BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Bakteri Escherichia coli O157:H7 Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor Escherich pada tahun 1885. Sebagian besar dari E. coli berada dalam saluran pencernaan hewan dan manusia sebagai flora normal, namun ada yang bersifat patogen yang menyebabkan diare pada manusia dan hewan. Smith (1988) menyebutkan bahwa E. coli merupakan bakteri Gram negatif berbentuk batang pendek, memiliki panjang sekitar 2 μm, diameter 0,7 μm, lebar 0,40,7μm, dapat hidup soliter maupun berkelompok, umumnya motil dan bersifat fakultatif anaerob. E. coli membentuk koloni bundar, cembung, dan halus dengan tepi yang nyata. E. coli dikeluarkan dari saluran pencernaan melalui feses sebesar 108– 109 cfu/gram (Bettelheim, 2004). Diantara kelompok patogenik E. coli, Verotoksigenik E. coli (VTEC) telah banyak tersebar luas di sekitar kita. Toksin dari E. coli yang secara in vitro aktif terhadap sel Vero diketahui sangat mirip dengan Shiga toxin dari Shigella dysenteriae tipe 1 (O’brien et al., 1992). Sekitar tahun 1980, VTEC lebih banyak terjadi pada manusia yang disebabkan karena mengkonsumsi makanan asal ternak ruminansia seperti hamburger, sosis, dan mengkonsumsi susu yang belum dipasteurisasi (Mainil and Daube, 2005). Dilaporkan bahwa E. coli serotipe O157:H7 dapat menyebabkan terjadinya haemorrhagic colitis (HC) pada manusia, gejala spesifik terjadinya diare berdarah (Riley et al., 1983). Pada beberapa pasien selain menyebabkan haemorrhagic colitis (HC), E. coli serotipe O157:H7 dapat juga menyebabkan terjadinya haemolytic uremic syndrome (HUS), thrombocytopenia purpura (TPP) yang menyerang syaraf pusat. Kasus HUS lebih banyak terjadi pada anak-anak usia kurang dari 14 tahun. Pada tahun 1996 bulan Juni di kota Hiroshima Jepang sebanyak 65 orang anak menderita HUS dan pada bulan Agustus ditemukan sebanyak 9.578 kasus dengan 11 orang
meninggal dunia dan 90 anak mengalami HUS (Bettelheim, 2004). Di Indonesia telah dilaporkan sembilan kasus HUS dan empat diantaranya meninggal dunia (Tambunan et al., 2001). Saat ini, golongan EHEC terdiri dari semua E. coli yang diisolasi dari manusia, hewan dan makanan yang dapat memproduksi Stx dan menghasilkan lesi AE atau secara genetik dapat memproduksi keduanya (Mainil and Daube, 2005). Ciri-ciri VTEC O157 yaitu mampu tumbuh pada pH 4,5, kadar garam 6,5% dan bersifat tahan asam. Bakteri ini mati pada suhu 72oC selama 16,2 detik atau 70oC selama 2 menit (Berry dan Cutter, 2000). Doyle et al (2006) menyatakan bahwa VTEC O157 tahan terhadap pembekuan pada suhu -80oC dan 20oC selama 9 bulan. Makanan yang terkontaminasi VTEC 10 cfu/ml atau kurang dari 10 cfu/g dapat menimbulkan infeksi pada manusia, sedangkan Campylobacter sp. 500– 105cfu/ml atau 500 – 105cfu/g dan Salmonella sp. 109cfu/ml atau 109cfu/g (McKee et al., 2003). Verotoksin merupakan antigenik yang dihasilkan dari VTEC. Toksin ini disebut juga dengan Shiga like toxin (Stx). Perbedaan verotoksin dan Stx terletak pada gen penyandinya, tetapi struktur kimia dan aktivitas biologisnya sama (Mainil, 1999). Kelompok EHEC O157:H7 dibawa oleh ternak ruminansia dalam jumlah besar terdapat dalam saluran pencernaan dan berpotensi untuk mencemari produk makanan yang berasal dari hewan. Feses yang mengandung E. coli O157:H7 lebih banyak diekskresikan pada sapi yang berumur kurang dari dua tahun, sedangkan pada ternak yang dewasa berkolonisasi di dalam usus dalam waktu yang cukup lama. Pada ternak, E. coli O157:H7 bersifat karier atau tidak patogenik. Kontaminasi E. coli O157:H7 dapat terjadi pada saat pemerahan susu, pemotongan ternak dan pada saat pemrosesan karkas (Mainil dan Daube, 2005). Infeksi E. coli O157:H7 pada manusia dapat terjadi dua macam yaitu langsung dan tidak langsung. Jalur langsung yaitu melalui konsumsi dari daging dan produk olahannya
seperti roti tawar dengan isi daging sapi, daging babi, buah dan sayur yang terkontaminasi feses. Sedangkan jalur tidak langsung atau non food borne seperti terjadi pada air dalam kolam renang yang terkontaminasi
E. coli O157:H7 dan juga kontak antar manusia
(Blanco et al., 2004). Adanya hasil temuan E. coli O157:H7 pada feses dan daging domba di Yogyakarta sebesar 13,2% dan 2,6% (Sumiarto, 2004) dan temuan Suardana et al., (2007) dan Suardana et al., (2008) yang berhasil mengidentifikasi E. coli O157:H7 di Kabupaten Badung, Bali pada feces sapi sebesar 7,61%, pada daging sapi sebesar 5,62% dan pada feses manusia sebesar 1,3%. Gambaran penularan dari infeksi E. coli O157:H7 asal hewan ke manusia selalu berhubungan dengan food borne disease (Gambar 1). Food borne disease dapat terjadi di masyarakat, lingkungan sekolah, dan pada orang tua yang kondisi kesehatannya menurun.
Gambar 1. Food borne disease E. coli O157:H7 (Sumber: SCIEH, 2001).
2.2 Shiga Toxin (Stx) Shiga toxin (Stx) paling dikenal sebagai faktor virulensi penting dalam penyakit manusia dimediasi oleh E. coli O157:H7. Strain ini bertanggung jawab atas wabah yang
terjadi di AS pada tahun 1982 didokumentasikan pertama yaitu dengan gejala klinis berupa Haemorrhagic Colitis (HC) (Riley et al 1983). Sejak itu, kejadian E. coli O157:H7 terkait penyakit terus meningkat tiap tahunnya, dengan sekitar 73.000 kasus dan 60 kematian saat ini terjadi setiap tahun di Amerika Serikat. Kedua varian Stx yang diproduksi oleh E. coli dikenal sebagai Stx1 dan Stx2 yang diketahui mirip dengan Shiga toksin yang diproduksi oleh Shigella dysenteriae, yang pertama kali diidentifikasi lebih dari 100 tahun yang lalu (Steve and Gerald, 2011). Shiga like toxin sebagai marker virulensi dari E. coli O157:H7 khususnya untuk Shiga like toxin 1 (Stx1), diketahui memiliki kemiripan yang tinggi dengan Shiga Toxin (St). Struktur antigenik Shiga like toxin 1 (Stx1) sama dengan Shigella dysenteriae tipe 1 dengan tingkat homologi sebesar 98% yang diketahui hanya memiliki perbedaan satu asam amino dan bersifat dapat dinetralkan oleh antiserum anti Stx (O’Loughlin and Robins, 2001). Suardana et al, (2013) melaporkan bahwa penderita yang terinfeksi oleh Stx-1 cenderung menderita gastrointestinal dengan gejala diare berdarah jika dibandingkan dengan Stx-2. Toksin yang dihasilkan oleh E. coli O157: H7 dalam lumen usus manusia dapat masuk ke lapisan usus bagian lebih dalam, yang diperantarai oleh adanya faktor virulen yang lain yaitu intimin. Faktor virulen intimin dapat menyebabkan munculnya attaching dan effacing lesion sehingga terjadi Locus of Enterocyte Effacement (LEE). Bakteri EHEC menghasilkan faktor protein EspA dan EspB yang dapat membantu terjadinya penempelan pada epithel usus, dengan dibantu adanya gene eae yang terdapat pada bakteri EHEC. Setelah bakteri EHEC berhasil menempel pada epitel usus dan menimbulkan lesi maka bakteri dan toksin yang telah dihasilkan dalam lumen usus dapat menembus ke bagian lapisan yang lebih dalam dan menembus lapisan endothel sehingga masuk kedalam aliran darah. Faktor virulen hemolysin (hlyA) dikode oleh adanya faktor plasmid yang terdapat di dalam bakteri EHEC. EHEC yang menempel pada sel epitel akhirnya menyebabkan terjadinya attaching dan effacing lesion yang diikuti dengan lepasnya microvilli serta terjadinya bentuk perlekatan
“pedestal”. Selanjutnya Shiga toxin yang telah dihasilkan akan masuk ke bagian yang lebih dalam dan meninggalkan lumen sehingga menyebabkan efek sistemik. Hal ini berdampak pada semakin meningkatnya uptake toksin karena meningkatnya permeabilitas mukosa. Selanjutnya akan berdampak pada aktivasi pelepasan elemen protombin sehingga terjadi perdarahan pada daerah kolon atau terjadinya diare berdarah (O’Loughlin and Robins, 2001).
2.3 Kecamatan Kuta Selatan Kecamatan Kuta Selatan terletak di selatan Badung tepatnya antara 8º46’58.7” LS dan 115º05’00”–115º10’41.3” BT. Sebagian besar wilayah Kuta Selatan merupakan daerah perbukitan batu kapur yang dikeliling pantai dengan luas mencapai 101,13 km2. Letak geografis kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 0-28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan mempunyai 6 kelurahan/desa yaitu Pecatu, Ungasan, Kutuh, Benoa, Tanjung Benoa dan Jimbaran. Kondisi alam yang sebagian besar merupakan batu kapur, maka masyarakat lebih mengandalkan pekerjaan di sektor jasa. ini terlihat dari komposisi penggunaan lahan dimana paling banyak (36,10%) digunakan untuk bangunan terutama perumahan dan infrastuktur pariwisata. Pertanian yang merupakan pertanian lahan kering seperti perkebunan jambu mete, kelapa dan kapuk. Seluruh desa/kelurahan berbatasan langsung dengan pantai yang difungsikan sebagai obyek wisata. Luas kuta selatan sekitar 24,16% dari luas badung, suhu udara di kuta selatan relatif panas karena terdapat banyak batu kapur yang merupakan bahan galian utama di badung. Luasnya adalah 101,13 km 2, dengan curah hujan rata-rata 1.976,0 mm. (Badan Pusat Statistik Badung, 2010). Kecamatan Kuta Selatan merupakan salah satu tujuan yang diminati oleh para pendatang selain daerah lainnya di kabupaten Badung, ini terlihat dari pertumbuhan penduduk yang dominan disebabkan oleh migrasi pendatang, juga dari piramida penduduk
diatas dimana penduduk usia produktif (15-64 tahun) mencapai 69,35 persen dari total penduduk (Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2010).
2.4 Polimerase Chain Reaction (PCR) Polymerase Chain Reaction (PCR) adalah suatu metode enzimatis untuk melipatgandakan secara eksponensial suatu sekuen nukleotida tertentu dengan cara in vitro. Metode ini sekarang telah digunakan untuk berbagai macam manipulasi dan analisis genetik. Metode PCR sangat sensitif, karena dapat digunakan untuk melipatgandakan satu molekul DNA. Dengan metode PCR, dapat diperoleh pelipatgandaan suatu fragmen DNA (110 bp, 5 x 10-19 mol) sebesar 200.000 kali setelah dilakukan 20 siklus reaksi selama 220 menit (Mullis and Faloona, 1989 dalam Yuwono, 2006). Panjang target DNA berkisar antara puluhan sampai ribuan nukleotida yang posisinya diapit oleh sepasang primer. Primer yang berada sebelum daerah target disebut dengan primer forward dan yang berada setelah daerah target disebut primer reverse. Prinsip melipatgandakan jumlah molekul DNA pada target yang diinginkan melalui teknik PCR yaitu pada suhu 950 C, molekul DNA mengalami denaturasi sehingga strukturnya berubah dari untaian ganda menjadi untaian tunggal. Pada suhu berkisar antara 500 C-600 C, primer forward yang urutan nukleotidanya berkomplemen dengan salah satu untai tunggal akan menempel pada posisi komplemennya, demikian juga primer reverse akan menempel pada untai tunggal lainnya. Setelah kedua primer menempel pada posisi masing-masing, ensim polymerase mulai mensintesis molekul DNA. Sintesa molekul terjadi pada suhu 720 C. proses ini disebut sebagai ekstensi, satu molekul DNA ganda akan berlipat jumlahnya menjadi dua molekul DNA. Proses dari denaturasi, penempelan, dan ekstensi disebut sebagai satu siklus. Proses PCR biasanya berlangsung 35-40 siklus (Muladno, 2002).
Empat komponen utama pada proses PCR adalah 1) DNA cetakan, yaitu fragmen DNA yang akan dilipatgandakan, 2) oligonukleotida primer, yaitu suatu sekuen oligonukleotida pendek (15-25 basa nukleotida) yang digunakan untuk mengawali sintesis rantai DNA, 3) deoksiribonukleotida trifosfat (dNTP), terdiri atas dATP, dCTP, dGTP, dTTP. Konsentrasi masing-masing dNTP yang diperlukan dalam PCR berkisar antara 20-200 µM dan keempat dNTP yang digunakan sebaiknya mempunyai konsentrasi yang sama untuk memperkecil kemungkinan kesalahan penggabungan nukleotida selama proses polimerisasi, dan 4) enzim Taq DNA polymerase, yaitu enzim yang melakukan katalisis reaksi sintesis rantai DNA, enzim ini tahan terhadap suhu tinggi yaitu 75-80o C yang diperlukan untuk memisahkan rantai DNA cetakan. Senyawa tambahan lain yang dapat meningkatkan efisiensi polimerisasi Taq DNA polimerase adalah DMSO, gelatin, gliserol dan ammonium sulfat. Komponen lain yang juga penting adalah senyawa buffer. Buffer yang dianjurkan untuk melakukan PCR adalah 10-50 mM Tris-HCl, pH 8,3 - 8,8 pada suhu 20oC (Yuwono, 2006).