BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri Escherichia coli O157:H7 Escherichia coli dikenal sebagai salah satu bakteri yang menyebabkan gangguan pencernaan pada manusia. Bakteri Escherichia coli pertama kali ditemukan oleh Theodor Escherich pada tahun 1885 (Merck, 1992). Penyebaran E. coli dapat terjadi dengan cara kontak langsung (bersentuhan, berjabatan tangan dan sebagainya) kemudian diteruskan melalui mulut, akan tetapi E. coli pun dapat ditemukan tersebar di alam sekitar kita. Penyebaran secara pasif dapat terjadi melalui makanan atau minuman. Diketahui bahwa E. coli serotipe O157:H7 dapat menyebabkan terjadinya haemorrahgic colitis (HC), haemolytic uremic syndrome (HUS), thrombocytopenia purpura (TPP) yang menyerang syaraf pusat. Escherichia coli 0157:H7 merupakan bentuk mutan dari E. coli yang biasanya ditemukan pada saluran pencernaan ternak sapi, domba, kambing, babi dan ayam. E. coli O157:H7 dalam saluran pencernaan hewan terutama pada umur tua tidak menyebabkan hewan tersebut menderita sakit. Serotipe E. coli O157: H7 adalah gram negatif berbentuk batang. Huruf “O” dalam nama merujuk kepada nomor antigen somatik, sedangkan “H” merujuk kepada antigen flagella (Arthur et al., 2010). Escherichia coli strain O157:H7 memproduksi Shiga toxin (seperti racun), menyebabkan sakit parah, dan merupakan anggota dari kelas E. coli patogen (penyebab penyakit) yang dikenal sebagai Enterohemorrhagic Escherichia coli atau EHEC. Terkadang juga akibat kemampuannya memproduksi toksin atau Verocytotoxin E. coli (VTEC), sering disebut sebagai Shiga-like Toxin producing E. coli (STEC) (Arthur, 2010).
Escherichia coli O157:H7 dalam saluran pencernaan hewan tidak menyebabkan hewan tersebut menderita sakit. Tetapi hewan yang dalam saluran pencernaannya terdapat bakteri E. coli O157:H7 maka hewan tersebut adalah sebagai carrier, yang dapat menyebarkan bakteri ini baik ke hewan lain maupun ke manusia. Sebagai bakteri yang bersifat patogen, E. coli O157:H7 memiliki beberapa faktor virulen yang membantu bakteri menyerang induk semangnya pada saluran pencernaan manusia. Shiga-like toxin (SLT) atau shiga toxin yaitu Stx 1 dan Stx 2 adalah salah satu faktor virulen dari E. coli O157:H7 yang utama (Mainil and Daube, 2005).
2.2 Shiga-like Toxin 2 (Stx 2) Shiga-like toxin 2 (Stx2) merupakan salah satu faktor virulensi yang paling penting dari Enterohaemorrhagic Escherichia coli seperti strain O157:H7. Stx-2 (shiga like toxin-2) yang pertama kalinya diperkenalkan oleh Karmali dan kawan-kawan sebagai toksin yang dapat menyebabkan gejala Hemolytic Uremic Syndrome atau HUS (O’Loughlin and Robin-Browne, 2001). Toksin Stx-2 memiliki beberapa varian yaitu Stx2a, Stx2b, Stx2c, Stx2d, Stx2d-activatable, Stx2e, Stx2f, dan Stx2g yang masing-masing memiliki aktifitas biologis yang berbeda-beda dalam menimbulkan penyakit pada tubuh hospes (Mainil dan Daube, 2005). Fraser et al. (2004) menjelaskan bahwa jika E. coli O157:H7 dari penderita hanya menghasilkan toksin Stx 2, maka penderita akan lebih berpeluang untuk menderita HUS.
2.3 Polymerase Chain Reaction (PCR) Polymerase chain reaction (PCR) pertama kali ditemukan oleh Karry Mullis pada tahun 1985. Polymerase chain reaction (PCR) adalah suatu teknik yang melibatkan beberapa tahap yang berulang (siklus) dan pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah target DNA untai ganda.
Untai ganda DNA templat (unamplified DNA) dipisahkan dengan denaturasi termal dan kemudian didinginkan hingga mencapai suatu suhu tertentu untuk memberi waktu pada primer menempel (anneal primers) pada daerah tertentu dari target DNA. Polymerase chain reaction (PCR) merupakan suatu metode otomatis dengan tingkat sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi (Meng et al., 1994 dalam Miyamoto et al ., 2002). Metode ini telah banyak digunakan oleh para peneliti di dalam mendeteksi gen shiga-like toxin (stx) baik stx1 maupun stx2 (gen yang mengatur ekspresi toksin Stx1 dan Stx2), dan gen aea (gen yang mengatur ekspresi protein yang berkaitan dengan attaching and effaching) dari enterohaemorrahagic E. coli (EHEC) 0157:H7 (Begun et al., 1993 dalam Miyatomo et al., 2002). Proses PCR melibatkan beberapa tahap yaitu: (1) pra-denaturasi DNA; (2) denaturasi DNA; (3) penempelan primer (annealing); (4) pemanjangan primer (extension) dan (5) pemantapan (postextension). Tahap 2 sampai dengan 4 merupakan tahapan berulang (siklus), dimana pada setiap siklus terjadi duplikasi jumlah DNA. 2.4 Sapi Bali Sapi Bali merupakan hasil domestikasi dari banteng (Bibos banteng) habitat aslinya di Pulau Bali. Sapi bali merupakan sapi potong asli Indonesia dan merupakan sapi asli Pulau Bali. Sapi bali menjadi primadona sapi potong di Indonesia karena mempunyai kemampuan reproduksi tinggi, serta dapat digunakan sebagai ternak kerja di sawah dan ladang, persentase karkas tinggi, daging tanpa lemak, heterosis positif tinggi pada persilangan, daya adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan dan persentase kelahiran dapat mencapai 80 persen (Yupardhi, 2009). Secara umum Sapi (sapi bali) diketahui sebagai reservoir utama dari Verocytotoxinproducing Escherichia coli O157, sekaligus sebagai sumber penularan utama ke manusia. Dibuktikan dari penelitian yang dilakukan oleh Suardana et al., (2005) menggunakan uji
aglutinasi VTEC-RPLA pada feses sapi dan daging sapi berhasil mengidentifikasi terhadap ke-7 isolat E. coli O157:H7 (hasil isolasi dari 92 sampel feses sapi), dan 4 isolat asal daging sapi (hasil isolasi dari 89 sampel daging sapi), menunjukkan bahwa sebanyak 3 dari 7 isolat asal feses sapi (42,86%), dan 1 dari 4 isolat asal daging (25%) positif menghasilkan Shiga like toxin 1 (VT1). Dan 4 dari ke-7 isolat asal feses sapi (57,14%) dan 1 dari 4 isolat asal daging sapi (25%) positif menghasilkan Shiga like toxin 2 (VT2).
2.5 Kecamatan Kuta Selatan Kecamatan Kuta Selatan merupakan daerah perbukitan kapur dan dikelilingi pantai dengan luas mencapai 101,13 km2.. Letak geografis Kecamatan Kuta Selatan berada di ketinggian sekitar 28 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Kuta Selatan secara administratif terdiri dari 3 Desa dan 3 Kelurahan yaitu Desa Pecatu, Desa Ungasan, Desa Kutuh, Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa dan Kelurahan Jimbaran. Seluruh desa berbatasan langsung dengan pantai yang difungsikan sebagai obyek wisata. Luas wilayah Kuta Selatan sekitar 24,16% dari luas Kabupaten Badung. Suhu udara di Kecamatan Kuta Selatan relatif panas karena terdapat banyak batu kapur dan suhu relatif di Kuta Selatan rata-rata mencapai 30˚C (Badan Pusat Statistik Kabupaten Badung, 2013). Kecamatan Kuta Selatan merupakan salah satu tujuan para pendatang selain daerah lainnya di Kabupaten Badung, terlihat dari pertumbuhan penduduk yang dominan disebabkan oleh migrasi pendatang. Kecamatan Kuta Selatan mempunyai obyek wisata yang cukup terkenal di Badung seperti pantai. Wisatawan asing maupun lokal setiap tahunnya banyak yang datang, maka dari itu penelitian tentang deteksi gen stx 2 pada E. coli di Kecamatan Kuta Selatan perlu dilakukan mengingat hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Hananto (2014), yang berhasil
mendeteksi positif E. coli O157:H7 sebagai agen zoonosis dari feses sapi bali di Kecamatan Kuta Selatan.