BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Good Governance Istilah governance pertama kali dipergunakan pada abad ke-14 di Perancis. Pada waktu itu, istilah governance diartikan sebagai seat of government (kursi pemerintah). Governance menjadi populer tatkala World Bank mempergunakan istilah governance untuk memperkanalkan pendekatan baru dalam melaksanakan proses pembangunan.
Jika mengacu pada program World Bank dan United
Nation Development Program (UNDP), orientasi pembangunan sektor publik adalah untuk menciptakan good governance. Pengertian good governance sering diartikan sebagai kepemerintahan yang baik.
World Bank (1989) dalam
Fajonyomi (2013) mendefenisikan governance sebagai ‘the exercise of political power to manage a nation’s affairs”.
Sedangkan United Nation Development
Program (UNDP) dalam Fajonyomi (2013) mendefenisikan governance sebagai ‘the exercise of economic, political and administrative authority to manage a country’s affair at all levels’. Dalam hal ini, World Bank lebih menekankan pada cara pemerintah mengelola sumber daya sosial dan ekonomi untuk kepentingan pembangunan masyarakat, sedangkan UNDP lebih menekankan pada aspek politik, ekonomi, dan administratif dalam pengelolaan negara. Peraturan Pemetintah Nomor 101 tahun 2000 merumuskan arti good governance sebagai “keperintahan yang mengemban akan dan menerapkan prinsip-prinsip profesionalitas, akuntabilitas, transparansi, pelayanan prima,
11
demokrasi, efisiensi, efektifitas, supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat”. Kunci utama memahami good governance yaitu pemahaman atas prinsipprinsip didalamnya.
Baik-buruknya pemerintahan bisa dinilai bila ia telah
bersinggungan dengan semua unsur prinsip-prinsip good governance. Prinsipprinsip good governance menurut United Nation Development Program (UNDP, 1997) dalam Mardiasmo (2004:24) memberikan beberapa karaktertik pelaksanaan good governance, meliputi : 1. Partisipasi (Partisipation) Keterlibatan masyarakat dalam pembuatan keputusan baik secara langsung maupun tidak langsung melalui lembaga perwakilan yang dapat menyalurkan aspirasinya. Partisipasi tersebut dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif. 2. Aturan Hukun (Rule of Law) Kerangka aturan hukum dan perundang-undangan harus berkeadilan, ditegakkan dan dipatuhi secara utuh tanpa pandang bulu. 3. Transparansi (Transparancy) Transparansi harus dibangun atas dasar kebebasan memperoleh informasi. Informasi yang berkaitan dengan kepentingan publik secara langsung dapat diperoleh oleh mereka yang membutuhkan. 4. Daya Tangkap (Responsiveness) Lembaga-lembaga publik harus cepat tanggap dalam melayani stakeholder. 5. Berorientasi Konsensus (Consensus Orientation) Berorientasi pada kepentingan masyarakat yang lebih luas. 6. Berkeadilan (Equity) Pemerintah yang baik akan memberikan kesempatan yang sama terhadap masyarakatnya dalam upaya mereka untuk meningkatkan kualitas hidupnya. 7. Efektif dan Efisiensi (Effectiveness and Efficiency) Pengelolaan sumber daya publik dilakukan secara berdaya guna (efisien) dan berhasil guna (efektif). 8. Akuntabilitas (Accountability) Pertanggungjawaban kepada publik atas setiap aktivitas yang dilakukan. 9. Visi Strategis (Strategic Vision) Penyelenggaraan pemerintahan dan masyarakat harus memiliki visi jauh ke depan.
12
Sejalan dengan UNDP, dalam Peraturan Pemerintah Nomor 101 Tahun 2000 dinyatakan bahwa prinsip-prinsip kepemerintahan yang baik terdiri dari: 1. Profesionalitas, meningkatkan kemampuan dan moral penyelenggara pemerintah agar mampu member pelayanan yang mudah, cepat, tepat dengan biaya yang terjangkau. 2. Akuntabilitas, meningkatkan akuntabilitas para pengambil keputusan dalam segala bidang yang menyangkut kepentingan masyarakat. 3. Transparansi, menciptakan kepercayaan timbale balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan menjamin kemudahan didalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai. 4. Pelayanan prima, penyelenggaraan pelayanan publik yang mencakup prosedur yang baik, kejelasan tariff, kepastian waktu, kemudian akses, kelengkapan sarana dan prasarana serta pelayanan yang ramah dan disiplin. 5. Demokrasi dan pertisipasi, mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. 6. Efisiensi dan efektifitas, menjamin terselenggaranya pelayanan kepada masyarakat dengan menggunakan sumber daya yang tersedia secara optimal dan bertanggungjawab. 7. Supremasi hukum dan dapat diterima oleh seluruh masyarakat, mewujudkan adanya penegakkan hukum yang adil bagi semua pihak tanpa pengecualian, menjunjung tinggi HAM dan memperhatikan nilainilai yang hidup dalam masyarakat. (Ramadhan, 2015: 708) Tajuddin (2008) menyatakan bahwa ada 5 (lima) faktor-faktor yang mempengaruhi implementasi good governance yaitu: 1. Faktor Manusia Pelaksana (Man) Berhasil atau tidaknya pelaksanaan good governance sebagian besar tergantung pada pemerintah daerah (local government) yang terdiri dari unsur pemerintah daerah, DPRD. Disamping itu terdapat aparatur atau alat perlengkapan daerah lainnya yaitu para pegawai daerah itu sendiri 2. Faktor Partisipasi Masyarakat (Public Participation) Masyarakat di daerah baik sebagai sistem maupun sebagai individu merupakan bagian integral yang sangat penting dalam sistem pemerintah daerah. 3. Faktor Keuangan Daerah (Funding or Budgeting) Salah satu kriteria penting untuk mengetahui secara nyata kemampuan daerah dalam mengatur dan mengurus rumah tangganya adalah kemampuan self supporting dalam bidang keuangan. Dengan kata lain
13
faktor keuangan merupakan faktor esensial dalam mengukur tingkat pencapaian good governance. Ini berarti bahwa penerapan dan pencapaian good governance di daerah/lokal membutuhkan dana/finansial. 4. Faktor Peralatan (tools) Dalam pengertian ini peralatan adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar dan mempermudah pekerjaan gerak dan aktivitas pemerintah dalam upaya pencapaian dan perwujudan good governance. 5. Faktor Organisasi dan Manajemen (Organization and Managament) Faktor ini meliputi POAC (Planning, Organizing, Actuating, and Controlling)/ POSCORB (Planning, Organizing, Staffing, Coodinating). Agar pencapaian good governance dapat terwujud maka diperlukan adanya organisasi dan manajemen yang baik pula. 2.1.1. Konsep Good Governance Dalam Pelayanan Publik Pelayanan publik di Indonesia seringkali dicirikan oleh inefisiensi yang tinggi, prosedur yang berbelit-belit, serta tidak adanya kepastian waktu dan biaya yang diperlukan dalam penyelenggaraan layanan. penyelenggaraan
pelayanan
publik
masih
sangat
Lebih dari itu, dipengaruhi
oleh
subjektivitas, baik yang dimiliki oleh penyelenggaraan atau para pengguna dalam
konteks
ini
upaya
pengembangan
pelayanan
publik
dengan
memperhatikan prinsip-prinsip good governance menjadi sangat penting. Prinsip-prinsip dimaksud adalah: 1.
Transparansi/Keterbukaan (Transparency) Transparansi
dalam
pelayanan
memiliki
peran
kritis
dalam
pengembangan praktik governance karena sebagian besar permasalahan dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintah dan pelayanan bersumber dari rendahnya transparansi.
Ketidakpastian pelayanan, praktik suap, dan terlalu besarnya
biaya transaksi dalam kegiatan pemerintahan dan pelayanan bersumber dari tidak adanya transparansi.
Widodo (2002: 276) menyatakan “keterbukaan
14
mengandung arti prosedur/tata cara persyaratan, waktu penyelesaian, rincian waktu/tariff serta hal-hal lain yang berkaitan dengan proses pelayanan wajib diinformasikan secara terbuka agar mudah diketahui dan dipahami oleh masyarakat baik diminta maupun tidak diminta”. 2.
Akuntabilitas (Accountability) Pelayanan Publik Penyelenggaraan pelayanan publik harus dapat dipertanggungjawabkan,
baik kepada publik maupun kepada atasan/pimpinan unit pelayanan instansi pemerintah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. “Akuntabilitas dalam negara demokrasi (Lenvine, 1990: 188) dari aspek akuntabilitas menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat”.
Pertanggungjawaban pelayanan publik meliputi
akuntabilitas kinerja pelayanan publik, akuntabilitas biaya pelayanan publik, dan akuntabilitas produk pelayanan publik (Ratminto dan Winarsih, 2006: 216219). 3.
Responsivitas (Responsiveness) Pelayanan Publik Merupakan daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan,
keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan.
Responsivitas
diartikan juga sebagai kerelaan untuk menolong pengguna layanan dan menyelenggarakan pelayanan publik secara ikhlas (Zeithaml et al., 1990: 26). Strategi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan responsivitas pelayanan publik adalah melalui pelembagaan citizen charter atau kontrak pelayanan. Citizen charter adalah suatu pendekatan dalam penyelenggaraan pelayanan publik dengan menempatkan pengguna layanan sebagai perhatian. Dalam hal ini, kebutuhan dan kepentingan
15
pengguna layanan harus menjadi pertimbangan utama dalam keseluruhan proses penyelengaraan layanan (Subarsono, 2008: 135-171). 4.
Keadilan (Fairness) Yang Merata A level playing field (perlakuan yang adil/perlakuan kesetaraan). Ini
berlaku bagi pemerintah kepada masyarakat dalam pelayanan publik, perusahaan kepada pelanggan dan sebagainya. Kriteria keadilan yang merata mengandung arti cakupan/jangkauan pelayanan harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diberlakukan secara adil bagi seluruh lapisan masyarakat (Widodo, 2002: 276). Hubungan antara pemerintah sebagai pelayanan publik dan mereka yang menggunakan layanan tersebut secara historis lebih tepat didefinisikan sebagai hubungan antara pemerintah dengan warga negara daripada hubungan antara pemberi layanan dan customer.
Walsh (1994: 69)
dalam Laing
(2003:433) mengatakan sebagai berikut: ‘the fundamental relationship between citizen and government is not one of
simple exchange but one mutual
commitment, and public services are not simply a reciprocation on taxes’. Dapat diartikan sebagai hubungan fundamental antara warga negara dan pemerintah bukanlah suatu pertukaran yang sederhana akan tetapi lebih merupakan komitmen bersama, dan pelayanan publik bukanlah semata-mata bentuk resiprokal dari pajak. Karena hubungan antara pemerintah dan warga negara yang dilayani memiliki landasan fundamental yang ditandai oleh adanya komitmen bersama antara pihak yang memerintah dan pihak yang diperintah untuk membangun suatu negara, maka salah satu hal penting yang harus menjadi indikator untuk mengukur keberhasilan pelayanan publik adalah
16
equality (persamaan).
Dengan demikian, setiap warga negara harus
mempunyai akses yang sama untuk memperoleh pelayanan publik yang mereka butuhkan. 5.
Efesiensi dan Efektivitas (Efficiency & Effectiveness) Savas (1987: 115) ada tiga kriteria fundamental dalam pelayanan publik
yaitu efesiensi, efektivitas dan keadilan (equity). Untuk meningkat efisiensi dan efektivitas pelayanan publik, serta prospek pelayanan publik di masa datang mengisyaratkan perlu dilakukan reformasi mendasar terutama dalam kinerjanya. Beberapa alternatif yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pelayanan yang efisien, efektif dan ekonomis (Arif, 2008: 22). antara lain: a. melakukan reformasi internal dari aparat/birokrasi tentang tugas yang diembannya. Persepsi selama ini ia dibutuhkan rakyat atau publik harus dirubah bahwa dialah yang membutuhkan rakyat. b. Peningkatan suasana kompetensi dengan sesame aparat dalam memberikan layanan. Dengan kompetensi output layanan menjadi lebih baik namun tidak menambah biaya. c. Mendeskripsikan dan mempublikasikan secara jelas-tegas, kriteria efisien dan efektif suatu kegiatan layanan publik. Efisien atau efektif tidaknya aktivitas layanan publik menjadi indikasi kinerja dan jenjang karies aparat yang bersangkutan. d. Adanya otonomi, demokratisasi serta keterlibatan aparat dalam merumuskan suatu kebijakan. e. Peningkatan moralitas aparat, ini berangkutan dengan kesadaran masing-masing aparat/birokrasi sebagai aktor pelayanan publik. 6.
Partisipasi (Participation) dalam pelayanan publik Pada pelayanan publik, prinsip partisipasi dalam upaya mewujudkan good governance, sejalan dengan pandangan baru yang berkembang di dalam upaya meningkatkan pelayanan publik dengan cara melihat masyarakat tidak hanya sebagai pelanggan (customer) melainkan sebagai warga negara yang memiliki negara dan sekaligus pemerintahan yang ada di dalamnya (owner). Pergeseran pandangan ini mengisyaratkan bahwa masyarakat sejak awal harus dilibatkan dalam merumuskan berbagai hal yang menyangkut pelayanan publik, misalnya mengenai jenis pelayanan yang mereka butuhkan, cara terbaik untuk
17
menyelenggarakan pelayanan publik, mekanisme untuk mengawasi proses pelayanan dan yang tak kalah pentingnya adalah mekanisme untuk mengevaluasi pelayanan (Purwanto, 2008: 190). Pentingnya partisipasi publik dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan publik juga memperoleh momentum yang tepat seiring dengan munculnya era otonomi daerah di Indonesia yang memberikan keleluasaan lebih besar kepada daerah untuk merancang dan menentukan sendiri jenis pelayanan yang paling dibutuhkan oleh masyarakat.
“Kewenangan yang
dimiliki daerah tersebut tentunya dapat mendatangkan manfaat besar bagi masyarakat apabila pemerintah daerah mampu membangun demokrasi pada kepuasannya (Darodjat, 2015: 90)”. Berdasarkan Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
(UU ASN) tingkat lokal (local level democracy),
melalui peningkatan partisipasi publik dengan melibatkan masyarakat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut pelayanan publik, pemerintah daerah akan memperoleh berbagai keuntungan.
2.2. Sumber Daya Manusia Sumber daya manusia adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang dimiliki individu, perilaku dan sifatnya ditentukan oleh keturunan dan lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepuasannya (Darodjat, 2015:90). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN) menggantikan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1974 tentang
18
Pokok-Pokok Kepegawaian sebagaimana telah diubah dengan Undang – Undang Nomor 43 Tahun 1999, pegawai Aparatur Sipil Negara terdiri atas: Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Namun sehubungan dengan belum diberlakukannya UU ASN maka penelitian ini masih berpedoman terhadap Undang – Undang Nomor 43 Tahun 1999. Di dalam Undang – Undang Nomor 43 Tahun 1999 pasal 2 ayat (3) dinyatakan bahwa di samping Pegawai Negeri Sipil sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap. 2.2.1. Pegawai Negeri Sipil Undang – Undang No. 43 Tahun 1999, pada bab 1 pasal 1 tentang Ketentuan Umum menyatakan bahwa yang dimaksud dengan pegawai negeri adalah setiap warga negara republik Indonesia yang telah memenuhi syarat yang ditentukan, diangkat oleh pejabat yang berwenang dan diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya, dan digaji berdasarkan peraturan perundang – undangan yang berlaku. Berdasarkan pada pengertian sebagaimana tersebut di atas, maka untuk dapat disebut sebagai pegawai negeri harus memenuhi beberapa unsur yaitu: 1.
Warga negara Republik Indonesia Warga negara Indonesia sebagaimana dinyatakan pada pasal 2 Undang-
Undang Nomor 12 tahun 2006 tentang Kewarganegaraan adalah orang-orang Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undangundang sebagai warga negara.
19
2. Memenuhi syarat yang telah ditentukan undang-undang Syarat yang harus dipenuhi oleh setiap calon pegawai negeri menurut Peraturan Pemerintah (PP) No. 11 tahun 2002 adalah: a. Warga negara Indonesia b. Berusia serendah-rendahnya 18 (delapan belas) tahun dan setinggitingginya 35 (tiga puluh lima) tahun c. Tidak pernah dihukum penjara atau kurungan berdasarkan keputusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, karena melakukan suatu tindak pidana kejahatan d. Tidak pernah diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat sebagai Pegawai Negeri Sipil atau tidak dengan hormat sebagai pegawai swasta e. Tidak berkedudukan sebagai calon/pegawai negeri f. Mempunyai pendidikan, kecakapan, keahlian dan ketrampilan yang diperlukan g. Berkelakuan baik h. Sehat jasmani dan rohani i. Bersedia ditempatkan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia atau negara lain yang ditentukan oleh pemerintah dan; j. Syarat lain yang ditentukan dalam persyaratan jabatan 3.
Diangkat oleh pejabat yang berwenang Pejabat yang berwenang adalah pejabat yang mempunyai kewenangan
mengangkat, menempatkan, memindahkan dan memberhentikan pegawai negeri berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku 4.
Diserahi tugas dalam suatu jabatan negeri, atau diserahi tugas negara lainnya Jabatan negeri adalah jabatan dalam bidang eksekutif yang ditetapkan
berdasarkan peraturan perundang – undangan, termasuk di dalamnya jabatan dalam kesekretariatan lembaga tertinggi atau tinggi negara, dan kepaniteraan pengadilan, sedangkan yang dimaksudkan dengan tugas negara adalah tugas yang dibebankan oleh pejabat yang berwenang kepada pegawai negeri tersebut.
20
5.
Digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku Berdasarkan PP No. 7 Tahun 1977 tentang gaji PNS, penghasilan sah
yang diterima seorang PNS terdiri dari gaji pokok, kenaikan gaji berkala, kenaikan gaji istimewa, tunjangan serta honorarium. 2.2.2. Pegawai Tidak Tetap Berdasarkan
Perubahan
Undang
–
Undang
Pokok
–
Pokok
Kepegawaian (PUUPPK) Pasal 2 ayat (3), dimana rumusan pasal ini menegaskan bahwa disamping Pegawai Negeri, pejabat yang berwenang dapat mengangkat pegawai tidak tetap. Penjelasan dari pasal ini menegaskan bahwa pegawai tidak tetap adalah pegawai yang diangkat untuk jangka waktu tertentu guna melaksanakan tugas pemerintahan dan pembangunan yang bersifat teknis professional dan administrasi sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan organisasi. Namun, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, setelah disahkannya Undang – Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), istilah pegawai tidak tetap atau pegawai honor sudah tidak berlaku lagi dan berganti menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja yang selanjutnya disingkat PPPK.
Berdasarkan UU ASN PPPK adalah warga
negara Indonesia yang memenuhi syarat tertentu, yang diangkat berdasarkan perjanjian kerja untuk jangka waktu tertentu dalam rangka melaksanakan tugas pemerintahan. PPPK sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf b Undang – Undang ASN merupakan Pegawai ASN yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian sesuai dengan kebutuhan 21
Instansi Pemerintah dan ketentuan Undang-Undang. Pengadaan PPPK harus dilakukan melalui beberapa tahapan, yaitu: 1. Perencanaan pengadaan PPPK 2. Pengumuman lowongan PPPK 3. Pelamaran 4. Seleksi 5. Pengumuman hasil seleksi 6. Pengangkatan menjadi PPPK Proses penerimaan PPPK hampir sama dengan proses pengadaan CPNS dari kalangan umum.
Setiap tahapan proses rekrutmen dilakukan dengan
penilaian objektif berdasarkan kompetensi, kualifikasi, kebutuhan Instansi Pemerintah dan persyaratan lain yang dibutuhkan dalam jabatan. Persyaratan untuk menjadi seorang PPPK adalah yang bersangkutan harus memiliki masa kerja sebagai honorer dan memenuhi persyaratan sesuai dengan perundangan yang berlaku. Persyaratan untuk menjadi PPPK pada umumnya adalah hampir sama dengan persyaratan untuk menjadi PNS, yang menjadi perbedaan mencolok diantara keduanya adalah dari segi umur dimana seorang pelamar PPPK bisa berumur lebih dari 35 tahun sedangkan umur dari seorang CPNS dibatasi sampai dengan umur 35 tahun.
22
2.3.
Kompetensi Sumber Daya Manusia Kompetensi
sumber
daya
manusia
mencakup
kapasitasnya,
yaitu
kemampuan seseorang atau individu, suatu organisasi (kelembagaan), atau suatu sistem untuk melaksanakan fungsi-fungsi atau kewenangannya untuk mencapai tujuannya secara efektif dan efisien. Kapasitas harus dilihat sebagai kemampuan untuk mencapai kinerja, untuk menghasilkan keluaran-keluaran (outputs) dan hasil-hasil (outcomes). Tjiptoherijanto (2001) dalam Winidyaningrum, Celviana dan Rachmawati. (2010) menyatakan ‘untuk menilai kapasitas dan kompetensi sumber daya manusia dalam melaksanakan suatu fungsi, dapat dilihat dari level of responsibility dan kompetensi sumberdaya tersebut’.
Tanggung jawab dapat
dilihat dari atau tertuang dalam deskripsi jabatan. Deskripsi jabatan merupakan dasar untuk melaksanakan tugas dengan baik. Tanpa adanya deskripsi jabatan yang jelas, sumberdaya tersebut tidak dapat melaksanakan tugasnya dengan baik. Sedangkan kompetensi dapat dilihat dari latar belakang pendidikan, pelatihanpelatihan yang pernah diikuti, dan dari keterampilan yang dinyatakan dalam pelaksanaan tugas. ‘Kompetensi merupakan suatu karakteristik dari seseorang yang memiliki keterampilan (skill), pengetahuan (knowledge), dan kemampuan (ability) untuk melaksanakan suatu pekerjaan’ (Hevesi, 2005) dalam Winidyaningrum, Celviana dan Rachmawati (2010).
Menurut beberapa pakar, kompetensi adalah
karakteristik yang mendasari seseorang mencapai kinerja yang tinggi dalam pekerjaannya. Pegawai yang tidak mempunyai pengetahuan yang cukup akan
23
bekerja tersendat-sendat dan juga mengakibatkan pemborosan bahan, waktu, dan tenaga. Dunnetts (2004: 110) menyatakan ‘skill adalah kapasitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan suatu rangkaian tugas yang berkembang dari hasil pelatihan dan pengalaman’. Blanchard & Thacker (2004), ‘skill seseorang tercermin dari seberapa baik seseorang dalam melaksanakan suatu kegiatan yang spesifik seperti mengoperasikan
suatu
peralatan,
berkomunikasi
efektif,
atau
mengimplementasikan suatu strategi bisnis’. Dharma (2005: 47) menyatakan “kemampuan identik dengan kompetensi yang dimiliki yang mengacu kepada dimensi prilaku dari sebuah peran perilaku yang diperlukan seseorang untuk dapat melaksanakan pekerjaannya secara memuaskan”. Berikut ini terdapat beberapa daftar kompetensi dalam manajemen kinerja menurut Amstrong (2005: 59) yaitu : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Pengetahuan kerja dan professional Kesadaran organisasi/konsumen Komunikasi Keahlian interpersonal Kerjasama tim Inisiatif Keahlian Analitis Produktifitas Kualitas Manajemen/pengawas Kepemimpinan
Kompetensi didefinisikan (Mitrani et al, 1992 ; Spencer and spencer, 1993) dalam Dharma (2005: 109) sebagai ‘an underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterionreferenced effektive and or superior performance in a job or situasion’. Atau karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannya.
24
Ada 3 kata penting untuk dipahami dari pengertian ini (1) Underlying characteristics mengandung arti kompetensi adalah bagian kepribadian yang mendalam dan melekat kepada seseorang serta perilaku yang dapat diprediksi pada berbagai keadaan dan tugas pekerjaan. (2) Causally Related berarti kompetensi adalah suatu yang menyebabkan atau memprediksi perilaku dan kinerja. (3) Criterionreferenced mengandung makna bahwa kompetensi sebenarnya memprediksi siapa yang berkinerja baik dan kurang baik, diukur dari criteria atau standar yang digunakan.
Maka dapat disimpulkan bahwa
kompetentsi seorang individu merupakan sesuatu yang melekat dalam dirinya yang dapat digunakan untuk memprediksi tingkat kinerjanya.
Sesuatu yang
dimaksud bisa menyangkut motif, konsep diri, sifat, pengetahuan maupun kemampuan/keahlian. Spencer and Spencer (1993), Mitrani et al. (1992) menyatakan terdapat 5 (lima) karakteristik kompetensi, yaitu: (1) Knowledge (2) Skill (3) Motives (4) Traits (5) Self-Concept. (1) Knowledge adalah pengetahuan yang dimiliki seseorang untuk bidang tertentu. Pengetahuan merupakan kompetensi yang kompleks karena sampai saat ini tes pengetahuan tetap tidak bisa mengukur pengetahuan dan keahlian seperti apa yang seharusnya dilakukan dalam pekerjaan. Tes pengetahuan mengukur kemampuan peserta tes untuk memilih jawaban yang benar tetapi tidak bisa melihat apakah seseorang dapat melakukan pekerjaan berdasarkan pengetahuan yang dimilikinya.
25
(2) Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan suatu tugas tertentu baik secara pisik maupun mental. (3) Motives adalah drive, direct and select behavior ti ward certain actions or goals and away from other. Seseorang memiliki motif berprestasi secara konsisten mengembangkan tujuan-tujuan yang memberikan tantangan pada dirinya dan bertanggungjawab penuh untuk mencapai tujuan tersebut serta mengharapkan feed back untuk memperbaiki dirinya. (4) Traits adalah watak yang membuat orang untuk berprilaku atau bagaimana seseorang merespon sesuatu dengan cara tertentu. (5) Self-concept adalah sikap dan nilai-nilai yang dimiliki seseorang. Berdasarkan Keputusan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor : 43/Kep/2001 Tanggal 20 Juli 2001 ada beberapa standar Kompetensi yang ditentukan yang harus dimiliki oleh jenjang Jabatan Struktural Eselon III dan IV sebagai berikut : Standar Kompetensi Umum Jabatan Struktural Eselon III : 1. Mampu memahami dan mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasinya. 2. Mampu memberikan pelayanan-pelayanan yang baik terhadap kepentingan publik sesuai dengan tugas dan tanggung jawab unit organisasinya. 3. Mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris. 4. Mampu melakukan pengorganisasian dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawab unit organisasinya. 5. Mampu melakukan pendelegasian wewenang terhadap bawahannya. 6. Mampu mengatur/mendayagunakan sumberdaya-sumberdaya untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas unit organisasi. 7. Mampu membangun jaringan kerja/melakukan kerjasama dengan instansi-instansi terkait dalam organisasi maupun di luar organisasi untuk meningkatkan kinerja unit organisasinya.
26
8. 9. 10. 11. 12. 13. 14.
15.
Mampu melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam unit organisasinya Mampu menumbuh-kembangkan inovasi, kreasi dan motivasi pegawai untuk mengoptimalkan kinerja unit organisasinya. Mampu menetapkan kegiatan-kegiatan yang tepat dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam unit organisasinya. Mampu mendayagunakan teknologi informasi yang berkembang dalam menunjang kelancaran pelaksanaan tugas. Mampu menetapkan kegiatan-kegiatan pengawasan dan pengendalian dalam unit organisasinya. Mampu memberikan akuntabilitas kinerja unit organisasinya. Mampu melakukan evaluasi kinerja unit organisasinya/unit organisasi dibawahnya dan menetapkan tindak lanjut yang diperlukan. Mampu memberikan masukan-masukan tentang perbaikan/pengembangan program kepada pejabat atasannya tentang kebijakankebijakan maupun pelaksanaannya
Standar Kompetensi Umum Jabatan Struktural Eselon IV : 1. Mampu memahami dan mewujudkan kepemerintahan yang baik (good governance) dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawab organisasinya. 2. Mampu memberikan pelayanan prima terhadap publik sesuai dengan tugas dantanggung jawab unit organisasinya. 3. Mampu melaksanakan pengorganisasian dalam rangka pelaksanaan tugas dan tanggung jawab unit organisasinya. 4. Mampu mengatur/mendayagunakan sumberdaya-sumberdaya untuk mendukung kelancaran pelaksanaan tugas unit organisasi. 5. Mampu mengambil keputusan yang tepat sesuai dengan kewenangan dan prosedur yang berlaku di unit kerjanya. 6. Mampu membangun jaringan kerja/melakukan kerjasama dengan unit-unit terkait baik dalam organisasi maupun di luar organisasi untuk meningkatkan kinerja unit organisasinya. 7. Mampu melakukan koordinasi, integrasi dan sinkronisasi dalam unit organisasinya. 8. Mampu menumbuh-kembangkan inovasi, kreasi dan motivasi pegawai untuk mengoptimalkan kinerja unit organisasinya. 9. Mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia dalam unit organisasinya. 10. Mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan pengawasan dan pengendalian dalam unit organisasinya. 11. Mampu memberikan akuntabilitas kinerja unit organisasinya. 12. Mampu melakukan evaluasi kinerja unit organisasi dan para bawahannya dan menetapkan tindak lanjut yang diperlukan.
27
13. Mampu memberikan masukan-masukan tentang perbaikanperbaikan/ pengembangan-pengembangan kegiatan-kegiatan kepada pejabat diatasnya 2.4. Budaya Kerja 2.4.1. Pengertian Budaya Poespowardojo (dalam Tanjung et al. 2002: 32), budaya secara harfian berasal dari Bahasa Latin, yaitu colore yang memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang. Selanjutnya, budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta, yaitu buddhayah yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Koentjaraningrat (1984), budaya adalah keseluruhan sistem gagasan tindak dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan cara belajar. Jadi sederhananya, bahwa budaya adalah kristalisasi nilai-nilai dan tata cara hidup yang dianut suatu komunitas atau kelompok.
Budaya tiap
komunitas tumbuh dan berkembang secara unik karena perbedaan pola hidup komunitas. Dalam praktik yang lebih sempit budaya juga menunjukkan pola kerja yang terdapat pada suatu komunitas (Tanjung et al. 2002:33) 2.4.2. Pengertian Kerja Pada hakikatnya bekerja merupakan bentuk atau cara manusia untuk mengaktualisasikan dirinya. “Bekerja merupakan bentuk nyata dari nilainilai, keyakinan-keyakinan yang dianutnya dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya yang bermutu dalam pencapaian suatu tujuan (Kepmenpan No.25/KEP/M.PAN/04/2004)”.
28
2.4.3. Pengertian Budaya Kerja Budaya aparatur negara dapat dikenali wujudnya dalam bentuk nilainilai yang terkandung di dalamnya, institusi atau sistem kerja, serta sikap dan perilaku SDM aparatur yang melaksanakannya (Kepmenpan Nomor: 25/KEP/M.PAN/04/2002).
Sehingga budaya kerja aparatur negara dalam
keputusan tersebut diartikan sebagai sikap dan perilaku individu dan kelompok aparatur negara yang didasari atas nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari. Budaya kerja aparatur negara diharapkan akan bermanfaat bagi pribadi aparatur negara maupun unit kerjanya, dimana secara pribadi member kesempatan berperan, berprestasi dan aktualisasi diri, sedangkan dalam kelompok dapat meningkatkan kualitas kinerja bersama. Nilai-nilai, perilaku, dan falsafah yang dianut setiap orang mempunyai arti proses yang panjang yang terus menerus disempurnakan sesuai dengan tuntutan dan kemampuan sumber daya manusia itu sendiri sesuai dengan prinsip pedoman yang diakui. Sehingga budaya kerja dapat diartikan sebagai cara pandang yang menumbuhkan keyakinan atas dasar nilai-nilai yang diyakini pegawai untuk mewujudkan prestasi kerja terbaik. 2.4.4. Terbentuknya Budaya Kerja Budaya kerja terbentuk begitu satuan kerja atau organisasi berdiri. Sithi Amnuai dalam Ndraha (2003) menjelaskan “being developed as they learn to cope with problems of external adaption and internal integration” artinya pembentukan budaya kerja terjadi tatkala lingkungan kerja atau organisasi
29
belajar menghadapi masalah, baik yang menyangkut perubahan-perubahan eksternal maupun internal yang menyangkut persatuan dan keutuhan organisasi. Diperlukan waktu yang cukup lama untuk membentuk budaya kerja. Pembentukan budaya kerja diawali oleh para pendiri (founders) atau pimpinan paling atas (top management) atau pejabat yang ditunjuk dimana besarnya pengaruh yang dimilikinya akan menemukan suatu cata tersendiri yang dijalankan dalam satuan kerja yang dipimpinnya. Budaya kerja dibangun dan dipertahankan yang ditunjukkan dari filsafat pendiri atau pimpinannya.
Tindakan pimpinan akan sangat
berpengaruh terhadap perilaku bawahannya untuk dapat diterima di lingkungan tempat kerjanya. Namun secara perlahan nilai-nilai tersebut dengan sendirinya akan terseleksi untuk melakukan penyesuaian terhadap perubahan yang pada akhirnya akan muncul budaya kerja yang diinginkan. Di Indonesia terdapat perilaku dan sikap budaya yang tercermin dari perilaku dan norma-norma kehidupan sehari-hari , hal ini tidak terlepas dari akar budaya yang dianut masyarakat atau bangsa yang bersangkutan. 2.5. Penelitian Terdahulu Toni Syamsir (2014) meneliti pengaruh peran inspektorat daerah dan budaya organisasi terhadap penerapan good governance pada Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD).
Penelitiannya dilakukan di Kota Bukittingggi.
Penelitian ini tergolong penelitian kausatif. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh SKPD kota Bukittinggi. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode total sampling, dan diperoleh 32 sampel di seluruh SKPD.
Jenis data yang
30
digunakan adalah data subyek, dan sumber data yang digunakan adalah data primer. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah dengan menggunakan kuesioner.
Analisis yang digunakan adalah analisis regresi berganda.
Hasil
pengujian menunjukkan bahwa : 1) peran inspektorat daerah tidak berpengaruh dan negatif terhadap penerapan good governance, dimana t hitung > t tabel yaitu -0,439 < 2,0017 (sig 0,663> 0,05) yang berarti H1 ditolak. 2) Budaya organisasi berpengaruh signifikan positif terhadap penerapan good governance, dimana t hitung > t tabel yaitu 4,852 > 2,20017 (sig 0,000 < 0,05) yang berarti H2 diterima. Dalam penelitian ini disarankan : (1) pemerintah menetapkan indikator kinerja agar kinerja pemerintah lebih mudah untuk diukur oleh auditor dan penerapan good governance dapat tercapai, (2) peningkatan peran budaya organisasi dalam pelayanan terhadap masyarakat dan (3) penelitian selanjutnya dapat menambahakan variabel-variabel lain yang berpengaruh terhadap penerapan good governance. Eka Nurmala Sari (2012), melakukan penelitian mengenai pengaruh budaya organisasi terhadap efektivitas penerapan akuntansi sektor publik serta dampaknya terhadap good governance. Penelitian dilakukan pada Satuan Kerja Perangkat Daerah di Kota Medan dengan menggunakan metode sensus. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan angket kuesioner dan browsing di Website Pemerintahan Kota Medan. Analisis data dan pengujian hipotesis dilakukan dengan menggunakan Path Analysis (Analisis Jalur).
31
No 1.
Peneliti
Tabel 2.1 Review Penelitian Terdahulu Variabel Penelitian Hasil Penelitian
Toni Syamsir Variabel Independen : (2014) Peran Inspektorat Daerah, Budaya Organisasi Daerah
Variable Dependen Good Governance
2.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa peran inspektorat daerah tidak berpengaruh terhadap penerapan good governance. Tetapi budaya daerah : organisasi berpengaruh terhadap penerapan good governance. Semakin baik budaya organisasi daerah maka akan sebaik juga penerapan good governance
Eka Nurmala Variabel Independen : Sari (2012) Budaya organisasi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa budaya organisasi berpengaruh signifikan terhadap Efektivitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik. Variabel Dependen : Selain itu budaya organisasi Akuntansi sektor publik, juga berpengaruh signifikan good governance terhadap Good Governance. Besaran pengaruh yang diberikan termasuk ke dalam kategori rendah. Hal ini menunjukkan bahwa budaya organisasi kurang mampu memberikan kontribusi dalam meningkatkan good governance sehingga belum mencapai tingkat maksimal yang diharapkan. Efektifitas Penerapan Akuntansi Sektor Publik berpengaruh signifikan terhadap Good Governance
32
2.6. Kerangka Konseptual Kerangka
konseptual
adalah
suatu
hubungan
atau
kaitan
yang
mencerminkan hubungan antara variabel satu dengan variabel lainnya dari penelitian yang sedang diteliti. Pada penelitian ini akan dianalisis hubungan antara kompetensi sumber daya manusia dan budaya kerja dalam mewujudkan good governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara.
Kerangka
konseptual penelitian ini dapat digambarkan sebagai berikut : Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) (X1) Budaya Kerja Organisasi
H1 Good Governance (Y) H2
(X2)
H3 Gambar 2.1 Kerangka konseptual
Good governance merupakan proses yang baik dalam penyelenggaraan kekuasaan negara dalam melaksanakan penyediaan public good and service di dalam governance (kepemerintahan).
Pelayanan publik merupakan tugas dan
tanggungjawab aparatur negara sebagai abdi masyarakat. Agar penyelenggaraan good governance berhasil tentu dibutuhkan sumber daya manusia yang kompeten. Kompetensi sumber daya manusia didefenisikan sebagai karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektifitas kinerja individu dalam pekerjaannya. Dalam menciptakan sumber daya manusia yang kompeten tentu
33
diperlukan lingkungan kerja yang mendukung, dalam hal ini lingkungan kerja dapat kerja diartikan sebagai budaya kerja. Budaya kerja adalah cara kerja seharihari yang bermutu dan selalu mendasari nilai-nilai yang penuh makna, sehingga menjadi motivasi, memberi inspirasi untuk senantiasa bekerja lebih baik dan memuaskan bagi masyarakat yang dilayani. 2.7. Hipotesis Hipotesis merupakan jawaban sementara terhadap rumusan masalah penelitian (Sugiyono, 2007:51).
Dari kerangka konseptual, maka dapat
dirumuskan hipotesis penelitian ini sebagai berikut: 1. Kompetensi sumber daya manusia berpengaruh dalam mewujudkan Good Governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara. 2. Budaya kerja organisasi berpengaruh dalam mewujudkan Good Governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara 3. Kompetensi sumber daya manusia dan budaya kerja organisasi berpengaruh dalam mewujudkan Good Governance di Inspektorat Kabupaten Labuhanbatu Utara
34