II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Manggis (Garcinia mangostana L.) Manggis (Garcinia mangostana L.) adalah tanaman daerah tropika yang diyakini berasal dari Kepulauan Nusantara. Tumbuh hingga mencapai 7 sampai 25 meter dengan buah berwarna merah keunguan ketika matang meskipun ada pula varian yang kulitnya berwarna merah. Buah manggis dalam perdagangan dikenal sebagai ratu buah dengan klasifikasi botani pohon manggis sebagai berikut: Divisi
: Spermotophyta
Subdivisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledone
Family
: Guttiferae
Genus
: Garcinia
Species
: Garcinia mangostana
(Anonim, 2009). Tanaman manggis umumnya memiliki adaptasi yang luas terhadap berbagai jenis tanah, namun untuk pertumbuhan yang baik tanaman manggis menghendaki tanah dengan tekstur liar berpasir dan berstruktur. Derajat keasaman tanah yang dikehendaki adalah 5-7 (agak masam sampai netral). Kedalaman air tanah yang cocok untuk hidup manggis berkisar 0.5-2 m. Ketinggian tempat antara 0-600 m di atas permukaan laut (dpl) dengan suhu berkisar antara 25-300C sangat cocok sebagai tempat bertumbuh dan berproduksi manggis yang optimum. Curah hujan 1270-2500 mm/tahun dengan 10 bulan basah dalam satu tahun dan kelembaban udara sekitar 80% dan intensitas cahaya matahari yang optimum (Verherj, 1997). Manggis tergolong sebagai buah buni yang mempunyai kulit buah tebal namun mudah dipecah, dengan biji berlapis (pulp) yang mempunyai rasa manis asam (Pantastico, 1986). Komposisi bagian buah yang dimakan per 100 gram meliputi 79.2 g air, 0.5 g protein, 19.8 g karbohidrat, 0.3 g serat, 11 mg kalsium, 17 mg fosfor, 0,9 mg besi, 66 mg vitamin C, vitamin B (tiamin) 0,09 mg, vitamin B2 (riboflavin) 0,06 mg, dan vitamin B5 (niasin) 0,1 mg (Qonytah, 2004).
Buah manggis terdiri atas bagian-bagian seperti tangkai atau mahkota, perikarp, daging buah, dan biji. Sebagian besar kandungan kulit buah manggis adalah tanin dan xanthone sehingga kulit manggis berwarna cokelat, merah, dan sewaktu matang berubah menjadi ungu atau lembayung tua. Kulit buah manggis memiliki permukaan yang licin dan keras. Buah ini juga bergetah, namun semakin tua getahnya akan semakin berkurang. Kulit buah manggis kaya akan pektin, tanin, zat warna hitam, dan zat antibiotik xanthone (Verherj, 1997). Adanya kandunga tanin menyebabkan rasa dari kulit manggis menjadi sangat pahit. Tanin secara umum didefinisikan sebagai senyawa polifenol yang memiliki berat molekul cukup tinggi (lebih dari 1000) dan dapat membentuk kompleks dengan protein. Senyawa tanin umumnya dapat larut dengan pelarut dari polar sampai semipolar (Hernawan dan Setyawan, 2003). Adapun menurut Nurkamari dan Purnomo (1979), dikatakan bahwa kulit buah manggis mempunyai daya reduksi sebanding dengan daya reduksi asam askorbat. Berikut ini adalah hasil analisis penelitian terhadap kulit buah manggis. Tabel 1 Komposisi kulit buah manggis Komponen Kadar Protein Serat Kasar Pati Kadar Tannin Kadar Zat yang terlarut di dalam isoheksana Kadar Abu
% Berat kering sedikit 29.4 1.1 4.5 4.5
Sumber: Setyawati, 2000 B. Xanthone Xanthone adalah kelompok senyawa bioaktif yang mempunyai struktur cincin 6 karbon dengan kerangka karbon rangkap. Struktur ini membuat xanthone sangat stabil dan serbaguna. Xanthone tergolong derivat dari difenil-γ-pyron, yang memiliki nama IUPAC 9H-xantin-9-on. Xanton terdistribusi luas pada tumbuhan tinggi, tumbuhan paku, jamur, dan tumbuhan lumut. Sebagian besar xanton ditemukan pada tumbuhan tinggi yang dapat diisolasi dari empat suku, yaitu Guttiferae, Moraceae, Polygalaceae dan Gentianaceae (Sluis, 1985).
Menurut Obolskiy et al. (2009), xanthone merupakan kelas utama phenol dalam tanaman. Xanthone memiliki kandungan senyawa yang meliputi mangostin, mangostenol, mangostinon A, mangostenon B, trapezifolixanthone, tovophyllin B, -mangostin, β-mangostin, garcinon B, mangostanol, flavonoid epicatechin, dan gartanin. Senyawa tersebut sangat bermanfaat untuk kesehatan. Dari seluruh senyawa yang ada, turunan xanthone berupa -mangostin merupakan komponen yang paling banyak terdapat pada kulit manggis. Selain jumlahnya yang lebih banyak, -mangostin juga memiliki aktivitas biologi yang paling baik (Parveen et al., 1991). Adanya kandungan xanthone dalam kulit manggis bertindak sebagai antioksidan, antiproliferatif (penghambat pertumbuhan kanker), antiinflamasi, dan antimikrobial. Sifat antioksidannya ini akan melebihi vitamin E dan vitamin C. Selain itu, menurut Jastrzebska et al. (2003) senyawa turunan xanthone juga diketahui memiliki aktivitas yang berbeda-beda pada sistem saraf pusat diantaranya analeptik, antiepileptik, antitumor, dan antialergi. Berbagai hasil penemuan akan kegunaan xanthone pada kulit buah manggis mendorong berkembangnya industri pengolahan kulit manggis dengan merk xango juice yang diproduksi di Malaysia yang kemudian diekspor ke seluruh dunia terutama Amerika, sedangkan di Amerika penjualan juice mangosteen menempati peringkat ke 22 dalam USA top selling suplement pada tahun 2006 (Obolskiy et al., 2009).
C. Ekstraksi Ekstraksi adalah suatu cara pemisahan komponen tertentu dari suatu bahan sehingga didapatkan zat yang terpisah secara kimiawi maupun fisik. Ekstraksi biasanya berkaitan dengan pemindahan zat terlarut di antara dua pelarut yang tidak saling bercampur. Proses ekstraksi bertujuan untuk mendapatkan bagian-bagian tertentu dari bahan yang mengandung komponen aktif. Teknik ekstraksi yang tepat berbeda untuk masing-masing bahan. Hal ini dipengaruhi oleh tekstur, kandungan bahan, dan jenis senyawa yang ingin didapat (Bernardini, 1983).
Metode yang digunakan untuk mengeluarkan satu komponen campuran dari zat padat atau cair dengan bantuan zat cair pelarut dapat digolongkan menjadi dua kategori. Kategori pertama adalah leaching atau ekstraksi zat padat (solid extraction) yang digunakan untuk melarutkan zat yang dapat larut. Kategori kedua adalah ekstraksi zat cair (liquid extraction), yang digunakan untuk memisahkan dua zat cair yang saling bercampur (Mc Cabe dan Smith, 1974). Proses pemisahan atau pengambilan komponen dari suatu bahan pada dasarnya dapat dilakukan dengan penekanan atau pengempaan, pemanasan, dan menggunakan pelarut. Ekstraksi dengan pengempaan atau pemanasan dikenal dengan cara mekanis. Ekstraksi cara mekanis hanya dapat dilakukan untuk pemisahan komponen dalam sistem campuran padat-cair. Sebagai contoh adalah ekstraksi minyak dari biji-bijian. Dalam hal ini minyak adalah cair dan ampasnya sebagai padatan (Suyitno et al., 1989). Ekstraksi menggunakan pelarut adalah berdasarkan sifat kelarutan dari komponen di dalam pelarut yang digunakan. Komponen yang larut dapat berbentuk padat maupun cair, dipisahkan dari benda padat atau cair. Ekstraksi padat-cair, komponen yang dipisahkan berasal dari benda padat. Komponen yang diekstraksi dapat berupa protein, vitamin, minyak atsiri, zat warna, dan sebagainya yang berasal dari bahan. Ekstraksi bertujuan untuk memperoleh komponen yang larut dalam pelarut yang dapat melarutkan komponen yang akan dipisahkan (Suyitno et al., 1989). Ekstraksi dengan pelarut dilakukan dengan melarutkan bahan ke dalam suatu pelarut organik, sehingga komponen pembentuk bahan akan terlarut ke dalam pelarut (Thorpe’s dan Whiteley, 1954). Proses perpindahan komponen bioaktif dari dalam bahan ke pelarut dapat dijelaskan dengan teori difusi. Proses difusi merupakan pergerakan bahan secara spontan dan tidak dapat kembali (irreversible) dari fase yang memiliki konsentrasi lebih tinggi menuju ke fase dengan konsentrasi yang lebih rendah (Danesi, 1992). Proses ini akan terus menerus berlangsung selama komponen bahan padat yang akan dipisahkan menyebar di antara kedua fase dan akan berakhir bila kedua fase berada dalam kesetimbangan. Kesetimbangan akan terjadi bila seluruh zat terlarut sudah larut
semuanya di dalam zat cair dan konsentrasi larutan yang terbentuk menjadi seragam. Kondisi ini dapat tercapai dengan mudah atau sulit tergantung pada struktur zat padatnya. Perpindahan massa komponen bahan dari dalam padatan ke cairan terjadi melalui dua tahapan pokok. Tahap pertama adalah difusi dari dalam padatan ke permukaan padatan dan tahap kedua adalah perpindahan massa dari permukaan padatan ke cairan. Kedua proses tersebut berlangsung secara seri. Bila salah satu proses berlangsung relatif lebih cepat, maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh proses yang lambat, tetapi bila kedua proses berlangsung dengan kecepatan yang tidak jauh berbeda maka kecepatan ekstraksi ditentukan oleh kedua proses tersebut (Sediawan dan Prasetya, 1997). Setiap komponen pembentuk bahan mempunyai perbedaan kelarutan yang berbeda dalam setiap zat pelarut sehingga untuk mendapatkan sebanyak mungkin komponen tertentu, maka ekstraksi dilakukan dengan menggunakan suatu zat pelarut yang secara selektif dapat melarutkan komponen tertentu dalam bahan tersebut. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tertentu dapat terjadi karena persamaan kepolaran. Polaritas menggambarkan distribusi ion dalam molekul yang berpengaruh terhadap daya larut suatu bahan dalam pelarut. Senyawa kimia yang terkandung dalam bahan akan dapat larut pada pelarut yang relatif sama kepolarannya, sehingga senyawa polar akan larut dalam pelarut polar dan senyawa non polar akan terlarut dalam pelarut non polar (Ucko, 1982). Terdapat beberapa cara yang sering digunakan dalam melakukan ekstraksi antara lain: perkolasi, perendaman atau maserasi, soklet, refluks, dan kromatografi. Metode ekstraksi yang digunakan bergantung pada tekstur bahan, kandungan air contoh, dan jenis senyawa yang akan diekstraksi. Masing-masing metode memiliki kelebihan dan kekurangan. Salah satu metode ekstraksi yang sering digunakan yaitu maserasi. Maserasi memiliki kelebihan dan kekurangan. Kelebihan metode ini relatif sederhana, yaitu tidak memerlukan alat-alat yang rumit, relatif mudah, murah, dan dapat menghindari rusaknya komponen senyawa akibat panas. Kelemahan metode ini diantaranya waktu yang diperlukan relatif lama dan penggunaan pelarut yang tidak efektif dan efisien. Maserasi dibedakan menjadi tiga jenis,
yaitu maserasi sederhana, maserasi kinetik, dan maserasi menggunakan tekanan (List dan Schmidt, 1989). Maserasi adalah suatu metode ekstraksi dengan cara merendam sampel menggunakan pelarut dengan atau tanpa pengadukan. Metode maserasi digunakan untuk mengekstrak sampel yang relatif mudah rusak oleh panas. Metode ini dilakukan dengan merendam contoh dalam suatu pelarut baik tunggal ataupun campuran dengan lama waktu tertentu (umumnya 1-2 hari perendaman) tanpa pemanasan (Houghton dan Rahman, 1998). Perendaman bahan yang dilakukan pada proses maserasi akan dapat menaikkan permeabilitas dinding sel melalui tiga tahapan: (1) masuknya pelarut ke dalam dinding sel dan membengkakannya, (2) senyawa yang terdapat pada dinding sel akan lepas dan masuk ke dalam pelarut, (3) difusi senyawa yang terekstraksi oleh pelarut keluar dari dinding sel. Proses ekstraksi padat-cair dipengaruhi oleh banyak faktor yaitu lama ekstraksi, suhu yang digunakan, pengadukan, dan banyaknya pelarut yang digunakan (Harborne, 1996). Faktor penting dalam melakukan ekstraksi suatu senyawa adalah pemilihan pelarut yang digunakan. Jenis pelarut yang digunakan dalam proses ekstraksi akan mempengaruhi jenis senyawa bioaktif yang terekstrak karena masing-masing pelarut mempunyai efisiensi dan selektifitas yang berbeda untuk melarutkan komponen bioaktif dalam bahan. Kelarutan suatu senyawa dalam pelarut tergantung dari gugus-gugus yang terikat pada pelarut tersebut. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat menarik komponen aktif dalam campuran (Durran, 1933). Hal-hal penting yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah selektivitas, sifat pelarut, kemampuan untuk mengekstraksi, tidak bersifat racun, kemudahan untuk diuapkan, dan harganya yang relatif murah (Gamse, 2002). Pelarut untuk ekstraksi senyawa organik terbagi menjadi golongan pelarut yang memiliki densitas lebih rendah daripada air dan pelarut yang memiliki densitas lebih tinggi daripada air. Kebanyakan pelarut senyawa organik termasuk dalam pelarut golongan pertama, seperti misalnya dietil eter, etil asetat, dan hidrokarbon (light petroleum, heksan, dan toluen).
Pelarut yang mengandung senyawa klorin seperti diklorometan adalah pelarut yang termasuk dalam golongan pelarut kedua. Pelarut ini memiliki toksisitas yang rendah tetapi mudah membentuk emulsi. Beberapa pelarut yang biasa digunakan untuk ekstraksi diantaranya adalah metanol, etanol, etil asetat, aseton, dan asetonitril dengan air atau HCl. Toksisitas pelarut yang digunakan merupakan hal penting untuk dipertimbangkan dalam ekstraksi antioksidan, karena zat antioksidan akan digunakan pada produk pangan fungsional sehingga keamanannya harus sangat diperhatikan. Menurut Walker (2007), senyawa xanthone secara alami sukar untuk terlarut di dalam air sehingga sulit diekstrak bila menggunakan pelarut air namun demikian, senyawa xanthone dapat larut di dalam pelarut organik dengan tingkat kepolaran yang berbeda seperti pelarut metanol hingga pelarut hexan. Ethanol atau yang lebih dikenal sebagai alkohol merupakan senyawa organik dengan rumus kimia C2H5OH. Dalam kondisi kamar, etanol berwujud cairan yang tidak berwarna, mudah menguap, mudah terbakar, mudah larut dalam air, dan tembus cahaya. Ethanol adalah senyawa organik golongan alkohol primer yang bersifat polar. Tingkat kepolaran pelarut ditentukan oleh konstanta dielektri yang dimiliki. Menurut Weast dan Astle (1982) semakin tinggi konstanta dielektrik maka semakin polar pelarut tersebut. Sifat fisik ethanol dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Sifat fisik ethanol Sifat Fisik Massa molekul relatif
Nilai 46,07 g/mol
Titik beku
-114,1°C
Titik didih normal
78,32°C
Densitas pada 20°C
0,7893 g/ml
Kelarutan dalam air 20°C
sangat larut
Viskositas pada 20°C
1,17 cP
Kalor spesifik, 20°C
0,579 kal/g°C
Kalor pembakaran
25°C 7092,1 kal/g
Kalor Penguapan
78,32°C 200,6 kal/g
Sumber: Kirk dan Othmer, 1951
D. Sirup Sirup merupakan larutan gula pekat yang digunakan sebagai bahan minuman dengan atau tanpa ditambahkan asam (antara lain asam sitrat, asam tartarat dan asam laktat), aroma, dan zat warna (SII-0153-77). Sirup tergolong minuman yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Hal ini karena kemudahan dalam menyajikannya. Sirup dalam industri dapat berfungsi sebagai pemanis, bahan pengawet alami yang dapat menurunkan aktifitas air (Aw) dan juga sebagai pembawa cita rasa yang menyenangkan pada obat dalam dunia kesehatan. Pembuatan sirup pada garis besarnya meliputi tahap-tahap sortasi, pencucian, pengupasan, pengisian ke dalam wadah,
penutupan,
pasteurisasi,
pendinginan dan
penyimpanan (Kylwe, 1956). Beberapa bahan seperti asam sitrat dan zat pewarna makanan dapat ditambahkan untuk menambah rasa asam dan membuat penampilan produk menjadi lebih menarik. Syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dikategorikan sebagai sirup menurut SNI 01-3544-1994 dapat dilihat pada Tabel 3. Menurut Haryanto (1998), terdapat beberapa hal yang menentukan kualitas sirup antara lain: gula, endapan, cita rasa, aroma, kualitas bahan baku, kemasan produk, jenis, dan cara pengemasan. Kadar gula dalam sirup akan menentukan kualitas sirup tersebut. Penggunaan sakarin atau siklamat akan sangat merugikan karena berkaitan dengan akibat yang ditimbulkan. Adanya endapan dalam sirup akan menimbulkan kesan kotor (dibuat melalui proses yang kurang higienis) atau sirup telah melewati masa simpannya (sudah rusak, kadaluarsa). Cita rasa dan aroma akan menunjukkan tingkat kesegaran dan keaslian dari bahan baku. Kualitas bahan baku yang digunakan dalam pembuatan sirup akan sangat menentukan kualitas sirup yang dihasilkan. Selain harus memiliki kualitas yang baik, sirup juga umumnya tergolong produk yang memiliki umur simpan yang cukup lama. Faktor yang dapat menentukandaya tahan atau umur simpan dari sirup yaitu: kadar gula, bahan pengawet, dan sistem pengawetan. Sirup dengan kadar gula yang tinggi akan memeiliki daya tahan yang semakin lama. Gula dalam konsentrasi tinggi selain sebagai pemanis juga berfungsi sebagai pengawet. Bahan pengawet, meskipun
hanya dalam kadar yang minimal namun keberadaannya dapat memperpanjang daya tahannya. Penerapan sistem pengawetan meliputi pengemasan produk, sterilisasi, penutupan botol kemasan, dan pasteusisasi akan dapat memperpanjang umur produk (Makfoeld, 1982). Tabel 3 Syarat mutu sirup Komponen
Jumlah
Gula (dihitung sebagai sukrosa)
Min 65%
Pemanis Buatan
Tidak boleh ada
Zat Warna
Yang diizinkan
Bahan Pengawet
Sesuai peraturan Depkes
Cemaran Logam: - Timbal (Pb) - Tembaga (Cu) - Seng (Zn) - Timah (Sn) Kemasan kaleng Kemasan non kaleng - Arsen (As)
Max 0.2 mg/kg Max 2 mg/kg Max 2 mg/kg Max 250 mg/kg Max 40 mg/kg Max 0.1 mg/kg
Cemaran Mikroba: - Angka Lempeng Total - Bakteri Golongan Coli (APM) - Kapang dan Khamir - Salmonella - Cholera
Max 500 koloni/ml Max 20 koloni/ml Max 50 Negatif Tidak Nyata
Sumber: SNI 01-3544-1994