation, 1980).
2. Pasar air Alokasi sumberdaya air atas dasar mekanisme pasar merupakan pertukaran hak untuk menggunakan sumberdaya air, bukan pertukaran temporal dari suatu bundel air tertentu antar pemakai yang saling berdekatan (spot water market). Dari susut pandang ekonomi, agar pasar kompetitif dapat berjalan, diperlukan beberapa kondisi sebagai berikut: (1) Pasar harus terdiri dari beberapa penjual dan pembeli yang identik, masing-masing memiliki informasi yang sempurna akan aturan main atau kelembagaan pasar dan menghadapi biaya transaksi yang sama; (2) Keputusan yang dibuat oleh masing-masing penjual dan pembeli bersifat independent; (3) Keputusan yang dibuat oleh seorang penjual atau pembeli tidak akan berpengaruh terhadap market outcome; (4) Setiap individu bertujuan untuk memaksimumkan keuntungan. Pada kondisi
34 tertentu, supply dan demand menentukan jumlah dan harga air yang diperdagangkan. Pada alokasi melalui mekanisme pasar, sumberdaya akan bergerak dari penggunaan yang memberi nilai rendah ke penggunaan dengan nilai tertinggi. Oleh karenanya alokasi atas dasar mekanisme pasar akan efisien secara ekonomi dan sosial. Pasar air dapat disalahartikan sebagai institusi yang memfasilitasi perdagangan atau pemindahtanganan hak atas sumberdaya air. Perdagangan dapat terjadi pada dua tingkat, yaitu hak atas penggunaan air jangka pendek yang diperdagangkan pada spot market, dan perdagangan yang terjadi atas seluruh kepemilikan, dimana hak penggunaan air eksis selamanya (tidak terbatas waktu). Secara teoritis, pasar sumberdaya air akan menghasilkan alokasi sumberdaya secara efisien karena sumberdaya dapat dialokasikan pada penggunaan dengan nilai tertinggi, dan oleh karenanya dapat mencapai tingkat efisiensi tertinggi. Akan tetapi pasar air terkadang memerlukan intervensi atau kontrol pemerintah pada tingkat tertentu untuk menciptakan kondisi pasar yang memuaskan. Intervensi dapat berupa perumusan alokasi sumberdaya, menciptakan jaringan perdangan baik secara legal maupun institusional dan mungkin berupa investasi infrastruktur untuk memfasilitasi pengiriman dan distribusi. Keuntungan alokasi sumberdaya melalui mekanisme pasar air adalah bahwa penjual dapat meningkatkan keuntungannya dan mendorong peningkatan ketersediaan air pada pengguna yang memberi nilai tertinggi. Pengguna lingkungan dapat berkompetisi di pasar dalam menggunakan sumberdaya air, dan pasar memiliki kemampuan untuk menginternalisasikan setiap biaya yang mungkin timbul.
35 Kelemahan mekanisme pasar adalah
sulitnya dalam pengukuran dan
mendefinisikan/menetapkan property right dengan variabel yang selalu berubah dan dalam menegakkan aturan terhadap pemilik. Salah satu masalah terbesar berhubungan dengan membangun pasar yang terjadi selama masa transisi dari mekanisme alokasi sumberdaya air yang ada kepada pasar lingkungan. Sebagian besar, nilai sumberdaya air telah dikapitalisasi dalam sistem produksi dan sunk cost yang terjadi sulit untuk membebaskan sumberdaya air dari penggunanya, dimana pada perspektif jangka panjang hal ini tidal efisien. Mekanisme alokasi sumberdaya air dimana air dipandang sebagai barang publik dapat dilakukan atas dasar layanan publik, dan kepentingan penggunaannya, dapat dijelaskan sebagi berikut: 1. Alokasi Sumberdaya Berdasar Layanan Publik Adalah sulit untuk menetapkan harga sumberdaya air seperti halnya menetapkan harga pada barang yang diperdagangkan di pasar, karena secara historis akses terhadap sumberdaya air telah dianggap sebagai hak publik (public right). Selain itu, pembangunan infrastruktur pelayanan kebutuhan air sering melibatkan investasi dalam jumlah besar sehingga sektor swasta tidak mampu melaksanakan. Alokasi secara publik diterapkan hampir di semua sistem irigasi berskala besar, dimana pemerintah memutuskan alokasi dan distribusi sumberdaya air. Alokasi publik biasanya berkaitan dengan jumlah/kuantitas sumberdaya yang ditetapkan atas dasar norma fisik dan politik. Pada sektor domestik, baik suply air untuk perkotaan maupun pedesaan, serta program-program sanitasi menerapkan mekanisme alokasi publik. Alokasi publik juga ditemui di sektor industri dimana pemerintah memberi ijin dan
36 regulasi pengambilan air dan pengaliran limbah. Meskipun pembangkit listrik tenaga air bukan kebutuhan konsumsi, namun juga memerlukan alokasi publik melalui keputusan pembangunan dam dan perubahan peraturan berkaitan dengan perubahan pola aliran sungai. Alokasi publik juga diterapkan terhadap sektor perikanan, navigasi, dan kehidupan binatang liar yang dilakukan melalui restriksi dalam pengembangan dan pengambilan sumberdaya air bagi pengguna lainnya. Alokasi secara publik memiliki kelebihan mendorong tercapainya tujuan pemerataan, dan menjadikan mungkin bagi alokasi air ke daerah yang tidak memiliki kecukupan sumberdaya air. Alokasi publik dapat melindungi masyarakat miskin, kebutuhan lingkungan agar tetap sustainable, dan dapat terpenuhinya kebutuhan minimum setiap sektor. Mekanisme alokasi publik sering kali memerlukan pembiayaan publik yang sangat mahal. Harga tidak merepresentasikan biaya pelayanan atau nilai dari penggunaan sumberdaya. Hal ini menyebabkan mekanisme alokasi publik dapat menyebabkan mubazirnya sumberdaya dan alokasi yang salah. Alokasi publik tidak menyertakan partisipasi pengguna. Meinzen dan Mendoza (1996) menyatakan bahwa alasan utama dari masalah yang timbul pada alokasi publik adalah karena kegagalannya dalam menciptakan insentif bagi pengguna untuk melakukan konservasi sumberdaya. Alokasi publik diperlukan pada level tertentu, terutama untuk alokasi antar sektor, namun masalah yang sering muncul adalah rendahnya performance pemerintah dalam mengelola sistem irigasi, sistem pelayanan air untuk domestik, ketidak normalan dalam memberikan lisensi dan lemahnya kontrol
37 terhadap pemakaian air oleh industri. Selain itu dalam implementasi, lembaga yang bertanggung jawab terhadap alokasi sumberdaya bersifat sektoral.
2. User-Based Allocation Irigasi yang dikelola petani merupakan salah satu contoh alokasi atas dasar pengguna (user-based
allocation).
Beberapa studi
menunjukkan
bervariasinya aturan alokasi pada setiap sistem seperti sistem bergilir atas dasar waktu, kedalaman air, luasan lahan, atau berbagi (sharing) aliran. Pada sektor domestik, user-based allocation dapat dilihat pada sumur umum. Alokasi antar sektor juga terlihat pada pengelolaan sumberdaya air di desa atau sumber air lokal yang digunakan untuk pemenuhan domestik, irigasi, maupun peternakan. Mekanisme User-Based Allocation memerlukan aksi kolectif (collective actions)
oleh institusi yang memiliki otoritas dalam mengatur alokasi dan
distribusi sumberdaya air.
Oleh karenanya, penentuan property right suatu
sumberdaya merupakan faktor penting. Alokasi sumberdaya air berdasarkan User-based allocation memiliki kelebihan bahwa mekanisme ini memiliki fleksibilitas dalam penyesuaian pengiriman kepada pengguna yang berbeda sepanjang waktu, dan secara administratif dan politik lebih dapat diterima. Sedang kelemahnnya adalah mekanisme ini memerlukan transparansi informasi, dan dapat menyebabkan alokasi antar sektor yang kurang baik, jika institusi yang ada tidak dapat atau tidak ingin mengalokasikan sumberdaya diluar sektornya. Dampak dari user-based allocation terhadap konservasi sumberdaya air tergantung pada konten norma lokal dan kekuatan kelembagaan lokal. Akan lebih mudah bagi pengguna untuk mengorganisasikan aksi bersama (collective actions) untuk meningktkan supply air mereka dari pada mendistribusikan air
38 antar pengguna. Jika organisasi tersebut tidak dapat menciptakan penggunaan yang efisien, maka mekanisme alokasi atas dasar pengguna ini akan memiliki dampak yang kecil terhadap manajemen permintaan. Namun norma sosial yang dimiliki akan mendorong konservasi, apalagi jika terdapat aturan yang mencegah penggunaan yang berlebihan, terdapat monitoring terhadap pelanggaran, dan diterapkannya sangsi.
Jika organisasi tersebut menyadari akan pentingnya
melakukan konservasi, maka diantara anggota akan terbentuk saling kontrol untuk mentaati upaya menghematan sumberdaya air, sehingga efisiensi dapat tercapai, Kelebihan utama mekanisme alokasi ini adalah adanya fleksibilitas untuk beradaptasi terhadap pola pelayanan air sehingga kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi. Karena mekanisme ini melibatkan partisipasi masyarakat lokal yang lebih mengetahui kondisi lokal, maka pengguna tidak perlu tergantung pada formula alokasi yang bersifat kaku. Mekanisme alokasi ini lebih layak (feasible) dalam administrasi dan sustainability, serta lebih dapat diterima secara politik. Agar mekanisme alokasi user-based ini dapat berjalan baik diperlukan transparansi struktur kelembagaan. Jika organisasi yang dibangun kurang bisa melibatkan seluruh sektor pengguna, maka mekanisme ini bisa menjadi tidak efektif.
2.3 Efisiensi Versus Equity Syarat efisiensi yang mendasarkan kriteria alokasi sumberdaya air pada saat marginal benefit sama dengan marginal cost tidak selamanya dapat berjalan karena beberapa alasan. Pertama, pada kondisi dimana disparitas pendapatan tinggi, maka masyarakat berpenghasilan rendah yang tidak mampu membayar pada harga pasar
39 akan mendapatkan alokasi sumberdaya air lebih sedikit dari pada masyarakat berpenghasilan tinggi.
Demikian juga sektor yang menghasilkan nilai produk
rendah akan mendapat alokasi sumberdaya air lebih kecil, meskipun produk yang dihasilkannya sangat penting bagi kehidupan masyarakat.
Kedua, penggunaan
sumberdaya air tidak dapat disubstitusi dengan barang lain, sehingga konsumen tidak memiliki pilihan (choice) dalam memenuhi kebutuhannya (kepuasan), maka kriteria ekonomi tidak dapat diterapkan. Ketiga, pemenuhan terhadap kebutuhan air merupakan suatu keharusan, tanpa air tidak ada kehidupan, sehingga mendapatkan air merupakan hak.
Atas dasar ketiga alasan di atas, maka harus ada kriteria
keadilan dalam alokasi sumberdaya air. Kriteria ekonomi perkaitan dengan memaksimumkan kesejahteraan yang dapat dicapai, sedang keadilan berkaitan dengan bagaimana tingkat kesejahteraan yang dicapai tersebut didistribusikan antar anggota masyarakat. Meskipun kebijakan pemerintah selalu menyatakan bahwa sumberdaya air harus dialokasikan secara berkeadilan, namun kebanyakan perhatian lebih terfokus pada mekanisme ekonomi dan pasar untuk menciptakan efisiensi dari perspektif ekonomi, sedang basis yang mendasari apa yang disebut keadilan (just), fairness dan pemerataan (equity) dalam arti siapa yang harus mendapat manfaat dari alokasi sumberdaya air, siapa yang harus menanggung biaya, dan bagaimana setiap keputusan
harus
diambil,
kurang
mendapat
perhatian.
Demikian
juga
pengembangan konsep teoritis tentang keadilan, fairness, dan pemerataan bagi berbagai pengguna (stakeholders) yang beragam juga kurang mendapat perhatian. Standar metodologi untuk mengukur keadilan (just), fairness dan pemerataan (equity) sangat sulit karena 3 bentuk alasan; pertama, kata keadilan itu sendiri sering digunakan oleh orang yang kurang bijak untuk merefleksikan kepentingan
40 diri sendiri (self interest), tidak memiliki arti intrinsik, kedua, bersifat subjektif sehingga tidak dapat dianalisis secara ilmiah, dan ketiga, tidak ada teori yang rational tentang equity sehingga tidak eksis dari sudut pandang akademik (Syme, G.J. et. Al., 1999) Rasinski (1987) dalam Syme et. all. (1999) menyatakan bahwa dalam konteks kesejahteraan masyarakat, equity memiliki dua komponen yaitu proportionality dan egalitarianism. Komponen proportionality mengandung arti bahwa seseorang harus menerima sesuatu sesuai dengan usaha, pengorbanan dan prestasi atau pencapaiannya. Sedang egalitarian berarti seseorang haruslah diperlakukan sama. Dalam praktek, kedua komponen tersebut dapat digunakan, namun dapat dengan penekanan yang berbeda. Prosedural justice menurut Lind (1988) dalam bukunya berjudul “The Social Phylosophy of Procedural Justice” lebih terfokus pada karakteristik proses pengambilan keputusan yang membuat keadilan dapat tercipta bagi orang-orang yang vurnerable terhadap konsekuensi dari keputusan tersebut.
Secara umum
“procedural justice” dapat berupa suara atau perasaan untuk mendapat kesempatan mempengaruhi proses pengambilan keputusan. Sedang distributive justice merupakan konsep yang berhubungan dengan evaluasi apakah hasil (outcome) dari pengambilan keputusan tersebut adil untuk seluruh stakeholder. Dalam hal ini equity dan distributive justice merupakan konsep yang hampir mirip, dimensi equity merupakan dasar bagi akses individu terhadap sumberdaya, terlepas apakah distributive justice tercapai atau tidak. UU Republik Indonesia no. 7 tahun 2004 tentang Sumberdaya air dalam pasal 2 menyebutkan bahwa: Sumberdaya air dikelola berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan, kemanfaatan umum, keterpaduan dan keserasian, keadilan,
dan
41 kemandirian. Selanjutnya dalam pasal 5, dinyatakan bahwa Negara menjamin hak setiap orang untuk mendapatkan air bagi kebutuhan pokok minimal sehari-hari guna memenuhi kehidupannya yang sehat bersih, dan produktif. Konsep alokasi sumberdaya air yang efisien dan berkeadilan dalam penelitian ini diartikan sesuai dengan pendapat Perry (1997) yaitu, bahwa sampai pada tingkat tertentu air adalah barang publik, masyarakat berhak atas alokasi sumberdaya air setidaknya sampai pada kebutuhan minimum, setelah itu alokasi sumberdaya air diserahkan pada mekanisme pasar. Pada kasus pemenuhan kebutuhan air untuk rumahtangga dalam penelitian ini, keadilan alokasi sumberdaya air diartikan bahwa seluruh rumahtangga, terlepas dari kemampuannya untuk membeli air, harus mendapat hak dasar untuk memperoleh pelayanan air. Demikian juga untuk kepentingan memproduksi pangan (sektor pertanian), alokasi sumberdaya yang berkeadilan dapat diartikan sebagai terpenuhinya kebutuhan minimal bagi tanaman untuk dapat tumbuh dan menghasilkan, terlepas dari kemampuan petani untuk membayar dengan harga sesuai di pasar. Untuk memenuhi hak tersebut mengharuskan pemerintah untuk memberi subsidi, atau memberi secara cuma-cuma, atau memberlakukan struktur harga yang berbeda atas dasar pendapatan. Dalam model alokasi sumberdaya yang dibangun, ketentuan ini direfleksikan dalam bentuk konstrain.
2.4 Penelitian Terdahulu Alokasi sumberdaya air telah mendapat perhatian yang luas dari kalangan ilmuwan. Bielsa dan Duarte (2001) membangun model ekonomi untuk alokasi sumberdaya air antar dua sektor yang saling berkompetisi, yaitu antara keperluan irigasi dan pembangkit listrik tenaga air di Timur Laut Spanyol. Hal yang sama juga
42 dilakukan oleh Reca et al. (2001), membangun model optimasi ekonomi untuk perencanaan pengelolaan sumberdaya air pada sistem irigasi yang mengalami defisit sumberdaya air. Model optimasi dengan menggunakan Linear Programming yang digunakan untuk menganalisis alokasi air irigasi antar musim juga dibangun oleh Salman et al. (2001), sedang Wardlaw dan Bhaktikul (2001) juga menggunakan pendekatan model optimasi atas dasar algoritma genetis (GA) untuk mengatur alokasi supply sumberdaya air irigasi pada waktu riil. Model optimasi juga telah digunakan untuk menyelesaikan perencanaan sumberdaya air dengan tujuan ganda (multi-objective) dan mengatasi ketidak pastian dalam ketersediaan air pada Aral Sea Basin (McKinney dan Cai, 2002). Qubaa et al. (2002).juga menggunakan model optimasi untuk model alokasi sumberdaya air yang tersedia inter dan antar sektor yang saling berkompetisi untuk mencapai tujuan economic return tertinggi dari penggunaan air dengan menggunakan Linear Programming. Aquarius, system modeling untuk alokasi air Daerah Aliran Sungai (DAS) dibangun oleh Diaz et al. (2000) dengan menggunakan konsep dasar kriteria operasional dari efisiensi ekonomi
yang diperlukan untuk realokasi aliran air sungai sedemikian rupa
sehingga net marginal revenue setiap pengguna air (water user) adalah sama. Beberapa studi terhadap alokasi sumberdaya air dalam perspektif ekologi juga telah dilakukan. Reid dan Brooks (2000) menganalisis dampak lingkungan alokasi sumberdaya air pada DAS Murray-Darling. Australia. Doupe dan Pettit (2002) juga meneliti hal yang sama pada Rungai Ord di Barat Australia. Manitoring dan praktik manajemen yang secara keilmuan (scientific) sangat adaptif. Voogt et al. (2000) juga melaksanakan studi alokasi sumberdaya air antara lahan basah dan lahan beririgasi di DAS Gediz, Turkey.
43 Pendekatan atas dasar hak milik dan pasar dalam alokasi sumberdaya air juga telah diterapkan. Rosegrant et al. (1995) menyarankan bahwa pasar pada situasi dimana hak atas sumberdaya air dapat diperjualbelikan dapat diimplementasikan secara efektif dengan desain perundangan/peraturan, institusi, dan regulasi yang memadai. Becker (1995) meneliti implikasi dari transformasi sistem alokasi sumberdaya air pada pertanian di Israel, dari kondisi dimana perdagangan hak atas sumberdaya air tidak boleh diperdagangkan. Huffaker et al. (2000) meneliti tentang peran dari penggunaan sumberdaya air yang salah dalam alokasi sumberdaya air di Amerika Bagian Barat. Hubungan antara kebijakan dan DAS dalam alokasi sumberdaya air juga telah diteliti oleh Green dan Hamilton (2000), dimana mereka membangun model simulasi alokasi sumberdaya air antar 3 sektor pengguna berdasarkan hak atas aliran dan stok, hak konsumsi dan efisiensi irigasi. Babel (2005) juga membangun model alokasi sumberdaya air antar pengguna yang saling berkompetisi dengan menggunakan 3 skenario yaitu ketika stok air yang ada lebih kecil dari kebutuhan minimum seluruh sektor maka alokasi dilakukan berdasar prioritas yang ditetapkan masyarakat, jika stok ada diantara kebutuhan minimum dan kebutuhan normal, maka alokasi didasarkan pada kaidah-kaidak efisiensi, sedang jika stok lebih besar dari kebutuhan normal maka alokasi dilakukan atas dasar kebutuhan pengguna. Secara ringkas nama peneliti, model yang dibangun, dan perbedaan pendekatan yang digunakan dalam penelitian terdahulu disajikan pada Tabel 3.
44 Tabel 3. Penelitian Model Peengelolaan Sumberdaya Air yang Terdahulu No 1
2
Peneliti, Nama Model Keterangan Tahun Rosegrant et. Model Dong Nai • Pengguna multi sektor (Pertanian. al. 2000 River Basin Industri, Municipal, Hydropower) • Tujuan memaksimumkan keuntungan bersih • Kendala keseimbangan dan transfer dari sungai, aliran balik, dan kapasitas saluran bendung maupun waduk. • Model statik Yusman Syaukat, 2000
Model Alokasi Air Permukaan dan Air Tanah (Conjunctive)
•
• •
3
4
5
6.
7
Bielsa and An Economic Duarte, 2001 Model for Water Allocation in North Eastern Spain Reca, et. al. Optimization 2001 Model for Water Allocation in Deficit Irrigation System Salman, et. al. 2001
•
Mc. Kinney Multi Objective and Cai, 2002 Optimization Model for Water Allocation in the Aral Sea Basin Babel, M.S., Model IWAM Dasgupta,A., (Integrated Water dan Kayak, Allocation Model) D.K. 2005
•
•
• •
• •
• •
•
•
•
Tujuan memaksimumkan benefit sosial bersih dari penggunaan air PDAM dan air tanah Memasukkan biaya eksternalitas Model dinamik Dua sektor: irigasi dan hydropower Optimasi, Liner Programing
System irigasi pada kondisi defisit air Optimasi, Linear Programing
System irigasi, antar musim Optimasi, Linear Programing Tujuan Ganda Goal programming Kendala hidrologi dan ekonomi
Terdiri dari 3 modul; a reservoir operation module (ROM), an economic analysis module (EA) dan water allocation module (WAM) Dua fungsi tujuan yang berbeda yaitu maksimumkan satisfaction, dan net economic benefit Teknik pembobotan (weighting technique, WT) atau simultaneous compromise constraints (SICCON) digunakan untuk merubah tujuan ganda menjadi tujuan tunggal
45 Tabel 3. Lanjutan No 8
9
Peneliti, Tahun Dwiastuti,R. (2005),
Katiandagho, T. M. (2007)
Nama Model
Keterangan
Model pengelolaan sumberdaya wilayah tangkapan bendungan Sutami Sengguruh
•
di
• •
air dan
Model Pengelolaan SDA Jatiluhur
• • •
Multi User :PLTA, Irigasi, dan industri. Penentuan pola tanam Kendala: ketebalan lapisan atas tanah, kapasitas tampung waduk Sengguruh, kapasitas tampung waduk Sutami, dan kendala total luas areal berbagai fungsi lahan. Multi User :PLTA, Irigasi, dan industri. Penentuan pola tanam Kendala kapsitas air bendungan, keseimbangan air bendungan, penyimpanan air waduk, dan efisiensi air irigasi.
46